PENGEMBANGAN PRODUK MAKANAN RINGAN DENGAN
PROSES EKSTRUSI DAN PENGGORENGAN
PATRICIA RUTHYANTI THOMAS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Produk
Makanan Ringan dengan Proses Ekstrusi dan Penggorengan adalah karya saya
sendiri di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S., dan Dr. Ir. Slamet
Budijanto M Agr, dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Juni 2007
iii
ABSTRACT
PATRICIA R THOMAS. Development of Snack with Extrusion and Frying
Process Under supervising of NURI ANDARWULAN and SLAMET BUDIJANTO
A typical Indonesian meal is based on rice cooked alone or prepared with
sambal
, a hot chili condiment ; it is served with
krupuk
(crackers made of flour ,
vegetables and meat , shrimp or spices) .Some local dishes such as
Soto
and
Oxtail Soup
are topped with fried shallot and crackers (something crispy and
crunchy). The purpose of this experiment is to develop crackers which can be
function as snacks alone or as seasoned fried toppings for eating with rice or
other basic meal. In soupy dish, this toppings can turned to a synthetic meat
which has a plastic or elastic and full body mouth feel.
Available equipment in the company which has high technical possibility
to produce this snacks are several extruders in the rice noodle (
bihun
) line and
snack extruder (third generation snacks or pellets). The best process design is
needed to produce a crispy snacks by using one prototype formula consists of
ground catfish (
Clarias batrachus
L
) meat and tofu (function as protein source),
cassava flour (
gaplek
).
The best prototype from laboratory scale formulation process has protein
content 14 %, tasty and enough saltiness level and crispy texture. Raw material
cost estimation per kg product dough cost from Rp.5.895,- to Rp.6.765,-. The
combined process of rice noodle extruder with meat processor or meat chopper
extruder, produced the best crispiness product after frying process with
production capacity 500 kg/hour.
The study of comparing the effect of dough temperature prior to extrusion
process and the impact of meat processors or meat chopper extruder (MCE) in
producing a crispy product was made by using the same frying condition 150° C
~ 3 minutes in a continuous noodle fryer. Proof on the crispiest texture is based
on texture analysis on crispiness level. The higher the value of kgf for a product,
the crispier the texture is. Duncan statistical calculation differentiates the process
flow into 7 crispiness groups. The highest value of kgf is 93.2 and the lowest
value is 24.49. Minimum value which considered as crispy is 50-55 kgf. Extrusion
process begins with maximum 30 °C dough through strap extruder (
bihun
Line)
then followed by MCE produced the crispiest texture. Cool dough (maximum 30
°C) significantly produced crispier texture than hot dough (60-90 °C). Based on
Contrast Orthogonal Test, process followed with MCE and without MCE is
significantly different at significance level <0.0001<0.05. Product texture made of
extrusion process followed with MCE is perceived as significantly crispier if
compared to that of extrusion process without MCE.
PENGEMBANGAN PRODUK MAKANAN RINGAN DENGAN
PROSES EKSTRUSI DAN PENGGORENGAN
PATRICIA RUTHYANTI THOMAS
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi Teknologi Pangan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
v
Judul Tugas Akhir
: Pengembangan Produk Makanan Ringan dengan
Proses Ekstrusi dan Penggorengan
Nama Mahasiswa
: Patricia Ruthyanti Thomas
NIM
: F 242040085
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S Dr. Ir. Slamet Budijanto, M Agr
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Magister Dekan Sekolah Pascasarjana
Profesi Teknologi Pangan
Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 11 Mei 2007
PRAKATA
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya (Pengkhotbah 3:11).
Segala Puji dan syukur bagi Tuhan atas segala karunia-Nya sehingga karya
ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian tentang pembuatan makanan ringan ini
dilakukan selama bulan Oktober 2005 sampai dengan April 2006 dengan judul
Pengembangan Produk Makanan Ringan dengan Proses Ekstrusi dan
Penggorengan.
Tanpa dukungan dan bantuan dari Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MS dan
Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr selaku dosen pembimbing dan Ibu Ning
Rahayu selaku Pimpinan Perusahaan tempat Penulis bekerja, maka penelitian ini
tidak akan dapat terselesaikan. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak,
Ibu Dosen Pembimbing dan Ibu Pimpinan Perusahaan, yang telah banyak
memberi saran dan keleluasaan dalam melaksanakan penelitian ini, demikian
pula bagi rekan-rekan kerja, yang telah memberikan dukungan dan bantuan
selama masa studi program magister profesi ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada keluargaku tercinta Priautama L Tobing, Priyanka, Patrick,
Peniel, Ayahanda Pieter Thomas dan F.L. Tobing serta seluruh keluarga tercinta
atas segala doa, pengertian, dorongan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2007
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1962 sebagai anak
ketiga dari pasangan Pieter Thomas dan Ruth Maria Gosal (Alm).
Tahun 1981 penulis lulus dari SMA Negeri IV Jakarta dan lulus seleksi
masuk Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1982 Penulis memilih Fakultas
Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, lulus dari Fakultas ini
pada tahun 1984.
Setelah lulus, Penulis bekerja pada perusahaan industri pangan produk
biskuit selama 1 tahun, pada perusahaan produsen makanan ringan selama 11
tahun, pada perusahaan produsen bumbu dan salad
dressing
selama 5 tahun
dan pada perusahaan produsen
flavor
multinasional selama 5 tahun. Saat ini
Penulis bekerja sebagai staf konsultan bagi Industri Produk Pangan di PT.
Cahaya Citra Cemerlang, Jakarta serta aktif dalam organisasi Pusat Informasi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL...
ix
DAFTAR GAMBAR...
x
DAFTAR LAMPIRAN...
xi
PENDAHULUAN ...
1
Latar Belakang...
1
Tujuan...
3
Manfaat ...
3
TINJAUAN PUSTAKA...
4
Makanan Ringan...
4
Teknologi Ekstrusi...
5
Makanan Ringan Generasi Kedua dan Ketiga...
7
Teknologi Ekstrusi pada Proses Produksi Bihun...
9
Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati...
10
Tekstur Pangan dan Kerenyahan...
12
Proses Penggorengan...
12
BAHAN DAN METODE...
16
Bahan dan Alat...
16
Metode Penelitian...
17
Pengamatan...
21
Analisis Data...
26
HASIL DAN PEMBAHASAN...
27
Formulasi Produk Makanan Ringan...
27
Aplikasi Formulasi Terpilih Pada Ekstruder Skala
Komersial...
28
Optimasi Rangkaian Proses Produksi Makanan Ringan
Dengan Produksi Bihun...
30
Analisis Proksimat dan Tekstur...
34
SIMPULAN DAN SARAN...
36
Simpulan...
36
Saran...
36
DAFTAR PUSTAKA...
38
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Data operasi bermacam-macam ekstruder ...
6
2. Kandungan rata-rata amilosa dan amilopektin dari beberapa
jenis pati...
8
3. Spesifikasi ekstruder strap dan ekstruder
vermicelli
pada
rangkaian proses produksi bihun...
9
4. Parameter proses produksi bihun yang dirangkai dengan
Meat
Chopper Extruder
dan penggorengan kontinu ...
20
5. Parameter penentu 3 jenis formula yang diproses dengan alat
Meat Chopper Extruder
skala laboratorium...
27
6. Parameter penentu hasil aplikasi formulasi pada 3 jenis
ekstruder...
30
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Interaksi elemen kunci pada proses pengembangan produk
baru...
1
2. Bagan bagian dalam tabung ekstruder ulir tunggal untuk
produksi makanan ringan generasi ketiga...
8
3. Perubahan pada butir pati selama pemanasan dan
pendinginan dalam air...
11
4. Tahapan penelitian pengembangan makanan ringan dengan
proses ekstrusi dan proses penggorengan...
17
5. Sepuluh jenis jalur proses produksi pada tahap optimasi
rangkaian proses produksi makanan ringan dengan proses
pengolahan bihun...
19
6. Grafik hasil pengukuran kekerasan tekstur dengan
Instron
Texture Analyzer.
...
22
7. Histogram nilai kerenyahan makanan ringan dengan
Instron
Texture Analyzer
...
32
8. Grafik hubungan antara analisa kerenyahan subjektif dengan
kerenyahan objektif ………
33
9. Urutan proses II AC yang memberikan kerenyahan tekstur
paling baik ...
33
10. Uji ketahanan kerenyahan tekstur makanan ringan yang
ditabur pada mi instan berkuah...
35
11. Foto makanan ringan taburan dengan bentuk yang tidak
beraturan dan taburan pada an kerenyahan tekstur makanan
PENGEMBANGAN PRODUK MAKANAN RINGAN DENGAN
PROSES EKSTRUSI DAN PENGGORENGAN
PATRICIA RUTHYANTI THOMAS
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Produk
Makanan Ringan dengan Proses Ekstrusi dan Penggorengan adalah karya saya
sendiri di bawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S., dan Dr. Ir. Slamet
Budijanto M Agr, dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor, Juni 2007
iii
ABSTRACT
PATRICIA R THOMAS. Development of Snack with Extrusion and Frying
Process Under supervising of NURI ANDARWULAN and SLAMET BUDIJANTO
A typical Indonesian meal is based on rice cooked alone or prepared with
sambal
, a hot chili condiment ; it is served with
krupuk
(crackers made of flour ,
vegetables and meat , shrimp or spices) .Some local dishes such as
Soto
and
Oxtail Soup
are topped with fried shallot and crackers (something crispy and
crunchy). The purpose of this experiment is to develop crackers which can be
function as snacks alone or as seasoned fried toppings for eating with rice or
other basic meal. In soupy dish, this toppings can turned to a synthetic meat
which has a plastic or elastic and full body mouth feel.
Available equipment in the company which has high technical possibility
to produce this snacks are several extruders in the rice noodle (
bihun
) line and
snack extruder (third generation snacks or pellets). The best process design is
needed to produce a crispy snacks by using one prototype formula consists of
ground catfish (
Clarias batrachus
L
) meat and tofu (function as protein source),
cassava flour (
gaplek
).
The best prototype from laboratory scale formulation process has protein
content 14 %, tasty and enough saltiness level and crispy texture. Raw material
cost estimation per kg product dough cost from Rp.5.895,- to Rp.6.765,-. The
combined process of rice noodle extruder with meat processor or meat chopper
extruder, produced the best crispiness product after frying process with
production capacity 500 kg/hour.
The study of comparing the effect of dough temperature prior to extrusion
process and the impact of meat processors or meat chopper extruder (MCE) in
producing a crispy product was made by using the same frying condition 150° C
~ 3 minutes in a continuous noodle fryer. Proof on the crispiest texture is based
on texture analysis on crispiness level. The higher the value of kgf for a product,
the crispier the texture is. Duncan statistical calculation differentiates the process
flow into 7 crispiness groups. The highest value of kgf is 93.2 and the lowest
value is 24.49. Minimum value which considered as crispy is 50-55 kgf. Extrusion
process begins with maximum 30 °C dough through strap extruder (
bihun
Line)
then followed by MCE produced the crispiest texture. Cool dough (maximum 30
°C) significantly produced crispier texture than hot dough (60-90 °C). Based on
Contrast Orthogonal Test, process followed with MCE and without MCE is
significantly different at significance level <0.0001<0.05. Product texture made of
extrusion process followed with MCE is perceived as significantly crispier if
compared to that of extrusion process without MCE.
PENGEMBANGAN PRODUK MAKANAN RINGAN DENGAN
PROSES EKSTRUSI DAN PENGGORENGAN
PATRICIA RUTHYANTI THOMAS
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi Teknologi Pangan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
v
Judul Tugas Akhir
: Pengembangan Produk Makanan Ringan dengan
Proses Ekstrusi dan Penggorengan
Nama Mahasiswa
: Patricia Ruthyanti Thomas
NIM
: F 242040085
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S Dr. Ir. Slamet Budijanto, M Agr
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Magister Dekan Sekolah Pascasarjana
Profesi Teknologi Pangan
Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 11 Mei 2007
PRAKATA
Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya (Pengkhotbah 3:11).
Segala Puji dan syukur bagi Tuhan atas segala karunia-Nya sehingga karya
ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian tentang pembuatan makanan ringan ini
dilakukan selama bulan Oktober 2005 sampai dengan April 2006 dengan judul
Pengembangan Produk Makanan Ringan dengan Proses Ekstrusi dan
Penggorengan.
Tanpa dukungan dan bantuan dari Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MS dan
Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr selaku dosen pembimbing dan Ibu Ning
Rahayu selaku Pimpinan Perusahaan tempat Penulis bekerja, maka penelitian ini
tidak akan dapat terselesaikan. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak,
Ibu Dosen Pembimbing dan Ibu Pimpinan Perusahaan, yang telah banyak
memberi saran dan keleluasaan dalam melaksanakan penelitian ini, demikian
pula bagi rekan-rekan kerja, yang telah memberikan dukungan dan bantuan
selama masa studi program magister profesi ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada keluargaku tercinta Priautama L Tobing, Priyanka, Patrick,
Peniel, Ayahanda Pieter Thomas dan F.L. Tobing serta seluruh keluarga tercinta
atas segala doa, pengertian, dorongan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2007
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1962 sebagai anak
ketiga dari pasangan Pieter Thomas dan Ruth Maria Gosal (Alm).
Tahun 1981 penulis lulus dari SMA Negeri IV Jakarta dan lulus seleksi
masuk Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1982 Penulis memilih Fakultas
Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, lulus dari Fakultas ini
pada tahun 1984.
Setelah lulus, Penulis bekerja pada perusahaan industri pangan produk
biskuit selama 1 tahun, pada perusahaan produsen makanan ringan selama 11
tahun, pada perusahaan produsen bumbu dan salad
dressing
selama 5 tahun
dan pada perusahaan produsen
flavor
multinasional selama 5 tahun. Saat ini
Penulis bekerja sebagai staf konsultan bagi Industri Produk Pangan di PT.
Cahaya Citra Cemerlang, Jakarta serta aktif dalam organisasi Pusat Informasi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL...
ix
DAFTAR GAMBAR...
x
DAFTAR LAMPIRAN...
xi
PENDAHULUAN ...
1
Latar Belakang...
1
Tujuan...
3
Manfaat ...
3
TINJAUAN PUSTAKA...
4
Makanan Ringan...
4
Teknologi Ekstrusi...
5
Makanan Ringan Generasi Kedua dan Ketiga...
7
Teknologi Ekstrusi pada Proses Produksi Bihun...
9
Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati...
10
Tekstur Pangan dan Kerenyahan...
12
Proses Penggorengan...
12
BAHAN DAN METODE...
16
Bahan dan Alat...
16
Metode Penelitian...
17
Pengamatan...
21
Analisis Data...
26
HASIL DAN PEMBAHASAN...
27
Formulasi Produk Makanan Ringan...
27
Aplikasi Formulasi Terpilih Pada Ekstruder Skala
Komersial...
28
Optimasi Rangkaian Proses Produksi Makanan Ringan
Dengan Produksi Bihun...
30
Analisis Proksimat dan Tekstur...
34
SIMPULAN DAN SARAN...
36
Simpulan...
36
Saran...
36
DAFTAR PUSTAKA...
38
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Data operasi bermacam-macam ekstruder ...
6
2. Kandungan rata-rata amilosa dan amilopektin dari beberapa
jenis pati...
8
3. Spesifikasi ekstruder strap dan ekstruder
vermicelli
pada
rangkaian proses produksi bihun...
9
4. Parameter proses produksi bihun yang dirangkai dengan
Meat
Chopper Extruder
dan penggorengan kontinu ...
20
5. Parameter penentu 3 jenis formula yang diproses dengan alat
Meat Chopper Extruder
skala laboratorium...
27
6. Parameter penentu hasil aplikasi formulasi pada 3 jenis
ekstruder...
30
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Interaksi elemen kunci pada proses pengembangan produk
baru...
1
2. Bagan bagian dalam tabung ekstruder ulir tunggal untuk
produksi makanan ringan generasi ketiga...
8
3. Perubahan pada butir pati selama pemanasan dan
pendinginan dalam air...
11
4. Tahapan penelitian pengembangan makanan ringan dengan
proses ekstrusi dan proses penggorengan...
17
5. Sepuluh jenis jalur proses produksi pada tahap optimasi
rangkaian proses produksi makanan ringan dengan proses
pengolahan bihun...
19
6. Grafik hasil pengukuran kekerasan tekstur dengan
Instron
Texture Analyzer.
...
22
7. Histogram nilai kerenyahan makanan ringan dengan
Instron
Texture Analyzer
...
32
8. Grafik hubungan antara analisa kerenyahan subjektif dengan
kerenyahan objektif ………
33
9. Urutan proses II AC yang memberikan kerenyahan tekstur
paling baik ...
33
10. Uji ketahanan kerenyahan tekstur makanan ringan yang
ditabur pada mi instan berkuah...
35
11. Foto makanan ringan taburan dengan bentuk yang tidak
beraturan dan taburan pada an kerenyahan tekstur makanan
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Kuesioner uji ranking kerenyahan tekstur...
40
2. Hasil pengukuran tekstur dengan
Instron
Texture Analyzer
...
41
3. Analisa deskriptif suhu adonan dan urutan proses...
46
4. Asumsi data untuk analisis varian (ANOVA) ...
47
5. Hasil analisis ragam dengan menggunakan uji lanjut Duncan
(uji perbandingan berpasangan) dan contrast orthogonal...
48
6. Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh faktor suhu adonan...
50
7. Uji kontras ortogonal untuk perlakuan suhu adonan dan
pengaruh pemakaian MCE pada kerenyahan tekstur...
52
8. Uji lanjut Duncan untuk pengaruh Interaksi suhu adonan dan
urutan proses ...
53
9. Hasil uji lanjut Duncan untuk pengaruh faktor interaksi, yaitu
kombinasi antara suhu adonan dan urutan proses (interaksi
keduanya)...
54
10. Uji ketahanan kerenyahan tekstur makanan ringan yang
ditabur pada mi instan berkuah ...
55
11. Peralatan ekstruder bihun dan ekstruder makanan
ringan...
Latar Belakang
Secara garis besar, tahap proses pengembangan produk baru dimulai
dengan penentuan konsep produk yang selanjutnya menjadi dasar untuk
pengembangan produk dan proses untuk menghasilkan produk pangan tersebut.
Mutu atribut prototip produk pangan ditetapkan berdasarkan hasil pengujian
kimia, fisik, sensori maupun mikrobiologi. Uji lainnya untuk mengetahui tingkat
penerimaan konsumen terhadap prototip produk sebelum tahap peluncuran
produk adalah uji konsumen. Hasil uji konsumen akan digunakan sebagai dasar
untuk mengoptimalkan mutu prototip produk agar lebih sesuai dengan harapan
target konsumen. Pyne (2000) di dalam Brody dan Lord (2000) membagi elemen
kunci pengembangan produk baru menjadi 1) Pengembangan produk baru, 2)
Evaluasi subjektif/objektif, 3) Pengembangan proses, dan 4) Evaluasi Konsumen
(Gambar 1).
Pengembangan Produk Baru
Pengembangan Proses
Evaluasi subjektif / objektif
Evaluasi Konsumen
Kreatifitas Input pemasaran Pemunculan ide
Teknologi Sains
Input Pemasaran Teknologi
Sains Enginering
Uji Produk
Informasi balik
Informasi balik Prototip
Skala Lab.
Produk
Divisi pemasaran adalah bagian yang memberikan masukkan mengenai
2
misalnya kebiasaan makan konsumen Indonesia, jenis-jenis produk makanan
utama yang disukai serta pangsa pasar yang masih tersedia dan lain-lain.
Kerupuk (crackers) merupakan jenis makanan pendamping makanan utama bagi masyarakat di Indonesia. Selain itu kerupuk juga dikonsumsi sebagai
makanan ringan atau camilan. Teksturnya yang renyah dan garing memberikan
sensasi suara sehingga jika dikombinasikan dengan rasa gurih dapat
memberikan kenikmatan tersendiri. Pada beberapa jenis masakan khas yang
kering (seperti mi goreng dan nasi goreng ) dan makanan berkuah (seperti soto
dan sup), biasanya ditaburi dengan topping berupa bawang goreng dan kerupuk yang renyah. Jika kerupuk sudah terendam air, tekstur kerupuk menyerap air
sampai menjadi terlalu lembek dan tidak terasa pada saat dimakan. Input riset
pemasaran mengusulkan agar taburan pada makanan berkuah memiliki
karakteristik renyah dan tetap mempunyai tekstur berbobot walaupun taburan
tersebut telah terendam dalam kuah makanan setelah beberapa waktu tertentu.
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003 (Susenas) yang disitir
oleh Bank Indonesia (2007) penduduk wilayah perkotaan (urban) lebih banyak mengkonsumsi kerupuk dibanding penduduk wilayah pedesaan (rural). Konsumsi dan pengeluaran rata-rata per kapita untuk kerupuk pada perkotaan adalah
0.193 ons dengan nilai Rp.154, sedangkan pada wilayah pedesaan adalah 0.147
ons dengan nilai Rp.99. Semakin tinggi pendapatan yang dimiliki seseorang,
semakin besar jumlah konsumsi krupuk per bulannya. Dari beberapa jenis
kerupuk yang ada di Indonesia, kerupuk ikan dan kerupuk udang mengandung
protein yang berkisar antara 2-5%.
Ada beberapa cara untuk membuat kerupuk atau camilan yang garing
dengan berbagai jenis bahan baku. Bahan baku yang berperan dalam mutu
produk makanan ringan hasil ekstrusi adalah pati, serat kasar, gum (hidrokoloid),
gula, protein, lemak dan bahan lainnya seperti garam dan sodium bikarbonat
(Huber, 2001). Untuk upaya pengembangan produk makanan ringan yang
renyah tersebut, proses dan teknologi yang tersedia pada perusahaan adalah
rangkaian beberapa peralatan sebagai berikut :1) Ekstruder produk bihun, 2)
Screw Extruder. Bila proses ekstrusi diikuti dengan proses penggorengan dapat memberikan nilai tambah dari segi kerenyahan tekstur dan kegurihan rasa.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengembangkan makanan ringan yang
dapat dimakan sendiri sebagai camilan maupun digunakan sebagai teman
makan nasi atau taburan pada lauk-pauk berkuah. 2) mengembangkan makanan
ringan dengan bahan baku yang mudah didapatkan di Indonesia dengan syarat
makanan ringan mengandungprotein lebih dari 10% dan 3) mengembangkan
formulasi makanan ringan dengan memanfaatkan peralatan atau proses
teknologi yang terdapat pada perusahaan.
Manfaat
Melalui penelitian ini perusahaan dapat mengidentifikasi dan menentukan
rangkaian proses yang paling optimal untuk memproduksi makanan ringan
dengan formula dan mutu yang diinginkan. Dari peralatan yang telah tersedia
pada perusahaan yang terdiri dari ekstruder makanan ringan generasi ketiga,
ekstruder vermicelli dan ekstruder strap pada peralatan produksi bihun dan alat
Meat Chopper Extruder, dan penggorengan kontinu mi instan bisa diperoleh rangkaian proses yang dapat membuat makanan ringan tanpa menambah
investasi peralatan khusus karena kapasitas peralatan yang sudah ada masih
TINJAUAN PUSTAKA
Makanan ringan
Makanan ringan merupakan terjemahan langsung dari snack foods, yang berarti pangan yang dikonsumsi di antara waktu makan biasa yang terdiri dari
makan pagi atau sarapan, makan siang dan makan malam. Makanan yang
dikonsumsi di antara waktu makan biasa tersebut bersifat ringan dan tidak
mengenyangkan (Lusas, 2001). Secara tradisional, Indonesia sudah memiliki
jenis makanan ringan yang terdiri atas kue basah dan kue kering; keduanya
terbagi atas rasa manis dan asin. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI
(2006) membagi kategori pangan dan memasukkan istilah ini ke dalam Kategori
Pangan 15.0-Makanan ringan siap santap. Makanan ringan siap santap ini
termasuk semua jenis makanan ringan asin, gurih atau savory dan rasa lainnya, sering juga disebut sebagai camilan.
Jenis makanan ringan simulasi adalah makanan ringan yang terbuat dari
tepung pati-patian (serealia, umbi-umbian) dengan pencampuran bahan lain,
dibentuk atau dipotong, dijemur atau dikeringkan atau langsung digoreng atau
dipanggang. Produk ini tidak termasuk keripik kentang, keripik singkong atau
keripik umbi-umbian lainnya. Camilan lainnya terbuat dari umbi-umbian yang
digoreng langsung ataupun dipanggang. Selain rasa yang gurih, Lusas (2001)
memaparkan sifat makanan ringan yang modern sebagai berikut: 1) aman,
bebas dari bahan-bahan kimia berbahaya, bahan beracun dan mikroorganisme
patogen sesuai dengan peraturan dan hukum pangan yang berlaku, 2)
diproduksi secara komersial dalam jumlah besar dengan proses kontinu, 3) diberi
bumbu atau seasoning berupa garam dan tambahan bahan penambah rasa, 4) stabil dalam penyimpanan dan tidak memerlukan pendinginan untuk
mengawetkan, 5) dikemas untuk langsung dimakan dengan ukuran mudah
dimakan, mudah dipegang, memiliki permukaan yang berminyak ataupun kering
sesuai dengan proses produksi makanan ringan tersebut, 6) dijual kepada
konsumen dalam keadaan segar.
Agar makanan ringan dapat selalu segar, maka diperlukan jenis bahan
kemasan yang dapat melindungi dari uap air, oksigen dan cahaya untuk
menghilangkan katalis oksidasi. Nitrogen atau sistem antioksidan lainnya dapat
ditambahkan di dalam kemasan makanan ringan untuk menambah proteksi
terhadap minyak goreng. Produsen wajib mencantumkan kode tanggal
kadaluarsa pada kemasan, sehingga produk bisa ditarik dari pasar jika tidak
terjual setelah masa kadaluarsa berlalu.
Makanan ringan pada penelitian ini tergolong makanan ringan modern atau
snack food seperti disebutkan oleh Lusas (2001) dan bukan tergolong makanan ringan basah seperti kue-kue atau camilan tradisional seperti kue apem, risoles,
kroket dan gorengan lainnya.
Berbagai teknologi digunakan agar makanan ringan bisa tergolong sebagai
makanan ringan siap untuk dimakan dalam keadaan kering dan mengandung air
maksimum 5%. Fellows (2000) membagi prinsip-prinsip dasar teknologi
pengolahan pangan menjadi proses suhu ruang, proses dengan aplikasi panas
dan operasi paska proses pengolahan. Ketiga proses dirangkai untuk
menghasilkan makanan ringan. Proses dimulai dengan pencampuran atau
pengadukan bahan baku (jika bahan baku terdiri lebih dari 1 jenis bahan baku),
ekstrusi tanpa panas yang lebih berfungsi sebagai pengaduk dan pembentuk
adonan, ekstrusi dengan pemasakan, pengeringan, penggorengan yang
dilanjutkan dengan proses pelapisan dengan bumbu dan terakhir adalah
pengemasan.
Teknologi Ekstrusi
Ekstrusi merupakan proses yang menggabungkan beberapa unit operasi
pengolahan seperti pengadukan, pemasakan, pengulenan, penggesekan,
pembentukan dan pencetakan. Ekstruder diklasifikasikan berdasarkan 1) metode
operasi dan 2) metode konstruksi. Metode operasi dibagi menjadi ekstruder
tanpa panas dan ekstruder untuk memasak, sedangkan metode konstruksi terdiri
dari ulir tunggal atau single screw dan ulir ganda atau double screw. Jika produk pangan yang melalui ekstruder dipanaskan menjadi 100°C maka proses ekstrusi
tergolong kepada ekstrusi panas untuk memasak atau cooking extruder (Fellows, 2000).
Ekstruder makanan ringan yang digunakan pada penelitian ini merupakan
6
ekstruder ini bersuhu tabung maksimal 110°C, suhu produk maksimum 79°C dan
tekanan tabung ulir (screw barrel) +/- 2000-4000 kPa (Tabel 1). Kadar air adonan yang ideal untuk ekstruder ini adalah maksimal 30% agar adonan masih
berbentuk tepung lembab dan tidak menggumpal.
Tabel 1. Data operasi bermacam -macam ekstruderª
Parameter Unit Gesekan
Tinggi*)
Gesekan
Medium**)
Gesekan
Rendah***)
Energi input pada produk k Wh Kg¯ ¹
0.10 -0.16 0.02-0.08 0.01 -0.04
Panjang Tabung/diameter L/D 2 – 15 10 – 25 5 - 22
Kecepatan Ulir rpm > 300 > 200 > 100
Suhu Tabung Maksimum ºC 110 – 180 55 – 145 20 - 6 5
Suhu Produk maksimum ºC 149 7 9 52
Tekanan Tabung Maksimum
kPa 4000-17000 2000-4000 550-6000
Kadar Air Produk % 5 -8 1 5-30 25-75
Densitas produk kg/m³ 32-160 160-500 320 -800
ªHauck (1993) dan Harper (1979) di dalam Fellows (2000) *)Gesekan Tinggi
Kecepatan tinggi dan sayap screw dangkal menyebabkan tekan tinggi dan suhu yang diperlukan untuk membuat makanan ringan yang memuai/mengembang.
**)Gesekan Medium
Untuk Teksturasi Protein Nabati (TVP) dan makanan hewan setengah basah ***)Gesekan Rendah
Sayap screw yang dalam d an kecepatan rendah menghasilkan tekanan rendah untuk memproduksi pasta, produk daging dan gum.
Karena ekstrusi merupakan kombinasi dari beberapa proses seperti
pengadukan, pemasakan, dan pengulenan secara bersamaan, maka terjadi
beberapa perubahan fisik dan kimia pada bahan pangan seperti hidrasi pati dan
protein, homogenisasi, gelasi, gesekan, pelelehan lemak, denaturasi, atau
re-orientasi protein, plastifikasi, dan pengembangan dari struktur pangan. Beberapa
jenis makanan ringan bisa dihasilkan melalui beberapa teknologi ekstrusi seperti
makanan ringan direct expanded atau makanan ringan generasi kedua seperti makanan ekstrudat, makanan ringan generasi ketiga berbentuk pellet kerupuk
mentah, produk ko-ekstrusi, makanan ringan berbasis masa dan crispbread. Pengukuran mutu akhir ekstrudat adalah kadar air, tingkat pengembangan,
kelarutan, penyerapan, tekstur, warna dan citarasa (Huber, 2001 di dalam Lusas
Tingkat pengembangan diukur melalui densitas kamba, bentuk dan ukuran,
sedangkan tekstur diukur secara organoleptik berupa mouth feel dan struktur sel yang menentukan kerenyahan.
Makanan ringan generasi kedua dan ketiga
Produk makanan ringan generasi kedua disebut juga direct expanded. Jenis ini biasanya memiliki karakteristik produk dengan densitas kamba yang
rendah dan dilapisi dengan pemberi rasa dalam bentuk campuran dengan
minyak dan garam. Ekstrudat bisa diproses lebih lanjut dengan proses
penggorengan atau proses pemanggangan sebelum dilakukan pelapisan dengan
larutan minyak dan bumbu.
Produk makanan ringan generasi ketiga biasanya menunjuk pada produk
setengah jadi atau pellet kerupuk mentah; diproduksi dengan ekstruder dengan
pemasakan dan hasilnya dikeringkan sampai kadar air yang stabil (9-10%) untuk
menjaga stabilitas selama penyimpanan. Selanjutnya pellet mentah ini akan
dikembangkan melalui media minyak goreng panas maupun media udara panas.
Bahan baku yang dipakai kebanyakan dari pati dan tepung-tepungan. Klasifikasi
proses terbagi menjadi ekstrusi pembentukan dingin atau ekstrusi pemasakan.
Jika menggunakan ekstrusi pembentukan dingin, digunakan tepung kentang atau
pati lain yang sudah tergelatinisasi atau pregelatinisasi agar didapatkan
pengembangan yang optimal setelah pellet digoreng.
Pada ekstrusi pemasakan, bahan baku harus masak sempurna kecuali
dipakai pati yang sudah mengalami pregelatinisasi. Agar adonan masak
sempurna, maka kombinasi suhu, waktu tinggal adonan dalam daerah ekstruder
dan kadar air selama ekstrusi untuk membuat gelatinisasi sempurna harus
optimal. Suhu pada ekstruder tergantung dari bahan baku yang dipakai,
konfigurasi ekstruder dan kondisi proses. Suhu pemasakan harus dibuat di atas
suhu gelatinisasi dari pati yang digunakan (Tabel 2).
Ekstruder pemasakan memiliki 4 daerah dengan fungsi yang berbeda
dalam tabung ulir ekstruder yaitu daerah pengadukan adonan, pemasakan
adonan, daerah pembentukan di mana adonan mulai didinginkan (70-95°C) dan
8
lubang cetakan atau outlet die yang memiliki daerah yang cukup terbuka agar ekspansi tidak terjadi (Gambar 2).
Tabel 2. Kandungan Rata-rata amilosa dan amilopektin dari beberapa Pati
Tipe Pati Amilosa (%) Amilopektin (%) GTR (°C)ª
Tapioka / Singkong
17 83 52-61
Gandum 25 75 58-63
Beras 19 81 68-78
Beras Ketan <10 >99 68-77
ªGTR = Gelatinization Temperature Rate
Huang dan Rooney di dalam Lusas dan Rooney (2001)
Adonan yang akan dicetak ini memiliki kadar air 20-25%. Adonan yang
sudah tercetak akan dikeringkan pada oven 70-80°C selama 3 jam sampai
menjadi pellet berkadar air 9-10% (Huber 2001 di dalam Lusas dan Rooney,
2001).
Gambar 2. Bagian bagian dalam tabung ekstruder ulir tunggal untuk produksi makanan ringan generasi ketiga.
Peralatan ekstrusi terdiri dari ulir yang berputar pada tabung silindris yang
disebabkan oleh motor listrik dengan kecepatan putar yang berbeda-beda dan
cukup kuat untuk mendorong bahan pangan terhadap hambatan tekanan yang
terbentuk di dalam tabung. Kecepatan ulir merupakan faktor utama yang
mempengaruhi kinerja ekstruder dalam hal waktu tumpuk bahan pangan di
dalam tabung, jumlah panas yang ditimbulkan oleh gesekan, laju transfer panas,
dan kekuatan gesekan dari produk. Kisaran kecepatan ulir adalah 150-600 rpm
tergantung pada aplikasinya.
Teknologi ekstrusi pada proses produksi bihun
Proses pembuatan bihun berbeda dengan pembuatan mi atau pasta karena
beras yang digunakan harus dijadikan bubur beras lebih dahulu dengan cara
penggilingan basah. Bubur beras disaring dan dibuat adonan kukus sebelum
diekstrusi menjadi untaian halus diameter 1 sampai 1,2 mm. Pengukusan
diperlukan untuk proses gelatinisasi sempurna dari beras. Ada 2 proses ekstrusi
yang terdapat pada rangkaian proses produksi bihun, yaitu 1) ekstruder strap
yang berfungsi untuk mengaduk adonan hasil kukusan dan membentuk menjadi
untaian tambang dengan diameter 100 mm, 2) ekstruder vermicelli yang akan mengaduk untaian tambang dan membentuk menjadi untaian halus diameter 1
sampai 1,2 mm. Kedua ekstruder merupakan ekstruder tanpa panas dan tidak
berfungsi sebagai ekstruder pemasakan. Spesifikasi kedua jenis ekstruder dapat
[image:30.595.124.399.526.640.2]dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Spesifikasi ekstruder strap dan ekstruder vermicelli pada rangkaian proses produksi bihun
Ekstruder Strap Ekstruder Vermicelli
Power motor 7.5 kw 50 Hz 18.5 kw 50 Hz
Jumlah ulir 2 buah 2 buah
Ulir 1 Panjang 56 cm Panjang 90 cm
Jumlah putaran 10 Jumlah putaran 13 Diameter 12.5 cm Diameter 14.5 cm
Ulir 2 Panjang 26 cm Panjang 90 cm
10
Gelatinisasi dan Retrogradasi Pati
Gelatinisasi adalah kerusakan urutan molekul dalam butiran pati yang 1)
tergantung pada suhu dan kandungan air, 2) bersifat tidak dapat berubah ,3)
berawal dari pembesaran ukuran granulasi pati, 4) menyebabkan kenaikan
kekentalan larutan atau suspensi 5) bervariasi tergantung pada kondisi
pemasakan, 6) bervariasi tergantung kepada tipe butiran dari sumber tanaman.
Kisaran suhu gelatinisasi pati dari umbi-umbian atau akar biasanya lebih rendah
daripada pati serealia (Tabel 2).
Butir pati terdiri dari bagian yang tidak berbentuk atau amorphous dan bagian yang terlihat seperti kristal. Pati dalam air yang dipanaskan menyebabkan
gangguan ikatan Hidrogen di antara rantai polimer sehingga melemahkan
butiran. Pembesaran awal terjadi pada daerah amorphous di mana ikatan hidrogen kurang banyak dan polimer bersifat rentan terhadap pemutusan ikatan.
Pada saat struktur menjadi melemah, butiran mengikat air dan membesar.
Karena tidak semua butiran serentak gelatinisasi, maka terjadi perbedaan tingkat
kekacauan dan pembesaran butiran.
Bagian yang tidak berbentuk pada butir pati lebih mudah terdegradasi oleh
asam dan enzim jika dibandingkan daerah kristal. Butiran pati dianggap sebagai
polimer seperti kaca. Bentuk seperti kaca akan bertahan sampai tercapai suhu
transisi gelas (Tg= glass transition temperature) di mana molekul mulai terlepas dan polimer bersifat kenyal seperti karet. Akhirnya suhu titik leleh Tm akan
dicapai di mana butir pati akan meleleh dan kehilangan ikatan secara
menyeluruh. Air menjadi penyebab keliatan atau kekenyalan yang secara nyata
mempengaruhi suhu Tm dan Tg dari butir pati. Pada saat pembesaran butir pati
dan pelelehan terjadi, butir pati mengalami gelatinisasi, pembentukan pasta atau
pasting, dispersi dan akhirnya retrogradasi pada saat bahan mengalami pendinginan. Perubahan ini pada Gambar 3 dipengaruhi oleh suhu, kadar air,
energi mekanis dan faktor lainnya. Tekstur keripik atau hasil pemanggangan
akan renyah pada kadar air <3% dan jika di atas 3% maka tekstur akan menjadi
Retrogradasi merupakan proses lanjut setelah gelatinisasi. Polimer pati
yang terlarut dan sis a bagian butir yang tidak larut kembali bersatu setelah
pemanasan. Retrogradasi menghasilkan formasi agregat kristal yang
mempengaruhi tekstur. Molekul amilosa linier lebih cenderung bersatu dan
membentuk ikatan hidrogen daripada molekul amilopektin yang lebih besar dan
bercabang. Pada saat retrogradasi, pasta pati menjadi berwarna opak dan
membentuk gel. Gel berangsur-angsur menjadi seperti elastis atau kenyal dan
cenderung melepas air. Perubahan ini terjadi selama dan setelah ekstrusi,
pemanggangan, penggorengan, dan proses lainnya (Huang dan Rooney dalam
Lusas dan Rooney, 2001). Dehidrasi melepas air dan meningkatkan retrogradasi.
Lapisan film yang terbentuk tergantung dari jumlah relatif air, jenis pati dan
interaksinya dengan bahan lainnya dalam formula. Retrogradasi luas dari
amilosa menghasilkan fraksi pati yang tahan terhadap kerja enzim pencernaan.
Retrogradasi amilopektin pada produk hasil pemanggangan berhubungan
dengan peristiwa ‘melempem’. Pada makanan ringan, hal ini menghasilkan
[image:32.595.160.365.410.628.2]tekstur yang ringan, garing dan renyah.
12
Tekstur pangan dan Kerenyahan
Menurut definisi British Standard Institutiondalam Carpenter et al. (2000)
indera yang berperan dalam menentukan tekstur adalah sentuhan, penglihatan
dan pendengaran, sehingga tekstur didefinisikan sebagai : atribut dari sebuah
benda yang dihasilkan oleh kombinasi dari sifat fisik dan diartikan atau diterima
oleh sensasi atau rangsangan dari sentuhan (termasuk kinestesia atau daya
menyadari gerakan otot dan rasa dalam mulut), penglihatan dan pendengaran.
Tekstur berperan dalam penerimaan keseluruhan dari sebuah produk
pangan dan merupakan kriteria penting bagi konsumen untuk menyatakan mutu
dan kesegaran dari produk pangan. Makanan ringan yang disukai adalah
makanan ringan yang bertekstur renyah, garing tidak keras, dan tidak
melempem.
Persepsi terhadap tekstur pangan adalah merupakan proses yang dinamik
karena sifat-sifat fisik pangan berubah-ubah secara terus menerus dengan
adanya proses pengunyahan, pembalutan dengan air liur dan perubahan suhu
tubuh. Szczesniak (1963) dalam Carpenter et al. (2000) membuat klasifikasi
tekstur menjadi 3 kelompok utama yaitu 1) Karakteristik mekanik yang
berhubungan dengan reaksi pangan ke tekanan, 2) Sifat geometrik yang
berhubungan dengan ukuran, bentuk dan orientasi partikel dalam pangan dan 3)
Karakteristik lain-lain yang berhubungan dengan persepsi kadar air dan kadar
lemak.
Proses Penggorengan
Penggorengan merupakan suatu unit operasi yang dipakai terutama
untuk mengubah mutu pangan dari segi organoleptik teks tur ~ kerenyahan dan
rasa gurih. Tujuan kedua proses penggorengan adalah untuk mendapatkan efek
pengawetan yang merupakan hasil perusakan enzim dan mikroba oleh panas
yang dihasilkan oleh proses penggorengan.
Peralatan penggorengan untuk proses mi instan terdiri dari sumber panas
untuk memanaskan minyak, rantai ban berjalan untuk memindahkan produk
mentah akan dibenamkan ke dalam minyak panas dan naik kembali pada saat
uap air di bagian dalam berubah menjadi uap. Menurut Fellows (2000),
penggorengan tipe ini tergolong kepada deep-fat frying di mana transfer panas merupakan kombinasi dari konveksi yang terjadi pada minyak panas dan
konduksi pada bagian dalam produk pangan. Semua permukaan pangan
menerima perlakuan panas yang sama untuk menghasilkan penampilan dan
warna hasil goreng yang seragam. Mesin penggorengan mi instan mempunyai
dimensi panjang 10 m dan lebar 1 m; kondisi penggorengan untuk mi instan
adalah 145-150°C selama 60-70 detik (Sung-Kon Kim ,1996 di dalam Kruger et
al. 1996).
Menurut teori, jika bahan pangan dimasukkan ke dalam minyak panas,
suhu permukaan bahan pangan akan meningkat dengan cepat dan air
terevaporasi sebagai uap air dan permukaan mulai mengering. Jalur evaporasi
air yang bergerak di dalam pangan akan membentuk lapisan kerak. Suhu
permukaan pangan akan naik sama seperti suhu minyak panas dan suhu bagian
dalam akan naik dengan laju yang lebih lambat ke suhu 100°C. Laju transfer
panas ditentukan oleh perbedaan suhu antara minyak panas dengan pangan
oleh koefisien transfer panas pada permukaan pangan (Fellows, 2000). Tekstur
pangan hasil penggorengan dihasilkan oleh perubahan pada protein, lemak dan
karbohidrat polimer. Perubahan pada protein terjadi sebagai hasil reaksi Mailard
dengan asam amino pada kerak. Kandungan lemak produk pangan akan
meningkat karena penyerapan minyak goreng.
Banks dan Lusas (2000) di dalam Lusas dan Rooney (2001) membagi
perubahan bahan pangan yang digoreng menjadi 6 tahap, yaitu : 1) Masuk
Penggorengan, 2) Pengerasan permukaan produk (case hardening), 3) Pengerasan permukaan, 4) Pengurangan uap air atau pemasakan, 5) Selesai
Penggorengan dan 6) Penyerapan minyak.
Tahap masuk ke penggorengan adalah saat pangan terendam dalam
minyak panas di mana pati pada permukaan secara cepat tergelatinisasi dan
produk terbungkus oleh gelembung uap kecil karena uap air pada permukaan
mulai menguap. Perubahan uap dan gelembung pada permukaan meningkat
14
Perubahan atau evolusi uap air yang sangat cepat membatasi suhu produk
mencapai titik didih air dan menghambat penetrasi minyak ke dalam produk.
Pada pengerasan permukaan produk (case hardening), lapisan sel terluar pada permukaan produk mengering dan kempes menjadi seperti tekstur lapisan
kayu halus. Sedikit perubahan pada evolusi uap air memperlihatkan bahwa
proses ini sedang berlanjut di mana sebagian permukaan masih bergelembung
lebih cepat dari bagian lainnya. Pada saat uap air pada permukaan menghilang,
uap air di bagian dalam mulai berubah menjadi uap dan merusak saluran melalui
struktur produk. Pada titik ini, dehidrasi tidak akan akan menghasilkan tekstur
permukaan yang renyah, akan tetapi akan terjadi keutuhan struktur, sebagai
contoh keripik kentang yang digoreng pada tahap ini masih bisa dibengkokkan
dan kembali ke bentuk semula.
Tahap pengerasan permukaan menyebabkan beberapa lapisan sel
permukaan mulai mengering dan menambah pembentukan struktur remah.
Produk yang digoreng pada suhu tinggi akan membentuk lapisan remah yang
tipis dan tekstur ringan, sedangkan produk yang digoreng secara lambat dengan
suhu rendah akan mendukung pembentukan remah yang lebih tebal dan tekstur
lebih garing. Struktur sel di bawah lapisan remah akan terganggu dan
membentuk tiang-tiang dalam dan besar dan substruktur bagian dalam terus
menerus dipengaruhi oleh suhu penggorengan. Pada tahap ini, formasi
remah-remah dan struktur bagian dalam masih belum lengkap tetapi elemen yang
paling kuat mempengaruhi tekstur produk jadi sudah terbentuk.
Penekanan utama pada tahap pemasakan adalah pada penetrasi panas
dan pengurangan kadar air. Keseragaman dalam ukuran produk yang digoreng
merupakan kunci untuk menentukan beban penggorengan yang tepat, profil
suhu dan waktu produk dan pemasakan.
Selama tahap akhir penggorengan, suhu permukaan produk secara cepat
menjadi sama dengan suhu minyak. Kadar air rendah dan suhu tinggi
memperkuat reaksi pembentukan flavor yang melibatkan asam amino, protein
dan karbohidrat. Suhu yang meningkat mendukung pengurangan kadar air akhir,
pembentukan remah yang renyah dan berwarna pekat. Kadar minyak meningkat
permukaan produk. Tahap akhir ini harus dikontrol dengan waktu yang tepat
pada saat produk diangkat dari minyak untuk menghasilkan mutu optimal dari
poduk hasil penggorengan.
Tahap selanjutnya adalah penyerapan minyak. Kadar minyak merupakan
akibat dari pembasahan permukaan, aksi kapiler dan penyerapan vakum.
Tekstur permukaan produk mempengaruhi pembasahan awal dan penyerapan
kapiler selama tahap awal penggorengan, tetapi evolusi uap air membatasi
penyerapan yang nyata. Selama akhir tahap penggorengan, sejumlah minyak
tambahan akan diserap oleh aksi kapiler saat ruang hampa terbentuk di dalam
produk. Selama pendinginan setelah penggorengan, uap air di dalam produk
akan terkondensasi sehingga terbentuk ruang vakum yang mempercepat
penyerapan minyak dari permukaan ke dalam produk. Untuk mengurangi
kandungan minyak, maka dilakukan penirisan pada tabung sentrifugal yang
BAHAN DAN METODE
Waktu dan tempat
Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Desember 2005 sampai dengan
bulan April 2006 pada beberapa lokasi sesuai dengan letak peralatan produksi
dan peralatan laboratorium kimia dan organoleptik. Pengembangan prototip
produk dilakukan pada laboratorium aplikasi PT. Cahaya Citra Cemerlang,
Jakarta.
Untuk peralatan ekstrusi bihun digunakan peralatan produksi bihun di PT.
Indofood Sukses Makmur – Cibitung, demikian pula dengan alat penggorengan
mi kontinu. Sedangkan untuk peralatan ekstruder makanan ringan digunakan
peralatan produksi PT. Indofood FritoLay – Tangerang. Analisa kimia,
organoleptik dan analisa kerenyahan secara obyektif dengan Instron Texture Analyzer dilakukan di Pusat Riset dan Pengembangan PT. Indofood Sukses Makmur, Ancol-Jakarta.
Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan adalah ikan lele lokal (Clarias batrachus L) dan tahu sebagai sumber protein, pati jagung, tepung gaplek dan tepung terigu.
Bahan penambah rasa yang digunakan adalah garam, gula, monosodium
glutamat dan perisa ayam. Sodium bikarbonat sebagai bahan pengembang juga
ditambahkan pada formula.
Peralatan produksi yang digunakan adalah : 1) Ekstruder makanan ringan –
tipe 3rd generation snack, 2) Ekstruder bihun yang terdiri dari 2 peralatan ekstruder yaitu : ekstruder strap dan ekstruder vermicelli, 3) Kombinasi ekstruder bihun dengan meat processor/Meat Chopping Extruder (MCE), 4) Alat penggorengan yang dipakai adalah alat penggorengan kontinu untuk mi instan
dengan suhu goreng 150°C selama 3 menit.
Analisa proksimat yang dilakukan adalah kadar air, kadar protein, kadar
lemak, kadar abu, dan kadar karbohidrat. Dilakukan pula analisis kandungan
Metode Penelitian
Penelitian terbagi atas tiga tahap. Pada penelitian tahap pertama dilakukan
formulasi makanan ringan skala laboratorium untuk memilih prototip formula
yang akan diterapkan pada tahap II. Penelitian tahap II adalah menerapkan
formula terpilih pada beberapa peralatan ekstruder skala komersial yang tersedia
pada perusahaan sedangkan penelitian tahap III adalah melakukan optimasi
proses produksi yang dapat menghasilkan produk dengan kerenyahan tekstur
yang paling optimal. Alur tahapan penelitian seperti pada Gambar 4.
Tahap I - Formulasi Makanan Ringan Skala Laboratorium
Penelitian tahap awal dilakukan untuk mendapatkan komposisi bahan
baku yang dapat menghasilkan tekstur yang renyah, rasa gurih dan asin yang
pas, rasa bumbu yang sesuai dan kadar protein produk yang memadai, dengan
menggunakan alat Panasonic Meat Processor (MK-628 NR Super Turbo 1000). Alat penggorengan yang digunakan adalah wajan dan kompor yang diatur
suhunya hingga 150°C. Seleksi prototip formula dilakukan berdasarkan uji kimia
(kadar air adonan dan kadar protein produk jadi), uji organoleptik yaitu uji tekstur
subyektif terhadap kerenyahan produk hasil goreng dan evaluasi subyektif
terhadap rasa gurih produk jadi hasil penggorengan, sedangkan analisa ekonomi Tahap I.
Formulasi Skala Laboratorium
Tahap II.
Aplikasi Formulasi Terpilih pada Skala Produksi Komersial
Tahap III.
[image:38.595.113.422.296.442.2]Optimasi Rangkaian Proses Produksi Makanan Ringan dengan Proses Produksi Bihun
18
terhadap biaya bahan baku juga dipertimbangkan untuk setiap 5 gram produk
hasil penggorengan agar sesuai dengan sasaran harga jual produk.
Tahap II - Aplikasi Formulasi Makanan Ringan Terpilih pada Skala Produksi
Komersial
Penelitian tahap kedua yang dilakukan adalah aplikasi formula terpilih pada
percobaan skala produksi komersial yaitu pada :
1) Ekstruder makanan ringan – 3rd generation snack
2) Ekstruder bihun yang terdiri dari 2 peralatan ekstruder yaitu :
§ Ekstruder strap
§ Ekstruder vermicelli
3) Kombinasi ekstruder bihun dengan Meat Crushing Machine atau Meat Chopper Extruder CZ 112.
Alat penggorengan yang dipakai adalah alat penggorengan kontinu untuk
mi instan dengan suhu goreng 150°C selama 3 menit. Pada tahap kedua ini,
diamati penilaian subyektif terhadap kerenyahan tekstur dan kapasitas produksi
yang memungkinkan dari ketiga proses di atas.
Tahap III-Optimasi Rangkaian Proses Produksi Makanan Ringan dengan
Proses Produksi Bihun
Pada penelitian tahap ketiga dilakukan optimasi rangkaian proses produksi
makanan ringan dengan menggunakan proses pengolahan bihun. Faktor yang
diamati pada proses optimasi ini adalah 1) pengaruh suhu adonan sebelum
adonan tersebut melalui proses ekstrusi dan 2) pengaruh alat MCE yang
dirangkai setelah proses ekstrusi bihun.
Suhu adonan panas adalah suhu adonan pada saat ke luar dari alat
pengaduk dengan uap yang bertekanan 2 kgf sebelum masuk ke dalam proses
ekstrusi. Kisaran suhu adonan panas adalah 80°C- 90°C. Suhu adonan 30°C
adalah suhu adonan setelah proses pengadukan dan penguapan bertekanan
Urutan proses pada penelitian ketiga dibagi menjadi 10 jenis urutan proses
(Gambar 5), sedangkan semua proses pengadukan bahan baku sampai dengan
proses penguapan (steaming) adalah parameter yang sama bagi semua urutan proses, demikian pula dengan parameter penggorengan kontinu. Parameter
proses produksi mulai dari proses pengadukan bahan baku sampai dengan
proses penggorengan dipaparkan pada Tabel 4. Angka I adalah untuk parameter
suhu adonan panas dan angka II untuk adonan yang sudah didinginkan sehingga
mencapai suhu 30°C. Huruf A adalah ekstruder strap, huruf B untuk ekstruder
vermicelli dan huruf C untuk MCE.
Parameter mutu produk jadi yang diamati meliputi kerenyahan tekstur hasil
goreng secara evaluasi sensori subyektif dan secara obyektif dengan alat Instron Texture Analyzer. Untuk setiap sampel dilakukan 16-18 kali pengukuran. Urutan proses yang mempunyai nilai max load kgf paling tinggi merupakan urutan proses yang menghasilkan tingkat kerenyahan paling baik (Lampiran 2).
Pengadukan bahan kering Pengadukan bahan basah Pengadukan& Steam bertekanan A.Extruder ‘Strap’ B.Extruder Vermicelli C.Meat Chopper Extruder A.Extruder ‘Strap’
B.Extruder Vermicelli C.Meat Chopper Extruder
II C I C
II AC
II BC Suhu Panas
Suhu =30 °C
[image:40.595.93.413.198.388.2]I BC I AC I A I B II A II B P E N G G O R E N G A N P R O D U K J A D I
20
Tabel 4. Parameter proses produksi Bihun yang dirangkai dengan Meat ChopperExtruder dan Penggorengan Kontinu
PROSES PARAMETER PROSES
1.Pengadukan bahan baku kering Lama pengadukan 2 menit
2.Pengadukan bahan baku basah Lama pengadukan 2 menit
3.Pengadukan bahan baku kering
dan basah
Lama pengadukan 2 menit
4. Penguapan (Steaming) Untuk 100 kg adonan ~ lama penguapan 11 menit
Tekanan penguapan 2 KgF
5. Ekstruder Strap Diameter lubang (nozzle) 3 mm Jumlah lubang 90
Kapasitas 450 kg/jam
6. Ekstruder Vermicelli Diameter lubang (nozzle) 3 mm Jumlah lubang 60
Kapasitas 450 kg/jam
7. Meat ChopperExtruder Diameter lubang (nozzle) 3 mm Jumlah lubang 60
Kapasitas 500 kg/jam
8. Penggorengan Kontinu Lama penggorengan 3 menit
Suhu minyak pada proses
penggorengan 150 °C
9. Separasi Minyak (Penirisan) Lama penirisan 1 menit
Hasil analisa kerenyahan tekstur akan menentukan parameter proses
terbaik yang akan dirangkai seperti ; 1) peranan proses aging atau pendinginan adonan sebelum proses ekstrusi dan 2) penentuan pemakaian jenis ekstruder
Pengamatan
Pada tahap penelitian pertama dilakukan percobaan dengan beberapa
formula yang bisa memenuhi persyaratan hasil akhir dengan rasa gurih dan asin,
harga bahan baku memenuhi biaya bahan baku, kadar protein akhir lebih besar
dari 10% dan kadar air adonan sesuai dengan kadar air yang diperlukan untuk
proses produksi pada ketiga jenis ekstruder yang akan dipakai. Analisa kadar
protein produk hasil goreng memakai metode analisa dengan referensi SNI
01-2891-1992 dan Pearson’s Chemical Analysis of Food 8th Churchill
Livingstone.
Formula dengan biaya bahan baku yang memenuhi persyaratan dan kadar
protein minimum 10% dipilih untuk dicoba pada peralatan ekstruder makanan
ringan generasi ketiga, ekstruder bihun dan ekstruder MCE. Pada hasil goreng
dilakukan analisa sensori terhadap kerenyahan tekstur dengan panelis terlatih
memakai metode ranking test dengan jumlah panelis terlatih minimum 5 orang
(Carpenter, Lyon dan Hasdell, 2000). Kuesioner uji ranking ada pada Lampiran
1.
Formula terbaik digunakan untuk mendapat rangkaian peralatan terbaik
dalam hal memproduksi makanan ringan yang paling renyah. Rangkaian yang
digunakan adalah ekstruder strap dan vermicelli pada bihun dan MCE. Suhu adonan saat masuk ke dalam ekstruder diamati dengan 2 jenis suhu, yaitu suhu
setelah adonan ke luar dari proses pemasakan dengan uap, 85-90°C dan suhu
adonan setelah ke luar dari pemasakan yang sudah diistirahatkan dan sudah
mencapai suhu maksimum 30°C. Demikian pula dibedakan antara adonan yang
melalui MCE dan tidak melalui ekstruder MCE. Hasil penggorengan 150°C
selama 3 menit dikumpulkan dan terhadap masing-masing produk dari jenis
urutan proses dan suhu adonan dilakukan analisa kerenyahan tekstur pada
Instron Texture Analyzer. Hasil dari Instron dengan nilai maximum load KgF terbesar merupakan produk yang paling renyah.
Untuk menguji ketahanan tekstur produk di dalam makanan berkuah
terhadap 4 produk yang mempunyai nilai kerenyahan terbaik, dilakukan
penaburan produk di atas makanan berkuah dengan suhu kuah 80-84°C. Produk
22
terpisah setelah itu dilakukan evaluasi tekstur subjektif setiap 30 detik Atribut
yang dinilai adalah kerenyahan serta kekenyalan tektur setelah paparan waktu
tertentu dan suhu tertentu.
Kerenyahan
Alat uji kerenyahan tekstur Instron mengukur dengan cara kompresi pada
produk pangan dengan probe. Yang diukur adalah kekerasan produk atau
hardness yang merupakan kebalikan dari kerenyahan. Nilai Kekerasan merupakan kekuatan puncak dari kompresi pertama dari produk. Kekerasan
tidak perlu terjadi pada titik kompresi yang paling dalam; walaupun biasanya
terjadi pada hampir semua produk (Gambar 6). Tidak semua produk bisa retak,
akan tetapi jika harus retak, titik keretakan terjadi pada plot yang pertama terjadi
puncak yang nyata selama kompresi pertama pada produk.
Uji kerenyahan tekstur secara subjektif terhadap tekstur dari kesepuluh
perlakuan uruta proses dilakukan memakai 5 orang panelis terlatih untuk
[image:43.595.75.430.384.605.2]berarti keras, angka 1 berarti agak keras, angka 2 berarti agak renyah, angka 3
berarti renyah, angka 4 berarti renyah sekali dan angka 5 merupakan nilai untuk
tekstur sangat renyah sekali. Untuk melihat relasi antara kerenyahan objektif
(kgf) dengan kerenyahan subjektif (skala hedonik 0-5), dibuat sebuah grafik
hubungan linier (Gambar 8).
Uji ketahanan kerenyahan tekstur setelah produk makanan ringan
ditaburkan pada mi instan berkuah dilakukan secara subjektif dengan
mengevaluasi kerenyahan tekstur secara berkala mulai dari waktu setelah tabur
1 menit, 2 menit, 3 menit dan setiap 30 detik berikutnya sampai tekstur produk
terasa lembut atau mudah larut dalam mulut (Lampiran 10).
Kadar air
Sebelum penimbangan bahan, cawan timbang dan tutupnya dipanaskan
dalam oven 1050C selama 30 menit lalu didinginkan dalam desikator dan
ditimbang sampai ketelitian 0,1 mg. Setelah itu, contoh sebanyak 2-5 gram
ditimbang pada botol timbang. Botol dan contoh dikeringkan dalam oven 105°C
selama 3 jam dan botol timbang dalam keadaan terbuka. Setelah itu, botol
timbang tertutup yang berisi sampel didinginkan dalam desikator selama 30-45
menit kemudian dilakukan penimbangan dengan ketelitian 0,1 mg. Penetapan
blanko juga dilakukan.
Rumus perhitungan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Kadar air = W1 – W2 X 100 % W1 – W0
Di mana :
W0 : berat botol timbang dan tutup (g)
W1 : berat botol timbang + tutup + contoh sebelum dipanaskan (g) W2 : berat botol timbang + tutup + contoh yang sudah dipanaskan (g) Blk : berat blanko (g)
Desikator yang digunakan berdiameter 30-40 cm di mana jumlah maksimum
24
Kadar abu
Sebelum penimbangan bahan, cawan pengabuan dipijarkan dalam furnace
650-6000C selama 1 jam lalu didinginkan 70-90 menit dalam desikator dan
ditimbang sampai bobot tetap.
Sampel makanan ringan digerus sampai berbentuk bubuk setelah itu
ditimbang pada neraca analitik (ketelitian 0.1 mm) di atas cawan pengabuan
sebanyak 3-5 gram.
Cawan pengabuan berisi contoh diletakkan di atas Bunsen listrik/hot plate
kemudian contoh dibakar sampai asap hilang. Setelah itu pengabuan dilanjutkan
dalam furnace 650-6000C sampai diperoleh abu bewarna putih keabuan. Cawan didinginkan sampai suhu 100-1100C dalam furnace yang telah dimatikan. Setelah itu diangkat dan didinginkan dalam desikator selama 70-90 menit, kemudian
ditimbang sampai ketelitian 0,1 mg. Setelah itu dilakukan penetapan blanko.
Diameter desikator yang digunakan adalah 70-90 cm dan jumlah maksimum
cawan dalam desikator 10-15.
Kadar abu = Ws – Wc - Blk X 100 % Ws – Wc
Di mana :
Wa : berat cawan dan abu (g) Wc : berat cawan kosong (g) Ws : berat cawan dan contoh (g) Blk : berat cawan blanko (g)
Nilai blanko diperhitungkan untuk mengkoreksi hasil analisis bila bobot
blanko berkurang dan diberi harga mutlak. Jika setelah pengeringan, bobot
blanko bertambah maka nilai blanko diabaikan.
Kadar Protein
Senyawa protein didestruksi dengan asam sulfat dan katalis selen menjadi
ammonium sulfat yang diuraikan menjadi amoniak pada saat destilasi
menggunakan NaOH. Amoniak yang dibebaskan diikat dengan asam borat
menghasilkan ammonium borat yang secara kuantitatif dititrasi dengan larutan
Contoh ditimbang 0.1 – 1 g tergantung pada jenis kadar protein contoh ke
dalam labu kjeldalh dalam lemari asam atau ruang yang dilengkapi dengan alat
destruksi dengan unit penghisap asap.
Campuran dipanaskan dalam pemanas listrik sampai mendidih dan
dilarutkan menjadi jernih kehijau-hijauan, setelah itu dibiarkan dingin, lalu
diencerkan dengan aquadest secukupnya.
Larutan NaOH 40% ditambahkan sebanyak 15 ml atau sampai campuran
menjadi basa (diperiksa dengan indikator PP). Larutan disuling selama 5 -10
menit atau sampai larutan destilat telah mencapai kira-kira 150 ml, dengan
penampang destilat adalah 50 ml larutan H3BO3 2% yang telah diberikan
beberapa tetes campuran indikator BCG + MM.
Ujung pendingin dibilas dengan aquadest kemudian larutan campuran
destilat dititar dengan larutan HCl 0.05 N.
Setelah itu dilakukan penetapan blanko dan standardisasi HCl 0.05 N.
Kadar Nitrogen (%) =
(V1 – V2) x N x 14.008
X 100 % W
Di mana :
V1 = Volume HCl 0.05 N untuk tirasi contoh (ml) V2 = Volume HCl 0.05 N untuk tirasi blanko (ml) N = Normalitas larutan HCl
W = berat cuplikan contoh (mg) 14.008 : Bobot atom nitrogen
26
Analisis data
Analisa data hasil pengukuran kerenyahan tekstur secara statistik dilakukan
secara deksriptif dan inference. Secara deskriptif dilakukan analisa umum rataan, ragam, standar deviasi, dengan selang kepercayaan 95% bagi mean. Secara
inference, dilakukan Analysis of Variance (Anova) dengan uji lanjut Duncan dan Kontras. Tujuan analisa statistik adalah untuk 1) mendapat ranking kerenyahan
tekstur dari kesepuluh proses yang telah dilakukan, 2) mengetahui apakah ada
perbedaan nilai respon, dalam hal ini nilai maximum load kgf atau tingkat kerenyahan di antara kesepuluh proses dan 3) mendapat proses yang terbaik
HASIL DAN PEMBAHASAN
Formulasi Produk Makanan Ringan
Dalam merancang formulasi digunakan peralatan laboratorium yang kurang
lebih mirip fungsi ekstruder dan dikombinasikan dengan pengadukan bahan baku
dan penguapan adonan bahan baku menggunakan panci bertekanan (pressure cooker). Formula makanan ringan terdiri dari daging ikan Lele halus, pati jagung, tepung terigu, tahu, tepung gaplek, minyak kelapa sawit, monosodium glutamat,
garam, sodium bikarbonat dan perisa makanan. Dari beberapa formula yang
telah dicoba pada skala laboratorium, dipilih 3 formula terbaik yang ditinjau dari
segi penggunaan maksimal ikan segar dan hubungannya dengan kandungan
protein produk akhir. Pertimbangan lainnya adalah kegurihan rasa dan
[image:48.595.111.411.395.613.2]kerenyahan tekstur produk hasil penggorengan (Tabel 5).
Tabel 5. Parameter penentu 3 jenis formula yang diproses dengan alat Meat Chopper Extruder skala laboratorium
Formula 1 Formula 2 Formula 3
Biaya bahan baku mentah per Kg (Rp)
6,765 5,895 6,619
Kandungan Ikan Segar (%) dalam total formula
37 25 35
Kadar Air adonan (%) sebelum proses steam
40.5 33.2 34.31
Kadar Protein (%) 14 9.5 12.7
Kerenyahan Tekstur (subjektif) setelah Goreng *)
+++ + ++
*)+ = Keras ++= Renyah +++= Sangat renyah
Dari pengamatan selama proses, semakin tinggi kadar daging ikan segar,
maka kadar air adonan semakin tinggi dan adonan menjadi lembek dan lengket.
Hal ini sangat berpengaruh pada proses ekstrusi karena adanya keterbatasan
28
sifat yang berubah menjadi lengket atau membal setelah terkena panas ataupun
pemampatan (kompresi); ada juga yang melawan gesekan pada ekstruder
pemasakan (Huber dalam Lusas dan Rooney, 2001). Selain itu energi yang
diperlukan untuk menurunkan kadar air dari 35-42% sehingga menjadi 20%
setelah pemasakan pada ekstrusi makanan ringan generasi ketiga diduga
memerlukan biaya energi yang relatif tinggi.
Biaya bahan baku untuk ketiga jenis formula masih memenuhi persyaratan
(Tabel 5) untuk hasil goreng 5 gram yang ditentukan pada dokumen persyaratan
proyek dalam dokumen protokol produk (Segall 2000, didalam Brody dan Lord
2000). Formula terpilih nomor 1 dengan jumlah ikan segar 37% sehingga kadar
protein produk akhir menjadi 14%.
Aplikasi Formulasi Terpilih pada Ekstruder Skala Komersial
Ekstruder makanan ringan yang digunakan merupakan golongan ekstruder
ulir tunggal yang tergolong pada medium shear atau gesekan medium karena ekstruder ini bersuhu tabung maksimal 110°C, suhu produk maksimum 79°C dan
tekanan tabung ulir (screw barrel) +/- 2000-4000 kPa (Hauck, 1993 dan Harper, 1979 di dalam Fellows, 2000). Kadar air adonan yang ideal untuk ekstruder ini
adalah maksimal 30% agar adonan masih berbentuk tepung lembab dan tidak
menggumpal. Adonan yang masih bersifat tepung free flow dapat disalurkan melalui screw conveyor untuk masuk ke dalam tabung ulir.
Pada formula terpilih, kadar air adonan 40.5% melebihi kadar air optimal
sehingga adonan menggumpal dan tidak bis