• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 - USD Repository"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS

PADA PASIEN YANG MENJALANI OPERASI APENDISITIS

AKUT DI RS PANTI RAPIH TAHUN 2009

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Yuma Pinandita Lingga Dewi NIM : 078114137

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS

PADA PASIEN YANG MENJALANI OPERASI APENDISITIS

AKUT DI RS PANTI RAPIH TAHUN 2009

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Yuma Pinandita Lingga Dewi NIM : 078114137

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

v

“SAYA + TUHAN = CUKUP”

(6)
(7)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kemuliaanNya yang telah Ia berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pasien yang Menjalani Operasi Apendisitis Akut di RS Panti Rapih tahun 2009” ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) dalam Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penulis sangat menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain berupa materil, waktu, tenaga, moral, maupun spiritual. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan, berkat dan kasihNya yang melimpah kepada penulis serta ujianNya sehingga membuat penulis semakin menyadari berbagai arti nilai kehidupan.

2. Ipang Djunarko, M. Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma dan sebagai dosen atas segala bimbingan dan pengajarannya selama penulis melakukan proses pembelajaran di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma.

(8)

viii

4. Yosef Wijoyo, M. Si., Apt. selaku dosen penguji atas dukungan, arahan, masukan, dan kritik yang diberikan kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi.

5. dr. Fenty, M. Kes., Sp. PK. selaku dosen penguji atas dukungan, arahan, masukan, dan kritik yang diberikan kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi.

6. Direktur Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

7. Kepala dan para staf bagian Instalasi Rekam Medis serta bagian Personalia Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta atas izin dan bantuan selama proses pengambilan data.

8. Dokter bedah, Kepala Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar Bedah yang telah bersedia untuk diwawancara dan berbagi informasi dengan penulis.

9. Seluruh pasien operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih pada tahun 2009 yang secara tidak langsung telah membantu dalam memberikan informasi dalam penelitian ini.

10. Segenap dosen pengajar dan staf sekretariat Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma atas segala bimbingan, pesan moral, pengajaran, dan bantuan selama penulis melakukan proses pembelajaran di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma.

(9)

ix

mencurahkan kasih sayang dan pengorbanannya demi memberikan yang terbaik di dalam seluruh hidup penulis.

12. Kakakku, Yuma Aswindra Brahmanda Putra atas dukungan dan suka duka yang dijalani bersama dalam setiap langkah hidup penulis.

13. Sahabat-sahabatku, Yosephine Dian Hendrawati, Lydia Valentina Guru, Sisilia Rani Thoma, dan teman-teman penulis baik di dalam maupun di luar Universitas Sanata Dharma yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas kasih, dukungan, dan ketersediaannya untuk saling berbagi suka duka dan berbagai informasi kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

14. Bennedictus Irwan Wahyu Kristanto, atas doa, cinta, semangat, dukungan, keceriaan, kebersamaan, dan pengorbanan yang diberikan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi dengan baik.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang juga turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi semua pihak yang membutuhkan.

(10)
(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………..………...…... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... HALAMAN PENGESAHAN ……… iii iv HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS vi PRAKATA ………..…………..………...……….. vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………..……...……… x

DAFTAR ISI ………....………...………... xi

DAFTAR TABEL ………..…..……….. xv

DAFTAR GAMBAR ………...……...………...…. xvii

DAFTAR LAMPIRAN ………..…..………...……...…… xviii

INTISARI ………..……...………..……….... xix

ABSTRACT ………..…..………...……….. xx

BAB I. PENGANTAR ………...……...………...……... 1

A. Latar Belakang ………...……...……..……..…………. 1

1. Permasalahan ………...…………...………... 4

2. Keaslian Penelitian………...………..…………... 5

3. Manfaat Penelitian ………..…...……...……….... 6

B. Tujuan Penelitian ………....………...………... 6

(12)

xii

2. Tujuan Khusus ………..…..……...………... 7

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ………..…..… 8

A.Antibiotika ………...………...……… 8

1. Definisi ………...…………..……….. 8

2. Prinsip Dasar Penggunaan Antibiotika ………..……….... 8

3. Mekanisme Kerja Antibiotika ………..………..…..…….. 9

B.Antibiotika Profilakis ………..………..………. 12

1. Definisi ………...……..……….. 12

2. Prinsip Pemberian Antibiotika Profilaksis pada Pasien Operasi Apendisitis Akut ………..……….. 12

3. Antibiotika Profilaksis Pilihan ………..…..………... 13

4. Mekanisme Kerja Antibiotika Profilaksis ………...……..…. 15

C. Apendisitis Akut ………..……....……….. 16

1. Definisi ………...………..………….………. 16

2. Klasifikasi ………...………...………. 17

3. Keluhan ………..………..……….. 18

4. Penatalaksanaan Terapi ………...…………..………. 18

D.Operasi Opendisitis Akut ………..………..………... 19

E. Keterangan Empiris ………...………...……….. 20

BAB III. METODE PENELITIAN ………..………..…… 21

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ………...…………..…… 21

B. Definisi Operasional ………..…………...………. 21

(13)

xiii

D. Bahan Penelitian ………....……… 23

E.Instrumen Penelitian ………...………. 23

F. Lokasi Penelitian ………..………..……… 24

G. Tata Cara Penelitian ………...……… 24

1. Tahap Persiapan ………..…..………. 24

2. Tahap Pengambilan Data ………..………. 24

3. Tahap Penyelesaian Data ………...…………..………….. 25

H. Tata Cara Analisis Hasil ………..………..……… 25

1. Jumlah Pasien Operasi Apendisitis Akut ………..…………. 25

2. Karakteristik Demografi Pasien ………..………..…………. 26

3. Jenis, Waktu, Cara, Dosis, dan Lama Pemberian Antibiotika Profilaksis ………..…...………. 27

4. Kesesuaian Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika Profilaksis …….... 28

5. Faktor-faktor yang Mendasari Pemilihan Antibiotika Profilaksis …... 29

I. Kesulitan Penelitian ……...………...………... 29

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………...……… 30

A.Jumlah Pasien ………...………..………...………. 30

B.Karakteristik Demografi Pasien ………..………... 31

1. Usia Pasien ………..………..………. 31

2. Jenis Kelamin Pasien ………...…………...…… 32

3. Keluhan Pasien ………...…………..………….. 33

4. Lama Keluhan Pasien ………...……….. 34

(14)

xiv

C.Jenis, Waktu, Cara, Dosis, dan Lama Pemberian Antibiotika Profilaksis 35

1. Jenis Antibiotika ………..……….. 35

2. Waktu Pemberian ………..………..………..………… 36

3. Cara Pemberian ………..………..….. 38

4. Dosis Pemberian ………... 39

5. Lama Pemberian ………..…….. 40

D.Kesesuaian Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika Profilaksis ………… 41

1. Jenis Antibiotika ………..………..……… 41

2. Waktu Pemberian ………..………..……….. 43

3. Cara Pemberian ………..………..……….. 44

4. Dosis Pemberian ………...………...………... 46

5. Lama Pemberian ………..……….. 47

E.Faktor-faktor yang Mendasari Pemilihan Antibiotika Profilaksis ………. 49

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………..……….. 57

A. Kesimpulan ... 57

B. Saran ………...……… 58

DAFTAR PUSTAKA ………..………... 59

LAMPIRAN ………...……… 65

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut kelompok usia di RS Panti Rapih tahun 2009 ………... 32 Tabel II. Distribusi jumlah pasien apendisitis akut menurut jenis kelamin

di RS Panti Rapih tahun 2009 ……… 33 Tabel III. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut jenis

keluhan di RS Panti Rapih tahun 2009 ……….. 34 Tabel IV. Distribusi jumlah pasien di RS Panti Rapih tahun 2009 menurut

lamanya keluhan sakit ………....………... 35 Tabel V. Distribusi antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis tunggal

pada pasien operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun

2009 ………... 36

Tabel VI. Distribusi waktu pemberian antibiotika sebelum operasi dan setelah operasi di RS Panti Rapih tahun 2009 ………... 37 Tabel VII. Distribusi cara pemberian antibiotika per oral dan intravena di

RS Panti Rapih tahun 2009 ……… 39 Tabel VIII. Distribusi dosis pemberian antibiotika profilakis di RS Panti

Rapih tahun 2009 ………... 40

(16)

xvi

Tabel X. Distribusi jumlah kasus menurut jenis antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih dan pedoman umum (WHO 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih tahun 2009 ………. 43 Tabel XI. Distribusi jumlah kasus menurut waktu pemberian antibiotika

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peran penisilin dalam menghambat enzim transpeptidase dari pembentukan cross-link peptida di peptidoglikan ……...…… 10 Gambar 2. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut

kelompok usia di RS Panti Rapih tahun 2009 ………...…... 32 Gambar 3. Distribusi jumlah pasien apendisitis akut menurut jenis kelamin di

RS Panti Rapih tahun 2009 ……….………...……. 33 Gambar 4. Distribusi jumlah kasus menurut cara pemberian antibiotika

profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih dan pedoman umum (WHO, 2009; Kanji, et al.; 2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih tahun 2009 ………….. 46 Gambar 5. Distribusi jumlah kasus menurut lama pemberian antibiotika

profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 ………...……….. 65 Lampiran 2. Hasil wawancara mendalam dengan dokter bedah I ………….... 71 Lampiran 3. Hasil wawancara mendalam dengan dokter bedah II …………... 72 Lampiran 4. Hasil wawancara mendalam dengan Kepala Instalasi Farmasi .... 74 Lampiran 5. Hasil wawancara mendalam dengan Wakil Kepala Kamar

Bedah ……… 78

Lampiran 6. Lembar kerja untuk pengumpulan data ……… 80 Lampiran 7. Pedoman wawancara mendalam dengan dokter bedah, Kepala

Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar Bedah RS Panti

(19)

xix

INTISARI

Peningkatan jumlah operasi apendisitis akut dan tingginya risiko infeksi setelah operasi, mengakibatkan pemberian antibiotika profilaksis menjadi penting. Oleh sebab itu, dibutuhkan ketepatan penggunaan antibiotika profilaksis untuk mencegah infeksi setelah operasi. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut, jumlah pasien, karakteristik demografinya, jenis antibiotika, waktu, cara, dosis, lama pemberian, kesesuaian dengan pedoman, maupun faktor-faktor yang mendasari pemilihannya.

Penelitian ini menggunakan metode non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif, bersifat retrospektif. Populasi yang digunakan 82 pasien, dengan kriteria inklusi menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 dan menggunakan antibiotika profilaksis. Kriteria eksklusinya adalah operasi apendisitis akut yang dilakukan bersama dengan operasi lainnya. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan jenis antibiotika profilaksis yang digunakan adalah seftriakson 70% (n= 82). Pemberian lebih dari 1 jam sebelum operasi 49%, cara pemberian intravena 91%, 54% pada dosis 2 gram, dan lama pemberian 1 hari 56%. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis di RS Panti Rapih belum sepenuhnya sesuai pedoman sehingga masih perlu diupayakan peningkatan ketaatan terhadap pedoman pengobatan yang telah disepakati.

(20)

xx

ABSTRACT

An increasing number of acute appendicitis surgery and the high risk of postoperative infection, resulting in the provision of prophylactic antibiotics to be important. Therefore, it takes accuracy of the use of prophylactic antibiotics so the postoperative infection can be prevented. This study aimed to get an idea of the selection and use of prophylactic antibiotics in patients with acute appendicitis operation, the following number of patients, demographic characteristics, type of antibiotic, time, method, dosage, duration of administration, compliance with the guidelines, as well as the factors underlying the selection.

This study uses non-experimental methods with retrospective descriptive evaluative designs. Population that used 82 patients, with the inclusion criteria who underwent surgery of acute appendicitis in Panti Rapih Hospital in 2009 and using prophylactic antibiotics. Exclusion criteria were acute appendicitis operation conducted jointly with other operations. The factors underlying the selection of antibiotic prophylaxis is obtained by conducting in-depth interviews.

The results showed type of antibiotic prophylaxis used were ceftriaxone 70% (n= 82). Giving more than 1 hour before surgery 49%, 91% intravenous route of administration, 54% at doses of 2 grams, and the duration of one day 56%. Based on these results, it can be concluded that the selection and use of prophylactic antibiotics in Panti Rapih Hospital has not been appropriate completely the guidelines so it is still necessary to improve adherence to treatment guidelines that have been agreed.

(21)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Antibiotika profilaksis pada suatu tindakan operasi mengacu pada pemberian atau administrasi agen antimikroba pada pasien yang menjalani prosedur operasi guna mencegah terjadinya infeksi setelah operasi. Pemberian antibiotika profilaksis ini diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat terjadinya infeksi setelah operasi. Salah satu prosedur operasi yang menggunakan antibiotika profilaksis untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi adalah operasi apendisitis akut.

Apendisitis akut merupakan penyebab terbanyak kasus nyeri akut abdomen baik di negara maju maupun negara berkembang. Penelitian yang dilakukan oleh Laal dan Mardanloo (2009) di RS Sina Tehran, Iran memperoleh hasil bahwa apendisitis akut sebagai penyebab terbanyak kasus nyeri akut abdomen, yaitu sebesar 56,8% (n= 139). Sedangkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh Al-Mulhim (2006) memperoleh hasil bahwa operasi apendisitis akut merupakan operasi darurat abdominal yang paling banyak dilakukan, yaitu sebesar 47,4% (n= 1096).

(22)

bahwa operasi apendisitis akut paling banyak dilakukan pada pasien dengan rentang usia 17-64 tahun, yaitu sebesar 82,18% dengan rasio insiden apendisitis hampir sama antara laki-laki dan perempuan yaitu 1,1:1. Penelitian lain yang dilakukan oleh Junias (2009) memperoleh hasil bahwa terdapat 51 pasien apendisitis yang telah melakukan operasi apendisitis akut di RS Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Frekuensi kejadian dari 51 subyek yang diteliti adalah pada laki-laki sebesar 23 orang (45,1%) dan pada perempuan sebesar 28 orang (54,9%).

Jumlah operasi apendistis akut pun meningkat setiap tahunnya di negara-negara berkembang. Data yang diperoleh dari Departamen Kesehatan RI menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi apendisitis akut dari 6% menjadi 9% pada tahun 1999-2001 (Depkes RI, 2002). Sedangkan dari penelitian yang dilakukan oleh Walker dan Segal (1995) diperoleh hasil bahwa kasus operasi apendisitis mengalami peningkatan dari 8,2 menjadi 9,5 per 100.000 penduduk di Afrika Selatan. Hal yang sama juga terjadi di Lautech Teaching Hospital Nigeria, pada tahun 2003 operasi apendisitis akut berjumlah 36 kasus dan meningkat pada tahun 2008 menjadi 67 kasus. Peningkatan jumlah operasi apendisitis akut dapat menjadi hal yang mengkhawatirkan sebab kemungkinan timbulnya infeksi setelah operasi pun akan ikut meningkat (WHO, 2009).

(23)

(plasebo) dengan pasien yang menerima antibiotika profilaksis. Kejadian infeksi luka operasi pada kelompok plasebo adalah 7% (n= 526) dibandingkan dengan 2% (n= 470) pada kelompok pasien yang menerima antibiotika profilaksis(Bauer, et al., 1989). Hal ini menunjukkan penggunaan antibiotika profilaksis secara

signifikan dapat mengurangi kejadian infeksi luka operasi.

Infeksi luka operasi atau Surgical Site Infection (SSI) merupakan salah satu infeksi setelah operasi yang paling banyak terjadi setelah prosedur operasi, termasuk operasi apendisitis akut. Sekitar 20% pasien yang menjalani operasi darurat abdominal dilaporkan mengalami infeksi luka operasi (Auerbach, 2001). Sedangkan pada operasi apendisitis akut sendiri sebesar 8,41% (n= 2069) pasien mengalami infeksi luka operasi (Li, et al., 2010).

Pada umumnya, infeksi luka setelah operasi apendisitis disebabkan oleh bakteri anaerob dan bakteri gram negatif (Laterre, et al., 2006 dan ASHP, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang menjalani operasi apendisitis akut rentan terhadap infeksi oleh karena hadirnya mikrorganisme tersebut. Oleh sebab itu, regimen pemberian antibiotika profilaksis yang rasional dan pemilihan antibiotika profilaksis yang tepat sangatlah diperlukan untuk melawan bakteri-bakteri patogen penyebab infeksi sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi setelah operasi apendisitis akut.

(24)

profilaksis dalam hal jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotikanya harus tepat dan didukung oleh pedoman atau guideline yang telah disepakati bersama (Kanji and Devlin, 2008).

Peningkatan jumlah operasi apendisitis akut pada beberapa tahun terakhir dan risiko infeksi setelah operasi yang cukup tinggi pada pasien yang tidak menerima antibiotika profilaksis, mengakibatkan penggunaan antibiotika profilaksis menjadi hal yang sangat penting. Penggunaan antibiotika profilaksis yang tepat dapat melindungi pasien dari terjadinya infeksi setelah operasi (WHO, 2009). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pasien yang Menjalani Operasi Apendisitis Akut di RS Panti Rapih tahun 2009”untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika profilaksis.

Mengingat RS Panti Rapih merupakan salah satu rumah sakit swasta terbesar di Yogyakarta dan sebagai rumah sakit rujukan, maka kemungkinan besar akan banyak pasien yang berobat di RS Panti Rapih, sehingga dengan jumlah pasien yang banyak dapat memberikan gambaran yang cukup lengkap dan jelas mengenai penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut.

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat disusun permasalahan sebagai berikut:

(25)

b. Seperti apa karakterisitik demografi pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan?

c. Seperti apa pola penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut terkait dengan jenis antibiotika, waktu, cara, dosis dan lama pemberiannya?

d. Apakah penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 sudah sesuai dengan Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih, WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin, 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999) ditinjau dari jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara, dosis dan lama pemberian antibiotika profilaksis?

e. Faktor-faktor apa yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis bagi pasien yang menjalani operasi apendisitis akut RS Panti Rapih tahun 2009?

2. Keaslian Penelitian

Sejauh yang peneliti ketahui, penelitian berjudul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pasien yang Menjalani Operasi Apendisitis Akut di RS Panti Rapih tahun 2009” belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan yang berhubungan dengan penggunaan antibiotika pada pasien operasi apendisitis akut antara lain:

(26)

b. “Studi Penggunaan Obat Pada Penderita Apendisitis Akut Di Bagian Bedah RSU Dr. Saiful Anwar Malang” oleh Fatmawati tahun 2007.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas dalam hal lokasi penelitian, periode pengambilan data, dan subjek penelitian. Subjek penelitian pada penelitian yang dilakukan oleh Imelda (2008) adalah pasien operasi apendisitis, baik apendisitis akut maupun apendisitis kronis, yang menerima antibiotika profilaksis dan antibiotika terapi di RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2006. Sedangkan subjek penelitian pada penelitian yang dilakukan oleh Fatmawati (2007) adalah pasien operasi apendisitis akut yang menggunakan antibiotika dan analgetika di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2005.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis. Menambah wawasan dan menjadi salah satu sumber informasi dalam pemilihan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut.

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kualitas terapi dalam pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis secara rasional pada operasi apendisitis akut.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

(27)

2. Tujuan Khusus

Untuk mencapai tujuan umum maka penelitian ini secara khusus ditujukan untuk:

a. menghitung jumlah pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih pada tahun 2009.

b. mengidentifikasi karakterisitik demografi pasien operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan.

c. mengidentifikasi jenis antibiotika profilaksis yang digunakan, berikut waktu, cara, dosis dan lama pemberiannya.

d. menilai kesesuaian jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis yang digunakan oleh pasien operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 dengan Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih, WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in

Surgery (Kanji and Devlin, 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP,

1999).

(28)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Antibiotika

1. Definisi

Antibiotika adalah zat atau senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya (BPOM, 2008). Selain berasal dari makhluk hidup, antibiotika juga dapat diproduksi secara sintetis.

2. Prinsip dasar penggunaan antibiotika

Prinsip umum penggunaan antibiotika sama seperti obat-obat lainnya, yaitu dapat memenuhi kriteria sebagai berikut: antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi penyakit, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat lama pemberian, mutu terjamin dan aman, serta antibiotika tersedia setap saat dengan harga yang terjangkau (WHO, 2001).

(29)

kepekaan kuman. Pemberian antibiotika tanpa pemeriksaan mikrobiologis dapat didasarkan pada educated guess, yaitu pemilihan antibiotika didasarkan pada jenis mikroorganisme yang menjadi penyebab tersering suatu infeksi. Keadaan tubuh penderita perlu dipertimbangkan untuk dapat memilih antibiotika yang tepat. Faktor yang perlu dipertimbangkan pada pemilihan antibiotika yaitu usia, wanita hamil atau menyusui, alergi, fungsi ginjal, dan fungsi hati. Hal ini berpengaruh pada jenis dan dosis antibiotika yang akan digunakan (BPOM, 2008).

3. Mekanisme kerja antibiotika

Antibiotika bekerja dalam tubuh manusia dengan mekanisme sebagai berikut:

a. Menghambat sintetis dinding sel bakteri

Sintesis dinding sel bakteri dihambat dengan cara menghambat cross-linking peptidoglikan yang merupakan reaksi terakhir dalam sintesis dinding

sel bakteri (Graumlich, 2003). Antibiotika yang bekerja dengan mekanisme ini adalah antibiotika-antibiotika golongan β–laktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem). Antibiotika golongan β–laktam secara struktural mirip dengan monomer peptida pada peptidoglikan. Monomer peptida ini berikatan dengan enzim transpeptidase untuk membentuk cross-linking peptidoglikan sehingga dapat menguatkan dinding sel bakteri. Namun dengan hadirnya antibiotika β–laktam, ikatan antara enzim transpeptidase dengan monomer peptida terhambat karena enzim transpeptidase mengikat antibiotika

(30)

sehingga dinding sel bakteri lemah, bakteri lisis, dan kemudian mati (Gordon, 2009 dan Woodin and Moririson, 1994).

Gambar 1. Peran penisilin dalam menghambat enzim transpeptidase dari pembentukan cross-link peptida di peptidoglikan (Kaiser, 2009)

Mekanisme lain untuk menghambat sintetis dinding bakteri sel adalah dengan cara menghambat pertumbuhan peptidoglikan. Antibiotika yang bekerja dengan mekanisme ini adalah vankomisin. Vankomisin mengikat erat dan mencegah penggabungan prekursor sub-unit dari dinding sel, sehingga prekusor tidak dapat bergabung ke dalam matriks peptidoglikan. Proses ini menyebabkan sel lisis dan mati (Woodin and Moririson, 1994).

b. Menghambat sintetis protein

(31)

mekanisme ini menyebabkan sintesis protein terhambat secara reversibel, kecuali pada aminoglikosida. Aminoglikosida mengikat ribosom 30S secara ireversibel yang kemudian menyebabkan sintesis protein bakteri menjadi terhambat (Gordon, 2009).

c. Menghambat sintetis asam nukleat

Antibiotika yang bekerja pada mekanisme ini adalah golongan rifampin dan kuinolon. Rifampin berikatan dengan RNA polimerase bakteri sehingga menghambat sintesis mRNA (proses transkipsi). Sedangkan kuinolon berikatan dengan DNA girase yang berfungsi memotong untai DNA sehingga mencegah terjadinya superkoil, menguraikan DNA, dan menghentikan replikasi DNA (Graumlich, 2003).

d. Menghambat metabolisme asam folat

(32)

B. Antibiotika Profilaksis

1. Definisi

Antibiotika profilaksis yaitu antibiotika yang diberikan sebelum terjadi kontaminasi atau infeksi. Tujuan pemberian antibiotika profilaksis pada prosedur operasi adalah untuk mencegah infeksi pada lokasi operasi setelah operasi, mencegah morbiditas dan mortalitas akibat terjadinya infeksi, mengurangi durasi dan biaya perawatan selama di rumah sakit (Kanji and Devlin, 2008 dan ASHP, 1999).

2. Prinsip pemberian antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis

akut

Untuk mencapai tujuan penggunaan antibiotika profilaksis yang diinginkan, maka antibiotika profilaksis yang diberikan pada pasien operasi apendisitis akut harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. aktivitas antibiotika harus disesuaikan dengan kemungkinan terbesar mikroorganisme patogen yang menginfeksi luka atau lokasi operasi (sefositin, sefotetan, kombinasi ampisilin dengan metronidasol, atau kombinasi gentamisin dengan metronidasol)

b. agen antimikroba harus dapat dihantarkan ke lokasi operasi 1 jam sebelum operasi dimulai

(33)

d. dosis kedua antibiotika profilaksis diperlukan jika operasi berlangsung lebih dari 4 jam atau pasien kehilangan 1500 ml darah selama proses operasi berlangsung

e. antibiotika profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam atau 1 hari setelah operasi

(WHO, 2009, Kanji and Devlin, 2008, dan ASHP, 1999)

3. Antibiotika profilaksis pilihan

Pemberian antibiotika profilaksis sangat direkomendasikan pada prosedur operasi apendisitis akut (SIGN, 2008). Risiko tingkat infeksi luka pada operasi apendisitis akut dapat mencapai 7-30% sehingga penggunaan antibiotika profilaksis sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi (ASHP, 1999, Bauer, et al., 1989, dan Busuttil, et al., 1981). Pemilihan antibiotika profilaksis ini bergantung pada bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada prosedur operasi, keamanan, efikasi, adanya dukungan pedoman atau guideline dalam penggunaan suatu antibiotika profilaksis, dan biaya yang

dikeluarkan (Kanji and Devlin, 2008).

Sefalosporin generasi kedua (sefositin, sefotetan) merupakan golongan antibiotika yang paling banyak direkomendasikan sebagai profilaksis pada operasi apendisitis akut. Kombinasi gentamisin dan metronidasol juga dapat menjadi pilihan sebagai profilaksis untuk pasien operasi apendisitis akut. Selain itu, kombinasi ini dapat digunakan bagi pasien yang mengalami alergi terhadap

antibiotika golongan β–laktam (WHO, 2009, Kanji and Devlin, 2008, dan ASHP,

(34)

pemberian intravena (IV) untuk memastikan kadar antibiotika yang cukup pada lokasi bedah (Kanji and Devlin, 2008 dan ASHP, 1999).

Dosis antibiotika profilaksis golongan sefalosporin yang diberikan pada pasien operasi apendisitis akut adalah sebesar 1-2 gram. Sedangkan gentamisin diberikan pada dosis 1,5-2 mg / kgBB dan metronidasol diberikan pada dosis 500 mg. Penambahan dosis antibiotika profilaksis dalam prosedur operasi diperlukan jika operasi berlangsung lebih dari 4 jam atau pasien kehilangan 1500 ml darah selama proses operasi berlangsung (Kanji and Devlin, 2008, Kernodle and Kaiser, 2000, dan ASHP, 1999). Antibiotika profilakis dihentikan pemberiannya 24 jam atau 1 hari setelah operasi dilakukan (WHO, 2009). Namun, pemberian antibiotika profilaksis dapat dilanjutkan pada pasien yang ditemukan perforasi atau gangraen (mikroperforasi) pada apendiksnya (Kanji and Devlin, 2008).

Infeksi pada luka operasi merupakan infeksi yang sering terjadi setelah melakukan operasi apendisitis. Tingkat infeksi luka operasi pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut dapat mencapai 7- 30% (ASHP, 1999, Bauer, et al., 1989 dan Busuttil, et al., 1981). Tanda-tanda klinis luka operasi apendisitis

(35)

4. Mekanisme kerja antibiotika profilaksis

Suatu antibiotika idealnya mempunyai aktivitas bakterisidal atau membunuh bakteri untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi. Antibiotika yang mempunyai aktivitas bakterisidal diantaranya adalah penisilin, sefalosporin, monobaktam, kuinolon, dan vankomisin (James and Martinez, 2008). Pada operasi apendisitis akut, Bacteroides fragilis (bakteri anaerob) dan Escherichia coli (bakteri gram negatif) merupakan jenis bakteri yang paling banyak ditemukan

pada kultur infeksi luka setelah operasi (Laterre, et al., 2006 dan ASHP, 1999). Sefalosporin generasi kedua (sefositin, sefotetan) bekerja sangat aktif dalam membunuh bakteri gram negatif dan bakteri anaerob tersebut. Oleh karena itu, sefalosporin generasi kedua banyak direkomendasikan sebagai antibiotika profilaksis pada operasi apendisitis akut (WHO, 2009, Kanji and Devlin, 2008, dan ASHP, 1999). Antibiotika ini menghambat cross-linking peptidoglikan sehingga dinding sel bakteri menjadi lemah, bakteri lisis, dan kemudian mati (Woodin and Moririson, 1994 dan Kalman and Barriere, 1990).

Agen lain yang dapat digunakan sebagai profilaksis pada operasi apendisitis akut adalah kombinasi gentamisin dengan metronidasol. Gentamisin merupakan suatu aminoglikosida yang mempunyai aktivitas bakterisidal dengan mekanisme pengikatan ribosom 30S secara ireversibel sehingga mengakibatkan sintesis protein bakteri menjadi terhambat. Gentamisin memiliki aktifitas terhadap bakteri gram negatif, seperti Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus, Acinetobacter, dan Enterobacter. Selain itu gentamisin juga dapat melawan

(36)

besar protozoa. Mekanismenya dalam melawan bakteri anaerob adalah dengan menembus atau berdifusi ke dalam sel bakteri kemudian metronidasol mengalami reduksi menjadi suatu bentuk radikal bebas. Radikal bebas metronidasol ini mengakibatkan kerusakan DNA bakteri (Gordon, 2009 dan Graumlich, 2003).

C. Apendisitis Akut

1. Definisi

Apendisitis akut merupakan peradangan akut yang disertai rasa nyeri pada apendiks dan menjadi penyebab tertinggi kasus nyeri akut abdomen (Laal and Mardanloo, 2009 dan McCollough and Sharieff, 2003). Setiap orang dapat menderita apendisitis akut, akan tetapi penyakit ini lebih sering terjadi pada individu-individu yang berusia 10-30 tahun (NDDIC, 2007). Baik pria maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk menderita apendisitis akut, dengan perbandingan jumlah antara pasien pria dan wanita sebanding (Craig and Santacrose, 2006).

(37)

2. Klasifikasi

Berdasarkan hispatologinya apendisitis diklasifikasikan menjadi: a. Apendisitis akut:

1). Apendisitis akut sederhana

Peradangan yang terjadi pada apendiks. 2). Apendisitis akut supuratif

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai dengan edema, bakteri normal yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks.

3). Apendisitis akut gangrenosa

Bertambahnya tekanan intraluminal yang terus menerus mengakibatkan gangguan fungsi peredaran darah setempat, sehingga membentuk suatu infark yang disebabkan oleh pasokan darah yang tidak memadai. Akibatnya, apendiks menjadi berwarna merah tua dan padat dengan area nekrosis berwarna hitam.

b. Apendisitis perforasi

Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren sehingga menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya peritonitis umum.

c. Apendisitis kronis

Apendisitis kronis adalah peradangan apendiks selama jangka waktu tertentu. Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari tiga minggu.

(38)

3. Keluhan

Nyeri perut merupakan keluhan utama yang dirasakan oleh seseorang yang menderita apendisitis akut. Pada awalnya nyeri dapat terjadi pada perut bagian atas, kemudian nyeri bermigrasi perlahan dan melokalisasi di perut bagian kanan bawah (Old, Dusing, Yap, and Dirks, 2005). Rasa nyeri yang dirasakan pasien dapat berupa rasa nyeri yang ringan hingga berat dan rasa nyeri ini dapat bertambah hebat apabila pasien bergerak. Selain rasa nyeri di bagian perut, keluhan lain yang biasa dirasakan oleh penderita apendisitis akut adalah demam ringan (37,50-38,50C), mual, muntah, diare, konstipasi, dan kadang juga disertai dengan hilangnya nafsu makan (Ishikawa, 2003 dan Kozar and Roslyn, 2003).

4. Penatalaksanaan terapi

(39)

D. Operasi Apendisitis Akut

Operasi apendisitis merupakan penanganan apendisitis yang dilakukan dengan jalan operasi untuk mengangkat atau membuang apendiks (Kozar and Roslyn, 2003). Operasi apendisitis akut harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih buruk. Hal ini dikarenakan apendisitis akut mempunyai risiko untuk berkembang menjadi apendisitis perforasi pada setiap 12 jam berikutnya setelah timbulnya gejala (Busch, et al., 2011, Papaziogas, et al., 2009, dan Ditillo, et al., 2006). Perforasi atau pecahnya apendiks ini dapat memungkinkan terjadinya komplikasi seperti peritonitis umum atau abses.

Operasi pada kasus apendisitis akut dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu operasi apendisitis akut terbuka dan laparaskopi apendisitis. Operasi apendisitis akut terbuka maupun laparaskopi apendisitis menggunakan antibiotika profilaksis pada 1 jam sebelum operasi dimulai. Antibiotika profilaksis yang diberikan dapat berupa sefositin atau sefotetan dalam dosis 1-2 gram. Sedangkan bagi pasien yang

mengalami alergi terhadap antibiotika golongan β-laktam dapat diberikan

kombinasi gentamisin dan metronidasol, masing-masing dalam dosis 1,5-2 mg/kgBB dan 500 mg (Kanji and Devlin, 2008, Omran, 2008, dan Kernodle and Kaiser, 2000).

(40)

membuat 1 hingga 3 sayatan kecil di perut. Sebuah pipa semprot dimasukkan ke dalam salah satu celah, dan gas CO2 memompa abdomen. Kemudian sebuah laparascope dimasukkan ke celah yang lain. Peralatan bedah ditempatkan di

bagian terbuka (celah) yang kecil dan digunakan untuk mengangkat apendiks (Kozar and Roslyn, 2003).

E. Keterangan Empiris

(41)

21

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian non-eksperimental sebab observasinya dilakukan secara apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi serta perlakuan dari peneliti (Notoatmodjo, 2010).Rancangan penelitian termasuk dalam deskriptif evaluatif karenabertujuanuntukmengumpulkan informasi aktual secara rinci sehingga dapat melukiskan fakta atau karakteristik populasi yang ada, mengidentifikasi masalah yang terjadi, kemudian melakukan evaluasi atau penilaian dari data yang telah dikumpulkan (Hasan, 2002). Penelitian ini bersifat retrospektif, yaitu pengambilan data dilakukan dengan melakukan penelusuran data masa lalu pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih pada catatan rekam medis yang diperoleh dari Instalasi Rekam Medis RS Panti Rapih.

B. Definisi Operasional

1. Pasien adalah seseorang yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009, menggunakan antibiotika profilaksis dan memiliki data rekam medis yang lengkap.

(42)

3. Antibiotika profilaksis yang dimaksud yaitu antibiotika yang digunakan sebelum maupun sesudah operasi apendisitis akut yang bertujuan untuk mencegah infeksi setelah operasi.

4. Catatan rekam medik adalah catatan pengobatan dan perawatan pasien yang memuat data nomor rekam medik, usia, jenis kelamin, diagnosis sebelum dan sesudah operasi, tanggal operasi, jam operasi, jenis tindakan operasi, data laboratorium, instruksi dokter, catatan keperawatan, catatan penggunaan obat, lama keperawatan, riwayat pengobatan yang diterima, dan pemeriksaan fisik pasien seperti tekanan darah, nadi, dan suhu badan.

5. Pedoman wawancara adalah susunan garis-garis besar pertanyaan yang digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan wawancara mendalam.

6. Jenis antibiotika profilaksis yang dimaksud yaitu macam antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis, misalnya sefositin, sefotetan, kombinasi gentamisin dan metronidasol.

7. Waktu pemberian adalah berapa jam pemberian antibiotika profilaksis sebelum operasi atau setelah operasi.

8. Cara pemberian adalah intravena atau per oral.

9. Lama pemberian yaitu jumlah hari dimana pasien mendapatkan antibiotika profilaksis.

10.Keluhan pasien adalah segala sesuatu yang dirasakan pasien terkait dengan timbulnya gejala apendisitis akut.

(43)

12. Lama perawatan pasien yaitu jumlah hari dimana pasien dirawat, dihitung mulai dari pasien masuk ke rumah sakit sampai dengan keluar atau pulang dari rumah sakit.

C. Subyek Penelitian

Subjek penelitian yang termasuk dalam kriteria inklusi adalah pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 dan menggunakan antibiotika profilaksis. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah operasi apendisitis akut yang dilakukan bersama dengan prosedur operasi lainnya.

D.Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah:

Data yang terdapat dalam kartu rekam medik pasien di RS Panti Rapih tahun 2009, resep, kartu permintaan obat dari bangsal, dan kartu permintaan obat dari kamar bedah.

E.Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan adalah: 1. Lembar kerja untuk pengumpulan data.

(44)

F. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih, Jalan Cik Ditiro No.30, Yogyakarta.

G. Tata Cara Penelitian

Jalannya penelitian meliputi 3 tahap yaitu tahap persiapan, tahap pengambilan data, dan tahap penyelesaian data.

1. Tahap persiapan

Tahap persiapan dimulai dengan studi pustaka mengenai penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut dan menentukan permasalahan serta cara menganalisis masalah tersebut. Selanjutnya dilakukan pencarian informasi mengenai kemungkinan dapat tidaknya melakukan penelitian di RS Panti Rapih dan mengurus perizinan untuk mendapatkan izin penelitian.

2. Tahap pengambilan data

(45)

jenis kelamin, keluhan, riwayat penyakit, data laboratorium, jenis antibiotika profilaksis yang digunakan, waktu, cara, dosis, dan lama pemberiannya.

3. Tahap penyelesaian data

Data yang telah diperoleh dikelompokkan berdasarkan karakteristik demografi pasien (usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan pasien), pola penggunaan antibiotika profilaksis (jenis antibiotika, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian), serta kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksisnya. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis disajikan dalam bentuk narasi dengan menyertakan testimoni yang mendukung.

H. Tata Cara Analisis Hasil

Data yang telah diperoleh dievaluasi menggunakan Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih dan pedoman umum, yaitu WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin, 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999). Kemudian data disajikan dalam bentuk tabel dan atau diagram.

Tata cara analisis sebagai berikut:

1. Jumlah pasien operasi apendisitis akut

(46)

2. Karakteristik demografi pasien

Analisis data karakteristik demografi pasien dilakukan berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan pasien.

a. Distribusi pasien pada tiap kelompok usia. Kelompok usia pasien dibagi secara rasional menjadi 7 kelompok dengan menggunakan rumus Struges (Budiarto, 2001), yaitu: kelompok I (8-16 tahun), II (17-25 tahun), III (26-34 tahun), IV (35-43 tahun), V (44-52 tahun), VI (53-61 tahun), dan VII (62-70 tahun). Persentase masing-masing kelompok umur dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.

b. Distribusi pasien pada tiap jenis kelamin. Jenis kelamin pasien terdiri dari laki-laki dan perempuan. Persentase masing-masing jenis kelamin dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.

c. Distribusi pasien pada tiap keluhan apendisitis akut. Keluhan apendisitis akut terdiri dari nyeri perut di bagian kanan bawah, demam (37,40C - 38,50C), mual, muntah, dan diare. Persentase masing-masing keluhan apendisitis akut dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.

(47)

akut dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.

e. Rata-rata lama perawatan pasien. Lama perawatan pasien dihitung dari tanggal pasien masuk ke rumah sakit sampai dengan tanggal pasien keluar atau pulang dari rumah sakit. Rata-rata lama perawatan dihitung dengan cara menghitung jumlah keseluruhan lama perawatan pasien operasi apendisitis akut kemudian dibagi dengan jumlah total pasien operasi apendisitis akut (n= 82).

3. Jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis

Analisis data dilakukan dengan cara mengelompokkan berdasarkan jenis antibiotika, waktu, cara dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis.

a. Jenis antibiotika. Persentase masing-masing jenis antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap jenis antibiotika profilaksis dibagi dengan jumlah total kasus (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.

b. Waktu pemberian. Waktu pemberian antibiotika profilaksis terdiri dari

≤ 1 jam sebelum operasi, > 1 jam sebelum operasi, dan setelah operasi. Persentase

masing-masing kelompok waktu pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok dibagi dengan jumlah total kasus (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.

(48)

d. Dosis pemberian. Dosis pemberian antibiotika profilaksis ditulis berdasarkan besarnya dosis tiap jenis antibiotika profilaksis yang tercantum pada lembar rekam medis. Persentase masing-masing dosis pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap dosis pemberian dibagi dengan jumlah total kasus (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.

e. Lama pemberian. Lama pemberian antibiotika profilaksis terdiri dari pemberian 1 hari dan > 1 hari. Persentase masing-masing kelompok lama pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok dibagi dengan jumlah total kasus (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.

4. Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis

Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis ditinjau berdasarkan pada jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis yang dibandingkan dengan Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih, WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin, 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999).

(49)

cara dosis, dan lama pemberiannya, dibagi dengan jumlah total kasus (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.

5. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis

Analisis faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap dokter bedah yang menggunakan antibiotika profilaksis, Kepala Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar Bedah. Alasan pemilihan antibiotika profilaksis disajikan dalam bentuk narasi dengan menyertakan testimoni yang mendukung.

I. Kesulitan Penelitian

(50)

30

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jumlah Pasien

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 94 pasien yang menjalani operasi apendistis akut pada tahun 2009 di RS Panti Rapih. Dari 94 pasien tersebut, sebanyak 82 pasien menerima antibiotika profilaksis dan 12 pasien tidak menerima antibiotika profilaksis. Berdasarkan kondisi setelah operasinya, dari 12 pasien yang tidak menerima antibiotika profilaksis terdapat 50% pasien yang luka operasinya tidak baik. Pasien mengeluarkan cairan atau nanah di daerah sayatannya dengan disertai dengan rasa nyeri. Sedangkan dari 82 pasien yang menerima antibiotika profilaksis hanya terdapat 9% pasien yang mengeluarkan cairan atau nanah dengan disertai rasa nyeri pada daerah sayatan.

(51)

B.Karakteristik Demografi Pasien

1. Usia pasien

Hasil penelitian menunjukkan 82 pasien yang menjalani operasi apendisitis akut berusia antara 8 hingga 68 tahun. Dari 82 pasien tersebut, usia pasien operasi apendisitis akut dikategorikan menjadi 7 kelompok usia dengan menggunakan rumus Struges (Budiarto, 2001), yaitu: kelompok I (8-16 tahun), II (17-25 tahun), III (26-34 tahun), IV (35-43 tahun), V (44-52 tahun), VI (53-61 tahun), dan VII (62-70 tahun). Dari 7 kelompok tersebut, kelompok II (17-25 tahun) merupakan kelompok dengan jumlah pasien terbesar, yaitu 50% (n= 82). Pada urutan kedua terdapat kelompok III (26-34 tahun) sebesar 19% dan di urutan ketiga terdapat kelompok I (8-16 tahun) sebesar 15%, seperti terlihat pada tabel II dan gambar 2.

Dari kelompok II, dapat diketahui bahwa usia 22 tahun merupakan usia yang paling banyak muncul. Hal ini sesuai dengan National Digestive Diseases Information Clearinghouse (2007) yang menjelaskan bahwa apendisitis akut lebih

(52)

Tabel I. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut kelompok usia di RS Panti Rapih tahun 2009

Kelompok Usia Jumlah Pasien % (n= 82)

Gambar 2. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut kelompok usia di RS Panti Rapih tahun 2009

2. Jenis kelamin pasien

(53)

45% 55%

Gambar 3. Distribusi jumlah pasien apendisitis akut menurut jenis kelamin di RS Panti Rapih tahun 2009

Perempuan

Laki-laki Tabel II. Distribusi jumlah pasien apendisitis akut menurut jenis kelamin

di RS Panti Rapih tahun 2009

Jenis Kelamin Jumlah Pasien % (n= 82)

Wanita 37 45%

Laki-laki 45 55%

3. Keluhan pasien

Keluhan yang dirasakan pasien terkait dengan timbulnya gejala apendisitis akut sangat bervariasi. Pada penelitian ini, keluhan yang dirasakan adalah nyeri perut di bagian kanan bawah, demam (37,40C - 38,50C), mual, muntah, dan diare. Keluhan dari pasien ini sesuai dengan gejala-gejala klinis ketika seseorang menderita apendisitis akut, yaitu pasien mengalami nyeri di bagian perut (terutama perut bagian kanan bawah), demam ringan (37,50C - 38,50C), mual, muntah, diare, dan terkadang disertai dengan hilangnya nafsu makan (Ishikawa, 2003 dan Kozar and Roslyn, 2003).

(54)

menimbulkan rasa sakit maka pasien akan menderita rasa nyeri di daerah tersebut (Kozar and Roslyn, 2003).

Tabel III. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut jenis keluhan di RS Panti Rapih tahun 2009

No. Jenis Keluhan Jumlah Pasien % (n= 82)

(55)

Tabel IV. Distribusi jumlah pasien di RS Panti Rapih tahun 2009 menurut lamanya keluhan sakit

No. Lama Keluhan Jumlah Pasien % (n= 82)

1. ≤ 1 hari 53 65%

2. 2 hari 16 20%

3. 4 hari 10 12%

4. 5 hari 1 1%

5. 1 minggu 2 2%

5. Lama perawatan pasien

Lama perawatan berkisar 2-5 hari, dengan rata-rata 2-3 hari. Lama perawatan yang tidak panjang dan pemulangan yang lebih awal membuat pasien dapat segera kembali melakukan aktifitas normalnya. Selain itu, dapat pula mencegah terjadinya infeksi nosokomial dan mengurangi biaya rumah sakit dibandingkan dengan lama perawatan lebih dari 3 hari. Dengan demikian, lama perawatan yang tidak panjang (kurang dari 3 hari) lebih aman dan dapat meningkatkan kepuasan pasien maupun keluarganya terhadap pelayanan rumah sakit (Krismanuel, 2010).

C.Jenis, Waktu, Cara, Dosis, dan Lama Pemberian Antibiotika Profilaksis

2. Jenis antibiotika

(56)

Tabel V. Distribusi jenis antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis tunggal pada pasien operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009

No. Jenis Antibiotika Jumlah Kasus % (n= 82)

1. Seftriakson 57 70%

2. Sefotaksim 10 12%

3. Seftazidim 2 2%

4. Linkomisin 7 9%

TOTAL 76 93%

Seperti halnya antibiotika β-laktam lain, seftriakson juga mempunyai

aktivitas bakterisidal yang penting dalam mekanisme kerja antibiotika profilaksis (Levison, 2004 dan ASHP, 1986). Sebagai antibiotika bakterisidal, seftriakson aktif membunuh bakteri gram negatif dengan cara menghambat cross-linking peptidoglikan pada sintesis dinding sel bakteri sehingga dinding sel bakteri lemah, bakteri lisis, dan akhirnya mati (Gordon, 2009, Graumlich, 2003, dan Woodin, and Moririson, 1994). Mekanisme dan aktifitas seftriakson ini mampu menurunkan jumlah bakteri penyebab infeksi yang hadir pada lokasi operasi sehingga risiko terjadinya infeksi setelah operasi dapat diminimalkan. Selain itu, seftriakson mempunyai waktu paruh eliminasi yang panjang dan jarang menimbulkan reaksi silang alergi dibandingkan jenis sefalosporin lainnya sehingga seftriakson banyak digunakan sebagai antibiotika profilaksis pada operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih.

2. Waktu pemberian

(57)

Sedangkan antibiotika profilaksis yang diberikan setelah operasi dilakukan adalah linkomisin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotika profilaksis yang diberikan lebih dari 1 jam sebelum operasi lebih banyak daripada antibiotika profilaksis yang diberikan kurang dari 1 jam sebelum operasi dan setelah operasi. Antibiotika profilaksis yang diberikan lebih dari 1 jam sebelum operasi sebesar 49% (n= 82). Sedangkan antibiotika profilakis yang diberikan kurang dari 1 jam sebelum operasi dan setelah operasi, masing-masing sebesar 43% dan 9%.

Tabel VI. Distribusi waktu pemberian antibiotika sebelum operasi dan setelah operasi di RS Panti Rapih tahun 2009

(58)

mengakibatkan pasien tidak mendapatkan perlindungan dari hadirnya bakteri penyebab infeksi sehingga memperbesar risiko terjadinya infeksi setelah operasi.

3. Cara pemberian

Pada penelitian ini, pemberian antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut dilakukan dengan cara pemberian melalui intravena (IV) dan per oral (PO). Antibiotika profilaksis yang diberikan secara intravena (IV) adalah seftriakson, sefotaksim, seftazidim, dan kombinasi gentamisin dengan metronidasol. Sedangkan linkomisin diberikan secara per oral (PO) dengan waktu pemberian setelah operasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 91% (n= 82) pemberian antibiotika profilaksis diberikan melalui intravena (IV), sedangkan pemberian secara per oral (PO) hanya sebesar 9%, seperti terlihat pada tabel VIII. Hal ini menunjukkan pemberian antibiotika profilaksis melalui intravena (IV) lebih banyak dibandingkan pemberian secara per oral (PO).

(59)

membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pemberian intravena (IV).

Tabel VII. Distribusi cara pemberian antibiotika per oral dan intravena di RS Panti Rapih tahun 2009

No. Antibiotika Profilaksis Cara Pemberian

Jumlah Kasus % (n= 82)

1. Linkomisin Per oral (PO) 7 9%

2. Seftriakson, sefotaksim, seftazidim, dan

gentamisin-metronidasol

Intravena (IV) 75 91%

4. Dosis pemberian

Dosis pemberian antibiotika seftriakson, sefotaksim, dan seftazidim sebagai profilakis pada pasien operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih adalah 1 gram hingga 2 gram untuk pasien dewasa dan anak-anak dengan usia lebih dari 12 tahun. Pada pasien anak-anak yang berusia kurang dari 12 tahun, seftriakson diberikan pada dosis 1,5 gram. Antibiotika profilaksis linkomisin diberikan pada dosis 500 mg secara per oral. Sedangkan pada kombinasi antibiotika dengan antiprotozoa diketahui bahwa gentamisin diberikan dalam dosis 80 mg dan metronidasol pada dosis 500 mg.

(60)

darah dan jaringan untuk melawan bakteri penyebab infeksi setelah pemberian dalam dosis 1 gram maupun 2 gram (Martin, et al., 1996 dan Pollock, Tee, Patel, Spicehandler, Simberkoff, and Rahal, 1982). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotika sefalosporin dalam dosis 1 gram atau 2 gram dapat digunakan untuk melawan bakteri penyebab infeksi sehingga kejadian infeksi setelah operasi dapat dihindari.

Tabel VIII. Distribusi dosis pemberian antibiotika profilakis di RS Panti Rapih tahun 2009

No. Antibiotika Profilaksis Dosis Pemberian Jumlah Kasus % (n= 82)

1. Seftriakson 1,5 gram

(61)

tidak lebih dari 24 jam setelah operasi sudah memadai untuk mencegah infeksi. Demikian pula, dengan menghentikan pemberian antibiotika profilaksis 24 jam setelah operasi dapat mencegah terjadinya resistensi mikroorganisme yang merupakan risiko dari pemberian antibiotika yang terlalu lama. Selain itu, tidak menambah besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien akibat penggunaan obat selama di rumah sakit (James and Martinez, 2008 dan Kanji and Devlin, 2008).

Tabel IX. Distribusi jumlah antibiotika profilaksis pada lama pemberian 24 jam dan lebih dari 24 jam di RS Panti Rapih tahun 2009

No. Antibiotika Profilaksis Jumlah Kasus

24 jam > 24 jam

1. Seftriakson 35 22

2. Sefotaksim 7 3

3. Seftazidim 0 2

4. Linkomisin 0 7

5. Gentamisin dan metronidasol 4 2

TOTAL 46 36

% (n= 82) 56% 44%

D. Kesesuaian Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika Profilaksis

2. Jenis antibiotika

(62)
(63)

Tabel X. Distribusi jumlah kasus menurut jenis antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih dan pedoman umum

(WHO, 2009; Kanjiand Devlin, 2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih tahun 2009

No. Jenis

Pada penelitian ini, sebesar 49% (n= 82) antibiotika profilaksis diberikan lebih dari 1 jam sebelum operasi dimulai dan sebesar 9% diberikan setelah operasi. Waktu pemberian antibiotika profilaksis tersebut tidak sesuai dengan Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih, WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin, 2008) yang merekomendasikan antibiotika profilakis diberikan kurang dari 1 jam sebelum operasi dimulai.

(64)

infeksi setelah operasi. Demikian pula, pemberian antibiotika profilaksis setelah operasi menunjukkan bahwa tidak terdapatnya konsentrasi antibiotika dalam darah dan jaringan selama prosedur operasi (Steinberg, et al., 2009 dan Classen, et al., 1992). Hal ini mengakibatkan pasien tidak memperoleh perlindungan dari

bakteri-bakteri penyebab infeksi dari dilakukannya insisi pertama kali hingga operasi selesai dilakukan, sehingga risiko terjadinya infeksi setelah operasi pun dapat meningkat.

Tabel XI. Distribusi jumlah kasus menurut waktu pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih dan pedoman umum

(WHO, 2009; Kanjiand Devlin, 2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih tahun 2009

No. Waktu

(65)

dapat menjamin konsentrasi antibiotika yang tinggi dalam darah dan jaringan (ASHP, 1999). Selain itu, pemberian antibiotika profilaksis secara intravena (IV) mempermudah tercapainya konsentrasi antibiotika ke dalam jaringan dengan waktu lebih singkat dibandingkan pemberian secara per oral (PO). Antibiotika profilaksis yang diberikan secara intravena (IV) tidak mengalami proses absorpsi tetapi langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik, sehingga konsentrasi antibiotika dapat diperoleh dengan cepat dan tepat (Bryant, Knights, andSalerno, 2010 dan Hessen and Kaye, 2004).

(66)

Gambar 4. Distribusi jumlah kasus menurut cara pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih

dan pedoman umum (WHO, 2009; Kanji and Devlin, 2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih tahun 2009

4. Dosis pemberian

Hasil penelitian menunjukkan bahwapasien dewasa dan anak-anak dengan usia lebih dari 12 tahun menerima antibiotika profilaksis seftriakson dan sefotaksim pada dosis 1-2 gram, sedangkan seftazidim diberikan pada dosis 2 gram. Pada pasien anak-anak yang berusia kurang dari 12 tahun, seftriakson diberikan dalam dosis 1,5 gram. Hal ini sesuai dengan AHSP: Ceftriaxone

(Systemic) (ASHP, 2005), Drug Information Handbook (Lacy, Armstrong,

Goldman, and Lance, 2002), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999) yang merekomendasikan dosis pemberian antibiotika golongan sefalosporin sebagai profilaksis operasi pada pasien dewasa dan anak-anak yang berusia lebih dari 12 tahun atau anak-anak dengan berat badan lebih dari 50 kg adalah 1-2 gram. Sedangkan pada anak-anak yang berusia kurang dari 12 tahun seftriakson diberikan dalam dosis 50-75 mg/kg BB, dengan dosis maksimal per hari adalah 2 gram. Kombinasi gentamisin dengan metronidasol masing-masing diberikan dalam dosis 80mg dan 500 mg. Dosis pemberian gentamisin dan metronidasol ini

91% (IV)

9% (PO)

(67)

sesuai dengan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999) dan Postoperative Infections and Antimicrobial Prophylaxis (Kernodle and Kaiser, 2000) yang merekomendasikan gentamisin diberikan pada dosis 1,5-2 mg/kg dan metronidasol dalam dosis 500 mg sebagai agen profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut.

Jika dosis yang diberikan pada pasien kurang dari dosis yang dibutuhkan, maka konsentrasi antibiotika yang ada dalam darah dan lokasi operasi pun tidak cukup mampu untuk melawan bakteri penyebab infeksi sehingga pasien tidak terlindungi secara maksimal. Pada antibiotika golongan sefalosporin, jika dosis yang diberikan melebihi dosis yang dibutuhkan maka pasien dapat mengalami mual, muntah, diare, atau kejang. Sedangkan pemberian dosis berlebih gentamisin dapat menimbulkan terjadinya nefrotoksisitas dan ototoksisitas (Stork, 2007). Hal ini menunjukkan pemberian dosis antibiotika yang optimal sangat penting dilakukan untuk mencapai konsentrasi yang memadai dalam darah dan lokasi operasi. Selain itu, dapat menghindari terjadinya efek merugikan akibat pemberian dosis yang berlebih pada pasien (Hessen and Kaye, 2004).

5. Lama pemberian

(68)

antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam atau 1 hari setelah prosedur operasi. Pasien yang menerima antibiotika profilaksis lebih dari 24 jam tidak mendapatkan perlindungan tambahan terhadap terjadinya infeksi setelah operasi (Ward, Smith, Shaikh, and Yalamarthi, 2009 dan Dellinger,

et al., 1994). Hal ini menunjukkan pemberian antibiotika profilaksis lebih dari 24

jam mempunyai efikasi yang relatif sama dengan antibiotika yang dihentikan pemberiannya 24 jam setelah operasi. Demikian pula, pemberian antibiotika yang terlalu lama dapat menimbulkan risiko resistensi suatu strain bakteri dan bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan (James and Martinez, 2008 dan Kanji and Devlin, 2008). Oleh karena itu, pemberian antibiotika profilaksis sebaiknya dihentikan 24 jam setelah operasi mengingat pemberian lebih dari 24 jam tidak memberikan manfaat lebih dalam mencegah infeksi setelah operasi dan dapat menimbulkan risiko yang merugikan bagi pasien.

(69)

mengalami perforasi, pemberian antibiotika profilaksis dihentikan 24 jam setelah operasi dilakukan.

Gambar 5. Distribusi jumlah kasus menurut lama pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO, 2009; Kanji

and Devlin, 2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih tahun 2009

F.Faktor-faktor yang Mendasari Pemilihan Antibiotika Profilaksis

Pada penelitian ini, 12 pasien operasi apendisitis akut tidak menerima antibiotika sebagai profilaksis. Pertimbangan dokter bedah I untuk tidak memberikan antibiotika profilaksis adalah jarang ditemukannya infeksi setelah operasi pada pasien operasi apendisitis akut yang tidak menerima antibiotika profilaksis, sehingga pemberian antibiotika profilaksis dirasa tidak diperlukan. Pendapat ini sesuai dengan hasil wawancara yang diperoleh sebagai berikut:

“Saya tidak pernah memberikan antibiotika profilaksis, karena buktinya

pasien saya nggak apa-apa tanpa diberi antibiotika profilaksis. Jarang

sekali ada infeksi luka setelah operasi”.

Dokter bedah I

Meskipun infeksi setelah operasi pada pasien apendisitis akut jarang ditemukan, namun antibiotika profilaksis harus tetap diberikan. Pasien yang menjalani operasi apendisitis akut harus menerima antibiotika profilaksis karena

56% (24 jam)

41% (> 24 jam)

Gambar

Tabel I. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut
Tabel XI.
Gambar 2.  Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut
Gambar 1. Peran penisilin dalam menghambat enzim transpeptidase
+7

Referensi

Dokumen terkait

As a result, many countries around the world is modernizing the cadastral database from legacy cadastre or relative cadastre to accurate coordinate based cadastre known

terhadap Perilaku Makan dan Minum di SD Muhammadiyah Kedunggong Kecamatan Wates Kabupaten Kulon Progo……….. Grafik Distribusi dan Kategori Frekuensi Pengetahuan terhadap

Nilai standar deviasi perusahaan yang mengalami financial distress dapat dibandingkan dengan nilai rata-rata yang menunjukkan bahwa nilai standar deviasi lebih

 La empresa Busos Cannabis por medio de las encuestas ha evidenciado que existe la necesidad de un reconocimiento y una marca líder en la fabricación de

Dengan penyesuaian antara frekuensi pasangan huruf yang sering keluar dalam suatu bahasa dengan pasangan huruf yang sering keluar dalam hasil enkripsi, kemungkinan besar

Masih terdapatnya kesenjangan sementara tercapainya pemerataan kesejahteraan ekonomi dan sosial baik bagi masyarakat umum merupakan tujuan umum perseroan maupun koperasi

Ssrem hidrolik pada alat berat diglnakan untu[ npla d. 4rr terusrkai /rae1 arrrl ieBchul danal

[r]