• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dayasaing dan Determinan Aliran Perdangangan Tekstil dan Produk Tekstil Intra ASEAN 7 dan China

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dayasaing dan Determinan Aliran Perdangangan Tekstil dan Produk Tekstil Intra ASEAN 7 dan China"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

DAYASAING DAN DETERMINAN ALIRAN

PERDAGANGAN TEKSTIL DAN PRODUK

TEKSTIL INTRA ASEAN 7 DAN CHINA

YUNITA DWI PRATIKASARI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dayasaing dan Determinan Aliran Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil Intra ASEAN 7 dan China adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014

Yunita Dwi Pratikasari

(4)

ABSTRAK

YUNITA DWI PRATIKASARI. Dayasaing dan Determinan Aliran Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil Intra ASEAN 7 dan China. Dibimbing oleh SRI MULATSIH.

Liberalisasi perdagangan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) mulai berlaku efektif di kawasan ASEAN dan China pada 2010. China dan ASEAN 7 sebagai eksportir utama TPT dunia semakin dituntut untuk dapat bersaing dan mempertahankan industri masing-masing negara agar tidak tergeser produk impor dari luar. Hal ini membuat perlunya analisis terhadap performa keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki setiap negara serta faktor-faktor yang memengaruhi IIT TPT intra ASEAN 7 dan China sebagai implikasi dari berlakunya kerjasama ACFTA. Hasil pengolahan data dan analisis menunjukkan bahwa China memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif tertinggi dan mendominasi perdagangan TPT di kawasan ACFTA. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai Revealed Comparative Advantages (RCA) dan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) negara China yang positif dan lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN 7. Aliran perdagangan TPT intra ASEAN 7 dan China secara umum yaitu sebesar 46% berada pada tingkat integrasi lemah berdasarkan hasil perhitungan indeks Grubel-Lloyd. Faktor-faktor country spesific

yang memengaruhi IIT secara signifikan antara lain rata-rata GDP (AVGDP), Nilai tukar (ERP), Foreign Direct Investment (FDI), perbedaan fluktuasi nilai tukar (FER), dan peubah jarak (WDIST).

Kata kunci : ACFTA, Dayasaing, Intra Industry Trade, TPT

ABSTRACT

YUNITA DWI PRATIKASARI. Competitiveness and Determinants of Intra ASEAN 7 and China Textiles and Clothing Trade. Supervised by SRI MULATSIH.

Trade liberalization ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) that has been fully implemented on 2010 have implied the ASEAN region and China’s trade pattern. China and ASEAN 7 countries as the major exporter of world textile and clothing have to compete and maintain the industry of each country in order not displaced imported goods from foreign. This is important to analize each country’s comparative and competitive advantages as well as determinants of IIT between ASEAN 7 and China textile and clothing trade as the implications of ACFTA. The results shows that China has the highest comparative and competitive advantages, and become the most dominated country in the ACFTA textile and clothing market. This is indicated by the value of Revealed Comparative Advantages Index and Trade Specialization Index in China that tend to be positive and higher than the ASEAN 7 countries. ASEAN 7 and China textile and clothing bilateral trade flow in general are 46% at the weak level of integration based on the level of IIT calculation. Country spesific determinants of IIT from the econometric result are the average GDP (AVGDP), exchange rate (ERP), Foreign Direct Investment (FDI), the differences of countries exchange rate fluctuations (FER), and weighted distance (WDIST).

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DAYASAING DAN DETERMINAN ALIRAN

PERDAGANGAN TEKSTIL DAN PRODUK

TEKSTIL INTRA ASEAN 7 DAN CHINA

YUNITA DWI PRATIKASARI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Dayasaing dan Determinan Aliran Perdangangan Tekstil dan Produk Tekstil Intra ASEAN 7 dan China

Nama : Yunita Dwi Pratikasari NIM : H14100114

Disetujui oleh

Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah perdagangan, dengan judul Dayasaing dan Determinan Aliran Perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil Intra ASEAN 7 dan China.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Alla Asmara, M.Si. dan Bapak Dr. Muhammad Findi A, M.E. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan karya ilmiah ini, serta Ibu Dr.Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan serta masukan selama penulisan skripsi ini. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada kedua orang tua penulis, serta keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya yang sangat berarti selama ini, kepada teman-teman satu bimbingan dan para sahabat saya atas doa dan dukungannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan sehingga saran dan kritik sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, April 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

Landasan Teori 5

Penelitian Terdahulu 8

Kerangka Pemikiran 9

Hipotesis Penelitian 10

METODE 11

Jenis dan Sumber Data 11

Metode Analisis 12

GAMBARAN UMUM 17

ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) 17

Industri Tekstil dan Produk Tekstil 18

HASIL DAN PEMBAHASAN 20

Dayasaing dan Spesialisasi Perdagangan TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) Negara-negara ASEAN 7 dan China di Kawasan ACFTA 20 Dinamika Aliran Perdagangan Intra Industri TPT Negara-negara ASEAN 7 dan

China 23

Faktor-faktor yang Memengaruhi Aliran Perdagangan Intra IndustriTPT

Negara-negara ASEAN 7 dan China 29

SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 36

(10)

DAFTAR TABEL

1 Persentase jumlah ekspor tekstil dan produk tekstil negara-negara

dunia tahun 2012 2

2 Klasifikasi nilai IIT 13

3 Jadwal penurunan tarif Early Harvest Package 18

4 Jadwal penurunan tarif Normal Track 18

5 Nilai RCA komoditi TPT negara-negara ASEAN 7 dan China

tahun 2007-2012 21

6 Nilai ISP komoditi TPT negara-negara ASEAN 7 dan China tahun

2007-2012 22

7 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi Intra Industry Trade TPT antara negara-negara ASEAN 7 dan China 30

DAFTAR GAMBAR

1 Neraca perdagangan TPT antara ASEAN dan China tahun

2000-2012 berdasarkan SITC 65 dan 84 3

2 Kerangka pemikiran 9

3 Pohon industri tekstil dan produk tekstil berdasarkan KLUI 19 4 Nilai IIT TPT Indonesia dengan negara-negara ASEAN 6 dan

China 24

5 Nilai IIT TPT Malaysia dengan negara-negara ASEAN 6 dan

China 24

6 Nilai IIT TPT Filipina dengan negara-negara ASEAN 6 dan China 25 7 Nilai IIT TPT Singapura dengan negara-negara ASEAN 6 dan

China 26

8 Nilai IIT TPT Thailand dengan negara-negara ASEAN 6 dan China 26 9 Nilai IIT TPT Vietnam dengan negara-negara ASEAN 6 dan China 27 10Nilai IIT TPT Kamboja dengan negara-negara ASEAN 6 dan

China 28

11Nilai IIT TPT China dengan negara-negara ASEAN 7 28

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kategori SITC 3-digit komoditi TPT 36

2 Nilai IIT TPT antara negara-negara ASEAN 7 dan China tahun

2007-2012 (%) 37

3 Uji Haussman 38

4 Hasil estimasi pendekatan Fixed Effect Model 39

5 Hasil uji normalitas 39

6 Uji asumsi multikolinearitas 40

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Semakin bebasnya pergerakan arus barang dan jasa serta arus modal antar negara-negara di dunia menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya globalisasi. Menurut Bank Indonesia, peningkatan keterbukaan ekonomi antarnegara atau liberalisasi ditunjukkan dengan kecenderungan terbentuknya organisasi perdagangan multinasional. Hal ini berdampak pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan perdagangan baik hambatan tarif (tariff barrier) maupun nontarif (non tariff barrier). Teori comparative advantage dari David Ricardo menyatakan bahwa setiap negara dapat melakukan spesialisasi produksi komoditas yang diunggulkan agar proses liberalisasi perdagangan berdampak positif bagi negara tersebut. Setiap negara saling berkompetisi dalam meningkatkan efisiensi aktivitas industri dan perdagangan yang berorientasi ekspor seiring dengan meningkatnya akses pasar (Nugraha 2010).

Oktaviani et al (2008) menyatakan, dalam jangka panjang liberalisasi perdagangan dapat membuka kesempatan bagi pengembangan industri. Hal ini dimungkinkan karena integrasi merupakan mekanisme yang mendorong pembagian tenaga kerja intra kelompok secara rasional. Dengan menghilangkan

barrier perdagangan negara antar anggota, maka koordinasi perencanaan industri mungkin tercipta, terutama berdasarkan skala ekonomisnya.

Kerjasama ACFTA (ASEAN China Free Trade Agreement) merupakan salahsatu bentuk liberalisasi perdagangan barang, jasa maupun arus modal antara negara-negara anggota ASEAN (Association of South-East Asian Nation) dengan China, ACFTA menjadi kawasan perdagangan bebas dengan pangsa pasar terbesar dan terluas di dunia yang disahkan pertama kali sejak ditandatanganinya

Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China di Pnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 November 2002.

ASEAN terdiri dari negara-negara yang memiliki tingkat perekonomian beragam, dalam era globalisasi setiap negara bersaing mempertahankan tingkat perekonomiannya termasuk neraca aliran perdagangan dengan partner dagangnya. Berdasarkan ASEAN statistics data, tren perdagangan ASEAN dengan China semakin meningkat. Total nilai perdagangan ASEAN dan China mencapai US$ 319.5 milyar pada tahun 2012 dan jumlah tersebut merupakan 12.9% total perdagangan ASEAN.

(12)

2

Perjanjian kerja sama ACFTA memfasilitasi integrasi perdagangan dengan pembebasan tarif secara penuh pada tahun 2010 untuk China dan ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Brunei Darusalam), sedangkan negara-negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) tahun 2015. Terdapat tiga kategori tahap penurunan tarif bea masuk barang yaitu, Early Harvest Package,Normal Track, dan Sensitive Track.

Tahap pemotongan tarif komoditi TPT dalam kerja sama ACFTA tergolong dalam kategori Normal Track dan Sensitive Track (Highly Sensitive). Kategori Normal Track mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli 2005 dan diturunkan secara bertahap sehingga menjadi 0% pada tahun 2010 dengan pengecualian sejumlah pos tarif yang dapat diturunkan menjadi 0% pada tahun 2012.

Sedangkan Sensitive Track (Sensitive list dan Highly Sensitive) adalah program penurunan tarif bea masuk antara ASEAN dan China yang dilakukan lebih lambat dari normal track. Sesuai kesepakatan, produk yang masuk sensitive list memiliki tarif maksimum 20% pada tahun 2012 dan diturunkan secara bertahap sehingga menjadi 5% pada tahun 2018. Sedangkan tarif bea masuk produk highly sensitive tidak boleh melebihi 50% pada tahun 2015.

Dampak ACFTA mulai terjadi pada 2007 yaitu karena adanya ekspansi ekspor pada 10 sektor salah satunya adalah TPT. Pada periode tersebut dilakukan tahapan pemotongan tarif yang cukup besar yaitu setengah kalinya pada barang-barang yang dikenakan tarif tinggi sebelumnya (Li 2013). ACFTA merupakan pangsa pasar dengan 1.7 milyar konsumen, dengan GDP secara agregat lebih dari US$ 2 trilyun, dan total perdagangan yang mencapai US$ 1.23 trilyun. Pangsa pasar, perekonomian, dan perdagangan menunjukkan sebuah kesempatan yang Tabel 1 Persentase jumlah ekspor tekstil dan produk tekstil negara-negara dunia

tahun 2012

Peringkat Negara Tekstil (%) Negara Produk Tekstil (%)

1 China 33.4 China 37.8

2 Uni Eropa 32.1 Uni Eropa 32.6

3 india 5.3 Bangladesh 4.7

4 AS 4.7 Turki 3.4

5 Korea 4.2 India 3.3

6 Turki 3.9 Vietnam 3.3

7 Taipei 3.6 Indonesia 1.8

8 Pakistan 3 AS 1.3

9 Jepang 2.7 Mexico 1.1

10 Indonesia 1.6 Malaysia 1.1

11 Vietnam 1.4 Pakistan 1

12 Thailand 1.2 Thailand 1

13 Mexico 0.8 Kamboja 1

14 Arab Saudi 0.8 Srilanka 0.9

15 Lainnya 1.3 Lainnya 5.7

Jumlah 100 Jumlah 100

(13)

3 besar bagi negara-negara anggota ACFTA untuk memperluas pangsa pasarnya di dalam kawasan tersebut (Chuen dan Aslam 2012).

Sektor industri TPT memiliki peranan penting dalam menopang perekonomian negara mengingat sektor tersebut merupakan sektor unggulan yang dimiliki ASEAN 7 dan China. Industri TPT merupakan salah satu industri terpenting bagi negara-negara ASEAN dan China, TPT merupakan industri yang berkontribusi besar terhadap ekspor negara-negara ASEAN, sektor TPT mulai unggul di kawasan tersebut sejak tahun 1950-an. Peningkatan industri TPT China telah menyebabkan persaingan yang cukup signifikan terhadap ASEAN.

Sektor industri TPT termasuk labor intensive yang berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat banyak di tengah semakin tingginya persaingan secara global. Aliran perdagangan bebas sektor industri TPT pada setiap negara turut menunjukkan sejauh mana kemampuan negara-negara tersebut dapat bersaing memenuhi kebutuhan domestik dan melakukan inovasi dalam pengembangan produknya agar memiliki dayasaing yang lebih unggul dalam lingkup kerjasama yang saling menguntungkan setiap negara.

Perumusan Masalah

Liberalisasi perdagangan ACFTA menuntut kesiapan industri masing-masing negara dalam menghadapi peluang dan tantangan yang muncul dari proses tersebut. ACFTA dapat berdampak positif maupun negatif bagi negara-negara yang terlibat. Menurut Tambunan (2002), perdagangan bebas akan berdampak positif terhadap volume produksi dalam negeri dan pertumbuhan GDP apabila ekspor atau pangsa pasar dari suatu negara meningkat, sebaliknya apabila terjadi penurunan pangsa pasar akan berdampak negatif serta meningkatkan jumlah pengangguran dan kemiskinan.

Selain itu, apabila suatu negara tidak dapat menekan impor karena dayasaing yang rendah dari produk-produk serupa buatan dalam negeri, maka pasar domestik negara tersebut terancam akan dikuasai oleh produk-produk dari luar negeri.

Sumber : UN Comtrade, 2012 (diolah)

(14)

4

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa neraca perdagangan TPT ASEAN dengan China mengalami defisit sejak sebelum kerjasama ACFTA berlangsung. Defisit neraca perdagangan TPT yang terjadi semakin besar hingga mencapai US$ -15 823 juta pada tahun 2012, angka tersebut merupakan 44.32% dari total defisit neraca perdagangan ASEAN terhadap China.

Hal tersebut menunjukan posisi China sebagai negara yang diuntungkan dalam kerjasama ACFTA. Meskipun demikian, peluang negara-negara anggota ACFTA khususnya ASEAN 7 dari segi pangsa pasar terbuka lebar. Sebagai negara yang memiliki keunggulan pada sektor industri yang sama yaitu industri TPT, negara-negara ASEAN 7 memiliki potensi untuk bertahan memenuhi permintaan domestik bahkan meningkatkan ekspor ke negara China yang juga merupakan importir tekstil terbesar ke tiga di dunia menurut WTO tahun 2012.

Dampak positif dari perjanjian ACFTA akan secara langsung dirasakan oleh sektor yang produknya diekspor ke China (Andara 2012). Sementara dampak negatifnya dirasakan oleh negara produsen yang produknya sejenis dengan produk impor China, terlebih lagi karena harganya yang murah dan sangat kompetitif. Industri TPT China memiliki biaya tenaga kerja yang rendah dan ketersediaan terhadap bahan baku mendukung perluasan ekspor ke berbagai belahan dunia.

Secara global, industri TPT memiliki beragam jenis output dengan nilai yang beragam. Negara-negara yang unggul dalam industri tersebut dituntut melakukan diferensiasi produk sehingga tercipta perdagangan. Perdagangan dunia bersifat intra industry ketika perdagangan terjadi dalam komoditas sejenis. Liberalisasi ACFTA yang menuntut pengembangan komoditi yang semakin kompetitif yang mendukung terjadinya intra industry trade. Berdasarkan Tabel 1 sebagian besar negara-negara ASEAN dan China memiliki keunggulan dalam ekspor komoditi TPT di pasar dunia, negara-negara tersebut diantaranya Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Vietnam, dan Kamboja (ASEAN 7) serta China. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diambil beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, diantaranya yaitu:

1. Bagaimana tingkat dayasaing dan spesialisasi perdagangan TPT negara-negara ASEAN 7 dan China di kawasan ACFTA?

2. Bagaimana perkembangan integrasi aliran perdagangan intra industri TPT negara-negara ASEAN 7 dan China?

3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi aliran perdagangan intra industri TPT negara-negara ASEAN 7 dan China?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi tingkat dayasaing dan spesialisasi perdagangan TPT negara-negara ASEAN 7 dan China di kawasan ACFTA.

2. Mengidentifikasi derajat integrasi aliran perdagangan intra industri TPT negara-negara ASEAN 7 dan China.

(15)

5

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi pelaku ekonomi, penelitian ini memberikan informasi dan saran yang dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas industri TPT negara-negara ASEAN 7 dan China.

2. Bagi pemerintah negara-negara ASEAN 7 dan China diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi dalam pengambilan kebijakan guna meningkatkan integrasi perdagangan di sektor TPT, serta sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan strategi peningkatan dayasaing komoditi TPT di kawasan ACFTA.

3. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai perdagangan TPT negara-negara ASEAN 7 dan China dan mengaplikasikan teori yang telah dipelajari dengan kondisi yang sebenarnya terjadi.

4. Bagi peneliti selanjutnya, dapat menjadi referensi penelitian tentang komoditi TPT dan kerja sama perdagangan ACFTA secara lebih mendalam.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi analisis dayasaing, spesialisasi perdagangan, intra industry trade, dan faktor-faktor yang memengaruhi intra industry trade terhadap komoditi TPT. Komoditi TPT yang digunakan berdasarkan pengelompokan 2 digit dan 3 digit SITC (Standard International Trade Classification) revision 3. SITC 2 digit membedakan pengelompokan tekstil dengan kode 65 dan produk tekstil dengan kode 84, sedangkan SITC 3 digit yang digunakan yaitu 651, 652, 653, 654, 655, 656, 657, 658, 659, 841, 842, 843, 844, 845, 846, dan 848. Analisis dilakukan pada periode setelah implementasi ACFTA yaitu tahun 2007 hingga 2012 pada negara-negara ASEAN 7 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Kamboja) dan China.

TINJAUAN PUSTAKA

Landasan Teori

Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperoleh barang yang saling dibutuhkan. Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja. Bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy, 1997).

(16)

6

diproduksi secara tidak efisien. Negara-negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan mendasar. Pertama, karena negara tersebut memiliki perbedaan satu sama lain sehingga secara individual dapat menguntungkan. Kedua, negara melakukan perdagangan karena ingin mencapai skala ekonomis dalam berproduksi.

Free Trade Area (FTA)

Teori integrasi ekonomi mengacu pada suatu kebijakan komersial atau kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif menurunkan atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya diantara negara-negara yang saling sepakat untuk membentuk suatu integrasi ekonomi terbatas. Free Trade Area

merupakan bentuk integrasi ekonomi yang lebih tinggi dari pengaturan perdagangan preferensial, FTA termasuk tahap awal dalam integrasi ekonomi dimana semua hambatan perdagangan tarif maupun nontarif di antara negara-negara anggota telah dihilangkan sepenuhnya, namun masing-masing negara-negara anggota tersebut masih berhak untuk menentukan sendiri apakah mereka hendak memertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkannya terhadap negara-negara luar nonanggota.

Kecenderungan peningkatan proses integrasi ekonomi dan keuangan regional di berbagai belahan dunia pada dasarnya dilandasi oleh konsep dasar bahwa manfaat yang akan diperoleh akan lebih besar dibandingkan dengan resiko yang dihadapi (Nugraha 2010). Kebijakan ekonomi internasional memiliki ketetapan dan peraturan yang dijalankan suatu negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Aturan tersebut akan memengaruhi struktur, komposisi, dan arah perdagangan internasional dari atau ke negara tersebut.

Teori Heckscher-Ohlin

Berdasarkan jumlah atau proporsi kepemilikan faktor produksi setiap negara yang berbeda-beda menyebabkan munculnya perbedaan opportunity cost suatu produk. Hal ini menimbulkan terjadinya perdagangan internasional, negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam berproduksi akan melakukan spesialisasi dan mengekspor barangnya. Sebaliknya, suatu negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya.

Heckscher Ohlin juga mengemukakan bahwa perdagangan internasional merupakan kelanjutan dari perdagangan antar daerah yang perbedaannya terletak pada jarak sehingga biaya transportasi tidak dapat diabaikan. Perdagangan internasional cenderung untuk menyamakan tidak hanya harga barang-barang yang diperdagangkan saja, tetapi juga harga-harga faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang tersebut (Apridar 2009).

Teori Economies of Scale

(17)

7 sepenuhnya, dengan prinsip economies of scale negara dapat unggul dalam menghasilkan produk yang berbahan baku impor dengan harga yang lebih murah.

Adanya skala ekonomis menyebabkan suatu negara mampu berproduksi secara penuh pada suatu sektor, sehingga meskipun terdapat dua negara yang berproduksi pada sektor yang sama masing-masing akan berproduksi dengan menciptakan produk yang berbeda atau terdiferensiasi. Jika terdapat skala ekonomis, melipatgandakan input yang digunakan oleh suatu sektor industri akan meningkatkan produksi industri lebih dari dua kali lipat. Semakin banyak input yang ditambah maka semakin besar kelipatannya.

Intra Industry Trade

Pada dasarnya terdapat dua jenis perdagangan, yakni inter industry trade dan intra industry trade. Inter industry trade merupakan perdagangan antara dua industri yang berbeda karena ketersediaan faktor produksi yang juga berbeda secara luas, hal ini mencerminkan keunggulan komparatif yang berbeda antarindustri yang berbeda. Sedangkan intra industry trade adalah perdagangan di dalam industri yang sama, hal ini timbul karena kesamaan dalam faktor produksi yang dimiliki antarnegara. Kesamaan tersebut menyebabkan keunggulan komparatif di dalam suatu sektor industri menjadi tidak begitu jelas. Kegiatan perdagangan internasional lebih banyak yang terwujud berupa pertukaran dua arah di dalam industri-industri.

Apabila diasumsikan bahwa komoditi yang diperdagangkan di dunia bersifat monopoli maka akan terjadi perdagangan dua arah pada sektor komoditi tersebut. Misalkan pada pertukaran komoditi pakaian dengan pakaian atau bersifat

intra industry trade, dan perdagangan komoditi pakaian dengan makanan yang bersifat inter industry. Perdagangan yang bersifat intra industry trade tersebut tidak merefleksikan keunggulan komparatif, berbeda dengan inter industry trade.

Pentingnya perdagangan tersebut tergantung pada seberapa besar kesamaan antarnegara atas faktor produksi yang dimiliki (Krugman dan Obstfeld 2009).

Dari waktu ke waktu pola perdagangan dunia semakin mengarah pada intra industry trade dan semakin signifikan ketika hambatan tarif dan nontarif dihapuskan pada arus perdagangan antarnegara. Negara-negara yang terlibat perdagangan relatif memiliki kesamaan faktor produksi akibatnya kadar inter industry trade di antara negara tersebut akan berkurang dan digantikan oleh intra industry trade. Skala ekonomis dan diferensiasi produk menjadi penting, sehingga keuntungan (gain) dari skala yang membesar dan semakin banyaknya pilihan terhitung besar.

Besarnya volume intra industry trade dapat diukur berdasarkan studi oleh Grubel dan Lloyd (1975) dengan indeks berikut ini :

| | dengan,

IIT = indeks intra industry trade

X = nilai ekspor M = nilai impor

(18)

8

semakin bersifat inter industry atau hanya terjadi searah, sebaliknya bila mendekati 1 maka integrasi bersifat intra industry trade.

Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu mengenai komoditi TPT dan intra industry trade telah banyak dilakukan sebelumnya dan yang relevan dengan penelitian ini diantaranya yaitu penelitian AU dan Chan (2003). Dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perdagangan intra tekstil dan produk tekstil mengambil studi kasus pada negara-negara OECD. Data yang digunakan merupakan data cross section tahun 2000, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara agregat bilateral IIT komoditi TPT negara-negara OECD berkorelasi tinggi. Peubah country spesific yang digunakan dalam mengestimasi faktor-faktor yang memengaruhi IIT menunjukkan hasil signifikan. Peubah-peubah tersebut yaitu GDP per kapita, jarak antarnegara, jumlah populasi minimum, dummy land border dan NAFTA.

Yuan (2012) melakukan analisis IIT terhadap Swedia dengan 30 negara berpendapatan menengah. Penelitian dilakukan dengan periode tahun 1995 sampai 2010 dan komoditi yang digunakan berdasarkan klasifikasi 4 digit SITC industri mesin. Berdasarkan perhitungan indeks RCA diketahui bahwa terdapat empat negara beserta Swedia yang memiliki keunggulan komparatif dalam industri mesin, selain itu negara-negara tersebut juga memiliki tingkat IIT yang tinggi. Dalam penelitian ini IIT dibedakan menjadi vertikal (VIIT) dan horizontal (HIIT), IIT horizontal berlangsung karena adanya diferensiasi karakteristik komoditi meskipun memiliki kualitas yang sama, sedangkan IIT vertikal berlangsung pada perdagangan komoditi yang sama namun kualitasnya berbeda. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa secara umum IIT antara Swedia dan negara-negara OECD masih bersifat inter industry, meski demikian di antaranya terdapat IIT secara vertikal.

Dettmer et al (2009) melakukan studi mengenai dinamika perubahan struktural terhadap perdagangan Uni Eropa dengan China. Jenis komoditi dalam penelitian ini dibedakan menjadi komoditi primer, resource intensive, labour intensive, human capital intensive, dan technology intensive. Kemunculan China di pasar dunia berdampak pada keunggulan komparatif Eropa, dilihat dari indeks RCA China terlihat memiliki peningkatan terhadap spesialisasi komoditi

technology intensive. Share VIIT China meningkat seiring dengan peningkatan FDI dari negara-negara maju termasuk Eropa. Terdapat perubahan pola perdagangan bilateral antara tahun 1999 hingga 2008, IIT bilateral lebih merata karena ekspor China menggantikan kompetitor asing dari perluasan pasar lainnya.

(19)

9 kesamaan kultural antara China dengan beberapa negara memiliki pengaruh positif pada tipe perdagangan ini.

Studi lainnya dilakukan oleh Jambor (2013) mengenai pola dan faktor-faktor country spesific IIT komoditi agrifood negara-negara visegard dengan Uni Eropa. Selama periode 2005-2010 nilai VIIT lebih besar dibandingkan HIIT dan perdagangan agrifood negara-negara visegard didominasi pola inter industry trade. Hasil estimasi menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi IIT dapat dijelaskan GDP yang merepresentasikan tingkat perekonomian secara positif, sedangkan jarak antarnegara secara negatif berhubungan dengan IIT. Sedangkan perbedaan absolut GDP perkapita tidak berpengaruh terhadap IIT dan FDI negara

reporter hanya berpengaruh secara positif terhadap IIT secara vertikal. Kerangka Pemikiran

(20)

10

Liberalisasi perdagangan internasional sejauh ini semakin banyak melibatkan sebagian besar negara-negara di dunia baik di tingkat regional maupun bilateral. ACFTA merupakan salah satu bentuk kerja sama perekonomian antara ASEAN dengan China yang meliputi perdagangan barang, jasa, maupun arus modal. Kerja sama ACFTA dimulai dengan mengurangi hambatan perdagangan baik dalam bentuk tarif maupun nontarif. Hal ini tentu berdampak terhadap aliran perdagangan komoditi antarnegara yang terlibat.

Bagi negara-negara ASEAN 7 dan China yang memiliki kesamaan potensi dalam pengembangan industri TPT, pemberlakuan kerja sama ACFTA mengakibatkan semakin meningkatnya persaingan. Salah satu dampak dari perdagangan ACFTA terhadap perekonomian negara-negara ASEAN 7 dan China dapat dilihat dari kemampuan dayasaing setiap negara. Untuk mengetahui kemampuan setiap negara dalam perdagangan komoditi TPT di kawasan ACFTA maka dapat diketahui dengan melihat tingkat keunggulan komparatif dari nilai

Revealed Comparative Advantage (RCA), selain itu tingkat keunggulan kompetitif dengan perbandingan total perdagangan TPT yang terjadi dapat dilihat dengan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP).

Pola integrasi perdagangan TPT yang terjadi secara bilateral antara negara-negara ASEAN 7 dan China dapat diketahui melalui analisis IIT dengan perhitungan indeks Grubel-Lloyd. Selanjutnya dapat dianalisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pola integrasi perdagangan TPT dari nilai IIT tersebut. Indikator-indikator yang dijelakan pada Gambar 2 dalam penelitian ini dianalisis secara kuantitatif berdasarkan perhitungan secara keseluruhan.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini didasarkan pada teori-teori yang ada dalam penelitian-penelitian terdahulu. Pada analisis faktor-faktor determinan IIT adalah sebagai berikut:

1. Rata-rata GDP berpengaruh positif terhadap IIT. Volume intra industry trade secara bilateral akan meningkat seiring dengan peningkatan ukuran negara atau market size yang ditunjukkan dengan GDP. Dalam hal ini, peningkatan market size berpotensi untuk melakukan produksi lebih besar dan beragam serta mengindikasikan peningkatan permintaan. Menurut Helpman dan Krugman (1985) nilai IIT dalam perdagangan jenis komoditi manufaktur akan meningkat seiring dengan peningkatan market size pada kedua negara yang juga menunjukkan peningkatan skala ekonomis. Peningkatan pangsa pasar menyebabkan peningkatan permintaan luar negeri dan berpotensi meningkatkan IIT. Oleh sebab itu market size memiliki dampak positif terhadap IIT.

(21)

11 peningkatan produksi dengan melibatkan diferensiasi produk, sehingga IIT akan meningkat.

3. Nilai tukar negara partner dagang dapat berpengaruh secara positif maupun negatif. Peningkatan nilai tukar negara partner dagang menyebabkan peningkatan harga barang impor dan ekspor secara relatif (Turkcan 2010). Tingginya nilai tukar negara membuat ekspornya ke negara reporter akan meningkat sedangkan impornya menurun begitu pula sebaliknya. Kondisi tersebut juga menimbulkan perbedaan antara ekspor dan impor yang semakin besar sehingga menurunkan nilai IIT.

4. Foreign Direct Investment (FDI) negara reporter berpengaruh positif maupun negatif terhadap nilai IIT, tergantung pada sifat investasi. Perusahaan multinasional memiliki dampak krusial terhadap IIT karena aktivitas FDI perusahaan tersebut. Investasi pada fasilitas produksi di luar negeri menciptakan kemungkinan terjadinya pertukaran produk pada tingkatan yang berbeda dalam tahapan produksi yang kemudian berpengaruh terhadap IIT. Selain itu, beberapa studi menyatakan bahwa FDI sebagai subtitusi IIT apabila perusahaan-perusahaan memiliki akses pasar luar negeri secara langsung dari perdagangan secara keseluruhan. Hal ini menyebabkan hubungan negatif terhadap IIT. Sebaliknya, FDI akan berpengaruh positif apabila FDI berupa ekspansi perusahaan pada suatu negara ke negara lain yang kemudian outputnya diekspor kembali ke negara asal perusahaan tersebut maka IIT akan meningkat.

5. Distance atau jarak geografis antara ibukota negara reporter dan negara

partner berpengaruh negatif terhadap IIT, peubah tersebut dianggap penting dalam menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap IIT secara bilateral. Jarak akan meningkatkan biaya transaksi termasuk asuransi dan biaya transportasi. Sebagai konsekuensinya, nilai IIT diperkirakan akan menurun seiring dengan semakin besarnya jarak geografis.

METODE

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data panel dengan series

dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012 dan cross section yang terdiri dari negara China dan negara-negara ASEAN 7 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, vietnam, dan Kamboja) yang tergabung dalam ACFTA.

(22)

12

Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dilakukan dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA), Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), indeks Grubel-Lloyd dan model ekonometrika panel data untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi intra industry trade.

Revealed Comparative Advantage (RCA)

Untuk menentukan keunggulan komparatif atau dayasaing TPT negara-negara ASEAN 7 dan China di pasar ACFTA digunakan rumus Revealed ComparativeAdvantage (RCA), yaitu dengan rumus berikut :

dengan,

Xj = total ekspor negara j ke ACFTA

Xw = total ekspor dunia ke ACFTA

Xij = nilai ekspor komoditi i dari negara j ke ACFTA

Xiw = nilai ekspor komoditi i dari dunia ke ACFTA

i = komoditi TPT berdasarkan SITC 2 digit j = negara-negara ASEAN 7 dan China

Bila nilai RCA<1 atau sampai mendekati 0, maka dayasaing atau keunggulan komparatif komoditi i negara tersebut lemah di bawah rata-rata dunia. Sedangkan nilai RCA>1 maka dayasaing komoditi kuat atau negara tersebut memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia untuk komoditi tersebut. Semakin tinggi RCA menunjukkan semakin tinggi pula keunggulan komparatifnya.

Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)

Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk melihat peran dan kemampuan keunggulan kompetitif negara-negara ASEAN 7 dan China dalam perdagangan TPT di pasar ACFTA, metode ini dapat melihat kecenderungan setiap negara sebagai importir atau eksportir. Perhitungan ISP dapat dirumuskan sebagai berikut :

dengan,

ISP = Indeks Spesialisasi Perdagangan

Xij = nilai ekspor komoditi i dari negara j ke ACFTA

Mij = nilai impor komoditi i negara j dari ACFTA

i = komoditi TPT berdasarkan SITC 2 digit j = negara-negara ASEAN 7 dan China

(23)

13 1. Tahap pengenalan

Tahap ini berlangsung ketika suatu industri di suatu negara mengekspor produk-produk baru dan industri pendatang setelahnya di negara lain mengimpor produk-produk tersebut. Dalam tahap ini, nilai ISP dari industri pendatang adalah -1.00 sampai -0.50.

2. Tahap substitusi impor

Pada tahap ini nilai ISP meningkat antara -0.51 sampai 0.00. Hal ini menunjukkan dayasaing industri yang rendah, karena tingkat produksinya tidak cukup tinggi untuk mencapai skala ekonomisnya. Produksi dalam negeri masih lebih kecil daripada permintaan dalam negeri, dengan kata lain negara tersebut lebih banyak mengimpor daripada mengekspor.

3. Tahap pertumbuhan

Nilai ISP meningkat antara 0.01 sampai 0.80 dan industri negara tersebut melakukan produksi dalam skala besar dan mulai menigkatkan ekspornya. Di pasar domestik, penawaran untuk komoditi tersebut lebih besar daripada permintaan.

4. Tahap kematangan

Pada tahap ini nilai ISP berada pada kisaran 0.81 sampai 1.00, produk yang bersangkutan berada pada tahap standardisasi terhadap teknologi yang dimiliki. Negara yang berada pada tahap ini merupakan negara net eksportir. 5. Tahap kembali mengimpor

Nilai ISP pada tahap ini kembali menurun antara 1.00 sampai 0.00, industri di suatu negara kalah bersaing di pasar domestiknya dengan industri dari negara lain. Produksi dalam negeri lebih sedikit dari permintaan dalam negeri.

Indeks Grubel-Lloyd

Indeks Grubel-Lloyd menunjukan derajat intensitas intra industry trade

yakni merupakan tingkat integrasi perdagangan yang terjadi antarnegara. indeks

Grubel-Lloyd dapat dirumuskan sebagai berikut: ∑ | |

dengan,

IITijk = perdagangan intra industri komoditi i antara negara j dan k

Xijk = nilai ekspor komoditi i antara negara j (reporter) dan k (partner)

Mijk = nilai impor komoditi i antara negara j(reporter) dan k (partner)

i = komoditi TPT berdasarkan SITC 3 digit Tabel 2 Klasifikasi nilai IIT

Intra Industry Trade (%) Klasifikasi

0.00 Tidak ada integrasi (one way trade)

0.01-24.99 Integrasi lemah 25.00-49.99 Integrasi sedang 50.00-74.99 Integrasi kuat

(24)

14

Model Ekonometrika

Metode permodelan ekonometrika digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi IIT komoditi TPT intra ASEAN 7 dan China dengan pendekatan data panel. Bentuk formulasi model dalam penelitian ini yakni sabagai berikut :

dengan,

IITijkt = indeks Intra-Industry Trade (IIT) komoditi TPT antara negara j

(reporter) dan negara k (partner) pada tahun t (%)

AVGDPjkt = rata-rata GDP negara j (reporter) dan negara k (partner) pada tahun t (juta US$)

AVGDPCjkt = rata-rata GDP per kapita negara j (reporter) dan negara k

(partner) pada tahun t (US$)

ERPkt = nilai negara k (partner) pada tahun t (juta US$)

FDIjt = nilai Foreign Direct Investment (FDI) negara j (reporter) pada tahun t (US$)

FERjkt = perbedaan fluktuasi exchange rate per kapita negara j (reporter) dan negara k (partner) pada tahun t (US$)

WDISTjkt = weighted distance antara ibukota negara j (reporter) dengan ibukota negara k (partner) pada tahun t (km)

Peubah rata-rata Gross Domestic Product (GDP) dan GDP per kapita (AVGDPC) yang digunakan dalam model dihitung secara rata-rata antar kedua negara yang terlibat perdagangan sebagai indikator ukuran tingkat perekonomian. Sedangkan, Fluktuasi exchange rate (FER) dalam model dirumuskan sebagai berikut.

| | dengan,

FER = Fluktuasi exchange rate

Δ j = Fluktuasi exchange rate negara j (reporter) (US$)

Δ k = Fluktuasi exchange rate negara k (partner) (US$)

Peubah WDIST pada model merupakan jarak geografis yang didefinisikan sebagai weighted distance antara negara reporter dan negara partner dengan formulasi sebagai berikut.

dengan,

WDISTjkt = weighted distance antara negara j (reporter) dengan

negara k (partner)(km)

DISTjk = jarak antara negara j (reporter) dengan negara k

(partner)(km)

(25)

15 Panel Data

Panel data merupakan penggabungan dari observasi cross section yang sama dalam beberapa periode (time series). Kelebihan dari data panel yaitu dapat mengatasi masalah ketersediaan data yang mewakili variabel yang digunakan dalam penelitian. Peningkatan jumlah observasi dalam estimasi data panel berpengaruh pada peningkatan derajat bebas (degree of freedom) sehingga dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik (Gujarati 1978). Berikut ini merupakan jenis pendekatan yang dapat digunakan dalam estimasi model data panel dengan bantuan program eviews 6.

1. Pendekatan Pooled Least Square (PLS)

Pooled least square atau penggunaan model kuadrat terkecil merupakan pendugaan (pooling) terhadap semua data gabungan cross section dan time series. Sehingga terdapat N (jumlah unit cross section) dan T (jumlah periode waktu) dalam observasi yang dapat dituliskan ke dalam fungsi berikut.

dengan,

i (1,2,..., n) = individu ke-i t (1,2,..., n) = periode tahun ke-t

Yit = peubah endogen individu ke-i periode tahun ke-t

Xit = peubah eksogen individu ke-i periode tahun ke-t

α = intersep

β = slope

= error/ simpangan

Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa nilai intersep masing-masing peubah sama, dan slope koefisien dari dua peubah identik untuk semua unit cross section. Kelemahan pada model yaitu dapat mendistorsi gambaran yang sebenarnya dari hubungan antara Y dan X antar unit cross section.

2. Pendekatan Fixed Effect Model (FEM)

Model efek tetap atau fixed effect model diperoleh dengan pertimbangan bahwa peubah-peubah yang dihilangkan dapat menyebabkan perubahan dalam intersep cross section dan time series. Dalam model ini juga dapat ditambahkan peubah dummy yang kemudian diduga dengan Ordinary Least Square (OLS).

dengan,

Yit = peubah endogen individu ke-i periode tahun ke-t

Xit = peubah eksogen individu ke-i periode tahun ke-t

α = intersep

D = peubah dummy

β = slope

= error/ simpangan

3. Pendekatan Random Effect Model (REM)

Model efek acak atau random effect model dapat mengatasi konsekuensi dari pengurangan banyaknya derajat bebas yang akan mengurangi efisiensi dari parameter yang di estimasi akibat penambahan peubah dummy dalam metode efek tetap. Dalam pendekatan ini parameter yang berbeda antar individu maupun waktu dimasukkan ke dalam error.

(26)

16 dengan,

Uit ~ N(0, u2) = komponen cross section error

Vit ~ N(0, v2) = komponen time series error

Wit ~ N(0, 2) = komponen combination error

Pendekatan efek acak dapat menghemat derajat bebas dan tidak mengurangi jumlahnya seperti pada model efek tetap, sehingga parameter hasil estimasi dapat lebih efisien.

Dalam penelitian ini hanya dinekankan pada pendekatan fixed effect model

dan random effect model. Hal ini dikarenakan asumsi bahwa intersep berbeda untuk setiap individu. Pada pendekatan pooled least square digunakan asumsi bahwa intersep dan slope dari persamaan regresi konstan baik antar individu maupun antar waktu.

Dari jenis pendekatan fixed effect dan random effect selanjutnya akan dipilih sebuah pendekatan terbaik berdasarkan hasil Uji Haussman. Uji Haussman dapat menentukan penggunaan metode fixed effect atau random effect. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut.

Kriteria yang digunakan dalam pembobotan data panel berbeda-beda, diantaranya yaitu :

1. No weighting yang semua observasi diberi bobot yang sama.

2. Cross section weight dilakukan dengan Generalized Least Square (GLS) dengan menggunakan estimasi varians residual cross section, dan digunakan bila terdepan heteroskedastisitas pada cross section.

3. Cross section SUR dilakukan dengan GLS oleh estimasi residual covariance matrix cross section, dan digunakan untuk mengoreksi hateroskedastisitas maupun autokorelasi antar unit cross section.

Pengujian asumsi model : 1. Uji Kenormalan

Uji kenormalan digunakan untuk mengetahui error term telah terdistribusi normal atau tidak dengan cara melihat nilai probabilitas yang dihasilkan. Jika nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata (10%) maka data dapat dinyatakan menyebar normal.

2. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara peubah independen dalam persamaan regresi. Adanya multikolinearitas menyebabkan pendugaan koefisien regresi tidak nyata walaupun nilai R2 besar. Hal tersebut dapat dideteksi dari nilai R2 yang tinggi (0.7-1), tetapi tidak terdapat atau hanya sedikit sekali koefisien dugaan yang berpengaruh nyata. Multikolinearitas dapat diatasi dengan memberi perlakuan General Least Square/GLS (cross section weight), sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan. 3. Uji Homoskedastisitas

(27)

17

statistics dengan sum square residual unweighted statistics. Jika sum square residual pada weighted satistics lebih kecil dibandingkan dengan sum square residualunweighted statistics maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas. 4. Uji Autokorelasi

Suatu data dikatakan mengandung autokorelasi dengan cara membandingkan nilai Durbin Watson (DW) hasil estimasi dengan nilai DW pada tabel. Jika nilai Durbin Watson (DW) yang dihasilkan berada pada area non autokorelasi mendekati dua maka dapat disimpulkan bahwa pada model tersebut terbebas dari autokorelasi. Hipotesis pada uji autokorelasi adalah sebagai berikut.

H0: Tidak terdapat autokorelasi

H1: Terdapat autokorelasi

Selang nilai statistik Durbin Watson adalah sebagai berikut. 0<DW<DL : Tolak H0, ada autokorelasi positif

DL<DW<DU : Daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan DU<DW<4−DU : Terima H0, tidak ada autokorelasi

4−DU<DW<4−DL : Daerah ragu-ragu, tidak ada keputusan 4−Dδ<DW<4 : Tolak H0, ada autokorelasi negatif

GAMBARAN UMUM

ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA)

ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan baik tarif maupun nontarif, peningkatan ekses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus meningkatkan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China. Dalam kerangka perjanjian tersebut, negara-negara yang terlibat saling memberikan preferential treatment pada tiga sektor, yaitu perdagangan barang, jasa, dan investasi. Preferential treatment

adalah perlakuan khusus yang lebih menguntungkan dibandingkan perlakuan yang diberikan kepada negara mitra dagang lain nonanggota.

ACFTA mulai diberlakukan secara penuh pada 1 Januari 2010. Aturan impor dikenakan pada 90% produk-produk yang diperdagangkan antara ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Brunei Darusalam, Filipina, Thailand, dan Singapura) dan China dengan penghapusan tarif secara penuh pada 2010. Negara-negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) penghapusan tarif secara penuh akan diberlakukan pada 2015. Perdagangan barang dalam ACFTA ditetapkan atas dasar urutan kategori produk yang paling siap untuk diliberalisasikan terlebih dulu. Terdapat tiga kategori produk dengan tahapan pemotongan tarif yang berbeda-beda, yaitu Early Harvest Package (EHP), Normal Track, dan Sensitive Track.

(28)

18

Tabel 3 Jadwal penurunan tarif Early Harvest Package

Tingkat tarif bea masuk (X)

Jangka waktu tidak melewati 1 Januari

2004 (%) 2005 (%) 2006 (%)

≥ 15% 10 5 0

5% ≤ < 15% 5 0 0

X < 5% 0 0 0

Sumber: Kementerian Keuangan, 2012

Kategori Normal Track terbagi dalam Normal Track I dan II, pada Normal Track I dikenakan penurunan tarif sebesar 40% pada tahun 2005 dengan penurunan bertahap dari 0% sampai 5%, kemudian tarif akan menjadi 0% pada 2010. Sedangkan pada Normal Track II, tarif akan menjadi 0% pada tahun 2012. Pada setiap negara jenis produk yang termasuk dalam kategori-kategori pemotongan tarif berbeda-beda, tidak lebih dari 150 produk yang akan dihapuskan tarifnya pada 2012.

Tabel 4 Jadwal penurunan tarif Normal Track

Tingkat tarif bea masuk

(X)

Jangka waktu tidak melewati 1 Januari 2005

Kategori Sensitive Track merupakan produk yang paling akhir diliberalisasi, produk-produk yang termasuk dalam kategori ini dibedakan menjadi Sensitive List

(SL), Highly Sensitive List (HSL), dan General Exclusion List (GEL). Tarif bea masuk untuk SL akan diturunkan menjadi 0% hingga 20% pada rentang waktu 2012 hingga 2017 dan dijadwalkan menjadi 0% hingga maksimum 5% pada tahun 2018. Tarif sub kategori HSL akan diturunkan menjadi 0% hingga 50% pada tahun 2015. Sedangkan GEL merupakan pengecualian dari produk yang diliberalisasikan, maka besaran tarif yang diberlakukan tetap tarif MFN (Most Favoured Nation).

Industri Tekstil dan Produk Tekstil

(29)

19

Sumber: Kementrian Perindustrian

Gambar 3 Pohon industri tekstil dan produk tekstil berdasarkan KLUI Sektor industri hulu (upstream) merupakan sektor yang memproduksi serat dan benang yang berbahan dasar output dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan hasil tambang atau bahan kimia. Jenis industri yang termasuk sektor hulu adalah industri serat alam, serat buatan staple, benang filamen, pemintalan dan pencelupan benang. Sektor hulu merupakan industri yang relatif padat modal, tingkat teknologi tinggi, berskala besar dan menggunakan mesin-mesin otomatis dan nilai tambahnya paling besar.

Sektor industri antara (midstream) adalah industri yang memproduksi kain, diantaranya industri pertenunan (weaving), perajutan (knitting), pencelupan (dyeing), pencapan (printing), penyempurnaan (finishing), dan industri non-woven. Sifat industri ini semi padat modal, teknologi madya dan terus berkembang, jumlah tenaga kerja lebih besar dari sektor industri hulu. Pada segmen printing mengutamakan aspek krativitas, sedangkan segmen dyeing

memerlukan manajemen pengolahan limbah yang memadai dengan biaya cukup besar.

Sektor industri hilir (downstream) memproduksi barang-barang jadi tekstil konsumsi masyarakat. Industri yang termasuk didalamnya adalah industri pakaian jadi, embroideri, dan industri produk tekstil lainnya selain pakaian jadi. Industri manufaktur pakaian jadi (garment) termasuk proses cutting, sewing, washing, dan

finishing yang menghasilkan produk siap pakai. Pada sektor ini paling banyak menyerap tenaga kerja atau memiliki sifat industri padat karya.

(30)

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dayasaing dan Spesialisasi Perdagangan TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) Negara-negara ASEAN 7 dan China di Kawasan ACFTA

Kemampuan bersaing dan keunggulan kompetitif negara-negara ASEAN 7 dan Cina dalam perdagangan TPT di kawasan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) ditunjukkan dengan besaran nilai RCA dan ISP. Perhitungan tingkat dayasaing yang dilihat dari nilai RCA dan tingkat keunggulan kompetitif yang dilihat dari nilai ISP tidak saling berkorelasi. Negara yang memiliki dayasaing TPT tinggi tidak berarti cenderung sebagai eksportir. Tabel 5 menunjukkan nilai RCA dimana setiap negara memiliki keunggulan komparatif komoditi TPT yang berbeda-beda, tingginya keunggulan komparatif TPT yang dimiliki negara menunjukkan kemampuan negara dalan memproduksi output sektor TPT dibanding negara lain. Sedangkan nilai ISP yang ditunjukkan Tabel 6 merupakan tingkat permintaan dan penawaran setiap negara terhadap komoditi TPT, sehingga negara tersebut memiliki kecenderungan sebagai negara eksportir atau importir TPT.

Pada Tabel 5 ditunjukkan bahwa nilai RCA Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand memiliki keunggulan komparatif rendah (RCA<1) baik untuk komoditi tekstil maupun produk tekstil. Pada tahun 2012 nilai RCA tekstil Indonesia sebesar 0.64 dan Singapura sebesar 0.17, kedua negara tersebut mengalami penurunan keunggulan komparatif komoditi tekstil di pasar ACFTA pada periode 2007 hingga 2012. Sementara untuk Malaysia, Filipina, dan Thailand masing-masing memiliki indeks RCA komoditi tekstil pada 2012 sebesar 0.36, 0.13, dan 0.78.

Penurunan dayasaing TPT Indonesia disebabkan karena beberapa faktor, faktor utama yaitu Indonesia tidak memiliki pasokan bahan baku TPT yang memadai. Kebutuhan akan kapas masih sepenuhnya diimpor terutama dari Amerika dan Australia. Industri pemintalan tergantung pada kualitas kapas yang tinggi karena mengandalkan kualitas benang yang tinggi agar dapat bersaing dengan produk TPT asal China. Setiap tahun neraca perdagangan TPT Indonesia mengalami defisit yang semakin besar dengan China, produk China yang cenderung murah dan beragam membanjiri pasar domestik Indonesia. Indonesia memiliki pasar yang tergolong besar menjadi sasaran penetrasi pasar komoditi TPT dari negara-negara lain.

(31)

21 industri garmen yang padat karya menjadi keunggulan kompetitif kedua negara tersebut.

Posisi China dalam perdagangan TPT di kawasan ACFTA pada tahun 2007 sampai 2012 memiliki dayasaing tinggi terutama untuk jenis produk tekstil atau garmen. Seperti halnya dengan komoditi tekstil, produk tekstil Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand berdayasaing lemah dengan nilai RCA setiap tahun yang berfluktuasi. Setelah implementasi ACFTA, perdagangan TPT setiap negara mengalami penurunan dayasaing, secara umum indeks RCA lebih kecil dari 1 kecuali untuk negara Vietnam, Kamboja, dan China yang mampu mempertahankan dayasaingnya di kawasan ACFTA.

Tabel 5 Nilai RCA komoditi TPT negara-negara ASEAN 7 dan China tahun 2007-2012

Dampak krisis global berpengaruh pada tingkat dayasaing TPT ASEAN, terutama pada produk tekstil. Pada Tabel 5, indeks RCA yang dimiliki setiap negara mengalami penurunan cukup signifikan pada tahun 2009. Krisis yang pada 2008 melanda Amerika dan Uni Eropa yang merupakan negara tujuan utama eksportir TPT, menyebabkan penurunan produksi karena adanya pembatalan transaksi. Hal yang perlu diperhatikan dari kondisi krisis global adalah pengaruhnya terhadap nilai tukar domestik terhadap US dollar, karena nilai tukar domestik yang tinggi akan merugikan eksportir sehingga menurunkan kinerja ekspor TPT.

(32)

22

krisis tahun 2010 hingga 2012 secara signifikan mulai meningkat. Hal tersebut berarti bahwa China mulai meningkatkan ekspornya di pasar ACFTA baik untuk komoditi tekstil maupun produk tekstil.

Tabel 6 Nilai ISP komoditi TPT negara-negara ASEAN 7 dan China tahun 2007-2012

Banyak faktor yang menyebabkan China unggul dalam komoditi TPT, diantaranya yaitu karena China memiliki bahan baku TPT yang memadai, salah satunya kapas. Kemudian harga yang ditawarkan China jauh lebih murah, dengan biaya produksi yang rendah. Industri TPT di China bersifat massal dengan skala produksi yang sangat besar didukung dengan kondisi infrastruktur dan sektor keuangan yang baik.

Setelah China, Indonesia juga memiliki nilai ISP yang menunjukkan kecenderungan sebagai pengekspor komoditi tekstil dan produk tekstil. Pasca diberlakukannya liberalisasi ACFTA, keunggulan kompetitif Indonesia semakin menurun setiap tahunnya. Industri TPT Indonesia kalah bersaing dari produk negara-negara lain terutama desakan produk China, sehingga besaran ISP berada pada tahapan embal meng mpor (1.00≤ISP≤0.00). Pada tahun 2007 n la ISP komoditi tekstil sebesar 0.47 menurun hingga sebesar -0.37 pada 2012, sementara untuk produk tekstil pada 2007 sebesar 0.71 dan menurun pada 2012 mencapai 0.07.

(33)

23 Komoditi produk tekstil Kamboja mulai memasuki tahap pertumbuhan dari nilai ISP sebesar -0.08 pada 2007 menjadi 0.36 pada 2012. Sementara itu, komoditi tekstil Kamboja tidak memiliki keunggulan kompetitif bahkan memiliki nilai ISP terendah yaitu sebesar -0.98 pada 2012. Dapat dikatakan bahwa Kamboja cenderung sebagai eksportir komoditi tekstil, namun untuk komoditi produk tekstil cenderung sebagai importir. Ketersediaan bahan baku TPT negara Kamboja tergolong kurang memadai, pada sektor industri hulunya pun didominasi oleh perusahaan asing dunia sementara perusahaan multinasional di Kamboja yang dirancang oleh warga setempat masih sangat minim sehingga terlihat bahwa nilai ISP produk tekstil Kamboja terus meningkat. Ekspansi perusahaan asing ke Kamboja dapat disebabkan karena tingkat upah dan biaya produksi yang rendah.

Komoditi tekstil dan produk tekstil Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam kurang memiliki keunggulan kompetitif, dilihat dari nilai ISP dari 2007 hingga 2012 yang terus menurun. Malaysia memiliki nilai ISP komoditi tekstil pada 2007 sebesar -0.12, Filipina dan Thailand sebesar -0.05, serta Vietnam sebesar -0.06. Sama halnya dengan komoditi produk tekstilnya, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam memiliki nilai ISP yang rendah (ISP<1) dan cenderung pada kisaran tetap pada 2007 hingga 2012. Hal ini berarti bahwa negara-negara tersebut memiliki keunggulan kompetitif yang lemah dengan nilai impor yang lebih besar daripada ekspor.

Dinamika Aliran Perdagangan Intra Industri TPT Negara-negara ASEAN 7 dan China

Berdasarkan perhitungan indeks Grubel-Lloyd pada Lampiran 2, secara umum nilai IIT komoditi TPT secara bilateral antara negara-negara ASEAN 7 dan China pada 2012 sebanyak 46% berada pada tingkat integrasi lemah (0.01%-24.99%). Integrasi lemah berlangsung antara negara Kamboja dan China dengan partner dagangnya. Sementara itu, sebanyak 34% dari hasil perhitungan IIT berada pada tingkat integrasi sedang (25.00%-49.99%). Sedangkan 20% tergolong tingkat integrasi tinggi (50.00%-74.99%) yaitu terdapat pada IIT komoditi TPT Indonesia dan Singapura dengan partner dagangnya yang termasuk negara-negara ASEAN 7 dan China.

Indonesia

(34)

24

Gambar 4 Nilai IIT TPT Indonesia dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

Perdagangan TPT Indonesia dengan Malaysia menguat pada tingkat integrasi sedang sebesar 40.22% pada 2012. Sedangkan aliran perdagangan TPT Indonesia dengan Filipina dan Kamboja menunjukkan adanya fluktuasi namun masih dalam kategori integrasi lemah dengan rata-rata nilai IIT setiap tahunnya masing-masing sebesar 8.08% dan 8.92%. Berbanding terbalik dengan Thailand, Vietnam, dan Singapura, nilai IIT Indonesia dengan China semakin menurun hingga sebesar 25.86% pada 2012 dari tingkat semula yang termasuk integrasi kuat sebesar 51.78% pada 2007. Semakin terbukanya akses perdagangan menyebabkan dominasi produk TPT asal China yang masuk ke Indonesia.

Malaysia

Gambar 5 Nilai IIT TPT Malaysia dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

(35)

25 menunjukkan peningkatan perlahan dan sempat mencapai tingkat integrasi tinggi (50.00%-74.99%) pada 2010 sebesar 53.07% dan 2011 sebesar 51.93%. Begitupun integrasi dengan China yang meningkat hingga 41.54% pada 2010, sementara itu pada periode yang sama integrasi dengan Singapura menurun pada posisi 28.67%. Fluktuasi yang terjadi antara Malaysia dengan Indonesia, China, dan Singapura tidak terlalu besar setiap tahunnya dan integrasi ketiganya cenderung pada tingkat sedang (25.00%-49.99%) masing-masing memiliki rata-rata IIT sebesar 48.22%, 33.40%, dan 32.87%.

Filipina

Tingkat IIT antara Filipina dengan negara China dan ASEAN 6 secara umum memiliki tingkat integrasi yang lemah (0.01%-24.99%). Pada Gambar 6 terlihat nilai IIT komoditi TPT yang paling tinggi terjadi antara Filipina dengan Singapura, nilainya pun berfluktuasi cukup tajam yakni pada tahun 2009 dan 2011 sebesar 57.71% dan 56.84%, sempat mengalami penurunan pada angka 36.72% tahun 2010. Sementara itu, terdapat lonjakan nilai IIT yang terjadi antara Filipina dengan Thailand pada tahun 2012 yakni meningkat sebesar 29.78% menjadi 57.51% dimana angka tersebut tergolong dalam integrasi kuat (50.00%-74.99%). Hal ini terjadi bersamaan dengan meningkatnya ekspor Filipina pada jenis komoditi produk tekstil. Berikutnya, IIT antara Filipina dengan Kamboja terus mengalami penurunan hingga mendekati 0% yaitu pada 2012 sebesar 1.90%, begitupula antara Filipina dengan Indonesia, Vietnam, dan China yang rata-rata IIT selama periode 2007 hingga 2012 masing-masing sebesar 15.37%, 14.43%, dan 14.07%. Sedangkan IIT dengan Malaysia berada pada tingkat integrasi sedang pada kisaran 26.49% selama periode enam tahun.

Gambar 6 Nilai IIT TPT Filipina dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

Singapura

Hasil perhitungan indeks IIT pada Gambar 7, aliran perdagangan TPT antarnegara Singapura dengan Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam yang rata-rata berada pada tingkat integrasi kuat (50.00%-74.99%). Aliran perdagangan yang paling tinggi dan stabil berlangsung antara Singapura dengan Thailand pada 2012 mencapai 63.56%. Aliran perdagangan Singapura

(36)

26

dengan Filipina meningkat mencapai tingkat integrasi kuat pada tahun 2011 dan 2012 sebesar 67.98% dan 61.65%.

Gambar 7 Nilai IIT TPT Singapura dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

Pada Gambar 7 juga terlihat pengelompokan nilai IIT antara Singapura dengan negara partner dagang tertentu secara jelas, nilai IIT antara Singapura dan Kamboja berada pada tingkat integrasi lemah dengan rata-rata 9.38%, begitu pula dengan China dengan rata-rata sebesar 8.37%. Dilihat dari aliran ekspor dan impornya. perdagangan TPT antara Singapura dan China cenderung didominasi oleh impor TPT dari China ke Singapura dengan perbedaan nilai yang cukup besar. Integrasi aliran perdagangan TPT antara Singapura dengan Indonesia dan Vietnam selama periode 2007 hingga 2012 stabil pada tingkat integrasi sedang (25.00%-49.99%) dengan rata-rata nilai IIT sebesar 42.70% dan 40.61%.

Thailand

Gambar 8 Nilai IIT TPT Thailand dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

(37)

27 Berikutnya antara Thailand dengan Vietnam, Singapura, dan China berada pada tingkat IIT sedang (25.00%-49.99%) rata-rata nilainya masing-masing sebesar 41.51%, 26.27%, dan 36.42%. Sedangkan aliran perdagangan paling rendah yaitu antara Thailand dengan Singapura dan Filipina. angka IIT keduanya cukup berfluktuasi, namun ada kecenderungan peningkatan dimulai tahun 2010 hingga pada 2012 sebesar 42.98% dan 32.64%. Integrasi terendah terdapat pada aliran perdagangan antara Thailand dengan kamboja, nilainya hampir mendekati 0%, namun pada 2010 mulai mengalami peningkatan meskipun masih tergolong integrasi lemah (0.01%-24.99%) rata-rata sebesar 8.10%.

Vietnam

Peningkatan nilai IIT antara Vietnam dengan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 9, pada tahun 2008 terjadi tren meningkat hingga mencapai tingkat integrasi kuat (50.00%-74.99%) pada tahun 2012 sebesar 60.46%. Nilai IIT tertinggi terjadi antara Vietnam dengan Malaysia dengan nilai yang cenderung stabil dengan rata-rata selama periode 2007 hingga 2012 sebesar 61.29%. Berikutnya aliran perdagangan TPT dengan negara Thailand pada kategori integrasi sedang (25.00%-49.99%) dan mulai terjadi penurunan perlahan mulai 2008, meski demikian secara rata-rata nilainya sebesar 43.51%.

Gambar 9 Nilai IIT TPT Vietnam dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

Pada Gambar 9 juga ditunjukkan IIT komoditi TPT antara Vietnam dengan Singapura, China, Filipina, dan Kamboja yang rata-rata berada pada tingkat integrasi lemah (0.01%-24.99%) dalam periode 2007 hingga 2012 masing-masing sebesar 22.43%, 14.85%, 8.67%, dan 5.87%. Meski secara rata-rata rendah, integrasi antara Vietnam dan Singapura memiliki kecenderungan yang perlahan meningkat mulai 2009 dan pada 2012 tergolong integrasi sedang dengan nilai IIT 27.74%.

Kamboja

Aliran perdagangan TPT antara Kamboja dengan negara China dan ASEAN 6 lainnya pada Gambar 10 menunjukkan bahwa secara umum termasuk dalam tingkat integrasi rendah (0.01%-24.99%). Nilai IIT antara Kamboja dan Filipina pada periode 2007 tergolong integrasi sedang sebesar 40.26%, namun nilai tersebut terus menurun secara signifikan mendekati 0% hingga pada 2012 sebesar 2.35%. Bila dilihat dari neraca perdagangan, Kamboja cenderung sebagai importir

(38)

28

komoditi TPT bila dibandingkan dengan negara China, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Singapura. Oleh sebab itu integrasi yang terjalin antara Kamboja dengan negara lainnya terlihat lemah dan pada 2012 seluruhnya berada pada tingkat integrasi lemah.

Gambar 10 Nilai IIT TPT Kamboja dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

China

Berdasarkan Gambar 11, IIT TPT antara China dan negara-negara ASEAN 7 selama periode 2007 hingga 2012 rata-rata berada pada tingkat integrasi rendah (0.01%-24.99%).Rata-rata nilai IIT China dengan Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, dan Kamboja masing-masing sebesar 20.36%, 13.80%, 8.61%, 4.09%. 14.21%, dan 4.92%. Sementara antara Cina dengan Thailand berada pada tingkat integrasi kuat (25.00%-49.99%) dibandingkan negara lainnya yaitu sebesar 47.94% pada 2007 meski perlahan menurun hingga 32.23% pada 2012. China merupakan negara importir TPT yang berpengaruh cukup besar dalam mendominasi perdagangan TPT di kawasan ACFTA bila dibandingkan negara-negara ASEAN 7.

Gambar 11 Nilai IIT TPT China dengan negara-negara ASEAN 7

Intra industri trade komoditi TPT menunjukkan terdapat kesamaan faktor produksi yang dimiliki setiap negara dalam sektor tersebut. Nilai IIT yang rendah mengindikasikan terjadinya ketimpangan aliran perdagangan pada salah satu

Gambar

Tabel 1  Persentase jumlah ekspor tekstil dan produk tekstil negara-negara dunia
Gambar 1  Neraca perdagangan TPT antara ASEAN dan China tahun
Gambar 2 Kerangka pemikiran
Gambar 3 Pohon industri tekstil dan produk tekstil berdasarkan KLUI
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data yang dikumpulkan merupakan data yang perlu dihimpun untuk menjawab pertanyaan dari rumusan masalah. Jadi, data yang dikumpulkan yang sesuai dengan rumusan

Penanggungjawab mempunyai kewajiban sebagaimana tercantum dalam lampiran Rekomendasi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kendal tentang Persetujuan Upaya Pengelolaan

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah,

&#34;Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan 'imbalan

Quraish Shihab menyatakan, ayat ini memperingatkan umat Islam bahwa banyak di antara Ahlal-Kitāb , yakni orang Yahudi dan Nasrani, menginginkan dari lubuk hati mereka

Penelitian ini difokuskan pada analisis kesediaan membayar masyarakat sekitar obyek wisata dan pengunjung obyek wisata dalam upaya pelestarian lingkungan obyek

Aktivitas antioksidan paling kuat pada fraksi etanol alga olahan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber antioksidan alami. Penelitian perlu dilengkapi dengan penetapan kadar

Sesuai dengan FLORIST MURAH | BELI BUNGA | TOKO BUNGA DI BANJAR BARU no 2 di atas harga bunga dekoran di FLORIST MURAH | BELI BUNGA | TOKO BUNGA DI BANJAR BARU ini di jamin