• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dayasaing dan Spesialisasi Perdagangan TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) Negara-negara ASEAN 7 dan China di Kawasan ACFTA

Kemampuan bersaing dan keunggulan kompetitif negara-negara ASEAN 7 dan Cina dalam perdagangan TPT di kawasan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) ditunjukkan dengan besaran nilai RCA dan ISP. Perhitungan tingkat dayasaing yang dilihat dari nilai RCA dan tingkat keunggulan kompetitif yang dilihat dari nilai ISP tidak saling berkorelasi. Negara yang memiliki dayasaing TPT tinggi tidak berarti cenderung sebagai eksportir. Tabel 5 menunjukkan nilai RCA dimana setiap negara memiliki keunggulan komparatif komoditi TPT yang berbeda-beda, tingginya keunggulan komparatif TPT yang dimiliki negara menunjukkan kemampuan negara dalan memproduksi output sektor TPT dibanding negara lain. Sedangkan nilai ISP yang ditunjukkan Tabel 6 merupakan tingkat permintaan dan penawaran setiap negara terhadap komoditi TPT, sehingga negara tersebut memiliki kecenderungan sebagai negara eksportir atau importir TPT.

Pada Tabel 5 ditunjukkan bahwa nilai RCA Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand memiliki keunggulan komparatif rendah (RCA<1) baik untuk komoditi tekstil maupun produk tekstil. Pada tahun 2012 nilai RCA tekstil Indonesia sebesar 0.64 dan Singapura sebesar 0.17, kedua negara tersebut mengalami penurunan keunggulan komparatif komoditi tekstil di pasar ACFTA pada periode 2007 hingga 2012. Sementara untuk Malaysia, Filipina, dan Thailand masing-masing memiliki indeks RCA komoditi tekstil pada 2012 sebesar 0.36, 0.13, dan 0.78.

Penurunan dayasaing TPT Indonesia disebabkan karena beberapa faktor, faktor utama yaitu Indonesia tidak memiliki pasokan bahan baku TPT yang memadai. Kebutuhan akan kapas masih sepenuhnya diimpor terutama dari Amerika dan Australia. Industri pemintalan tergantung pada kualitas kapas yang tinggi karena mengandalkan kualitas benang yang tinggi agar dapat bersaing dengan produk TPT asal China. Setiap tahun neraca perdagangan TPT Indonesia mengalami defisit yang semakin besar dengan China, produk China yang cenderung murah dan beragam membanjiri pasar domestik Indonesia. Indonesia memiliki pasar yang tergolong besar menjadi sasaran penetrasi pasar komoditi TPT dari negara-negara lain.

Komoditi tekstil Kamboja mengalami penurunan dayasaing cukup drastis dimulai pada 2008 hingga nilai RCA<1, sedangkan pada 2007 nilai RCA tergolong tinggi yaitu sebesar 1.46. Berbeda dengan tekstil, produk tekstil Kamboja berdayasaing semakin tinggi hingga mencapai 2.12 pada tahun 2012 meskipun sempat terjadi penurunan secara signifikan pada 2009 sebesar 0.75 dikarenakan guncangan krisis. Vietnam memiliki keunggulan komparatif tekstil maupun produk tekstil yang tinggi (RCA>1) dan semakin meningkat dengan RCA tekstil sebesar 2.12 dan produk tekstil sebesar 1.35 pada tahun 2012. Daya saing Kamboja dan Vietnam meningkat tajam khususnya pada komoditi produk tekstil,

21 industri garmen yang padat karya menjadi keunggulan kompetitif kedua negara tersebut.

Posisi China dalam perdagangan TPT di kawasan ACFTA pada tahun 2007 sampai 2012 memiliki dayasaing tinggi terutama untuk jenis produk tekstil atau garmen. Seperti halnya dengan komoditi tekstil, produk tekstil Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand berdayasaing lemah dengan nilai RCA setiap tahun yang berfluktuasi. Setelah implementasi ACFTA, perdagangan TPT setiap negara mengalami penurunan dayasaing, secara umum indeks RCA lebih kecil dari 1 kecuali untuk negara Vietnam, Kamboja, dan China yang mampu mempertahankan dayasaingnya di kawasan ACFTA.

Tabel 5 Nilai RCA komoditi TPT negara-negara ASEAN 7 dan China tahun 2007-2012 Komoditi Negara 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tekstil Indonesia 0.89 0.81 0.71 0.73 0.63 0.64 Malaysia 0.36 0.39 0.39 0.38 0.41 0.36 Filipina 0.09 0.10 0.12 0.09 0.12 0.13 Singapura 0.23 0.22 0.21 0.18 0.18 0.17 Thailand 0.76 0.81 0.90 0.94 0.86 0.78 Vietnam 1.22 1.42 1.92 2.41 2.38 2.12 Kamboja 1.46 0.53 0.25 0.28 0.29 0.54 China 2.65 3.04 3.25 3.80 4.27 3.91 Produk Tekstil Indonesia 0.70 0.79 0.20 0.90 0.77 0.60 Malaysia 0.37 0.52 0.12 0.62 0.69 0.49 Filipina 0.22 0.33 0.07 0.16 0.41 0.30 Singapura 0.44 0.59 0.14 0.53 0.49 0.50 Thailand 0.34 0.43 0.12 0.65 0.56 0.43 Vietnam 0.71 0.86 0.20 1.35 1.84 1.35 Kamboja 6.09 6.64 0.75 6.57 10.5 12.2 China 7.39 6.27 1.38 6.61 6.40 7.09 Sumber : UN Comtrade (diolah)

Dampak krisis global berpengaruh pada tingkat dayasaing TPT ASEAN, terutama pada produk tekstil. Pada Tabel 5, indeks RCA yang dimiliki setiap negara mengalami penurunan cukup signifikan pada tahun 2009. Krisis yang pada 2008 melanda Amerika dan Uni Eropa yang merupakan negara tujuan utama eksportir TPT, menyebabkan penurunan produksi karena adanya pembatalan transaksi. Hal yang perlu diperhatikan dari kondisi krisis global adalah pengaruhnya terhadap nilai tukar domestik terhadap US dollar, karena nilai tukar domestik yang tinggi akan merugikan eksportir sehingga menurunkan kinerja ekspor TPT.

Tabel 6 menunjukkan nilai ISP negara-negara ASEAN 7 dan China di pasar ACFTA, nilai ISP tertinggi dan stabil untuk tekstil dan produk tekstil dimiliki oleh h na. N la ISP h na berada pada tahap pertumbuhan (0.01≤ISP≤0.08) meski pada 2009 sempat mengalami penurunan karena dampak krisis global. Nilai ISP komoditi tekstil tahun 2007 hingga 2009 masing-masing sebesar 0.63, 0.62, dan 0.58, sedangkan produk tekstil sebesar 0.54, 0.34, dan 0.34. Nilai ISP pasca

22

krisis tahun 2010 hingga 2012 secara signifikan mulai meningkat. Hal tersebut berarti bahwa China mulai meningkatkan ekspornya di pasar ACFTA baik untuk komoditi tekstil maupun produk tekstil.

Tabel 6 Nilai ISP komoditi TPT negara-negara ASEAN 7 dan China tahun 2007-2012 Komoditi Negara 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tekstil Indonesia 0.47 0.42 0.37 0.31 -0.29 -0.37 Malaysia -0.12 -0.03 -0.02 -0.08 -0.11 -0.12 Filipina -0.05 -0.10 0.00 -0.06 -0.08 -0.13 Singapura 0.08 0.03 0.10 0.06 0.07 0.11 Thailand -0.05 -0.10 0.00 -0.06 -0.08 -0.13 Vietnam -0.06 -0.11 -0.01 -0.07 -0.09 -0.14 Kamboja -0.97 -0.99 -0.99 -0.99 -0.99 -0.98 China 0.63 0.62 0.58 0.64 0.66 0.64 Produk Tekstil Indonesia 0.71 0.57 0.50 0.31 0.02 0.07 Malaysia -0.31 -0.31 -0.21 -0.18 -0.24 -0.29 Filipina -0.24 -0.27 -0.23 -0.22 -0.27 -0.30 Singapura -0.60 -0.51 -0.54 -0.55 -0.55 -0.38 Thailand -0.24 -0.27 -0.23 -0.22 -0.27 -0.30 Vietnam -0.19 -0.23 -0.19 -0.17 -0.22 -0.26 Kamboja -0.08 -0.05 0.04 0.19 0.17 0.36 China 0.54 0.34 0.34 0.42 0.41 0.41 Sumber : UN Comtrade (diolah)

Banyak faktor yang menyebabkan China unggul dalam komoditi TPT, diantaranya yaitu karena China memiliki bahan baku TPT yang memadai, salah satunya kapas. Kemudian harga yang ditawarkan China jauh lebih murah, dengan biaya produksi yang rendah. Industri TPT di China bersifat massal dengan skala produksi yang sangat besar didukung dengan kondisi infrastruktur dan sektor keuangan yang baik.

Setelah China, Indonesia juga memiliki nilai ISP yang menunjukkan kecenderungan sebagai pengekspor komoditi tekstil dan produk tekstil. Pasca diberlakukannya liberalisasi ACFTA, keunggulan kompetitif Indonesia semakin menurun setiap tahunnya. Industri TPT Indonesia kalah bersaing dari produk negara-negara lain terutama desakan produk China, sehingga besaran ISP berada pada tahapan embal meng mpor (1.00≤ISP≤0.00). Pada tahun 2007 n la ISP komoditi tekstil sebesar 0.47 menurun hingga sebesar -0.37 pada 2012, sementara untuk produk tekstil pada 2007 sebesar 0.71 dan menurun pada 2012 mencapai 0.07.

Singapura memiliki keunggulan kompetitif untuk komoditi tekstil, nilai ISP yang positif berarti bahwa ekspor komoditi tekstil Singapura lebih dominan dibanding impornya. Nilai ISP tahun 2007 dan 2012 masing-masing adalah 0.08 dan 0.11, sedangkan komoditi produk tekstil kurang kompetitif di pasar ACFTA karena memiliki nilai ISP negatif yaitu -0.60 pada 2007 namun memiliki kecenderungan yang perlahan meningkat.

23 Komoditi produk tekstil Kamboja mulai memasuki tahap pertumbuhan dari nilai ISP sebesar -0.08 pada 2007 menjadi 0.36 pada 2012. Sementara itu, komoditi tekstil Kamboja tidak memiliki keunggulan kompetitif bahkan memiliki nilai ISP terendah yaitu sebesar -0.98 pada 2012. Dapat dikatakan bahwa Kamboja cenderung sebagai eksportir komoditi tekstil, namun untuk komoditi produk tekstil cenderung sebagai importir. Ketersediaan bahan baku TPT negara Kamboja tergolong kurang memadai, pada sektor industri hulunya pun didominasi oleh perusahaan asing dunia sementara perusahaan multinasional di Kamboja yang dirancang oleh warga setempat masih sangat minim sehingga terlihat bahwa nilai ISP produk tekstil Kamboja terus meningkat. Ekspansi perusahaan asing ke Kamboja dapat disebabkan karena tingkat upah dan biaya produksi yang rendah.

Komoditi tekstil dan produk tekstil Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam kurang memiliki keunggulan kompetitif, dilihat dari nilai ISP dari 2007 hingga 2012 yang terus menurun. Malaysia memiliki nilai ISP komoditi tekstil pada 2007 sebesar -0.12, Filipina dan Thailand sebesar -0.05, serta Vietnam sebesar -0.06. Sama halnya dengan komoditi produk tekstilnya, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam memiliki nilai ISP yang rendah (ISP<1) dan cenderung pada kisaran tetap pada 2007 hingga 2012. Hal ini berarti bahwa negara-negara tersebut memiliki keunggulan kompetitif yang lemah dengan nilai impor yang lebih besar daripada ekspor.

Dinamika Aliran Perdagangan Intra Industri TPT Negara-negara ASEAN 7 dan China

Berdasarkan perhitungan indeks Grubel-Lloyd pada Lampiran 2, secara umum nilai IIT komoditi TPT secara bilateral antara negara-negara ASEAN 7 dan China pada 2012 sebanyak 46% berada pada tingkat integrasi lemah (0.01%-24.99%). Integrasi lemah berlangsung antara negara Kamboja dan China dengan partner dagangnya. Sementara itu, sebanyak 34% dari hasil perhitungan IIT berada pada tingkat integrasi sedang (25.00%-49.99%). Sedangkan 20% tergolong tingkat integrasi tinggi (50.00%-74.99%) yaitu terdapat pada IIT komoditi TPT Indonesia dan Singapura dengan partner dagangnya yang termasuk negara-negara ASEAN 7 dan China.

Indonesia

Berdasarkan Gambar 4, nilai IIT TPT Indonesia terhadap negara China dan ASEAN 6 lainnya mengalami perubahan kecenderungan pada periode 2007 hingga 2012. Nilai IIT dengan negara ASEAN-6 lainnya sebagian besar mulai meningkat pada tahun 2007, hal tersebut menunjukkan integrasi perdagangan TPT antara Indonesia dan negara ASEAN semakin menguat terutama dengan negara Thailand, Vietnam, dan Singapura yang pada 2012 bernilai masing-masing sebesar 70.40%, 69.69%, dan 53.23%.

24

Gambar 4 Nilai IIT TPT Indonesia dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

Perdagangan TPT Indonesia dengan Malaysia menguat pada tingkat integrasi sedang sebesar 40.22% pada 2012. Sedangkan aliran perdagangan TPT Indonesia dengan Filipina dan Kamboja menunjukkan adanya fluktuasi namun masih dalam kategori integrasi lemah dengan rata-rata nilai IIT setiap tahunnya masing-masing sebesar 8.08% dan 8.92%. Berbanding terbalik dengan Thailand, Vietnam, dan Singapura, nilai IIT Indonesia dengan China semakin menurun hingga sebesar 25.86% pada 2012 dari tingkat semula yang termasuk integrasi kuat sebesar 51.78% pada 2007. Semakin terbukanya akses perdagangan menyebabkan dominasi produk TPT asal China yang masuk ke Indonesia.

Malaysia

Gambar 5 Nilai IIT TPT Malaysia dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

Aliran perdagangan TPT antara Malaysia dengan negara China dan ASEAN 6 lainnya ditunjukkan oleh Gambar 5, integrasi secara kuat terjadi dengan negara Thailand dan Vietnam, namun integrasi keduanya mengalami penurunan. Antara Malaysia dengan Thailand pada 2007 sebesar 64.86% hingga sebesar 37.46% pada 2012, sedangkan antara Malaysia dengan Vietnam menurun hingga sebesar 45.07% pada 2012. Integrasi yang paling lemah (0.01%-24.99%) terjadi pada Kamboja dan Filipina dengan rata-rata selama periode 2007 hingga 2012 masing-masing sebesar 1.97% dan 14.48%, sedangkan IIT Malaysia dengan Indonesia

0 20 40 60 80 2007 2008 2009 2010 2011 2012 II T (% ) Tahun MAL PHI SNG THA VTM CAM CHI 0 20 40 60 80 2007 2008 2009 2010 2011 2012 II T (% ) Tahun INA PHI SNG THA VTM CAM CHI

25 menunjukkan peningkatan perlahan dan sempat mencapai tingkat integrasi tinggi (50.00%-74.99%) pada 2010 sebesar 53.07% dan 2011 sebesar 51.93%. Begitupun integrasi dengan China yang meningkat hingga 41.54% pada 2010, sementara itu pada periode yang sama integrasi dengan Singapura menurun pada posisi 28.67%. Fluktuasi yang terjadi antara Malaysia dengan Indonesia, China, dan Singapura tidak terlalu besar setiap tahunnya dan integrasi ketiganya cenderung pada tingkat sedang (25.00%-49.99%) masing-masing memiliki rata-rata IIT sebesar 48.22%, 33.40%, dan 32.87%.

Filipina

Tingkat IIT antara Filipina dengan negara China dan ASEAN 6 secara umum memiliki tingkat integrasi yang lemah (0.01%-24.99%). Pada Gambar 6 terlihat nilai IIT komoditi TPT yang paling tinggi terjadi antara Filipina dengan Singapura, nilainya pun berfluktuasi cukup tajam yakni pada tahun 2009 dan 2011 sebesar 57.71% dan 56.84%, sempat mengalami penurunan pada angka 36.72% tahun 2010. Sementara itu, terdapat lonjakan nilai IIT yang terjadi antara Filipina dengan Thailand pada tahun 2012 yakni meningkat sebesar 29.78% menjadi 57.51% dimana angka tersebut tergolong dalam integrasi kuat (50.00%-74.99%). Hal ini terjadi bersamaan dengan meningkatnya ekspor Filipina pada jenis komoditi produk tekstil. Berikutnya, IIT antara Filipina dengan Kamboja terus mengalami penurunan hingga mendekati 0% yaitu pada 2012 sebesar 1.90%, begitupula antara Filipina dengan Indonesia, Vietnam, dan China yang rata-rata IIT selama periode 2007 hingga 2012 masing-masing sebesar 15.37%, 14.43%, dan 14.07%. Sedangkan IIT dengan Malaysia berada pada tingkat integrasi sedang pada kisaran 26.49% selama periode enam tahun.

Gambar 6 Nilai IIT TPT Filipina dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

Singapura

Hasil perhitungan indeks IIT pada Gambar 7, aliran perdagangan TPT antarnegara Singapura dengan Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam yang rata-rata berada pada tingkat integrasi kuat (50.00%-74.99%). Aliran perdagangan yang paling tinggi dan stabil berlangsung antara Singapura dengan Thailand pada 2012 mencapai 63.56%. Aliran perdagangan Singapura

0 10 20 30 40 50 60 70 2007 2008 2009 2010 2011 2012 II T (%) Tahun INA MAL SNG THA VTM CAM CHI

26

dengan Filipina meningkat mencapai tingkat integrasi kuat pada tahun 2011 dan 2012 sebesar 67.98% dan 61.65%.

Gambar 7 Nilai IIT TPT Singapura dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

Pada Gambar 7 juga terlihat pengelompokan nilai IIT antara Singapura dengan negara partner dagang tertentu secara jelas, nilai IIT antara Singapura dan Kamboja berada pada tingkat integrasi lemah dengan rata-rata 9.38%, begitu pula dengan China dengan rata-rata sebesar 8.37%. Dilihat dari aliran ekspor dan impornya. perdagangan TPT antara Singapura dan China cenderung didominasi oleh impor TPT dari China ke Singapura dengan perbedaan nilai yang cukup besar. Integrasi aliran perdagangan TPT antara Singapura dengan Indonesia dan Vietnam selama periode 2007 hingga 2012 stabil pada tingkat integrasi sedang (25.00%-49.99%) dengan rata-rata nilai IIT sebesar 42.70% dan 40.61%.

Thailand

Gambar 8 Nilai IIT TPT Thailand dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

Berdasarkan Gambar 8, nilai IIT untuk komoditi TPT antara Thailand dengan negara China dan ASEAN 6 lainnya sangat beragam. Antara Thailand dengan Indonesia dan Malaysia memiliki tingkat intregasi yang tergolong kuat (50.00%-74.99%) dengan perubahan nilai yang cukup stabil dalam periode enam tahun, dan pada 2012 masing-masing memiliki nilai IIT sebesar 68.31% dan 66.55%. 0 20 40 60 80 2007 2008 2009 2010 2011 2012 II T (% ) Tahun INA MAL PHI THA VTM CAM CHI 0 20 40 60 80 2007 2008 2009 2010 2011 2012 II T (% ) Tahun INA MAL PHI SNG VTM CAM CHI

27 Berikutnya antara Thailand dengan Vietnam, Singapura, dan China berada pada tingkat IIT sedang (25.00%-49.99%) rata-rata nilainya masing-masing sebesar 41.51%, 26.27%, dan 36.42%. Sedangkan aliran perdagangan paling rendah yaitu antara Thailand dengan Singapura dan Filipina. angka IIT keduanya cukup berfluktuasi, namun ada kecenderungan peningkatan dimulai tahun 2010 hingga pada 2012 sebesar 42.98% dan 32.64%. Integrasi terendah terdapat pada aliran perdagangan antara Thailand dengan kamboja, nilainya hampir mendekati 0%, namun pada 2010 mulai mengalami peningkatan meskipun masih tergolong integrasi lemah (0.01%-24.99%) rata-rata sebesar 8.10%.

Vietnam

Peningkatan nilai IIT antara Vietnam dengan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 9, pada tahun 2008 terjadi tren meningkat hingga mencapai tingkat integrasi kuat (50.00%-74.99%) pada tahun 2012 sebesar 60.46%. Nilai IIT tertinggi terjadi antara Vietnam dengan Malaysia dengan nilai yang cenderung stabil dengan rata-rata selama periode 2007 hingga 2012 sebesar 61.29%. Berikutnya aliran perdagangan TPT dengan negara Thailand pada kategori integrasi sedang (25.00%-49.99%) dan mulai terjadi penurunan perlahan mulai 2008, meski demikian secara rata-rata nilainya sebesar 43.51%.

Gambar 9 Nilai IIT TPT Vietnam dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

Pada Gambar 9 juga ditunjukkan IIT komoditi TPT antara Vietnam dengan Singapura, China, Filipina, dan Kamboja yang rata-rata berada pada tingkat integrasi lemah (0.01%-24.99%) dalam periode 2007 hingga 2012 masing-masing sebesar 22.43%, 14.85%, 8.67%, dan 5.87%. Meski secara rata-rata rendah, integrasi antara Vietnam dan Singapura memiliki kecenderungan yang perlahan meningkat mulai 2009 dan pada 2012 tergolong integrasi sedang dengan nilai IIT 27.74%.

Kamboja

Aliran perdagangan TPT antara Kamboja dengan negara China dan ASEAN 6 lainnya pada Gambar 10 menunjukkan bahwa secara umum termasuk dalam tingkat integrasi rendah (0.01%-24.99%). Nilai IIT antara Kamboja dan Filipina pada periode 2007 tergolong integrasi sedang sebesar 40.26%, namun nilai tersebut terus menurun secara signifikan mendekati 0% hingga pada 2012 sebesar 2.35%. Bila dilihat dari neraca perdagangan, Kamboja cenderung sebagai importir

0 10 20 30 40 50 60 70 2007 2008 2009 2010 2011 2012 II T (% ) Tahun INA MAL PHI SNG THA CAM CHI

28

komoditi TPT bila dibandingkan dengan negara China, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Singapura. Oleh sebab itu integrasi yang terjalin antara Kamboja dengan negara lainnya terlihat lemah dan pada 2012 seluruhnya berada pada tingkat integrasi lemah.

Gambar 10 Nilai IIT TPT Kamboja dengan negara-negara ASEAN 6 dan China

China

Berdasarkan Gambar 11, IIT TPT antara China dan negara-negara ASEAN 7 selama periode 2007 hingga 2012 rata-rata berada pada tingkat integrasi rendah (0.01%-24.99%).Rata-rata nilai IIT China dengan Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, dan Kamboja masing-masing sebesar 20.36%, 13.80%, 8.61%, 4.09%. 14.21%, dan 4.92%. Sementara antara Cina dengan Thailand berada pada tingkat integrasi kuat (25.00%-49.99%) dibandingkan negara lainnya yaitu sebesar 47.94% pada 2007 meski perlahan menurun hingga 32.23% pada 2012. China merupakan negara importir TPT yang berpengaruh cukup besar dalam mendominasi perdagangan TPT di kawasan ACFTA bila dibandingkan negara-negara ASEAN 7.

Gambar 11 Nilai IIT TPT China dengan negara-negara ASEAN 7

Intra industri trade komoditi TPT menunjukkan terdapat kesamaan faktor produksi yang dimiliki setiap negara dalam sektor tersebut. Nilai IIT yang rendah mengindikasikan terjadinya ketimpangan aliran perdagangan pada salah satu

0 10 20 30 40 50 2007 2008 2009 2010 2011 2012 II T (% ) Tahun INA MAL PHI SNG THA VTM CHI 0 10 20 30 40 50 60 2007 2008 2009 2010 2011 2012 II T (% ) Tahun INA MAL PHI SNG THA VTM CAM

29 negara, yakni negara memiliki kecenderungan nilai impor yang tinggi dan negara lainnya memiliki nilai ekspor yang tinggi dalam pasar bilateral. Perbedaan kemampuan negara dalam pertukaran ekspor dan impor komoditi TPT dapat menyebabkan pergeseran industri TPT ke negara yang memiliki faktor produksi yang lebih mendukung. Hal ini dapat memperlemah posisi negara yang kalah bersaing dalam komoditi TPT diperburuk dengan berlakunya sistem perdagangan bebas.

Berdasarkan data yang dianalisis terhadap negara-negara ASEAN 7 dan China secara bilateral, terdapat perbedaan pada nilai perdagangan antarnegara yang bertindak sebagai reporter dan partner perdagangan. Idealnya antar dua negara memiliki nilai perdagangan yang sama. misal bila Indonesia sebagai negara reporter dan china sebagai partner maka nilai komoditi yang diekspor atau impor dari indonesia besarnya sama dengan nilai komoditi yang di impor atau diekspor oleh China dari Indonesia saat China menjadi reporter.

Ketimpangan yang terjadi antara nilai perdagangan negara secara bilateral hampir pada seluruh data antarnegara yang dianalisis, hal ini disebabkan antara lain dikarenakan perbedaan sistem pencatatan pada negara-negara yang bersangkutan. Misal Indonesia yang selama ini memakai sistem pencatatan

Freight on Board (FOB) yang tidak mencakup pembayaran jasa pengiriman, sedangkan ketika barang sampai ke China sebagai importir pencatatan dilakukan berdasarkan Cost Insurance Freight (CIF) yang nilainya lebih besar karena memperhitungkan biaya jasa pengiriman. Selain hal tersebut, juga dapat disebabkan karena perbedaan waktu pencatatan, misal ekspor dari Indonesia tercatat pada akhir bulan sampai ke China pada awal bulan berikutnya maka di China akan tercatat pada bulan tersebut. Meski demikian, ketimpangan pencatatan nilai perdagangan antarnegara juga dapat dimungkinkan karena faktor-faktor lainnya seperti underinvoicing, misclassification, maupun underpricing yang tergolong human error.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Aliran Perdagangan Intra IndustriTPT Negara-negara ASEAN 7 dan China Uji Kesesuaian Model

Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi aliran perdagangan TPT antar negara-negara ASEAN 7 dan China dilakukan dengan menggunakan analisis data panel dengan periode tahun 2007 hingga 2012. Sebelumnya. model dianalisis menggunakan pendekatan Fixed Effect Model dan Random Effect Model. Berdasarkan hasil uji Haussman Lampiran 3, nilai probabilitas (0.0397)<taraf nyata (10%) yang artinya tolak H0 maka pendekatan terbaik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan Fixed EffectModel.

Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi IIT komoditi TPT intra ASEAN 7 dan China secara bilateral melalui pendekatan Fixed EffectModel dapat dilihat pada Tabel 6. Peubah dalam model dianalisisdengan menggunakan taraf nyata sebesar 10%. Hasil uji normalitas pada Lampiran 5 nilai probabilitas Jaque Bera sebesar 0.1265 lebih besar dari taraf nyata (10%) maka terima H0 yang artinya asumsi kenormalan terpenuhi dimana error term sudah terdistribusi secara normal.

30

Tabel 7 Hasil estimasi faktor-faktor yang memengaruhi Intra Industry Trade

TPT antara negara-negara ASEAN 7 dan China

Variable Coefficient Prob.

AVGDP 3.558614 0.0799 AVGDPC 0.782099 0.7437 ERP 8.816301 0.0002 FDI -0.28282 0.0713 FER 0.702591 0.0001 WDIST -5.13822 0.0627 C -89.3204 0.027 R-squared 0.984361 Adjusted R-squared 0.980483 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 1.888862

Sum squared resid (weighted) 10382.72 Sum squared resid (unweighted) 11292.05

Selanjutnya adalah uji asumsi autokorelasi yang bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan korelasi antar residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Uji autokorelasi dilakukan dengan membandingkan nilai Durbin Watson (DW) hasil estimasi pada Tabel 6 sebesar 1.8888 dengan nilai DW pada tabel. Berdasarkan tabel DW dengan taraf nyata 5%, n=56, dan k=6, maka diperoleh nilai batas bawah (DL) sebesar 1.3424 dan batas atas (DU) sebesar 1.8124. Nilai DW hasil estimasi menunjukkan bahwa model terbebas dari autokorelasi dengan nilai DW berada pada rentang DU<DW<4-DU.

Uji asumsi multikolinearitas dilakukan dengan cara membandingkan nilai korelasi antar peubah dengan R-square, jika nilai korelasi antar peubah lebih kecil dari R-square maka tidak terjadi multikolinearitas. Pada Lampiran 7 ditunjukkan bahwa nilai korelasi antar peubah lebih kecil dari R-square (0.984361), dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas pada model. Sementara itu, nilai sum square resid pada weighted statistics yang lebih kecil dari sum squared resid pada

unweighted statistics mengindikasikan adanya heteroskedastisitas, namun estimasi model dengan metode GLS cross section weights telah dapat mengatasi masalah tersebut dan model estimasi dapat dikatakan telah terbebas dari masalah heteroskedastisitas (Juanda 2009). Hasil estimasi dengan metode GLS cross section weights menghasilkan nilai sum square resid pada weighted statistic

sebesar 10382.72 dan nilai sum square resid pada unweighted statistic sebesar 11292.05.

Berdasarkan nilai R2 atau koefisien determinasi dari hasil estimasi tersebut dapat diketahui bahwa 98.43% tingkat IIT komoditi TPT antara negara-negara ASEAN 7 dan China dapat dijelaskan oleh peubah-peubah bebasnya (AVGDP, AVGDPC, ERP, FDI, FER, dan WDIST), sedangkan sisanya dijelaskan oleh peubah lain di luar model. Nilai probabilitas F-statistic pada hasil estimasi sebesar 0.000 lebih kecil dari taraf nyata 10%, sehingga dapat disimpulkan bahwa model

31 yang dipilih memiliki lima peubah independen yang berpengaruh signifikan terhadap IIT komoditi TPT intra ASEAN 7 dan China.

Dokumen terkait