• Tidak ada hasil yang ditemukan

Regulasi Transaksi Jual Beli Secara Onli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Regulasi Transaksi Jual Beli Secara Onli"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Regulasi Transaksi Jual Beli Secara Online di Indonesia

Anggun Susila Ningsih 55415110023

Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana

e-mail : sn.anggun@yahoo.com

Dosen : DR Ir Iwan Krisnadi MBA

Abstrak

Arus globalisasi yang saat ini membuat jarak antar negara bukanlah suatu problematika lagi. Orang semakin mudah berhubungan dengan orang lain melalui perkembangan teknologi dan komunikasi. Salah satu perkembangan yang signifikan sekarang adalah transaksi jual beli secara online atau E-Commerce. Penjual dan pembeli tidak perlu bertatap muka (face to face) untuk melakukan transaksi jual beli, melainkan hanya perlu memiliki koneksi internet yang akan mempertemukan mereka di dunia virtual. Eksistensi E-Commerce ini penting untuk dikaji aspek legalitasnya, agar tidak menjadi sengketa hukum yang dapat merugikan berbagai pihak secara komersial.

Kata Kunci : bisnis online, e-commerce, dunia virtual

I. Pendahuluan

E-Commerce lahir berdasarkan kontrak jual beli yang terjadi secara elektronik antara penjual dan pembeli. Hingga saat ini masih terjadi kekosongan hukum di Indonesia, sebab belum mengakomodir tentang syarat-syarat sahnya suatu kontrak elektronik secara khusus.Namun, prinsip dasar keberlakuan suatu kontrak di Indonesia mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata, sehingga dapat pula diterapkan pada kontrak elektronik.

Adapun syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Keberadaan suatu unsur kesepakatan dalam E-Commerce diukur melalui pembeli yang mengakses dan menyetujui penawaran melalui internet. Hal ini dapat diterjemahkan sebagai penerimaan untuk menyepakati sebuah hubungan hukum.

(2)

oleh pembeli ini menjadi dasar dari kesamaan kehendak para pihak, sehingga kesepakatan dalam kontrak elektronik lahir.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Cakap menurut hukum adalah orang yang telah dewasa menurut hukum, yaitu seseorang yang telah berumur 21 tahun dan telah kawin, serta tidak di bawah pengampuan. Unsur kecakapan dalam E-Commerce sulit untuk diukur, sebab setiap orang (tanpa dibatasi dengan umur tertentu) dapat mejalankan transaksi elektronik sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transksi Elektronik (“UU ITE”).

Berdasarkan ketentuan ini, anak-anak yang masih di bawah umur dapat melakukan E-Commerce dan tidak memenuhi syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Oleh karena itu, kontrak ini dapat dibatalkan melalui seseorang yang mengajukan pembatalan di pengadilan.

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan dan dapat ditentukan jenisnya. Produk yang ditawarkan secara online tertuang dalam bentuk gambar atau foto yang disertai dengan spesifikasi produk tersebut. Namun, tidak ada jaminan bahwa produk tersebut pasti dikirimkan kepada pembeli sekalipun telah membayar melalui sistem pengiriman uang atau transfer melalui bank.

4. Suatu sebab yang halal

Maksud dari suatu sebab yang halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan kepentingan umum. Dalam E-Commerce harus dipastikan bahwa transaksi jual beli dilakukan dengan prinsip itikad baik oleh penjual dan pembeli. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka kontrak elektronik batal demi hukum.

Berdasarkan pemaparan di atas, E-Commerce telah sah menurut hukum sepanjang memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif, sebab melekat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam E-Commerce. Sedangkan, syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, karena melekat pada objek dalam E-Commerce. Apabila syarat pertama dan/atau syarat kedua tidak dipenuhi, maka kontrak elektronik dapat dibatalkan oleh pihak yang berkepentingan dalam jangka waktu selama 5 (lima) tahun sesuai dengan Pasal 1454 KUHPerdata. Dalam hal syarat ketiga dan/atau syarat keempat tidak dipenuhi, maka kontrak elektronik batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada dan tidak ada dasar untuk menuntut.

Pajak dalam E-Commerce

Para pelaku usaha sudah sepatutnya dikenai pajak, sebab E-Commerce sama dengan transaksi jual beli secara konvensional. Namun, pelaku usaha E-Commerce yang tidak memiliki keberadaan secara fisik layaknya pelaku usaha konvensional menyebabkan pengenaan pajak atas transaksi E-Commerce sering diabaikan.

(3)

TransaksiE-Commerce Nomor SE-62/PJ/2013 pada tanggal 27 Desember 2013. Pada prinsipnya, tidak ada pajak yang mengatur secara khusus mengenai E-Commerce, melainkan menerapkan peraturan pajak yang telah ada.

S62/PJ/2013 memandatkan setiap pihak-pihak yang terlibat dalam E-Commerce dan memenuhi syarat subjektif dan objektif berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009.

Ada 2 (dua) macam pajak yang dapat dikenakan atas E-Commerce, yaitu Pajak Penghasilan (“PPh”) yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 dan Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“PPNBM”) yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 42 Tahun 2009. SE-62/PJ/2013 mengklasifikasi E-Commerce ke dalam 4 (empat) kegiatan besar, antara lain:

1. Online Marketplace

Online marketplace atau biasa disebut marketplace adalah kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha berupa Toko Internet atau Mal Internet sebagai tempat online Maketplace Merchant menjual barang atau jasa.

Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah penyelenggara, merchant (penjual), dan pembeli.

Pada skema transaksi ini, terdapat kewajiban Pajak PPh dan PPN dan/atau PPNBM dalam proses bisnis jasa penyediaan tempat dan/atau waktu, penjualan barang dan/atau jasa, serta proses bisnis penyetoran hasil penjualan kepada merchant oleh penyelenggara.

2. Classified Ads

Classified Ads adalah kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu untuk memajang content barang dan atau jasa bagi pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada pengguna iklan melalui situs yang disediakan oleh penyelenggara classified Ads.

Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah penyelenggara, merchant (penjual), dan pembeli.

Pada skema transaksi ini, terdapat kewajiban Pajak PPh dan PPN dan/atau PPNBM dalam proses bisnis penyediaan tempat dan/atau waktu untuk memajang content baran dan/atau jasa.

3. Daily Deals

(4)

Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah penyelenggara, merchant (penjual), dan pembeli.

Pada skema transaksi ini, terdapat kewajiban Pajak PPh dan PPN dan/atau PPNBM dalam proses bisnis jasa penyediaan tempat dan/atau waktu, penjualan barang dan/atau jasa, serta dalam proses bisnis penyetoran hasil penjualan kepada merchan oleh penyelenggara.

4. Online Retail

Online retail adalah kegiatan menjual barang dan/atau jasa yang diselenggarakan oleh penyelenggara kepada pembeli di situs online retail.

Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah penyelenggara sekaligus merchant (penjual) dan pembeli.

Pada skema transaksi ini, terdapat kewajiban Pajak PPh dan PPN dan/atau PPNBM dalam proses bisnis jasa penyediaan tempat dan/atau waktu, penjualan barang dan/atau jasa, serta dalam proses penjualan barang dan/atau jasa.

Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang E-Commerce

Saat ini pemerintah belum mengatur spesifik secara tegas peraturan dan ketentuan mengenai kegiatan usaha / bisnis secara online.

Menurut Kompas yang mengutip dari Daily Social per Juni 2015, bahwa pemerintah telah menyusun peraturan ecommerce melalui kegiatan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP).

Selanjutnya dalam draft rancangan tersebut mengatur tentang transaksi jual beli online (e-commerce) yang justru dikhawatirkan bakal mematikan pelaku industri lokal.

Dimana salah satu pasal yang mewajibkan pihak penjual dan pembeli dalam transaksi online, terverifikasi melalui input nomor KTP dan NPWP. Tahap verifikasi ini biasa disebut dengan KYC (Know Your Customer).

Daily Social menyebut bahwa proses verifikasi yang harus dilakukan lebih dulu dalam setiap transaksi online melalui situs e-commerce lokal, seperti Bukalapak, Tokopedia, Kaskus, atau OLX, bisa merepotkan pengguna.

Jika pengguna merasa repot, maka dikhawatirkan mereka akan pindah ke platform jual beli lain, seperti Facebook, Instagram, atau eBay yang prosesnya lebih sederhana.

(5)

II. Masalah

Saat konsumen melakukan belanja barang secara online, tapi barang yang di terima tidak sama dengan yang di lihat di foto pada iklan yang dipajang, apakah itu termasuk pelanggaran hak konsumen? Apakah konsumen dapat menuntut penjual untuk mengembalikan uang atau mengganti barang yang di beli tersebut?

III. Pembahasan

Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”). PP PSTE sendiri merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik (“UU ITE”).

Pendekatan Hukum Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Jual Beli/Belanja secara Online

Dengan pendekatan UU PK, kasus yang tersebut dapat disimpulkan sebagai salah satu pelanggaran terhadap hak konsumen.

Pasal 4 UU PK menyebutkan bahwa hak konsumen adalah :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha (dalam hal ini adalah penjual online), sesuai Pasal 7 UU PK adalah:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

(6)

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Terkait dengan persoalan diatas, lebih tegas lagi Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang Anda terima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang.

konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU PK tersebut berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU PK berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 UUPK, yang berbunyi:

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen berdasarkan UU ITE dan PP PSTE

(7)

a. terdapat kesepakatan para pihak;

b. dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. terdapat hal tertentu; dan

d. objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTE setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut:

a. data identitas para pihak; b. objek dan spesifikasi;

c. persyaratan Transaksi Elektronik; d. harga dan biaya;

e. prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;

f. ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan

g. pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.

Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang dilakukan konsumen, dapat menggunakan instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan kasus tersebut.

Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pada ayat berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan.

Lalu, bagaimana jika barang yang konsumen terima tidak sesuai dengan yang diperjanjikan?

Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.

Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang di terima tidak sesuai dengan foto pada iklan toko online tersebut (sebagai bentuk penawaran), konsumen juga dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang di lakukan dengan penjual.

Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”, wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

(8)

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka konsumen secara perdata dapat menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang di terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam display home page/web site).

Pidana Penipuan dalam Transaksi Jual Beli Secara Online

Hal yang perlu diingat adalah bahwa jual beli secara online pada prinsipnya adalah sama dengan jual beli secara faktual pada umumnya. Hukum perlindungan konsumen terkait transaksi jual beli online pun sebagaimana di jelaskan sebelumnya tidak berbeda dengan hukum yang berlaku dalam transaksi jual beli secara nyata. Pembedanya hanya pada penggunaan sarana internet atau sarana telekomunikasi lainnya. Akibatnya adalah dalam transaksi jual beli secara online sulit dilakukan eksekusi ataupun tindakan nyata apabila terjadi sengketa maupun tindak pidana penipuan. Sifat siber dalam transaksi secara elektronis memungkinkan setiap orang baik penjual maupun pembeli menyamarkan atau memalsukan identitas dalam setiap transaksi maupun perjanjian jual beli.

Dalam hal pelaku usaha atau penjual ternyata menggunakan identitas palsu atau melakukan tipu muslihat dalam jual beli online tersebut, maka pelaku usaha dapat juga dipidana berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang penipuan dan Pasal 28 ayat (1) UU ITEtentang menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Bunyi selengkapnya Pasal 28 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut:

“Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”

Perbuatan sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [2] UU ITE).

IV. Kesimpulan dan Saran

(9)

Prinsip keamanan infrastruktur transaksi secara online seperti jaminan atas kebenaran identitas penjual/pembeli, jaminan keamanan jalur pembayaran (payment gateway), jaminan keamanan dan keandalan web site electronic commerce belum menjadi perhatian utama bagi penjual maupun pembeli, terlebih pada transaksi berskala kecil sampai medium dengan nilai nominal transaksi yang tidak terlalu besar (misalnya transaksi jual beli melalui jejaring sosial, komunitas online, toko online, maupun blog). Salah satu indikasinya adalah banyaknya laporan pengaduan tentang penipuan melalui media internet maupun media telekomunikasi lainnya yang diterima oleh kepolisian maupun penyidik Kementerian Kominfo.

Dengan kondisi demikian, ada baiknya kita lebih selektif lagi dalam melakukan transaksi secara online dan mengedepankan aspek keamanan transaksi dan kehati-hatian sebagai pertimbangan utama dalam melakukan transaksi jual beli secara online.

V. Daftar Pustaka

Ainur Rofiq, PENGARUH DIMENSI KEPERCAYAAN (TRUST) TERHADAP PARTISIPASI PELANGGAN E-COMMERCE (Studi Pada Pelanggan E-Commerce Di Indonesia), Universitas Brawijaya, Malang, 2007

http://www.sindikat.co.id/blog/aspek-hukum-e-commerce-hukum-jual-beli-online

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50bf69280b1ee/perlindungan-konsumen-dalam-e-commerce

http://jurnal-sdm.blogspot.co.id/2009/08/e-commerse-definisi-jenis-tujuan.html

Referensi

Dokumen terkait

Sistem informasi iklan jual-beli online di toko cat rumah warna berbasis web ini merupakan program yang dibangun menggunakan PHP dan MySQL sebagai koneksi ke database

ASPEK HUKUM TRANSAKSI JUAL BELI SECARA ONLINE DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA FACEBOOK.. Legal Aspect Of Purchase And Sale In Online Transaction

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dilihat dengan jelas bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur adanya hak bagi konsumen untuk mendapat

Namun keputusan tetap berada pada pihak pembeli, setelah pembeli memutuskan barang yang diinginkan, maka barang tersebut akan diuji terlebih dahulu di toko tersebut, jika

Adapun penelitian dalam skripsi ini yang berjudul “Transaksi Jual Beli Melalui Media Internet Pada Toko Buku Online Bukumurah.net Banjarmasin.” Penulis lebih memfokuskan

Ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli tersebut diatas, berlaku juga dalam transaksi jual beli secara elektronik, walaupun antara penjual dan pembeli

Dari wawancara tersebut dapat di simpulkan bahwa akad yang di gunakan di Toko Nurhayati dengan akad suka sama suka, memang banyak pembeli yang menawar dengan sesuka hati, dengan adanya

Setelah mengkaji rukun dan syarat jual beli dalam hukum Islam, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa transaksi jual beli online ini tidak bertentangan dengan hukum Islam, baik dari segi