• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pakar Hama dan Penyakit Tanaman R (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sistem Pakar Hama dan Penyakit Tanaman R (3)"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

15 2.1. Sistem Pakar

2.1.1. Pengertian Sistem

Sistem adalah Menurut Fatta (2007 : 3) sistem dapat diartikan sebagai suatu kumpulan atau himpunan dari unsur atau vaiabel-variabel yang saling terorganisi, saling berinteraksi dan saling bergantung satu sama lain. Sedangkan menurut Kusrini (2007 : 5) kata sistem mempunyai beberapa pengertian, tergantung dari sudut pandang mana kata tersebut didefinisikan. Secara garis besar ada dua kelompok pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan sistem yang lebih menekankan pada elemen-elemen atau kelompoknua, yang dalam hal ini sistem itu didefinisikan sebagai “suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu aturan tertentu”.

(2)

Pendekatan sistem yang lebih menekankan pada elemen-elemen atau komponennya mendefinisikan sistem sebagai “sekumpulan elemen yang saling terkait atau terpadu yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan”. Dengan demikian di dalam suatu sistem, komponen-komponen ini tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, tetapi sebaliknya, saling berhubungan hingga membentuk satu kesatuan sehingga tujuan sistem itu dapat tercapai.

2.1.2. Karakteristik Sistem

Sistem mempunyai beberapa karakteristik atau sifat-sifat tertentu, antara lain:

1. Komponen Sistem (Component)

Suatu sistem terdiri dari sejumlah komponen yang salikng berinteraksi, yang saling bekerja sama membentuk suatu komponen sistem atau bagian-bagian dari sistem.

2. Batasan Sistem (Boundary)

Merupakan daerah yang membatasi suatu sistem dengan sistem yang lain atau dengan lingkungan kerjanya.

3. Subsistem

Bagian-bagian dari sistem yang beraktivitas dan berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan dengan sasarannya masing-masing.

4. Lingkungan Luar Sistem (Environment)

(3)

5. Penghubung Sistem (Interface)

Media penghubung antara suatu subsistem dengan subsistem lain. Adanya penghubung ini memungkinkan berbagai sumber daya mengalir dari suatu subsistem ke subsistem lainnya.

6. Masukan Sistem (Input)

Energi yang masuk ke dalam sistem, berupa perawatan dan sinyal. Masukan perawatan adalah energi yangn dimasukan supaya sistem tersebut dapat berinteraksi.

7. Keluaran Sistem (Output)

Hasil energi yang diolah dan diklasifikasikan menjadi keluaran yang berguna dan sisa pembuangan.

8. Pengolahan Sistem (Process)

Suatu sistem dapat mempunyai suatu bagian pengolah yang akan mengubah masukan menjadi keluaran.

9. Sasaran Sistem (Object)

Tujuan yang ingin dicapai oleh sistem, akan dikatakan berhasil apabila mengenai sasasran atau tujuan.

2.1.3. Klasifikasi Sistem

Sistem dapat diklasifikasikan menjadi sebagai berikut:

1. Sistem abstrak (Abstract System) dan sistem fisik (physical system).

(4)

2. Sistem alamiah (natural system) dan sistem buatan manusia (human made). Sistem alamiah adalah sistem yang terjadi melalui proses alam Sedangkan sistem buatan adalah sistem yang dirancang oleh manusia.

3. Sistem tertentu (deterministic system) dan sistem tak tentu (probabilistic system). Sistem tertentu adalah suatu sistem dapat diprediksi secara tepat, Sedangkan sistem tak tentu adalah sistem yang kondisi masa depannya tidak dapat diprediksi.

4. Sistem tertutup (closed system) dan sistem terbuka (open system)

Sistem tertutup adalah sistem yang tidak terpengaruh oleh lingkungan luar atau otomatis, Sedangkan sistem terbuka adalah sistem yang berhubungan dan terpengaruh oleh lingkungan luarnya.

2.1.4. Pengertian Pakar

Seorang ahli (pakar) adalah seseorang yang mampu menjelaskan suatu tanggapan, mempelajari hal-hal baru seputar topik permasalahan, menyusun kembali pengetahuan jika dipandang perlu, memecahkan masalah dengan cepat dan tepat (Arahmi, 2005). Sedangkan menurut Kusrini (2008 : 3) pakar yang dimaksud dalam sistem pakar adalah seorang yang mempunyai keahlian khusus yang dapat menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh orang awam. Seorang pakar memiliki keahlian sebagai berikut :

1. Dapat mengenali (recognizing) dan merumuskan masalah 2. Menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat

(5)

5. Restrukturisasi pengetahuan

6. Menentukan relevansi atau hubungan 7. Memahami batas kemampuan

Kepakaran merupakan pemahaman yang luas dari tugas atau pengatahuan spesifik yang diperoleh dari pelatihan, membaca dan pengalaman.

Jenis-jenis pengetahuan yang dimiliki dalam kepakaran adalah sebagai berikut:

1. Teori-teori dari permasalahan

2. Aturan dan prosedur yang mengacu pada area permasalahan 3. Aturan (heuristik) yang harus dikerjakan pada situasi yang terjadi 4. Strategi global untuk menyelesaikan berbagai jenis masalah 5. Meta-knowledge (pengetahuan tentang pengetahuan)

6. Fakta-fakta

Pemilihan seseorang sebagai seorang pakar (domain expert) hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Orang yang memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah khusus dengan cara-cara yang superior dibanding kebanyakan 2. Memiliki pengetahuan kepakaran

3. Memiliki keterampilan problem-solving yang efesien 4. Dapat mengomunikasikan pengetahuan

(6)

2.1.5. Pengertian Sistem Pakar

Sistem pakar adalah suatu sistem komputer yang berbasis pengetahuan (Knowledge-Based System) terpadu yang memiliki kemampuan untuk memecahkan berbagai masalah dalam bidang tertentu secara cerdas dan efektif sebagaimana layaknya pakar. Istilah sistem pakar seringkali juga disebut dengan Knowledge-Based System (KBS) atau Knowledge-Based Espert System. Sistem pakar menurut Kusrini (2006 : 11) adalah sistem berbasis komputer yang menggunakan pengetahuan, fakta dan teknik penalaran dalam memecahkan masalah yang biasanya hanya dapat dipecahkan oleh seorang pakar dalam bidang tersebut.

2.1.6. Pemakai Sistem Pakar

Sistem pakar dapat digunakan oleh :

1. Orang awam yang bukan pakar untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah

2. Pakar sebagai asisten yang berpengalaman

3. Memperbanyak atau menyebarkan sumber pengetahuan yang semakin langka.

Sistem pakar merupakan program yang dapat menggantikan keberadaan seorang pakar. Alasan mengapa expert system (ES) dikembangkan untuk menggantikan seorang pakar:

1. Dapat menyediakan kepakaran setiap waktu dan di berbagai lokasi.

(7)

3. Seorang pakar akan pensiun atau pergi.

4. Menghadirkan / mengguanakan jasa seorang pakar memerlukan biaya yang mahal.

5. Kepakaran dibutuhkan juga pada lingkungan yang tidak bersahabat (hostile environment).

2.1.7. Ciri-ciri Sistem Pakar

Adapun ciri-ciri suatu sistem dapat dikatakan sebagai sistem pakar adalah sebagai berikut:

1. Terbatas pada bidang yang spesifik.

2. Dapat memberikan penalaran untuk data-data yang tidak lengkap atau tidak pasti.

3. Dapat mengemukakan rangkaian alasan yang diberikannya dengan cara yang dapat dipahami

4. Berdasarkan pada rule atau kaidah tertentu

5. Dirancang untuk dapat dikembangkan secara bertahap 6. Output-nya bersifat nasihat atau anjuran

7. Output tergantung dari dialog dengan user 8. Knowledge base dan inference engine terpisah 2.1.8. Keuntungan Pemakaian Sistem Pakar

Keuntungan dari pemakaian sistem pakar atau expert system adalah sebagai berikut:

(8)

3. Meningkatkan output dan produktivitas. Expert system atau sistem pakar dapat bekerja lebih cepat dari manusia. Keuntungan ini berarti mengurangi jumlah pekerja yang dibutuhkan dan akhirnya akan mereduksi biaya

4. Meningkatkan kualitas

5. ES menyediakan nasihat yang konsisten dan dapat mengurangi tingkat kesalahan

6. Membuat peralatan yang kompleks lebih mudah dioperasikan karena ES dapat melatih pekerja yang tidak berpengealaman

7. Handal (reliability)

8. ES tidak dapat lelah atau bosan, juga konsisten dalam memberi jawaban dan selalu memberikan perhatian penuh

9. Memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang kompleks

10. Memungkinkan pemindahan pengetahuan ke lokasi yang jauh serta memperluas jangkauan seorang pakar, dapat diperoleh dan dipakai dimana saja. Merupakan arsip yang terpercaya dari sebuah keahlian sehingga user seolah-olah berkonsultasi langsung dengan sang pakar meskipun mungkin sang pakar sudah pensiun.

2.1.9. Arsitektur Sistem Pakar

(9)

Sedangkan basis data sistem pakar berisi pengetahuan setingkat pakar pada subyek tertentu. Berisi pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami, merumuskan, dan menyelesaikan masalah. Basis data ini terdiri dari dua elemen dasar, yaitu:

1. Fakta, situasi masalah dan teori terkait

2. Heuristik khusus atau rules yang langsung menggunakan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah khusus.

Fasilitas akuisisi pengetahuan merupakan perangkat lunak yang menyediakan fasilitas dialog antar pakar dengan sistem. Fasilitas akuisisi ini digunakan untuk memasukan fakta-fakta dan kaidah-kaidah sesuai dengan perkembangan ilmu. Meliputi proses pengumpulan, pemindahan, dan perubahan kemampuan pemecahan masalah seorang pakar atau sumber pengetahuan terdokumentasi.

Mekanisme inferensi merupakan perangkat lunak yang melakukan penalaran dengan menggunakan pengetahuan yang ada untuk menghasilkan suatu kesimpulan atau hasil akhir.

2.1.10.Orang yang Terlibat dalam Sistem Pakar

Untuk memahami perancangan sistem pakar, perlu dipahami mengenai siapa saja yang berinteraksi dengan sistem. Mereka adalah

(10)

2. Pembangun pengetahuan (knowledge engineer) adalah seorang yang menerjemahkan pengetahuan seorang pakar dalam bentuk deklaratif sehingga dapat digunakan oleh sistem pakar

3. Pengguna (user) adalah seseorang yang berkonsultasi dengan sistem untuk mendapatkan saran yang disediakan oleh pakar

4. Pembangun sistem (software engineer) adalah seseorang yang membuat antarmuka pengguna, merancang bentuk basis pengetahuan secara deklaratif dan mengimplementasikan mesin inferensi

2.1.11.Representasi Pengetahuan

Representasi pengetahuan merupakan metode yang digunakan untuk mengodekan pengetahuan dalam sebuah sistem pakar yang berbasis pengetahuan. Pereprentasian dimaksudkan untuk menangkap sifat-sifat penting problema dan membuat informasi ini dapat diakses oleh prosedur pemecahan problema.

Pengetahuan dapat direpresentasikan dalam bentuk yang sederhana atau kompleks, tergantung dari masalahnya. Beberapa model representasi pengetahuan yang penting adalah:

1. Logika (logic)

2. Jaringan semantik (semantic nets) 3. Object-Atributte-Value (OAV) 4. Bingkai (frame)

(11)

2.1.12.Inferensi

Inferensi merupakan proses untuk menghasilkan informasi dari fakta yang diketahui atau diasumsikan. Inferensi adalah konklusi logis (logical conclusion) atau implikasi berdasarkan informasi yang tersedia. Dalam sistem pakar, proses inferensi dilakukan dalam suatu modul yang disebut inference engine (Mesin Inferensi). Ada dua metode inferensi yang penting dalam sistem pakar, yaitu runut maju (forward chaining) dan runut balit (backward chaining).

Runut maju (forward chaining) berarti menggunakan himpunan aturan kondisi-aksi. Dalam metode ini, data digunakan untuk menentukan aturan mana yang akan dijalankan, kemudian aturan tersebut dijalankan. Proses menambahkan data ke memori kerja. Proses diulang sampai ditentukan hasil.

Gambar 2.1. Runut Maju

Metode inferensi runut maju cocok digunakan untuk menangani masalah pengendalian (controlling) dan peramalan (prognosis)

Runut balit (backward chaining) merupakan metode penalaran kebalikan dari runut maju. Dalam runut balik, penalaran dimulai dengan tujuan merunut balik ke jalur yang akan mengarahkan ke tujuan. Gambar 2.2. menunjukkan proses penalaran runut balik.

DATA ATURAN KESIMPULAN

A = 1 B = 2

JIKA A = 1 DAN B = 2 MAKA C = 3

JIKA C = 3 MAKA D = 4

(12)

Gambar 2.2. Runut Balik

Runut balik disebut juga goal-driven reasoning merupakan cara yang efesien untuk memecahkan masalah yang dimodelkan sebagai masalah pemilihan terstruktur. Tujuan dari inferensi ini adalah mengambil pilihan terbaik dari banyak kemungkinan. Metode inferensi runut balik cocok digunakan untuk memecahkan masalah diagnosis.

2.2. Hama dan Penyakit Tanaman 2.2.1. Pengertian Hama

Sugiyanto (2013 - http://ditjenbun.pertanian.go.id ) menyatakan bahwa hama dalam arti luas adalah semua bentuk gangguan baik pada manusia, temak dan tanaman. Pengertian hama dalam arti sempit yang berkaitan dengan kegiatan budidaya tanaman adalah semua hewan yang merusak tanaman atau hasilnya yang mana aktivitas hidupnya ini dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis.

Adanya pengertian bahwa suatu hewan dalam satu pertanaman belum menimbulkan kerugian secara ekonomis belum dapat disebut sebagai hama. Namun demikian, potensi mereka sebagai hama nantinya perlu dimonitor dalam suatu kegiatan yang disebut pemantauan (monitoring). Secara garis besar, hewan

SUB TUJUAN ATURAN TUJUAN

A = 1 B = 2

JIKA A = 1 DAN B = 2 MAKA C = 3

JIKA C = 3 MAKA D = 4

(13)

yang berpotensi menjadi hama adalah dari jenis : serangga, tungau, tikus, burung, atau mamalia besar. Mungkin di suatu daerah hewan tersebut menjadi hama, namun di daerah lain belum tentu menjadi hama, karena tidak merugikan. Pada kondisi tersebut sangat berbeda status suatu hama, sebagai contoh jika ada serangga menyerang habis suatu pertanaman dimana pertanaman tersebut dinilai tidak ekonomis/bukan tanaman budidaya, maka serangga tersebut tidak akan mendapatkan perlakuan pengendalian, bahkan jika serangga tersebut memiliki nilai ekonomi maka serangga tersebut akan banyak dimanfaatkan oleh manusia. Dengan demikian manusia/petani tidak menganggap serangga tersebut menjadi hama. Namun sebaliknya, jika serangga tersebut menyerang lahan pertanian/tanaman budidaya, maka status serangga tersebut akan berubah menjadi hama. Konsep timbulnya hama dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu : 1. Adanya proses pembukaan lahan baru

(14)

mungkin sangat kurang. Pimentel (1982) mengatakan bahwa pertanaman monokultur menyebabkan komunitas biotik menjadi sederhana, sehingga ekosistem kurang stabil dan memberikan lingkungan yang sesuai bagi ledakan populasi OPT.

2. Introduksi tanaman baru ke suatu lokasi

Kejadian ini dapat dipahami dari dua arah, yang pertama yaitu tanaman yang diintroduksikan memang tidak membawa hama namun perkembangan yang cepat dari tanaman tersebut dapat merubah status tanaman tersebut menjadi gulma dan keberadaannya menjadi sangat membahayakan bagi tanaman budidaya yang lain seperti kasus introduksi eceng gondok. Yang kedua adalah introduksi tanaman budidaya dengan membawa hama tanaman namun tidak musuh alami hama tersebut tidak ikut terbawa. Pada saat tanaman tersebut dibudidayakan dan hama dapat berkembang dengan balk, maka tindakan pengendalian menjadi sulit dilakukan. Ini sangat penting untuk dipahami sebagai tindakan pencegahan penyebaran hama yang lebih luas. Pimentel (1982) menyatakan bahwa :

a. Pemasukan/introduksi jenis tanaman baru, karena jenis tanaman baru tidak dapat menahan serangan OPT yang asli di suatu ekosistem

(15)

3. Perubahan persepsi manusia

Ini juga dapat menentukan status hama, salah satunya dapat diukur dari ambang ekonomi. Hewan dapat berubah statusnya menjadi hama jika populasinya sudah melebihi atau diatas ambang ekonomi, atau tingkat kerusakan yang ditimbulkannya sudah merugikan secara ekonomi. Dengan semakin meningkatnya pemahaman konsumen terhadap kualitas produk, maka pihak produsen akan berusaha memenuhi keinginan konsumen tersebut. Stern, et al. (1959) mengatakan bahwa adanya perubahan lingkungan OPT masuk ke suatu daerah baru, keadaan di daerah baru tersebut sesuai untuk perkembangannya, maka statusnya berubah menjadi “hama”.

2.2.2. Pengertian Penyakit

Penyakit adalah sesuatu yang menyebabkan terjadinya gangguan pada makhluk hidup atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh bakteri, virus atau kelainan sistem faal atau jaringan pada organ tubuh makhluk hidup (kamus bahasa indonesia). Sedangkan sakit adalah situasi dimana proses hidup suatu tanaman menyimpang dari keadaan normal dan menimbulkan kerusakan, sehingga tanaman itu tidak dapat tumbuh dan berkembang biak seperti biasa, bahkan dapat menyebabkan matinya tanaman tersebut. Sedangkan penyakit tanaman adalah penyebab kerusakan pada tanaman selain yang disebabkan oleh hama. Ilmu yang mempelajari penyakit tanaman disebut Pitopatologi (Matnawy, 2012 : 12). Penyakit dapat berupa:

(16)

2. Bakteri

3. Algae atau ganggang 4. Virus

5. Keadaan fisiologis yang merugikan

Pada umumnya, tanaman yang sakit menunjukkan gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas. Gejala adalah perubahan yang ditunjukkan oleh tanaman itu sendiri akibat adanya serangan penyakit. Secara garis besar gejala-gejala ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Gejala yang disebabkan oleh terhambatnya pertumbuhan hingga terhentinya pertumbuhan pada suatu gel. Gejala semacam ini dinamakan hipoplastis. 2. Gejala nekrotis yaitu suatu gejala yang disebabkan oleh adanya kerusakan

sel atau matinya sel itu

3. Gejala yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan sel yang berlebihan disebut hiperplastis.

2.2.3. Hama dan Penyakit Pada Tanaman Lada

2.2.3.1. Busuk Pangkal Batang (BPB –Phitophthora caspsici Leonian)

Tanaman lada (piper ningrum linn) merupakan salah satu komoditas tanaman uang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Nilai devisa yang dihasilkan dari ekspor lada pada tahun 2008 sebesar US $ 185. 701 (Ditjenbun, 2010).

(17)

selatan, kalimantan hasil timur dan selatan, pada tahun 2009, kerugian hasil akibat serangan penyakit PBP diperkirakan sebesai Rp. 4.89 milyar.

1. Penggenalan Penyakit a. Penyebab Penyakit

Penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB) – Lada disebabkan oleh jamur phytophora capsici.

b. Bagian Tanaman yang Terserang

Jamur penyebab penyakit BPB-Lada dapat menyerang semua bagian tanaman lada. Serangan paling berbahaya dan mematikan tanaman apabila jamur menginfeksi pangkal batang / akar tanaman.

c. Gejala

Tanaman yang terserang menunjukkan gejala sebagai berikut:

1) Infeksi pada daun menyebabkan gejala bercak coklat pada bagian tengah atau tepi ujung daun.

2) Pangkal batang membusuk, terjadi perubagan warna pada pangkal batang, semula berwarna cokelat kekuningan, kemudian cokelat kemerahan, cokelat kehitaman, dan akhirnya hitam.

3) Kulit batang terkelupas dan jaringan kayu akan terligat cokelat kehitaman.

(18)

d. Penyebaran Penyakit

Spora jamur penyebab penyakit dapat menyebar melalui air drainase, percikan air hujan di permukaan tanah, manusia, hewan, alat-alat pertanian, stek tanaman atau bagian tanaman sakit, bibit tanaman terinfeksi dan melalui udara/angin. Selain itu, penyakit BPB juga dapat menyebar melalui kontak akar tanaman sakit dan sehat.

2. Pengendalian Penyakit a. Pembibitan

1) Kultut Teknis

a) Mengguanakan stek sehat yang bebas patogen (pengambilan stek sebaiknya dilakukan dari tanaman sehat)

b) Tidak mengguanakn tanah dari kebun lada yang pernah terserang penyakit BPB (steril)

c) Mengatur naungan supaya tidak terlalu lembab

d) Membuat saluran drainase untuk menghindari terjadinya genangan air

e) Pada saat pembibitan, ke dalam polybag ditambahkan agens hayati bakteri pseudomonas fluorescens, mycoriza dan jamur trichoderma harzanum.

2) Mekanis

(19)

b. Penanaman 1) Kultur Teknis

a) Dianjurkan mengguanakan tiang panjat/tanjar hidup (seperti dari duri jarang/dadap cangkring atau gliricidae)

b) Membuat parit isolasi di sekeliling tanaman terserang (lebar 30 cm, kedalaman 40 cm)

c) Membuat saluran drainase di dalam dan di luar kebun

d) Hindari penanaman lada pada tanah yang sering tergenang air e) Melakukan sanitasi kebun dan tidak melakukan penyiangan

secara bersih (terbatas disekeliling piringan lada)

f) Melakukan pemupukan berimbang sesuai jenis dan dosis yang dianjurkan

g) Areal kebun bekas serangan penyakit BPB diberakan (tidak ditanami lada) selama ± 2 tahun

h) Menanam tanaman penutup tanah seperti Arachis pintoi.

i) Untuk penanaman di lapangan agar digunakan tiang panjat hidup

2) Mekanis

(20)

b) Mencabut tanaman yang terserang berat/mati, kemudian dimusnahkan dengan membakar tanaman yang sakit di tempat, tanaman sekeliling diberi fungisida/bubur bordo ± 2 mg

c) Memangkas fajar hidup secara teratur, pada awal dan menjelang akhir musim hujan

d) Alat-alat pertanian yahng telah dipergunakan di areal yang terserang harus dibersihkan (dicuci dengan sabun) terlebih dahulu sebelum digunakan

3) Biologis

Pemberian agens hayati (Trichoderma sp.) (dosis 500 kg/ha) 4) Kimiawi

Penyemprotan atu penaburan fingisida sistemik yang berbahan aaktif alumunium fosetil 80% dan pemberian bubur bordo. Peberian fungisida dilakukan pada awal musim hujan danselama musim hujan.

3. Pengendalian Terpadu

Berdasarkan Penelitian Dono Wahyuno
(2013) Balai Penelitian Tanaman

(21)

terhadap perubahan lingkungan, sehingga dapat dijadikan pertimbangan kapan dan jenis pengendalian yang sesuai untuk dilakukan.

a. Strategi yang dikembangkan diarahkan untuk memanfaatkan berbagai potensi yang ada di suatu daerah, dengan tujuan menekan populasi dan mencegah penyebaran Phytophthora. Dengan banyaknya potensi yang dapat digunakan, peran aktif dari petani menjadi sangat penting dalam keberhasilan pengendalian melalui pendekatan PHT.

b. Teknologi yang ada sampai saat ini, perlu didukung dengan sosialisasi yang lebih intensif. Keberhasilan pengendalian dengan PHT selain tergantung pada ketersediaan teknologi, juga pada kemauan petani untuk mengelola kebunnya, dan menambah pengetahuan agar dapat mengambil keputusan terhadap permasalahan yang ada. Perbaikan kemampuan melalui pendamping- an oleh staf atau dinas terkait di masing- masing daerah harus dilakukan secara terus menerus.

(22)

2.2.3.2. Hama Penggerek Batang (Lophobaris piperis)

Kumbang dewasa disebut gagaja atau kumbang moncong, menyerang bunga, buah, pucuk, daun, dan cabang-cabang muda. Kerusakan terberat akibat hama ini adalah serangan larva dengan cara menggerek batang atau cabang tanaman sehingga mengakibat-kan kematian bagian atas batang atau cabang terserang. Daerah sebarannya hampir pada seluruh pertanaman lada di Indonesia. Serangga L. piperis sampai saat ini hanya diketahui dapat hidup dan berkembang biak pada tanaman keluarga Piperaceae, terutama genus Piper yang dikatagorikan sebagai sirih-sirihan. Hampir pada semua genus Piper serangga ini mampu hidup dan berkembang biak walaupun setiap spesies dari anggota genus ini memiliki berbagai tingkat ketahanan yang berbeda terhadap penggerek tersebut. Namun demikian tanaman inang utama yang paling sesuai adalah P. methysticum Forst., dan P. nigrum L. Pada kedua tanaman ini keberhasilan penggerek batang menjadi imago mencapai 75% (Suprapto, 1986).

(23)

belalai dan mengarah ke bawah. Imago akan kopulasi setelah berumur 2 minggu, dan 3 hari kemudian kumbang betina akan meletakkan telur. Imago betina selama hidupnya mampu meletakkan telur antara 280 – 525 butir, atau rata-rata 380 butir dengan tingkat penetasan mencapai 88,71%.

Imago sangat peka terhadap sentuhan dan getaran. Imago berdiam diri tak bergerak seperti mati dan kemudian menjatuhkan diri bila disentuh. Selain itu serangga ini tidak menyukai sinar matahari langsung. Karena itu pada siang hari imago bersembunyi pada tempat-tempat yang terlindungi dari cahaya, misalnya pada tandan buah, ketiak daun, batang utama atau dibalik daun.

Serangga L. piperis hidup dan mampu berkembang biak dengan menyerang hampir semua bagian tanaman lada. Oleh karena itu kelimpahan populasinya di lapangan kurang dipengaruhi oleh keberadaan buah lada sebagai makanan utama serangga dewasa. Berbagai stadium penggerek batang selalu ditemukan pada saat yang sama berupa telur, larva, pupa atau imago. Pada awal musim hujan biasanya ditemukan telur dan larva muda. Pada pertengahan musim hujan ditemukan pupa dan imago. Pada akhir musim hujan ditemukan telur dan larva. Pada musim kemarau, semua stadium jumlahnya sangat rendah (Deciyanto dan Suprapto, 1996).

(24)

Gejala serangan larva berupa layu dan menguningnya tanaman pada bagian atas gerekan yang kemuadian mengering. Bagian yang digerek akan mudah patah. Pada gejala lanjut dapat ditemukan lubang di sekitar bagian tanaman yang terserang, sebagai tempat keluar serangga dewasa. Serangan larva umumnya dimulai pada cabang-cabang buah. Pada populasi tinggi, serangan dapat mencapai batang utama. Sekitar 23% lubang gerekan terdapat pada batang utama dan 77% pada cabang tanaman. Serangan larva penggerek pada satu batang utama dapat mengakibatkan kehilangan hasil sekitar 43,8% atau bahkan tanaman mengalami kematian total bila seluruh batang utama yang terdapat pada bagian paling rendah dari tanaman terserang. Hasil penelitian menunjuk-kan bahwa pada umumnya serangan pada dua cabang buah selalu diikuti dengan serangan larva pada satu batang utama, yang diperkirakan dapat mengakibatkan kehilangan hasil sekitar 16,5%.

2.2.4. Hama dan Penyakit Pada Tanaman Jahe 2.2.4.1. Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri sering ditemukan pada pertanaman jahe terutama di daerah tropis dan sub tropis yang beriklim lembab. Di Indonesia serangan tersebut dapat menyebabkan kehilangan hasil rimpang jahe sampai 90%. Oleh karema itu penyakit layu bakteri merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman jahe.

1. Gejala

(25)

menguning dan menggulung. Gejala menguning pada daun tersebut pada umumnya dimulai dari bagian tepi dan berkembang keseluruh helaian daun. Selanjutnua seluruh bagian daun menjadi kuning, layu, kering, dan tanaman menjadi mati. Pada bagian pangkal batang yang sakit terlihat adanya garis-garis membujur yang berwarna hitam atau abu-abu yang merupakan jaringan yang rusak. Tanaman yang sakit batangnya akan mudah dicabut dan dilepas dari bagian rimpangnya. Apabila batang ditekan, dari penampang melintangnya akan terlihat adanya eksudat bakteri yang keluar berwarna putih susu yang baunya khas sangat menyengat (Hartani., el al, 2011 : 86).

2. Patogen

Penyebab penyakit layu pada tanaman jahe adalah bakteri R. solanacearum. Menurut Supriadi (1994), R. solanacearum yang menyerang tanaman jahe di Indoneisa

termasuk dalam biovar 3 dan ras 4. Di Australia, R. solanacearum biovar 4 pada

umumnya menyebabkan kerusakan yang parah dan berkembang sangat cepat, sedangkan

biovar 3 umumnya menyebabkan gejala kerusakan lebih ringan. Namun yang menyerang

jahe di Malaysia tergolong dalam biovar 1.

3. Diagnosis Penyakit

(26)

Dilaboratorium penyakit layu bakteri dapat dideteksi baik dengan metode konvensional yaitu mengisolasi bakteri pada media agar, maupun secara serologi dengan teknik ELISA menggunakan entiserum khusus (Robinson, 1993). Metode ini dapat mendeteksi R solanacearum dalam ekstrak tanaman dan tanah. Populasibakteri terendah yang dapat dideteksi dengan metode ELISA yaitu 104 sel/ml ekstrak tanaman atau tanah. Cara ini lebih praktis dibanding dengan cara konvensional karena metode ELISA dapat menguji banyak sampel dalam waktu yang lebih singkat. Deteksi patogen juga dapat dilakukan secara molekuler. Cara tersebut lebih cepat dan akurat, namun biayanya cukup mahal dan memerlukan tenaga ahli yang berpengalaman.

4. Epidemiologi Penyakit

Penyakit layu bakteri pertama kali dilaporkan oleh Orian pada tahun 1953 di Mauritania. Selanjutnya penyakit tersebut juga ditemukan di beberapa Negara di Asia, Australia dan Afrika seperti di China, Filiphina, Hawai, India, Indonesia, Malaysia dan Thailand (Hayward, 1986).

Di Indonesia penyakit layu pertamakali dilaporkan pada tahun 1971 di daerah Kuningan, Jawa Barat. Selanjutnya penyakit juga dilaporkan ada di daerah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Utara.

(27)

hewan, dan pekerja di lapangan. Sementara penyebaran jarak jauh dapat terjadi terutama melalui bibit rimpang yang telah terinfeksi.

Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi kemampuan bertahan dari R. solanacearum. Kelembaban tanah yang tinggi dapat meningkatkan populasi bakteri. Sementara kandungan bahan organik tanah yang tinggi akan mengurangi populasinya demikian juga kondisi temperatur yang tinggi. Selain itu adanya tanaman inang pengganti sangat berpengaruh terhadap kemampuan bertahan hidup dari R. solanacearum.

5. Interaksi Dengan Nematoda Dan Lalat Rimpang

R. solanacearum sering berasosiasi dengan nematoda. Serangan penyakit layu akan menjadi lebih berat dengan adanya serangan nematoda (Vilsoni et al. 1979; Hayward 1991). Nematoda akan membuat luka pada akar dan rimpang yang memudahkan bakteri untuk menginfeksi tanaman. Menurut Mustika (1996) dan Nurawan et al. (1993), ada dua jenis nematoda yang sering ditemukan ada pada tanaman jahe yang juga terserang bakteri R. solanacearum di daerah Jawa Barat, Bengkulu, dan Sumatera Utara. Kedua jenis nematoda tersebut adalah Meloidogyne sp. dan Radopholus similis.

(28)

6. Penanggulangan Penyakit Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri sangat sulit dikendalikan. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat ekobiologi dari R. solanacearum yang sangat komplek. Berbagai cara pengendalian telah dilakukan, namun hasilnya masih kurang memuaskan. Oleh karena itu cara yang paling bijaksana adalah mencegah timbulnya penyakit di lapangan (pengendalian secara preventif).\

a. Pencegahan Penyakit

Untuk melakukan pencegahan penyakit layu bakteri pada jahe dapat dilakukan beberapa cara, yaitu:

1) Lahan Bekas Patogen

Lahan bebas patogen merupakan persyaratan utama dalam pencegahan terjadinya penyakit layu. Hasil pengamatan di lapang dan analisa di laboratorium menunjukkan bahwa ada beberapa jenis lahan yang berpotensi bebas dari patogen diantaranya adalah lahan bekas sawah beririgasi teknis. R solanacearum bersifat aerobik, sehingga tidak tumbuh pada keadaan kondisi an aerob seperti di lahan sawah.

2) Benih Sehat

(29)

yang digunakan untuk benih harus yang sudah cukup tua dan berwarna mengkilat.

3) Tanaman Tahan

Penanaman jenis jahe tahan merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit layu. Namun sampai saat ini belum ada jenis jahe yang tahan terhadap penyakit tersebut. Oleh karena itu penelitian dalam rangka mencari varietas jahe yang tahan sangat diperlukan.

4) Sanitasi

Sanitasi harus dilakukan secara ketat dari awal. Sanitasi tidak efektif apabila dilakukan pada saat serangan sudah meluas dan parah. Tanaman jahe yang terserang di lapang harus segera dicabut dan dimusnahkan dengan cara dibakar. Selanjutnya lubang bekas tanaman yang sakit disiram dengan antibiotik atau ditaburi dengan kapur.

5) Pengelolaan Lingkungan

(30)

inang dari R. solanacearum. Selain itu irigasi kebun harus diperhatikan agar lahan mempunyai drainase yang baik. Apabila ada areal yang terinfeksi sebaiknya dibuat selokan yang membatasi dengan areal yang masih sehat untuk mencegah penularan penyakit melalui akar, tanah, dan air.

Untuk mencegah masuknya patogen ke daerah yang masih sehat, maka semua pekerjaan di kebun yang dilakukan baik oleh manusia maupun hewan sebaiknya dimulai dari daerah yang masih sehat selanjutnyta berjalan kearah daerah yang sudah terinfeksi. Demikian juga alat-alat pertanian yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum dan setelah digunakan.

b. Pengendalian Penyakit di Lapangan

Apabila pencegahan sudah dilakukan namun penyakit masih timbul di lapangan, maka perlu dilakukan pengendalian. Sampai saat ini belum ada cara pengendalian yang efektif, sehingga pengendalian terpadu merupakan cara yang paling bijaksana untuk dilakukan.

1) Pengendalian Terpadu

(31)

sisa-sisa tanaman sakit, populasi patogen di tanah, dan asosiasinya dengan tanaman inang alternatif, dan sebagainya.

2) Pemakaian Pestisida

Pengendalian penyakit bisa dilakukan misalnya dengan pestisida baik yang berupa pestisida kimia sintetik maupun pestisida alami. Namun pestisida kimia sintetik sangat mahal, sehingga pemakaian pestisida alami yang efektif, murah dan ramah lingkungan merupakan suatu alternatif yang perlu dianjurkan. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri merupakan bahan alami dari tanaman yang berpotensi untuk digunakan sebagai pestisida nabati.

3) Agensia Hayati

Pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman jahe. Menurut Hartati et al. (2009), pemberian pupuk hayati yang berupa pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer (Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma lactae) dapat mengurangi intensitas serangan penyakit sebesar 54% dibandingkan dengan pemberian pupuk kandang biasa.

2.2.4.2. Bercak Daun

(32)

cendawan pada daun menjadi masalah yang serius. Beberapa cendawan yang dilaporkan ditemukan menyerang daun pertanaman jahe di Indonesia adalah: Cercospora (Boedjin 1960; Semangun 1992), Phyllosticta (Semangun 1992; Rachmat 1993a), Phakopsora (Boedijn 1960; Rachmat 1993b; Wahyuno et al. 2003) dan Pyricularia sp. (Siswanto et al. 2009). Hingga saat ini, pengetahuan mengenai ekobiologi cendawan-cendawan tersebut masih sangat terbatas.

Hasil survey OPT jahe yang dilakukan bersama Ditjen Perlindungan Hortikultura di tiga lokasi di Jawa dan Sumatera tahun 2008, berdasarkan model gejala yang terlihat ada indikasi variasi jenis cendawan yang dominan di tiap lokasi yang dikunjungi (Siswanto et al. 2009). Kondisi lingkungan, umur tanaman dan jenis jahe yang ditanam mempengaruhi kerusakan dan jenis cendawan yang dominan di suatu daerah.

1. Gejala dan Penyebab a. Phyllosticta sp

(33)

mendapatkan gejala tersebut di tiga kabupaten yang dikenal secara tradisional sebagai sentra produksi jahe (Boyolali, Jawa Tengah; Sukabumi, Jawa Barat dan Kepahiang, Bengkulu).

b. Pyricularia sp

Cendawan Pyricularia sebelumnya tidak dipernah dilaporkan keberadaannya di Indonesia, meskipun sudah pernah dilaporkan di Jepang (Hashioka 1971, Kotani dan Kurata 1992), Thailand (Bussaban et al. 2003) dan Australia (Clark dan Warner 2000). Siswanto et al. (2009) mendapatkan gejala khas Pyricularia yaitu nekrosa dengan bagian tengah berwarna putih dan tepi berwarna cokelat/gelap di Boyolali, Kepahiang dan dan Sukabumi. Sepintas gejala yang ditimbulkan mirip dengan yang ditimbulkan oleh Phyllosticta, tetapi bagian tepi dari jaringan nekrosa yang terserang Pyricularia cenderung berwarna kuning.

c. Cercospora zingiberi

(34)

keberadaan Cercospora di tiga lokasi penanaman jahe yang dikunjungi (Boyolali, Kepahian dan Sukabumi). Cercospora umumnya ditemukan pada daun yang telah terbuka penuh, dan jarang ditemukan pada daun yang masih muda. Pada kondisi lingkungan yang lembab serangan Cercospora dapat terjadi pada hamparan yang luas sehingga dikhawatirkan dapat menurunkan produktivitas per satuan rumpun. d. Phakopsora elletariae

Phakopsora menyebabkan bercak daun bergaris. Gejala banyak dijumpai pada daun yang telah terbuka, dan tanaman yang tumbuh di tempat yang ternaungi atau rumpun-rumpun jahe yang tumbuh rapat. Phakopsora juga dapat ditemui pada semua pertanaman jahe di Indonesia, tetapi kerusakan yang ditimbulkan tidak sebesar kedua jamur di atas sehingga sering diabaikan dalam pengamatan di lapang. Siswanto et al. (2009) hanya mendapatkan jahe yang terserang Phakopsora di Sukabumi, Jawa Barat dan Kepahiang, Bengkulu; dan tidak dijumpai di Boyolali, Jawa Tengah.

2. Eko-Biologi Cendawan Penyebab Bercak Daun a. Penyebaran

(35)

konidia Phyllosticta merupakan indikasi bahwa ia dapat tersebar melalui aliran air, selain untuk membantu menempel pada permukaan daun.

Penyebaran melalui benih rimpang masih berupa dugaan yang didasarkan pada seringnya bercak daun Phyllosticta ditemukan pada tanaman yang masih sangat muda (± 1-2 bulan) di lapang, khususnya di daerah endemik penyakit bercak daun.

Penyebaran melalui udara dari sumber-sumber inokulum berupa jaringan tanaman yang telah terinfeksi dan gugur di atas tanah, atau berasal dari lahan lain di sekitar diduga lebih dominan sebagai sumber inokulum di lapang. Phyllosticta dapat bertahan dalam bentuk tubuh buah piknidia yang terbentuk di atas jaringan jahe yang telah terinfeksi. Pyricularia yang ditumbuhkan pada media buatan (Oat Meal Agar) mampu membentuk struktur bertahan sklerotia berbentuk kumpulan/jalinan hifa yang tebal, dan berwarna gelap dan membentuk konidia dalam jumlah banyak setelah ditumbuhkan pada permukaan daun jahe (Wahyuno et al. 2009). Untuk Phakopsora, stadia uredinia dengan urediniospora nya yang berdinding tebal membuat urediniospora cendawan ini mampu bertahan pada kondisi kering untuk waktu yang lama.

b. Kisaran Inang

(36)

Kisaran inang cendawan-cendawan tersebut umumnya sangat terbatas hanya pada genus tanaman yang sama. Kekhususan inang yang tinggi menjadi dasar pertimbangan mengembangkan varietas tahan atau melakukan sanitasi dan eradikasi secara berkala dan terukur untuk mengurangi sumber inokulum. Wahyuno dan Manohara (2003) menguji sebaran inang Phakopsora elletariae asal Zingiber cassumunar dan mendapatkan inokulum asal Z. cassumunar (temu putih) tidak dapat menyerang Z. offcinalle. Untuk Pyricularia sebaran inangnya belum diketahui, tetapi hasil inokulasi buatan yang dilakukan secara in vitro kisaran inang Pyricularia masih terbatas pada Zingiberaceae.

3. Pengendalian

Sifat jamur ini tular udara membuat pengendalian secara individu kurang efektif, karena sumber inokulum (penular) dapat berasal dari tanaman jahe ada di tempat lain. Di lapang secara sepintas jahe merah relatif toleran terhadap serangan patogen penyebab bercak daun baik dari jenis Phyllosticta maupun Pyricularia, tetapi sampai saat ini belum ada varietas jahe yang tahan terhadap bercak daun.

a. Kultur teknis

(37)

untuk memperlancar drainase juga dapat dilakukan untuk mengurangi kelembaban udara atau atau memberi mulsa untuk mengurangi penguapan yang berlebih.

b. Fungisida

Fungsida bersifat kontak serta fungisida dengan bahan aktif minyak cengkeh dan serai dapur juga efektif saat diuji di laboratorium (Wahyuno et al. 2009). Di lapang, waktu aplikasi dan kemampuan fungisida bertahan pada permukaan daun menjadi krusial dalam keberhasilan pengendalian bercak daun khususnya di daerah dengan curah hujan tinggi. Di beberapa daerah, petani banyak tidak melakukan aplikasi fungsida secara teratur karena mahalnya harga fungisida. Pengetahuan fisiologi tanaman khususnya saat terjadinya pengisian rimpang dan waktu aplikasi sedang dalam tahap evaluasi. Tanaman jahe di bawah usia kurang dari lima bulan merupakan periode yang peka terhadap serangan bercak daun. Di waktu mendatang aplikasi fungsida selain memperhatikan dosis dan interval, juga perlu memperhatikan fisiologi tanaman.

c. Pengendalian Terpadu

(38)

terhadap serangan bercak daun. Pemupukan berimbang disertai dengan pemberian K dan Mg yang tinggi juga belum memberi pengaruh yang nyata saat uji dilakukan di lapang. Meskipun pemberian pupuk dengan kadar silikat yang tinggi dilaporkan dapat mengurangi kehilangan hasil pada padi akibat serangan Pyricularia (Rodrigues et al. 2004). Aplikasi fungisida dengan bahan aktif mancozeb mampu menekan kerusakan bercak daun.

(39)

tanaman lainnya. Lamanya periode yang lembab akan menentukan bisa tidaknya terjadi epidemi pada suatu daerah. Periode lembab yang singkat, akan mengurangi peluang terjadinya infeksi Pyricularia pada padi (Greer dan Webster 2001).

2.2.5. Hama dan Penyakit Pada Tanaman Nilam 2.2.5.1. Budog

Penyakit budok dilaporkan pertama kali berdasarkan tanaman nilam yang terdapat di Aceh, demikian juga dengan istilah budok yang berarti kudis menurut bahasa lokal setempat. Pada awalnya, organisme penyebab penyakit ini diduga dari kelompok virus karena gejala yang nampak mirip dengan tanaman yang terserang virus, yaitu tanaman tumbuh kerdil, daun kecil atau keriting. Gejala roset dapat dijumpai pada tanaman yang telah terinfeksi pada stadia lebih lanjut. 1. Organisme Penyebab

(40)

cendawan ini diduga membuat Synchytrium mampu bertahan di jaringan tanaman yang telah terserang untuk waktu yang lama (Wahyuno 2010a). Pengamatan lebih detail terhadap siklus hidup cendawan ini juga memperkuat dugaan bahwa cendawan yang ada di Indonesia termasuk jenis S. pogostemonis jenis yang juga ditemukan pada pertanaman nilam di India (Wahyuno 2010b)

2. Gejala

Gejala khas dari penyakit budok adalah adanya kutil berupa benjolan berwarna

putih yang banyak terbentuk di permukaan batang atau daun, khususnya yang ada di

dekat permukaan tanah. Pada stadia awal, kutil terlihat berwarna putih, dan pada stadia

lanjut struktur bertahan S. pogostemonis berupa spora yang sebenarnya merupakan

prosorus berwarna kuning terlihat ada di dalam kutil. Jumlah spora istirahat yang

terbentuk bervariasi antara 1 - 11 tergantung pada besar ukuran kutil yang terjadi.

Serangan S. pogostemonis dapat terjadi pada semua bagian tanaman yang masih muda, kecuali akar tanaman. Tanaman yang terserang pada awalnya tidak menunjukkan gejala perubahan yang jelas, tetapi seiring dengan waktu daun maupun tunas-tunas baru yang terbentuk pada tanaman yang telah terinfeksi berukuran lebih kecil, tebal dan ruasnya pendek sehingga tanaman terlihat kerdil atau menampakkan gejala roset. Gejala tersebut menyebabkan adanya asumsi di awal pelaporan bahwa penyakit budok disebabkan oleh virus (Sitepu dan Asman 1991; Mustika dan Asman 2004).

(41)

terbentuk sehingga pengamatan secara seksama perlu dilakukan untuk memastikan tanaman (benih) nilam telah terserang S. pogostemonis.

3. Eko-Biologi

a. Stadia dan Siklus Hidup

Pada tanaman yang telah terserang S. pogostemonis struktur bertahan berupa spora bulat, kuning dan berdinding tebal mudah ditemukan karena jumlahnya yang banyak. Lensa lup sederhana dapat digunakan untuk membantu menemukan struktur tersebut pada gejala yang telah lanjut di lapang untuk mendeteksi keberadaannya. Pengamatan terhadap jaringan tanaman nilam terserang S. pogostemonis pada berbagai stadia gejala akan menunjukkan ada stadia yang lain selain spora istirahat. Wahyuno (2010) mendiskripsikan adanya stadia aseksual dan seksual yang terbentuk pada tanaman nilam terserang S. pogostemonis. Zoospora dapat dihasilkan dari sporangium hasil reproduksi aseksual maupun reproduksi seksual. Pada stadia reproduksi seksual, zoospora terbentuk pada sporangium yang terbentuk di dalam sorus yang keluar dari spora istirahat

b. Penyebaran

(42)

menggandung air. Wahyuno dan Sukamto (2010) juga telah berhasil melakukan penularan buatan dengan menggunakan media air sebagai media tumbuh nilam.

Zoospora mungkin sangat berperan dalam penyebaran jarak dekat antar sel di dalam tanaman, antar tanaman dalam suatu petak atau dalam luasan terbatas dimana ada air sebagai media perantara. Spora bertahan yang terdapat di dalam jaringan tanaman diduga mempunyai peran yang sangat penting dalam penyebaran S. pogostemonis yang lebih luas dan jauh. Adanya spora bertahan memungkinkan S. pogostemonis terbawa melalui bahan tanaman (benih) atau sisa-sisa tanaman terserang yang tertinggal di tanah ke daerah penanaman nilam yang baru. Pada tanaman kentang, struktur bertahan S. endobioticum mampu bertahan di dalam jaringan tanaman untuk waktu yang lama (EPPO 2003).

c. Lingkungan

(43)

Lingkungan subur dan cukup air akan membuat tanaman nilam mempunyai pertumbuhan yang baik, demikian juga dengan regenerasi pembentukan tunas-tunas baru. Pada tanaman yang telah terinfeksi S. pogostemonis pembentukan tunas-tunas baru khususnya yang keluar dari permukaan tanah akan menjadikan peluang terjadinya infeksi dan peluang terjadinya perbanyakan inokulum di dalam jaringan tanaman sangat besar.

Pengaruh jenis tanah dan kemasamannya belum pernah diteliti terhadap kecepatan penyebaran zoospora pada tanaman nilam di lapang. Hasil pengamatan dan laporan yang disampaikan mengindikasikan bahwa S. pogostemonis telah tersebar luas di Indonesia sehingga diduga peran ketersediaan air/kelengasan tanah dan kondisi tanaman lebih penting bagi penyebaran zoospora dibanding kondisi tanah.

d. Penularan Ke Tanaman Selain Nilam

(44)

4. Sasaran Pengendalian

Beberapa usaha pengendalian telah dilakukan dan dicobakan di tingkat rumah kaca maupun di lapang dalam skala yang terbatas. Perbaikan SOP (standar operasional prosedur) budidaya nilam yang ada, khususnya dalam seleksi dan penyiapan bahan tanaman untuk perbanyakan (Wahyuno 2010). Harga fungisida sistemik yang relatif mahal, adanya struktur bertahan dari S. pogostemonis yang sulit untuk dikenai fungisida, belum tersedianya varietas nilam yang tahan terhadap S. pogostemonis maupun pola budidaya nilam yang lazim dilakukan oleh petani merupakan pertimbangan bahwa penyediaan bahan tanaman yang sehat merupakan cara yang paling murah untuk mengurangi kerugian hasil akibat serangan S. pogostemonis.

Melakukan rotasi tanaman, memusnahkan tanaman nilam di sekitar yang menunjukkan gejala terkena penyakit budok, dan mengatur lahan sehingga ideal bagi pertumbuhan nilam dan mengatur sistem drainase yang dapat meminimalkan terjadinya penularan ke tanaman di sekitar. Syakir et al. (2008) juga menyarankan melakukan pengolahan tanah, pemberian mulsa untuk mengurangi penyebaran dan aplikasi fungsida serta abu sekam (±10 ton/ha)

(45)

sekelompok tanaman yang telah terserang. Pada dasarnya, fungisida efektif apabila S. pogostemonis belum masuk ke dalam jaringan tanaman. Fungisida yang bekerja secara sistemik dilaporkan efektif untuk menekan penyakit budok, tetapi biaya usahatani nilam menjadi mahal. Penyemprotan dilakukan setiap dua minggu sekali, dan sebaiknya pengendaliaan dilakukan seawal mungkin (saat kejadian penyakit budok masih rendah).

Gambar 2.3. Penggunaan fungsida untuk menekan penyakit budok. (B1) Benomil (1 g l-1) , (B2) Benomil (2 g l-1), (K1) Oksida (1 g l-1), (K2) Cu-Oksida (2 g l-1), (KB) Campuran Benomil dan Cu-Cu-Oksida (1:1; masing-masing

0,5 g l-1).

(46)

tersebut dalam jumlah banyak menjadi kendala lain yang perlu dipertimbangkan (Gambar 2).

Gambar 2.4. Penggunaan fungsida dan bubur bordeaux untuk menekan serangan penyakit budok

2.2.5.2. Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan pada tanaman nilam (Pogostemon cablin) dan menjadi salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman nilam di Indonesia. Penyakit tersebut dapat menurunkan produksi yang cukup tinggi yaitu antara 60-95 %. Untuk menghindari kerugian hasil akibat penyakit layu bakteri, maka petani menanam nilam dengan sistem budidaya berpindah-pindah dengan membuka hutan. Cara tersebut secara teori lebih aman untuk menghindari kerugian akibat penyakit, namun cara tersebut akan merusak lingkungan, karena areal hutan primer dan hutan sekunder menjadi berkurang dan setelah ditanami nilam kemudian ditinggalkan dan dibiarkan menjadi ladang alang-alang (Asman et al. 1998). 1. Gejala

(47)

sementara ada beberapa cabang lain yang masih kelihatan sehat. Pada serangan berat semua cabang dan seluruh bagian tanaman menjadi layu dan mati. Penyakit layu dapat menyebabkan kematian tanaman nilam dengan cepat. Tanaman muda yang berumur 1-3 bulan akan mati dalam waktu 1-2 minggu setelah terinfeksi. Jika tanaman terinfeksi pada umur 4-5 bulan, kematian akan terjadi dalam waktu 1-2 bulan kemudian. Sebagian besar jaringan akar dan batang tanaman yang sakit akan menjadi busuk dan berwarna cokelat hitam. Kulit akar sekunder mengelupas (Sitepu dan Asman 1989; Asman et al. 1998; Asman 2000).

2. Diagnosa Penyakit

Di lapangan penyakit layu dapat didiagnosa berdasarkan gejalanya. Diagnosa yang sederhana dapat dilakukan dengan memotong batang tanaman yang terinfeksi selanjutnya penampang batangnya ditekan, maka akan keluar eksudat bakteri yang berupa cairan yang berwarna putih susu yang berbau khas sangat menyengat. Selain itu potongan batang tanaman yang terinfeksi apabila dimasukkan ke dalam air di dalam gelas transparan, akan terlihat adanya aliran eksudat bakteri yang keluar dari potongan batang tersebut.

(48)

ekstrak tanaman dan tanah. Populasi bakteri terendah yang dapat dideteksi dengan metode ELISA yaitu 10 4 sel/ml ekstrak tanaman atau tanah. Cara ini lebih praktis dibanding dengan cara konvensional, karena metoda ELISA dapat menguji banyak sampel dalam waktu yang lebih singkat. Deteksi patogen juga dapat dilakukan secara molekuler. Cara tersebut lebih cepat dan akurat, namun biayanya sangat mahal dan memerlukan tenaga ahli yang berpengalaman.

3. Epidemiologi Penyakit

Penyakit layu pertamakali dilaporkan terjadi di pertanaman nilam di Daerah Istimewa Aceh. (Sitepu dan Asman 1989). Selanjutnya penyakit menyebar ke daerah lainnya di Sumatera Barat (Sitepu dan Asman 1998). Pada saat ini penyakit telah ditemukan hampir di semua sentra produksi nilam di NAD, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Tengah dan kalimantan Selatan (Syakir et al. 2008).

Penyakit layu pada nilam bersifat endemik dan cepat menular. Dalam satu areal kebun, apabila satu tanaman sudah terinfeksi maka dalam waktu cepat penyakit akan menular ke tanaman yang lain. Penyebaran penyakit dipercepat oleh kondisi lingkungan yang lembab, curah hujan tinggi, dan drainase yang kurang baik. Penyebaran penyakit di dalam kebun dapat terjadi melalui tanah, akar, aliran air, alat-alat pertanian, hewan, dan pekerja di lapangan. Sementara penyebaran jarak jauh dapat terjadi terutama melalui bibit yang berupa setek batang yang telah terinfeksi.

(49)

lingkungan sangat mempengaruhi kemampuan bertahan dari R. solanacearum. Penyakit berkembang sangat cepat terutama pada kondisi kebun yang lembab dan panas. Kelembaban tanah yang tinggi dapat meningkatkan populasi bakteri. Sedang kandungan bahan organik tanah yang tinggi dan kondisi temperatur yang tinggi akan mengurangi populasinya. Selain itu adanya tanaman inang lain sangat berpengaruh terhadap kemampuan bertahan hidup dari R. solanacearum (Akiew 1986).

4. Penanggulanan Penyakit

Seperti halnya penyakit layu bakteri pada tanaman lain, penyakit layu pada tanaman nilam juga sulit dikendalikan secara tuntas. Walaupun berbagai cara pengendalian telah dilakukan, namun hasilnya belum memuaskan. Hal ini dikarenakan sifat-sifat ekobiologi patogennya yang sangat komplek dan kurangnya pengetahuan dan pemahaman petani tentang teknis pengendalian penyakit serta kurangnya modal usahatani (Asman 2000).

(50)

akurat, serta rekomendasi cara pengendalian yang efektif dan efisien (Barani 2008).

Pengendalian penyakit sebaiknya dilakukan secara terpadu. Pengendalian terpadu harus dilakukan sesuai dengan jenis tanaman, jenis patogen, dan pengetahuan mengenai cara bertahan hidup dan penyebaran (ekobiologi) patogennya.

5. Pencegahan Penyakit (Preventif)

Cara yang paling bijaksana untuk mengendalikan penyakit layu adalah dengan mencegah timbulnya penyakit di lapangan, mencegah agar penyakit tidak menular dari satu tanaman ke tanaman lain dan dari daerah satu ke daerah lainnya. Upaya pencegahan penyakit secara preventif dapat dilakukan sejak awal yaitu dari waktu evaluasi untuk kesesuaian lahan tempat penanaman, penentuan bahan tanaman, pemupukan, dan aspek-aspek lain yang dapat mencegah berkembangnya penyakit layu. Observasi kebun juga perlu dilakukan dan sebaiknya dilaksanakan secara rutin, sehingga dapat dilakukan pengendalian secara dini terhadap penyakit –penyakit yang mungkin berpotensi untuk berkembang (Barani 2008). Pengendalian penyakit yang bersifat pencegahan dapat dilakukan dengan memadukan beberapa komponen dengan menggunakan bibit sehat, varietas tahan atau toleran, lahan bebas patogen, melakukan sanitasi dan eradikasi, rotasi dan tumpangsari, serta memperbaiki teknik budidaya dan pengelolaan lingkungan.

a. Bibit Sehat

(51)

dipilih yang sehat. Harus dihindari pengambilan setek dari tanaman yang terinfeksi dan tanaman di sekitarnya walaupun tanaman tersebut belum menunjukkan gejala sakit. Pada umumnya petani menggunakan bibit yang berasal dari tanaman dari kebunnya sendiri yang mungkin sudah terinfeksi untuk penanaman baru, sehingga penyakit akan timbul dan berkembang. Oleh karena itu perlu adanya pengadaan bibit yang dijamin bebas dari patogen.

b. Varietas Tahan atau Toleran

Penanaman varietas nilam tahan merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit layu. Nilam telah lama dibudidayakan di Indonesia, namun sampai saat ini belum tersedia varietas yang benar-benar tahan terhadap penyakit layu bakteri. Oleh karena itu penelitian dalam rangka menghasilkan varietas nilam yang tahan sangat diperlukan.

Di Indonesia terdapat 3 jenis nilam yaitu nilam aceh (Pogostemon cablin Benth.), nilam jawa (P. heyneanus Benth), dan nilam sabun (P. Hortensis Becker). Diantara ketiga jenis nilam tersebut, nilam aceh paling banyak dibudidayakan di Indonesia, karena mempunyai kadar minyak atsiri yang tinggi. Namun jenis nilam aceh yang biasa dibudidayakan di Indonesia sangat rentan terhadap R. solanacearum dan penyakit lainnya.

(52)

Tapak Tuan dan Lhoksemauwe (Nuryani 2005). Dari ketiga varietas unggul tersebut, varietas Sidikalang dinyatakan lebih toleran terhadap penyakit layu bakteri dibandingkan dengan varietas lainnya (Nasrun., et al, 2004a).

Hadipoentiyanti., et al. (2008) juga telah melakukan penelitian dalam rangka untuk mendapatkan varietas nilam yang tahan terhadap penyakit layu bakteri yang memanfaatkan variasi somaklonal dengan menginduksi kalus dan tunas dengan teknik irradiasi untuk meningkatkan keragaman genetiknya. Dari penelitian ini telah dihasilkan beberapa tunas nilam yang dalam pengujian secara in vitro tahan terhadap substrat R. solanacearum. Tunas-tunas yang tahan diaklimatisasi dan diuji ketahanannya terhadap R. solanaacearum di rumah kaca. Somaklon yang tahan dalam pengujian di rumah kaca selanjutnya diuji ketahanannya di daerah endemik penyakit layu bakteri. Dari beberapa somaklon yang diuji tersebut diharapkan ada somaklon yang tahan terhadap R. Solanacearum.

c. Lahan Bebas Patogen

(53)

pernah ditanami nilam atau lahan yang ditanami tanaman bukan inang alternatif dari R. solanacearum.

d. Sanitasi dan Eradikasi

Sanitasi harus dilakukan secara ketat dari awal, karena sanitasi tidak efektif apabila dilakukan pada saat serangan sudah meluas dan parah. Sanitasi sebaiknya dilakukan mulai dari pemilihan lahan dan pengadaan bibit. Apabila ada tanaman nilam yang terserang di lapang harus segera dicabut dan dibongkar. Tanaman yang sakit segera dimusnahkan dengan cara dibakar. Selanjutnya lubang bekas tanaman yang sakit disiram dengan antibiotik atau ditaburi dengan kapur.

e. Rotasi dan Tumpang Sari

Pada saat ini telah banyak dilakukan penanaman nilam pada lahan secara menetap. Namun karena penyakit layu bersifat endemik, maka pada sistem budidaya nilam secara menetap, penyakit layu terjadi lebih parah setelah penanaman yang kedua pada kebun yang telah terkontaminasi. Oleh karena itu penanaman nilam secara berturut-turut pada lahan yang sama sebaiknya dihindari.

(54)

selesai satu siklus tanam nilam dan diganti dengan tanaman lain seperti jagung, padi atau tanaman lainnya yang bukan inang R. Solanacearum. f. Pengelolaan Lahan dan Lingkungan

Untuk mencegah timbulnya penyakit, maka pengelolaan lahan dan lingkungan perlu dilakukan untuk menjaga agar kondisi kebun tidak terlalu lembab, misalnya dengan mengatur jarak tanam, menyiangi gulma di sekitar tanaman nilam dan pemberian mulsa. Hasil penelitian Asman (2000) di Sumatera Barat dan Jawa Barat membuktikan bahwa pemberian mulsa ampas nilam dapat menekan perkembangan penyakit layu sampai 60 %. Pemberian mulsa dan pupuk organik dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan awal dari tanaman dan setelah nilam dipanen. Selain itu pemberian mulsa juga dapat menekan serangan penyakit layu. Irigasi kebun juga harus diperhatikan agar lahan mempunyai drainase yang baik. Apabila ada areal yang terinfeksi, sebaiknya dibuat selokan yang membatasi antara areal tersebut dengan areal yang masih sehat untuk mencegah penularan penyakit melalui akar, tanah, dan air.

(55)

g. Pengendalian Penyakit di Lapang (Kuratif)

Hasil penelitian Asman (2000) di Sumatera Barat dan Jawa Barat membuktikan bahwa perlakuan pestisida campuran menekan penyakit layu sampai 67 %. Hasil penelitian di Pasaman Sumatra Barat menunjukkan bahwa perlakuan pestisida, bakterisida, dan pupuk kandang dapat menekan perkembangan penyakit layu sampai 86 %. Sementara pemberian bakterisida, insektisida, pupuk kandang, abu sekam, dan pupuk buatan dapat menekan serangan penyakit sampai 86,5 %. Selain itu pemberian Agrept pada bibit nilam dapat menekan penyakit layu sebesar 61 %. Hasil penelitian di NAD dan Sumatra Barat juga menunjukkan bahwa penyakit dapat ditekan perkembangannya sampai 60 % dengan cara merendam bibit nilam dalam larutan bakterisida 0,1 % selama 6 jam (Asman dan Sitepu 1994).

(56)

dan Trichoderma lactae) yang dikombinasikan dengan mikroba antagonis (Bacillus sp dan Pseudomonas fluorescens) dapat mengurangi intensitas serangan penyakit dengan nilai efikasi sebesar 61 %. 78 Status Teknologi Hasil Penelitian Nilam.

Aplikasi formula minyak cengkeh juga dapat mengurangi intensitas serangan penyakit layu dengan nilai efikasi sebesar 17 % (Hartati et al. 2008). Hartati et al. (1993a dan 1993b) juga melaporkan bahwa eugenol, minyak dan serbuk cengkeh, serta minyak serai wangi efektif dapat mengendalikan pertumbuhan R. solanacearum pada percobaan secara in vitro.

2.3. Tanaman Rempah

Rempah-rempah adalah berbagai jenis hasil tanaman yang beraroma seperti pala, cengkih, lada untuk memberikan bau dan campuran rasa khusus pada makanan (http://kbbi.web.id/rempah-2). Salah satu tanaman rempah indonesia yang paling berharga dan menjadi sumber devisa bagi negara adalah lada.

(57)

dan lebarnya 5-10 cm. Daun pada batang bagian atas tanaman tidak sama dengan daun pada bagian bawah. Pada bagian atas, daun memiliki ukuran lebih panjang sedangkan di bagian bawah lebih bulat.

Dahan tanaman lada tumbuh vertikal, namun akan tumbuh secara horizontal setelah buah tua dan masak, dan kadang menggantung karena dipengaruhi bobot buah yang masak tersebut. Buah lada berbentuk bulat, berbiji keras dan berkulit buah yang lunak. Kulit buah yang masih muda berwarna hijau, sedangkan yang tua berwarna kuning. Setelah dikeringkan, biji lada akan berwarna hitam. Kandungan dalam biji lada adalah minyak atsiri, pinena, kariofilena, limonena, filandrena, alkaloid piperina, kavisina, piperitina dan piperidina.

(58)

2.4. Tanaman Obat

Tanaman obat menurut Utami (2013 : 53) adalah suatu jenis tanaman yang sebagian, seluruh tanaman, dan atau eksudat (sel) tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan, atau ramuan obat-obatan. Tanaman obat terbagi atas tiga kelompok:

1. Tanaman obat tradisional merupakan jenis tanaman yang dipercaya masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional

2. Tanaman obat modern adalah jenis tanaman yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandungn senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan pengunaannya dipertanggungjawabkan secara medis

3. Tanaman obat potensial merupakan jenis tanaman yang mengandung senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara medis.

(59)

tumbuh pada kisaran suhu udara sekitar 28 – 300 C. Pada periode perkecambahan memerlukan suhu kurang lebih 300 C, namun setelah perkecambahan memerlukan suhu kurang dari 300 C.

Tanaman jahe diduga berasaldari Asia Tenggara, merupakan rempah-rempah yang paling dahulu dikenal di Eropa (Ravindran et. al, 2004). Jahe merupakan tanman tropis, tetapi sekarang ditanaman sebagai komersial di Amerika Latin dan Afrika. 50% kebutuhan jahe di dunia berasal dari India (Attoe dan Osodeke, 2009). Jahe telah dimanfaatkan di Asia selama ribuan tahun yang lalu untuk mengawasi penyakit arthritis, rematik, keseleo, nyeri otot, penyakit selesma, batuk, sinusitis, sakit tenggorokan, diare, kolik, kram, gangguan pencernaan, kehilangan nafsu makan, mabuk, demam, flu, menggigil, dan penyakit menular (Attoe dan Osodeke 2009). Berdasarkan pada bentuk, warna dan aroma rimpang serta komposisi kimianya di Indonesia dikenal tiga tipe jahe, yaitu Jahe Putih Besar (Z. officionale var. Officinarum), Jahe Putih Kecil (Z. officinale var. amarum), dan Jahe Merah (Z. officinale var. rubrum) (Rostiana et. al, 2005).

(60)

morfologis tanaman. Cahaya matahari mempunyai fungsi yang sangat penting pada aktivitas fotosintesa, apabila terjadi penurunan aktivitas fotosintesa maka akan terjadi perubajan karakteristik fisiologis dan morfologis tanaman, dampak berikutnya adalah penurunan produktivitas tanaman. Karbon dioksia merupakan bahan utama pada aktivitas fotosintesa. Apabila keberadaan CO2 di udara berkurang maka akan mengurangi aktivitas fotosintesa, dan terjadilah perubahan karakter fisiologis maupun morfologi tanaman jahe yang dampaknya adalah penurunan produktivitas tanaman. Tanaman jahe pada umumya kurang toleran terhadap salinitas, sehingga apabila ditanam dalam lahan salin akan terjadi penurunan produktivitas. Namun dengan penerapan teknologi budidaya kondisi salin dapat diperbaiki.

2.5. Tanaman Aromatik

Tanaman aromatik adalah tanaman penghasil minyak aromatik yang memiliki aroma yang sangat khas. Aroma tersebut banyak dimanfaatkan sebagai bahan pewangi baik untuk pewangi pakaian, karpet, selendang, industri sabun, kosmetik, maupun dupa. Selain sebagai bahan pewangi, sebagian minyak aromatik seperti minyak serai wangi (cymbopogon citratus DC), nilam (pogostemon cablin Benth) dan cengkeh (syzagium romaticum L) ternyata dapat dipergunakan sebagai bahan aktif pestisida. (wiranto., et al, 2011 : 62).

(61)

untuk industri kosmetik, parfum, antiseptik, dan lain-lain (Amalia, 2008,1). Tanaman nilam juga merupakan sumber minyak nilam komersial, termasuk ke dalam famili Lamiaceae. Kata “nilam” diduga dari kata sanskerta “Pacholi” yang

berarti herbal aromatik. Tanaman ini bera`sal dari Filifina dan tumbuh liar di Malaysia, Indonesia, Singapura, China dan India. Budidaya nilam dilaporkan telah dimulai di Jawa pada tahun 1895 dengan bahan tanam dari Singapura, meskipun jenisnya tidak diketahui dengan pasti dan pada tahun 1909 mulai ditanam di Aceh (Ahmed, 2002).

Minyak nilam Indonesia sudah dikenal dunia sejak 65 tahun yang lalu, bahkan Indonesia merupakan pemasok utama minyak nilam dunia (90%). Ekspor nilam Indoensia berfluktuasi dengan laju peningkatan ekspor sekitar 12% per tahun atau berkisar antara 700-2.800 ton minyak nilam per tahun. Sementara itu kebutuhan dunia berkisar 1.200-1.500 ton dengan pertumbuhan sebesar 5% per tahun (Pusat Data dan Informasi Pertanian 2010).

(62)

tanman yang terbentuk karenareaksi berbagai persenyawaan kimia dengan adanya air. (Amalia, 2008, 1).

Tanaman penghasil minyak atsiri diperkirakan berjumlah 150-200 spesies, antara lain yang termasuk dalam famili Pinanceae, Labiate, Compositoe, Lauraceae, Myrtaceae, dan Umbelliferaceae. Minyak atsiri dapat ditemukan pada daun, bunga, buah, biji, kulit dan akar. Untuk tanaman nilam, minyak atsirinya banyak tersimpan di dalam sel-sel kelenjar minyak pada daun. (Amalia, 2008, 1).

Nlam (Pogostemon, sp) termasuk famili Labiatae, ordo Lamiales, klas Angiospermae dan divisi Spermatophita. Di Indonesia terdapat tiga jenis nilam yang dapat dibedakan menurut karakter morfologinya, kandungan PA dan kualitas minyak serta ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Ketiga jenis nilam tersebut adalah (1) P Cablin Benth. Syn. P. pathcolui Pellet var. Suavis Hook disebut nilam Aceh, (2) P. heyneanus benth disebut nilam Jawa, dan (3) P hortenis Becker disebut nilam sabun (Guenther, 1952)

(63)

dibanding dengan nilam aceh, karena antara lain disebabkan kandungan fenol dan ligninya yang lebih tinggi daripada nilam aceh.

2.6. Website

2.6.1. Pengertian Website

Website merupakan sebuah halaman yang berisi informasi yang dapat dilihat jika komputer anda terkoneksi dengnan internet (Wahana Komputer, 2010 : 1). Menurut Yuhefizar (2009 : 2) website adalah keseluruhan halaman-halaman web yang terdapat sebuah domain yang mengandung informasi. Sebuah website biasanya dibangun atas banyak halaman web yang saling berhubungan. Hubungan antara satu halaman web dengan halaman web yang lainnya disebut hyperlink, sedangkan teks yang dijadikan media penghubung disebut hypertext. Domain adalah nama unik yang dimiliki oleh sebuah institusi sehingga bisa diakses melalui internet. Istilah lain yang sering ditemui sehubungan dengan website adalah homepage. Homepage adalah halaman awal sebuah domain. 2.6.2. Jenis-jenis Website

Seiring dengan pekembagan teknologi informasi yang begitu cepat, website juga mengalami perkembangan yang sangat berarti. Menurut Yuhefizar (2009 : 3) dalam pengelompokan jenis web, lebih diarahkan berdasarkan pada fungsi sifat dan bahasa pemrograman yang digunakan.

Jenis-jenis web berdasrkan sifatnya adalah:

Gambar

Gambar 2.1. Runut Maju
Gambar 2.2. Runut Balik
Gambar 2.3. Penggunaan fungsida untuk menekan penyakit budok. (B1)
Gambar 2.4. Penggunaan fungsida dan bubur bordeaux untuk menekan
+5

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sama halnya dengan grafik, bahan pembelajaran grafis dalam bentuk bagan sudah sangat umum digunakan oleh para guru, namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam

Obyek yang diteliti dalam penelitian ini adalahaktivitas antioksidan secara in vitro ekstrak etanol & fraksi etil asetat daun kelor( Moringa oleifera Lam)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan antibiotik berdasar kriteria Gyssens dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas pada pasien rawat inap kelas III di bagian

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa berfikir kritis mahasiswa pendidikan biologi Se-Kota Pekanbaru dalam kategori Cukup dengan persentase

Penelitian ini telah berhasil apabila dalam proses pembelajaran motorik halus anak melalui kegiatan mewarnai, menggunting, dan menempel (3M) dengan metode demonstrasi dapat

Pengaturan terhadap netralitas pers pada media penyiaran dimuat dalam Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Penyiaran yang menegaskan bahwa setiap lembaga penyiaran

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan pertimbangan terciptanya ranah publik (public sphere) yang berisi keseimbangan antara kepentingan privat