• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON MOLTING PERTUMBUHAN DAN KOMPOSISI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RESPON MOLTING PERTUMBUHAN DAN KOMPOSISI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Siti Aslamyah*1 & Yushinta Fujaya 1

1 Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,

Jalan Perintis Kemerdekaan Km X, Tamalanrea, Makassar 90245 Telp./Faks. 0411-586025

*Penulis untuk korespondensi, e-mail:Email siti_aslamyah_uh@yahoo.co.id

Abstrak

Pakan buatan dengan imbangan protein dan energi yang optimum sangat menentukan tingkat produksi kepiting cangkang lunak. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi respon molting, pertumbuhan, dan komposisi kimia tubuh kepiting bakau pada berbagai kadar karbohidrat-lemak pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt. Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Juli 2010, di Crabs Research Station yang terletak di Kabupaten Maros. Empat pakan buatan dengan berbagai kadar karbohidrat-lemak diuji pada penelitian ini, yaitu pakan A (40,1-10,2%), B (43,26:9,1%), C (45,19:8,05%), dan D (48,89%:7,2%), masing-masing pakan dengan kadar protein ± 30% dan diperkaya vitomol dengan dosis 700 ng/g kepiting. Selama penelitian, kepiting dipelihara secara individu dalam crabs box yang diletakkan di tambak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan buatan dengan kadar karbohidrat 48,89% dan lemak 7,2% memberikan respon persentase molting tertinggi (73,33%). Hasil yang sama ditunjukkan pada pertumbuhan bobot mutlak (16,24 ± 8,68 g) dan relatif (27,51 ± 14,04%), pertambahan lebar karapas mutlak (9,70 ± 3,84 mm) dan relatif (14,71 ± 5,94%) setelah molting. Hasil tersebut juga didukung oleh hasil analisis komposisi kimia tubuh setelah 14 hari perlakuan, meliputi kadar protein (39,14 ± 3,1%); lemak (8,36 ± 1,1%); serat kasar (11,79 ± 2,2%); BETN (12,68 ± 1,2%); abu (28,03 ± 1,8%), serta kadar glikogen hepatopankreas (8,99 ± 0,5 mg/g) dan glikogen otot (7,44 ± 0,9 mg/g).

Kata kunci : kepiting bakau, karbohidrat, lemak, pakan buatan, vitomolt

Pengantar

Pakan merupakan sumber energi dan materi bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau. Pakan berkualitas adalah pakan dengan kandungan protein, lemak, karbohidrat, mineral, dan vitaminnya seimbang. Aslamyah & Fujaya (2009) telah berhasil menemukan pakan buatan khusus kepiting dengan tingkat water stability tinggi yang dicirikan dengan tekstur pakan yang kompak dan tidak mudah terdispersi, tahan terendam 24 jam dalam air, dan yang terpenting adalah disukai kepiting. Pakan buatan tersebut diformulasi untuk mendukung aplikasi vitomolt melalui pakan.

Vitomolt merupakan stimulan molting yang diekstrak dari tanaman bayam (Amaranthacea tircolor) untuk produksi kepiting cangkang lunak (soft shell crabs) yang ditemukan Fujaya et al. (2007). Vitomolt mengandung fitoekdisteroid. Ekdisteroid adalah hormon yang berperan dalam mengontrol molting pada arthropoda dan krustase (Bakrim et al. 2008). Vitomolt juga efektif diberi melalui pakan, selain melaui injeksi (Fujaya et al., 2009). Selanjutnya Aslamyah & Fujaya (2010) melaporkan pakan buatan bervitomolt dengan kadar protein 30,62% dan karbohidrat 41,72% efektif menstimulasi molting kepiting bakau, dengan persentase molting 100%. Hasil yang dicapai lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat persentase molting kepiting bakau yang diberi pakan dengan kadar protein lebih tinggi dan karbohidrat lebih rendah. Namun demikian, pakan yang digunakan pada percobaan tersebut belum isokalori.

(2)

basal dan pertumbuhan. Satpathy et al. (2003) mengemukakan bahwa pakan dengan rasio protein per energi optimum akan menghasilkan pertumbuhan dan pemanfaatan pakan yang paling optimal. Peningkatan kadar protein pakan berakibat pada peningkatan pertumbuhan sampai batas tertentu pada kadar energi yang sama. Selanjutnya dijelaskan bahwa pakan yang kandungan energinya kurang menyebabkan terjadinya penggunaan sebagian besar protein sebagai sumber energi. Sebaliknya jika kandungan energi pakan terlalu tinggi dapat menyebabkan pakan yang dimakan berkurang dan penerimaan nutrien lain termasuk protein yang diperlukan untuk pertumbuhan juga berkurang (Satpathy et al., 2003; Jobling et al., 2001).

Pakan dengan imbangan dan energi yang optimum harus didukung oleh optimalnya kadar karbohidrat dan lemak pakan. Pratoomchat et al. (2002) dan Satphaty et al. (2003) mengemukakan selain untuk memenuhi kebutuhan energi dan persediaan makanan di dalam tubuh, karbohidrat juga berfungsi untuk sintesis kitin pada kulit, polimerisasi khitin dan pembentukan kutikula. Lemak merupakan salah satu komponen pakan yang paling penting untuk pertumbuhan, yang berfungsi untuk pemeliharaan struktur dan integritas membran sel dalam bentuk fosfolipid dan sebagai sumber energi.

Berdasarkan hal terbut perlu dilakukan optimasi kadar karbohidrat-lemak pakan, untuk mendukung formulasi pakan isokalori. Tujuan penelitian ini adalah menemukan kadar karbohidrat-lemak optimum dalam pakan buatan isokalori berbahan dasar limbah yang diperkaya dengan vitomolt dalam menstimulasi molting dan pertumbuhan kepiting bakau setelah molting, serta mengkaji pengaruhnya terhadap komposisi kimia tubuh, meliputi kadar protein, lemak, BETN, serat kasar, dan abu, serta kadar glikogen pada hepatopankreas dan otot.

Bahan dan Metode

Bahan

Hewan uji adalah kepiting bakau (Scylla spp.) dengan ukuran berat 56 ± 3,4 g dan lebar karapas 64 ± 3,3 mm. Kepiting bakau yang dijadikan sampel sebanyak 120 ekor, masing-masing 10 ekor per perlakuan. Kepiting diperoleh dari suplayer kepiting di Kabupaten Maros. Pakan yang digunakan pada percobaan ini adalah empat pakan buatan isokalori dalam bentuk pellet pada berbagai kadar karbohidrat-lemak. Keempat pakan tersebut berbahan dasar limbah pangan dengan kadar protein ± 30% (Aslamyah & Fujaya, 2009). Komposisi nutrien pakan uji disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi nutrien pakan uji

Komposisi Pakan

A B C D

Air (%) 10.55 10.16 10.3 10.2

Abu (% bk) 13.52 12.01 11.11 8.15

Protein (% bk) 30.2 30.4 30.15 30.06

Lemak (% bk) 10.2 9.1 8.05 7.2

Serat kasar (% bk) 5.98 5.23 5.5 5.7

BETN (% bk) 40.1 43.26 45.19 48.89

DE (kkal/kg.)*) 2885.7 2882.6 2837.05 2857.55

C/P (DE/g Protein) 9.56 9.48 9.41 9.51

Keterangan : *)Hasil perhitungan berdasarkan persamaan energi (NRC, 1988) : 1 g karbohidrat = 2,5 kkal DE

1 g protein = 3,5 kkal DE 1 g lemak = 8,1 kkal DE

(3)

Wadah percobaan adalah crabs box dengan ukuran panjang, lebar, dan tinggi masing-masing adalah 21 cm x 15 cm x 8 cm. Crabs box diletakkan pada rakit yang terbuat dari pipa paralon diameter 10 cm dan ditempatkan dalam tambak air payau dengan kedalaman ± 100 cm. Crabs box yang digunakan berjumlah 120 buah.

Metode

Percobaan dilaksanakan di Crabs Research Station di Kecamatan Lau, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan dari bulan April sampai September 2010. Pembuatan pakan buatan dan vitomolt dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Perikanan dan Kelautan, Pusat Kegiatan Penelitian, Unhas. Analisis proksimat pakan dan tubuh kepiting uji, serta kadar glikogen hepatopankreas dan otot dilakukan di Laboratorium Nutrisi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Perlakuan yang diuji adalah empat pakan buatan pada berbagai kadar karbohidrat-lemak, masing-masing dilakukan 3 kali pengulangan, setiap ulangan terdiri atas 10 ekor kepiting. Perlakuan tersebut adalah :

A. Pakan buatan dengan kadar karbohidrat-lemak = 40,1:10,2 % B. Pakan buatan dengan kadar karbohidrat-lemak = 43,26:9,1% C. Pakan buatan dengan kadar karbohidrat-lemak = 45,19:8,05% D. Pakan buatan dengan kadar karbohidrat-lemak = 48,89:7,2%

Pemeliharaan kepiting uji dilakukan secara individu dalam crabs box. Sebelum diberi perlakuan, kepiting uji diadaptasikan selama 4 hari dengan kondisi lingkungan penelitian. Kemudian dilakukan penimbangan bobot awal kepiting uji dengan dan pengukuran lebar karapas. Kepiting yang telah lolos sortir ditagging dengan menggunakan marker pada bagian dorsal karapas untuk memudahkan dalam pengamatan dan dimasukkan dalam crabs box. Pemberian pakan buatan sebanyak 3% dari bobot tubuh/hari dan dilakukan sekali sehari pada sore hari. Pemberian pakan yang diperkaya dengan vitomolt dilakukan sampai hari ke 11, hari selanjutnya diberi pakan uji tanpa vitomolt mengikuti metode Fujaya et al. (2009).

Pergantian air dilakukan setiap hari mengikuti ketinggian pasang surut. Pengukuran kualitas air dilakukan selama pemeliharaan kepiting, meliputi : suhu, salinitas, oksigen terlarut, pH, dan amoniak. Suhu diukur menggunakan termometer, salinitas dengan handrefractometer, oksigen terlarut dengan DO meter, pH dengan pH meter, dan amoniak dengan spektrofotometer.

Pengamatan secara visual dilakukan setiap hari untuk mengontrol perkembangan kepiting uji setelah pemberian pakan sampai kepiting uji tersebut mengalami molting. Satu jam setelah terjadi molting, dilakukan pengambilan data akhir dengan menimbang dan mengukur lebar karapas kepiting uji. Peubah yang diamati adalah persentase molting, mortalitas, pertumbuhan mutlak setelah molting, laju pertumbuhan relatif, komposisi kimia tubuh, serta kadar glikogen hepatopankreas dan otot kepiting uji.

Persentase molting dihitung berdasarkan pada perbandingan jumlah kepiting yang molting dengan jumlah awal kepiting. Mortalitas dihitung berdasarkan pada perbandingan jumlah kepiting yang mati dengan jumlah awal kepiting. Pertumbuhan mutlak setelah molting dihitung berdasarkan selisih berat/lebar karapas setelah molting dengan berat/lebar karapas awal kepiting.

Laju pertumbuhan relatif dihitung berdasarkan rumus (Takeuchi, 1988). Wt-Wo

LPR = --- x 100 Wo

Di mana: LPR = laju pertumbuhan relatif (%)

Wt = rata-rata berat/lebar karapas akhir kepiting (g)

Wo = rata-rata berat/ lebar karapas awal kepiting (g)

Pengukuran komposisi kimia tubuh kepiting dengan analisis proksimat dilakukan pada awal dan setelah 15 hari masa percobaan. Bersamaan dengan pengukuran komposisi kimia tubuh dilakukan juga pengukuran kadar glikogen tubuh kepiting uji. Otot diambil dari bagian dorsal. Prosedur analisis kadar glikogen mengikuti metode Wedemeyer & Yasutake (1977).

(4)

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt dengan berbagai kadar karbohidrat-lemak memberikan respon persentase molting dan pertumbuhan yang berbeda pada kepiting bakau. Data persentase molting dan mortalitas kepiting bakau setelah perlakuan berbagai kadar karbohidrat-lemak pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt disajikan pada Tabel 2, rata-rata pertumbuhan bobot mutlak (g) dan laju pertumbuhan relatif (%), serta pertambahan lebar karapas mutlak (mm) dan laju pertambahan lebar karapas relatif (%) setelah molting disajikan pada Tabel 3, sedangkan komposisi kimia tubuh (% bk), serta kadar glikogen hepatopankreas dan otot kepiting (mg/g) setelah 15 hari perlakuan disajikan pada Tabel 4. Kisaran data pengukuran kualitas air lingkungan pemeliharaan selama percobaan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 2. Persentase molting dan mortalitas kepiting bakau setelah perlakuan berbagai kadar karbohidrat-lemak pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt

Parameter Perlakuan Pakan

A B C D

Molting (%)

10 - 20 hari 13,33 3,33 10,00 21 - 30 hari 3,33 13,33 13,33 26,67 31 - 40 hari 13,33 3,33 10,00 6,67 41 - 50 hari - 3,33 16,67 20,00 51 - 60 hari 23,33 13,33 10,00 10,00 Total 40,00 46,67 53,33 73,33 Tidak molting (%) 53,33 43,33 36,67 23,33

Mortalitas (%) 6,67 10,00 10,00 3,33

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Keterangan : Pakan A = karbohidrat-lemak 40,1:10,2% Pakan B = karbohidrat-lemak 43,26:9,1% Pakan C = karbohidrat-lemak 45,19:8,05% Pakan D = karbohidrat-lemak 48,89:7,2%

Tabel 3. Pertumbuhan bobot mutlak (g) dan relatif (%), serta pertambahan lebar karapas mutlak (mm) dan relatif (%) setelah molting pada kepiting bakau dengan perlakuan berbagai kadar karbohidrat-lemak pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt

Perlakuan

Rata-rata pertumbuhan bobot

setelah molting Rata-rata pertambahan lebarkarapas setelah molting Mutlak (g) Relatif % Mutlak (mm) Relatif % Formula A 9,89 ± 6,67 17,31 ± 11,02 6,23 ± 3,45 9,52 ± 5,29 Formula B 12,85 ± 7,04 22,50 ± 13,95 7,52 ± 2,58 11,32 ± 3,87 Formula C 13,98 ± 7,48 24,76 ± 17,23 8,47 ± 2,24 13,07 ± 3,93 Formula D 16,24 ± 8,68 27,51 ± 14,04 9,70 ± 3,84 14,71 ± 5,94

(5)

Tabel 4. Hasil analisis proksimat (% bk), serta kadar glikogen hepatopankreas dan otot kepiting

Keterangan : Pakan A = karbohidrat-lemak 40,1:10,2% Pakan B = karbohidrat-lemak 43,26:9,1% Pakan C = karbohidrat-lemak 45,19:8,05% Pakan D = karbohidrat-lemak 48,89:7,2%

Tabel 5. Kisaran data pengukuran kualitas air lingkungan pemeliharaan selama percobaan Parameter Kisaran

Pada Tabel 2 terlihat persentase molting tertinggi diperlihatkan kepiting bakau pada perlakuan pakan D lemak 48,89:7,2%), diikuti perlakuan pakan C (karbohidrat-lemak 45,19:8,05%), perlakuan pakan B (karbohidrat-(karbohidrat-lemak 43,26:9,1%), dan perlakuan pakan A (karbohidrat-lemak 40,1:10,2%) dengan persentase molting terendah. Fenomena yang sama diperlihatkan pada peubah lainnya, seperti pertumbuhan bobot mutlak (g) dan relatif (%), serta pertambahan lebar karapas mutlak (mm) dan relatif (%) setelah molting (Tabel 3), serta komposisi kimia tubuh, kadar glikogen hepatopankreas dan otot (Tabel 4).

Pembahasan

Respon molting kepiting bakau yang berbeda pada keempat pakan buatan bervitomolt terjadi karena perbedaan komposisi bahan baku yang digunakan dalam formulasi pakan. Hal ini berakibat pada perbedaan dalam kadar nutrien pakan terutama kadar kabohidrat dan lemak pakan (Tabel 1). Kepiting membutuhkan pakan untuk mempertahankan eksistensi hidup serta pertumbuhannya, dan akan bertumbuh dengan baik jika pakan yang tersedia mengandung semua unsur-unsur nutrien yang dibutuhkan dalam kadar yang optimal. Menurut Gutierrez-Yurrita & Montes (2001) komposisi nutrien pakan essensial akan menentukan pertumbuhan dan efisiensi pakan organisme.

Persentase molting tertinggi dan tercepat yang diperlihatkan kepiting uji pada perlakuan pakan D (karbohidrat-lemak 48,89:7,2%) dengan kadar karbohidrat tertinggi dan kadar lemak terendah dibandingkan perlakuan pakan lainnya. Molting menurun dengan menurun kadar karbohidrat pakan dibandingkan lemak pakan. Fenomena yang sama diperlihatkan pada peubah lainnya, seperti pertumbuhan setelah molting, komposisi kimia tubuh, kadar glikogen hepatopankreas dan otot. Hal ini merupakan respons pemanfaatan karbohidrat dan lemak pakan sebagai sumber energi, hal ini memperlihatkan apa yang disebut protein sparing action untuk pertumbuhan. Protein dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perbaikan sel yang rusak, tidak sebagai sumber energi. Menurut Zonneveld et al. (1991) meskipun karbohidrat bukan merupakan sumber energi yang superior bagi ikan melebihi protein dan lemak, karbohidrat yang dicerna dari pakan dapat memperlihatkan apa yang disebut protein sparing action untuk pertumbuhan. Church & pond (1988) mengemukakan bahwa karbohidrat dan lemak merupakan dua sumber energi terbesar untuk tubuh makhluk hidup. Namun demikian, sumber energi utama adalah glukosa.

(6)

bahwa pengaruh karbohidrat terhadap pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kadar karbohidrat dalam pakan, kecernaan karbohidrat itu sendiri, tingkat makanan yang masuk, kondisi lingkungan dan spesies. Anderson et al. (2004) melaporkan bahwa kemampuan kepiting untuk mencerna pakan dengan kadar BETN 31,3–42,5% berkisar 91,6–95,8%. Karbohidrat digunakan sebagai sumber energi, meskipun penggunaannya lebih rendah dibandingkan hewan teristerial (Watanabe, 1988). Selain itu, karbohidrat juga berfungsi sebagai sumber ribosa untuk sintesa DNA dan RNA, serta bisa diubah menjadi asam amino non essensial (Lehninger, 1971). Kandungan energi, karbohidrat dan lemak yang seimbang juga membantu dalam proses pembentukan kitin. Kitin adalah polisakarida yang terdiri atas rantai panjang polimer dari N-asetilglukosamin (GicNac), sebuah turunan dari glukosa yang merupakan komponen utama dari exoskeleton dari arthopoda, seperti krustasea. Selain untuk memenuhi kebutuhan energi dan persediaan makanan di dalam tubuh, karbohidrat juga berfungsi untuk sintesis kitin pada kulit, polimerisasi kitin dan pembentukan kutikula (Catacutan, 2001; Pratoomchat et al., 2002; Satphaty et al., 2003).

Kadar lemak yang lebih rendah pada perlakuan pakan D (karbohidrat-lemak 48,89:7,2%) ternyata lebih baik dibandingkan dengan perlakuan pakan lainnya dengan kadar lemak lebih tinggi. Anderson et al. (2004) mengemukakan pakan buatan yang mengandung lemak tinggi, terutama asam lemak tidak jenuh, akan mengalami masalah dalam penyerapan. Lemak sangat mudah teroksidasi menjadi peroksida dan senyawa toksik lainnya. Lanjut bahwa, penggunaan pakan buatan yang telah mengalami proses oksidasi akan menurunkan nafsu makan, menghambat pertumbuhan, menyebabkan pigmentasi, serta menurunkan kadar hemoglobin dan hematokrik. Namun demikian, lemak berfungsi sebagai senyawa organik penghantar sinyal, seperti pada prostaglandin dan hormon steroid dan kelenjar

Pengukuran materi pertumbuhan, meliputi komposisi kimia tubuh, serta kadar glikogen hepatopankreas dan otot memperlihatkan pola yang seiring dengan persentase molting dan pertumbuhan kepiting bakau. Pakan D dengan perbandingan kadar karbohidrat-lemak 48,89:7,2% lebih baik dibandingkan dengan pakan lainnya. Komposisi kimia tubuh, serta kadar glikogen hepatopankreas dan otot meningkat dengan peningkatan kadar karbohidrat pakan. Peningkatan kemampuan ikan uji memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber energi, dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan dan pergantian sel yang rusak, yang pada akhirnya terjadi peningkatan deposisi kimia tubuh.

Terjadinya proses protein sparing effect oleh ketersedian energi nonprotein pada pakan D menyebabkan peningkatan efisien pemanfaatan pakan. Hal ini tergambar pada kadar protein yang terkandung dalam pakan. Kadar protein pada semua pakan uji (30,06–30,4%) dibawah rata-rata kebutuhan protein untuk kepiting menurut Anderson et al. (2004) dan Karim (2005), yaitu 35%. Hal ini merupakan respon positif pada vitomolt. Disamping berperan sebagai stimulan molting karena mengandung hormon molting (fitoekdisteroid), seperti dilaporkan Wahyuningsih (2008) yang mendapatkan persentasi molting sebesar 54% pada kepiting yang mendapatkan suplementasi vitomolt sebanyak 250 ng/g kepiting dibanding kontrol hanya 15% dan hasil penelitian Susanti (2009) sebesar 90% setelah perlakuan vitomolt dalam pakan buatan (933 ng/g pakan) dibanding kontrol hanya 20%. Fitoekdisteroid juga memiliki pengaruh anabolik dengan meningkatkan sintesa protein. Selanjutnya menurut Donalson et al. (1978) mengemukakan aksi metabolik steroid yang paling menonjol adalah digiatkannya metabolisme protein. Preston dan Dinan (2002) mengemukakan bahwa ekdisteroid juga berperan meningkatkan pembentukan protein melalui peningkatan sintesis mRNA. Menurut Lafont & Dinan (2003) eksdisteroid juga menstimulasi metabolisme karbohidrat, biosintesis lipid, dan berperan sebagai imunostimulan dan antioksidan.

(7)

Kadar karbohidrat yang tinggi dalam pakan dapat merangsang proses hidrolisis enzimatik karbohidrat berlangsung maksimal pada saluran pencernaan. Glukosa yang telah masuk ke dalam sel akan segera dimetabolisme untuk mencukupi kebutuhan energi sehingga menghindari penggunaan sejumlah asam amino sebagai sumber energi metabolik. Keadaan ini pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan dan deposisi materi pertumbuhan seperti protein dan lemak. Suarez et al. (2002) melakukan analisis aktivitas glikolisis dan glukoneogenesis secara tidak langsung dengan mengukur aktivitas enzim hati yang berperan, yaitu PK (pyruvate kinase), FBPase (fructose 1.6 bis-phosphatase) dan G6PDH (glukosa 6-phosphate dehydrogenase). Aktivitas glikolisis meningkat dengan bertambahnya kadar karbohidrat dibandingkan protein pakan dan aktivitas glukoneogenesis dapat dikurangi mulai dari 20 sampai 30% untuk setiap peningkatan kadar karbohidrat dibanding protein pakan.

Produk hidrolisis karbohidrat digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh dan kebutuhan energi, setelah terpenuhi akan merangsang terjadinya proses glikogenesis dan lipogenesis (Stryer, 2000). Glikogenesis adalah perubahan bentuk glukosa menjadi glikogen seperti yang terjadi dalam hepatopankreas dan otot. Peningkatan aktivitas glikogenesis inilah yang menyebabkan meningkatnya kadar glikogen hepatopankreas dan otot pada kepiting bakau yang diberi pakan dengan kadar karbohidrat lebih tinggi. Nilai yang didapat menurun dengan berkurangnya karbohidrat pakan. Peningkatan komposisi kimia tubuh, serta kadar glikogen hepatopankreas dan otot dengan meningkatnya karbohidrat pakan juga ditemukan pada spesies ikan lain (Suarez et al., 2002; Krogdahl et al., 2004; Mokoginta et al., 2004; Hatlen et al., 2005; dan Aslamyah, 2006).

Kondisi kualitas air yang ekstrim dan fluktuatif (Tabel 5), terutama salinitas dan suhu pada lokasi percobaan kurang mendukung pemeliharaan kepiting bakau. Akibatnya, dibandingkan beberapa hasil penelitian terdahulu, waktu yang dibutuhkan untuk menginduksi molting pada penelitian ini relatif lebih lama. Menurut Kuntinyo et al. (1994) bahwa salinitas optimal untuk budidaya kepiting bakau ditambak berkisar antara 15–30 ppt, sedangkan suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 26–32oC. Hasil penelitian Karim (2008a) dan (2008b)

salinitas optimum untuk pertumbuhan kepiting adalah 25oC.

Kisaran salinitas yang tinggi dibandingkan kisaran kebutuhan optimal menyebabkan kepiting uji menjadi stres. Wedemeyer & MCleay (1981) serta Adams (1990) mengemukakan stres menggambarkan kondisi terganggunya homeostasis hingga berda di luar batas normalnya, serta proses-proses pemulihan untuk memperbaikinya. Dalam kondisi stres terjadi realokasi energi metabolik dari aktivitas investasi (pertumbuhan dan reproduksi) menjadi aktivitas untuk memperbaiki homeostasis, seperti respirasi, pergerakan, regulasi hidro-mineral dan perbaikan jaringan (Wendelaar, 1997). Akibatnya pemanfaatan energi pakan untuk pertumbuhan ikan termasuk sintesis materi kekebalan tubuh dapat terganggu. Pada saat ini glukosa sangat dibutuhkan sebagai sumber energi untuk proses memperbaiki homeostasis. Oleh karena itu, perlu tersedia sumber energi yang tinggi sebagai sumber glukosa. Kepiting uji dengan perlakuan formulasi pakan dengan kadar karbohidrat tinggi memberikan respon persentase molting dan pertumbuhan yang tinggi dan menurun dengan berkurangnya karbohidrat pakan. Chung & Webster (2005) mengemukakan bahwa stres akibat pengaruh lingkungan, seperti suhu dapat meningkatkan hormon hyperglycemic crustacea (CHH) pada kepiting laut, Carcinus maenas. Hormon ini berperan dalam metabolisme karbohidrat. Peningkatan level CHH menyebabkan peningkatan kadar glukosa pada hemolimph. Glukosa darah merupakan sumber bahan bakar utama dan substrat esensial untuk metabolisme sel (Steward, 1991).

Mortalitas yang terjadi selama pemeliharaan berkisar dari 3,33–10%. Mortalitas yang terjadi diduga tidak disebabkan oleh perlakuan yang diberikan, tetapi disebabkan oleh penanganan pada awal penebaran dan stress lingkungan.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

(8)

pada hepatopankreas dan otot yang berbeda. Semakin tinggi kadar karbohidrat dibandingkan dengan kadar lemak pakan semakin tinggi persentase molting dan pertumbuhan, serta komposisi kimia tubuh kepiting bakau. Pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt (700 ng/g kepiting) dengan kadar karbohidrat-lemak 48,89:7,2% terbaik dalam menstimulasi molting dan pertumbuhan, serta meningkatkan komposisi kimia tubuh kepiting bakau.

Saran

Masih diperlukan kajian lanjutan tentang manajemen pemberian pakan bervitomolt, yaitu persentase dan frekuensi pemberian pakan untuk meningkatkan persentase molting dan pertumbuhan kepiting bakau dalam produksi soft shell crabs.

Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini melalui Proyek Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional Tahun II Anggaran 2010.

Daftar Pustaka

Adams, S.M. 1990. Status and biological indicator for evaluating the effects of stress on fish, p. 8: 1-8. In Adams, S.M. (Ed.). Biological indicator of stress in fish. American Fisheries Symposium.

Anderson, A, P. Mather & Richardson. 2004. Nutrition of the mud crab Scylla serrata (forskal). In Allan & D. Fielder (ed.). Proceeding of Mud Crab Aquaculture in Australia and Southeast Asia. pp 57-59.

Aslamyah, S. 2000. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan betutu (Oxyeleotris marmorata Blkr) yang diberi hormon metyltestosteron pada pakan dengan kadar protein berbeda. Jurnal Peternakan Universitas Hasanuddin8 (2) : 56-69.

Aslamyah, S. 2006. Penggunaan Mikroflora Saluran Pencernaan sebagai Probiotik untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Bandeng. (desertasi). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Aslamyah, S. & Y. Fujaya. 2009. Formulasi Pakan Buatan Khusus Kepiting yang Berkualitas Murah dan ramah Lingkungan. Jurnal Sains & Teknologi, Seri Imu-Ilmu Pertanian 9 (2) 133-141.

Aslamyah, S. & Y. Fujaya. 2010. Stimulasi molting dan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla sp.) melalui aplikasi pakan buatan berbahan dasar limbah pangan yang diperkaya ekstrak bayam. Indonesian Journal of Marine Science 15(3): 170-178.

Bakrim, A, A. Maria, F. Sayah, R. Lafont & N. Takvorian. Ecdysteroids in spinach (Spinacia oleracea L.):Biosiynthesis, transport and regulation of levels. Online Abstract. Plant Physiology and Biochemistry, 46(10):844-854

Catacutan, M.R. 2002. Growth and body composition of juvenile mud crab, Scylla serrata, fed different dietary protein and lipid levels and protein to energy ratio. Aquaculture 208: 113-123

Chung, J. S. & S. G. Webster. 2005. Dynamics of in vivo release of molt-inhibiting hormone (MIH) and crustacean hyperglycemic hormone (CHH) in the shore crab, Carcinus maenas. Endocrinology 146 : 5545–5551.

Donalson, E.M., U.H.M Fegerlund, D.A. Higgs & J.R. Mc-Brede. 1978. Hormonal enchantment of growth. In Hoar W.S., D.J. Randall & J.R. Bret (eds). Fish Physiology. Vol VIII. Academic Press, New York. pp 456-597.

(9)

MENRESTEK. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Fujaya, Y, S. Aslamyah, Mufidah & L.F. Mallombasang. 2009. Peningkatan produksi dan efisiensi proses produksi kepiting cangkang lunak (Soft shell crab) melalui aplikasi teknologi industri molting yang ranah lingkungan. Laporan Penelitian RAPID, DIKTI. Furuichi, M. 1988. Carbohydrates. Di dalam: Watanabe T, Editor. Fish Nutrition and

Mariculture. Tokyo: Departement of Aquatic Biosciences, University of Fisheries. pp 44-55.

Gutierrez-Yurrita P.J. & C. Montes. 2001. Bioenergetics juveniles of red swamps crayfish (Procambarus clarckii). Comp Biochem Physiol 130A: 29-38.

Hatlen, B., B.G. Helland & S.J. Helland. 2005. Growth feed utilization and body composition in two size groups of Atlantic halibut (Hippoglossus hippoglossus) fed diets differing in protein and carbohydrate content. Aquaculture249:401-408.

Jobling, M., T. Boujard & D. Houlihan. 2001. Food Intake in Fish. Blackwell Science Ltd, A Blackwell Publishing Company. pp 297-331.

Karim, M. Y. 2005. Kinerja Pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata Forskal) Pada Berbagai Salinitas Media Dan Evaluasinya Pada Salinitas Optimum Dengan Kadar Protein Pakan Berbeda. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Karim, M.Y. 2008a. Pengaruh Salinitas Terhadap Metabolisme Kepiting Bakau (Scylla olivacea). Jurnal Perikanan, Journal of Fisheries Sciences, X (1): 37–44.

Karim, M.Y. 2008b. Kajian Osmoregulasi Kepiting Bakau (Scylla olivacea) pada Berbagai Salinitas. Ichthyos, Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Perikanan dan Kelautan, 7(1): 21-26. Kuballa, A. & A. Elizur. 2007. Novel molecular approach to study moulting in crustaceans.

Bull.Fish.Res.Agen. 20: 53 – 57.

Kuntinyo, Z. Arifin & T. Supratomo. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal) di Tambak. Direktorat Jendral Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara. Krogdahl, A., A. Sundby & J.J. Olli. 2004. Atlantic salmon (Salmo salar) and rainbow trout

(Oncorhynchus mykiss) digest and metabolize nutrients differently. Effects of water salinity and dietary stach level. Aquaculture229:335-360.

Lafont, R. & L. Dinan. 2003. Practical uses for ecdysteroids in mammals including humans update. Journal of Insect Science 3(7) 1–30. Online: insect science. Org.

Lehninger. 1999. Dasar-Dasar Biokimia. Thenawijaya M., penerjemah. .Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. p 385.

National Research Council. 1988. Nutrient requirements of warm water fisher. Washington D. C : National Academy of Sciences. p 96.

Mokoginta, I., T. Takeuchi, A. Hadadi & J. Dedi. 2004. Different capabilities in utilizing dietary carbohydrate by fingerling and subadult giant gouramy Osphronemus gouramy. Fisheries Science 70:996-1002.

Pratoomchat, B., P. Sawangwong, P. Pakkong & J. Machado. 2002. Organic and inorganik variations in hemolymph, epidermal tissue and cuticle over the molt cycle in Scylla serrata (Decapoda). Comp Biochem Physiol 131A: 243-255.

Preston, J.M & L, Dinan. 2002. Phytoecdysteroid Levels and Distribution during Development in Limnanthes alba Hartw. Ex Benth. (online). www.znaturforsch. (diakses 29 Mei 2008). Rosas, C, G. Cuzon, G. Taboada, C. Pascual, G. Gaxiola & A.V. Wormhoudt. 2001. Effect of

(10)

Satpathy, B., B.D. Mukherjee & A.K. Ray. 2003. Effect of dietary protein and lipid levels on growth, feed conversion and body composition in rohu. Labeo rohita (Hamilton), fingerlings. Aqua Nutr. 9: 17-24

Suarez, M.D., A Sanz, J. Bazoco, & M.G. Gallego. 2002. Metabolic effects of changes in the dietary protein: carbohydrate ratio in eel (Angilla anguilla) and trout (Oncorhynchus mykiss). Aquaculture International 10: 143–156.

Steward, M. 1991. Blood sugar regulation, pp. 291-321. Dalam Steward, M. (Editor). Animal physiology. Thomson Litho, Ltd. London.

Stryer, L. 2000. Biokimia. Tim penerjemah bagian biokimia FKUI, penterjemah; Soebianto SZ, Setiadi E., Editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Biochemistry. p 686.

Taboada, G., G. Gaxiola, T. Garcia, R. Perdoza, A. Sanchez, L.A. Soto & C. Rosas. 1998. Oxygen consumption and ammonia-N excretion related to protein requirement for growth of white shrimp, Penaeus setiferus (L.), juveniles. Aqua Res. 29: 823 – 833. Takeuchi, T. 1988. Laboratory Work, Chemical Evaluation of Dietary Nutrients. Dalam:

Watanabe T, Editor. Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo: Departement of Aquatic Biosciences, University of Fisheries.pp 179-288.

Thompton. 2005. Regulation of ecdysteroid and vitellogenin levels during the molt and reproductive cycles of female Dungeness crab Cancer magister. Thesis. University of Alaska. Fairbanks, Alaska.

Wahyuningsih, S.A. 2008. Pengaruh Dosis Penyuntikan Vitomolt terhadap Molting Kepiting Bakau (Scylla olivaceous). Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. JICA textbook the general aquaculture course. Tokyo: Departement of Aquatic Biosciences, Tokyo University of Fisheries. pp 233.

Wedemeyer, GA., WT Yasutake. 1977. Clinical methods for the assessment of the effect on environmental stress on fish health. Technical Papers of the U.S. Fish and Wildlife Service. US depert. Of the Interior. J. Fish and Wildlife Service 89: 1-17

Wedemeyer, G.A. & D.J. Mcleay. 1981. Methods for determining the tolerance of fishes to environmental stressors, p: 247-275. Dalam Pickering A.D. (Editor). Stress amd fish. Academic Press, New York.

Wendelaar, B.S.E. 1997. The stress response in fish. Physiol Rev. 77: 591-625.

Gambar

Tabel 3. Pertumbuhan  bobot mutlak (g) dan  relatif (%),  serta pertambahan  lebar karapasmutlak (mm) dan relatif (%) setelah molting pada kepiting bakau dengan perlakuanberbagai kadar karbohidrat-lemak pakan buatan yang diperkaya dengan vitomolt
Tabel 4. Hasil analisis proksimat (% bk), serta kadar glikogen hepatopankreas dan otot kepiting(mg/g) setelah 15 hari perlakuan berbagai kadar karbohidrat-lemak pakan buatanyang diperkaya dengan vitomolt

Referensi

Dokumen terkait

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan tersebut, maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan

Memberi konstribusi hasil penelitian empiris dalam topik pengaruh Modal Intelektual dan Tingkat Pertumbuhan Modal Intelektual terhadap Nilai Perusahaan dengan

Desain Halaman Penugasan Desain Halaman Penugasan adalah bagian dari aplikasi monitoring penugasan petugas lapangan, dimana halaman ini hanya dapat diakses oleh bagian PDO di

dengan menggunakan analisis Metode Economic Order Quantity,Periods Order Quantity dan Silver Meal sebagai pilihan penerapan metode perhitungan, sehingga perusahaan dapat

Setiap huruf kanji memiliki makna dasar seperti yang diuraikan di atas. Oleh karena itu, untuk mengingat huruf kanji tersebut kita cukup mengingat

Bisnis semacam ini cukup membahayakan, karena keputusan yang diambil oleh pelaku bisnis lebih bersifat spekulatif (gambling). Kegiatan bisnis yang semacam ini oleh agama

〔商法三七九〕 いわゆる小会社の監査役に第三者に対する責任を認めた事例 東京地裁平成四年一一月二七日判決 鈴木, 千佳子Suzuki,