I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang strategis dalam
pelaksanaan pembangunan nasional karena didukung oleh ketersediaan potensi
sumber daya alam yang sangat baik dan beragam. Namun demikian, ketersediaan
berbagai sumber daya hayati yang banyak tidak menjamin kondisi ekonomi
masyarakat akan lebih baik kecuali bilamana keunggulan tersebut dapat dikelola
secara profesional, berkelanjutan dan amanah sehingga keunggulan komparatif
(comparative advantage) akan dapat diubah menjadi keunggulan kompetitif
(competitive advantage) yang menghasilkan nilai tambah (value added) yang
lebih besar (Sa’id, 2009).
Perkebunan merupakan salah satu sub sektor dari pertanian yang sangat
penting bagi Indonesia. Subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang
signifikan terhadap stabilitas ekonomi makro, pertumbuhan, penciptaan lapangan
kerja, penerimaan devisa dari ekspor, dan sumber bahan baku bagi industri hilir
hasil pertanian (Susila dan Dradjat, 2001).
Dalam kebijakan pembangunan perkebunan Indonesia, kakao merupakan
salah satu komoditas unggulan sub sektor perkebunan dari 15 komoditas
perkebunan unggulan nasional yang dicanangkan untuk dikembangkan secara
besar-besaran di Indonesia(Kementerian Pertanian, 2012).
Kakao adalah salah satu komoditas primer perkebunan Indonesia yang
juga merupakan komoditas ekspor unggulan perkebunan. Kakao menempati
0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000 1.800.000 2.000.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pantai Gading dan Ghana. Indonesia sendiri pada saat ini merupakan negara
produsen terbesar ketiga setelah kedua negara Afrika tersebut (ICCO, 2013)
sehingga pada pasar kakao dunia, Indonesia berperan penting sebagai salah satu
penyumbang terbesar bagi kebutuhan biji kakao dunia melalui ekspor.
Perkembangan subsektor perkebunan khususnya kakao didukung oleh
lahan yang cukup luas dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Luas areal
perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2012 tercatat sudah mencapai 1.732.954
ha dibandingkan dengan data luas tahun 2000 yang masih 749.917 Ha.
Dari sisi produksi, kakao Indonesia juga cenderung terus meningkat sejak
tahun 2000 hingga tahun 2012. Tahun 2000 baru sebesar 421.142 ton meningkat
lebih dari 200% menjadi 936.266 ton pada tahun 2012. Data luas areal dan
produksi kakao Indonesia disajikan pada Gambar 1.
Sumber : Kementerian Pertanian, 2010 dan BPS, 2013.
Gambar 1. Data Luas Areal dan Produksi Biji Kakao Indonesia
Peningkatan luas areal kakao selama 12 tahun terakhir sebesar 131%
mampu diimbangi oleh peningkatan produktivitas tanaman. Menurut Wahyudi
dan Rahardjo (2008), Produktivitas tanaman kakao seharusnya dapat mencapai
2.000 kg/ha/tahun. Rendahnya produktivitas kakao disebabkan karena
penggunaan bahan tanam yang kurang baik, teknologi budidaya yang kurang
optimal, umur tanaman yang semakin tua serta masalah serangan hama dan
penyakit.
Volume dan nilai ekspor total biji kakao Indonesia dari tahun 2000-2012
relatif berfluktuasi namun mempunyai kecenderungan meningkat. Pada tahun
2001 dan 2007, terjadi penurunan volume ekspor biji kakao Indonesia namun nilai
ekspornya menunjukkan peningkatan. Hal ini mengindikasikan terjadinya
peningkatan harga ekspor biji kakao Indonesia. Sebaliknya, pada tahun 2004
terjadi kenaikan volume ekspor biji kakao Indonesia namun nilai ekspornya
menurun. Hal ini menunjukkan adanya penurunan harga ekspor biji kakao pada
tahun-tahun tersebut.
Pada tahun 2010 ekspor biji kakao cenderung menurun. Tahun 2009 ekspor
kakao masih 559.799 ton, menurun pada tahun 2010 menjadi 552.900 ton
kemudian tahun 2011 menurun lagi menjadi 410.200 ton dan tahun 2012 menjadi
387.789 ton. Ternyata penurunan ekspor ini bukan disebabkan karena adanya
penurunan produksi kakao dalam negeri karena data produksi pada tahun 2009
adalah sebesar 758.411 ton, meningkat pesat pada tahun 2012 menjadi 936.266
ton. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Biji Kakao Indonesia disajikan pada
Gambar 2.
Penurunan ekspor biji kakao yang terjadi sejak tahun 2010 diduga
0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 1800000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
kakao yang dimulai pada bulan Maret 2010. Kebijakan ini meningkatkan biaya
sehingga memaksa para eksportir untuk mengurangi ekspor biji kakao secara
langsung dan meningkatkan pengolahan biji kakao di dalam negeri.
Sumber : Kementerian Pertanian, 2010 dan Badan Pusat Statistik (BPS), 2013.
Gambar 2. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Biji Kakao Indonesia
Bentuk hasil kakao yang banyak diekspor oleh Indonesia adalah biji kakao
kering tanpa mengalami pengolahan lebih lanjut sehingga harga yang diperoleh
dari ekspor masih relatif rendah. Produk kakao Indonesia sebagian besar
dihasilkan oleh perkebunan rakyat dan umumnya tidak diolah secara baik (tidak
difermentasi) sehingga kakao Indonesia dikenal bermutu rendah. Akibatnya harga
kakao Indonesia dikenakan diskon (automatic detention) yang besarnya antara
US $ 90-150/ton khususnya untuk pasar Amerika Serikat. Diskon harga tersebut
cukup memberatkan pekebun kakao dan sangat merugikan karena mengurangi
nilai devisa yang diperoleh (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
0 5000 10000 15000 20000 25000 30000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Indonesia dapat mengekspor kakao olahan sehingga menghasilkan devisa yang
lebih besar lagi.
Perkembangan harga domestik biji kakao sejak tahun 2000 hingga 2009
terus mengalami peningkatan, dengan kenaikan mencapai 250%. Peningkatan
harga yang cukup tajam terjadi pada antara tahun 2008 dan 2009 hingga mencapai
62% seperti disajikan pada Gambar 3.
Sumber : Kementerian Pertanian, 2010 dan Badan Pusat Statistik (BPS), 2013.
Gambar 3. Perkembangan Harga Domestik Biji Kakao Indonesia
Selama periode tahun 2000-2012, perkembangan harga internasional biji
kakao cukup berfluktuatif namun mempunyai kecenderungan mengalami sedikit
peningkatan sebesar 170%. Penurunan harga kakao cukup besar terjadi pada tahun
2007 hingga sebesar 43% dibandingkan periode tahun sebelumnya.
Perkembangan Harga Internasional Biji Kakao disajikan pada Gambar 4.
Harga biji kakao kering sangat bervariasi antar satu negara dengan negara
lainnya. Perbedaan harga biji kakao kering ini dipengaruhi oleh banyak faktor
0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
kering cukup tinggi terjadi bukan di negara sentra produsen kakao (Kementerian
Pertanian, 2010).
Sumber : Kementerian Pertanian, 2010 dan Badan Pusat Statistik (BPS), 2013.
Gambar 4. Perkembangan Harga Internasional Biji Kakao
Agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah
kompleks antara lain produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama
penggerek buah kakao (PBK), mutu produk masih rendah serta masih belum
optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan
sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih
nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao (Departemen Perindustrian,
2007).
Selama ini industri pengolahan kakao lebih banyak berada di
negara-negara Eropa dan Amerika sehingga nilai tambah tidak dinikmati Indonesia
sebagai penghasil biji kakao. Oleh karena itu pengenaan bea keluar atas biji kakao
dilakukan untuk merangsang tumbuhnya industri pengolahan kakao di Indonesia
yang pada gilirannya ekspor komoditas kakao meningkat nilai tambahnya
Kakao merupakan produk yang digemari dan bercita rasa tinggi serta tidak
ada produk alami yang dapat menjadi subtitusinya sehingga pasar produk kakao
memiliki pasar tersendiri. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dunia
seharusnya permintaan terhadap kakao akan meningkat dan perubahan harga tidak
akan mempengaruhi jumlah yang dikonsumsi. Faktor lainnya seperti kebijakan
pemerintah juga akan dianalisis pada penelitian ini apakah ada pengaruhnya dan
bagaimana pengaruhnya terhadap ekspor biji kakao.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian-uraian di atas, permasalahan yang akan diidentifkasi
dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh faktor produksi biji kakao, harga
domestik biji kakao, harga internasional biji kakao, ekspor biji kakao tahun
sebelumnya, dan kebijakan pemerintah berupa penerapan bea keluar biji kakao
terhadap ekspor biji kakao Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh faktor produksi biji kakao, harga domestik
biji kakao, harga internasional biji kakao, ekspor biji kakao tahun sebelumnya,
dan kebijakan pemerintah berupa penerapan bea keluar biji kakao terhadap ekspor
biji kakao Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat
bagi berbagai pihak. Adapun manfaaat penelitian ini antara lain:
1. Bagi pemerintah, penelitian ini da pa t memberikan gambaran yang
kebijakan terhadap pilihan ekspor biji kakao dan produk olahan kakao
Indonesia.
2. Bagi masyarakat umum, diharapkan penelitian ini dapat
menambah wawasan mengenai kondisi ekspor pertanian khususnya
komoditas kakao di Indonesia terhadap pasar Internasional.
3. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan ilmu pengetahuan yang lebih beranekaragam.
4. Bagi penulis selanjutnya, penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan
dan bahan pertimbangan untuk peneltian-penelitian dengan topik