• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pemerintah atas Keterlambatan Penyelesaian Penyediaan Barang dan Jasa di Dalam Perjanjian Borongan Kerja (Studi pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Sibolga)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pemerintah atas Keterlambatan Penyelesaian Penyediaan Barang dan Jasa di Dalam Perjanjian Borongan Kerja (Studi pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Sibolga)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjanjian pemborong pekerjaan adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga tertentu. Pemborong selaku pelaksana pembangunan fisik, bertanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan pada tanggal yang telah ditentukan dalam perjanjian pemborongan. Jika pekerjaan pemborongan terbagi-bagi atas bagian-bagian yang berbeda, pemborong juga wajib menyerahkan pekerjaan pada tiap-tiap tanggal yang tercantum dalam perjanjian pemborongan tersebut. Selain itu pemborong juga berkewajiban untuk menyelesaikan pekerjaanya sesuai dengan uraian tentang pekerjaan yang disertai gambar-gambar dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pelaksanaan pekerjaan pemborongan kerja.1

Keterlambatan dalam pelaksanaan pekerjaan pemborongan atau tidak dilakukannya pekerjaan sesuai perjanjian, akan mengakibatkan tertundanya pemanfaatan proyek tersebut oleh pemerintah daerah dan masyarakat atau tidak dapat dimanfaatkan sama sekali sesuai perencanaan awal. Tanggung jawab pemborong untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan perencanaan perlu dikaji lebih lanjut baik dalam perumusan perjanjian maupun pelaksanaan perjanjian pemborongan.2

1

http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-perjanjian-pemborongan.html

2

(2)

Ketentuan mengenai perjanjian pemborongan telah diatur dalam Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemborongan pekerjaan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.3

Sebelum ditentukan pemborong mana yang dipilih untuk mengerjakan proyek-proyek pemerintah, terlebih dahulu haruslah dilakukan prakualifikasi (proses penilaian kompetensi dan kemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya dari penyedia barang/jasa sebelum memasukkan penawaran). terhadap calon-calon pemborong yang ada. Perbuatan prakualifikasi pemborong ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan dasar perusahaan, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum dimana mereka mempunyai usaha pokok berupa pelaksanaan pekerjaan pemborongan, konsultasi dan pengadaan barang/jasa lainnya.4

Perjanjian pemborongan diatur dalam Pasal 1601 b, Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1616 KUHPerdata dan UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Perjanjian pemborongan dibuat dengan perjanjian standart, yaitu perjanjian yang dibuat berdasarkan peraturan standart. Adapun peraturan standart untuk perjanjian pemborongan yaitu: AV.1941 (singkatan dari Algemene Voorwarden voor de uitvoering bij aanneming van openbare werken in Indonesia)

3

R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999, hal 391

4

(3)

artinya syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia.5

Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum yang berarti bahwa yang bersangkutan haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum dan undang-undang. Sehingga apabila haknya tidak dipenuhi secara sukarela, dia berhak menuntut melalui pengadilan supaya orang yang bersangkutan dipaksa untuk memenuhi atau menegakkan haknya.6

Perjanjian pemborongan pekerjaan dibedakan dalam dua macam, yaitu:7 a. Dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan

tersebut

b. Dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaannya saja.

Pelaksanaan perjanjian merupakan sebuah kegiatan yang dilaksanakan dalam rangkah mempermudah pencapaian tujuan yang dilakukan secara bersama-sama. Perjanjian pun memiliki banyak jenis, yang salah satunya adalah perjanjian pemborongan.

Pelaksanaan perjanjian pemborongan kerja, juga dilakukan oleh CV. Roma Uli dengan Dinas Pekerjan Umum Kota Sibolga yaitu dalam bidang paket pekerjaan konstruksi penimbunan dan pembuatan jalan dari Paving Block serta pembuatan taman di Kawasan Rusunawa Kelurahan Aek Manis Kecamatan Sibolga Selatan, Nomor 16/PPK-CK/SP/DPUK/2014. Perjanjian ini berlaku efektif pada tanggal penandatanganan surat perjanjian oleh para pihak atau tanggal yang ditetapkan dalam Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK). Kontrak

5

HM. Hanafi Darwis, Hubungan Hukum Dalam Perjanjian Pemborongan, Jurnal hukum Jilid 41 No. 1 Januari 2012

6

I.G.Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Penerbit Megapoin, Jakarta, 2003, hal. 23

7

(4)

pengadaan barang/jasa yang selanjutnya disebut kontrak adalah perjanjian tertulis antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan penyedia yang mencakup Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK) ini dan Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK) serta dokumen lain yang merupakan bagian dari kontrak.8

Pelaksanaan perjanjian pemborongan pada kenyataannya seringkali mengalami hambatan-hambatan, diantaranya adalah keterlambatan dalam pelaksanaan pekerjaan. Apabila penyedia terlambat melaksanakan pekerjaan sesuai jadwal, maka Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) harus memberikan peringatan secara tertulis atau dikenakan tentang kontrak kritis. Hal yang sama juga terjadi dalam perjanjian pelaksanaan penimbunan dan pembuatan jalan dari

Paving Block serta pembuatan taman di Kawasan Rusunawa yang dilakukan CV. Roma Uli dengan Dinas Pekerjan Umum Kota Sibolga karena dalam perjanjian penimbunan dan pembuatan jalan dari Paving Block serta pembuatan taman yang disepakati kedua belah pihak menyatakan bahwasanya apabila terdapat kendala dalam pelaksanaan penimbunan dan pembuatan jalan dari Paving Block serta pembuatan taman seperti cuaca atau hal lainnya yang dapat mengakibatkan CV. Roma Uli membutuhkan perpanjangan waktu dalam menyelesaikan pekerjaannya. Kontrak yang dinyatakan kritis (keterlambatan penyedia dalam melaksanakan pekerjaan) apabila dalam periode I (rencana fisik pelaksanaan 0% - 70% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana, dalam periode II (rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak), realisasi

8

(5)

fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 5% dari rencana, rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari rencana dan akan melampui tahun anggaran berjalan.9

Dalam kaitannya dengan kontrak yang dibuat oleh pemerintah, keabsahan merupakan isu hukum yang sangat penting. Disamping ditentukan oleh persyaratan pelelangan (tender), keabsahan kontrak juga ditentukan oleh isinya dan terpenuhinya syarat kewenangan pada pejabat dalam membuat dan menandatangani kontrak mewakili organ publik atau lembaga pemerintahan. Demikian juga hal-hal yang menyangkut aspek pelaksanaan kontrak. Proses pengadaan jasa konstruksi, yang pada prinsipnya dilakukan dengan tender, yang kemudian diikuti dengan pembuatan dan pelaksanaan kontrak merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, diperlukan instrument hukum yang mengatur mengenai kontrak kerja konstruksi.

Dalam kaitannya dengan kontrak yang dibuat oleh pemerintah, keabsahan merupakan isu hukum yang sangat penting. Disamping ditentukan oleh persyaratan pelelangan (tender), keabsahan kontrak juga ditentukan oleh isinya dan terpenuhinya syarat kewenangan pada pejabat dalam membuat dan menandatangani kontrak mewakili organ publik atau lembaga pemerintahan. Demikian juga hal-hal yang menyangkut aspek pelaksanaan kontrak. Proses pengadaan jasa konstruksi, yang pada prinsipnya dilakukan dengan tender, yang kemudian diikuti dengan pembuatan dan pelaksanaan kontrak merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, diperlukan instrument hukum yang mengatur mengenai kontrak kerja konstruksi dan ahli dibidangnya termasuk proses pemilihan pihak penyedia jasanya, bahkan

9

(6)

hubungan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa juga merupakan masalah-masalah yang sering terjadi dalam pelaksanaan kontrak konstruksi. Saat ini di Indonesia banyak dijumpai adanya dugaan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa atau proyek-proyek konstruksi oleh pemerintah. Hal inilah yang banyak mengakibatkan kerugian terhadap Keuangan Negara. Selain itu, hal ini juga akan berpengaruh terhadap kualitas hasil kerja konstruksi serta peran jasa konstruksi dalam mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional.10

Menurut pasal 1601 b KUH Perdata (kitab Undang-undang Hukum Perdata), perjanjian pemborongan adalah perjanjian dengan mana pihak satu, (si pemborong), mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, (pihak yang memborongkan), dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Jadi dalam perjanjian pemborongan hanya ada dua pihak yang terikat dalam perjanjian pemborongan yaitu: pihak kesatu disebut pihak yang memborongkan atau prinsipal, (bouwheer, Kepala Kantor, satuan Kerja, Pemimpin Proyek); dan pihak kedua disebut pemborong atau Rekanan, Kontraktor.11

Dalam pelaksanaan jasa pemborongan terhadap proyek-proyek pemerintah, harus diketahui kemampuan dasar pemborong atau penyedia jasa sesuai dengan spesialisasinya. Kegiatan menilai kemampuan dasar pemborong, sesuai dengan pekerjaan yang menjadi spesialisasinya tersebut dinamakan klasifikasi.12 Oleh karena itu dalam praktek pada umumnya, pelaksanaan perjanjian jasa pemborongan dilakukan berdasarkan prinsip persaingan sehat

10

Y. Sogar Simamora., Hukum Kontrak ;Kontrak Pengadaan Barang jan Jasa Pemerintah di Indonesia, Penerbit Laksbang Justitia, Surabaya, 2013. hal 5

11

FX. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal 3

12

(7)

melalui pemilihan penyedia jasa dengan pelelangan umum atau terbatas. Selain itu dalam pelaksanaan perjanjian jasa pemborongan, tidak tertutup kemungkinan adanya keterlambatan, kelalaian dari salah satu pihak (wanprestasi), baik secara sengaja maupun karena keadaan memaksa (force majeur/overmacht).13

Dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban pemerintah atas keterlambatan penyelesaian penyediaan barang dan jasa di dalam perjanjian

borongan kerja (studi pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Sibolga.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah akibat hukum keterlambatan penyelesaian penyediaan barang dan jasa di dalam perjanjian borongan kerja?

2. Bagaimanakah faktor yang menyebabkan keterlambatan penyediaan barang dan jasa di dalam perjanjian borongan kerja?

3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pemerintah dan pemborong atas keterlambatan penyelesaian penyediaan barang dan jasa di dalam perjanjian pemborongan kerja?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan melaksanakan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui akibat hukum keterlambatan penyelesaian penyediaan barang dan jasa di dalam perjanjian borongan kerja.

13

(8)

2. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan keterlambatan penyediaan barang dan jasa di dalam perjanjian borongan kerja.

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pemerintah dan pemborong atas keterlambatan penyelesaian penyediaan barang dan jasa di dalam perjanjian pemborongan kerja.

Adapun manfaat Penulisan skripsi yang akan penulis lakukan adalah: 1. Secara Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran atau paparan serta sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum khususnya dalam lingkup bidang hukum perdata yang berkaitan mengenai perjanjian jasa pemborongan.

b. Diharapkan dapat mengerti dan memahami serta menambah wawasan tentang pelaksanaan perjanjian jasa pemborongan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Secara Praktis

(9)

D. Keaslian Penulisan

Untuk mengetahui keaslian penulisan, sebelum melakukan penulisan skripsi berjudul Pertanggungjawaban pemerintah atas keterlambatan penyelesaian penyediaan barang dan jasa di dalam perjanjian borongan kerja (studi pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Sibolga. Pada dasarnya belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, meskipun ada beberapa penelitian terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan judul penelitian ini. Adapun penelitian terdahulu yang pernah dilakukan tersebut sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Emma P Sijabat, Tahun 2014, Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Keperdataan Universitas Sumatera Utara dengan judul “Tinjauan Yuridis Tentang Kontrak Konstruksi Antara Disperindag Kab. Asahan dengan PT. Menara Kharisma Internusa Medan (Study Pada Proyek Pembangunan Pasar Kartini Kisaran)”.

Pokok masalah dari penelitian adalah:

a. Bagaimana proses pemilihan Pihak Penyedia Jasa Konstruksi dalam Perjanjian antara Disperindag Kab. Asahan dengan PT. Menara Kharisma Internusa di tinjau dari peraturan yang berlaku?

b. Bagaimana pengaturan tentang tanggung jawab para pihak dalam perjanjian konstruksi?

c. Faktor penghambat dalam pelaksanaan kontrak dan upaya-upaya penyelesaiannya?

(10)

CV. Dina Utama Dengan Dinas Penataan Ruang Dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara”.

Pokok masalah dari penelitian adalah:

a. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian pekerjaan pemborongan milik pemerintah antara CV. Dina Utama dengan Dinas Penataan Ruang Dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dalam pembangunan saluran drainase di Kabupaten Deli Serdang?

b. Bagaimanakah wanprestasi dalam pelaksanaan pemborongan pekerjaan milik Pemerintah yang dilaksanakan oleh CV. Dina Utama?

c. Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa wanprestasi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara?

Pada dasarnya penelitian terdahulu yang dilakukan oleh peneliti tersebut di atas tidak sama dengan penelitian ini, baik dari segi judul maupun pokok permasalahan yang dibahas. Oleh karena itu secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Perjanjian

Disni istilah “perjanjian” tanpa adanya penjelasan lebih lanjut menunjuk

(11)

Perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih, dimana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.14

Pasal 1313 BW memberikan rumusan tentang “kontrak atau perjanjian adalah “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih,” subekti memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji

pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.15

Kontrak atau perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.16Perikatan atau perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu

14

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hal 3

15

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian ; Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Edisi 2, Cetakan 2, Penerbit Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hal 15-16

16

(12)

(kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu.17

Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, „Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Jika diperhatikan,

rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari suatu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut.

2. Perjanjian Borongan Kerja

Di dalam KUH Perdata perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut pasal 1601 b KUH Perdata, pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang telah ditentukan. Definisi perjanjian pemborongan yang diatur dalam KUH Perdata menurut para sarjana adalah kurang tepat. Karena menganggap bahwa perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak, sebab si pemborong hanya memiliki kawajiban saja sedangkan yang memborongkan mempunyai hak saja. Sebenarnya perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik yaitu antara pemborong dengan mana yang memborongkan yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.

17

(13)

Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian dimana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.18

Dilihat dari obyeknya, perjanjian pemborongan bangunan mirip dengan perjanjian lain yaitu perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa, yaitu samasama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan pihak lain dengan pembayaran tertentu. Perbedaannya satu dengan yang lainnya ialah bahwa pada perjanjian kerja terdapat hubungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dengan majikan. Pada pemborongan bangunan dan perjanjian melakukan jasa tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya secara mandiri.19

4. Penyediaan Barang dan Jasa

Pemerintah dituntut untuk memajukan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Mewujudkan hal tersebut maka pemerintah berkewajiban menyediakan kebutuhan rakyat dalam berbagai bentuk berupa barang, jasa maupun pembangunan infrastruktur, kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah inilah menyebabkan meningkatnya jumlah penyedia barang/jasa dengan berbagai macam keahlian.20

Pada konsep penyediaan barang/jasa, posisi lemah selalu dipegang oleh pihak penyedia jasa konstruksi dibandingkan dengan pengguna jasa konstruksi. Pengguna jasa selalu menempati posisi yang lebih tinggi daripada penyedia jasa.

18

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni Bandung, 1985, hal 57

19

Sri Soedewi Masjchun Sofwan. Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan Bangunan, Liberty Yogyakarta. 1982. hal 52

20

(14)

Konsep ini sudah terjadi dari masa kemasa. Ketidakseimbangan antara jumlah pekerjaan konstruksi/proyek dengan jumlah penyedia jasa dalam hal keterbatasan pekerjaan sudah sering terjadi yang mengakibatkan proses tawar-menawar menjadi sangat lemah. Pengguna jasa pun akan menjadi leluasa memilih penyedia jasa yang dianggapnya lebih menguntungkan. Selain itu untuk mendapatkan suatu proyek, sejumlah badan usaha saling berkompetisi melalui suatu proses pemilihan penyedia barang/jasa yang cukup panjang dan rumit, dan pada akhirnya hanya menguntungkan satu penyedia barang/jasa (Nazarkhan Y.,2003).21

5. Keterlambatan Penyelesaian pekerjaan

Salah satu yang menarik dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah terkait dengan adanya ketentuan mengenai keterlambatan yang dapat melewati tahun anggaran. Dalam pasal 93 telah ditambahkan ketentuan mengenai keterlambatan ini, yakni pada ayat (1a) yang berbunyi “Pemberian kesempatan kepada Penyedia

Barang/Jasa menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari

kalender, sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a.1. dan huruf a.2., dapat melampaui TahunAnggaran“.

Hal ini belum pernah diatur secara tegas baik pada Keppres Nomor 80 Tahun 2003 berikut perubahannya sampai dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

21

(15)

Hal ini tentu saja menjawab berbagai masalah yang selalu muncul disaat pelaksanaan pekerjaan memasuki akhir tahun anggaran dan kondisi pekerjaan diperkirakan belum dapat selesai disisa waktu kontrak normal, sedangkan masa pelaksanaan kontrak normal berada dipenghujung tahun anggaran. Untuk kondisi seperti ini sebaiknya kita dapat merujuk pada apa yang pernah terjadi di tahun 2012, dimana banyak sekali masalah yang timbul mengenai keterlambatan pelaksanaan penyelesaian pekerjaan pada proyek pemerintah. Dan dalam kondisi ini, sering para anggota pokja atau staf yang menjadi panitia pengadaan barang/jasa atau pejabat pengadaan barang/jasa di suatu SKPD menjadi sorotan utama yang berdampak menjadi rasa ketidaknyamanan bagi setiap pihak yang bertugas sebagai panitia/pejabat pengadaan barang/jasa. Seharusnya dalam kondisi ini kita harus lebih bisa mencermati permasalahan yang ada.

(16)

Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tergantung pada pada hasil penilaian PPK atas permohonan penyedia untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dimasa waktu di luar masa kontrak normal. Namun apabila dalam penilaian tersebut, PPK berkeyakinan bahwa penyedia akan dapat menyelesaikan pekerjaan dalam rentang waktu 50 hari sesuai dengan pasal 120 Perpres Nomor 54 Tahun 2012 sebagaimana diubah terakhir dengan Perpres Nomor 4 Tahun 2015, maka penyedia dikenakan denda keterlambatan 1/1000 per hari untuk keterlambatan yang disebabkan atas kesalahan penyedia.22

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.23Inti dari metodologi dalam setiap penelitian hukum adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilakukan.24

Penulisan skripsi ini didasari oleh suatu penelitian yang diadakan dengan metodologi penelitian tertentu untuk menemukan atau merumuskan, menganalisa dan memecahkan permasalahan dengan benar. Dalam penelitian hukum ini penulis akan menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu sebagai berikut:

22

https://masrubianto.info/2015/05/22/keterlambatan-penyelesaian-pekerjaan/.html, diakses tangal 27 Maret 2016

23

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1985. hal 1

24

(17)

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Normatif maksudnya penelitian hukum ini dilakukan dengan menggunakan dan mengelolah data sekunder. Adapun sifat dari penulisan skripsi ini adalah deskriptif yaitu menggambarkan secara sistematis dan jelas dimana penulis akan melakukan penelitian termasuk survey ke lapangan untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penulisan ini. Dipilihnya metode penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran atau uraian secara rinci, sistematis dan menyeluruh serta menganalisanya mengenai pelaksanaan kontrak konstruksi menurut peraturan perundang-undangan. 2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat danditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, dan lain-lain.

(18)

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk, maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum.

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara : a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu meneliti sumber sumberbacaan yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini, sepertibuku-buku hukum, majalah hukum, artikelartikel, peraturan perundang-undangan,putusan pengadilan, pendapat sarjana dan bahan-bahan lainnya.

b. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu penelitian yang dilakukan pada dalam bentuk studi dilapangan. Penulis melakukan studi terhadap permasalahan yang dihadapi para pihak dalam pelaksanaan kontrak konstruksi, untuk melengkapi bahan yang diperoleh dalam penelitian kepustakaan diatas.

4. Analisis data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akandibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.

G.Sistematika Penulisan

(19)

Bab I Pendahuluan merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, Sistematika Penulisan.

Bab II tinjauan umum mengenai perjanjian pemborongan. Berisikan tentang Pengertian Perjajian Pemborongan, Bentuk-bentuk Perjanjian Pemborongan, Macam-macam dan Jenis Pemborongan, Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan, Wanprestasi dan Akibat Hukumnya.

Bab III penyediaan barang dan jasa di dalam perjanjian borongan kerja. Berisikan tentang Perjanjian Pemborongan Menurut Keputusan Presiden Nomor80 Tahun 2003 Jo Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, Para Pihak yang Terkait di dalam Perjanjian Pemborongan pada Pemerintah Dinas Pekerjaan Umum Kota Sibolga, dan Berakhirnya Perjanjian Pemborongan.

Bab IV tanggungjawab pemerintah terhadap perjanjian pemborongan kerja. Bab ini berisi tentang Akibat Keterlambatan penyelesaian penyediaan barang dan jasa di dalam perjanjian borongan kerja, Faktor yang menyebabkan keterlambatan penyediaan barang dan jasa di dalam perjanjian borongan kerja dan Pertanggungjawaban pemerintah dan pemborong atas keterlambatan penyelesaian penyediaan barang dan jasa di dalam perjanjian borongan kerja.

Referensi

Dokumen terkait

Terjadinya perbedaan pendapat antara hakim Pengadilan Agama Buntok dan Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya dalam menilai saksi anak kandung pada perkara yang diteliti

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir

Selain dua hal yang telah disebutkan diatas, mahasiswa juga bisa mendapatkan informasi terkini mengenai kampus ataupun yang berhubungan dengan mata kuliah yang diambil, diskusi

41 Ganis Lukmandaru Universitas Gadjah Mada. 42 Irfan Dwidya Prijambada Universitas

tahap pra lapangan, tahap pekerjaan lapangan, tahap pelaksanaan, tahap analisis data, dan tahap pelaporan. Hasil penelitian: 1) Jenis kesulitan belajar pada mata

Gangguan pada faktor pembekuan darah (trombosit) adalah Pendarahan yang terjadi Gangguan pada faktor pembekuan darah (trombosit) adalah Pendarahan yang terjadi

Location Based Service (LBS) atau dalam bahasa indonesia diartikan sebagai Layanan Berbasis Lokasi adalah layanan informasi yang dapat diakses menggunakan piranti mobile

Dari semua ordo dalam kelas Polypodiophyta, ordo Polypodiales mempunyai bentuk dan susunan sori yang sangat beragam seperti berbentuk garis pada tepi daun,