• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Hutan Mangrove Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Klasifikasi kepiting bakau (Scylla serrata) menurut Motoh (1979) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda. Famili : Portunidae Genus : Scylla

Species : Scylla serrata

MenurutKathirvel dan Srinivasagam (1992) kepiting bakau berwarna dasarhijau-merah-kecoklatan. Jenis ini ditemukan meliang di daerahmangrove. Kepiting bakau memiliki ukuran tubuhyang relatif recil serta hanya memiliki satuduri yang tumpul pada sisi terluar cheliped carpus. Kepiting bakau memiliki warna karapas coklatkehitam-hitamandengan bentuk alur “H”tidak dalam dan tidak memiliki corak pada pleopodnya.

(2)

Kepiting bakau ditutupi oleh karapas yaitu kulit yang terdiri atas khitin bercampur bahan kapur yang telah mengeras. Karapas berbentuk bulat pipih, dilengkapi dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain terdapat diantara kedua matanya. Mempunyai sepasang kaki jalan yang bentuknya besar disebut capit yang berfungsi untuk memegang, tiga pasang kaki jalan dan sepasang kaki renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung (Karim, 1998).

Sedangkan ciri kepiting bakau secara khusus menurut Sulistiono, dkk., (1992), adalah: karapaks berbentuk cembung dan halus, lebar karapaks satu setengah dari panjangnya; bentuk alur yang menyerupai huruf H antara area pencernaan (gastric area) dan area jantung (cardiac area) jelas; empat duri berbentuk segitiga pada bagian dahi berukuran sama, serta memiliki orbit yang lebar dengan dua celah.

(3)

atas dan bawah karapas berada dalam posisi mengelilingi rongga mata dan berfungsi melindungi mata. Duri-duri pada bagian depan karapas memiliki bentuk dan ketajaman yang bervariasi antar jenis, sehingga menjadi salah satu faktor pembeda dalam identifikasi jenis kepiting bakau.

Untuk membedakan kepiting jantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati ruas-ruas abdomennya. Kepiting jantan ruas abdomennya kecil, sedangkan pada betina lebih besar dari jantan. Perut kepiting betina berbentuk lonceng (stupa) sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan lain adalah pleopod yang terletak dibawah abdomen, dimana pada kepiting jantan yaitu pleopod berfungsi sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat melekatnya telur (Gambar 2) (Moosa, dkk., 1985)

(4)

Gambar 3. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Robertson, 1989) Keterangan : a. lebar karapas, b. kaki jalan, c. panjang karapas, d. karapas,

e. merus, f. basi ischium, g. kaki renang, h. carpus, i. propodus, j. dactylus, k. mata

Daur Hidup Kepiting Bakau

(5)

Sekitar 12 hari setelah pemijahan, telur menetas melalui fase larva yang berbentuk planktonik yang disebut dengan zoea, yaitu sebagai larva tingkat I(Zoea I) dengan ukuran ± 0,3 mm dan terus menerus berganti kulit, sambil

terbawa arus ke perairan pantai, hingga mencapai Zoea V. Dari Zoea I –V berlangsung proses sebanyak 5 kali moulting selama 15-18 hari. Kemudian berganti kulit (moulting) menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa namun masih memiliki bagian ekor yang panjang yang berlangsung 7-9 hari. Mouting 1 dari megalopa mejadikepiting muda memiliki ukuran ± 4 mm(Warner, 1977).

Untuk menjadi kepiting dewasa, zoea membutuhkan pergantian kulit kuranglebih sebanyak 20 kali. Proses pergantian kulit pada zoea berlangsung relatifcepat, yaitu sekitar 3-4 hari tergantung pada kemampuan tubuhnya. Pergantiankulit tersebut juga tergantung pada faktor umur, pakan dan habitat. Pada tingkatzoea terjadi ± 5 kali pergantian kulit untuk menjadi megalopa (Afrianto danLiviawaty, 1993).

Setelah megalopa berganti kulit, maka kepiting akan memasukifase kepiting muda. Kepiting betina muda sudah dapat melangsungkanperkawinan pada tingkat kepiting muda ke-16 (setelah 16 kali berganti kulit dalamfase kepiting muda). Umur kepiting diperkirakan 1 tahun dengan lebar karapaslebih kurang 99 mm (Phelan dan Grubert, 2007).

(6)

salinitas 31±2 ppt, jikadilakukan pada salinitas antara 21-27 ppt diperlukan waktu hanya 7-8 hari.Ukuran lebar karapas megalopa adalah sekitar 1.52 mm, sedangkan rekruitmen kepiting bakau terjadi pada juvenil berukuran >40 mm, sehinggawaktu yang diperlukan sejak memijah hingga terjadi rekruitmenadalah sekitar 2-3 bulan (Quinitio, 2001).

Menurut La Sara (2010) kepiting bakau pada fase juvenil memiliki lebar karapas <70mm, fase muda (lebar karapas dari 70 - <120mm) dan fase dewasa(lebar karapas >120 mm). Kepitng bakaujantan dewasa kelamin rata-rataketika lebar karapas mulai ukuran 90-110,sedangkan kepitng betina mulai matang gonadpada rata-rata ukuran lebarkarapas 80-120 mm.

Kepiting bakau juga memiliki kemampuan untuk bergerak dan beradaptasi pada daerah teresterial serta pada tambak yang cukup tersedia cukup pakan bagi kelangsungan hidupnya. Kemampuan tersebut berbeda dengan organisme lain, karena kepiting bakau memiliki vaskularisasi dinding ruang insang untuk memudahkan menyesuaikan diri dengan habitatnya (Wijaya, 2011).

Siklus hidup kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 4.

(7)

Habitat Kepiting Bakau

Kepiting bakau dapat ditemukan di daerah estuari dan daerah pesisir yang tertutup, secara umum kepiting bakau biasanya berasosiasi kuat dengan hutan mangrove, terutama daerah estuari (Hamasaki, 2003).

Habitat kepiting bakau adalah perairan intertidal, atau daerah dekat hutan mangrove. Sistem perakaran mangrove yang khas dan kompleks menjadi penjebak lumpur sehingga membentuk fraksi substrat dasar yang halus. Akar penyangga yang khas, memanjang bawah dari batang dan dahan mangrove, sangar banyak, padat, dan kusut, hingga mengurangi gerakan air. Kondisi ini menyebabkan partikel substrat dasar yang halus akan mengendap di sekelilingi akar mangrove, membentuk kumpulan lapisan sedimen lunak dan sangat sulit dialirkan ke luar. Kepiting bakau memiliki tingkah laku menggali lubang dan membenamkan diri dalam lumpur untuk berlindung, terutama pada saat moulting. Lubang-lubang itu juga berguna untuk komunikasi antar vegetasi mangrove (mangal), yaitu dengan cara melewatkan oksigen agar masuk dalam substrat yang lebih dalam, sehingga dapat antoksik, mengingat substrat dasar hutan mangrove dicirikan oleh kadar oksigen yang rendah. Selain itu kanopi pohon mangrove menciptakan naungan yang sangat baik, sehingga dapat menjadi peredam sinar matahari untuk mencegah peningkatan suhu perairan. Dengan demikian hutan mangrove menjadi daerah perlindungan yang ideal bagi kepiting bakau (Avianto dkk., 2013).

(8)

pada yang dilakukan saat pagi hari. Kondisi air baru diduga merangsang kepiting bakau untuk bergerak lebih aktif. Waktu penangkapan kepiting bakau yang baik adalah saat air pasang karena kepiting akan keluar dari sarangnya dan bergerak aktif untuk menemukan makanan. Umumnya pemasangan bubu dilakukan pada sore hari dan hauling dilakukan keesokan harinya. Pola ini telah menjadi pengetahuan umum bagi nelayan dan dianggap merupakan waktu yang paling ideal untuk mendapatkan hasil yang optimal (Susanto dkk., 2014).

Menurut Hamasaki (2003) mengungkapkan bahwa larva kepiting bakau pada saat zoea berifat fototaksis positif. Larva kepiting yang awalnya berada didasar perairan, selanjutnya naik secara vertikal dan bergerombol sampai ke permukaan air untuk kebutuhan makan pada fitoplankton. Zoea kepiting bakau bersifat planktonik yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh gerakan arus air yang terkena matahari secara langsung, pada saat itu zoea menyebar mengikuti pergerakan arus air sampai ke pantai dan mencari tempat tinggal di sekitar hutan mangrove.

(9)

bioakumulasi, untuk mempertahankan hidup, dan laju metabolisme kepiting bakau.Suhuoptimum untuk kepiting bakau adalah25-35ᴼC. Suhu air yang rendah di bawah 20ᴼC akan mengakibatkanaktfitas dan nafsu makan kepiting bakau menurun secara drastis. Pada saat itupertumbuhan akan terhenti walaupun kepiting masih tetap hidup(Millaty, 2014).

Salinitas perairan berpengaruhterhadap tiap fase kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat berganti kulit. Kepiting bakautumbuh optimal pada salinitas 15-35 ppt.Kepiting bakau dewasa kawindan mematangkan telurnya pada perairan dengan salinitas 16-20% dan kemudianberuaya ke perairan laut dalam untuk memijah (Kordi, 1997).

Menurut Siahainenia(2008) bahwa perairan yang memiliki kisaran pH6,5-7,5 dikategorikan perairan yangcukup baik bagi kepiting bakau,sedangkan perairan dengan kisaran pH 7,5 -9 di kategorikan sangat baik untuk pertumbuhan kepiting bakau.

Menurut Kordi (1997), kepitingbakau dapat hidup pada kandunganoksigen terlarut lebih besar dari 4 mg/L. Kebutuhan oksigen untuk pertumbuhan maksimal kepiting bakauadalah >5 mg/L, namun juga dinyatakan bahwa kepiting bakau memiliki toleransiterhadap konsentrasi oksigen terlarut yang rendahatau lebih kecil dari angka tersebut.

(10)

untukmembenamkan diri, bersembunyi, mempertahankan diri agartetap dingin selama air surutdan melindungi diri dari predator.

Salah satukomponen kimia bahan organik yang sering digunakan sebagai indikatorkeberadaan bahan organik di tanah atau sedimen adalah C-organik. Kandungan bahan organik dalam substrat sangatdiperlukan oleh kepiting bakau untuk kebutuhan makannya, karena jenis kepitingbakau mengambil makanan bukan hanya dari bahan makanan yang terkandung dalamair, tetapi jugabahan organik yang terkandung dalam substrat. Ketersediaan bahan organik disubstrat, pakan alami akan tersedia dengan baik pula. C-organik merupakan indikatorkesuburan dan faktor penentupertumbuhanpada kepiting bakau (Schumacher, 2002).

Rendahnya C-organik disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah lama penggenangan dipengaruhi oleh tambaktumpang sari di sekitarnya. Semakin lama waktu panen tambak maka semakinlama pula lokasi sekitarnya tergenang. Secara rata-rata, panen tambak dilakukansetelah 3-4 bulan. Waktu yang panjang tersebut menyebabkan cukup lama tanahdi lokasi sekitarnya jenuh air dan mengakibatkan proses dekomposisi berjalanlambat, sehinggamemiliki kadar C-organik yang rendah (Susantodan Murwani, 2006)

(11)

tanah. Rendahnya kandungan C-organik pada tekstur substrat mangrovepenyebab lainnya adalah alihfungsi lahanyang dijadikan sebagai tambak, pemukiman dan aktivitaslain yang berdampak terhadap penurunan karbon di substrat mangrove(Schumacher, 2002).

Siklus bulan mempengaruhi pasang surut. Ada dua macam pasang akibat siklus bulan, yakni pasang purnama dan pasang perbani. Pasang purnama adalah peristiwa terjadinya pasang naik dan pasang surut tertinggi. Pasang tertinggi terjadi pada tanggal 1 dan pada tanggal 14 (saat bulan purnama). Pada kedua tanggal tersebut posisi bumi-bulan-matahari berada pada satu garis sehingga kekuatan gaya tarik bulan dan matahari berkumpul menjadi satu menarik permukaan bumi. Permukaan bumi yang menghadap ke bulan mengalami pasang naik tertinggi. Pasang perbani adalah peristiwa terjadinya pasang naik dan pasang surut terendah. Pasang kecil ini terjadi pada tanggal 7 dan 21. Pada kedua tanggal tersebut posisi matahari-bulan-bumi membentuk sudut 90ᴼ. Gaya tarik bulan dan matahari berlawanan arah sehingga kekuatannya menjadi berkurang (saling melemahkan) dan terjadilah pasang terendah (Dronkers, 1964)

(12)

Pertumbuhan Kepiting Bakau

Kepiting bakau tidak memiliki bagian tubuh keras yang permanen sebagaiindikator pelacak umur, sehingga metode interpretasi ukuran tubuh yangdigunakan adalah lebar karapas. Populasi kepiting bakau secara khas berasosiasi dengan hutan mangrove yang masih baik, sehingga hilangnya habitat akan memberikan dampak yang serius pada populasi kepiting. Biologi populasi kepiting bakau dikaji dengan melihat pola pertumbuhan dan faktor kondisi (Wijaya dkk., 2010).

Faktor kondisi (indeks ponderal) merupakan indeksyang dapat digunakan untuk menunjukkan kondisiatau keadaan baik organisme ditinjau dari segikapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Nilai faktor kondisi yang tinggi dipengaruhi ketersediaan dan kemudahan untuk mendapatkan makanan di perairan. Ketersediaan makanan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia di perairan. Selain ketersediaan makanan, faktor kondisi ikan juga dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad (Effendi, 2002).

Rendahnyanilai faktor kondisi tersebut dapatdisebabkan karena kepiting baku yang masihmuda belum mempunyai kemampuan hidupyang baik di tempat hidupnya dan dapatdiduga pula karena kalah bersaingmendapatkan makanandengan kepiting bakau yanglebih tua (Pandu, 2011).

(13)

Menurut Effendi (1997) bahwa pengaruh ukuran panjang dan bobottubuhsangatbesar terhadap nilai b yang diperoleh sehingga secara tidak langsung faktor – faktor yangberpengaruh terhadap ukuran tubuh ikan akan mempengaruhi pola variasi dari nilai b. Ketersediaanmakanan, tingkat kematangan gonad, dan variasi ukuran tubuh kepiting bakau dapat menjadipenyebab perbedaan nilai b tersebut.

Perbedaan koefisien a dan b diduga dipengaruhioleh jenis kelamin,tingkat kematangan gonad,musim dan ketersediaan makanan. Nilai b cenderungbersifat tetap selama satu tahun atau satu periodepada lingkungan yang berbeda, sedangkan nilai acenderung berubah secara musiman, antara waktudan habitat. Perubahan nilai b dapat terjadi padasaat moulting (ganti kulit), pertamakali matang gonad dan perubahan kondisi lingkungan(Bagenal dan Tesch, 1978).

(14)

Kepiting bakau yang masih muda memiliki kecepatantumbuh relatif lebih cepat dibandingkan dengan kepiting bakau tua. Pertumbuhanlebar kepiting bakau yang cepat terjadi pada umur muda dan semakin lambatseiring dengan bertambahnya umur sampai mencapai panjang asimptotik dantidak akan bertambah panjang lagi. Pertumbuhan cepat bagi kepiting bakau yangberumur muda terjadi karena energi yang didapatkan dari makanan sebagian besardigunakan untuk pertumbuhan. Pada kepiting bakau tua energi yang didapatkandari makanan tidak lagi digunakan untuk pertumbuhannya, tetapi hanyadigunakan untuk mempertahankan dirinya dan mengganti sel – sel yang rusak. Semakin besar kepiting semakin lambat pertumbuhan lebar karapasnya(Jalil dan Mallawa, 2001).

Kepiting bakau merupakanjenis kepiting yang hidup di habitat mangrove dan populasi kepiting bakau secarakhas berasosiasi dengan hutan mangrove yang masih baik, sehingga terdegradasinya habitat akan memberikan dampak yang serius terhadap keberadaan populasi kepiting bakau. Menurunnya kuantitas dan kualitas ekosistem mangrove yang terdiri atas kerapatan, keanekaragaman vegetasi dan kompleksitas flora dan fauna atau organisme yang berasosiasi, dan dapat menimbulkan dampak beragam terhadap kelimpahan dan lambatnya pertumbuhan kepiting bakau dan perubahan lingkungan yang cepat dapat mengganggu proses moulting dalam pertumbuhan kepiting bakau (Akpaniteaku, 2014).

(15)

penangkapan yang semakin tinggi terhadap kepiting bakaumenyebabkan ukuran kepiting bakau yang tertangkap semakin kecil karena indukatau kepiting dewasa telah hilang dan populasi kepiting bakau didominasi olehkepiting yang masih muda (Warner, 1977).

Pertumbuhan pada kepiting betina yang telahdewasa difokuskan untuk pertahanan tubuh daripada untuk bereproduksi. Semakinbertambahnya umursuatu organisme maka hormon reproduksi yang dihasilkan jugasemakinberkurang (La Sara, 2010).

Pertumbuhan pada crustacea berlangsung tidak kontinu, proses ini disebabkan karena rangka luar yang dimilikinya. Selama antar waktu moulting, perubahan ukuran sangat lambat karena terhambat oleh kulit yang keras. Setelah moulting, pertumbuhan akan sangat cepat sampai kulit yang baru mengeras.

Akibat dari pertumbuhan yang diskontinu ini maka pertumbuhan crustacea dapat diuraikan menjadi dua kelompok, yakni laju penambahan ukuran yang terjadi pada fase moulting dan periode antar moulting atau fase instar (Tanod, 2000).

(16)

MenurutWijaya dkk (2010) bahwa kecepatan pertumbuhan kepitingbetina lebih cepat dari kepiting jantan karena kepiting betina lebih sering melakukan moulting dibanding kepiting jantan, sehingga kepiting betina cenderung lebih cepat mencapai lebar karapas asimtotiknya.

Panjang karapas kepiting bakau yang layak tangkap berkisar 54-123 mm. Ukuran lebar kepiting yang berukuran kurang dari 100 mm belum dewasa. Untuk menjaga kelestarian kepiting bakau sebaiknya penangkapan kepiting bakau dilakukan pada ukuran lebar karapas > 100 mm, bobot > 300 g dan panjang karapas > 54 mm (Irnawati dkk., 2014).

Hubungan Kepiting Bakau dengan Ekosistem Hutan Mangrove

Kelimpahan kepiting bakau sangat dipengaruhi oleh kerapatan mangrove, dimana semakin tinggi kerapatan mangrove maka guguran daun mangrove yang jatuh juga akan semakin banyak dan keberadaan kepiting bakau semakin banyak, karena kerapatan mangrove akan mempengaruhi kerapatan mangrove jumlah bobot serasah yang dalam hal ini sebagai makanan alami dari kepiting bakau (Sirait, 1997).

(17)

Menurut Prianto (2007), beberapa peran kepiting di dalam ekosistem pesisir, adalah sebagai berikut:

1. Konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi; Kepiting berfungsi menghancurkan dan mencabik-cabik daun/serasah menjadi lebih kecil (ukuran detritus) sehingga mikrofauna dapat dengan mudah menguraikannya. Hal ini menjadikan adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur akan berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting sebagai konsumen dan detrivor, mikroba sebagai pengurai;

2. Meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah; Lubang yang dibangun berbagai jenis kepiting mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai tempat perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan dalam mencari makan. Disamping itu, lubang-lubang tersebut berfungsi untuk komunikasi antar vegetasi misalnya mangrove, yaitu dengan melewatkan oksigen yang masuk ke substrat yang lebih dalam sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik;

3. Membantu daur hidup karbon; Dalam daur hidup karbon, unsur karbon bergerak masuk dan keluar melewati organisme. Kepiting dalam hal ini sangat penting dalam konversi nutrien dan mineralisasi yang merupakan jalur biogeokimia karbon, selain dalam proses respirasinya;

(18)

melayang-layang dalam tubuh perairan, sehingga merupakan makanan bagi ikan-ikan karnivora.

Mangrove

Istilah ‘mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon mangrove sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila disatukan akan menjadi ‘mangrove’ atau ‘mangrave’. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan ‘mangi-mangi’ atau ‘mangin’. Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut (Irwanto, 2006).

Muhaerin (2008) menyatakan bahwa ruang lingkup mangrove secara keseluruhan meliputi ekosistem mangrove yang terdiri atas:

1. Satu atau lebih spesies pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas di habitat mangrove (exclusive mangrove).

2. Spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove (non-exclusive mangrove).

3. Biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove.

(19)

5. Daratan terbuka atau hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut.

6. Masyarakat yang hidupnya bertempat tinggal dan tergantung pada mangrove.

Karakteristik dan Zonasi Hutan Mangrove

Rawa mangrove adalah salah satu jenis tanah rawa yang terdapat di wilayah pantai dengan sifatnya yang unik, yang berbeda dengan rawa-rawa air tawar dan tanah gambut. Sumbangan terbesar dari rawa mangrove bagi kita adalah karena ia menunjang produksi makanan laut dengan menyediakan zat hara ke perairan pantai sekitarnya serta berlaku sebagai daerah asuhan untuk berbagai jenis Crustacea dan ikan (Romimohtarto dan Sri, 2001).

Mangrove adalah khas daerah tropis yang hidupnya hanya berkembang baik pada temperatur dari 19° sampai 40° C. dengan toleransi fluktuasi tidak lebih dari 10° C. Berbagai jenis Mangrove yang tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh menjorok ke zona berair laut, merupakan suatu ekosistem yang khas. Khas karena bertahan hidup di dua zona transisi antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai jenis pohon yang seolah menjadi garda depan garis pantai yang secara kolektif disebut hutan Mangrove. Hutan mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembang biak (Irwanto, 2006).

(20)

serta pengaruh pasang surut (Dahuri, 2003).

Dalam lingkungan yang serba berat ini, sangat sulit untuk tumbuh-tumbuhan mangrove berkembang biak seperti tumbuh-tumbuh-tumbuhan biasa. Suatu penyesuaian perkembangbiakan yang disebut viviparitas (viviparity) yang telah dikembangkan. Sekali ia lepas dari induknya ia menancap pada dasar lumpur dengan hipokotil yang seperti paku besar. Adaptasi semacam ini terdapat pada kebanyakan jenis mangrove seperti Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops. Beberapa jenis seperti Avicennia hidup di habitat yang berair lebih asin sedangkan Nypa fruitcans terdapat pada habitat yang lebih tawar (Romimohtarto dan Sri, 2001).

Menurut Bengen (2002), hutan mangrove terbagi atas beberapa zonasi yang paling umum, yaitu:

a) Daerah yang paling dekat dengan laut dan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp.. Pada zona ini, Avicennia spp biasanya berasosiasi dengan Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada substrat lumpur dalam yang kaya bahan organik.

b) Lebih ke arah darat, ekosistem mangrove umumnya didominasi oleh jenis Rhizophora spp.. Pada zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus

spp..

c) Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp..

d) Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah, biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticants dan beberapa jenis palem lainnya.

Avicennia merupakan marga yang memiliki kemampuan toleransi terhadap

(21)

permil. Pada salinitas ekstrim, pohon tumbuh kerdil dan kemampuan menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia umumnya ditemui hidup di daerah dengan salinitas tanah mendekati salinitas air laut, kecuali S. caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10 permil. Beberapa jenis lain juga dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras corniculatum pada salinitas 20 – 40 permil, Rhizopora mucronata dan R. Stylosa pada salinitas 55 permil, Ceriops tagal pada salinitas 60 permil dan pada kondisi ekstrim ini tumbuh kerdil, bahkan

Lumnitzera racemosa dapat tumbuh sampai salinitas 90 permil. Jenis-jenis

Bruguiera umumnya tumbuh pada daerah dengan salinitas di bawah 25 permil.

Kadar salinitas optimum untuk Bruguiera parviflora adalah 20 permil, sementara B. gymnorrhiza adalah 10 – 25 permil (Noor dkk., 1999).

Gambar 5. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia (Irwanto, 2006)

Kerusakan Ekosistem Mangrove

(22)

kepentingan manusia seperti budidaya perikanan, pertanian, jalan raya, industri, produksi garam, perkotaan, pertambangan, dan penggalia pasir yang kurang memperhatikan faktor lingkungan, dan (3) penebangan kayu mangrove secara legal maupun illegal dilakukan untuk produksi kayu bakar, arang, chips, dan sebagainya yang dilakukan secara berlebihan, sehingga telah menimbulkan kerusakan yang berat dan menurunkan fungsi serta potensi produksi sebagian besar hutan mangrove.

Beberapa faktor pendukung lainnya turut pula menimbulkan terjadinya kerusakan dengan berbagai dampaknya pada hutan mangrove. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dapat dilihat dari persentase penutupan lahan dan kerapatan pohon (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove

Kriteria Penutupan (%) Kerapatan (Pohon/ha) Baik

Sangat Padat ≥ 75 ≥1500

Sedang ≥ 50 - < 75 ≥1000 - < 1500

Rusak Jarang <50 < 1000

Gambar

Gambar 2. Abdomen kepiting jantan dan kepiting betina (Moosa dkk., 1985)
Gambar 3. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Robertson, 1989)
Gambar 4. Daur Hidup Scylla serrata (Kasry, 1991).
Gambar 5. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia (Irwanto, 2006)
+2

Referensi

Dokumen terkait

pengendalian internal pada penggajian yang diterapkan oleh PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan dalam melaksanakan setiap proses transaksi pembayaran gaji

Based on a worldwide survey of global freight forwarders and express carriers, the Logistics Performance Index is a benchmarking tool developed by the World Bank that

Orang yang puas dengan pekerjaannya cenderung lebih mencintai organisasinya dibandingkan dengan orang yang tidak puas karena mereka merasa sudah diperhatikan oleh

[r]

JUDUL : RI DORONG PEMBENTUKAN AHS MEDIA : SEPUTAR INDONESIA. TANGGAL : 11

 Board mikrokontroler jenis Arduino Uno yang terhubung dengan modul sensor IR, PIR, RFID reader, saklar tekan, dan buzzer.  Relay 5V yang terhubung dengan power

Hambatan apa saja yang dialami oleh Dinas Pariwisata dalam pengembangan objek wisata TWI dalam meningkatkan pengunjung wisata.. Bagaimana kondisi sarana dan prasarana

Sesuai dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa di Posyandu Lansia di RW I Pagesangan Surabaya di dapatkan bahwa sebanyak 22 lansia (36,7%) mengalami de- presi ringan dan