BAB II
KEPEMILIKAN DAN PENGELOLAAN PERUSAHAAN NEGARA
A. Pengantar
Hukum ekonomi Indonesia masih membutuhkan peraturan
perundang-undangan dan upaya harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional juga
sangat diperlukan agar bisa mengakomodir berbagai macam kebutuhan dalam
pengelolaan ekonomi nasional yang sekarang ini telah berubah sebagai akibat dari
fenomena baru dalam dunia bisnis, baik pada skala nasional, regional, maupun
internasional.
Pembenahan mendesak di bidang ekonomi adalah landasan yuridis sistem
ekonomi nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Agar perekonomian nasional dapat dikelola dengan baik maka diperlukan suatu
pedoman jelas, misalnya dalam suatu peraturan perundang-undangan yang
berlandaskan konstitusi. Sebab hingga saat ini masih ditemukan multi penafsiran atas
Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Sebagai contoh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
sebagai salah satu pelaku usaha yang didirikan oleh negara berdasarkan Pasal 33
UUD 194564
64
Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa segala sesuatu yang menyangkut “hajat hidup orang banyak” harus dikuasai oleh negara, dan implementasi penguasaannya antara lain ditafsirkan dilakukan oleh pelaku ekonomi, yaitu BUMN. Pandji Anoraga, BUMN Swasta dan Koperasi, Tiga Pelaku Ekonomi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995), hal. 90.
memiliki fungsi dan peran strategis dalam pembangunan ekonomi
Sampai pada 31 Desember 1997 saja BUMN mengelola aset sekitar Rp 461,6 trilyun
dan beberapa diantaranya bahkan menguasai industri hulu yang sangat vital dan
strategis.65
Sebenarnya Pasal 33 UUD 1945 adalah suatu amanat dari Proklamasi dan
UUD 1945 mengenai perekonomian nasional Pancasila. Yang dimaksudkan dengan
ini adalah suatu susunan perekonomian Indonesia, yang pusatnya adalah kemakmuran
rakyat. Yang dimaksud dengan ini adalah mendahulukan tercapainya kemakmuran
rakyat, dan di atas itu dibangun secara berencana hal-hal dan bidang-bidang lain dari
kehidupan rakyat.66
Sejak operasionalisasi BUMN menghadapi banyak persoalan dan tantangan
besar, misalnya sebagian besar BUMN menderita kerugian yang cukup signifikan
karena dikelola secara tidak efisien dan produktivitas yang rendah sehingga aneka
65
Harian Kompas, 27 April 1998, hal. 9.
66
bentuk perusahaan negara ini tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi dalam
persaingan bisnis baik di pasar domestik maupun internasional. Beberapa faktor yang
menyebabkan pengelolaan sebagian besar BUMN tidak efisien sehingga mengalami
kerugian dan menjadi beban keuangan negara antara lain: (i) kaburnya status hukum
dan struktur organisasi BUMN, tidak jelas apakah BUMN merupakan suatu pelaku
ekonomi yang memiliki otonomi penuh ataukah hanya sebagai pelaksana atau bagian
dari struktur organisasi suatu departemen; (ii) mayoritas BUMN tidak memiliki
budaya perusahaan (corporate culture), visi dan misi perusahaan; (iii) kurangnya jiwa
entrepreneur dan profesionalisme SDM yang mengelola BUMN, sehingga kinerja dan
produktivitas sangat rendah: dan (iv) BUMN tidak dikelola dengan prinsip-prinsip
manajemen bisnis yang baik (good corporate governance) sebagai akibat dari campur
tangan pemerintah yang terlalu besar atau dominan dalam operasional perusahaan.67
Dalam pembahasan RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), pemerintah
meletakkan posisi BUMN bukan sebagai badan atau lembaga publik, melainkan
sebagai badan usaha atau lembaga privat. “Meski keseluruhan atau sebagian besar
modalnya dimiliki pemerintah, BUMN adalah badan usaha dan bukan instansi
pemerintah. Kekayaan BUMN bukanlah kekayaan negara. Sesuai Pasal 4 UU
67
BUMN, modal BUMN berasal dari ‘kekayaan negara yang dipisahkan’. Status aset
dan kekayaan yang ada di BUMN hasil pengelolaan modal merupakan aset dan
kekayaan BUMN itu sendiri karena keuangan dan kekayaan negara yang ada
di BUMN hanyalah sebatas modal atau saham.68
Sebenarnya fenomena BUMN berlaku dalam sistem ekonomi manapun,
termasuk kapitalis liberal. Dalam mengawasi dan mengontrol adalah terjaminnya
mekanisme kontrol sosial yang efektif untuk menindak manajemen bila terbukti tidak
mampu menyediakan pelayanan barang dan jasa secara baik, benar, wajar, dan adil.
Persoalannya adalah menyangkut social accountability yang bersifat politik, sebab
manajemen BUMN biasanya ditunjang berdasarkan kriteria politik. Keterkaitannya
yang begitu erat dengan politik menjadikan BUMN sebagai bagian dari birokrasi
yang absurditas, yang sering berakibat kepada kepentingan status quo kekuasaan
politik, celakanya seperti Indonesia masih bermental “monarki absolut kapiten”, yang
kebal dari segala kritik, membuat BUMN maju-mundur dan tak mampu bersaing.
Kendala yang dihadapi adalah tidak memiliki grand unified design pengelolaan
ekonomi Indonesia berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, yang diperankan oleh BUMN
bersama-sama dengan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi untuk
mengimplementasikan hak konstitusional publik.
69
68
RUU KIP: “BUMN Ingin Tetap Sopan”, Majalah BUMN TRACK, Desember 2007, hal. 10.
69
B. Pendirian Perusahaan Negara (BUMN) di Indonesia
Pasal 10 ayat (1) UU BUMN menetapkan bahwa pendirian BUMN diusulkan
oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji
bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. BUMN yang berbentuk
Persero, organnya adalah RUPS, Komisaris, dan Direksi. Sedangkan untuk Perum,
organnya adalah RUPS, Dewan Pengawas, dan Direksi.
Selanjutnya sesuai dengan Pasal 2 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN,
maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah (1) memberikan sumbangan bagi
perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan negara; (2) mengejar
keuntungan; (3) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang
banyak; (4) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan
oleh sektor swasta atau koperasi; dan (5) turut aktif memberikan bimbingan dan
bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
Berdasarkan prinsip-prinsip korporasi, Pemerintah juga dapat memberikan
penugasan-penugasan khusus kepada BUMN, namun harus mendapatkan persetujuan dari RUPS/Menteri,
dan penugasan khusus tersebut dapat ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan.70
1. Sejarah Ringkas
Seiring dengan konfrontasi politik di Indonesia pada tahun 1959, Pemerintah
telah mengambilalih perusahaan-perusahaan asing termasuk perusahaan Belanda.71
Ketika itu pemerintah menginginkan dan berharap agar perusahaan-perusahaan Belanda
yang telah diambil-alih dapat dikelola dan dikembangkan oleh para pengusaha swasta
pribumi, akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa para pengusaha swasta pribumi saat
itu belum memiliki kemampuan untuk menanganinya karena keterbatasan modal usaha
dan sumber daya manusia. Sejumlah pengusaha etnis Tionghoa yang bersedia membeli
dan mengelola eks perusahaan-perusahaan Belanda tersebut ditolak Pemerintah dengan
alasan pengusaha etnis Tionghoa tidak boleh lagi mendominasi dunia usaha di bidang
perdagangan, industri dan pertanian seperti pada jaman pemerintahan kolonial Belanda.
Karena itu Pemerintah akhirnya mengambil keputusan mendirikan sejumlah perusahaan
negara untuk mengelola eks perusahaan-perusahaan Belanda dimaksud.72
70
Bacelius Ruru, (1), dalam Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), Op.Cit., hal. 129-143.
71
Menurut Martiono Hadianto (ketika menjabat Direktur Jenderal BUMN Depkeu RI), BUMN didirikan dengan latar belakang yang berbeda, misalnya BUMN yang berasal dari nasionalisasi beberapa perusahaan ex Hindia Belanda (Jawatan Kereta Api dan Pegadaian). “Di samping
meneruskan warisan pemerintah Hindia Belanda, pemerintah mendirikan beberapa BUMN di antaranya Garuda, Pelni, Jakarta Liyod (sektor perhubungan), BNI, BRI (sektor perbankan), PT
Semen Gresik dan PT Pupuk Sriwijaya (sektor manufaktur). Selain itu pemerintah juga mendirikan BUMN yang berasal dari pengambilalihan perusahaan Inggris, Malaysia dan Singapura”. Martiono Hadianto, “Peran dan Posisi BUMN dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua” dalam Moh. Arsjad Anwar dkk (ed), Strategi Pembiayaan & Regrouping BUMN: Upaya Menciptakan Sinergi dalam Rangka Peningkatan Daya Saing BUMN, (Jakarta, 1994), hal. 11-12.
72
Kebijakan yang diambil Pemerintah pada awal tahun 60-an tersebut hampir
mengalami kebuntuan karena Indonesia pada masa itu belum memiliki sumber daya
manusia yang cukup memadai untuk menjalankan perusahaan-perusahaan berskala
besar secara efisien dan produktif. Dalam pada itu, pengusaha pribumi sendiri belum
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak untuk memimpin unit usaha
yang besar. Untuk mengatasi masalah sumber daya manusia ini Pemerintah
mengerahkan sumber daya manusia dari kalangan militer yang ketika itu relatif cukup
baik. Di Indonesia, kalangan militer telah berpengalaman dalam mengelola
kegiatan-kegiatan berskala besar seperti pengadaan personil (rekruitmen, pendidikan dan
pelatihan) dan logistik (pengadaan, pengangkutan dan logistik), sehingga boleh
dikatakan bahwa kebijakan Pemerintah inilah yang menumbuhkan embrio dwifungsi
militer di Indonesia.73
Pada masa ini, perusahaan negara diatur dengan berbagai peraturan
perundang-undangan seperti Undang-Undang Perusahaan Negara (Indonesiche Bedrijven Wet/IBW),
Undang-Undang Perbendaharaan Negara (Indonesische Comptabliteits Wet/ICW), Kitab
73
Indra Bastian, Ibid, hal. 94. Dapat ditambahkan bahwa posisi dan peranan negara dalam perekonomian nasional pasca kemerdekaan sangat dominan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: (1) Situasi negara yang baru lepas dari penjajahan tidak memiliki social overhead capital (SOC) sebagai modal pembangunan; (2) Besarnya kerugian dan kerusakan public utilities sebagai akibat perang; dan (3) Terpinggirkannya pengusaha pribumi (sebagai kelas ketiga setelah pengusaha Eropa dan Keturunan Arab dan China). Berbagai permasalahan tersebut mendorong pemerintah untuk berperan lebih besar dan melakukan beberapa intervensi untuk mendorong tumbuhnya perekonomian nasional. Upaya menggerakkan perekonomian dalam masa demokrasi parlementer diimplementasikan melalui Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) dan Program Benteng yang ditujukan untuk membantu pengusaha pribumi. Beberapa kebijakan ekonomi pemerintah juga diarahkan untuk mendorong perekonomian nasional dengan mendirikan perusahaan negara melalui proses nasionalisasi. Nasionalisasi terutama terjadi pada beberapa perusahaan Belanda di bidang infrastruktur yang bersifat natural monopoly. Lihat Setyanto P. Santosa, “Privatiasi: Penerapan
Nasionalisme Pengelolaan BUMN”,
Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Dagang.74 Pengaturan perusahaan negara
dengan berbagai ketentuan tersebut pada akhirnya menimbulkan kesulitan di bidang
administrasi dan pengawasan oleh pemerintah. Karena itu, untuk melakukan reorganisasi
alat-alat produksi dan distribusi yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, maka
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.
19 Tahun 1960. Dengan Perpu ini, pengertian perusahaan negara diseragamkan yaitu
semua perusahaan dalam bentuk apapun yang modalnya untuk seluruhnya merupakan
kekayaan Negara Republik Indonesia kecuali jika ditentukan lain dengan atau
berdasarkan Undang-Undang.75
Sistem ekonomi terpimpin di masa Orde Lama (ORLA) memfungsikan
perusahaan-perusahaan negara sebagai instrumen industrialisasi ekonomi dan
pengelolaannya didominasi oleh militer. Ketika kekuasaan ORLA berakhir pada
tahun 1967, perusahaan negara telah mendominasi perekonomian seperti perbankan,
perdagangan, perkebunan, pertambangan, perminyakan, industri manufaktur, industri
barang modal, bahkan industri berat seperti industri baja, perkapalan, elektronika dan
semen. Seiringan dengan itu pula, kalangan pengusaha semakin maju dan
berkembang pada sektor perdagangan, transportasi, industri ringan dan industri jasa
karena mereka bernaung dalam suatu asosiasi yang dikendalikan oleh Pemerintah.
Perusahan-perusahaan negara bisa menjadi kuat karena disubsidi dan diproteksi oleh
Pemerintah dengan maksud agar perusahaan-perusahaan negara tersebut dapat
74
Marwah M. Diah, Op.Cit., hal. 184.
75
berperan sebagai agent of industrial growth. Namun kebijakan Pemerintah ini dinilai
pilih-kasih dan berdampak buruk terhadap perkembangan peranan swasta dalam
konteks pembangunan perekonomian nasional.76
Konsep Presiden Soekarno tentang sistem ekonomi nasional ternyata
dipengaruhi oleh “laporan-laporan yang diterima dari Atase Indonesia di Yugoslavia,
yang telah menggunakan perusahaan negara sebagai kendaraan untuk pembangunan
nasional dengan sukses luar biasa. Perusahaan negara juga merupakan kompromi
yang berhasil antara kapitalisme dan komunisme dan secara politis berhasil karena
Yugoslavia merupakan anggota blok komunis yang paling condong keluar”.77
Kemudian perubahan mendasar terjadi dalam sistem perkonomin Indonesia
ketika Orde Baru (ORBA) mengambil alih kekuasaan pada tahun 1967. Terjadinya
perubahan mendasar tersebut terutama dipengaruhi oleh dua lembaga donor
internasional, yaitu International Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan
International Bank for Reconstruction & Development (IBRD). Kedua lembaga
donor ini berhasil meyakinkan Pemerintah bahwa upaya pemulihan perekonomian Dengan mengembangkan perusahaan negara pada seluruh sektor ekonomi, di mana
masing-masing perusahaan negara memiliki wewenang eksklusif atas sektor ekonomi
yang vital dan strategis, Presiden Soekarno berharap pembangunan ekonomi nasional
bisa berhasil dan meningkat dengan cepat.
76
Indra Bastian, Op.Cit., hal. 94.
77
Indonesia harus didukung oleh bantuan luar negeri. Namun untuk dapat memperoleh
bantuan luar negeri tersebut, kedua lembaga donor dimaksud mensyaratkan
Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan “pintu terbuka” untuk memberi jalan
masuknya modal asing. Agar bantuan luar negeri tersebut dapat diperoleh, maka
Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1969 tentang Penanaman
Modal Asing (PMA) yang telah mendorong masuknya modal asing ke Indonesia
melalui berbagai perusahaan multinasional.
Dalam tahun yang sama, Pemerintah kembali mengeluarkan Perpu No. 1
Tahun 1969 yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 yang
berhasil mengurangi jumlah BUMN dari sekitar 822 menjadi 184 perusahaan.
Dengan Undang-Undang ini, BUMN dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu
Perjan, Perum dan Persero. Selain itu, ada lagi bentuk BUMN yang diatur secara
khusus dengan undang-undang tersendiri yaitu bank-bank milik pemerintah dan
Pertamina.78
78
Perjan adalah BUMN yang berusaha di bidang penyediaan jasa-jasa bagi masyarakat termasuk pelayanan kepada masyarakat, permodalannya termasuk bagian dari APBN yang dikelola oleh Departemen yang membawahinya, dan statusnya berkaitan dengan hukum publik (IBW dan ICW); Perum adalah BUMN yang berusaha di bidang penyediaan pelayanan bagi kemanfaatan umum di samping mendapatkan keuntungan, modal seluruhnya milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan dan berstatus badan hukum yang diatur dengan undang-undang; dan Persero adalah BUMN yang bertujuan untuk memupuk keuntungan dan berusaha di bidang-bidang yang dapat mendorong perkembangan sektor swasta dan koperasi, di luar bidang usaha Perjan dan Perum, modal seluruhnya atau sebagian adalah milik negara dari kekayaan yang dipisahkan dan terbagi atas saham-saham serta berstatus badan hukum perdata yang berbentuk perseroan terbatas (PT). Marwah M. Diah, Op.Cit., hal. 184-186.
utilities (perposan, telekomunikasi, listrik, gas, kereta api dan penerbangan), industri
vital strategis (minyak, batu bara, besi baja, perkapalan dan otomotif), dan bisnis.79
Setahun kemudian diundangkan pula Undang-Undang No. 6 Tahun 1970
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang mendorong terciptanya
perusahaan-perusahaan raksasa milik sekelompok kecil pengusaha etnis Tianghoa.
Seiring itu pula, lahir perusahaan-perusahaan besar milik badan-badan usaha yang
terkait dengan sejumlah yayasan dan oknum militer, yang diduga mewakili militer
sebagai institusi. Diperkirakan bahwa sejak saat ini mulai tercipta hubungan
kepentingan antara berbagai perusahaan swasta dengan militer dan elit politik yang
berkuasa dalam berbagai bentuk kerjasama yang ditengarai bernuansa kolusi, korupsi
dan nepotisme (KKN).80
Ketika Indonesia memperoleh keuntungan yang sangat besar akibat
melambungnya harga minyak dan gas bumi di pasar internasional, tidak bisa
dipungkiri fakta bahwa “rejeki nomplok” tersebut memberikan andil yang cukup
besar dalam peningkatan perekonomian nasional. Terciptanya kondisi ekonomi yang
cenderung semakin baik dan ditopang pula oleh stabilnya kehidupan politik nasional
pada awal tahun 1980-an ini, adalah faktor utama pendorong bagi pelaksanaan
kegiatan-kegiatan ekonomi nasional. Kurang lebih dua pertiga penerimaan
pemerintah bersumber dari minyak dan gas bumi. Namun, booming penerimaan dari
migas yang berlimpah dan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi
79
Christianto Wibisono, dalam Ibrahim, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 107.
80
pemerintah saat itu ternyata tidak disertai dengan sistem pengelolaan keuangan yang
baik, khususnya dalam tubuh BUMN. Di samping maraknya masalah KKN,
pemerintah pusat justru memberi suntikan dana secara besar-besaran kepada beberapa
BUMN karena pemerintah merasa mampu memberi subsidi untuk berbagai kegiatan,
termasuk membantu kegiatan BUMN yang sebetulnya kurang efisien. Tabel 1 berikut
ini dapat menggambarkan betapa besarnya suntikan dana yang diberikan oleh
pemerintah kepada BUMN, termasuk untuk BUMN yang merugi, sejak periode
1975-1980.81
Tabel 1. Suntikan Modal Pemerintah Pusat kepada BUMN
Tahun Rp
(Miliar)
USS (Juta) Tahun Rp (Miliar)
USS (Juta)
1975 109 263 1981 481 770
1976 218 525 1982 337 539
1977 167 402 1983 592 595
1978 129 311 1984 336 312
1979 253 405 1985 412 366
1980 476 762 1986 91 79
Sumber: A. Effendy Choirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2003), hal. 4-5.
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara
Pembinaan dan Pengawasan Perjan, Perum dan Persero dimaksudkan untuk
meningkatkan peranan perusahaan negara dan sekaligus pengendaliannya oleh
Pemerintah. Dengan adannya PP ini Pemerintah memiliki kewenangan yang sangat
besar dalam hal pengelolaan BUMN dan sekaligus membatasi kewenangan
81
pengelolanya (manajemen). Kewenangan Pemerintah ini dilaksanakan oleh
Departemen Keuangan sebagai wakil pemegang saham dan departemen teknis
sebagai kuasa wakil pemegang saham. Dapat dikatakan bahwa PP tersebut
memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan BUMN itu sendiri karena
berdasarkan penelitian diketahui bahwa dalam hal rekruitmen direksi dan dewan
komisaris, peranan dan kepentingan kedua departemen dimaksud sangat dominan.
Direksi dan komisaris bertindak hanya untuk kepentingan dan keuntungan dari
departemen yang menunjuk atau mengangkatnya, bukan berdasarkan profesionalisme
sehingga kemandirian manajemen BUMN sebagai lembaga bisnis menjadi hilang.
Kedua departemen tersebut selalu mencampuri operasionalisasi BUMN sehingga
menyulitkan pihak manajemen untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, karena
dalam prakteknya kedua pimpinan (menteri) dari departemen tersebut seringkali
memiliki visi yang bertentangan membuat direksi BUMN sulit untuk dapat
mengelolanya dengan baik, terutama dalam hal pengambilan keputusan untuk
pengembangan BUMN itu sendiri. Dalam seminar The CEO Business Summit/Profile
& Anatomy of Privatization yang diselenggarakan pada tanggal 25 Oktober 1994, tiga
direktur utama BUMN mengungkapkan bahwa PP No. 3 Tahun 1983 memang
menimbulkan kesulitan bagi mereka dalam pengelolaan dan pengembangan
BUMN.82
82
Jatuhnya harga minyak bumi pada tahun 1986 membawa akibat signifikan
terhadap perkembangan BUMN. Terpuruknya harga minyak bumi membuat
penerimaan negara dari sektor migas menjadi berkurang, sehingga Pemerintah
mengambil kebijakan pengetatan anggaran, termasuk pemberian subsidi untuk
berbagai kegiatan perekonomian seperti BUMN.83
kesinambungan usahanya terancam dan bangkrut. Dengan demikian BUMN menghadapi masalah dasar yang sama dengan organisasi bisnis atau perusahaan swasta lainnya sehingga ketahanan perusahaan harus dijaga. Biaya produksi harus ditekan semaksimal mungkin untuk memperkuat persaingan dan survival. Di sisi lain, BUMN berhadapan langsung (head to head) dengan kompleksitas birokrasi, politik, dan kekuasaan. Undang-Undang BUMN mencabut garis komando kementrian terhadap BUMN karena BUMN menjadi “sapi perah” dan ajang moral hazard. Meski demikian, intervensi politik, birokrasi, dan kekuasaan masih tetap besar sehingga membuat BUMN seperti terikat kakinya. Didiek J. Rachbini, (1), “BUMN dan Pilitik“, Harian Suara Merdeka, Senin, 09 Oktober 2006.
Untuk memberdayakan kembali
peranan BUMN, pemerintah mengeluarkan PP No. 55 Tahun 1990 tentang
Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang Menjual Sahamnya Kepada Masyarakat
Melalui Pasar Modal. Melalui PP ini pemerintah memberikan otonomi yang luas
kepada BUMN yang telah go-public. Artinya, pemerintah memiliki keinginan yang
kuat untuk dapat menciptakan BUMN yang mandiri dan memiliki kemampuan yang
cukup sebagai pelaku ekonomi dalam menghadapi era perdagangan bebas. Untuk itu
pemerintah membebaskan BUMN dari kontrol birokratis. Hubungan antara
pemerintah sebagai pemegang saham dengan pengelola BUMN dijalankan secara
profesional. Misalnya di dalam pengambilan keputusan, Direksi BUMN cukup hanya
dengan melakukan konsultasi dengan Dewan Komisaris. Dalam hal ini jelas bahwa
pemerintah berusaha untuk mendorong pengelolaan BUMN dilakukan sesuai dengan
83
prinsip-prinsip usaha swasta dan mengubah statusnya dari Perjan menjadi Perum dan
selanjutnya meningkat menjadi Persero.84
Selanjutnya, pengertian “Badan Usaha Negara” dihubungkan dengan
keberadaan Bank-Bank Pemerintah, seperti dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) dan
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968, Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1967 jo. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Prp Tahun
1960 tentang Bank Pembangunan Indonesia. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1967 jo. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1968
tentang Bank Negara Indonesia 1946, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1968 tentang Bank Dagang Negara, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1968 tentang Bank Bumi Daya, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
tahun 1968 tentang Bank Tabungan Negara, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor
21 Tahun 1968 tentang Bank Rakyat Indonesia, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1968 tentang Bank Ekspor Impor Indonesia. Berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Bank Milik Negara adalah
“badan hukum yang modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan”.
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968
diatur bahwa Bank Indonesia adalah milik Negara... dan seterusnya. Selanjutnya
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 mengatur bahwa modal bank
84
“berjumlah Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) yang merupakan kekayaan negara
yang dipisahkan”.85
Memperhatikan ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972
dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 jo. Instruksi Presiden Nomor
17 Tahun 1967, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 jo. Undang-Undang Nomor 21
Prp Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968, dan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1968, dapat disimpulkan bahwa “Badan Usaha Negara” adalah “badan
usaha atau perusahaan yang modalnya dimiliki oleh negara, baik seluruhnya maupun
sebagian yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan”.86
Jadi, secara prinsip pengertian “BUMN” dan “Badan Usaha Negara” sama,
yaitu suatu badan usaha atau perusahaan di mana negara melakukan penyertaan
modal, baik sebagian maupun seluruhnya, berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan.87
2. Penggunaan Istilah Perusahaan Negara dan BUMN
Istilah lain yang memiliki makna hampir sama dengan BUMN adalah
“perusahaan negara”. Dalam Pasal 1 UU No. 19 Tahun 1960 (UU 19/1960), yang
dimaksud dengan “perusahaan negara” semua perusahaan dalam bentuk apapun yang
85
Hambra, “Sejarah Terminologi BUMN”, Majalah BUMN TRACK, Desember 2007, hal. 18.
86
Ibid.
87
modal seluruhnya merupakan kekayaan negara Republik Indonesia, kecuali jika
ditentukan lain dengan atau berdasarkan undang-undang. UU No. 19/1960 tersebut
merupakan upaya pemerintah untuk mengadakan keseragaman bentuk badan usaha
yang dimiliki Negara Republik Indonesia. Dengan pengertian seperti itu, “perusahaan
negara” merupakan bagian dari “BUMN” karena hanya ditujukan pada usaha negara
yang seluruhnya modalnya dimiliki oleh negara. Dengan demikian, usaha negara
yang sebagian modalnya dimiliki negara –walaupun negara memiliki mayoritas
modal pada badan usaha tersebut – tidak dapat dikategorikan sebagai “perusahaan
negara”, melainkan berada dalam lingkup pengertian “BUMN”.88
Dalam rentang sejarah perkembangan sistem pembinaan BUMN, pada tanggal
26 Oktober 1988, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 1988 tentang Pedoman Penyehatan dan Pengelolaan BUMN (Inpres
5/1998). Dalam Inpres 5/1998 tersebut, badan usaha milik negara mempunyai dua
pengertian, yaitu BUMN dalam arti sempit dan BUMN dalam arti luas. Pengertian
BUMN tersebut kemudian diadopsi oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor
740/KMK.00/1989 tanggal 28 Juni 1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan
Produktivitas BUMN (KMK 740).89
Angka I Butir 1 Inpres 5/1988 dan Pasal 1 Angka 2 KMK 740 mengatur
bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah: a) Badan Usaha yang seluruh
modalnya dimiliki negara; b) Badan Usaha yang tidak seluruhnya dimiliki negara
88
Ibid, hal. 19.
89
tetapi statusnya disamakan dengan BUMN, yaitu pertama, BUMN yang merupakan
patungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah; kedua, BUMN yang
merupakan patungan antara Pemerintah dengan BUMN lainnya; dan ketiga, BUMN
yang merupakan Badan Usaha Patungan dengan Swasta Nasional/Asing di mana
negara memiliki saham mayoritas (minimal 51%).90
Dengan demikian, BUMN merupakan suatu unit bisnis yang mempunyai
hubungan dengan negara dalam konteks kepemilikannya. Dalam rentang sejarah,
istilah yang dipergunakan, ruang lingkup, dan pengertian unit bisnis tersebut sangat
beragam.91
Seiring dengan perkembangan BUMN, saat ini terdapat dua istilah yang
mengandung makna “keikutsertaan negara dalam badan usaha”. Masing-masing
adalah “Perusahaan Negara” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No. 17/2003) dan “BUMN” sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.92
Berdasarkan Pasal 1 Angka 5 UU No. 17/2003, “Perusahaan Negara” adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki Pemerintah Pusat.
Pengertian ini sangat luas karena mencakup seluruh badan usaha di mana negara
memiliki modal, walaupun modal tersebut sangat kecil, misalnya hanya 0,01%.
Menurut penulis, pengertian “Perusahaan Negara” berdasarkan UU No. 17/2003
hanya menggunakan pendekatan kepemilikan modal tanpa memperhatikan
90
Ibid.
91
Ibid.
92
kedudukan “Perusahaan Negara” dalam kerangka hukum korporasi yang berlaku
umum. Pengaturan seperti ini kiranya sangat berkaitan dengan substansi pengaturan
dalam UU No. 17/2003, yaitu mengenai “keuangan negara”. Apabila pendekatannya
kepemilikan modal, sebenarnya lebih tepat apabila UU No. 17/2003 memberikan
pengertian atau mempertegas “makna perlakuan” ketatanegaraan terhadap keuangan
atau kekayaan negara yang tertanam dalam suatu badan usaha. Sehingga istilah yang
dipergunakan bukan mengarah pada subjek (perusahaan), namun lebih pada kegiatan
usaha, yaitu “usaha negara”.93
Berbeda dengan UU No. 17/2003 yang menggunakan istilah “Perusahaan
Negara”, dalam UU No. 19/2003 istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan
93
Ibid. Lihat juga Bacelius Ruru yang mengemukakan bahwa ada pendapat yang mengatakan bahwa terdapat ketidaksinkronan antara UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara (UUKN) dengan UU No. 19/2003 tentang BUMN (UU BUMN). Berdasarkan penjelasan dari Departemen Keuangan (Tim Perumus UUKN), pada tanggal 26 Maret 2203, di Departemen Keuangan dan dalam “suasana kebatinan” UUKN di DPR dijelaskan sebagai berikut: Pertama, pengertian UMN (Pasal 1 Angka 5 UUKN) adalah Perusahaan Negara yaitu badan usaha atau seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Penjelasannya: (1) istilah Perusahaan Negara (PN) dalam UUKN adalah tidak lain dari BUMN. Istilah PN di dalam UUKN bersifat umum yang perumusannya secara khusus diserahkan kepada UU BUMN; (2) UU BUMN menggunakan istilah BUMN, bukan PN, dan membatasi kriteria BUMN yaitu kepemilikan negara 51%; dan (3) istilah Pemerintah Pusat dalam pemilikan PN dimaksudkan untuk membedakan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua, Menteri Keuangan selaku wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara dipisahkan (Pasal 6 ayat (2) huruf a UUKN); dan Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan
pengawasan kepada Perusahaan Negara (Pasal 24 ayat (3) UUKN). Penjelasannya adalah: (1) pengaturan tersebut di atas merupakan penegasan terhadap prinsip-prinsip yang telah dilaksanakan
keikutsertaan negara dalam suatu badan usaha adalah “BUMN”. Dalam UU No.
19/2003, pengertian BUMN telah diperjelas dan dipertegas. Sejak lahirnya UU No.
19/2003 tanggal 19 Juni 2003, “istilah” dan “pengertian” BUMN dikukuhkan dalam
suatu undang-undang sebagai suatu kesatuan. Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU No.
19/2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan. Pengertian BUMN tersebut mengandung beberapa unsur
yang merupakan satu kesatuan makna, yaitu: pertama, berbentuk badan usaha; kedua,
kepemilikan negara pada badan usaha tersebut bersifat langsung; dan keempat, modal
negara tersebut merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.94
Dengan adanya penegasan bahwa BUMN merupakan suatu badan usaha yang
modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, seakan-akan UU No.
19/2003 memberi pesan bahwa BUMN harus dikelola secara profesional dan mandiri
untuk mencapai suatu tujuan usaha, yaitu “keuntungan”. Kesimpulan seperti itu dapat
diabsahkan sehubungan dengan pengaturan mengenai maksud dan tujuan pendirian
BUMN yang salah satunya adalah “mengejar keuntungan”. Di samping itu, makna
“kekayaan negara yang dipisahkan” sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 4
ayat (1) UU No. 19/2003 dapat mempertegas kesimpulan bahwa BUMN harus
dikelola secara profesional dan mandiri.95
94
Hambra, Op.Cit., hal. 19.
95
Pasal 1 Angka 1 UU No. 19/2003 tersebut juga mempertegas bahwa suatu
badan usaha disebut BUMN apabila negara memiliki modal/saham mayoritas atau
seluruhnya dan penyertaan negara tersebut bersifat langsung. Dengan penegasan
seperti ini, badan usaha yang sebagian kecil saham/modalnya dimiliki negara pun
tidak dapat dikategorikan sebagai BUMN. Dalam konteks ini, penulis berpendapat
bahwa pengertian BUMN secara tidak langsung dapat dimaknai sebagai suatu badan
usaha yang dapat dikendalikan oleh negara melalui kepemilikan saham mayoritas.96
Jika membandingkan pengertian “Perusahaan Negara” berdasarkan UU No.
17/2003 dengan pengertian “BUMN” berdasarkan UU No. 19/2003, terlihat bahwa
pengertian “Perusahaan Negara” lebih luas dari pengertian “BUMN”. Pengertian
“Perusahaan Negara” meliputi badan usaha yang modalnya dimiliki Negara
(i) seluruhnya (ii) sebagian besar dan (iii) sebagian kecil. Sedangkan pengertian
“BUMN” hanya meliputi badan usaha yang modalnya (i) seluruhnya dan (ii) sebagian
besar dimiliki negara.97
Dalam perjalanan BUMN sebagai salah pelaku ekonomi yang memiliki
peranan penting dan strategis dalam menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan
kemakmuran rakyat banyak yang sebesar-besarnya, dapat dikatakan BUMN telah
berhasil mencapai tujuan awalnya sebagai agen pembangunan dan pendorong
korporasi, kendati tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Kinerja BUMN dinilai
belum memadai seperti masih rendahnya keuntungan yang diperoleh dibandingkan
96
Ibid.
97
dengan modal yang diinvestasikan yang seharusnya sudah mampu menyediakan
barang dan jasa yang berkualitas tinggi bagi rakyat. Di sisi lain, perkembangan
ekonomi dunia berlangsung sangat dinamis terutama kegiatan ekonomi yang
berkaitan dengan liberalisasi dan globalisasi perdagangan yang telah disepakati
bersama secara internasional dalam forum World Trade Organization (WTO),
ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan Asia Pasific Economic Cooperation
(APEC).98
Dan pada era globalisasi ekonomi ini, untuk mengoptimalkan peran dan
fungsinya serta mampu mempertahankan eksistensinya dalam perkembangan
ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, maka tidak bisa tidak BUMN
perlu menumbuhkan jiwa dan semangat korporasi serta profesionalisme yang tinggi
dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance)
guna pencapaian efisiensi yang optimal.
Salah satu masalah terpenting perusahan negara (BUMN) yang tidak kunjung terpecahkan hingga pertengahan tahun 1980-an adalah status dan cara kerjanya. Sebagai kelompok usaha, BUMN merupakan konglomerasi bisnis paling raksasa, dengan penguasaan modal domestik terbesar dalam sistem perekonomian nasional. Dengan jumlah total 215 perusahaan pada tahun 1980-an, kegiatan perusahaan negara tersebut dimulai dari bentuk usaha yang sederhana hingga kepada bisnis yang paling rumit, seperti industri pesawat terbang yang dibangun dan dipimpin oleh Dr Habibie, sebagai saingan utama Widjojo dan kawan-kawannya yang sebagian besar usaha mereka terpusat pada pelayanan publik (penerbangan, peralatan, konstruksi), pertambangan (minyak, gas, timah), keuangan dan perbankan, serta industri manufaktur dasar. Apabila ditinjau dari segi ukuran dan pengaruhnya, tampak nyata bahwa perusahaan-perusahaan negara di Indonesia dalam praktiknya merupakan “negara di dalam negara”. Lihat Hal Hill, The Indonesian Economy Since 1966 (London: Cambridge, 1966), hal. 101. Dari sisi eksternal BUMN juga mengalami banyak hambatan. Berbagai permasalahan yang
dihadapi BUMN menjadi makin berat dengan adanya berbagai permasalahan eksternal seperti: (1) lemahnya nilai tukar mata uang rupiah; (2) tingkat inflasi yang tinggi; (3) neraca perdagangan yang
Dalam sambutan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan
“BUMN Forum dan Indonesia Business-BUMN Exhibition (IBBEX) 2007” tanggal
12 April 2007 di Jakarta, antara lain mengemukakan bahwa:
“Pemerintah selaku pemegang saham terbesar di BUMN, berkeinginan agar BUMN terus melakukan transformasi bisnis. Transformasi itu dapat dilakukan melalui perubahan dari kultur birokrasi menuju kultur korporasi. Hal itu hanya dapat dilakukan, jika BUMN mampu mengedepankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance), serta membersihkan diri dari segala bentuk
penyimpangan dan penyelewengan. Ke depan, tidak boleh ada lagi BUMN yang terus menerus merugi. Jangan bangga jadi direktur PT. Rugi Abadi. BUMN yang terus merugi, bukan saja tidak dapat memberikan kontribusi pada perekonomian nasional, tetapi juga menjadi beban bagi keuangan negara.
Mencermati perkembangan di masyarakat akhir-akhir ini ---terutama tentang perlu tidaknya negara terlibat dalam kegiatan usaha--- menurut pendapat saya kita harus mengembalikannya pada jiwa dan kandungan yang ada dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara kita dengan tegas menyatakan bahwa, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. Landasan inilah yang harus kita pegang teguh. Landasan inilah yang harus kita jadikan acuan utama, dalam menentukan sejauh mana negara perlu terlibat dalam bidang usaha.
Salah satu upaya yang harus kita perbaiki bersama-sama adalah, stigma negatif yang melekat pada BUMN. BUMN sering dikategorikan sebagai perusahaan tempat tumbuh suburnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Tindakan hukum yang harus dijalani oleh sejumlah direksi BUMN akhir-akhir ini, seolah-olah membenarkan stigma negatif itu. Pada kesempatan yang baik ini, saya mengajak kepada seluruh jajaran BUMN, marilah kita hapuskan stigma negatif itu. Marilah kita berusaha membersihkan BUMN dari segala bentuk tindakan KKN. Dengan komitmen dan kesungguhan kita, pada saatnya nanti, BUMN harus betul-betul kita kelola sesuai asas good corporate
governance, dan budaya korporasi yang sehat. Dengan pengelolaan
seperti itu, stigma negatif BUMN sebagai sarang korupsi, lambat laun akan terhapus dengan sendirinya.”
Perkembangan BUMN secara garis besar dapat dibagi dalam 4 (empat)
periode sebagai berikut100
a. Periode sebelum kemerdekaan. Keberadaan BUMN sebelum kemerdekaan
diatur dengan ketentuan IBW dan ICW. Di masa ini terdapat sekitar 20 :
100
Marwah M. Diah, Op.Cit, hal. 186-187. Lihat juga Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan, yang mengatakan bahwa “secara politik-ekonomi, pendirian BUMN di Indonesia mempunyai tiga
alasan pokok. Pertama, sebagai wadah bisnis dari aset asing yang dinasionalisasi. Alasan ini terjadi di tahun 1950-an, ketika pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Peristiwa ini
BUMN yang tunduk pada ketentuan IBW yang bergerak di bidang usaha
Kelistrikan, Batubara, Timah, Pelabuhan, Pegadaian, Garam, PT, Kereta Api
dan Topografi.
b. Periode tahun 1945-1960. Di samping keberadaan BUMN di masa sebelum
kemerdekaan, pada periode setelah kemerdekaan (1945-1960) telah didirikan
pula sejumlah BUMN antara lain Bank Industri Negara, Sera dan Vaksin serta
PT Natour Ltd. Mengingat pentingnya peranan dan fungsi BUMN dalam
pembangunan ekonomi nasional dan dalam rangka pembebasan Irian Barat
dari penjajahan kolonial Belanda, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 23 Tahun 1958 dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta eks
milik negara Belanda di Indonesia yang beroperasi hampir di semua sektor
seperti perbankan, perkebunan, perdagangan dan jasa.
c. Periode tahun 1960-1969. Konsekuensi dari nasionalisasi
perusahaan-perusahaan swasta eks milik negara Belanda tersebut, maka dalam periode ini
BUMN seluruhnya berjumlah 822 perusahaan dan kemudian jumlah
berkurang menjadi sekitar 200 perusahaan setelah pemerintah melakukan
penataan berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1969.
d. Periode tahun 1969 sampai sekarang. Semenjak tahun 1969, peranan BUMN
semakin meningkat dan penting dalam menunjang Pembangunan Nasional
sejalan dengan pelaksanaan program pembangunan Repelita I di era Orde
Sebagaimana yang diamanatkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) melalui ketetapan Nomor IV/MPR/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara Tahun 1999-2004, digariskan bahwa BUMN, terutama yang usahanya
berkaitan dengan kepentingan umum dan berada dalam sektor usaha yang kompetitif
perlu direstrukturisasi agar perusahaan-perusahaan negara dimaksud dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan untuk kesejahteraan
rakyat banyak. Untuk itu diperlukan landasan hukum yang kuat untuk
melaksanakannya yaitu Undang-Undang tentang BUMN sebagai pengganti ketentuan
yang lama karena tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, maka kedudukan dan fungsi
BUMN semakin jelas dan terarah. Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang dimaksud
dengan jelas menyebutkan, bahwa “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya
disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan”.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia dalam era perdagangan bebas
dan juga dengan memperhatikan kebutuhan pembangunan ekonomi nasional, maka
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 secara jelas menyebutkan maksud dan tujuan
dilaksanakannya program restrukturisasi dan privatisasi BUMN. Pasal 72 UU ini
menyebutkan bahwa maksud restrukturisasi BUMN untuk menyehatkan BUMN agar
dapat beroperasi secara efisien, transparan dan profesional. Sedangkan tujuannya
manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara; (iii) menghasilkan produk dan
layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen; dan (iv) memudahkan
pelaksanaan privatisasi. Selanjutnya Pasal 74 menyebutkan bahwa privatisasi
bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan
meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham persero, sedangkan
maksud privatisasi itu sendiri adalah untuk: (i) memperluas kepemilikan masyarakat
atas persero; (ii) meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan;
(iii) menciptakan struktur keuangan dan manajemen yang baik serta kuat;
(iv) menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif; (v) menciptakan
perseroan yang berdaya saing dan berorientasi global; dan (vi) menumbuhkan iklim
usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.101
Sampai kepada era reformasi sekarang ini, peranan BUMN masih menjadi isu
besar. BUMN yang berjumlah 158, yang menguasai hampir sepertiga aset nasional,
ternyata kinerjanya belum juga optimal karena kontribusinya masih relatif kecil bagi
penerimaan negara. Dari seluruh BUMN yang ada dengan perkiraan total aset sebesar
Rp 1,177,7 triliun dan ekuitas sebesar Rp 481,9 triliun diperkirakan bahwa pada tahun
101
2004 keuntungan yang diperoleh hanya sebesar Rp 2,49 triliun. Return on Asset
rata-rata diperkirakan sebesar 2,49%, dan Return on Equity rata-rata-rata-rata 6,1% pada periode
yang sama. Inefisiensi yang terjadi di banyak BUMN membuat kinerjanya jauh dari
memuaskan. Demikian pula terjadinya praktik KKN di BUMN membuat rapor
BUMN kelihatan semakin buruk. Oleh karena itulah usaha untuk memperbaiki
kinerja BUMN merupakan isu penting melalui program restrukturisasi dan privatisasi
yang sampai saat ini masih menimbulkan kontroversi. Lebih jauh dari itu, meskipun
pemerintah dan DPR telah mensahkan Undang-Undang BUMN namun demikian
hasilnya belum juga kelihatan sampai sekarang.102
3. Pengertian dan Hakikat Pendirian
Pada hakikatnya pengertian BUMN tidak terpisahkan dari amanat UUD 1945.
Pasal 33 ayat (2) menetapkan, bahwa cabang-cabang produksi atau usaha-usaha yang
102
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh
negara. Penguasaan negara atas cabang-cabang produksi atau usaha-usaha yang
menguasai hajat hidup orang banyak itu sangat penting dan esensial agar
kesejahteraan rakyat banyak terjamin dan bisa menikmati sumber-sumber
kemakmuran yang sebesar-besarnya dari bumi, air dan kekayaan-kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Dengan demikian Pemerintah sebagai penyelenggara negara
dituntut memiliki kemauan yang kuat untuk menjabarkan Pasal 33 UUD 1945 secara
lebih bermakna dan rinci, sehingga konsepsi “penting bagi negara” dan “menguasai
hajat hidup orang banyak” menjadi lebih jelas dan berorientasi kepada kepentingan
kesejahteraan rakyat Indonesia.103
Secara umum BUMN dapat dikelompokkan sebagai BUMN Pionir, BUMN
Strategis, BUMN PSO (Public Service Obligation), dan BUMN yang melaksanakan
bisnis murni.
104
103
Lihat juga Ibrahim R yang mengatakan bahwa persepsi publik terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN, baik yang dibentuk untuk kepentingan profit (bisnis) maupun non-profit (kepentingan umum), sangat tidak efisien dan sangat tidak efektif, amburadul, salah urus, manajemen dengan menggunakan kekuasaan, dan terjadinya praktik kong-x-kong. Hal itu dibuktikan oleh sejarah BUMN itu sendiri, dari periode ke periode dijadikan sapi perahan, ladang empuk, dan gondolan bagi yang berkuasa untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, karena memang tidak mempunyai grand unified design lakul pancer ekonomi bangsa. ... Sejarah mencatat bahwa sejak nasionalisasi perusahaan Belanda berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, sampai detik ini, BUMN dan BUMD merupakan ladang garapan, sapi perahan, sebagian besar elit penguasa (pengusaha), sehingga tidak mampu memberikan kontribusi maksimal sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUD 1945 “yang melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial. Ibrahim R, Op.Cit., hal. 12.
BUMN Pionir adalah jenis BUMN perintis yang belum dapat
dilaksanakan oleh swasta namun sangat dibutuhkan oleh masyarakat. BUMN
strategis adalah jenis BUMN yang menyangkut kepentingan negara, seperti
104
pertahanan dan keamanan negara. BUMN PSO adalah jenis BUMN pada bidang jasa
dan pelayanan masyarakat yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketiga jenis
BUMN merupakan BUMN pada sektor non-kompetitif. Sedangkan BUMN yang
melaksanakan bisnis murni adalah jenis BUMN yang berorientasi keuntungan (profit)
dan merupakan BUMN pada sektor kompetitif. Sektor kompetitif adalah sektor yang
dapat diperdagangkan, misalnya industri, penerbangan (airlines), budidaya pertanian
(agriculture), dan kegiatan pendistribusian. Sektor ini sangat memungkinkan untuk
mendapatkan keuntungan ekonomi secara cepat dan berarti, sepanjang tidak terdapat
distorsi ekonomi secara luas.105
Tabel berikut memberikan suatu kerangka kebijakan terhadap pembuat
keputusan sebelum melakukan privatisasi dengan memperhatikan keadaan negara:106
105
Bismar Nasution, Privatisasi: Menjual atau Menyehatkan. Makalah disampaikan pada Seminar Program dan Kebijakan Kementerian BUMN 2004 dengan topik: “Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN, Manfaat dan Tantangannya dalam Upaya Meningkatkan Kinerja BUMN”, tanggal 4 September 2004, di Ruang IMTGT Biro Rektor Universitas Sumatera Utara, Medan. Lihat juga Sunita Kikeri, Jhon Nellis, Mary Shirley, Op.Cit., hal. 4.
106
Tabel 2. Kerangka Kebijakan Keadaan Negara dengan Keadaan Perusahaan
Keadaan Negara Keadaan Perusahaan
Sektor Kompetitif Sektor Non Kompetitif
Kapasitas yang tinggi
Sumber: Bismar Nasution, Privatisasi: Menjual atau Menyehatkan.
Sampai sejauh ini, boleh dikatakan bahwa pengelolaan dan orientasi
pengembangan BUMN telah “melenceng” dari tujuan pendiriannya semula. Hal itu
terjadi karena Pemerintah belum dapat sepenuhnya memetakan
perusahaan-perusahaan negara yang tepat untuk diinvestasikan sebagai BUMN, mulai dari
perkebunan bekas milik pemerintah Hindia Belanda yang dinasionalisasikan hingga
usaha bank, pabrik semen, perusahaan penerbangan, dan jenis-jenis usaha negara
untuk dijadikan sebagai pesaing bagi perusahaan swasta (konglomerat), sebenarnya
perlu dipertanyakan karena sekalipun dibutuhkan dana segar baru untuk lebih
memberdayakan BUMN dimaksud, akan tetapi praktik konglomeratisasi tidak
dibenarkan dalam sistem demokrasi ekonomi menurut Pasal 33 UUD 1945, dan
pembentukan BUMN itu sendiri pun bukan semata-mata untuk memaksimalkan
keuntungan (maximizing profit).
Berikut ini diterakan skema kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang diharapkan.
Skema 3. Kondisi BUMN yang Diharapkan KONDISI BUMN YANG DIHARAPKAN
KOMPETITIF NONKOMPETITIF
Bisnis Murni (Orientasi Profit) PSO & KAMNEG
Contoh : 1. Perbankan (BTN)
2. Industri Baja (Krakatau Steel) 3. Jalan Tol (Jasa Marga) 4. Perkebunan, Pembgn Prmhn, dll
Badan Hukum : PT Persero
Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas dan Penguatan Institusi Pasar Modal/ Bapepam untuk mewujudkan Kepemilikan Saham yang Tersebar dengan
Penerapan GCG.
Perusahaan yang Sehat dan Efisien
Sudah pasti bahwa perusahaan minyak seperti Pertamina harus dikuasai
negara karena minyak adalah salah satu aset penting dalam penyelenggaraan negara.
Namun selain minyak, aset penting lain seperti hutan juga harus dikelola dan dikuasai
oleh negara dalam bentuk BUMN. Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang diberikan
kepada perusahaan-perusahaan swasta perorangan sesungguhnya tidak mencerminkan
amanat konstitusi (UUD 1945) dan sebagai konsekuensinya sebagian besar kekayaan
hutan Indonesia hanya dinikmati oleh segelintir orang. Perusahaan negara yang lain
seperti Pindad, PAL, IPTN dan INKA (industri kereta api) perlu dikuasai oleh negara.
Kendati dalam perkembangan usaha BUMN tersebut ternyata membutuhkan
dukungan perusahaan-perusahaan swasta, baik yang berkaitan dengan aktivitas
produksi, pengadaan maupun distribusinya, masih dapat dibenarkan namun dengan
aturan bahwa perusahaan-perusahaan swasta tersebut harus mengikuti dan tetap
berada di bawah koordinasi BUMN yang bersangkutan.107
Bahan-bahan pokok kebutuhan rakyat seperti sandang, pangan dan papan
sudah seharusnya dikuasai dan sekaligus dimonopoli oleh negara karena masih
banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk itu PN
Sandang harus berorientasi untuk memproduksi tekstil murah yang terjangkau oleh
rakyat banyak. Untuk kasus spesifik seperti ketergantungan hidup orang banyak
terhadap industri batik tradisional yang dijalankan sebagai industri rumah tangga
(home industry) khususnya di Pulau Jawa, selain memerlukan perlindungan dari
“batik printing”, mungkin perlu dijadikan sebagai perusahaan negara (BUMN) untuk
107
dapat memenuhi kebutuhan rakyat banyak akan tekstil yang murah dan terjangkau.
Demikian pula halnya dengan keberadaan perusahaan perumahan rakyat sudah
semestinya dikuasai dan dimonopoli oleh sebuah perusahaan negara pula.108
Dalam hal adanya keinginan Pemerintah untuk menjual perusahaan negara
kepada swasta (swastanisasi), maka Pemerintah perlu melakukan seleksi yang ketat dan
bersikap rasional terhadap BUMN mana yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan
amanat Konstitusi. Perusahaan negara yang sesuai dengan amanat konstitusi harus tetap
dipertahankan menjadi BUMN (minimum 51 persen sahamnya dikuasai oleh negara) dan
dilindungi atau dimonopoli oleh negara. Sedangkan perusahaan negara yang tidak sejalan
dengan amanat Konstitusi, pihak swasta diperbolehkan membeli seluruh atau sebagian
besar sahamnya. Dalam rencana penjualan BUMN kepada pihak swasta, ada beberapa
pilihan: (i) dijual kepada perorangan; (ii) go-public; dan (iii) dijadikan koperasi. Namun
penjualan BUMN kepada perorangan sebaiknya dihindarkan atau menjadi pilihan
terakhir. Hal ini mengacu pada pemikiran demokrasi ekonomi, bahwa hanya usaha-usaha
kecil yang sebaiknya menjadi usaha perorangan. Sedangkan usaha-usaha berskala besar
seharusnya dimiliki oleh rakyat banyak dalam bentuk koperasi, atau perusahaan terbuka
(go-public) dengan ketentuan misalnya maksimum penguasaan saham oleh perorangan
bervariasi tidak lebih dari 1 sampai 5 persen. Sebagai contoh perusahaan Garuda
108
misalnya, maksimum 25 persen sahamnya harus dimiliki oleh negara, sedangkan sisanya
dijual kepada publik melalui mekanisme pasar modal.109
Diperolehnya dana segar dari masyarakat melalui penjualan saham baru
di pasar modal akan memungkinkan Garuda untuk mengembangkan usahanya ke
depan, dan tidak tertutup pula kemungkinan saham Garuda akan dijual di pasar-pasar
modal luar negeri. Timbulnya keinginan investor asing untuk membeli saham Garuda
atau BUMN-BUMN lainnya, baik saham lama maupun yang baru, tidak lain hanya
untuk kepentingan investor asing itu sendiri. Keberhasilan investasi yang mereka
tanamkan pada perusahaan-perusahaan negara tersebut akan memberikan keuntungan
finansial dalam bentuk capital gain atau pembagian dividen. Singkatnya,
perusahaan-perusahaan negara yang telah menjadi perusahaan-perusahaan terbuka tersebut juga akan
memberi keuntungan yang cukup signifikan bagi pendapatan negara.
Tidak jauh berbeda dengan persoalan batik tradisional di Indonesia, terhadap
perusahaan-perusahaan perkebunan negara (PTP) seperti perkebunan kelapa sawit,
bahwa produk minyak sawit yang dihasilkan PTP itu sendiri bukanlah sepenuhnya
untuk “memenuhi hajat orang banyak”. Dalam hal menswastakan perkebunan negara,
yang menjadi dasar pemikiran adalah banyaknya rakyat petani kelapa sawit yang
mengantungkan hidup pada perkebunan kelapa sawit milik negara tersebut, sehingga
pilihan swastanisasi yang lebih tepat untuk itu adalah pembentukan badan usaha
109
koperasi. Dengan kata lain, saham milik negara pada perkebunan tersebut semuanya
dialihkan kepada anggota koperasi yaitu para petani kelapa sawit. Para anggota
koperasi (para petani) ini membeli saham PTP dengan cara mengansur dari hasil
keuntungan koperasi perkebunan kelapa sawit. Maka pengalihan saham perkebunan
milik negara kepada anggota koperasi, dengan capital-gain ataupun tidak, lebih
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota koperasi (para petani) itu
sendiri. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa para profesional yang mengelola PTP
(pegawai lama) masih tetap bekerja seperti biasa di koperasi, namun mereka tidak
lagi digaji oleh PTP, melainkan oleh koperasi perkebunan. Sistem seperti ini, yaitu
pemisahan fungsi dan kedudukan antara pemilik dan pengelola koperasi (pihak
eksekutif) harus diterapkan untuk menciptakan efektivitas pengawasan internal agar
salah satu tujuan pokok pendirian koperasi dapat tercapai, yaitu meningkatkan
kesejahteraan hidup para anggota koperasi.110
Terhadap BUMN yang masih tetap dipertahankan keberadaannya, tidak
tertutup kemungkinan untuk melakukan kerjasama dengan pihak swasta, baik dalam
patungan modal, dengan persyaratan minimum 51 persen modal usaha tetap dikuasai
negara, maupun dalam bentuk pinjaman, yaitu dengan menerbitkan obligasi negara
misalnya. Sudah pasti bahwa kerjasama usaha dalam bentuk pinjaman ini, pihak
110
swasta sebagai pemegang obligasi menghendaki premi bunga yang kompetitif
di pasar uang atau pasar modal. Kita ambil contoh misalnya PLN bisa berpatungan
dengan modal swasta dan juga dapat menerbitkan obligasi. Dengan cara yang
demikian maka tidak ada alasan yang kuat untuk mendirikan perusahaan listrik
swasta. Dalam hal adanya sinyalemen bahwa PLN memiliki kinerja yang cukup
buruk, itu bisa diperbaiki dengan menyempurnakan struktur organisasinya, misalnya
dengan cara membentuk perusahaan-perusahaan listrik daerah, sehingga beban pusat
yang cukup berat tersebut bisa dikurangi dengan mendesentralisasikan ke
daerah-daerah seperti yang telah dilakukan perusahaan air minum (PAM).
Perusahaan negara di bidang jasa transportasi umum seperti kereta api dan bus
kota idealnya disubsidi oleh negara mengingat kepentingannya yang lebih luas yaitu
untuk “memenuhi hajat hidup rakyat banyak”. Setiap kota seharusnya memiliki satu
perusahaan bus kota yang dimonopoli oleh negara atau pemerintah daerah (Pemda).
Paling tidak pemerintah menunjuk suatu perusahaan swasta untuk monopoli usaha
bus kota atas nama negara, dengan ketentuan boleh mengambil keuntungan
maksimum sekian persen dan tarifnya ditentukan oleh negara. Bahkan bila negara
menghendaki, perusahaan bus kota dapat diberikan subsidi agar tarif angkutan bus
kota menjadi lebih murah untuk lebih meringankan beban masyarakat di bidang jasa
transportasi umum.
Perusahaan negara di bidang industri strategis, antara lain seperti Barata,
Bisma Boma Indra (BBI), INKA, PINDAD, PAL dan IPTN, diketahui memiliki
perusahaan di bidang industri stategis, pada dasarnya persoalannya tidak jauh dari
masalah modal negara yang dirasakan terlalu sempit dan profesionalisme dalam
kaitannya dengan birokrasi dan bisnis. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa
perusahaan negara juga harus menyetorkan keuntungan dan membayar pajak kepada
negara melalui mekanisme APBN. Pendapat seperti ini boleh jadi keliru karena tidak
semua perusahaan negara berorientasi untuk meraih keuntungan semata seperti
seperti perusahaan bus atau kereta api misalnya. Dengan kata lain, perusahaan negara
pun berhak menerima proteksi dari pemerintah pada saat mereka membutuhkan.
Dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi canggih misalnya, proteksi bisa
diberikan kepada PAL, IPTN, atau INKA sampai mereka bisa mandiri. Pemberian
proteksi terhadap industri strategis seperti tersebut di atas lebih bisa diterima akal,
ketimbang memberikan proteksi kepada pabrik mobil. Di Indonesia, dengan
mengambil contoh mobil Kijang yang dijual Rp.30 juta, padahal seharusnya laku
Rp.10 juta, disubsidi oleh rakyat dan ekonomi Indonesia sebesar sekitar Rp.20 juta
dikalikan dengan produksinya sekitar 250 ribu setahun, atau Rp. 5 trilyun. Dengan
kepemilikan dana sebesar itu, hampir dapat dipastikan bahwa industri-industri
strategis dimaksud akan bisa memberikan manfaat bagi negara.111
Dari sisi lain diketahui bahwa kondisi PAL tidak sama dengan kondisi IPTN.
Sebab pasar pesawat terbang di Indonesia sudah terbentuk, khususnya yang
komersial. Dengan demikian secara ekonomis industri pesawat terbang bisa
menyerap hasil IPTN, kendati IPTN sendiri pun untuk sementara masih perlu
111
dilindungi sampai produknya menjadi kompetitif baik di pasar domestik maupun
dunia. Sedangkan PAL sendiri memiliki persoalan yang lebih berat. Sebab pasar
sealines dan sea carriers, belum sepenuhnya terbentuk. Oleh sebab itu industri jasa
di bidang kelautan harus diciptakan terlebih duhulu agar mampu menyerap produk
PAL. Dengan kata lain, PAL masih memerlukan perlindungan sepanjang belum bisa
mandiri. Untuk itu PAL perlu diberi subsidi harga, agar produknya bisa dibeli murah
oleh sealiners dan sea carriers, khususnya untuk kebutuhan dalam negeri. Kalau saja
PAL misalnya bisa memperoleh order 10 kapal saja setahun dengan kapasitas 10 ribu
hingga 30 ribu ton selama 10 tahun. Dengan modal usaha beberapa ratus milyar
rupiah, maka dalam rentang waktu itu niscaya pasar jasa kapal Indonesia akan hidup
dan berkembang seperti jasa pesawat udara sekarang.112
4. Badan Hukum dan Sektor Usaha
Kepemilikan negara atas BUMN menurut badan hukumnya terdiri atas 4
(empat) kelompok yaitu: Persero, Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Jawatan
(Perjan), dan Patungan Minoritas.113
112
Ibid, hal. 153-154.
113
Persero adalah BUMN yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 9
Tahun 1969. Undang-undang mengenai Perseroan ini terus mengalami
penyempurnaan seiring dengan perkembangan perekonomian nasional, salah satunya
adalah penerbitan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang BUMN yang berbentuk
Perseroan Terbatas (PT). Kemudian Pemerintah menerbitkan pula Peraturan
Pemerintah No. 12 Tahun 1998 yang antara lain menetapkan, bahwa BUMN yang
berbentuk PT, seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan modal secara langsung.114 Dalam kelompok Persero ini, anak perusahaan
juga termasuk115
Perum sebagai BUMN diatur berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1969
yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1998
yang antara lain menetapkan, bahwa Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya seperti milik Holding Company PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) dan PT
Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS).
keuntungan yang layak atau dibolehkan. Memang perusahaan public utilities tidak boleh merugi dan harus untung, guna reinvestasi, depresiasi, dan ekspansi di masa depan. Namun, perolehan laba dalam hal ini, tidak boleh dipaksakan karena monopoli dan tidak ada alternatif bagi konsumen yang bisa ditentukan sekehendak pengelola perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan public utilities boleh dan berhak mengambil keuntungan, tetapi dalam batas yang wajar, layak, patut, dan memenuhi kriteria yang dirumuskan secara kuantitatif dengan memperhatikan prinsip akuntansi yang sehat untuk menjamin survival dan pertumbuhan perusahaan. Di Inggris misalnya, sektor public utilities, seperti air, listrik, gas, kereta api, dan Telkom, perhitungan menggunakan Rate of Return (ROR) dan Return Price Index Minus X (RPI-X). Dua pola ini merupakan perhitungan teknis ekonomis yang sudah mencakup kebutuhan deprisiasi, investasi, ekspansi, penelitian dan pengembangan masa depan. Dengan menggunakan ukuran ROR dan RPI-X untuk utility public harus mengumumkan secara terbuka kalkulasi laba-rugi, cash flow, investasi, serta target pengembalian investasi dan margin yang ingin diperoleh dalam waktu tertentu. Semua harus menjadi milik publik, paling sedikit harus didiskusikan di DPR, pers, dan cendikiawan sebelum keputusan diambil oleh komisi tarif independen. Di Indonesia sampai saat ini masih dikelola oleh birokrat dan teknokrat secara mutlak dan untuk publik bersifat kacau atau sporadik. Ibrahim R., Op.Cit, hal. 13.
114
Pasal 1 ayat (2) PP No. 12 Tahun 1998 tentang Persero.
115
dimiliki oleh negara, yaitu kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas
saham.116
Perjan sebagai BUMN diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 yang
selanjutnya disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2000 yang
antara lain menyebutkan, bahwa Perjan adalah BUMN yang seluruh modalnya
dimiliki oleh Pemerintah dan merupakan kekayaan negara, yang tidak dapat
dipisahkan serta tidak terbagi atas saham-saham.117
Sedangkan kepemilikan negara pada Perusahaan Patungan Minoritas adalah
berbentuk saham atas perusahaan bersangkutan melalui penyertaan modal langsung
dengan jumlah saham kurang dari 51%.
Berdasarkan sektor usahanya, BUMN dapat dibagi ke dalam 6 (enam)
kelompok besar. Dari ke-6 kelompok sektor usaha BUMN tersebut, yang paling
banyak adalah BUMN yang bergerak di sektor usaha industri dan perdagangan. Hal
ini mungkin terkait erat dengan strategi pemerintah untuk mengimbangi peranan
perusahaan swasta nasional dan asing di sektor usaha yang sama. Apabila dirinci
lebih jauh menurut sektor usahanya, perusahaan-perusahaan BUMN tersebut hampir
merambah ke semua sektor bisnis yang ada di Indonesia. Misalnya kelompok BUMN
yang bergerak di sektor industri dan perdagangan, bidang usaha yang dimasuki
perusahaan-perusahaan BUMN tersebut antara lain industri pupuk, semen, farmasi,
tekstil, kertas penerbitan, percetakan, sampai ke industri yang sifatnya strategis
116
Pasal 1 ayat (1) PP No. 13 Tahun 1998 tentang Perum.
117
seperti industri pesawat terbang, bahan peledak dan sebagainya. Selain itu,
perusahaan-perusahaan BUMN juga memasuki industri manufaktur seperti
telekomunikasi, pelabuhan laut, bandar udara, kelistrikan, dan sebagainya.
Tabel 2 berikut ini memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai peta
30 Energi 4 4 - - - 31 Industri Berbasis
Teknologi
5 5 - - -
32 Baja dan Konstruksi Baja
3 3 - - -
33 Telekomunikasi 5 3 - - -
34 Industri Pertahanan 2 2 - - -
35 Semen 3 3 - - -
36 Industri Sandang 2 2 - - -
37 Aneka Industri 3 3 - - -
Jumlah 161 124 11 25 1
Sumber: Kementerian BUMN, Tahun 2007.
C. Peranan Negara dalam Sistem Perekonomian Nasional
Terjadinya krisis ekonomi dunia pada tahun 1929 menyebabkan negara tidak
lagi bersifat pasif, di mana untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, negara
dituntut ikut campur dalam segala aspek kehidupan sosial, dengan adigium, negara
bertanggung jawab atas kesejahteraan setiap warga negaranya mulai dari buaian ibu
sampai masuk liang kubur (from the craddie to the grave). Pada tahun-tahun
berikutnya, boleh dikatakan tidak ada satupun aspek kehidupan yang lepas dan
campur tangan negara dan peran sentral negara tersebut, yang dapat bertahan sampai
tahun 1960-an, karena keterlibatan negara terlalu jauh dalam kehidupan masyarakat.
Ironisnya bukannya masyarakat makin sejahtera, justru yang terjadi sebaliknya.118
Melihat kondisi seperti itu, lebih dari 40 persen sektor negara di Inggris
(1980-1988) diubah menjadi perusahaan swasta dan berhasil meningkatkan
kesejahteraan rakyat, sehingga keberhasilan itu merupakan model utama dalam
118
perubahan global dari negara kesejahteraan (welfare state) menjadi privatisasi atau
penswastaan BUMN. Ini kemudian menjadi tren dunia, sehingga tidak ada satu
negara pun yang tidak ikut, tak terkecuali Indonesia. Negara yang memiliki tradisi
demokrasi dan negara maju yang mengikuti jejak Inggris berhasil, sedangkan negara
sedang berkembang kebanyakan salah urus dalam privatisasi, termasuk Indonesia.119
Boleh dikatakan bahwa format keterlibatan negara dalam aktivitas ekonomi
bersumber pada politik ekonomi suatu negara, sebagai konsekuensi dari
perkembangan ajaran welfare state. Kemudian muncul berbagai pertanyaan: Apakah
politik ekonomi menghendaki atau mengharuskan keterlibatan negara dalam bentuk
perusahaan negara (BUMN). Apabila jawabannya: ya, pertanyaan selanjutnya:
apakah keterlibatan negara itu secara keseluruhan atau terbatas. Bila keterlibatan
negara terbatas, maka perlu dirumuskan di mana batas-batasnya, apa saja yang boleh
dimasuki, apa saja yang tidak boleh dimasukinya. Dari latar belakang inilah yang
kemudian melahirkan bentuk atau jenis BUMN.120
Persoalan peranan negara atau pemerintah di bidang perekonomian sudah
sejak lama menimbulkan perdebatan ideologis antara empat aliran utama mazab
119
Ibid. Dapat ditambahkan bahwa konsep keterlibatan negara dalam bidang ekonomi secara riil, untuk pertama kali dikemukakan oleh Beveridge, seorang anggota Parlemen Inggris dalam laporannya dan mengandung suatu program sosial, yaitu: pemerataan pendapatan masyarakat, kesejahteraan sosial sejak manusia lahir sampai meninggal dunia, penyediaan lapangan kerja, pengawasan atas upah oleh pemerintah, dan usaha dalam bidang pendidikan. Jika dikaji laporan dari Beveridge terkandung konsep negara kesejahteraan, yang akhirnya meluas dan diterima oleh banyak pihak. Tahap perkembangannya, sejak tahun 1883, Kanselir Jerman Otto Von Bismarck memperkenalkan Asuransi Sosial yang dibiayai oleh pemerintah dan tahun 1889 lahirlah UU Pensiun, yang memberikan pensiun kepada pekerja usia 70 tahun. Kemudian, Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt, 46 tahun kemudian mempertegas dan mempopulerkan kembali konsep negara kesejahteraan tersebut dengan program New Deals Social Secyrity Acts 1935. Ibid, hal. 11.
120