• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebaran Kepemilikan Saham Pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk Menciptakan Perusahaan yang Sehat dan Efisien

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyebaran Kepemilikan Saham Pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk Menciptakan Perusahaan yang Sehat dan Efisien"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEPEMILIKAN DAN PENGELOLAAN PERUSAHAAN NEGARA

A. Pengantar

Hukum ekonomi Indonesia masih membutuhkan peraturan

perundang-undangan dan upaya harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional juga

sangat diperlukan agar bisa mengakomodir berbagai macam kebutuhan dalam

pengelolaan ekonomi nasional yang sekarang ini telah berubah sebagai akibat dari

fenomena baru dalam dunia bisnis, baik pada skala nasional, regional, maupun

internasional.

Pembenahan mendesak di bidang ekonomi adalah landasan yuridis sistem

ekonomi nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Agar perekonomian nasional dapat dikelola dengan baik maka diperlukan suatu

pedoman jelas, misalnya dalam suatu peraturan perundang-undangan yang

berlandaskan konstitusi. Sebab hingga saat ini masih ditemukan multi penafsiran atas

Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Sebagai contoh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

sebagai salah satu pelaku usaha yang didirikan oleh negara berdasarkan Pasal 33

UUD 194564

64

Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa segala sesuatu yang menyangkut “hajat hidup orang banyak” harus dikuasai oleh negara, dan implementasi penguasaannya antara lain ditafsirkan dilakukan oleh pelaku ekonomi, yaitu BUMN. Pandji Anoraga, BUMN Swasta dan Koperasi, Tiga Pelaku Ekonomi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995), hal. 90.

memiliki fungsi dan peran strategis dalam pembangunan ekonomi

(2)

Sampai pada 31 Desember 1997 saja BUMN mengelola aset sekitar Rp 461,6 trilyun

dan beberapa diantaranya bahkan menguasai industri hulu yang sangat vital dan

strategis.65

Sebenarnya Pasal 33 UUD 1945 adalah suatu amanat dari Proklamasi dan

UUD 1945 mengenai perekonomian nasional Pancasila. Yang dimaksudkan dengan

ini adalah suatu susunan perekonomian Indonesia, yang pusatnya adalah kemakmuran

rakyat. Yang dimaksud dengan ini adalah mendahulukan tercapainya kemakmuran

rakyat, dan di atas itu dibangun secara berencana hal-hal dan bidang-bidang lain dari

kehidupan rakyat.66

Sejak operasionalisasi BUMN menghadapi banyak persoalan dan tantangan

besar, misalnya sebagian besar BUMN menderita kerugian yang cukup signifikan

karena dikelola secara tidak efisien dan produktivitas yang rendah sehingga aneka

65

Harian Kompas, 27 April 1998, hal. 9.

66

(3)

bentuk perusahaan negara ini tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi dalam

persaingan bisnis baik di pasar domestik maupun internasional. Beberapa faktor yang

menyebabkan pengelolaan sebagian besar BUMN tidak efisien sehingga mengalami

kerugian dan menjadi beban keuangan negara antara lain: (i) kaburnya status hukum

dan struktur organisasi BUMN, tidak jelas apakah BUMN merupakan suatu pelaku

ekonomi yang memiliki otonomi penuh ataukah hanya sebagai pelaksana atau bagian

dari struktur organisasi suatu departemen; (ii) mayoritas BUMN tidak memiliki

budaya perusahaan (corporate culture), visi dan misi perusahaan; (iii) kurangnya jiwa

entrepreneur dan profesionalisme SDM yang mengelola BUMN, sehingga kinerja dan

produktivitas sangat rendah: dan (iv) BUMN tidak dikelola dengan prinsip-prinsip

manajemen bisnis yang baik (good corporate governance) sebagai akibat dari campur

tangan pemerintah yang terlalu besar atau dominan dalam operasional perusahaan.67

Dalam pembahasan RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), pemerintah

meletakkan posisi BUMN bukan sebagai badan atau lembaga publik, melainkan

sebagai badan usaha atau lembaga privat. “Meski keseluruhan atau sebagian besar

modalnya dimiliki pemerintah, BUMN adalah badan usaha dan bukan instansi

pemerintah. Kekayaan BUMN bukanlah kekayaan negara. Sesuai Pasal 4 UU

67

(4)

BUMN, modal BUMN berasal dari ‘kekayaan negara yang dipisahkan’. Status aset

dan kekayaan yang ada di BUMN hasil pengelolaan modal merupakan aset dan

kekayaan BUMN itu sendiri karena keuangan dan kekayaan negara yang ada

di BUMN hanyalah sebatas modal atau saham.68

Sebenarnya fenomena BUMN berlaku dalam sistem ekonomi manapun,

termasuk kapitalis liberal. Dalam mengawasi dan mengontrol adalah terjaminnya

mekanisme kontrol sosial yang efektif untuk menindak manajemen bila terbukti tidak

mampu menyediakan pelayanan barang dan jasa secara baik, benar, wajar, dan adil.

Persoalannya adalah menyangkut social accountability yang bersifat politik, sebab

manajemen BUMN biasanya ditunjang berdasarkan kriteria politik. Keterkaitannya

yang begitu erat dengan politik menjadikan BUMN sebagai bagian dari birokrasi

yang absurditas, yang sering berakibat kepada kepentingan status quo kekuasaan

politik, celakanya seperti Indonesia masih bermental “monarki absolut kapiten”, yang

kebal dari segala kritik, membuat BUMN maju-mundur dan tak mampu bersaing.

Kendala yang dihadapi adalah tidak memiliki grand unified design pengelolaan

ekonomi Indonesia berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, yang diperankan oleh BUMN

bersama-sama dengan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi untuk

mengimplementasikan hak konstitusional publik.

69

68

RUU KIP: “BUMN Ingin Tetap Sopan”, Majalah BUMN TRACK, Desember 2007, hal. 10.

69

(5)

B. Pendirian Perusahaan Negara (BUMN) di Indonesia

Pasal 10 ayat (1) UU BUMN menetapkan bahwa pendirian BUMN diusulkan

oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji

bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. BUMN yang berbentuk

Persero, organnya adalah RUPS, Komisaris, dan Direksi. Sedangkan untuk Perum,

organnya adalah RUPS, Dewan Pengawas, dan Direksi.

Selanjutnya sesuai dengan Pasal 2 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN,

maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah (1) memberikan sumbangan bagi

perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan negara; (2) mengejar

keuntungan; (3) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang

dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang

banyak; (4) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan

oleh sektor swasta atau koperasi; dan (5) turut aktif memberikan bimbingan dan

bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.

(6)

Berdasarkan prinsip-prinsip korporasi, Pemerintah juga dapat memberikan

penugasan-penugasan khusus kepada BUMN, namun harus mendapatkan persetujuan dari RUPS/Menteri,

dan penugasan khusus tersebut dapat ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan.70

1. Sejarah Ringkas

Seiring dengan konfrontasi politik di Indonesia pada tahun 1959, Pemerintah

telah mengambilalih perusahaan-perusahaan asing termasuk perusahaan Belanda.71

Ketika itu pemerintah menginginkan dan berharap agar perusahaan-perusahaan Belanda

yang telah diambil-alih dapat dikelola dan dikembangkan oleh para pengusaha swasta

pribumi, akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa para pengusaha swasta pribumi saat

itu belum memiliki kemampuan untuk menanganinya karena keterbatasan modal usaha

dan sumber daya manusia. Sejumlah pengusaha etnis Tionghoa yang bersedia membeli

dan mengelola eks perusahaan-perusahaan Belanda tersebut ditolak Pemerintah dengan

alasan pengusaha etnis Tionghoa tidak boleh lagi mendominasi dunia usaha di bidang

perdagangan, industri dan pertanian seperti pada jaman pemerintahan kolonial Belanda.

Karena itu Pemerintah akhirnya mengambil keputusan mendirikan sejumlah perusahaan

negara untuk mengelola eks perusahaan-perusahaan Belanda dimaksud.72

70

Bacelius Ruru, (1), dalam Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), Op.Cit., hal. 129-143.

71

Menurut Martiono Hadianto (ketika menjabat Direktur Jenderal BUMN Depkeu RI), BUMN didirikan dengan latar belakang yang berbeda, misalnya BUMN yang berasal dari nasionalisasi beberapa perusahaan ex Hindia Belanda (Jawatan Kereta Api dan Pegadaian). “Di samping

meneruskan warisan pemerintah Hindia Belanda, pemerintah mendirikan beberapa BUMN di antaranya Garuda, Pelni, Jakarta Liyod (sektor perhubungan), BNI, BRI (sektor perbankan), PT

Semen Gresik dan PT Pupuk Sriwijaya (sektor manufaktur). Selain itu pemerintah juga mendirikan BUMN yang berasal dari pengambilalihan perusahaan Inggris, Malaysia dan Singapura”. Martiono Hadianto, “Peran dan Posisi BUMN dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua” dalam Moh. Arsjad Anwar dkk (ed), Strategi Pembiayaan & Regrouping BUMN: Upaya Menciptakan Sinergi dalam Rangka Peningkatan Daya Saing BUMN, (Jakarta, 1994), hal. 11-12.

72

(7)

Kebijakan yang diambil Pemerintah pada awal tahun 60-an tersebut hampir

mengalami kebuntuan karena Indonesia pada masa itu belum memiliki sumber daya

manusia yang cukup memadai untuk menjalankan perusahaan-perusahaan berskala

besar secara efisien dan produktif. Dalam pada itu, pengusaha pribumi sendiri belum

memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak untuk memimpin unit usaha

yang besar. Untuk mengatasi masalah sumber daya manusia ini Pemerintah

mengerahkan sumber daya manusia dari kalangan militer yang ketika itu relatif cukup

baik. Di Indonesia, kalangan militer telah berpengalaman dalam mengelola

kegiatan-kegiatan berskala besar seperti pengadaan personil (rekruitmen, pendidikan dan

pelatihan) dan logistik (pengadaan, pengangkutan dan logistik), sehingga boleh

dikatakan bahwa kebijakan Pemerintah inilah yang menumbuhkan embrio dwifungsi

militer di Indonesia.73

Pada masa ini, perusahaan negara diatur dengan berbagai peraturan

perundang-undangan seperti Undang-Undang Perusahaan Negara (Indonesiche Bedrijven Wet/IBW),

Undang-Undang Perbendaharaan Negara (Indonesische Comptabliteits Wet/ICW), Kitab

73

Indra Bastian, Ibid, hal. 94. Dapat ditambahkan bahwa posisi dan peranan negara dalam perekonomian nasional pasca kemerdekaan sangat dominan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: (1) Situasi negara yang baru lepas dari penjajahan tidak memiliki social overhead capital (SOC) sebagai modal pembangunan; (2) Besarnya kerugian dan kerusakan public utilities sebagai akibat perang; dan (3) Terpinggirkannya pengusaha pribumi (sebagai kelas ketiga setelah pengusaha Eropa dan Keturunan Arab dan China). Berbagai permasalahan tersebut mendorong pemerintah untuk berperan lebih besar dan melakukan beberapa intervensi untuk mendorong tumbuhnya perekonomian nasional. Upaya menggerakkan perekonomian dalam masa demokrasi parlementer diimplementasikan melalui Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) dan Program Benteng yang ditujukan untuk membantu pengusaha pribumi. Beberapa kebijakan ekonomi pemerintah juga diarahkan untuk mendorong perekonomian nasional dengan mendirikan perusahaan negara melalui proses nasionalisasi. Nasionalisasi terutama terjadi pada beberapa perusahaan Belanda di bidang infrastruktur yang bersifat natural monopoly. Lihat Setyanto P. Santosa, “Privatiasi: Penerapan

Nasionalisme Pengelolaan BUMN”,

(8)

Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Dagang.74 Pengaturan perusahaan negara

dengan berbagai ketentuan tersebut pada akhirnya menimbulkan kesulitan di bidang

administrasi dan pengawasan oleh pemerintah. Karena itu, untuk melakukan reorganisasi

alat-alat produksi dan distribusi yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, maka

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.

19 Tahun 1960. Dengan Perpu ini, pengertian perusahaan negara diseragamkan yaitu

semua perusahaan dalam bentuk apapun yang modalnya untuk seluruhnya merupakan

kekayaan Negara Republik Indonesia kecuali jika ditentukan lain dengan atau

berdasarkan Undang-Undang.75

Sistem ekonomi terpimpin di masa Orde Lama (ORLA) memfungsikan

perusahaan-perusahaan negara sebagai instrumen industrialisasi ekonomi dan

pengelolaannya didominasi oleh militer. Ketika kekuasaan ORLA berakhir pada

tahun 1967, perusahaan negara telah mendominasi perekonomian seperti perbankan,

perdagangan, perkebunan, pertambangan, perminyakan, industri manufaktur, industri

barang modal, bahkan industri berat seperti industri baja, perkapalan, elektronika dan

semen. Seiringan dengan itu pula, kalangan pengusaha semakin maju dan

berkembang pada sektor perdagangan, transportasi, industri ringan dan industri jasa

karena mereka bernaung dalam suatu asosiasi yang dikendalikan oleh Pemerintah.

Perusahan-perusahaan negara bisa menjadi kuat karena disubsidi dan diproteksi oleh

Pemerintah dengan maksud agar perusahaan-perusahaan negara tersebut dapat

74

Marwah M. Diah, Op.Cit., hal. 184.

75

(9)

berperan sebagai agent of industrial growth. Namun kebijakan Pemerintah ini dinilai

pilih-kasih dan berdampak buruk terhadap perkembangan peranan swasta dalam

konteks pembangunan perekonomian nasional.76

Konsep Presiden Soekarno tentang sistem ekonomi nasional ternyata

dipengaruhi oleh “laporan-laporan yang diterima dari Atase Indonesia di Yugoslavia,

yang telah menggunakan perusahaan negara sebagai kendaraan untuk pembangunan

nasional dengan sukses luar biasa. Perusahaan negara juga merupakan kompromi

yang berhasil antara kapitalisme dan komunisme dan secara politis berhasil karena

Yugoslavia merupakan anggota blok komunis yang paling condong keluar”.77

Kemudian perubahan mendasar terjadi dalam sistem perkonomin Indonesia

ketika Orde Baru (ORBA) mengambil alih kekuasaan pada tahun 1967. Terjadinya

perubahan mendasar tersebut terutama dipengaruhi oleh dua lembaga donor

internasional, yaitu International Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan

International Bank for Reconstruction & Development (IBRD). Kedua lembaga

donor ini berhasil meyakinkan Pemerintah bahwa upaya pemulihan perekonomian Dengan mengembangkan perusahaan negara pada seluruh sektor ekonomi, di mana

masing-masing perusahaan negara memiliki wewenang eksklusif atas sektor ekonomi

yang vital dan strategis, Presiden Soekarno berharap pembangunan ekonomi nasional

bisa berhasil dan meningkat dengan cepat.

76

Indra Bastian, Op.Cit., hal. 94.

77

(10)

Indonesia harus didukung oleh bantuan luar negeri. Namun untuk dapat memperoleh

bantuan luar negeri tersebut, kedua lembaga donor dimaksud mensyaratkan

Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan “pintu terbuka” untuk memberi jalan

masuknya modal asing. Agar bantuan luar negeri tersebut dapat diperoleh, maka

Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1969 tentang Penanaman

Modal Asing (PMA) yang telah mendorong masuknya modal asing ke Indonesia

melalui berbagai perusahaan multinasional.

Dalam tahun yang sama, Pemerintah kembali mengeluarkan Perpu No. 1

Tahun 1969 yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 yang

berhasil mengurangi jumlah BUMN dari sekitar 822 menjadi 184 perusahaan.

Dengan Undang-Undang ini, BUMN dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu

Perjan, Perum dan Persero. Selain itu, ada lagi bentuk BUMN yang diatur secara

khusus dengan undang-undang tersendiri yaitu bank-bank milik pemerintah dan

Pertamina.78

78

Perjan adalah BUMN yang berusaha di bidang penyediaan jasa-jasa bagi masyarakat termasuk pelayanan kepada masyarakat, permodalannya termasuk bagian dari APBN yang dikelola oleh Departemen yang membawahinya, dan statusnya berkaitan dengan hukum publik (IBW dan ICW); Perum adalah BUMN yang berusaha di bidang penyediaan pelayanan bagi kemanfaatan umum di samping mendapatkan keuntungan, modal seluruhnya milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan dan berstatus badan hukum yang diatur dengan undang-undang; dan Persero adalah BUMN yang bertujuan untuk memupuk keuntungan dan berusaha di bidang-bidang yang dapat mendorong perkembangan sektor swasta dan koperasi, di luar bidang usaha Perjan dan Perum, modal seluruhnya atau sebagian adalah milik negara dari kekayaan yang dipisahkan dan terbagi atas saham-saham serta berstatus badan hukum perdata yang berbentuk perseroan terbatas (PT). Marwah M. Diah, Op.Cit., hal. 184-186.

(11)

utilities (perposan, telekomunikasi, listrik, gas, kereta api dan penerbangan), industri

vital strategis (minyak, batu bara, besi baja, perkapalan dan otomotif), dan bisnis.79

Setahun kemudian diundangkan pula Undang-Undang No. 6 Tahun 1970

tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang mendorong terciptanya

perusahaan-perusahaan raksasa milik sekelompok kecil pengusaha etnis Tianghoa.

Seiring itu pula, lahir perusahaan-perusahaan besar milik badan-badan usaha yang

terkait dengan sejumlah yayasan dan oknum militer, yang diduga mewakili militer

sebagai institusi. Diperkirakan bahwa sejak saat ini mulai tercipta hubungan

kepentingan antara berbagai perusahaan swasta dengan militer dan elit politik yang

berkuasa dalam berbagai bentuk kerjasama yang ditengarai bernuansa kolusi, korupsi

dan nepotisme (KKN).80

Ketika Indonesia memperoleh keuntungan yang sangat besar akibat

melambungnya harga minyak dan gas bumi di pasar internasional, tidak bisa

dipungkiri fakta bahwa “rejeki nomplok” tersebut memberikan andil yang cukup

besar dalam peningkatan perekonomian nasional. Terciptanya kondisi ekonomi yang

cenderung semakin baik dan ditopang pula oleh stabilnya kehidupan politik nasional

pada awal tahun 1980-an ini, adalah faktor utama pendorong bagi pelaksanaan

kegiatan-kegiatan ekonomi nasional. Kurang lebih dua pertiga penerimaan

pemerintah bersumber dari minyak dan gas bumi. Namun, booming penerimaan dari

migas yang berlimpah dan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi

79

Christianto Wibisono, dalam Ibrahim, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 107.

80

(12)

pemerintah saat itu ternyata tidak disertai dengan sistem pengelolaan keuangan yang

baik, khususnya dalam tubuh BUMN. Di samping maraknya masalah KKN,

pemerintah pusat justru memberi suntikan dana secara besar-besaran kepada beberapa

BUMN karena pemerintah merasa mampu memberi subsidi untuk berbagai kegiatan,

termasuk membantu kegiatan BUMN yang sebetulnya kurang efisien. Tabel 1 berikut

ini dapat menggambarkan betapa besarnya suntikan dana yang diberikan oleh

pemerintah kepada BUMN, termasuk untuk BUMN yang merugi, sejak periode

1975-1980.81

Tabel 1. Suntikan Modal Pemerintah Pusat kepada BUMN

Tahun Rp

(Miliar)

USS (Juta) Tahun Rp (Miliar)

USS (Juta)

1975 109 263 1981 481 770

1976 218 525 1982 337 539

1977 167 402 1983 592 595

1978 129 311 1984 336 312

1979 253 405 1985 412 366

1980 476 762 1986 91 79

Sumber: A. Effendy Choirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2003), hal. 4-5.

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara

Pembinaan dan Pengawasan Perjan, Perum dan Persero dimaksudkan untuk

meningkatkan peranan perusahaan negara dan sekaligus pengendaliannya oleh

Pemerintah. Dengan adannya PP ini Pemerintah memiliki kewenangan yang sangat

besar dalam hal pengelolaan BUMN dan sekaligus membatasi kewenangan

81

(13)

pengelolanya (manajemen). Kewenangan Pemerintah ini dilaksanakan oleh

Departemen Keuangan sebagai wakil pemegang saham dan departemen teknis

sebagai kuasa wakil pemegang saham. Dapat dikatakan bahwa PP tersebut

memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan BUMN itu sendiri karena

berdasarkan penelitian diketahui bahwa dalam hal rekruitmen direksi dan dewan

komisaris, peranan dan kepentingan kedua departemen dimaksud sangat dominan.

Direksi dan komisaris bertindak hanya untuk kepentingan dan keuntungan dari

departemen yang menunjuk atau mengangkatnya, bukan berdasarkan profesionalisme

sehingga kemandirian manajemen BUMN sebagai lembaga bisnis menjadi hilang.

Kedua departemen tersebut selalu mencampuri operasionalisasi BUMN sehingga

menyulitkan pihak manajemen untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, karena

dalam prakteknya kedua pimpinan (menteri) dari departemen tersebut seringkali

memiliki visi yang bertentangan membuat direksi BUMN sulit untuk dapat

mengelolanya dengan baik, terutama dalam hal pengambilan keputusan untuk

pengembangan BUMN itu sendiri. Dalam seminar The CEO Business Summit/Profile

& Anatomy of Privatization yang diselenggarakan pada tanggal 25 Oktober 1994, tiga

direktur utama BUMN mengungkapkan bahwa PP No. 3 Tahun 1983 memang

menimbulkan kesulitan bagi mereka dalam pengelolaan dan pengembangan

BUMN.82

82

(14)

Jatuhnya harga minyak bumi pada tahun 1986 membawa akibat signifikan

terhadap perkembangan BUMN. Terpuruknya harga minyak bumi membuat

penerimaan negara dari sektor migas menjadi berkurang, sehingga Pemerintah

mengambil kebijakan pengetatan anggaran, termasuk pemberian subsidi untuk

berbagai kegiatan perekonomian seperti BUMN.83

kesinambungan usahanya terancam dan bangkrut. Dengan demikian BUMN menghadapi masalah dasar yang sama dengan organisasi bisnis atau perusahaan swasta lainnya sehingga ketahanan perusahaan harus dijaga. Biaya produksi harus ditekan semaksimal mungkin untuk memperkuat persaingan dan survival. Di sisi lain, BUMN berhadapan langsung (head to head) dengan kompleksitas birokrasi, politik, dan kekuasaan. Undang-Undang BUMN mencabut garis komando kementrian terhadap BUMN karena BUMN menjadi “sapi perah” dan ajang moral hazard. Meski demikian, intervensi politik, birokrasi, dan kekuasaan masih tetap besar sehingga membuat BUMN seperti terikat kakinya. Didiek J. Rachbini, (1), “BUMN dan Pilitik“, Harian Suara Merdeka, Senin, 09 Oktober 2006.

Untuk memberdayakan kembali

peranan BUMN, pemerintah mengeluarkan PP No. 55 Tahun 1990 tentang

Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang Menjual Sahamnya Kepada Masyarakat

Melalui Pasar Modal. Melalui PP ini pemerintah memberikan otonomi yang luas

kepada BUMN yang telah go-public. Artinya, pemerintah memiliki keinginan yang

kuat untuk dapat menciptakan BUMN yang mandiri dan memiliki kemampuan yang

cukup sebagai pelaku ekonomi dalam menghadapi era perdagangan bebas. Untuk itu

pemerintah membebaskan BUMN dari kontrol birokratis. Hubungan antara

pemerintah sebagai pemegang saham dengan pengelola BUMN dijalankan secara

profesional. Misalnya di dalam pengambilan keputusan, Direksi BUMN cukup hanya

dengan melakukan konsultasi dengan Dewan Komisaris. Dalam hal ini jelas bahwa

pemerintah berusaha untuk mendorong pengelolaan BUMN dilakukan sesuai dengan

83

(15)

prinsip-prinsip usaha swasta dan mengubah statusnya dari Perjan menjadi Perum dan

selanjutnya meningkat menjadi Persero.84

Selanjutnya, pengertian “Badan Usaha Negara” dihubungkan dengan

keberadaan Bank-Bank Pemerintah, seperti dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) dan

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968, Pasal 14 Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1967 jo. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Prp Tahun

1960 tentang Bank Pembangunan Indonesia. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1967 jo. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1968

tentang Bank Negara Indonesia 1946, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18

Tahun 1968 tentang Bank Dagang Negara, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor

19 Tahun 1968 tentang Bank Bumi Daya, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20

tahun 1968 tentang Bank Tabungan Negara, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor

21 Tahun 1968 tentang Bank Rakyat Indonesia, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1968 tentang Bank Ekspor Impor Indonesia. Berdasarkan

ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Bank Milik Negara adalah

“badan hukum yang modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan”.

Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968

diatur bahwa Bank Indonesia adalah milik Negara... dan seterusnya. Selanjutnya

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 mengatur bahwa modal bank

84

(16)

“berjumlah Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) yang merupakan kekayaan negara

yang dipisahkan”.85

Memperhatikan ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972

dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 jo. Instruksi Presiden Nomor

17 Tahun 1967, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 13

Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 jo. Undang-Undang Nomor 21

Prp Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor

18 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 20

Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968, dan Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1968, dapat disimpulkan bahwa “Badan Usaha Negara” adalah “badan

usaha atau perusahaan yang modalnya dimiliki oleh negara, baik seluruhnya maupun

sebagian yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan”.86

Jadi, secara prinsip pengertian “BUMN” dan “Badan Usaha Negara” sama,

yaitu suatu badan usaha atau perusahaan di mana negara melakukan penyertaan

modal, baik sebagian maupun seluruhnya, berasal dari kekayaan negara yang

dipisahkan.87

2. Penggunaan Istilah Perusahaan Negara dan BUMN

Istilah lain yang memiliki makna hampir sama dengan BUMN adalah

“perusahaan negara”. Dalam Pasal 1 UU No. 19 Tahun 1960 (UU 19/1960), yang

dimaksud dengan “perusahaan negara” semua perusahaan dalam bentuk apapun yang

85

Hambra, “Sejarah Terminologi BUMN”, Majalah BUMN TRACK, Desember 2007, hal. 18.

86

Ibid.

87

(17)

modal seluruhnya merupakan kekayaan negara Republik Indonesia, kecuali jika

ditentukan lain dengan atau berdasarkan undang-undang. UU No. 19/1960 tersebut

merupakan upaya pemerintah untuk mengadakan keseragaman bentuk badan usaha

yang dimiliki Negara Republik Indonesia. Dengan pengertian seperti itu, “perusahaan

negara” merupakan bagian dari “BUMN” karena hanya ditujukan pada usaha negara

yang seluruhnya modalnya dimiliki oleh negara. Dengan demikian, usaha negara

yang sebagian modalnya dimiliki negara –walaupun negara memiliki mayoritas

modal pada badan usaha tersebut – tidak dapat dikategorikan sebagai “perusahaan

negara”, melainkan berada dalam lingkup pengertian “BUMN”.88

Dalam rentang sejarah perkembangan sistem pembinaan BUMN, pada tanggal

26 Oktober 1988, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden

Nomor 5 Tahun 1988 tentang Pedoman Penyehatan dan Pengelolaan BUMN (Inpres

5/1998). Dalam Inpres 5/1998 tersebut, badan usaha milik negara mempunyai dua

pengertian, yaitu BUMN dalam arti sempit dan BUMN dalam arti luas. Pengertian

BUMN tersebut kemudian diadopsi oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor

740/KMK.00/1989 tanggal 28 Juni 1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan

Produktivitas BUMN (KMK 740).89

Angka I Butir 1 Inpres 5/1988 dan Pasal 1 Angka 2 KMK 740 mengatur

bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah: a) Badan Usaha yang seluruh

modalnya dimiliki negara; b) Badan Usaha yang tidak seluruhnya dimiliki negara

88

Ibid, hal. 19.

89

(18)

tetapi statusnya disamakan dengan BUMN, yaitu pertama, BUMN yang merupakan

patungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah; kedua, BUMN yang

merupakan patungan antara Pemerintah dengan BUMN lainnya; dan ketiga, BUMN

yang merupakan Badan Usaha Patungan dengan Swasta Nasional/Asing di mana

negara memiliki saham mayoritas (minimal 51%).90

Dengan demikian, BUMN merupakan suatu unit bisnis yang mempunyai

hubungan dengan negara dalam konteks kepemilikannya. Dalam rentang sejarah,

istilah yang dipergunakan, ruang lingkup, dan pengertian unit bisnis tersebut sangat

beragam.91

Seiring dengan perkembangan BUMN, saat ini terdapat dua istilah yang

mengandung makna “keikutsertaan negara dalam badan usaha”. Masing-masing

adalah “Perusahaan Negara” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No. 17/2003) dan “BUMN” sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.92

Berdasarkan Pasal 1 Angka 5 UU No. 17/2003, “Perusahaan Negara” adalah

badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki Pemerintah Pusat.

Pengertian ini sangat luas karena mencakup seluruh badan usaha di mana negara

memiliki modal, walaupun modal tersebut sangat kecil, misalnya hanya 0,01%.

Menurut penulis, pengertian “Perusahaan Negara” berdasarkan UU No. 17/2003

hanya menggunakan pendekatan kepemilikan modal tanpa memperhatikan

90

Ibid.

91

Ibid.

92

(19)

kedudukan “Perusahaan Negara” dalam kerangka hukum korporasi yang berlaku

umum. Pengaturan seperti ini kiranya sangat berkaitan dengan substansi pengaturan

dalam UU No. 17/2003, yaitu mengenai “keuangan negara”. Apabila pendekatannya

kepemilikan modal, sebenarnya lebih tepat apabila UU No. 17/2003 memberikan

pengertian atau mempertegas “makna perlakuan” ketatanegaraan terhadap keuangan

atau kekayaan negara yang tertanam dalam suatu badan usaha. Sehingga istilah yang

dipergunakan bukan mengarah pada subjek (perusahaan), namun lebih pada kegiatan

usaha, yaitu “usaha negara”.93

Berbeda dengan UU No. 17/2003 yang menggunakan istilah “Perusahaan

Negara”, dalam UU No. 19/2003 istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan

93

Ibid. Lihat juga Bacelius Ruru yang mengemukakan bahwa ada pendapat yang mengatakan bahwa terdapat ketidaksinkronan antara UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara (UUKN) dengan UU No. 19/2003 tentang BUMN (UU BUMN). Berdasarkan penjelasan dari Departemen Keuangan (Tim Perumus UUKN), pada tanggal 26 Maret 2203, di Departemen Keuangan dan dalam “suasana kebatinan” UUKN di DPR dijelaskan sebagai berikut: Pertama, pengertian UMN (Pasal 1 Angka 5 UUKN) adalah Perusahaan Negara yaitu badan usaha atau seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Penjelasannya: (1) istilah Perusahaan Negara (PN) dalam UUKN adalah tidak lain dari BUMN. Istilah PN di dalam UUKN bersifat umum yang perumusannya secara khusus diserahkan kepada UU BUMN; (2) UU BUMN menggunakan istilah BUMN, bukan PN, dan membatasi kriteria BUMN yaitu kepemilikan negara 51%; dan (3) istilah Pemerintah Pusat dalam pemilikan PN dimaksudkan untuk membedakan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua, Menteri Keuangan selaku wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara dipisahkan (Pasal 6 ayat (2) huruf a UUKN); dan Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan

pengawasan kepada Perusahaan Negara (Pasal 24 ayat (3) UUKN). Penjelasannya adalah: (1) pengaturan tersebut di atas merupakan penegasan terhadap prinsip-prinsip yang telah dilaksanakan

(20)

keikutsertaan negara dalam suatu badan usaha adalah “BUMN”. Dalam UU No.

19/2003, pengertian BUMN telah diperjelas dan dipertegas. Sejak lahirnya UU No.

19/2003 tanggal 19 Juni 2003, “istilah” dan “pengertian” BUMN dikukuhkan dalam

suatu undang-undang sebagai suatu kesatuan. Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU No.

19/2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya

dimiliki negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan

negara yang dipisahkan. Pengertian BUMN tersebut mengandung beberapa unsur

yang merupakan satu kesatuan makna, yaitu: pertama, berbentuk badan usaha; kedua,

kepemilikan negara pada badan usaha tersebut bersifat langsung; dan keempat, modal

negara tersebut merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.94

Dengan adanya penegasan bahwa BUMN merupakan suatu badan usaha yang

modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, seakan-akan UU No.

19/2003 memberi pesan bahwa BUMN harus dikelola secara profesional dan mandiri

untuk mencapai suatu tujuan usaha, yaitu “keuntungan”. Kesimpulan seperti itu dapat

diabsahkan sehubungan dengan pengaturan mengenai maksud dan tujuan pendirian

BUMN yang salah satunya adalah “mengejar keuntungan”. Di samping itu, makna

“kekayaan negara yang dipisahkan” sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 4

ayat (1) UU No. 19/2003 dapat mempertegas kesimpulan bahwa BUMN harus

dikelola secara profesional dan mandiri.95

94

Hambra, Op.Cit., hal. 19.

95

(21)

Pasal 1 Angka 1 UU No. 19/2003 tersebut juga mempertegas bahwa suatu

badan usaha disebut BUMN apabila negara memiliki modal/saham mayoritas atau

seluruhnya dan penyertaan negara tersebut bersifat langsung. Dengan penegasan

seperti ini, badan usaha yang sebagian kecil saham/modalnya dimiliki negara pun

tidak dapat dikategorikan sebagai BUMN. Dalam konteks ini, penulis berpendapat

bahwa pengertian BUMN secara tidak langsung dapat dimaknai sebagai suatu badan

usaha yang dapat dikendalikan oleh negara melalui kepemilikan saham mayoritas.96

Jika membandingkan pengertian “Perusahaan Negara” berdasarkan UU No.

17/2003 dengan pengertian “BUMN” berdasarkan UU No. 19/2003, terlihat bahwa

pengertian “Perusahaan Negara” lebih luas dari pengertian “BUMN”. Pengertian

“Perusahaan Negara” meliputi badan usaha yang modalnya dimiliki Negara

(i) seluruhnya (ii) sebagian besar dan (iii) sebagian kecil. Sedangkan pengertian

“BUMN” hanya meliputi badan usaha yang modalnya (i) seluruhnya dan (ii) sebagian

besar dimiliki negara.97

Dalam perjalanan BUMN sebagai salah pelaku ekonomi yang memiliki

peranan penting dan strategis dalam menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan

kemakmuran rakyat banyak yang sebesar-besarnya, dapat dikatakan BUMN telah

berhasil mencapai tujuan awalnya sebagai agen pembangunan dan pendorong

korporasi, kendati tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Kinerja BUMN dinilai

belum memadai seperti masih rendahnya keuntungan yang diperoleh dibandingkan

96

Ibid.

97

(22)

dengan modal yang diinvestasikan yang seharusnya sudah mampu menyediakan

barang dan jasa yang berkualitas tinggi bagi rakyat. Di sisi lain, perkembangan

ekonomi dunia berlangsung sangat dinamis terutama kegiatan ekonomi yang

berkaitan dengan liberalisasi dan globalisasi perdagangan yang telah disepakati

bersama secara internasional dalam forum World Trade Organization (WTO),

ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan Asia Pasific Economic Cooperation

(APEC).98

Dan pada era globalisasi ekonomi ini, untuk mengoptimalkan peran dan

fungsinya serta mampu mempertahankan eksistensinya dalam perkembangan

ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, maka tidak bisa tidak BUMN

perlu menumbuhkan jiwa dan semangat korporasi serta profesionalisme yang tinggi

dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance)

guna pencapaian efisiensi yang optimal.

Salah satu masalah terpenting perusahan negara (BUMN) yang tidak kunjung terpecahkan hingga pertengahan tahun 1980-an adalah status dan cara kerjanya. Sebagai kelompok usaha, BUMN merupakan konglomerasi bisnis paling raksasa, dengan penguasaan modal domestik terbesar dalam sistem perekonomian nasional. Dengan jumlah total 215 perusahaan pada tahun 1980-an, kegiatan perusahaan negara tersebut dimulai dari bentuk usaha yang sederhana hingga kepada bisnis yang paling rumit, seperti industri pesawat terbang yang dibangun dan dipimpin oleh Dr Habibie, sebagai saingan utama Widjojo dan kawan-kawannya yang sebagian besar usaha mereka terpusat pada pelayanan publik (penerbangan, peralatan, konstruksi), pertambangan (minyak, gas, timah), keuangan dan perbankan, serta industri manufaktur dasar. Apabila ditinjau dari segi ukuran dan pengaruhnya, tampak nyata bahwa perusahaan-perusahaan negara di Indonesia dalam praktiknya merupakan “negara di dalam negara”. Lihat Hal Hill, The Indonesian Economy Since 1966 (London: Cambridge, 1966), hal. 101. Dari sisi eksternal BUMN juga mengalami banyak hambatan. Berbagai permasalahan yang

dihadapi BUMN menjadi makin berat dengan adanya berbagai permasalahan eksternal seperti: (1) lemahnya nilai tukar mata uang rupiah; (2) tingkat inflasi yang tinggi; (3) neraca perdagangan yang

(23)

Dalam sambutan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan

“BUMN Forum dan Indonesia Business-BUMN Exhibition (IBBEX) 2007” tanggal

12 April 2007 di Jakarta, antara lain mengemukakan bahwa:

“Pemerintah selaku pemegang saham terbesar di BUMN, berkeinginan agar BUMN terus melakukan transformasi bisnis. Transformasi itu dapat dilakukan melalui perubahan dari kultur birokrasi menuju kultur korporasi. Hal itu hanya dapat dilakukan, jika BUMN mampu mengedepankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate

governance), serta membersihkan diri dari segala bentuk

penyimpangan dan penyelewengan. Ke depan, tidak boleh ada lagi BUMN yang terus menerus merugi. Jangan bangga jadi direktur PT. Rugi Abadi. BUMN yang terus merugi, bukan saja tidak dapat memberikan kontribusi pada perekonomian nasional, tetapi juga menjadi beban bagi keuangan negara.

Mencermati perkembangan di masyarakat akhir-akhir ini ---terutama tentang perlu tidaknya negara terlibat dalam kegiatan usaha--- menurut pendapat saya kita harus mengembalikannya pada jiwa dan kandungan yang ada dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara kita dengan tegas menyatakan bahwa, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. Landasan inilah yang harus kita pegang teguh. Landasan inilah yang harus kita jadikan acuan utama, dalam menentukan sejauh mana negara perlu terlibat dalam bidang usaha.

(24)

Salah satu upaya yang harus kita perbaiki bersama-sama adalah, stigma negatif yang melekat pada BUMN. BUMN sering dikategorikan sebagai perusahaan tempat tumbuh suburnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Tindakan hukum yang harus dijalani oleh sejumlah direksi BUMN akhir-akhir ini, seolah-olah membenarkan stigma negatif itu. Pada kesempatan yang baik ini, saya mengajak kepada seluruh jajaran BUMN, marilah kita hapuskan stigma negatif itu. Marilah kita berusaha membersihkan BUMN dari segala bentuk tindakan KKN. Dengan komitmen dan kesungguhan kita, pada saatnya nanti, BUMN harus betul-betul kita kelola sesuai asas good corporate

governance, dan budaya korporasi yang sehat. Dengan pengelolaan

seperti itu, stigma negatif BUMN sebagai sarang korupsi, lambat laun akan terhapus dengan sendirinya.”

Perkembangan BUMN secara garis besar dapat dibagi dalam 4 (empat)

periode sebagai berikut100

a. Periode sebelum kemerdekaan. Keberadaan BUMN sebelum kemerdekaan

diatur dengan ketentuan IBW dan ICW. Di masa ini terdapat sekitar 20 :

100

Marwah M. Diah, Op.Cit, hal. 186-187. Lihat juga Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan, yang mengatakan bahwa “secara politik-ekonomi, pendirian BUMN di Indonesia mempunyai tiga

alasan pokok. Pertama, sebagai wadah bisnis dari aset asing yang dinasionalisasi. Alasan ini terjadi di tahun 1950-an, ketika pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Peristiwa ini

(25)

BUMN yang tunduk pada ketentuan IBW yang bergerak di bidang usaha

Kelistrikan, Batubara, Timah, Pelabuhan, Pegadaian, Garam, PT, Kereta Api

dan Topografi.

b. Periode tahun 1945-1960. Di samping keberadaan BUMN di masa sebelum

kemerdekaan, pada periode setelah kemerdekaan (1945-1960) telah didirikan

pula sejumlah BUMN antara lain Bank Industri Negara, Sera dan Vaksin serta

PT Natour Ltd. Mengingat pentingnya peranan dan fungsi BUMN dalam

pembangunan ekonomi nasional dan dalam rangka pembebasan Irian Barat

dari penjajahan kolonial Belanda, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah

No. 23 Tahun 1958 dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta eks

milik negara Belanda di Indonesia yang beroperasi hampir di semua sektor

seperti perbankan, perkebunan, perdagangan dan jasa.

c. Periode tahun 1960-1969. Konsekuensi dari nasionalisasi

perusahaan-perusahaan swasta eks milik negara Belanda tersebut, maka dalam periode ini

BUMN seluruhnya berjumlah 822 perusahaan dan kemudian jumlah

berkurang menjadi sekitar 200 perusahaan setelah pemerintah melakukan

penataan berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1969.

d. Periode tahun 1969 sampai sekarang. Semenjak tahun 1969, peranan BUMN

semakin meningkat dan penting dalam menunjang Pembangunan Nasional

sejalan dengan pelaksanaan program pembangunan Repelita I di era Orde

(26)

Sebagaimana yang diamanatkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) melalui ketetapan Nomor IV/MPR/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar

Haluan Negara Tahun 1999-2004, digariskan bahwa BUMN, terutama yang usahanya

berkaitan dengan kepentingan umum dan berada dalam sektor usaha yang kompetitif

perlu direstrukturisasi agar perusahaan-perusahaan negara dimaksud dapat

memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan untuk kesejahteraan

rakyat banyak. Untuk itu diperlukan landasan hukum yang kuat untuk

melaksanakannya yaitu Undang-Undang tentang BUMN sebagai pengganti ketentuan

yang lama karena tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Dengan dikeluarkannya

Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, maka kedudukan dan fungsi

BUMN semakin jelas dan terarah. Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang dimaksud

dengan jelas menyebutkan, bahwa “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya

disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya

dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan

negara yang dipisahkan”.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia dalam era perdagangan bebas

dan juga dengan memperhatikan kebutuhan pembangunan ekonomi nasional, maka

Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 secara jelas menyebutkan maksud dan tujuan

dilaksanakannya program restrukturisasi dan privatisasi BUMN. Pasal 72 UU ini

menyebutkan bahwa maksud restrukturisasi BUMN untuk menyehatkan BUMN agar

dapat beroperasi secara efisien, transparan dan profesional. Sedangkan tujuannya

(27)

manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara; (iii) menghasilkan produk dan

layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen; dan (iv) memudahkan

pelaksanaan privatisasi. Selanjutnya Pasal 74 menyebutkan bahwa privatisasi

bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan

meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham persero, sedangkan

maksud privatisasi itu sendiri adalah untuk: (i) memperluas kepemilikan masyarakat

atas persero; (ii) meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan;

(iii) menciptakan struktur keuangan dan manajemen yang baik serta kuat;

(iv) menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif; (v) menciptakan

perseroan yang berdaya saing dan berorientasi global; dan (vi) menumbuhkan iklim

usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.101

Sampai kepada era reformasi sekarang ini, peranan BUMN masih menjadi isu

besar. BUMN yang berjumlah 158, yang menguasai hampir sepertiga aset nasional,

ternyata kinerjanya belum juga optimal karena kontribusinya masih relatif kecil bagi

penerimaan negara. Dari seluruh BUMN yang ada dengan perkiraan total aset sebesar

Rp 1,177,7 triliun dan ekuitas sebesar Rp 481,9 triliun diperkirakan bahwa pada tahun

101

(28)

2004 keuntungan yang diperoleh hanya sebesar Rp 2,49 triliun. Return on Asset

rata-rata diperkirakan sebesar 2,49%, dan Return on Equity rata-rata-rata-rata 6,1% pada periode

yang sama. Inefisiensi yang terjadi di banyak BUMN membuat kinerjanya jauh dari

memuaskan. Demikian pula terjadinya praktik KKN di BUMN membuat rapor

BUMN kelihatan semakin buruk. Oleh karena itulah usaha untuk memperbaiki

kinerja BUMN merupakan isu penting melalui program restrukturisasi dan privatisasi

yang sampai saat ini masih menimbulkan kontroversi. Lebih jauh dari itu, meskipun

pemerintah dan DPR telah mensahkan Undang-Undang BUMN namun demikian

hasilnya belum juga kelihatan sampai sekarang.102

3. Pengertian dan Hakikat Pendirian

Pada hakikatnya pengertian BUMN tidak terpisahkan dari amanat UUD 1945.

Pasal 33 ayat (2) menetapkan, bahwa cabang-cabang produksi atau usaha-usaha yang

102

(29)

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh

negara. Penguasaan negara atas cabang-cabang produksi atau usaha-usaha yang

menguasai hajat hidup orang banyak itu sangat penting dan esensial agar

kesejahteraan rakyat banyak terjamin dan bisa menikmati sumber-sumber

kemakmuran yang sebesar-besarnya dari bumi, air dan kekayaan-kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya. Dengan demikian Pemerintah sebagai penyelenggara negara

dituntut memiliki kemauan yang kuat untuk menjabarkan Pasal 33 UUD 1945 secara

lebih bermakna dan rinci, sehingga konsepsi “penting bagi negara” dan “menguasai

hajat hidup orang banyak” menjadi lebih jelas dan berorientasi kepada kepentingan

kesejahteraan rakyat Indonesia.103

Secara umum BUMN dapat dikelompokkan sebagai BUMN Pionir, BUMN

Strategis, BUMN PSO (Public Service Obligation), dan BUMN yang melaksanakan

bisnis murni.

104

103

Lihat juga Ibrahim R yang mengatakan bahwa persepsi publik terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN, baik yang dibentuk untuk kepentingan profit (bisnis) maupun non-profit (kepentingan umum), sangat tidak efisien dan sangat tidak efektif, amburadul, salah urus, manajemen dengan menggunakan kekuasaan, dan terjadinya praktik kong-x-kong. Hal itu dibuktikan oleh sejarah BUMN itu sendiri, dari periode ke periode dijadikan sapi perahan, ladang empuk, dan gondolan bagi yang berkuasa untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, karena memang tidak mempunyai grand unified design lakul pancer ekonomi bangsa. ... Sejarah mencatat bahwa sejak nasionalisasi perusahaan Belanda berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, sampai detik ini, BUMN dan BUMD merupakan ladang garapan, sapi perahan, sebagian besar elit penguasa (pengusaha), sehingga tidak mampu memberikan kontribusi maksimal sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUD 1945 “yang melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial. Ibrahim R, Op.Cit., hal. 12.

BUMN Pionir adalah jenis BUMN perintis yang belum dapat

dilaksanakan oleh swasta namun sangat dibutuhkan oleh masyarakat. BUMN

strategis adalah jenis BUMN yang menyangkut kepentingan negara, seperti

104

(30)

pertahanan dan keamanan negara. BUMN PSO adalah jenis BUMN pada bidang jasa

dan pelayanan masyarakat yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketiga jenis

BUMN merupakan BUMN pada sektor non-kompetitif. Sedangkan BUMN yang

melaksanakan bisnis murni adalah jenis BUMN yang berorientasi keuntungan (profit)

dan merupakan BUMN pada sektor kompetitif. Sektor kompetitif adalah sektor yang

dapat diperdagangkan, misalnya industri, penerbangan (airlines), budidaya pertanian

(agriculture), dan kegiatan pendistribusian. Sektor ini sangat memungkinkan untuk

mendapatkan keuntungan ekonomi secara cepat dan berarti, sepanjang tidak terdapat

distorsi ekonomi secara luas.105

Tabel berikut memberikan suatu kerangka kebijakan terhadap pembuat

keputusan sebelum melakukan privatisasi dengan memperhatikan keadaan negara:106

105

Bismar Nasution, Privatisasi: Menjual atau Menyehatkan. Makalah disampaikan pada Seminar Program dan Kebijakan Kementerian BUMN 2004 dengan topik: “Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN, Manfaat dan Tantangannya dalam Upaya Meningkatkan Kinerja BUMN”, tanggal 4 September 2004, di Ruang IMTGT Biro Rektor Universitas Sumatera Utara, Medan. Lihat juga Sunita Kikeri, Jhon Nellis, Mary Shirley, Op.Cit., hal. 4.

106

(31)

Tabel 2. Kerangka Kebijakan Keadaan Negara dengan Keadaan Perusahaan

Keadaan Negara Keadaan Perusahaan

Sektor Kompetitif Sektor Non Kompetitif

Kapasitas yang tinggi

Sumber: Bismar Nasution, Privatisasi: Menjual atau Menyehatkan.

Sampai sejauh ini, boleh dikatakan bahwa pengelolaan dan orientasi

pengembangan BUMN telah “melenceng” dari tujuan pendiriannya semula. Hal itu

terjadi karena Pemerintah belum dapat sepenuhnya memetakan

perusahaan-perusahaan negara yang tepat untuk diinvestasikan sebagai BUMN, mulai dari

perkebunan bekas milik pemerintah Hindia Belanda yang dinasionalisasikan hingga

usaha bank, pabrik semen, perusahaan penerbangan, dan jenis-jenis usaha negara

(32)

untuk dijadikan sebagai pesaing bagi perusahaan swasta (konglomerat), sebenarnya

perlu dipertanyakan karena sekalipun dibutuhkan dana segar baru untuk lebih

memberdayakan BUMN dimaksud, akan tetapi praktik konglomeratisasi tidak

dibenarkan dalam sistem demokrasi ekonomi menurut Pasal 33 UUD 1945, dan

pembentukan BUMN itu sendiri pun bukan semata-mata untuk memaksimalkan

keuntungan (maximizing profit).

Berikut ini diterakan skema kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

yang diharapkan.

Skema 3. Kondisi BUMN yang Diharapkan KONDISI BUMN YANG DIHARAPKAN

KOMPETITIF NONKOMPETITIF

Bisnis Murni (Orientasi Profit) PSO & KAMNEG

Contoh : 1. Perbankan (BTN)

2. Industri Baja (Krakatau Steel) 3. Jalan Tol (Jasa Marga) 4. Perkebunan, Pembgn Prmhn, dll

Badan Hukum : PT Persero

Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas dan Penguatan Institusi Pasar Modal/ Bapepam untuk mewujudkan Kepemilikan Saham yang Tersebar dengan

Penerapan GCG.

Perusahaan yang Sehat dan Efisien

(33)

Sudah pasti bahwa perusahaan minyak seperti Pertamina harus dikuasai

negara karena minyak adalah salah satu aset penting dalam penyelenggaraan negara.

Namun selain minyak, aset penting lain seperti hutan juga harus dikelola dan dikuasai

oleh negara dalam bentuk BUMN. Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang diberikan

kepada perusahaan-perusahaan swasta perorangan sesungguhnya tidak mencerminkan

amanat konstitusi (UUD 1945) dan sebagai konsekuensinya sebagian besar kekayaan

hutan Indonesia hanya dinikmati oleh segelintir orang. Perusahaan negara yang lain

seperti Pindad, PAL, IPTN dan INKA (industri kereta api) perlu dikuasai oleh negara.

Kendati dalam perkembangan usaha BUMN tersebut ternyata membutuhkan

dukungan perusahaan-perusahaan swasta, baik yang berkaitan dengan aktivitas

produksi, pengadaan maupun distribusinya, masih dapat dibenarkan namun dengan

aturan bahwa perusahaan-perusahaan swasta tersebut harus mengikuti dan tetap

berada di bawah koordinasi BUMN yang bersangkutan.107

Bahan-bahan pokok kebutuhan rakyat seperti sandang, pangan dan papan

sudah seharusnya dikuasai dan sekaligus dimonopoli oleh negara karena masih

banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk itu PN

Sandang harus berorientasi untuk memproduksi tekstil murah yang terjangkau oleh

rakyat banyak. Untuk kasus spesifik seperti ketergantungan hidup orang banyak

terhadap industri batik tradisional yang dijalankan sebagai industri rumah tangga

(home industry) khususnya di Pulau Jawa, selain memerlukan perlindungan dari

“batik printing”, mungkin perlu dijadikan sebagai perusahaan negara (BUMN) untuk

107

(34)

dapat memenuhi kebutuhan rakyat banyak akan tekstil yang murah dan terjangkau.

Demikian pula halnya dengan keberadaan perusahaan perumahan rakyat sudah

semestinya dikuasai dan dimonopoli oleh sebuah perusahaan negara pula.108

Dalam hal adanya keinginan Pemerintah untuk menjual perusahaan negara

kepada swasta (swastanisasi), maka Pemerintah perlu melakukan seleksi yang ketat dan

bersikap rasional terhadap BUMN mana yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan

amanat Konstitusi. Perusahaan negara yang sesuai dengan amanat konstitusi harus tetap

dipertahankan menjadi BUMN (minimum 51 persen sahamnya dikuasai oleh negara) dan

dilindungi atau dimonopoli oleh negara. Sedangkan perusahaan negara yang tidak sejalan

dengan amanat Konstitusi, pihak swasta diperbolehkan membeli seluruh atau sebagian

besar sahamnya. Dalam rencana penjualan BUMN kepada pihak swasta, ada beberapa

pilihan: (i) dijual kepada perorangan; (ii) go-public; dan (iii) dijadikan koperasi. Namun

penjualan BUMN kepada perorangan sebaiknya dihindarkan atau menjadi pilihan

terakhir. Hal ini mengacu pada pemikiran demokrasi ekonomi, bahwa hanya usaha-usaha

kecil yang sebaiknya menjadi usaha perorangan. Sedangkan usaha-usaha berskala besar

seharusnya dimiliki oleh rakyat banyak dalam bentuk koperasi, atau perusahaan terbuka

(go-public) dengan ketentuan misalnya maksimum penguasaan saham oleh perorangan

bervariasi tidak lebih dari 1 sampai 5 persen. Sebagai contoh perusahaan Garuda

108

(35)

misalnya, maksimum 25 persen sahamnya harus dimiliki oleh negara, sedangkan sisanya

dijual kepada publik melalui mekanisme pasar modal.109

Diperolehnya dana segar dari masyarakat melalui penjualan saham baru

di pasar modal akan memungkinkan Garuda untuk mengembangkan usahanya ke

depan, dan tidak tertutup pula kemungkinan saham Garuda akan dijual di pasar-pasar

modal luar negeri. Timbulnya keinginan investor asing untuk membeli saham Garuda

atau BUMN-BUMN lainnya, baik saham lama maupun yang baru, tidak lain hanya

untuk kepentingan investor asing itu sendiri. Keberhasilan investasi yang mereka

tanamkan pada perusahaan-perusahaan negara tersebut akan memberikan keuntungan

finansial dalam bentuk capital gain atau pembagian dividen. Singkatnya,

perusahaan-perusahaan negara yang telah menjadi perusahaan-perusahaan terbuka tersebut juga akan

memberi keuntungan yang cukup signifikan bagi pendapatan negara.

Tidak jauh berbeda dengan persoalan batik tradisional di Indonesia, terhadap

perusahaan-perusahaan perkebunan negara (PTP) seperti perkebunan kelapa sawit,

bahwa produk minyak sawit yang dihasilkan PTP itu sendiri bukanlah sepenuhnya

untuk “memenuhi hajat orang banyak”. Dalam hal menswastakan perkebunan negara,

yang menjadi dasar pemikiran adalah banyaknya rakyat petani kelapa sawit yang

mengantungkan hidup pada perkebunan kelapa sawit milik negara tersebut, sehingga

pilihan swastanisasi yang lebih tepat untuk itu adalah pembentukan badan usaha

109

(36)

koperasi. Dengan kata lain, saham milik negara pada perkebunan tersebut semuanya

dialihkan kepada anggota koperasi yaitu para petani kelapa sawit. Para anggota

koperasi (para petani) ini membeli saham PTP dengan cara mengansur dari hasil

keuntungan koperasi perkebunan kelapa sawit. Maka pengalihan saham perkebunan

milik negara kepada anggota koperasi, dengan capital-gain ataupun tidak, lebih

bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota koperasi (para petani) itu

sendiri. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa para profesional yang mengelola PTP

(pegawai lama) masih tetap bekerja seperti biasa di koperasi, namun mereka tidak

lagi digaji oleh PTP, melainkan oleh koperasi perkebunan. Sistem seperti ini, yaitu

pemisahan fungsi dan kedudukan antara pemilik dan pengelola koperasi (pihak

eksekutif) harus diterapkan untuk menciptakan efektivitas pengawasan internal agar

salah satu tujuan pokok pendirian koperasi dapat tercapai, yaitu meningkatkan

kesejahteraan hidup para anggota koperasi.110

Terhadap BUMN yang masih tetap dipertahankan keberadaannya, tidak

tertutup kemungkinan untuk melakukan kerjasama dengan pihak swasta, baik dalam

patungan modal, dengan persyaratan minimum 51 persen modal usaha tetap dikuasai

negara, maupun dalam bentuk pinjaman, yaitu dengan menerbitkan obligasi negara

misalnya. Sudah pasti bahwa kerjasama usaha dalam bentuk pinjaman ini, pihak

110

(37)

swasta sebagai pemegang obligasi menghendaki premi bunga yang kompetitif

di pasar uang atau pasar modal. Kita ambil contoh misalnya PLN bisa berpatungan

dengan modal swasta dan juga dapat menerbitkan obligasi. Dengan cara yang

demikian maka tidak ada alasan yang kuat untuk mendirikan perusahaan listrik

swasta. Dalam hal adanya sinyalemen bahwa PLN memiliki kinerja yang cukup

buruk, itu bisa diperbaiki dengan menyempurnakan struktur organisasinya, misalnya

dengan cara membentuk perusahaan-perusahaan listrik daerah, sehingga beban pusat

yang cukup berat tersebut bisa dikurangi dengan mendesentralisasikan ke

daerah-daerah seperti yang telah dilakukan perusahaan air minum (PAM).

Perusahaan negara di bidang jasa transportasi umum seperti kereta api dan bus

kota idealnya disubsidi oleh negara mengingat kepentingannya yang lebih luas yaitu

untuk “memenuhi hajat hidup rakyat banyak”. Setiap kota seharusnya memiliki satu

perusahaan bus kota yang dimonopoli oleh negara atau pemerintah daerah (Pemda).

Paling tidak pemerintah menunjuk suatu perusahaan swasta untuk monopoli usaha

bus kota atas nama negara, dengan ketentuan boleh mengambil keuntungan

maksimum sekian persen dan tarifnya ditentukan oleh negara. Bahkan bila negara

menghendaki, perusahaan bus kota dapat diberikan subsidi agar tarif angkutan bus

kota menjadi lebih murah untuk lebih meringankan beban masyarakat di bidang jasa

transportasi umum.

Perusahaan negara di bidang industri strategis, antara lain seperti Barata,

Bisma Boma Indra (BBI), INKA, PINDAD, PAL dan IPTN, diketahui memiliki

(38)

perusahaan di bidang industri stategis, pada dasarnya persoalannya tidak jauh dari

masalah modal negara yang dirasakan terlalu sempit dan profesionalisme dalam

kaitannya dengan birokrasi dan bisnis. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa

perusahaan negara juga harus menyetorkan keuntungan dan membayar pajak kepada

negara melalui mekanisme APBN. Pendapat seperti ini boleh jadi keliru karena tidak

semua perusahaan negara berorientasi untuk meraih keuntungan semata seperti

seperti perusahaan bus atau kereta api misalnya. Dengan kata lain, perusahaan negara

pun berhak menerima proteksi dari pemerintah pada saat mereka membutuhkan.

Dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi canggih misalnya, proteksi bisa

diberikan kepada PAL, IPTN, atau INKA sampai mereka bisa mandiri. Pemberian

proteksi terhadap industri strategis seperti tersebut di atas lebih bisa diterima akal,

ketimbang memberikan proteksi kepada pabrik mobil. Di Indonesia, dengan

mengambil contoh mobil Kijang yang dijual Rp.30 juta, padahal seharusnya laku

Rp.10 juta, disubsidi oleh rakyat dan ekonomi Indonesia sebesar sekitar Rp.20 juta

dikalikan dengan produksinya sekitar 250 ribu setahun, atau Rp. 5 trilyun. Dengan

kepemilikan dana sebesar itu, hampir dapat dipastikan bahwa industri-industri

strategis dimaksud akan bisa memberikan manfaat bagi negara.111

Dari sisi lain diketahui bahwa kondisi PAL tidak sama dengan kondisi IPTN.

Sebab pasar pesawat terbang di Indonesia sudah terbentuk, khususnya yang

komersial. Dengan demikian secara ekonomis industri pesawat terbang bisa

menyerap hasil IPTN, kendati IPTN sendiri pun untuk sementara masih perlu

111

(39)

dilindungi sampai produknya menjadi kompetitif baik di pasar domestik maupun

dunia. Sedangkan PAL sendiri memiliki persoalan yang lebih berat. Sebab pasar

sealines dan sea carriers, belum sepenuhnya terbentuk. Oleh sebab itu industri jasa

di bidang kelautan harus diciptakan terlebih duhulu agar mampu menyerap produk

PAL. Dengan kata lain, PAL masih memerlukan perlindungan sepanjang belum bisa

mandiri. Untuk itu PAL perlu diberi subsidi harga, agar produknya bisa dibeli murah

oleh sealiners dan sea carriers, khususnya untuk kebutuhan dalam negeri. Kalau saja

PAL misalnya bisa memperoleh order 10 kapal saja setahun dengan kapasitas 10 ribu

hingga 30 ribu ton selama 10 tahun. Dengan modal usaha beberapa ratus milyar

rupiah, maka dalam rentang waktu itu niscaya pasar jasa kapal Indonesia akan hidup

dan berkembang seperti jasa pesawat udara sekarang.112

4. Badan Hukum dan Sektor Usaha

Kepemilikan negara atas BUMN menurut badan hukumnya terdiri atas 4

(empat) kelompok yaitu: Persero, Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Jawatan

(Perjan), dan Patungan Minoritas.113

112

Ibid, hal. 153-154.

113

(40)

Persero adalah BUMN yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 9

Tahun 1969. Undang-undang mengenai Perseroan ini terus mengalami

penyempurnaan seiring dengan perkembangan perekonomian nasional, salah satunya

adalah penerbitan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang BUMN yang berbentuk

Perseroan Terbatas (PT). Kemudian Pemerintah menerbitkan pula Peraturan

Pemerintah No. 12 Tahun 1998 yang antara lain menetapkan, bahwa BUMN yang

berbentuk PT, seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh negara melalui

penyertaan modal secara langsung.114 Dalam kelompok Persero ini, anak perusahaan

juga termasuk115

Perum sebagai BUMN diatur berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1969

yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1998

yang antara lain menetapkan, bahwa Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya seperti milik Holding Company PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) dan PT

Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS).

keuntungan yang layak atau dibolehkan. Memang perusahaan public utilities tidak boleh merugi dan harus untung, guna reinvestasi, depresiasi, dan ekspansi di masa depan. Namun, perolehan laba dalam hal ini, tidak boleh dipaksakan karena monopoli dan tidak ada alternatif bagi konsumen yang bisa ditentukan sekehendak pengelola perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan public utilities boleh dan berhak mengambil keuntungan, tetapi dalam batas yang wajar, layak, patut, dan memenuhi kriteria yang dirumuskan secara kuantitatif dengan memperhatikan prinsip akuntansi yang sehat untuk menjamin survival dan pertumbuhan perusahaan. Di Inggris misalnya, sektor public utilities, seperti air, listrik, gas, kereta api, dan Telkom, perhitungan menggunakan Rate of Return (ROR) dan Return Price Index Minus X (RPI-X). Dua pola ini merupakan perhitungan teknis ekonomis yang sudah mencakup kebutuhan deprisiasi, investasi, ekspansi, penelitian dan pengembangan masa depan. Dengan menggunakan ukuran ROR dan RPI-X untuk utility public harus mengumumkan secara terbuka kalkulasi laba-rugi, cash flow, investasi, serta target pengembalian investasi dan margin yang ingin diperoleh dalam waktu tertentu. Semua harus menjadi milik publik, paling sedikit harus didiskusikan di DPR, pers, dan cendikiawan sebelum keputusan diambil oleh komisi tarif independen. Di Indonesia sampai saat ini masih dikelola oleh birokrat dan teknokrat secara mutlak dan untuk publik bersifat kacau atau sporadik. Ibrahim R., Op.Cit, hal. 13.

114

Pasal 1 ayat (2) PP No. 12 Tahun 1998 tentang Persero.

115

(41)

dimiliki oleh negara, yaitu kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas

saham.116

Perjan sebagai BUMN diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 yang

selanjutnya disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2000 yang

antara lain menyebutkan, bahwa Perjan adalah BUMN yang seluruh modalnya

dimiliki oleh Pemerintah dan merupakan kekayaan negara, yang tidak dapat

dipisahkan serta tidak terbagi atas saham-saham.117

Sedangkan kepemilikan negara pada Perusahaan Patungan Minoritas adalah

berbentuk saham atas perusahaan bersangkutan melalui penyertaan modal langsung

dengan jumlah saham kurang dari 51%.

Berdasarkan sektor usahanya, BUMN dapat dibagi ke dalam 6 (enam)

kelompok besar. Dari ke-6 kelompok sektor usaha BUMN tersebut, yang paling

banyak adalah BUMN yang bergerak di sektor usaha industri dan perdagangan. Hal

ini mungkin terkait erat dengan strategi pemerintah untuk mengimbangi peranan

perusahaan swasta nasional dan asing di sektor usaha yang sama. Apabila dirinci

lebih jauh menurut sektor usahanya, perusahaan-perusahaan BUMN tersebut hampir

merambah ke semua sektor bisnis yang ada di Indonesia. Misalnya kelompok BUMN

yang bergerak di sektor industri dan perdagangan, bidang usaha yang dimasuki

perusahaan-perusahaan BUMN tersebut antara lain industri pupuk, semen, farmasi,

tekstil, kertas penerbitan, percetakan, sampai ke industri yang sifatnya strategis

116

Pasal 1 ayat (1) PP No. 13 Tahun 1998 tentang Perum.

117

(42)

seperti industri pesawat terbang, bahan peledak dan sebagainya. Selain itu,

perusahaan-perusahaan BUMN juga memasuki industri manufaktur seperti

telekomunikasi, pelabuhan laut, bandar udara, kelistrikan, dan sebagainya.

Tabel 2 berikut ini memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai peta

(43)
(44)

30 Energi 4 4 - - - 31 Industri Berbasis

Teknologi

5 5 - - -

32 Baja dan Konstruksi Baja

3 3 - - -

33 Telekomunikasi 5 3 - - -

34 Industri Pertahanan 2 2 - - -

35 Semen 3 3 - - -

36 Industri Sandang 2 2 - - -

37 Aneka Industri 3 3 - - -

Jumlah 161 124 11 25 1

Sumber: Kementerian BUMN, Tahun 2007.

C. Peranan Negara dalam Sistem Perekonomian Nasional

Terjadinya krisis ekonomi dunia pada tahun 1929 menyebabkan negara tidak

lagi bersifat pasif, di mana untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat, negara

dituntut ikut campur dalam segala aspek kehidupan sosial, dengan adigium, negara

bertanggung jawab atas kesejahteraan setiap warga negaranya mulai dari buaian ibu

sampai masuk liang kubur (from the craddie to the grave). Pada tahun-tahun

berikutnya, boleh dikatakan tidak ada satupun aspek kehidupan yang lepas dan

campur tangan negara dan peran sentral negara tersebut, yang dapat bertahan sampai

tahun 1960-an, karena keterlibatan negara terlalu jauh dalam kehidupan masyarakat.

Ironisnya bukannya masyarakat makin sejahtera, justru yang terjadi sebaliknya.118

Melihat kondisi seperti itu, lebih dari 40 persen sektor negara di Inggris

(1980-1988) diubah menjadi perusahaan swasta dan berhasil meningkatkan

kesejahteraan rakyat, sehingga keberhasilan itu merupakan model utama dalam

118

(45)

perubahan global dari negara kesejahteraan (welfare state) menjadi privatisasi atau

penswastaan BUMN. Ini kemudian menjadi tren dunia, sehingga tidak ada satu

negara pun yang tidak ikut, tak terkecuali Indonesia. Negara yang memiliki tradisi

demokrasi dan negara maju yang mengikuti jejak Inggris berhasil, sedangkan negara

sedang berkembang kebanyakan salah urus dalam privatisasi, termasuk Indonesia.119

Boleh dikatakan bahwa format keterlibatan negara dalam aktivitas ekonomi

bersumber pada politik ekonomi suatu negara, sebagai konsekuensi dari

perkembangan ajaran welfare state. Kemudian muncul berbagai pertanyaan: Apakah

politik ekonomi menghendaki atau mengharuskan keterlibatan negara dalam bentuk

perusahaan negara (BUMN). Apabila jawabannya: ya, pertanyaan selanjutnya:

apakah keterlibatan negara itu secara keseluruhan atau terbatas. Bila keterlibatan

negara terbatas, maka perlu dirumuskan di mana batas-batasnya, apa saja yang boleh

dimasuki, apa saja yang tidak boleh dimasukinya. Dari latar belakang inilah yang

kemudian melahirkan bentuk atau jenis BUMN.120

Persoalan peranan negara atau pemerintah di bidang perekonomian sudah

sejak lama menimbulkan perdebatan ideologis antara empat aliran utama mazab

119

Ibid. Dapat ditambahkan bahwa konsep keterlibatan negara dalam bidang ekonomi secara riil, untuk pertama kali dikemukakan oleh Beveridge, seorang anggota Parlemen Inggris dalam laporannya dan mengandung suatu program sosial, yaitu: pemerataan pendapatan masyarakat, kesejahteraan sosial sejak manusia lahir sampai meninggal dunia, penyediaan lapangan kerja, pengawasan atas upah oleh pemerintah, dan usaha dalam bidang pendidikan. Jika dikaji laporan dari Beveridge terkandung konsep negara kesejahteraan, yang akhirnya meluas dan diterima oleh banyak pihak. Tahap perkembangannya, sejak tahun 1883, Kanselir Jerman Otto Von Bismarck memperkenalkan Asuransi Sosial yang dibiayai oleh pemerintah dan tahun 1889 lahirlah UU Pensiun, yang memberikan pensiun kepada pekerja usia 70 tahun. Kemudian, Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt, 46 tahun kemudian mempertegas dan mempopulerkan kembali konsep negara kesejahteraan tersebut dengan program New Deals Social Secyrity Acts 1935. Ibid, hal. 11.

120

Gambar

Tabel 1. Suntikan Modal Pemerintah Pusat kepada BUMN
Tabel 2. Kerangka Kebijakan Keadaan Negara dengan Keadaan Perusahaan
Tabel 3. Peta Posisi Karakteristik Industri BUMN Berdasarkan Kelompok Usaha
Tabel 4. Asumsi Dasar Ideologi Kontrol Ekonomi dan Non Ekonomi

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun terdapat beberapa variasi diantara masing-masing tahap, metode sistem klasik ternyata tidak cukup untuk menghasilkan sistem informasi yang baik, kemudian sebagai

Tutorial adalah layanan belajar yang diberikan UT kepada mahasiswa yang memerlukan bimbingan baik yang dilakukan secara tatap muka (tutorial tatap muka atau TTM)

Tentu saja selain mempelajari mahan ajar mata kuliah dengan baik, perlengkapan ujian yang arus dibawa adalah: Kartu tanda peserta Ujian atau KTPU (minta ke UPBJJ atau Sentra

kepedulian kita, kekhawatiran kita, terhadap mereka yang didepan mata kita

lokasinya harus sesuai dengan pola operasi perjalanan kereta api, menunjang operasional sistem perkeretaapian, tidak mengganggu lingkungan, memiliki tingkat

Musi Banyuasin Tahun Anggaran 2012, dengan kami ini minta kepada Saudara Direktur untuk hadir dalam melakukan Pembuktian Kualifikasi dengan membawa berkas asli data perusahaan pada

Indonesia memiliki Sejarah yang kaya nan panjang jikalau di bukukan contohnya seperti buku SNI (Sejarah Nasional Indonesia jilid 1-6 terbitan 2008) yang berjumlah 6 jilid itu pun masih

Sistem Informasi ini memiliki kemampuan untuk menyimpan file konfigurasi perangkat di setiap wilayah beserta link untuk menuju ke lokasi perangkatnya, menampilkan