BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, jamur dan virus banyak ditemukan
di negara-negara beriklim tropis termasuk Indonesia. Daerah beriklim tropis
sangat cocok bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba, baik yang
bersifat patogen maupun yang memberi manfaat bagi manusia (Eddy, 2009).
Di sekitar kita terdapat berbagai macam bakteri yang dapat menyebabkan
penyakit, baik bakteri Gram positif (G+) maupun Gram negative (G-). Salah satu
contoh dari bakteri G+ adalah Streptococcus mutans. S. mutans merupakan salah
satu bakteri yang menyerang manusia secara oral. S. mutans biasanya ditemukan
pada rongga gigi manusia yang luka dan menjadi bakteri yang paling kondusif
menyebabkan karies untuk email gigi (Nugraha, 2008). Sedangkan contoh bakteri
G- yang sering menyebabkan penyakit pada manusia adalah Shigella dysenteriae.
Menurut Sitanggang (2011), S. dysenteriae merupakan salah satu penyebab
disentri. Penyakit disentri masih merupakan salah satu masalah kesehatan umum
bagi masyarakat Indonesia.
Selain bakteri, jamur juga dapat bersifat patogen terhadap manusia. Salah
satu jamur yang menyerang dan menginfeksi manusia adalah Candida albicans.
Menurut Kumala (2006), C. albicans merupakan spesies yang paling sering
diisolasi dari berbagai spesimen klinik. Isolat yang terbanyak berasal dari mukosa
(90-100%). Kandidiasis mukosa dikenal sebagai oral thrush yang terbatas pada
sekitar orofaring.
Berbagai penyakit yang disebabkan oleh jamur maupun bakteri patogen,
secara tidak langsung menjadi pemicu tingginya permintaan akan produksi
obat-obat sintetik atau kimia guna mengurangi atau menyembuhkan penyakit tersebut.
Menurut Astuti (2012), pada saat ini obat-obat sintetik antifungi telah berkembang
luas seiring dengan tingginya kasus kandidiasis. Namun, obat-obat tersebut masih
mempunyai kelemahan seperti adanya efek samping, resistensi dan mahal.
Selain itu, tingkat resistensi obat lebih tinggi di negara berkembang seperti
Indonesia dibandingkan di negara-negara maju karena luasnya penggunaan
antibiotik yang tidak berdasarkan ketentuan selama beberapa tahun terakhir dan
pengobatan tanpa resep dokter (Engriyani, 2012).
Berbagai cara dapat dilakukan dalam rangka mengantisipasi penyakit
infeksi, salah satunya dengan memanfaatkan obat tradisional seperti tanaman obat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan obat-obat tradisional,
khususnya tanaman obat. Letak Indonesia di garis katulistiwa dengan iklim tropis
menyebabkan tanahnya subur dan kaya akan keanekaragaman hayati.
Keanekaragaman flora di Indonesia sangat luar biasa, namun belum sepenuhnya
dimanfaatkan secara optimal. Hal ini menuntut kita untuk berperan aktif dalam
menggali potensi sumber daya alam terutama tanaman obat (Eddy, 2009).
Tanaman obat bunga tahi ayam atau Tagetes erecta Linn (Keluarga
Asteraceae) pada jaman dulu banyak digunakan untuk pengobatan luka. Tanaman
ini dikenal secara umum sebagai tanaman herbal aromatik tahunan yang tingginya
mencapai 0,4-1 m (Kiranmai dan Ibrahim, 2012). Menurut Pinem (2012), bunga
tahi ayam mempunyai khasiat obat tradisional. Sedangkan Nikkon et al., (2009)
menyatakan bahwa bunga tahi ayam telah digunakan oleh banyak masyarakat
sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit mata, konjungtivitis, pilek, rematik,
batuk, pendarahan wasir, dan bisul.
Hasil penelitian Kiranmai dan Ibrahim (2012) menunjukkan bahwa ekstrak
petroleum eter dari daun dan ekstrak etil asetat dari bunga tahi ayam secara
siknifikan menghambat pertumbuhan bakteri G+ Bacillus cereus, Staphylococcus
aureus dan G- Escherichia coli, Pseudomonas aeroginosa. Selain mampu
menghambat bakteri, bunga tahi ayam juga dapat menghambat fungi patogen pada
tanaman. Seperti pada penelitian Shafique et al., (2011), ekstrak air dan metanol
dari bunga dan pucuk pada berbagai konsentrasi (1, 2, 3, 4% b/v) secara signifikan
dapat menekan jamur patogen Ascochyta rabiei, agen penyebab penyakit pada
buncis. Krishnamurthy et al., (2012) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
antibiotik yang ditambahkan pada nanopartikel emas yang diekstraksi dari bunga
tahi ayam menunjukkan zona hambat yang besar pada penghambatan A. niger, A.
flavus, E. coli dan Streptobacillus. Ekstrak etanol bunga tahi ayam menunjukkan
aktivitas antioksidan dalam berbagai model in vitro (Chivde et al., 2011).
Pelarut etanol merupakan pelarut yang bersifat polar, universal dan mudah
didapat (Kurniawati, 2008). Pelarut etanol akan mengikat berbagai senyawa aktif
seperti, polifenol, flavonoid, terpenoid, sterol dan alkaloid (Siregar, 2011).
Berdasarkan hal tersebut maka, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
aktivitas antimikroba ekstrak etanol daun dan bunga tahi ayam (T. erecta) pada
konsentrasi tertentu terhadap pertumbuhan S. mutans, S. dysenteriae dan C.
albicans.
1.2. Permasalahan
Mikroba patogen seperti S. mutans, S. dysenteriae dan C. albicans dapat
menyebabkan penyakit pada manusia. Berdasarkan hal di atas maka yang menjadi
permasalahan apakah ekstrak etanol daun dan bunga tahi ayam pada konsentrasi
tertentu dapat menghambat pertumbuhan ketiga mikroba patogen tersebut.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan metabolit
sekunder daun dan bunga tahi ayam dan mengetahui konsentrasi hambat
minimum ekstrak etanol bagian tanaman tersebut terhadap pertumbuhan S.
mutans, S. dysenteriae dan C. albicans.
1.4. Hipotesis
Ekstrak etanol daun dan bunga tahi ayam mampu menghambat
pertumbuhan S. mutans, S. dysenteriae dan C. albicans.
1.5. Manfaat
a. Memberikan informasi tentang kemampuan ekstrak etanol daun dan bunga
tahi ayam dalam menghambat pertumbuhan pertumbuhan S. mutans, S.
dysenteriae dan C. albicans.
b. Mengkaji pemanfaatan ekstrak daun dan bunga tahi ayam sebagai alternatif
senyawa alami untuk mengobati penyakit pada manusia