• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelayakan Finansial Agroforestri Suren (Toona sureni Merr.) dan Kopi Arabika (Coffea arabica L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelayakan Finansial Agroforestri Suren (Toona sureni Merr.) dan Kopi Arabika (Coffea arabica L.)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Hutan Lestari

Wajah dunia kehutanan di masa depan adalah wajah pengelolaan hutan

lestari yang diyakini menjadi satu-satunya sistem pengelolaan hutan yang dapat memenuhi tiga tujuan sekaligus, yaitu tercapainya optimalisasi produksi kehutanan, terpeliharanya kualitas lingkungan serta terjaminnya peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Jaminan ini dikemukakan secara jelas karena pengelolaan hutan lestari dibangun atas dasar ketiga kelestarian fungsi, yaitu

kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi dan kelestarian fungsi sosial. Ketiga kelestarian fungsi tersebut harus menjadi tujuan bagi setiap pengelolaan hutan baik hutan produksi, hutan konservasi maupun hutan lindung.

Sehingga melalui model ini tidak ada satupun pengelolaan hutan yang tidak mengindahkan kaidah ketiga kelestarian fungsi tersebut (Ngadiono, 2004).

Pengelolaan hutan lestari telah digambarkan sebagai kontribusi kehutanan terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Pengelolaan hutan lestari adalah proses pengelolaan hutan untuk mencapai satu atau lebih spesifik tujuan

pengelolaan yang ditentukan tujuan pengelolaannya yang berkaitan dengan alur kontinuitas produk dan jasa hutan yang dikehendaki, tanpa banyak mengurangi

nilai yang melekat di dalamnya serta produktivitas pada masa yang akan datang dan tanpa berdampak buruk bagi lingkungan fisik dan sosial (Mayers dkk, 2005).

Masyarakat memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya alam

(2)

ekologi berupa kelestarian hutan, terjaganya kawasan hutan menghindari bencana

alam, tanpa mengabaikan nilai ekonomi berupa terwujudnya peningkatan taraf hidup masyarakat, serta manfaat wisata yakni berupa terbentuknya kawasan hutan

yang indah dan lestari sebagai objek wisata dan tempat belajar bersama (Asmanah, 2010).

Dari pengalaman masa lalu, hutan dikelola untuk beragam jenis produk

yang memberi manfaat bagi masyarakat. Manfaat lingkungan dan ekonomi yang tinggi dapat diupayakan dengan mengelola hutan tanaman kayu-kayuan. Manfaat

sosial dan ekonomi yang tinggi dapat diupayakan dengan mengelola hutan tanaman HHBK. Lebih lanjut, manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan yang mengakomodasi kepentingan masyarakat dapat diupayakan dengan mengelola

hutan tanaman agroforestri (Santoso, 2013).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudomo dkk, (2013) mengenai status riset agroforestri di Indonesia, agroforestri diperlukan dalam rangka

mengembalikan fungsi hutan dan lahan kritis agar dapat bermanfaat secara ekonomi, sosial, dan positif bagi lingkungan. Hal ini disebabkan pengelolaan

hutan lestari hanya dapat tercapai jika dapat mengakomodir ketiga fungsi tersebut. Peningkatan kesejahteraan masyarakat hanya dapat tercapai jika komoditas agroforestri yang diusahakan mempunyai kelayakan secara finansial,

teknis, dan sesuai keinginan masyarakat. Kelayakan secara teknis dapat dicapai dengan pengetahuan teknologi agroforestri mulai dari pemilihan jenis, teknik

(3)

Sistem Agroforestri

Agroforestri merupakan suatu pemanfaatan lahan kuno yang telah dipraktikkan selama ribuan tahun oleh para petani di seluruh dunia. Kendati

dalam beberapa tahun terakhir juga telah dikembangkan sebagai ilmu yang menjanjikan untuk membantu petani meningkatkan produktivitas, profitabilitas, dan keberlanjutan produksi di lahan mereka. Upaya guna mendefinisikan

agroforestri dimulai pada pertengahan 1970-an dan berkembang pesat sebagai penelitian yang dimulai dari keragaman dan ruang lingkup praktik agroforestri

(MacDicken dan Napoleon, 1990).

Agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang lestari yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, dengan cara memadukan produksi

hasil dari tanaman pangan (termasuk hasil panen pohon-pohonan) dan tanaman kehutanan dan atau hewan-hewan secara bersama-sama atau berurutan pada unit bidang lahan yang sama, dan mangaplikasikan praktek-praktek manajemen yang

sesuai dengan pola-pola kebudayaan penduduk setempat. Agroforestri telah meningkat secara drastis dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam hal

potensi untuk mengoptimalkan penggunaan lahan di negara-negara berkembang di daerah tropis. Tujuan utama adalah produksi pangan dan konservasi dan rehabilitasi sumber daya tanah yang diperlukan untuk produksi pangan di masa

depan (King dan Chandler, 1978).

Menurut Suprayogo dkk, (2003) berbagai komponen dalam sistem

(4)

a. Komponen tanaman. Pada prinsipnya semua tanaman itu sama, tanaman dapat

tumbuh dan memiliki batang, daun, akar dan sebagainya, tetapi mereka mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.

b. Komponen tanah. Semua tanah sama, tersusun atas air, mineral, bahan organik dan udara, namun jumlah, komposisi dan letaknya di dalam profil tanah berbeda-beda.

c. Cara pengelolaan. Semua sistem pertanian mempunyai tujuan yang sama yaitu memperoleh produksi tanaman yang optimum, namun cara pengelolaannya

bermacam-macam. Perbedaan pengelolaan itu meliputi perbedaan teknik penyediaan lahan, sifat tanaman yang ditanam, posisi atau pengaturannya di dalam petak, pemupukan, pemangkasan dan kalender tanamnya.

Sistem agroforestri memiliki keunikan dibanding sistem pertanian monokultur, dan keunikan itu harus dimunculkan dalam model yang membedakan antara model agroforestri dengan model sistem lain. Menurut Suprayogo dkk,

(2003) beberapa ciri khas yang dimiliki oleh sistem agroforestri adalah sebagai berikut.

1. Adanya dua kelompok tumbuhan sebagai komponen dari sistem agroforestri, yaitu pepohonan atau tanaman tahunan dan tanaman semusim.

2. Ada interaksi antara pepohonan dan tanaman semusim, terhadap penangkapan

cahaya, penyerapan air dan unsur hara.

3. Transfer silang antara pohon dengan tanaman.

(5)

5. Banyak macam keluaran (output).

Agroforestri sebagai sebuah teknik penanaman campuran memiliki ruang lingkup beragam. Klasifikasi ini ditunjukkan dari kombinasi beberapa unsur

penyusun. Sebuah sistem baru terbentuk dari perbedaan elemen-elemen penyusun (subsistem). Agoforestri adalah pola tanam dinamis bukan statis. Artinya setiap kombinasi elemen berbeda melahirkan sistem yang berbeda pula. Perbedaan

sistem ini menambah khasanah kekayaan sistem agroforestri. Ruang lingkup agroforestri semakin luas dan masyarakat memiliki alternatif aplikasi salah satu

sistem sesuai karakteristik kawasan, minat serta tujuan pemanfaatan lahan. Pada kawasan tertentu, sangat mungkin dijumpai beraneka ragam pola pemanfaatan lahan. Menurut Mahendra (2009) terdapat beberapa bentuk agroforestri antara lain

sebagai berikut.

1. Agrisilviculture, yaitu pola penggunaan lahan yang terdiri atas kombinasi tanaman pertanian (pangan) dengan tanaman kehutanan dalam ruang dan

waktu yang sama.

2. Sylvopastoral, yaitu sistem pengelolaan lahan yang menghasilkan kayu

sekaligus berfungsi sebagai padang pengembalaan. Ternak-ternak milik bisa leluasa mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) pada lahan tersebut. 3. Agrosylvo-pastoral, yaitu sistem pengelolaan lahan yang memiliki tiga fungsi

pokok sekaligus, antara lain sebagai penghasil kayu, penyediaan tanaman pangan, dan juga padang pengembalaan untuk memelihara ternak. Ketiga

(6)

4. Sylvofishery, yaitu sistem pengelolaan lahan yang dirancang untuk

menghasilkan kayu sekaligus berfungsi sebagai tambak ikan.

5. Apiculture, yaitu sistem pengelolaan hutan yang memfungsikan pohon-pohon

ditanam sebagai sumber pakan lebah madu. Selain memproduksi kayu, juga menghasilkan madu yang memiliki nilai jual tinggi dan berkhasiat obat.

6. Sericulture, yaitu sistem pengelolaan lahan yang menjadikan pohon-pohon

untuk memelihara ulat sutera. Sehingga murbei yang menjadi makanan pokok ulat sutera harus ada dalam jumlah besar pada lahan tersebut.

7. Multipurpose forest tree production, yaitu sistem pengelolaan lahan yang mengambil berbagai macam manfaat dari pohon baik dari kayunya, buahnya, maupun daunnya. Sistem ini merupakan pengoptimalan fungsi dari pohon

yang ditanam. Sistem ini merupakan kombinasi antara pohon penghasil kayu, penghasil buah maupun yang diambil daunnya untuk hijauan makanan ternak (HMT).

Menurut Andayani (2005) agroforestri merupakan salah satu bentuk pola tanam ganda yang dalam diversifikasi jenis bisa terdiri dari kombinasi jenis

tanaman yang termasuk dalam kategori tanaman semusim dan tanaman tahunan. Oleh karena itu, agroforestri sebagai salah satu sistem usaha tani diduga bisa memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan. Agroforestri sebagai suatu

model usahatani memiliki peran yang semakin signifikan, terutama bagi sebagian besar petani yang memiliki luas lahan garapan relatif terbatas (sempit). Oleh

(7)

Sistem agroforestri yang diatur dengan baik dapat meningkatkan

kesuburan lahan yang akan berdampak pada peningkatan kualitas tanaman. Apabila dirancang serta dibimbing dengan baik, agroforestri dengan sistem

tumpangsari di lahan sela kawasan hutan dapat diarahkan untuk meningkatkan produksi pangan nasional melalui penanaman komoditas tertentu yang bernilai ekonomi tinggi (Ashari dan Henny, 2011).

Nusa Tenggara kaya akan model wanatani (agroforestri) tetapi umumnya adalah berbasis pertanian, peternakan dan perkebunan rakyat. Masyarakat petani

yang berada di dataran tinggi Manggarai (Flores Barat) melakukan modifikasi pengembangan kopi dengan menggunakan Albizia chinensis sebagai tanaman pelindung kopi. Masyarakat melakukan inisiatif memadukan kedua tanaman ini

dalam pola agroforestri. Selain Albizia, di Ngada dan Manggarai masyarakat menggunakan tanaman dadap (Erythrina urophylla), gamal (Gliricidia sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala) sebagai pelindung kopi (Adolf dkk, 2003).

Pemanfaatan lahan pola agroforestri di kawasan hutan dapat dijumpai seperti di kawasan KHDTK Borisallo. Pemanfaatan lahan pola agroforestri di

KHDTK Borisallo secara finansial berdasarkan NPV, BCR, dan IRR layak dikembangkan dengan menggunakan proporsi tanaman kopi 70% dan kakao 30% (Wakka dan Nur, 2010).

Dengan sistem agroforestri petani akan lebih intens dalam mengelola lahannya. Sebab petani tidak hanya merawat tanaman berkayu yang daurnya

(8)

Deskripsi Tanaman Kopi Arabika Varietas Sigarar Utang

Menurut Rahardjo (2013) kopi merupakan komoditas rakyat yang sudah cukup lama dibudidayakan dan mampu manjadi sumber nafkah bagi lebih dari

satu setengah jiwa petani kopi Indonesia. Kopi arabika (Coffea arabica) berasal dari Afrika, yaitu dari daerah pegunungan di Etiopia. Namun demikian, kopi baru dikenal oleh mayarakat dunia setelah tanaman tersebut dikembangkan di luar

daerah asalnya, yaitu Yaman di bagian selatan Jazirah Arab. Melalui para saudagar arab, minuman tersebut menyebar ke daratan lainnya. Genus Coffea

mencakup hampir 70 spesies, tetapi hanya ada dua spesies yang ditanam dalam skala luas di seluruh dunia, yaitu kopi arabika (Coffea arabica) dan kopi robusta (Coffea canephora var. robusta). Sementara itu, sekitar 2% dari total produksi

dunia dari dua spesies kopi lainnya, yaitu kopi liberika (Coffea liberica) dan kopi ekselsa (Coffea excelsa) yang ditanam dalam skala terbatas, terutama di Afrika Barat dan Asia. Ahli-ahli tumbuhan (botanis), Linnaeus, menamakan tanaman

kopi arabika dengan nama ilmiah Coffea arabica karena mengira kopi berasal dari Arab. Berikut sistem taksonomi kopi.

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (Tumbuhan berkeping dua/dikotil)

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae (Suku kopi-kopian)

Genus : Coffea

(9)

Kopi arabika adalah jenis tanaman dataran tinggi antar 1.250-1.850 m dari

permukaan laut, dengan suhu sekitar 17-21ºC. Tanaman ini banyak terdapat di Ethiopia pada garis lintang belahan utara 6-9º sampai daerah subtropis 24º pada

garis lintang belahan selatan, misalnya Panama sebelah Utara dan Brasilia. Di Indonesia kopi arabika ini bisa produktif dan tahan terhadap Hemilia vastatrix, bila ditanam pada ketinggian 1.000–1.750 m dari permukaan laut, dengan suhu

sekitar 16-20ºC (AAK, 1988).

Menteri pertanian menimbang bahwa dalam rangka usaha meningkatkan

produksi dan mutu kopi, varietas Sigarar utang mempunyai peranan penting. Kopi varietas atau klon Sigarar utang mempunyai keunggulan dibanding dengan varietas lainnya dalam hal cita rasa dan produktivitas biji kopi. Berdasarkan hal

tersebut diatas, dipandang perlu untuk melepas kopi varietas Sigarar utang sebagai varietas unggul. Kopi Arabika varietas Sigarar utang ditemukan antara pertanaman kopi yang ditanam Opung Sopan Boru Siregar di Desa Batu Gajah,

Paranginan, Lintong, Humbang Hasundutan (1.400 m dpl) pada tahun 1988. Berdasarkan karakter morfologi pada keturunan segregasinya, diduga merupakan

keturunan persilangan alami antara varietas typical BLP dengan Catimor yang ada disekitar pertanaman tersebut (Keputusan Menteri Pertanian, 2005).

Tanaman kopi Sigarar utang mempunyai perawakan semi katai, ruas

cabang pendek, tajuk rimbun menutup seluruh permukaan pohon sehingga batang pokok tidak tampak dari luar. Sifat percabangan sekunder sangat aktif bahkan

(10)

mengatup ke atas, jika dilihat sepintas bentuk daun panjang meruncing dan tepi

daun bergelombang. Buah muda berwarna hijau sedangkan buah masak berwarna merah cerah, bentuk buah bulat memanjang berukuran besar dan 100 buah masak

(merah) rata–rata 196 gr. Potensi produksi berkisar antara 800–2.300 kg biji/ha (Situmorang, 2013).

Tanaman kopi yang terawat dengan baik dapat mulai berproduksi pada

umur 2,5-3 tahun tergantung dari lingkungan dan jenisnya. Tanaman kopi robusta dapat berproduksi mulai dari umur 2,5 tahun, sedangkan tanaman kopi arabika

pada umur 2,5-3 tahun. Jumlah kopi yang dipetik pada panen pertama relatif masih sedikit dan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya umur tanaman sampai mencapai puncaknya pada umur 7-9 tahun. Pada umur puncak

tersebut produksi kopi dapat mencapi 9-15 kuintal kopi beras/ha/tahun untuk kopi arabika. Namun demikian, bila tanaman kopi dipelihara secara intensif dapat mencapai hasil 20 kuintal kopi beras/ha/tahun. Siklus produksi dari tanaman kopi

dapat berlangsung hingga tanaman kopi berumur 21 tahun (Direktorat Kredit, BPR dan UMKM, 2015).

Bagi petani, kopi mempunyai arti ekonomi yang cukup penting. Sejak puluhan tahun yang lalu kopi telah menjadi sumber nafkah bagi banyak petani. Tanpa pemeliharaan yang berarti pun, tanaman kopi sudah bisa memberikan hasil

yang cukup lumayan untuk menambah penghasilan. Apalagi bila pemeliharaan dan pengolahannya cukup baik, pasti usaha ini mendatangkan keuntungan yang

(11)

Departemen Pertanian, rata-rata penduduk Indonesia mengkonsumsi kopi

sebanyak 0,5kg/orang/tahun (Danarti dan Sri, 1997).

Kopi termasuk komoditas perkebunan yang banyak diperdagangkan di

dunia international. Rata-rata persentase peningkatan konsumsi kopi di Benua Asia sebesar 5%-8% setiap tahun. Sementara itu, di Benua Amerika dan Eropa naik hingga 8% per tahun. Pada tahun 2003, permintaan kopi dalam negeri

mencapai lebih dari 140.000 ton. Harga perdagangan kopi lokal Indonesia rata-rata meningkat sebesar 15%-30%. Bahkan, untuk jenis kopi arabika, harga jualnya

pada tahun 2006-2007 meningkat hingga 60%. Pada pertengahan tahun 2010, harga jual kopi berfluktasi sangat tinggi. Di dunia, fluktasi harga kopi untuk grade 1-3 (kualitas tinggi) sangat tergantung dari bursa perdagangan di London (Inggris)

dan New York (Amerika Serikat) (Panggabean, 2011).

Pohon Penaung Tanaman Kopi

Tanaman kopi memerlukan tanaman pelindung untuk mengurangi

intensitas matahari yang sampai di kanopi daun, karena tanaman ini tidak dapat tumbuh dengan baik apabila diusahakan pada areal yang terbuka. Berbagai jenis

tanaman pelindung telah banyak dikenal oleh pekebun kopi, diantaranya adalah tanaman gamal, lantoro, dadap, suren dan lain sebagainya. Respon pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi terhadap tanaman pelindung ini sangat nyata.

Pada pertanaman kopi yang diusahakan di tempat terbuka tanpa menggunakan tanaman pelindung pertumbuhannya akan sangat lambat, warna daunnya

(12)

dibanding dengan tanaman kopi yang menggunakan tanaman pelindung.

Sebaliknya, apabila tanaman pelindungnya terlalu rimbun tanaman kopi akan mengalami pertumbuhan yang kurang baik yang ditandai dengan daun berwarna

hijau gelap, melebar dan lebih tipis dengan jumlah daunnya juga berkurang (Pranowo, 2014).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Evizal dkk, (2012) mengenai peran

pohon pelindung terhadap produktivitas kopi, jenis pohon pelindung yang digunakan untuk tanaman kopi berpengaruh terhadap produktivitas kopi. Tanaman

kopi tanpa pohon pelindung memiliki nilai kembalian hara yang negatif yang menunjukkan jumlah unsur hara yang dikuras dalam buah yang dipanen. Pohon pelindung menentukan produktivitas buah kopi berkaitan dengan peran pohon

pelindung sebagai penghasil serasah guguran tajuk dan siklus unsur hara dalam penaungan tanaman kopi.

Buah kopi yang sudah masak pada umumnya akan bewarna kuning

kemerahan sampai merah tua. Untuk memperoleh hasil yang bermutu tinggi, buah kopi harus dipetik setelah betul-betul matang, kopi memerlukan waktu dari

kuncup bunga 8 hingga 11 bulan untuk robusta dan 6 sampai 8 bulan untuk arabika. Musim panen ini biasanya terjadi mulai bulan Mei atau Juni dan berakhir pada bulan Agustus atau September (Ridwansyah, 2003).

Dalam usaha agroforestri di daerah Chiapas, Mexico, para petani yang menggunakan sistem agroforestri lebih memilih jenis pohon yang mengacu pada

(13)

dianggap petani berhubungan dengan jasa ekosistem yang bermanfaat bagi

produksi kopi, yaitu dimana mencakup naungan yang tepat untuk pohon kopi, kesuburan tanah, dan tempat yang baik untuk penyerbukan serta agen biokontrol

bagi tanaman kopi. Petani meningkatkan jasa ekosistem dengan cara meningkatkan jenis pohon yang dinilai memiliki karakteristik sesuai dengan ekosistem untuk tanaman kopi, dan dengan mengurangi pohon, berarti dapat

merugikan tanaman kopi (Barrios dkk, 2015).

Menurut Bote dan Paul (2011) pohon peneduh melindungi tanaman kopi

dari tekanan lingkungan yang merugikan seperti suhu tanah yang tinggi dan kelembapan yang relatif rendah. Naungan, juga memicu perbedaaan perilaku fisiologis tanaman kopi, seperti perbaikan fotosintesis dan peningkatan indeks

luas daun sehingga menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada tanaman kopi yang terkena cahaya matahari langsung. Tumbuhnya naungan tanaman kopi, juga membuat meningkatnya produksi kopi dan biji kopi lebih berat dengan rasa kopi

yang lebih baik dibandingkan dengan tanamn kopi yang ditanam dibawah sinar matahari langsung. Selain itu, pohon naungan berfungsi sebagai alternatif sumber

pendapatan bagi para petani kopi. Naungan pepohonan akan memungkinkan sumber pendapatan lain dari tanaman naungan seperti buah-buahan, kayu bakar dan kayu untuk diproduksi, dapat diterima secara social, memiliki nilai ekonomi

lebih, dan lingkungan yang berkelanjutan. Maka dari itu, dianjurkan menanam kopi di bawah tanaman naungan.

(14)

pendapatan tambahan. Secara tidak langsung sistem agroforestri menyediakan jasa

lingkungan dalam agroekosistem. Pada situasi kopi mengalami penurunan harga budidaya gabungan dalam agroforestri dapat menjamin pendapatan lebih baik. Di

daerah Espirito Santo, Brazil, agroforestri memberi kesempatan memperkenalkan komponen tanaman kehutanan, rempah-rempah atau buah yang dapat mendukung jasa lingkungan, menghasilkan kayu berkualitas untuk pertukangan.

Perubahan iklim yang terjadi beberapa tahun terakhir ini memiliki pengaruh yang kurang baik terhadap produktivitas tanaman kopi. Berdasarkan

hasil penelitian mengenai dampak perubahan iklim terhadap tanaman kopi di Uganda yang dilakukan oleh Jassogne dkk, (2013) menyatakan bahwa perubahan iklim akan mempengarui fisiologi tanaman. Perubahan iklim akan berdampak

pada tahap pembungaan dan tahap pembentukan kopi arabika.

Deskripsi Tanaman Suren

Berikut adalah taksonomi dari tanaman suren.

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (Tumbuhan berkeping dua/dikotil) Ordo : Sapindales

Famili : Meliaceae

Genus : Toona

Spesies : Toona sureni Merr.

(15)

plywood, rangka pintu dan jendela, kayu perkapalan, seni ukir dan pahat, potlot,

moulding. Kayu suren juga digunakan untuk lemari, mebel, interior ruangan, panel dekoratif, kerajinan tangan, alat musik, kotak cerutu, finir, peti kemas, dan

konstruksi (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pemali Jratun, 2010).

Tinggi pohon suren dapat mencapai 34 m dengan pajang batang bebas cabang 10-25 m, diameter dapat mencapai 85 cm, tinggi dan lebar banir

masing-masing 0,9 m dan 0,6 m. Berat jenis kayu suren adalah sebesar 0,39. Kulit luar kayu suren berwarna kelabu atau merah, tidak beralur, mengelupas kecil-kecil.

Kayu suren berbau harum seperti cedar, tetapi bau tersebut lambat laun menghilang (Martawijaya dkk, 2005).

Penyebaran kayu suren berada di Nepal, India, Myanmar, Thailand,

Malaysia, dan bagian barat Papua Nugini. Di Indonesia, lokasi budidayanya terdapat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Suren dikenal juga dengan nama surian (Pulau Sumatera), surian wangi (Malaysia), danupra (Filipina), yetama

(Myanmar), dan surian (Thailand). Suren sebenarnya sangat cocok dibudidayakan di Indonesia. Selain kondisi iklim yang cocok, kualitas kayu yang dihasilkan dari

Indonesia juga cukup baik. Bagian tanaman yang dimanfaatkan yaitu berupa batang tanaman kayu yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, furniture,

veneer, dan panel kayu. Selain batang, kulit dan akarnya dapat dimanfaatkan

sebagai bahan baku obat diare dan bahan baku minyak aromatik. Sementara itu, ekstrak daun suren dipakai sebagai antibiotik dan insektisida alami. Pohon suren

(16)

Menurut Djam’an (2014) pohon suren ini memiliki karakter khusus seperti

harum yang khas apabila bagian daun atau buah diremas dan pada saat batang dilukai atau ditebang. Ada ciri lain yang dapat membedakan secara sekilas, yaitu

sebagai berikut. 1. Batang

Bentuk batang lurus dengan bebas cabang mencapai 25 m dan tinggi pohon

dapat mencapai 40 sampai 60 m. Kulit batang kasar dan pecah-pecah seperti kulit buaya berwarna coklat. Batang berbanir mencapai 2 m.

2. Daun

Daun suren berbentuk oval dengan panjang 10-15 cm, duduk menyirip tunggal dengan 8-30 pasang daun pada pohon berdiameter 1-2 m.

3. Bunga

Kedudukan bunga adalah terminal dimana keluar dari ujung batang pohon. Susunan bunga membentuk malai sampai 1 meter. Musim bunga 2 kali dalam

setahun yaitu bulan Februari-Maret dan September-Oktober. 4. Buah

Musim buah 2 kali dalam setahun yaitu bulan Desember-Februari dan bulan April-September, dihasilkan dalam bentuk rangkaian (malai) seperti rangkaian bunganya dengan jumlah lebih dari 100 buah pada setiap malai. Buah

berbentuk oval, terbagi menjadi 5 ruang secara vertikal, setiap ruang berisi 6-9 benih. Buah masak ditandai dengan warna kulit buah berubah dari hijau

(17)

2-4 mm dan pipih, bersayap pada satu sisi sehingga benihnya akan terbang

terbawa angin. Dalam 1 kg terdapat 64.000 benih. 5. Kayu

Gubal kayu suren berwarna kemerahan dan memiliki tekstur kayu yang kasar. Kayu suren termasuk kelas awet sehingga termasuk ke dalam kelas kayu ringan.

Saat ini terjadi defisit pasokan kayu nasional karena target tahun 2004 sebesar 63 juta m3, tidak sesuai dengan target tebangan nasional yang hanya

5,74 m3. Ketimpangan pasokan bahan baku kayu (log) tersebut berdampak buruk terhadap industri kehutanan. Upaya percepatan pembangunan hutan tanaman sangat diharapkan karena menjadi tumpuan sumber bahan baku bagi industri

sektor kehutanan menggantikan hutan alam. Upaya besar di atas sangat membutuhkan dukungan nyata dari aspek pengembangan jenis yang potensial, adaptif dan produktif serta memiliki spektrum pemanfaatan kayu yang luas. Salah

satu jenis yang prospektif sebagai jenis pilihan untuk dikembangkan pada hutan tanaman adalah jenis suren. Keberhasilan program pemuliaan tanaman suren

berdampak luas terhadap pengembangan dan peningkatan produktivitas hutan tanaman suren dan akan menjadi stimulator aktifnya operasional unit usaha sektor kehutanan dimasa depan (Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan

Tanaman Hutan, 2013).

Menurut Aminah dan Ismatul (2007) nilai ekonomi pengusahaan

(18)

menghasilkan pendapatan sebesar Rp. 81.782.094,59/orang/10 tahun dan dari

hasil penjualan benih suren rata-rata setiap desa mempunyai pendapatan sebesar Rp. 2.354.046,01/tahun, dan pendapatan petani yang dari usaha tani adalah

sebesar Rp 725.059,03/bulan/Ha. Selain itu, tanaman suren tidak mengggangu tanaman pertanian di bawahnya. Akar tunggang yang dimilikinya tidak menggangu tanaman di sampingnya dan daunnya tidak terlalu rimbun sehingga

tidak mengganggu tanaman di bawahnya.

Analisis Finansial

Penerapan ekonomika pertanian dalam usahatani adalah untuk memilih jenis usahatani yang paling menguntungkan di suatu daerah dengan cara mengalokasikan sumberdaya seperti faktor-faktor produksi (tanah, tenaga kerja,

dan modal) secara efektif, efesien, dan kontinu. Keuntungan yang diperoleh tersebut merupakan salah satu pendapatan petani (outcome). Usaha tani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor

produksi (tanah, tenaga kerja, modal, teknologi, pupuk, benih dan pestisida) dengan efektif, efesien, dan kontinu untuk menghasilkan produksi yang tinggi

sehingga pendapatan usahataninya meningkat (Rahim dan Diah, 2008).

Sistem agroforestri menghasilkan bermacam-macam produk yang jangka waktu pemanenannya berbeda, di mana paling sedikit satu jenis produknya

membutuhkan waktu pertumbuhan yang lebih dari satu tahun. Untuk melihat sejauh mana suatu usaha agroforestri memberikan keuntungan, maka analisis yang

(19)

Analisis finansial disusun dengan menghitung biaya yang terdiri dari biaya

tetap (fixed cost), biaya tidak tetap (variable cost) dan biaya rutin (operational cost). Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh petani

baik apakah petani melakukan proses produksi maupun tidak. Dengan kata lain biaya tetap tidak berubah menurut level output yang dihasilkan. Sebagai contoh, biaya tetap yang pada umumnya harus dianggarkan oleh petani adalah biaya untuk

membangun gudang, membeli peralatan mesin pertanian dan sebagainya. Biaya variabel (variable cost, VC) adalah biaya produksi yang berubah sesuai dengan

level output yang diproduksi oleh petani. Sebagai contoh, selama satu musim tanam, biaya variabel yang digunakan untuk memproduksi tanaman jagung adalah biaya yang dialokasikan untuk membeli input variabel seperti pupuk, benih, dan

obat-obatan (Debertin dan Tatiek, 2013).

Menurut Suharjito dkk, (2003) analisis finansial ditelaah melalui perhitungan dan kriteria investasi yang meliputi berikut ini.

a. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV), yaitu nilai saat ini yang mencerminkan nilai

keuntungan yang diperoleh selama jangka waktu pengusahaan dengan memperhitungkan nilai waktu dari uang atau time value of money. Suatu usaha termasuk usaha agroforestri akan dikatakan menguntungkan dan sebagai

(20)

b. Benefit Cost Ratio (BCR)

Benefit Cost Ratio (BCR) yaitu perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran selama jangka waktu pengusahaan (dengan memperhitungkan

nilai waktu dari uang atau time value of money). c. Internal Rate of Returns (IRR)

Internal Rate of Returns (IRR) menunjukkan tingkat suku bunga maksimum

yang dapat dibayar oleh suatu proyek atau usaha atau dengan kata lain merupakan kemampuan memperoleh pendapatan dari uang yang

diinvestasikan. Usaha agroforestri akan dikatakan layak apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku di pasar pada saat tersebut.

Analisis kelayakan finansial pengelolaan tingkat usahatani secara teori

dapat diklasifikasikan menjadi beberapa dimensi waktu yaitu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Klasifikasi tersebut antara lain dimaksudkan untuk mengetahui besarnya tingkat kelayakan finansial usahatani

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan Ilmiah ini akan membahas tentang Pembuatan Website Pemesanan Pada Toko Sepatu Olah Raga menggunakan bahasa pemprograman ASP dan SQL Server 2000, informasi yang disajikan

(2) Selain harus memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang yayasan, pengesahan badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga negara asing atau

tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan tata cara pengisian jabatan ASN sebagaimana

Atas partisipasinya pada penyetenggaraan "Sern'inor Imp{enntari t'titai-ni[oi *torotl(pagomumr dan Iefiangsaan dafan l(gfrifiryan l(pnprus' fengan pemfiicara cProf

[r]

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Penunjukan Pejabat

Apabila calon pemenang, calon pemenang cadangan 1 (satu) dan/atau calon pemenang cadangan 2 (dua) yang tidak hadir dalam pembuktian kualifikasi dengan alasan

Sampai dengan batas waktu penutupan pemasukan dokumen penawaran per tanggal 15 Maret 2017 pukul 23.59 WIB, jumlah calon Penyedia Barang/Jasa yang telah melakukan upload