• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan agen penular

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan agen penular"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan agen penular demam berdarah dengue di berbagai negara (Soedarto, 2011). Gigitan nyamuk

Aedes aegypti dapat berdampak fatal pada tubuh seperti bocornya plasma, hipovolemia, dan terjadinya syok, sehingga perlu dilakukan pengendalian vektor DBD. Di Indonesia, cara memberantas penyebaran nyamuk lebih dikenal dengan istilah pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD). PSN DBD dapat dilakukan dengan cara biologi, radiasi, dan secara kimiawi. Pengendalian larva nyamuk secara biologi menggunakan ikan dan bakteri. Pengendalian secara radiasi bertujuan membuat larva nyamuk menjadi infertil (Kemenkes RI, 2010).

Pengendalian larva nyamuk secara kimiawi dapat dilakukan menggunakan temepos. Penggunaan larvasida kimiawi dapat menguntungkan dan merugikan bila penggunaannya tidak tepat. Penggunaan larvasida kimia yang tepat sasaran dengan konsentrasi yang sesuai dapat memberikan keuntungan, yaitu mampu mengendalikan nyamuk dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme bukan target. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009 merekomendasikan konsentrasi aman penggunaan temepos yaitu 0,01%. Kerugian penggunaan temepos pada larva nyamuk Aedes aegypti yaitu pada penggunaan yang terus menerus dan dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan nyamuk resisten terhadap temepos (Kemenkes RI, 2010). Dampak negatif lain penggunaan

(2)

larvasida kimiawi berupa pencemaran air akibat residu yang tertinggal di tempat penampungan air yang dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan (Respati dan Keman, 2007).

Salah satu upaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah larvasida kimiawi adalah menggunakan larvasida yang ramah terhadap lingkungan, diantaranya menggunakan larvasida yang berasal dari tanaman (larvasida nabati). Larvasida nabati diharapkan memiliki daya bunuh yang selektif, mudah terurai, dan tidak mencemari air serta tanah sehingga tidak mempengaruhi kehidupan manusia, mamalia, dan ikan yang ada di lingkungan (BPTP, 2011).

Alam memiliki banyak tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai larvasida nabati. Seledri merupakan salah satu larvasida nabati yang telah dikembangkan oleh beberapa peneliti. Choochate et al. (2004) menyatakan bahwa ekstrak etanol biji seledri konsentrasi 81,0 mg/L mampu membunuh 50% larva, sedangkan pada konsentrasi 176,8 mg/L mampu membunuh 95% larva nyamuk

Aedes aegypti. Yongkhamcha dan Indrapichate (2012) menyimpulkan bahwa ekstrak etanol biji seledri konsentrasi 25,230 mg/L menyebabkan mortalitas pada 50% larva nyamuk Aedes aegypti.

Pembuatan suatu produk larvasida nabati memerlukan bahan baku (simplisia) dalam jumlah besar. Biji seledri sulit didapatkan dan jumlahnya sedikit di dalam tanaman, sehingga menjadi permasalahan dalam penggunaan biji seledri sebagai larvasida nabati. Berbeda dengan biji seledri, daun seledri jumlahnya melimpah sehingga berpeluang untuk dikembangkan sebagai larvasida nabati.

(3)

Kandungan kimia yang terdapat dalam herba seledri yaitu tanin, steroid, triterpenoid, alkaloid, dan flavonoid (Iswantini et al., 2012). Beberapa kandungan senyawa aktif dalam tanaman yang diduga berpotensi sebagai larvasida nabati yaitu tanin, alkaloid, dan flavonoid. Tanin mempengaruhi saluran pencernaan pada larva yang menyebabkan kelaparan dan kematian (Chowdhury et al., 2008). Alkaloid dan flavonoid mampu mempengaruhi sistem pernafasan dan sistem saraf pada larva serta memiliki sifat antifeedant. Larva yang terpapar flavonoid dan alkaloid melalui saluran pernafasan dan pori-pori pada permukaan tubuh dapat menyebabkan kematian pada larva (Repi et al., 2013).

Menurut Iswantini et al. (2012), pelarut etanol dapat menarik senyawa golongan tanin, flavonoid, dan alkaloid yang terkandung dalam daun seledri. Pelarut etanol digunakan dalam penelitian ini untuk mengekstraksi senyawa aktif yang terdapat dalam daun seledri karena lebih selektif, aman, dan tidak berbahaya bila dibandingkan pelarut polar lain seperti air, etil asetat dan aseton (Voigt, 1995). Berdasarkan latar berlakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian uji efektivitas larvasida ekstrak etanol daun seledri terhadap larva nyamuk Aedes aegypti.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah ekstrak etanol daun seledri memiliki efek larvasida terhadap larva nyamuk Aedes aegypti?

(4)

2. Berapakah konsentrasi ekstrak etanol daun seledri yang dapat membunuh 50% dan 95% larva nyamuk Aedes aegypti?

3. Apakah ekstrak etanol daun seledri mengandung senyawa aktif golongan tanin, flavonoid, dan alkaloid yang diduga berkontribusi dalam memberikan efek larvasida pada larva nyamuk Aedes aegypti?

C. Tujuan Penelitian

1. Membuktikan efek larvasida ekstrak etanol daun seledri terhadap larva nyamuk

Aedes aegypti melalui penelitian eksperimental.

2. Menetapkan konsentrasi ekstrak etanol daun seledri yang dapat membunuh 50% dan 95% larva nyamuk Aedes aegypti.

3. Mengidentifikasi senyawa aktif golongan tanin, flavonoid, dan alkaloid dalam ekstrak etanol daun seledri yang diduga berkontribusi dalam memberikan efek larvasida pada nyamuk Aedes aegypti.

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk:

1. Menambah informasi ilmiah kepada masyarakat tentang efektivitas daun seledri sebagai larvasida nabati.

2. Membuka peluang usaha bagi masyarakat untuk membudidayakan tanaman seledri sebagai bahan baku pembuatan produk larvasida nabati.

(5)

E. Tinjauan Pustaka 1. Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti banyak ditemui di daerah tropis dan subtropis (Kemenkes RI, 2010). Yellow tiger mosquito atau black white mosquito

merupakan nama lain dari nyamuk Aedes aegypti. Tubuh nyamuk Aedes aegypti memiliki ciri yang khas berupa garis-garis putih dan hitam sehingga dikenal dengan nama yellow tiger mosquito atau black white mosquito seperti yang tertera pada gambar 1.

Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti (Anonim, 2013)

a. Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti

Klasifikasi nyamuk Aedes aegypti sebagai berikut (Weerasighe et al., 2011):

Kingdom : Animalia Phylum : Artropoda Subphylum : Uniramia Classis : Insektisidae

(6)

Ordo : Diptrera Subordo : Nematocera Famili : Culicidae Subfamily : Culicinae Tribus : Culicini Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti

b. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti memiliki susunan tubuh terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, toraks, dan abdomen (Weerasighe et al., 2011). Nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil dibandingkan dengan nyamuk-nyamuk lain dan termasuk dalam kategori hewan berdarah dingin (Soedarmo, 1988). Bagian pada nyamuk jantan dan nyamuk betina berbeda-beda. Bagian kepala nyamuk Aedes aegypti terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Antena pada nyamuk jantan tipe plumose sedangkan pada nyamuk betina memiliki tipe pilose. Mulut nyamuk Aedes aegypti betina memiliki tipe penusuk dan penghisap. Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah manusia dibandingkan hewan. Bagian mulut nyamuk jantan lebih lemah dan sukar menembus kulit manusia, sehingga lebih menyukai cairan tumbuh-tumbuhan (Reiter, 2013).

(7)

c. Daur Hidup Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti memiliki metamorfosis sempurna yaitu telur, larva, pupa, hingga menjadi nyamuk dewasa. Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan nyamuk Aedes aegypti dari telur menjadi nyamuk dewasa yaitu 27 oC atau sama dengan suhu ruangan selama 10 hari (Soedarmo, 1988). Daur hidup nyamuk Aedes aegypti (gambar 2) dimulai dari telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa.

Gambar 2. Daur hidup nyamuk Aedes aegypti (Weerasighe et al., 2011)

1) Telur

Nyamuk Aedes aegypti betina meletakan telurnya pada dinding penampungan air. Nyamuk Aedes aegypti dapat mengeluarkan telur hingga 100 butir dalam satu kali bertelur (Soedarmo, 1988). Telur yang pertama ditetaskan berwarna putih, namun lama kelamaan akan berubah menjadi hitam dalam beberapa jam. Perubahan warna telur menjadi hitam berfungsi untuk melindungi telur agar tidak dimangsa oleh serangga maupun burung pemangsa. Ukuran telur nyamuk Aedes aegypti sekitar 0,7 milimeter per butir. Telur nyamuk Aedes aegypti

dapat bertahan selama enam bulan bila diletakkan di tempat yang

Nyamuk dewasa

Larva

Telur Pupa

(8)

kering (Christophers, 1960). Telur nyamuk Aedes aegypti berukuran kecil, berbentuk oval, berwarna hitam, dan tersusun satu-persatu pada dinding penampung air atau di atas permukaan air kurang lebih 2,5 cm dari dinding tempat perindukan (Weerasighe et al., 2011). Secara makroskopik, bagian dinding luar telur nyamuk Aedes aegypti

berbentuk garis-garis. Telur nyamuk Aedes aegypti menetas setelah 1– 2 hari di tempat perindukan dengan suhu optimum 25 oC – 30 oC (Christophers, 1960).

2) Larva

Fase yang terjadi setelah telur menetas adalah larva. Secara makroskopik, larva nyamuk mudah dikenali dengan gerakannya yang cepat dalam membelokkan tubuh. Larva nyamuk dapat bertahan lama bila di bawah permukaan air. Larva nyamuk tidak tahan terhadap cahaya senter atau matahari yang disorotkan ke larva nyamuk. Stadium larva memerlukan waktu pertumbuhan sekitar lima hari. Stadium larva meliputi empat kali pergantian kulit. Larva stadium 1, 2, 3 dan 4 secara bertutut memiliki panjang 1–2 mm, 2,5–3,9 mm, 5 mm, dan 7–8 mm. Larva stadium 4 mempunyai pelana yang terbuka, bulu sifon satu pasang, dan gigi sisir yang berduri lateral. Larva nyamuk Aedes aegypti dapat hidup dalam wadah yang mengandung air dengan pH 5,8–8,6. Setelah mengalami pengelupasan kulit, dalam waktu 6–8 hari, larva nyamuk akan berubah menjadi pupa

(9)

(kepompong) (Christophers, 1960). Gambaran larva pada stadium 1 sampai stadium 4 dapat dilihat pada gambar 3.

Keterangan I: larva stadium 1 II : larva stadium 2 III: larva stadium 3 IV : larva stadium 4

Gambar 3. Larva nyamuk Aedes aegypti (Bar dan Andrew, 2013)

3) Pupa

Pupa nyamuk Aedes aegypti berbentuk oval seperti koma. Kepala dan dadanya bersatu yang dilengkapi sepasang trompet pernapasan. Pada fase ini, pupa tidak makan. Suhu tempat pembiakan sesuai suhu ruangan. Jika terganggu, pupa akan bergerak naik turun dalam wadah air. Dalam waktu kurang lebih dua hari, kulit pupa akan sobek karena adanya gelembung udara, kemudian pupa akan berubah menjadi nyamuk dewasa (Christophers, 1960).

4) Nyamuk dewasa

Nyamuk Aedes aegypti dewasa dapat hidup selama kurang lebih 16–30 hari. Nyamuk Aedes aegypti yang telah keluar dari kepompong sekitar 24–28 jam telah menjadi nyamuk dewasa yang siap melakukan perkawinan. Nyamuk jantan setelah kawin akan istirahat. Setelah

(10)

terjadi perkawinan, nyamuk betina siap mencari darah untuk perkembangan telur. Nyamuk dewasa akan tumbuh dengan baik pada suhu ruangan (27 oC). Faktor yang mempengaruhi lama nyamuk dapat bertahan hidup adalah suhu, kelembaban, makanan, dan alat reproduksi (Christophers, 1960).

d. Usaha Pencegahan dan Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti

Pengendalian vektor nyamuk Aedes aegypti bertujuan untuk memberantas populasi nyamuk. Usaha pengendalian nyamuk sebagai serangga pengganggu melalui beberapa cara, yaitu:

1) Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

Upaya yang dilakukan untuk memberantas sarang nyamuk

Aedes aegypti adalah dengan cara menguras tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, dan mengubur barang bekas. Menguras tempat penampungan air dilakukan minimal satu minggu sekali. Hal ini bertujuan untuk merusak telur dan membunuh larva serta pupa yang ada di tempat penampungan. Menutup tempat penampungan air perlu dilakukan agar tempat penampungan air tidak digunakan nyamuk untuk menetaskan telur. Sampah yang dapat menjadi tadah air hujan dikubur agar tidak digunakan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti (Kemenkes RI, 2010). 2) Perlindungan Diri

Upaya yang perlu dilakukan untuk melindungi tubuh terhadap gigitan nyamuk adalah menggunakan obat nyamuk bakar atau lotion

(11)

antinyamuk (repellant). Pakaian pelindung yang tebal dan panjang dapat mengurangi resiko gigitan nyamuk. Tirai atau kelambu dapat digunakan untuk melindungi dari gigitan nyamuk pada saat tidur (Kemenkes RI, 2010).

3) Pengendalian Biologis

Pemusnahan larva Aedes aegypti secara biologis dapat dilakukan menggunakan hewan predator, misalnya menggunakan ikan. Larva nyamuk Aedes aegypti akan dimakan predator seperti ikan. Selain menggunakan ikan, pengendalian biologis dapat juga menggunakan bakteri serta cyclopoids (ketam laut) (Kemenkes RI, 2010).

4) Pengendalian dengan Radiasi

Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dengan radiasi dilakukan dengan bahan radioaktif dengan konsentrasi tertentu. Radiasi berfungsi membuat nyamuk jantan infertil sehingga bila terjadi perkawinan, telur yang diproduksi oleh nyamuk betina fertil menjadi tidak dapat berkembang (Lerik dan Marni, 2008).

5) Pengendalian dengan Bahan Kimia

Senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai pengendali nyamuk Aedes aegypti dengan cara membunuh larva adalah temepos 0,01%. Pemusnahan nyamuk dewasa dapat dilakukan dengan fogging

(penyemprotan) mengunakan malation. Cara pemberantaasan sarang nyamuk di atas yang dilakukan selama beberapa tahun terakir ini

(12)

dinilai kurang efektif karena hanya memberantas sebagian kecil dari populasi nyamuk Aedes aegypti (Kemenkes RI, 2010).

e. Larvasida

Larvasida berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu larva yang berarti serangga yang belum dewasa dan sida berarti pembunuh. Pencegahan perkembangan nyamuk yang paling efektif adalah menggunakan larvasida. Parameter aktivitas larvasida dapat dilihat dari banyaknya kematian larva nyamuk terhadap senyawa kimia yang digunakan (Kemenkes RI, 2012).

Pengendalian atau pencegahan nyamuk Aedes aegypti biasanya menggunakan larvasida kimia yaitu temepos. WHO merekomendasikan penggunaan temepos sejak tahun 1970 sebagai pengendali larva nyamuk

Aedes aegypti. Temepos merupakan jenis larvasida yang memiliki toksisitas yang rendah pada mamalia, tidak beracun pada manusia, dan merupakan pengendali larva nyamuk yang sangat efektif. Temepos berupa serbuk berwarna kehitaman. Menurut WHO konsentrasi standar penggunan temepos 0,01 mg dalam 1 liter air (WHO, 2009). Penggunaan temepos pada konsentrasi rendah dimaksudkan agar air yang sudah ditabur bubuk temepos tidak meracuni manusia. Pada nyamuk Aedes aegypti yang belum resisten, konsentrasi temepos 0,02% dapat menyebabkan kematian larva nyamuk. Penggunaan temepos dalam waktu lama dapat menyebabkan larva resisten. Nyamuk Aedes aegypti yang resisten pada temepos menyebabkan perkembangan nyamuk Aedes aegypti menjadi

(13)

tidak terkendali (Kemenkes RI, 2010). Gambaran struktur kimia temepos dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Struktur kimia temepos (WHO, 2012)

Penggunaan temepos dipengaruhi oleh kondisi kekeruhan air. Semakin keruh air maka konsentrasi yang dibutuhkan semakin besar. Air bersih yang terdapat di kolam, bak mandi, penampungan air minum, dan danau membutuhkan 10 gram temepos tiap 100 liter. Air persawahan dan rawa dengan kondisi air yang cukup keruh membutuhkan temepos 20 gram per 100 liter air, sedangkan untuk kondisi air yang keruh seperti di selokan, got, dan limbah rumah tangga dibutuhkan 30 gram tiap 100 liter air.

2. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Gigitan nyamuk Aedes aegypti menyebabkan penyakit demam berdarah. Nyamuk Aedes aegypti betina yang membawa virus dengue menggigit manusia di pagi dan sore hari. Gejala klinis yang timbul pada pasien DBD adalah demam tinggi yang mendadak selama 2–7 hari, hepatomegali, syok, trombositopeni, dan gejala klinik lain. Patogenesis dari pasien DBD yaitu meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia, dan terjadinya syok (Zulkoni, 2011).

(14)

a. Virus Dengue

Virus dengue dapat menyebabkan penyakit DBD. Virus dengue termasuk dalam genus flavirus dengan famili flaviviridae. Virus dengue berukuran sangat kecil, yaitu 50 nm dan merupakan virus RNA untai tunggal yang terdiri dari empat serotipe yang berbeda yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 (Depkes, 2004). Keempat serotipe tersebut sangat mirip satu dengan yang lain (Zulkoni, 2011). Antibodi terhadap masing-masing virus tidak dapat saling memberikan perlindungan silang. Infeksi yang terjadi pada host dengan salah satu serotipe akan menimbulkan resisten pada serotipe sejenis. Infeksi yang terjadi pada serotype yang berlainan menyebabkan infeksi sekuensial yang manifestasinya lebih berat. Virus dengue yang banyak ditemukan yaitu tipe DEN-2 dan DEN-3 yang lebih dominan dan menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Depkes, 2004).

b. Potogenesis DBD

Penyakit demam berdarah terjadi ketika seseorang terpapar virus dengue untuk pertama kali atau terpapar virus dengue dengan tipe yang lain. Virus dengue perlu bersaing dengan sel yang berada di tubuh manusia agar dapat memenuhi kebutuhan protein untuk kelangsungan hidupnya. Persaingan antara virus dan sel di dalam tubuh manusia ditentukan oleh kondisi dari manusia. Saat kondisi pasien kurang baik, virus akan menimbulkan penyakit yang semakin berat hingga menyebabkan kematian. Bila kondisi dalam keadaan baik, tubuh

(15)

membentuk antibodi sehingga terjadi penyembuhan. Virus dengue terpapar ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Reaksi awal yang ditimbulkan berupa demam dengue (Depkes, 2004). Kondisi pasien demam berdarah dapat dilihat berdasarkan tingkat keparahannya. Tingkat keparahan penyakit demam berdarah adalah sebagai berikut (WHO, 1997):

1. Derajat 1 ditandai dengan adanya demam mendadak dan keluhan yang tidak spesifik.

2. Derajat 2 manifestasinya sama dengan derajat 1 disertai terjadinya pendarahan (bintik-bintik) di bawah kulit.

3. Derajat 3 manifestasinya sama dengan derajat 2 disertai terjadinya hipotensi, sianosis, kulit terasa lembab, dan terjadi kegelisahan pada pasien.

4. Derajat 4 manifestasinya sama dengan derajat 3 disertai terjadinya syok, nadi tidak teraba, dan tekanan darah tidak teratur.

Demam berdarah akut dapat menyebabkan meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah, peningkatan hematokrit, menurunnya volume plasma, hipotensi, dan trombositopeni. Penurunan volume plasma dan peningkatan hematokrit terjadi karena plasma di jaringan ekstravaskuler yang melewati pembuluh darah kapiler mengalami kerusakan. Penyakit demam berdarah kronis terjadi pada pasien yang terpapar virus dengue untuk kedua kalinya dengan tipe yang lain. Pada kasus demam berdarah kronis, tubuh sudah membentuk

(16)

antibodi heterolog. Antibodi ini akan mengenali virus dengue lain sehingga tubuh membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan dengan reseptor fc dari membran leukosit. Hal ini dapat menyebabkan sekresi mediator vasoaktif sehingga terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan hipovolemia serta syok. Hipovolumia yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Pada pasien yang mengalami kekurangan plasma dapat diganti dengan cairan elektrolit (Soedarmo, 1988).

Pendarahan hebat pada saluran pencernaan yang tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan kematian pada pasien demam berdarah. Pendarahan terjadi karena adanya gangguan trombosit dan terjadi trombositopeni hebat. Gangguan trombosit terjadi karena adanya proses imunologis yang terdapat pada kompleks imun dalam peredaran darah (Soedarmo, 1988). Antibodi virus dengue dapat ditemukan di dalam darah pada saat demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai minggu ketiga, dan menghilang setelah 60–90 hari (Kemenkes RI, 2010).

c. Mekanisme Penularan DBD

Penyakit DBD ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Penyebaran virus pada manusia terjadi melalui gigitannya. Sebelum mengisap darah, nyamuk akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis). Pengeluaran air liur bertujuan agar darah yang dihisap tidak membeku.

(17)

Melalui air liur, terjadi pemindahan virus dengue dari nyamuk ke tubuh manusia. Virus dengue yang berada dalam air liur akan berkembangbiak pada rentang waktu 8–10 hari sebelum dapat ditularkan kembali ke tubuh manusia. Gejala infeksi dapat timbul pada tubuh manusia setelah masa tunas virus yang terjadi selama 4–6 hari. Manusia dapat menularkan virus dengue apabila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Masa viremia berlangsung selama dua hari sebelum timbul gejala demam sampai lima hari setelah demam (Depkes, 2004).

3. Uraian Tanaman Seledri

Tanaman seledri barasal dari daerah sub tropis yaitu Eropa dan Asia. Seledri pertama kali dibudidayakan di Prancis pada tahun 1623 (Fazal dan Singla, 2012). Tanaman tersebut hidup subur di daratan tinggi dan banyak ditemukan pada ketinggian 900 m di atas permukaan air laut. Gambaran tanaman seledri dapat dilihat pada gambar 5.

(18)

a. Klasifikasi

Berikut ini klasifikasi tanaman seledri sebagai berikut (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, 2001):

Kingdom : Plantae Devisi : Magnoliophyta Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Magnoliophyta Ordo : Apiales Famili : Apiaceae Genus : Apium

Spesies : Apium graveolens L b. Nama Daerah Tanaman Seledri

Tanaman seledri hidup subur di daratan tinggi dan tersebar diberbagai negara. Tanaman seledri di Inggris dikenal dengan celery, di Perancis dengan sebutan celeri, di Italia dengan sebutan seleri, dan di Jerman lebih dikenal dengan selinon atau parsley. Di Indonesia lebih dikenal dengan seledri, di pulau Jawa disebut dengan sledri, dan di Sunda disebut dengan saledri (BPOM, 2010).

c. Deskripsi Tanaman Seledri

Tanaman seledri merupakan pepohonan yang hidup menahun yang berbatang tegak dan dapat tumbuh mencapai 25–100 cm. Seledri memiliki batang bersegi, beralur membujur, beruas, tidak berambut, bercabang banyak, dan berwarna pucat. Daun seledri majemuk menyirip

(19)

ganjil dengan anak daun 3–7 helai. Anak daun bertangkai dengan panjang 7 cm, helai daun tipis dan mudah rapuh, pangkal dan ujung daun runcing, tepi beringgit, panjang 2–7,5 cm, lebar 2–5 cm, pertulangan menyirip, dan berwarna hijau keputih-putihan. Bunga seledri majemuk berbentuk payung sebanyak 8–12 buah, mahkota berbagi lima, bagian pangkal berlekatan, berbentuk kecil, berwarna putih atau putih kehijauan, dan mekar secara bertahap. Biji seledri berbentuk kerucut dengan panjang 1–1,5 mm dan berwarna hijau kekuningan. Akar seledri merupakan akar tunggang dan berwarna putih (Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, 2001).

d. Penggunaan dan Kandungan Seledri

Tanaman seledri dapat dimanfaatkan dalam pengobatan. Akar seledri dapat dimanfaatkan untuk memacu enzim pencernaan dan mempercepat ekskresi sehingga digunakan sebagai diuretik. Bagian biji atau buah seledri dapat digunakan sebagai pereda kejang (antispasmodik), penurun kadar asam urat darah, antirematik, peluruh kentut (karminatif), sedatif, dan antihipertensi. Manfaat lain dari tanaman seledri yaitu sebagai antijamur, antiinflamasi, mengatasi ketidaknyamanan saat menstruasi, antikanker, dan memperbaiki kondisi reproduksi (Fazal dan Singla, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Choochate et al. (2004) mengenai biji seledri yang diekstraksi dengan etanol 95% sebagai larvasida nabati menyebabkan kematian larva nyamuk Aedes aeypti sebesar 50% pada konsentrasi 81,0 mg/L,

(20)

sedangkan konsentrasi 176,8 mg/L dapat menyebabkan kematian 95%. Penelitian yang dilakukan oleh Yongkhamcha dan Indrapichate (2012) mengungkapkan bahwa ekstrak etanol 70% biji seledri membunuh 50% larva nyamuk Aedes aegypti pada konsentrasi 25,230 mg/L.

4. Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses penarikan kandungan kimia (senyawa aktif) dari simplisia tertentu dengan pelarut organik atau anorganik (cairan penyari), sesuai dengan senyawa aktif yang diinginkan dapat terlarut. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh metode penyarian dan cairan penyari yang digunakan (Voigt, 1995).

a. Metode Penyarian

Metode penyarian menggunakan cairan penyari dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu cara panas dan cara dingin. Metode ekstraksi cara dingin dibagi menjadi dua, yaitu maserasi dan perkolasi. Metode ekstraksi cara panas dibagi menjadi lima, yaitu sokletasi, refluks, digesti, infus, dan dekok (Depkes, 2000).

Metode ekstraksi dengan maserasi adalah perendaman simplisia menggunakan cairan penyari dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang. Maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung zat aktif mudah larut dalam cairan penyari. Cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Perbedaan konsentrasi antara cairan penyari dengan isi sel tanaman menyebabkan terjadinya proses difusi senyawa aktif. Maserasi merupakan ekstraksi

(21)

dengan pengadukan yang dilakukan secara kontinyu. Maserasi melibatkan proses remaserasi yaitu pengulangan penambahan cairan penyari setelah dilakukan penyarian maserat yang pertama dan selanjutnya (Depkes, 2000). Keunggulan penyarian dengan metode maserasi yaitu pengerjaannya mudah dan penggunaan alat yang sederhana. Kelemahan dari metode maserasi yaitu proses pengerjaan pada metode ini membutuhkan proses pengerjaan yang lama dibandingkan perkolasi, dibutuhkan pengadukan secara kontinyu, dan penyarian kurang sempurna (Seidel, 2006).

Ekstraksi secara perkolasi adalah ekstraksi dengan cairan penyari yang selalu baru. Perkolasi biasanya dilakukan pada suhu ruangan. Pada tahap ini, penyarian dilakukan sampai tetesan ekstrak menjadi jernih sebagai tanda ekstraksi selesai dilakukan (Depkes, 2000). Keunggulan penggunaan perkolasi yaitu tidak terjadi penjenuhan pada cairan penyari yang digunakan untuk mengekstraksi simplisia. Kelemahan dari proses perkolasi yaitu cairan penyari yang digunakan lebih banyak (Seidel, 2006). Ekstraksi secara sokletasi adalah ekstraksi menggunakan cairan penyari yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus, sehingga terjadi ekstraksi secara kontinyu dengan jumlah cairan penyari yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000). Keunggulan metode ini adalah dapat digunakan untuk mengekstraksi simplisia yang tahan terhadap panas, cairan penyari yang digunakan lebih sedikit, dan suhu ekstraksi dapat diatur. Kelemahan dari proses sokletasi

(22)

yaitu ekstrak yang terkumpul pada labu alas bulat dipanaskan secara terus menerus, sehingga kemungkinan berpotensi merusak senyawa aktif pada ekstrak yang sudah tersari dan tidak cocok untuk ekstraksi simplisia dalam skala besar (Seidel, 2006).

Ekstraksi secara refluks adalah ekstraksi dengan cairan penyari pada temperatur titik didihnya selama kurun waktu tertentu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya proses refluk memerlukan pengulangan proses pada residu pertama 3–5 kali sehingga simplisia dapat terekstraksi secara sempurna. Ekstraksi secara digesti adalah maserasi kinetik dengan pengadukan secara kontinyu pada temperatur 40–50oC. Ekstraksi digesti dilakukan untuk simplisia dengan kandungan senyawa aktif yang tahan terhadap pemanasan. Infusa adalah ekstraksi dengan cairan penyari air pada temperatur 90oC, di atas penangas air selama 15 menit. Dekokta merupakan ekstraksi yang tidak jauh berbeda dengan infusa. Ekstraksi dilakukan lebih lama dari infusa, yaitu 30 menit pada suhu titik didih air (Depkes, 2000).

b. Cairan Penyari

Hal penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan cairan penyari yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah cairan penyari tidak berbahaya serta tidak beracun (Depkes, 2000). Macam-macam cairan penyari yang dapat digunakan untuk menyari simplisia dibagi menurut kepolarannya yaitu penyari polar dan non polar. Cairan penyari polar digunakan untuk mengekstrak senyawa polar dari tanaman. Cairan penyari

(23)

polar dibagi menjadi dua yaitu polar protik dan polar aprotik. Pelarut polar protik yaitu pelarut yang memiliki atom hidrogen yang terikat dengan atom yang memiliki elektronegatifitas besar (oksigen). Contoh pelarut polar aprotik yaitu air, asam format, metanol, etanol, n-propanol, isopropanol, n-butanol, dan asam asetat. Pelarut polar aprotik yaitu pelarut yang tidak memiliki ikatan O-H dalam molekulnya. Pelarut aprotik terdiri dari dua atom dengan perbedaan elektronegatifan yang besar. Contoh pelarut polar aprotik yaitu dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), asetonitril, aseton, diklorometana, dan tetrahidrofuran. Carian penyari non polar yaitu pelarut yang memiliki perbedaan keelektronegatifan yang relatif kecil. Contoh pelarut non polar yaitu etil asetat, kloroform, dietil eter, toluen, benzen, dan heksan (Purnomo, 2008). Kelebihan cairan penyari etanol sebagai cairan penyari yaitu bersifat universal karena dapat menarik senyawa yang bersifat polar dan semi polar dengan sedikit bahan pengotor yang terlarut. Etanol memiliki titik didih rendah sehingga mampu mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim (Voigt, 1995).

5. Kromatografi Lapis Tipis

Istilah kromatografi berasal dari bahasa Yunani yaitu chromagraphein,

berasal dari dua kata, chroma (warna) dan graphein (menulis). Kromatografi merupakan teknik pemisahan campuran berdasarkan distribusi dari campuran zat aktif dalam fase diam dan fase gerak. Dua fase dalam kromatografi yaitu fase diam berupa padatan atau cairan sedangkan fase gerak berupa cair atau

(24)

gas. Fase diam berupa padatan dikenal dengan adsorption chromatography

dan untuk fase diam cair disebut partition chromatography. Kromatografi lapis tipis disebut juga kromatografi penyerapan. Adsorben (fase diam) yang sering digunakan adalah silika dan alumina, sedangkan fase gerak dapat menggunakan campuran pelarut berdasarkan kekuatan elusi pada zat aktif yang diteliti (Depkes RI, 2008).

Pada kromatografi lapis tipis, zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan pada plat tipis yang terbuat dari lempeng kaca, plastik, atau logam secara merata. Lempeng yang sudah dilapisi dapat dianggap sebagai kolom kromatografi terbuka. Pemisahan dapat tercapai didasarkan pada adsorbsi, partisi atau kombinasi dari kedua efek. Pemisahan tergantung dari jenis lempeng, cara pembuatan, dan jenis campuran fase gerak yang akan digunakan. Hasil identifikasi diperoleh dengan mengamati bercak. Harga faktor retensi (Rf) pada sampel uji dan pembanding (Depkes, 2008).

F. Landasan Teori

Beberapa tanaman di alam memiliki potensi sebagai larvasida nabati. Seledri merupakan salah satu larvasida nabati yang telah dikembangkan oleh Choochate et al. (2004) serta Yongkhamcha dan Indrapichate (2012). Penelitian tersebut membahas efektivitas larvasida biji seledri. Jumlah biji seledri yang terdapat di dalam tanaman sedikit sehingga mempengaruhi ketersediaan bahan baku. Kandungan kimia yang terdapat dalam daun seledri menyerupai biji seledri sehingga daun seledri juga berpotensi untuk dikembangkan sebagai larvasida

(25)

nabati. Herba seledri mengandung senyawa tanin, steroid, triterpenoid, alkaloid, dan flavonoid (Iswantini et al., 2012). Tanin, alkaloid, dan flavonoid diduga sebagai golongan senyawa yang berpotensi sebagai larvasida nabati. Tanin bekerja dengan menghambat sintesis protein sel. Protein berikatan dengan reseptor di epitelium usus yang secara perlahan mengakibatkan penguraian epitelium usus. Hal tersebut menyebabkan larva kelaparan karena terganggunya sistem pencernaan akibat penyerapan protein yang terganggu (Chowdhury et al., 2008). Alkaloid mengganggu sistem syaraf larva dan flavonoid dapat mempengaruhi sistem pernafasan. Alkaloid dan flavonoid memiliki sifat

antifeedant dan beracun. Alkaloid dan flavonoid dapat mengurangi kemampuan larva untuk mencerna makanan dengan menurunkan aktivitas enzim pencernaan, sehingga mempengaruhi perkembangan larva (Repi et al., 2013).

G. Hipotesis

Ekstrak etanol daun seledri mempunyai aktifitas larvasida terhadap nyamuk

Aedes aegypti. Ekstrak tersebut mengandung senyawa aktif golongan alkaloid, tanin, dan flavonoid yang diduga bertanggung jawab terhadap efek larvasida.

Gambar

Gambar 1. Nyamuk Aedes aegypti (Anonim, 2013)
Gambar 2. Daur hidup nyamuk Aedes aegypti  (Weerasighe et al., 2011)
Gambar 4. Struktur kimia temepos (WHO, 2012)
Gambar 5. Tanaman seledri (dokumen pribadi)

Referensi

Dokumen terkait

galanga SW) terhadap kematian larva nyamuk Aedes aegypti yang.

EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN SERAI (Cymbopogon nardus) DALAM MEMBUNUH LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III.. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijasah

Penyakit demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue dan penularannya melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Hingga kini belum ditemukan

Judul Penelitian :Granulasi senyawa toksik sebagai bioinsektisida baru pemberantas larva nyamuk Aedes aegypti yang strategis di Indonesia.. 2 Identitas

memungkinkan populasi larva dan nyamuk dewasa Aedes aegypti dalam jumlah yang relatif rendah. pada musim hujan dibandingkan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mortalitas larva nyamuk Aedes aegypti hanya disebabkan oleh senyawa toksik yang terdapat pada ekstrak buah Averrhoa bilimbi.. KESIMPULAN

Nyamuk Aedes aegypti dewasa biasanya memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lainnya, berwarna hitam dengan bintikbintik putih pada

1) Dapat membantu dalam usaha pencegahan penyakit DBD, dengan cara pengendalian vektor yaitu dengan membunuh larva nyamuk Aedes aegypti.. 2) Memberi informasi kepada masyarakat