• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMILIHAN BAHASA WALSA-BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR ASLI BAHASA WALSA: STUDI KASUS PADA MASYARAKAT PUND

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMILIHAN BAHASA WALSA-BAHASA INDONESIA OLEH PENUTUR ASLI BAHASA WALSA: STUDI KASUS PADA MASYARAKAT PUND"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENUTUR ASLI BAHASA WALSA: STUDI KASUS PADA

MASYARAKAT PUND

LANGUAGE CHOICE OF WALSA LANGUAGE- INDONESIAN LANGUAGE BY NATIVE SPEAKER WALSA LANGUAGE: CASE STUDY ON PUND COMMUNITY

Suharyanto

Balai Bahasa Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Jalan Yoka Waine Distrik Heram, Jayapura 99358, Papua, Indonesia

Pos-el: muntihanah@yahoo.co.id

Naskah diterima: 20 Februari 2014; direvisi: 8 Mei 2014; disetujui: 12 Mei 2014

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemilihan bahasa Walsa-bahasa Indonesia pada ranah keluarga oleh penutur asli bahasa Walsa pada masyarakat Pund, Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Secara lebih khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah variabel umur berpengaruh secara signifikan terhadap pilihan bahasa mereka. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolinguistik dengan metode kuantitatif. Hasilnya menunjukkan bahwa pada ranah keluarga semakin muda usia responden maka semakin besar pemakaian bahasa Indonesia mereka. Fenomena ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran pemakaian bahasa antargenerasi dalam masyarakat Pund. Adanya pengaruh variabel umur responden terhadap pilihan bahasa ini ditunjukkan oleh hasil anova pada setiap situasi pemakaian bahasa yang memperlihatkan bahwa nilai F selalu berada jauh di atas nilai F tabel. Hasil anova ini semakin diperkuat oleh hasil pengelompokan Duncan yang memperlihatkan adanya perbedaan kelompok pemilih bahasa yang ditandai oleh perbedaan besarnya nilai rata-rata (mean) pilihan bahasa setiap kelompok tersebut. Hasil pengelompokan Duncan ini secara tegas memperlihatkan perbedaan kelompok pemilih bahasa sebagai akibat perbedaan variabel umur tersebut. Kata kunci: pemilihan bahasa, ranah keluarga, variabel umur

Abstract

This research’s objective is to know about the language choice of Walsa language-Indonesian language in family domain of the native speakers of Walsa in Pund society, District Waris, Keerom Regency, Papua Province. This research has a more specifically objective to know whether age variable is significantly affected to their language choice.

This study uses sociolinguistic approach with quantitative method. The result showes that, in family domain, the younger of respondents, the greater of their Indonesian language

usage. This phenomenon indicates that infiltration of Indonesian language usage have already happened. Age variable affection to these respondents’ language choice is

showed by Analysis of Variance (Anova) in every language usage situation which shows that F value is always over of F table. The result of this analysis is supported by Duncan

classification which shows that the differences of the group of language choice marked by mean of language choice differences in each group. This classification strictly shows

(2)

PENDAHULUAN

Desa Pund terletak di Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua. Desa ini berjarak kurang lebih 115 Km arah selatan Kota Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Secara administratif Desa Pund di sebelah utara berbatasan dengan Kampung Vam, di sebelah timur berbatasan dengan negara tetangga Papua New Guinea, di sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Mo, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kali Bom yang masih termasuk dalam wilayah Kampung Vam (Monografi Desa Pund, 2007). Menurut catatan monografi desa, pada bulan Januari tahun 2007 penduduk Desa Pund berjumlah 340 orang yang terdiri dari 170 orang laki-laki dan 170 orang perempuan. Secara kebahasaan, kondisi Desa Pund dapat dikatakan homogen. Hampir keseluruhan penduduknya adalah penutur bahasa Walsa. Kalau pun ada penutur bahasa lain, mereka biasanya adalah penutur bahasa tetangga yang menikah dengan penduduk desa tersebut dan kemudian menetap di sana.

Bahasa Walsa selain digunakan di Desa Pund juga digunakan di desa-desa lain di wilayah Distrik Waris, seperti Kampung Ampas, Kamieti, Mayor, Paitenda, dan Dawa (Tachier,1989:25). Bahkan, bahasa tersebut juga digunakan di negara tetangga Papua New Guinea. Menurut Tachier (1989:25) penutur bahasa Walsa berjumlah lebih kurang 4.000 orang yang terdiri dari 1.500 orang yang bermukim di wilayah Papua dan kurang lebih 2.500 orang bermukim di Negara Papua New Guinea. Sejalan dengan pendapat tersebut, Summer Institute of Linguistics (2006:56) mencatat bahasa Walsa dituturkan oleh sekitar 1.500 orang

yang tinggal di Indonesia. Menurut catatan SIL (SIL,2006:56) dan Pusat Bahasa (Tim Pemetaan, 2008:322) bahasa Walsa adalah sebutan lain untuk bahasa Waris. Bahasa ini termasuk dalam kelompok bahasa-bahasa Papua. Namun demikian, secara kuantitatif bahasa tersebut tidak memiliki kedekatan leksikal dengan bahasa-bahasa tetangga yang sama-sama menjadi anggota kelompok bahasa Papua tersebut.

Bahasa Walsa adalah alat komunikasi utama di antara anggota masyarakat Pund. Namun, seperti sudah menjadi pengetahuan umum, kondisi kebahasaan di Papua yang sangat diglosik mengharuskan setiap penutur bahasa yang ada di sana untuk menguasai bahasa lingua franca, tidak terkecuali penutur bahasa Walsa ini. Untuk keperluan perhubungan pada tingkat yang lebih luas ini dengan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh bahasa Melayu maka dipilihlah bahasa tersebut sebagai bahasa lingua franca di antara suku-suku bangsa yang ada di Papua. Peran bahasa Melayu sebagai bahasa lingua franca ini semakin kokoh sejak masuknya para penginjil di tanah Papua pada tahun 1885. Para penginjil tersebut memanfaatkan bahasa Melayu yang sudah dikenal saat itu sebagai bahasa pengantar dalam penyebaran agama Kristen. Sejak Papua direngkuh kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi peran bahasa Melayu, yang kemudian berubah nama menjadi bahasa Indonesia, semakin bertambah kokoh. Sejak saat itu, bahasa Indonesia tidak hanya berperan sebagai bahasa lingua franca saja, tetapi juga berkedudukan sebagai bahasa resmi negara. Dengan kedudukan sebagai bahasa resmi negara ini, bahasa Indonesia secara terencana, teratur, dan terarah dikembangkan. Oleh that any differences of language user group as the result of differences of the age variable.

(3)

karena itu, bahasa Indonesia berkembang dengan sangat intensif.

Kehadiran bahasa Indonesia, baik dalam perannya sebagai bahasa lingua franca

maupun dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi negara tanpa disadari telah menjadi pesaing dalam perkembangan bahasa Walsa. Persaingan kehidupan kedua bahasa ini semakin hari terasa semakin tidak seimbang. Bahasa Walsa yang jumlah penuturnya kecil dan penguasaannya terhadap berbagai sumber daya terbatas harus berhadapan dengan bahasa Indonesia yang jumlah penuturnya besar dengan berbagai kelebihan yang dimiliki. Berkaitan dengan masalah tersebut, makalah ini akan mencoba melihat bagaimana pemilihan bahasa yang terjadi di dalam masyarakat tutur Walsa, khususnya yang bermukim di Kampung Pund. Dengan mempertimbangkan berbagai keterbatasan yang ada, pembicaraan hanya dibatasi pada pemilihan bahasa dalam ranah keluarga dengan variabel umur sebagai variabel penentu. Pembatasan pembicaraan dalam ranah keluarga ini dengan pertimbangan bahwa ranah keluarga merupakan benteng terakhir dalam pemertahan suatu bahasa, sementara itu, berdasarkan pengalaman selama ini, variabel umur merupakan variabel sosial yang paling berpengaruh dalam pemilihan bahasa.

LANDASAN TEORI

Masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakainnya (Fishman dalam Soewito, 1983:20). Masyarakat tutur bukan sekedar kelompok orang-orang yang menggunakan bentuk bahasa yang sama, tetapi kelompok orang tersebut juga mempunyai norma-norma yang sama dalam memakai bentuk-bentuk bahasa yang ada. Menurut Fishman suatu

kondisi di mana di dalam suatu masyarakat terdapat dua variasi bahasa atau lebih dengan peran dan fungsi yang berbeda di sebut diglosia. Situasi diglosia ini memungkinkan terjadinya kedwibahasaan pada diri seorang penutur. Menurut Mackey (1972:555), kedwibahasaan adalah penggunaan secara bergantian dua bahasa atau lebih oleh seseorang yang sama. Menurut Baker (1995:2), kedwibahasaan merupakan “istilah payung” yang memayungi beberapa tingkat keahlian yang berbeda dalam dua bahasa. Seorang dwibahasawan tidak hanya seorang yang ahli dan mampu menggunakan dua bahasa, tetapi dapat pula orang yang sangat ahli dalam dua bahasa, tetapi sudah tidak pernah menggunakan salah satunya.

Menurut Holmes (1992:11) ada empat faktor sosial yang mempengaruhi cara seseorang dalam mengekpresikan tuturannya. Keempat faktor sosial tersebut adalah partisipan, yaitu orang yang terlibat dalam pertuturan, latar dan konteks sosial, yaitu waktu dan situasi tuturan berlangsung, topik, yaitu masalah yang dibicarakan, dan fungsi, yaitu maksud dan tujuan tuturan. Sementara itu, ketika membahas ragam bahasa dan situasi sosial Fishman memperkenalkan konsep ranah (domain)). Menurut Fishman (1972:442), yang mendukung konsep ranah terutama adalah topik, hubungan peranan (role-relation), dan tempat (locale). Di antara faktor-faktor di atas, topik sering merupakan faktor utama yang menentukan pemilihan penggunaan bahasa dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Terdapat beberapa ranah pemakaian bahasa di antaranya ranah keluarga (family), persahabatan (friendship), agama (religion), pendidikan (education), dan pekerjaan (employment) (Fishman 1972:440).

METODE PENELITIAN

Populasi penelitian ini adalah seluruh penduduk Desa Pund. Menurut catatan

(4)

monografi desa, pada bulan Januari tahun 2007 penduduk Desa Pund berjumlah 340 (Monografi Desa Pund, 2007). Keseluruhan populasi tersebut berdasarkan kelompok umurnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Tabel 1

Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur

No. Tahun≤ 20 Tahun21–40 Tahun Jumlah≥ 41

1. 165 100 75 340

Sampel penelitian adalah penduduk Desa Pund yang berumur di atas 12 tahun, penutur asli bahasa Walsa dan dapat berbahasa Indonesia. Sampel kemudian dikelompok-kelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan generasi, yakni ≤ 20 tahun; 21 tahun – 40 tahun; dan ≥ 41 tahun.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pengumpulan data kuantitatif menggunakan metode acak distratifikasi (Mantra dan Kasto, 1989:162). Pengumpulan data kuantitatif berhasil berhasil menjaring 65 responden dengan perincian seperti terdapat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2

Responden Berdasarkan Umur

Umur Frekuensi Persentase

≤ 20 21 32,3

21–40 28 43,1

≥ 41 16 24,6

Total 65 100

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seperti disebutkan di muka, tuturan seorang penutur ditentukan oleh beberapa faktor sosial. Berdasarkan hal-hal tersebut kemudian ia menentukan pilihan, sebaiknya menggunakan bahasa mana yang sesuai.

Di bawah ini adalah jawaban-jawaban responden tentang pemilihan bahasa Walsa dalam ranah keluarga. Di dalam daftar pertanyaan penelitian ini responden diminta memilih bahasa apa yang digunakan apabila mereka berbicara dalam situasi-situasi yang digambarkan dalam daftar pertanyaan tersebut. Situasi yang digambarkan dalam daftar pertanyaan tersebut ada empat, yakni ketika berbicara dengan ayah/ibu atau paman/bibi, ketika berbicara dengan anak (-anak), ketika berbicara dengan kakak, dan ketika berbicara dengan adik responden menggunakan bahasa apa. Di dalam daftar pertanyaan disediakan tiga pilihan bahasa yang digunakan, yaitu (1)

selalu/hampir selalu menggunakan bahasa Walsa, (2) menggunakan bahasa Walsa dan bahasa Indonesia sama seringnya,dan (3)

selalu/hampir selalu menggunakan bahasa Indonesia.

4.1 Aku → Ayah/Ibu

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa ketika aku (responden) berbicara dengan ayah/ibu frekwensi pilihan bahasa Walsa masyarakat Pund masih menunjukkan angka yang tinggi, yaitu 45 responden (69,23%). Sementara itu, frekwensi pilihan bahasa Indonesia mereka jauh lebih rendah karena hanya menunjukkan jumlah 11 responden (16,93%). Pilihan bahasa untuk masing-masing kelompok umur menunjukkan frekwensi yang berbeda-beda, baik terhadap pilihan bahasa Walsa maupun terhadap pilihan bahasa Indonesia mereka. Terhadap pilihan bahasa Walsa, frekwensi pilihan bahasa pada kelompok umur ≤ 20 tahun menunjukkan jumlah enam responden (9,23%), frekwensi pilihan bahasa pada kelompok umur 21—40 tahun menunjukkan jumlah 24 responden (36,93%), dan frekwensi pilihan bahasa pada kelompok umur ≥ 41 tahun menunjukkan jumlah 15 responden (23,07%). Terhadap pilihan bahasa

(5)

Indonesia, frekwensi pilihan bahasa pada kelompok umur ≤ 20 tahun menunjukkan jumlah 10 responden (15,39%), frekwensi pilihan bahasa pada kelompok umur 21-40 tahun menunjukkan jumlah satu responden (1,53%), dan frekwensi pilihan bahasa pada kelompok umur ≥ 41 tahun menunjukkan jumlah nol responden (0%).

Tabel 3

Frekuensi Pemilihan Bahasa Masyarakat Pund dalam Ranah Keluarga Berdasarkan Umur Usi-a Pilihan Bahasa Peserta Tutur Akuà Ayah/ Ibu Aku à Kakak Aku à Adik Aku à Anak (-anak) N % N % N % N % ≤ 20 1.BW > B1 6 9,23 4 6,15 2 3,08 0 0,00 2.BW = BI 5 7,70 5 7,70 6 9,23 4 6,15 3.BI > BW 10 15,39 12 18,46 13 20,00 17 26,16 2 1 – 40 1.BW > B1 24 36,93 23 35,39 23 35,39 7 10,77 2.BW = BI 3 4,62 4 6,15 4 6,15 14 21,54 3.BI > BW 1 1,53 1 1,53 1 1,53 7 10,77 ≥ 41 1.BW > B1 15 23,07 12 18,47 12 18,47 9 13,84 2.BW = BI 1 1,53 4 6,15 4 6,15 4 6,15 3.BI > BW 0 0,00 0 0,00 0 0,00 3 4,62 Total 65 100 65 100 65 100 65 100

Meskipun frekuensi pilihan bahasa Walsa masyarakat Pund masih menunjukkan angka yang cukup tinggi, yaitu 45 responden (69,23%), dalam kehidupan masyarakat Pund sesungguhnya telah terjadi gejala perembesan bahasa Indonesia. Gejala perembesan bahasa

Indonesia ini dapat dilihat dari nilai rata-rata (mean) pilihan bahasa mereka. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa ketika aku (responden) berbicara dengan ayah/ibu

diperoleh total rata-rata (mean) sebesar 1,4769 yang berarti ada indikasi pencampuran bahasa Indonesia dalam pemakaian bahasa Walsa mereka. Gejala perembesan bahasa Indonesia ini akan semakin besar pada kelompok usia yang lebih muda. Tabel 4 dapat memperlihatkan fenomena tersebut. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa pada kelompok umur ≤ 20 tahun diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 2,1905, pada kelompok umur 21—40 tahun diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 1,1786, dan pada kelompok umur ≥ 41 tahun diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 1,0625.

Tabel 4

Perbandingan Nilai Rata-Rata (Mean) Pemilihan Bahasa Masyarakat Pund dalam Ranah Keluarga Berdasarkan Umur

Umur Peserta Tutur

Aku à Ayah/

Ibu

Aku à

Kakak Aku à Adik Aku àAnak (-anak) ≤ 20 Mean 2,1905 2,3810 2,5238 2,8095 N 21 21 21 21 Standart Deviasi 0,87287 0,80475 0,67964 0,40237 21–40 Mean 1,1786 1,2143 1,2143 2,0000 N 28 28 28 28 Standart Deviasi 0,47559 0,49868 0,49868 0,72008 ≥ 41 Mean 1,0625 1,2500 1,2500 1,6250 N 16 16 16 16 Standart Deviasi 0,25000 0,44721 0,44721 0,80623 Total Mean 1,4769 1,6000 1,6462 2,1692 N 65 65 65 65 Standart Deviasi 0,77273 0,80623 0,81836 0,80174

(6)

Adanya pengaruh variabel umur terhadap pilihan bahasa masyarakat Pund ini juga ditujukkan oleh hasil analisis varian seperti yang terlihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil anava untuk α = 0,05 diperoleh nilai F sebesar 22,166 yang jauh berada di atas nilai F tabel sebesar 3,145258. Besaran nilai F yang berada di atas F tabel ini berarti bahwa variabel umur berpengaruh secara signifikan dalam hal pemilihan bahasa Walsa dan bahasa Indonesia oleh masyarakat Pund ketika aku (responden) berbicara dengan ayah/ibu.

Tabel 5

Hasil Anova (Α = 0,05) Pemilihan Bahasa

Masyarakat Pund dalam Ranah Keluarga Berdasarkan Umur

Situasi Pembicaraan Squares DfSum of SquareMean F Sig. Situasi 1 Aku à Ayah/ Ibu Between Groups Within Groups Total 15,933 22,283 38,215 2 62 64 7,966 ,359 22,166 ,000 Situasi 2 Aku à Kakak Between Groups Within Groups Total 14,150 26,988 41,138 2 62 64 9,467 ,366 25,894 ,000 Situasi 3 Aku à Adik Between Groups Within Groups Total 18,933 22,667 41,600 2 62 64 11,955 ,306 39,108 ,000 Situasi 4 Aku à Anak (-anak) Between Groups Within Groups Total 23,909 18,952 42,862 2 62 64 7,075 ,435 16,254 ,000

Catatan: untuk df 2/62, F tabel = 3,145258

Adanya pengaruh variabel umur dalam hal pemilihan bahasa ini juga diperkuat oleh hasil pengelompokan Duncan sebagaimana terlihat pada Tabel 6. Dari Tabel itu dapat dilihat adanya dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang menggunakan bahasa Walsa

ketika berbicara dengan ayah/ibu dan kelompok kedua adalah kelompok yang menggunakan campuran bahasa Walsa dan bahasa Indonesia

ketika berbicara dengan ayah/ibu. Kelompok pertama beranggotakan kelompok umur ≥ 41 tahun dengan nilai rata-rata (mean) 1,0625 dan kelompok umur 21—40 tahun dengan nilai

rata-rata (mean) 1,1786, sedangkan kelompok kedua hanya beranggotakan satu kelompok umur, yaitu kelompok umur ≤ 20 tahun dengan nilai rata-rata (mean) 2,1905.

Tabel 6

Hasil Pengelompokan Bahasa Duncan Pilihan Bahasa pada Situasi 1

Usia N Subset for alpha= 0,05

1 2 ≥ 41 Tahun 21—40 Tahun ≤ 20 16 28 21 1,0625 1,1786 2,1905 4.2 Aku Kakak

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa ketika aku (responden) berbicara dengan kakak frekwensi pilihan bahasa Walsa masyarakat Pund masih menunjukkan angka yang cukup tinggi, yaitu 39 responden (60%). Namun demikian, apabila dibandingkan dengan besaran frekwensi pilihan bahasa Walsa dengan mitra tutur ayah/ibu di atas, besaran frekwensi pilihan bahasa Walsa dengan mitra tutur kakak ini menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah. Kondisi yang sebalikknya terjadi pada pilihan bahasa Indonesia mereka. Besaran frekwensi pilihan bahasa Indonesia masyarakat Pund ketika aku (responden) berbicara dengan kakak

justru menunjukkan jumlah yang sedikit lebih besar apabila dibandingkan dengan besaran frekwensi pilihan bahasa Indonesia mereka ketika aku (responden) berbicara ayah/ibu. Frekwensi pilihan bahasa Indonesia masyarakat Pund ketika ketika aku (responden) berbicara kakak menunjukkan jumlah 13 responden (20%).

Pilihan bahasa untuk masing-masing kelompok umur menunjukkan frekwensi yang berbeda-beda, baik terhadap pilihan bahasa Walsa maupun terhadap pilihan bahasa Indonesia mereka. Terhadap pilihan

(7)

bahasa Walsa, frekwensi pilihan bahasa pada kelompok umur ≤ 20 tahun menunjukkan jumlah empat responden (6,15%), frekwensi pilihan bahasa pada kelompok umur 21—40 tahun menunjukkan jumlah 23 responden (35,39%), dan frekwensi pilihan bahasa pada kelompok umur ≥ 41 tahun menunjukkan jumlah 12 responden (18,47%). Terhadap pilihan bahasa Indonesia, frekwensi pilihan bahasa pada kelompok umur ≤ 20 tahun menunjukkan jumlah 12 responden (18,46%), frekwensi pilihan bahasa pada kelompok umur 21—40 tahun menunjukkan jumlah satu responden (1,53%), dan frekwensi pilihan bahasa pada kelompok umur ≥ 41 tahun menunjukkan jumlah nol responden (0%).

Meskipun frekwensi pilihan bahasa Walsa masyarakat Pund ketika aku (responden) berbicara dengan kakak masih menunjukkan angka yang cukup tinggi, yaitu 39 responden (60%), gejala perembesan bahasa Indonesia dalam situasi tutur ini semakin membesar. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa

ketika aku (responden) berbicara dengan kakak diperoleh total nilai rata-rata (mean) sebesar 1,6000 yang berada di atas total nilai rata-rata (mean) ketika aku (responden) berbicara dengan ayah/ibu di atas. Gejala perembesan bahasa Indonesia pada situasi tutur ini menunjukkan pola yang sedikit berbeda dengan gejala perembesan bahasa Indonesia pada situasi tutur sebelumnya. Pada situasi tutur ini perembesan bahasa Indonesia yang terjadi pada kelompok umur 21—40 tahun justru lebih rendah apabila dibandingkan dengan gejala perembesan bahasa Indonesia yang terjadi pada kelompok umur ≥ 41 tahun. Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai rata-rata (mean) pilihan bahasa responden kelompok umur 21—40 tahun sebesar 1,2143 sedikit lebih rendah apabila dibandingkan nilai rata-rata (mean) pilihan bahasa responden kelompok umur ≥ 41 tahun sebesar 1,2500.

Seperti halnya pada situasi tutur pertama

sebelumnya, pada situasi tutur kedua ini pilihan bahasa masyarakat Pund juga dipengaruhi oleh variabel umur, meskipun dengan sedikit perbedaan pola. Adanya pengaruh variabel umur terhadap pilihan bahasa masyarakat Pund ini ditujukkan oleh hasil analisis varian seperti yang terlihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil anava untuk α = 0,05 diperoleh nilai F sebesar 25,894 yang jauh berada di atas nilai F tabel sebesar 3,145258. Hal ini berarti bahwa variabel umur berpengaruh secara signifikan dalam hal pemilihan bahasa Walsa dan bahasa Indonesia oleh masyarakat Pund ketika aku (responden) berbicara dengan kakak. Adanya pengaruh variabel umur dalam hal pemilihan bahasa ini juga diperkuat oleh hasil pengelompokan

Duncan sebagaimana terlihat pada Tabel 7. Dari Tabel itu dapat dilihat adanya dua kelompok. Kelompok pertama beranggotakan kelompok umur 21—40 tahun dengan nilai rata-rata (mean) 1,2143 dan kelompok umur ≥ 41 tahun dengan nilai rata-rata (mean) 1,2500. Kelompok kedua hanya beranggotakan satu kelompok umur, yaitu kelompok umur ≤ 20 tahun dengan nilai rata-rata (mean) 2,3810. Pilihan bahasa kelompok pertama adalah bahasa Walsa, sedangkan pilihan bahasa kelompok kedua adalah campuran bahasa Walsa dan bahasa Indonesia.

Tabel 7

Hasil Pengelompokan Bahasa Duncan

Pilihan Bahasa pada Situasi 2

Usia N Subset for alpha= 0,05

1 2 21—40 Tahun ≥ 41 Tahun ≤ 20 28 16 21 1,2143 1,2500 2,3810 4.3 Aku Adik

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa ketika aku (responden) berbicara dengan adik frekwensi pilihan bahasa Walsa

(8)

masyarakat Pund masih menunjukkan angka yang relatif tinggi, yaitu 37 responden (56,93%). Apabila dibandingkan dengan besaran frekwensi pilihan bahasa Walsa masyarakat Pund pada situasi tutur pertama, penurunan besaran frekwensi pilihan bahasa Walsa pada situasi tutur ini begitu terasa. Namun demikian, besaran frekwensi pilihan bahasa Walsa pada situasi tutur ini hanya menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah apabila dibandingkan dengan frekwensi pilihan bahasa Walsa pada situasi tutur kedua. Kondisi yang sebaliknya terjadi pada pilihan bahasa Indonesia mereka. Besaran frekwensi pilihan bahasa Indonesia masyarakat Pund

ketika aku (responden) berbicara dengan adik justru menunjukkan jumlah yang sedikit lebih besar apabila dibandingkan dengan besaran frekwensi pilihan bahasa Indonesia mereka ketika aku (responden) berbicara ayah/ibu, maupun ketika aku (responden) berbicara kakak. Frekwensi pilihan bahasa Indonesia masyarakat Pund ketika ketika aku (responden) berbicara adik menunjukkan jumlah 14 responden (21,54%).

Pada situasi tutur ini, gejala perembesan bahasa Indonesia dalam kehidupan masyarakat Pund terasa semakin meningkat. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa ketika aku (responden) berbicara dengan adik diperoleh total rata-rata (mean) sebesar 1,6462. Hal demikian berarti bahwa sudah terjadi kecenderungan pemakain campuran bahasa Walsa dengan bahasa Indonesia dalam masyarakat Pund ketika aku (responden) berbicara dengan adik dalam ranah keluarga.

Seperti halnya pada situasi tutur kedua di atas, gejala perembesan bahasa Indonesia pada situasi tutur ketiga ini juga menunjukkan pola yang sedikit berbeda dengan gejala perembesan bahasa Indonesia pada situasi tutur pertama. Perbedaan pola perembesan bahasa Indonesia pada situasi tutur tiga ini juga terjadi pada kelompok umur 21—40 tahun yang justru

lebih rendah apabila dibandingkan dengan perembesan bahasa Indonesia yang terjadi pada kelompok umur ≥ 41 tahun. Sejauh ini, ‘anomali’ pola perembesan bahasa Indonesia atau pola pilihan bahasa pada kedua kelompok umur tersebut belum dapat dijelaskan secara memadai. Penambahan jumlah responden pada kedua kelompok umur tersebut atau penambahan data dan analisis kualitaitif mungkin akan dapat memberikan penjelasan terhadap ‘anomali’ pola perembesan atau pola pilihan bahasa kedua kelompok umur tersebut.

Meskipun terjadi sedikit ‘anomali’ pilihan bahasa pada kelompok umur 21—40 tahun, secara keseluruhan variabel umur tetap berpengaruh terhadap pilihan bahasa masyarakat Pund ketika aku (responden) berbicara dengan adik dalam ranah keluarga.

Adanya pengaruh variabel umur terhadap pilihan bahasa ini ditujukkan oleh hasil analisis varian seperti yang terlihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil anava untuk α = 0,05 diperoleh nilai F sebesar 39,108 yang jauh berada di atas nilai F tabel sebesar 3,145258. Hal ini berarti bahwa variabel umur berpengaruh secara signifikan dalam hal pemilihan bahasa Walsa dan bahasa Indonesia oleh masyarakat Pund ketika aku (responden) berbicara dengan adik.

Adanya pengaruh variabel umur dalam hal pemilihan bahasa ini juga diperkuat oleh hasil pengelompokan Duncan sebagaimana terlihat pada Tabel 8. Dari Tabel 8 itu dapat dilihat adanya dua kelompok. Kelompok pertama beranggotakan kelompok umur ≥ 41 tahun dengan nilai rata-rata (mean) 1,2500 dan kelompok umur 21—40 tahun dengan nilai rata-rata (mean) 1,2143. Kelompok kedua hanya beranggotakan satu kelompok umur, yaitu kelompok umur ≤ 20 tahun dengan nilai rata-rata (mean) 2,5238. Pilihan bahasa kelompok pertama adalah bahasa Walsa, sedangkan pilihan bahasa kelompok kedua adalah campuran bahasa Walsa dan bahasa

(9)

Indonesia dengan kecenderungan ke arah pilihan bahasa Indonesia.

Tabel 8

Hasil Pengelompokan Bahasa Duncan Pilihan Bahasa pada Situasi 3

Usia N Subset for alpha= 0,05

1 2 21—40 Tahun ≥ 41 Tahun ≤ 20 28 16 21 1,2143 1,2500 2,5238

4.4 Aku → Anak (-anak)

Berbeda dengan tiga situasi tutur yang sudah dibicarakan sebelumnya, berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa ketika aku (responden) berbicara dengan anak(-anak)

frekwensi pilihan bahasa Walsa masyarakat Pund menunjukkan angka yang cukup rendah, yaitu 16 responden (24,62%). Sebaliknya, frekwensi pilihan bahasa Indonesia mereka menunjukkan kenaikan jumlah yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan jumlah frekwensi pilihan bahasa Indonesia pada ketiga situasi tutur yang sudah dibicarakan sebelumnya. Frekwensi pilihan bahasa Indonesia masyarakat Pund pada situasi tutur keempat ini menunjukkan jumlah 27 responden ( 41,54%). Pilihan bahasa untuk masing-masing kelompok umur menunjukkan frekwensi yang berbeda-beda, baik terhadap pilihan bahasa Walsa maupun terhadap pilihan bahasa Indonesia mereka. Terhadap pilihan bahasa Walsa, dapat ditunjukkan bahwa pada kelompok umur ≤ 20 tahun sudah tidak dijumpai responden (0%) yang menggunakan bahasa Walsa, pada kelompok umur 21—40 tahun terdapat tujuh responden (10,77%) yang menggunakan bahasa Walsa, dan pada kelompok umur ≥ 41 tahun terdapat 9 responden (13,84%) yang menggunakan bahasa Walsa. Terhadap pilihan bahasa Indonesia, dapat ditunjukkan bahwa

pada kelompok umur ≤ 20 tahun terdapat 17 responden (26,16%) yang menggunakan bahasa Indonesia, pada kelompok umur 21— 40 tahun terdapat tujuh responden (10,77%) yang menggunakan bahasa Indonesia, dan pada kelompok umur ≥ 41 tahun terdapat tiga responden (4,62%) yang menggunakan bahasa Indonesia.

Apabila diamati secara lebih saksama, rendahnya frekwensi pilihan bahasa Walsa masyarakat Pund ketika aku (responden) berbicara dengan anak(-anak) berbanding terbalik dengan meningkatnya nilai rata-rata (mean) pilihan bahasa Indonesia masyarakat Pund ketika aku (responden) berbicara dengan anak(-anak). Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa ketika aku (responden) berbicara dengan anak(-anak) diperoleh total rata-rata (mean) sebesar 2,1692. Hal ini berarti bahwa masyarakat Pund telah berkomunikasi dengan menggunakan campuran bahasa Walsa dan bahasa Indonesia ketika aku (responden) berbicara dengan anak(-anak) dalam ranah keluarga. Hal ini berarti pula bahwa perembesan bahasa Indonesia yang terjadi pada situasi tutur ini menjadi semakin besar. Gejala perembesan bahasa Indonesia ini akan semakin besar pada kelompok usia yang lebih muda. Tabel 4 dapat memperlihatkan fenomena tersebut. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa pada kelompok umur ≤ 20 tahun diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 2,8095, pada kelompok umur 21—40 tahun diperoleh rata-rata sebesar 2,0000, dan pada kelompok umur ≥ 41 tahun diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 1,6250.

Adanya pengaruh variabel umur terhadap pilihan bahasa masyarakat Pund ini juga ditujukkan oleh hasil analisis varian seperti yang terlihat pada Tabel 5. Berdasarkan hasil anava untuk α = 0,05 diperoleh nilai F sebesar 16,254 yang jauh berada di atas nilai F tabel sebesar 3,145258. Hal ini berarti bahwa variabel umur berpengaruh secara signifikan

(10)

dalam hal pemilihan bahasa Walsa dan bahasa Indonesia oleh masyarakat Pund ketika aku (responden) berbicara dengan anak (-anak).

Adanya pengaruh variabel umur dalam hal pemilihan bahasa ini juga diperkuat oleh hasil pengelompokan Duncan sebagaimana terlihat pada Tabel 9. Dari tabel itu dapat dilihat adanya dua kelompok. Kelompok pertama beranggotakan kelompok umur ≥ 41 tahun dengan nilai rata-rata (mean) 1,6250 dan kelompok umur 21—40 tahun dengan nilai rata-rata (mean) 2,000. Kelompok kedua hanya beranggotakan satu kelompok umur, yaitu kelompok umur ≤ 20 tahun dengan nilai rata-rata (mean) 2,8095. Pilihan bahasa kelompok pertama adalah campuran bahasa Walsa dan bahasa Indonesia, sedangkan pilihan bahasa kelompok kedua adalah bahasa Indonesia.

Tabel 9

Hasil Pengelompokan Bahasa Duncan

Pilihan Bahasa pada Situasi 4

Usia N Subset for alpha= 0,05

1 2 ≥ 41 Tahun 21—40 Tahun ≤ 20 16 28 21 1,6250 2,0000 2,8095 SIMPULAN

Berdasarkan perbandingan nilai rata-rata (mean) pemilihan bahasa Walsa-bahasa Indonesia masyarakat Pund ( Tabel 4) dapat diketahui bahwa semakin kecil kelompok umur responden pada setiap situasi pemakain bahasa maka semakin besar nilai rata-rata (mean) pilihan bahasa mereka. Hal ini berarti bahwa semakin kecil kelompok umur responden semakin besar campuran bahasa Indonesia yang mereka gunakan saat berkomunikasi. Bahkan, pada kelompok umur ≤ 20 tahun total nilai rata-rata (mean) pilihan bahasanya sudah menunjukkan angka 2,4792 yang berarti saat mereka berkomunikasi

kelompok umur ini sudah ada kecenderungan menggunakan bahasa Indonesia. Fenomena tersebut juga menunjukkan bahwa pada saat ini sedang terjadi pergeseran pemakaian bahasa antar generasi dalam masyarakat Pund. Pergeseran pemakaian bahasa terjadi dari bahasa Walsa ke bahasa Indonesia. Adanya pengaruh variabel umur responden terhadap pilihan bahasa mereka tersebut ditunjukkan oleh hasil anava pada setiap situasi pemakaian bahasa yang memperlihatkan bahwa nilai F selalu berada jauh di atas F tabel (Tabel 5). Pada situai 1 diperoleh nilai F sebesar 22,166, pada situai 2 diperoleh nilai F sebesar 25,894, pada situai 3 diperoleh nilai F sebesar 39,108, dan pada situasi 4 diperoleh niali F sebesar 16,254 dengan nilai F tabel sebesar 3,1751. Hasil anava tersebut juga diperkuat oleh hasil pengelompokan Duncan yang memperlihatkan adanya dua kelompok dengan pilihan bahasa yang berbeda pada keempat situasi pemakaian bahasa tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Baker, Colin.1995. A Parent’s and Teacher’s Guide to Bilingualism. Clevedon, Philadhelphia, Adelaide : Multilingual Matters Ltd.

Fishman, Joshua A. 1972. ” Domains and The Relationship between Micro- and Macrosociolinguistics”

dalam John J. Gumperz & Dell Hymes (ed). 1972. Direction in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. New York : Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Holmes, Janet.1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman

Macky, F.W.1972. ”The Description of Bilingualism,” dalam Joshua A.

(11)

Fishman (ed).1972. Reading the Sociology of Language. Mouton: The Hague Paris.

Mantra, Ida Bagoes dan Kasto.1989.

”Penentuan Sampel”, dalam

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian(ed).1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Sudaryanto.1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori, dan Problema. Surakarta: Kenary Offset.

Tim Pemetaan.2008. “Kekerabatan Bahasa-bahasa Daerah Di Indonesia”. Jakarta: Pusat Bahasa.

Tachier, A. 1991. ’Bahasa-Bahasa Suku Bangsa di Irian Jaya’. Jayapura : Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Irian Jaya.

Gambar

Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai rata-rata  (mean) pilihan bahasa responden kelompok  umur  21—40  tahun  sebesar  1,2143  sedikit  lebih  rendah  apabila  dibandingkan  nilai  rata-rata  (mean)  pilihan  bahasa  responden  kelompok umur ≥ 41 tahun sebesar

Referensi

Dokumen terkait

Efek berkah terjadi setelah konsumen mencapai suatu kemaslahatan yang optimal maka kandungan berkah itu sangat mempengaruhi kecenderungan konsumen dalam

Jika pada benda yang berisi telur, air, dan garam mengalami posisi tenggelam, terapung dan melayang.. Prinsip yang digunakan

Hasil uji homogenitas dengan menggunakan uji Levene menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,209 ( sig. > 0,05) yang dapat interpretasikan bahwa data N-gain antara

 Guru memberikan penjelasan dan memberikan pelurusan konsep jika ada yang kurang tepat  Guru bersama siswa merefleksi proses. pembelajaran yang telah berlangsung, meliputi;

10 Meningkatnya dan pengembangan produktifitas, nilai tambah dan data saing sektor ketenagakerjaan. Persentase Pencari kerja yang

[r]

[r]

Keunggulan ikan meliputi:- Mengandung protein yang berkualitas tinggi dengan jumlah yang cukup dari semuaasam amino esensial, dan rendah lemak.- Kaya akan asam lemak esensial