• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problem Dualisme dalam Ontologi Filsafat Barat Modern dan Pascamodern

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Problem Dualisme dalam Ontologi Filsafat Barat Modern dan Pascamodern"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Problem Dualisme

dalam Ontologi Filsafat Barat

Modern dan Pascamodern

Ismail Al-‘Alam*

Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Email: Ismail.Alam@gmail.com

Abstract

The problem of Dualism along the history of Western philosophy arise from full using of human ratio as the only source of knowledge, without refer to Holy Revelation in its original and final form. Ratio used in every speculation thinking about truth and reality. As an impact of these mode, according Heidegger’s argument in An Introduction to Metaphysics, the philosophers faced some inherent problems when they trying to explain what Being is. The problem is what Syed Muhammad Naquib al-Attas says as absolute-dichotomy on hakikat (an Indonesian word that refer to both Truth and Reality). Dialectically, the philosophers who emerge later always trying to solve this problem based on previously thought until now, when Postmodernism deconstruct subject, ratio, and Being. Even if their project is eliminate Being in philosophical reasoning, Postmodernists only shifting it without avoid the problem of Dualism.

Keywords: Dualism, Reality, Truth, Being

Abstrak

Problem Dualisme sepanjang sejarah filsafat Barat muncul dari penggunaan penuh terhadap akal budi manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, tanpa merujuk kepada Kitab Suci dalam bentuknya yang asli dan final. Sebagai dampak dari keadaan ini, mengikuti argumentasi Heidegger dalam An Introduction to Metaphysics, para filsuf menghadapi beberapa persoalan inheren tatkala mereka mencoba untuk menjelaskan apa * Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto Kav. 96-97, Mampang Prapatan,

(2)

itu Wujud. Persoalan tersebut ialah apa yang Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebut sebagai penduaan mutlak peri hakikat (sebuah istilah bahasa Indonesia yang merujuk sekaligus kepada Kebenaran dan Hakikat). Secara dialektis, filsuf yang muncul belakangan selalu mencoba mengatasi persoalan ini berdasarkan kepada pemikiran sebelumnya hingga saat ini, saat Posmodernisme mendekonstruksi subyek, akal budi, dan Wujud. Meskipun proyek mereka adalah menyingkirkan Wujud di dalam penalaran filosofis, para Posmodernis hanya menggesernya tanpa menghindari persoalan Dualisme.

Kata Kunci: Dualisme, Realitas, Kebenaran, Wujud

Pendahuluan

Filsuf muslim kontemporer, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, menyebutkan bahwa salah satu ciri khas pandangan hidup (worldview) Barat adalah dualisme. Kamus Cambridge Daring secara umum meng arti kan dualisme sebagai “keyakinan bahwa segala sesuatu terbagi atas dua bagian yang biasanya sangat berbeda dan berlawanan”.1 Kamus Oxford Daring juga menunjukkan arti sejenis, dengan

menambahkan pengartian khusus dalam peristilahan filsafat, yakni

sebuah teori atau sistem pemikiran yang memandang realitas dalam dua prinsip yang independen.”2 Menurut Al-Attas, dualisme menguasai

semua ranah kehidupan dan filsafat Barat baik yang spekulatif,

sosial, politik, dan kebudayaan.3 Dualisme terjadi ketika akal budi manusia melakukan “...penduaaan mutlak peri hakikat”.4 Apa yang dimaksud Al-Attas sebagai “yang spekulatif” pada gambaran tentang dualisme tersebut adalah telaah akal budi untuk melihat ke depan (speculari), secara refleksif, hal-ihwal hakikat wujud yang hadir di

kesadarannya. Sebagaimana yang ditulis al-Attas sbb:

1 http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/dualism, diakses 17 Maret 2017, pukul 23:01.

2 https://en.oxforddictionaries.com/definition/dualism, diakses 17 Maret

2017, pukul 23:02.

3 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj: Khalif Muammar

dkk. (Bandung: PIMPIN, 2010), 171.

4 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala

(3)

“intisari dari falsafah hidup kebudayaan Barat ini berdasarkan kepada penerimaan faham dualisme, atau penduaan yang mutlak peri hakikat, termasuk penduaan nilai kebenaran, sebagai kenyataan yang dianggapnya benar dan mutlak. Faham dualisme ini mengikrarkan adanya dua hakikat dan kebenaran yang yang bertentangan dan yang mutlak.”5

Penelusuran akan hal-ihwal hakikat wujud mengantarkan Barat kepada tradisi Esensialisme. Setiap kali berupaya merumuskan dan menyampaikan hakikat realitas yang utuh-penuh-padu, para

filsuf sejak Thales (abad 7) sampai kaum Positivisme Logis dan

Neomarxis di abad 20 senantiasa berhadapan dengan realitas lain yang dinegasikannya. Hal ini menghasilkan dualisme atau, dalam

bahasa Martin Heidegger (1889-1976), suatu dikotomi antara

Ada (dengan A besar, Being) dan ada-an (beings), serta yang-ontologis

dan yang-ontis.6 Heidegger menawarkan analisis baru terhadap realitas, yakni hermeneutika, yang berangkat dari kesadaran terawal manusia sebagai “Dasein” (Ada-di-dunia) sebelum memenuhi akal

budinya dengan pemikiran esensialis yang diwariskan para filsuf terdahulu. Karena filsafat adalah asal-usul dari ilmu pengetahuan,

wabil khusus” ilmu pengetahuan modern, dualisme atau tradisi esensialisme mem beri dampak pada pengembangan metodologi ilmu pengetahuan tersebut.

Tulisan ini akan membahas secara singkat asal-muasal dualisme dan tradisi esensialisme, dengan merujuk hanya pada beberapa pemikiran filsuf yang mempengaruhi zamannya dan zaman setelahnya. Dengan mengacu pada uraian Heidegger, penulis akan menunjukkan bahwa dualisme adalah keadaan niscaya dari upaya

filsuf Barat dalam merumuskan realitas yang utuh-penuh-padu.

Setelah itu, penulis akan menguraikan kritik Heidegger terhadap dualisme atau tradisi esensialisme tersebut, yang melahirkan tradisi baru bernama Fenomenologi (sebagai kritik terhadap dualisme) dan Eksistensialisme (sebagai kritik terhadap esensialisme). Kedua

5Ibid, 20.

6 Donny Gahral Adian, Senjakala Metafisika Barat, (Depok: Penerbit Koekoesan,

(4)

konsep tersebut ditafsirkan secara radikal dan nihilistis oleh para

filsuf setelah Heidegger, seperti Lacan (1901-1981), Derrida (1930-2004), dan Lyotard (1924-1998), dan menandakan sebuah era baru

bernama Pascamodernisme (Postmodernism).

Meski Pascamodernisme bersifat nihilistis dan terkesan menuntas kan persoalan dualisme, penulis akan menunjukkan bahwa pemikiran mereka justru melahirkan dualisme baru; dualism bentuk lain, yakni antara ‘Realisme’ dan ‘Idealisme.’ Secara singkat, Realisme adalah aliran yang memahami bahwa ralitas adalah wujud di luar kesadaran dan tidak korelat dengan kesadaran, sedangkan Idealisme adalah aliran yang memahami bahwa realias wujud sejauh ia korelat dengan kesadaran, karena ia bermula dari dan berakhir kepada kesadaran manusia itu sendiri. Dengan menghancurkan kepastian bahasa sebagai representasi dari realitas, sebagaimana akan disinggung di bawah, Pascamodernisme adalah Idealisme dalam

bentuk ekstrim. Hal tersebut diakui oleh beberapa filsuf muda seperti Quentin Meillasoux (1967). Dalam rangka memberikan

kritik mendasar, sekaligus sebagai penutup, penulis di bagian akhir akan membahas pandangan Islam terhadap wujud dengan kembali pada pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

Dualisme dalam Penelusuran Filsafat-Pertama

Telaah akal budi yang spekulatif terhadap wujud secara keseluruhan dan sebagaimana adanya menjadi salah satu cabang

filsafat, bahkan yang paling utama, bernama ontologi. Ontologi

berasal dari kata “ontos” (ada) dan “logos” (pembicaraan, ilmu). Secara sederhana, ontologi berarti ilmu tentang “yang ada sebagai yang-ada. Istilah ini diperkenalkan oleh Christian Wolff (1679-1754)7

dalam upayanya melakukan kategorisasi dan sistematisasi terhadap

pemikiran para filsuf terdahulu, seperti Aristoteles (384-322). Ada

beberapa bab dari karya Aristoteles yang ditulisnya setelah buku

7 Lorens Bagus, Seri Filsafat Driyarkara 2:Metafisika (Jakarta: Gramedia Pustaka

(5)

Fisika; oleh Andronikos dari Rhode. Karya-karya tersebut dinamai

metafisika, atau “setelah fisika.” Kandungan dari metafisika tersebut

adalah pembahasan hal-ihwal yang ada sebagai yang ada dan ihwal teologi, sebagai abstraksi tingkat lanjut dari pembahasan

hal-ihwal fisika. Istilah fisika sendiri sebenarnya bermakna “tentang/ mengenai alam.” Istilah “setelah” atau “meta-” pada kata metafisika

tidak bermakna ruang atau waktu, melainkan dalam sistematika

pembahasan, sehingga metafisika dapat dimaknai sebagai upaya Aristoteles dalam melakukan abstraksi terhadap penampakan fisikal

yang diamatinya menuju ke arah yang ada sebagai yang-ada.

Dalam pembacaan Martin Heidegger, ontologi mengantarkan

filsafat Barat pada pembicaraan tak berkesudahan tentang “ousia”

atau esensi,8 sehingga filsafat Barat adalah filsafat yang merentang sebagai tradisi Esensialisme. Dampak dari hal tersebut, bagi Heidegger, adalah kemunculan dikotomi antara keadaan permanen

dari esensi yang dirumuskan para filsuf dengan hal-ihwal di dalam

realitas yang senantiasa berubah.9 Ada empat keadaan dikotomis, seperti dalam peta konsep yang dibuat Heidegger berikut:10

Being The ought Appea rance Thinki ng Beco ming

Bagan 1: Peta konsep dualisme menurut Heidegger

8 Istilah yang sama digunakan Aristoteles, jauh sebelum Heidegger, untuk

menyebut substansi.

9 Martin Heidegger, An Introduction to Metaphysics, terj. Ralph Manheim, (Delhi:

Motilal Banarsidass, 2005), 195.

(6)

Berdasarkan peta konsep yang telah disebut di atas, tampak

jelas bagaimana upaya para filsuf menelaah wujud, di mana ia

akan senantiasa berhadapan secara dikotomis dengan empat kemungkinan, yakni; Pertama, apa yang-wujud (being) berhadapan dengan apa yang-mewujud (becoming). Kedua, apa yang-wujud (being) berhadapan dengan apa yang dipikirkan (thinking). Ketiga, apa yang-wujud (being) berhadapan dengan apa yang-tampak (appearance), dan keempat, apa yang-wujud (being) berhadapan dengan apa yang-seharusnya (the ought). Empat kemungkinan ini menjadi residu

bagi upaya para filsuf memahami realitas secara

utuh-penuh-padu, atau yang ada sebagai yang ada. Mereka berupaya menganalisis

keterbatasan-keterbatasan para filsuf sebelumnya, juga melakukan

sintesis dengan dialektika antara satu pemikiran dengan pemikiran lain, dengan harapan meraih rumusan utuh-penuh-padu terhadap realitas atau Wujud.

Dalam merumuskan pemikirannya yang terkenal tentang keber adaan “dunia idea”, Plato (427-347), mencoba mendamaikan pemikiran dua filsuf yang hidup sebelumnya, yakni Herakleitos

(abad 6) dan Parmenides (abad 6). Bagi Herakleitos, Wujud seperti seseorang di dalam sungai,11 di mana ia tak pernah memperoleh air sungai yang sama, karena sungai terus mengalir; ia senantiasa berada dalam keadaan yang terus berubah.12 Sebaliknya, Parmenides meyakini bahwa Wujud atau yang-ada adalah satu dan tak terbagi, tidak dijadikan dan tidak dimusnahkan; mengisi segala ruang; dan—karenanya—sempurna.13 dalam bukunya “Republic,” Plato menempatkan kedua perdebatan itu ke dalam pemikirannya mengenai “dunia ide.” Dalam “Republic”, Plato juga menampilkan dialog gurunya Sokrates, dengan seorang bernama Glaucon tentang ranah ide dan ranah penampakan atau dunia sehari-hari; tentang

11 Fragmen 12, “They do not step into the same rivers . It is other and still other waters

that are flowing.” dalam William Harris, Heraclitus: The Complete Fragments, Translation and Commentary and The Greek Text (Vermont: Middlebury College, t.t), 10.

12 Fragmen 84a, “It is in changing that things find repose.” Ibid, 12.

(7)

yang—satu dan yang—banyak atau yang—beragam, “And beauty itself and good itself and all the things that we thereby set down as many, reversing ourselves, we set down according to a single form of each,believing that there is but one, and call it ‘the being’ of each.”14 Bagi Plato, dunia ide adalah tempat bagi kemutlakan ide-ide segala sesuatu, yang penampakannya terlihat di alam nyata ini, seperti “ide tentang sofa” yang kekal di “alam ide” dan sofa-sofa yang berada di rumah, kantor, dan mal yang bersifat partikular.

Pandangan Plato tersebut mendapat kritik dari muridnya sendiri; Aristoteles. Bagi Aristoteles, wujud sejati tidak bertempat di sebuah dunia rekaan akal budi yang oleh Plato disebut “dunia ide,” melainkan bertempat di alam semesta yang nyata ini. Apa yang hendak dijangkau Plato sebagai ide segala sesuatu, bagi Aristoteles berada pada sesuatu itu sendiri, bukan pada ide. Dalam “Metaphysics,” Aristoteles menjelaskan bahwa realitas terdiri atas individu-individu dengan substansi (ousia) dan aksiden-aksiden (symbebekos).15 Substansi memiliki arti “yang berdiri sendiri,” sedangkan aksiden berarti; “hal-hal yang dikenakan pada sesuatu yang berdiri sendiri.”

Substansi tentang sofa misalnya, tidak berada jauh di alam bernama “dunia ide” melainkan berada pada dirinya sendiri. Masing-masing sofa, sebagai individualitas, memiliki ciri-ciri pembeda atau aksiden satu sama lain, seperti kualitas—seperti dalam kalimat “sofa merah ini”, “sofa kumal itu”—kuantitas—seperti dalam kalimat “sofa panjang ini”, “sofa berat itu”—, relasi—seperti dalam kalimat “sofa paman”, “sofa ayah”—, tempat, dan waktu.

Bila diperhatikan dengan seksama, baik pandangan Plato maupun Aristoteles punya upaya yang serupa; yaitu menjangkau realitas secara utuh-penuh-padu, namun sayangnya keduanya menghadapi persoalan dikotomis atau dualisme. Dalam pemikiran Plato, setelah meyakini kesejatian dunia ide sebagai Wujud (being) yang sejati, ia berhadapan dengan persoalan apa yang-tampak di

14 Plato, “Republic,” dalam John M. Cooper (ed.), ‘Plato: Complete Works,’

(Indianapolis: Hackett Publishing Company 1997), 1128.

(8)

hadapannya sebagai alam semesta yang nyata. Sebaliknya, dengan keyakinannya tentang materialitas Wujud dan keberadaan substansi segala sesuatu, Aristoteles berhadapan dengan persoalan apa yang-terpikirkan (thinking) sebagai konsekuensi membuat pemisahan substansi-aksiden pada tiap-tiap benda.

Persoalan ini terulang kembali ketika Barat memasuki kurun modern. Apa yang disebut modern adalah penanda zaman dalam sejarah kesadaran Barat, yang bergerak maju—dari istilah berbahasa

Latin, moderna—melampaui kurun di mana Gereja dan agama

Nasrani berkuasa atas peripikir dan perilaku manusia selama abad pertengahan. Filsuf rasionalis saat itu, Rene Descartes (1596-1650) terkenal dengan ucapannya “Cogito ergo sum” (“Aku berpikir maka aku ada”), dating dengan sesuatu baru; Ia meragukan segala sesuatu yang tercerap ideranya, karena mencurigai adanya sebuah tipuan terhadap dirinya. Dari keraguan tersebut, muncul kesadaran akan sesuatu yang tak dapat diragukan lagi, bahwa dia sedang berpikir. Kebenaran kesadaran “Aku berpikir, maka aku ada” bagi Descartes adalah kokoh dan pasti.16

Dari subyek—yang—berpikir tersebut, Descartes membangun argumentasi tentang keberadaan kesadaraan bawaan (res cogitans) dan kesadaraan keluasan (res extensa). Kesadaran bawaan pada subyek memberikannya kemampuan mengenali realitas yang memiliki keluasan. Karena relasi keduanya tetap, kesadaran keluasan tersebut dapat dijangkau dengan penalaran matematis. Di sini, Descartes memisahkan antara badan dan jiwa, karena yang dapat ditelaah secara rasional hanyalah fenomena badaniah saja. Pemisahaan ini dikenal sebagai “dualisme Cartesian.” Pemikiran ini membuat Descartes disebut sebagai bapak Rasionalisme.

Upaya Descartes merumuskan dan menyampaikan wujud

secara filosofis berhadapan dengan apa yang tampak. Bagi Descartes, segala penampakan di alam semesta selalu mengecoh

16 Rene Descartes, “Discourse on Method”, dalam ‘Rene Descartes: Philosophical

Essays and Correspondence’, (ed) Roger Ariew, (Indianapolis: Hacket Publishing Company, 2000), 61; selanjutnya ditulis Rene Descartes.

(9)

nalar. Agar nalar tidak terkecoh, jalan yang benar untuk memperoleh kepastian-kepastian di alam semesta adalah dengan telaah-telaah matematis. Sebuah meja di hadapan kita misalnya, seringkali tampak lebih kecil atau lebih besar. Agar tidak terkecoh dengan ukurannya, kita dapat melakukan pengukuran luas keliling atau volume meja tersebut secara matematis. Descartes membagi keadaan obyek ke dalam dua kategori kualitas; yakni kualitas primer dan kualitas sekunder, dengan menggunakan tamsil tentang anak kecil yang mulai mengenali dunia.17 Sebagaimana yang ia kutip sebagai berikut:

“It is here that the first and principal cause of our errors is to be found. For in the first years of life the mind was so closely tied to the body

that it applied itself to nothing but those thoughts by which it was aware of things affecting the body; it did not yet refer these to anything existing outside itself, but merely felt pain when the body was hurt, or experienced pleasure when the body received some good, or else if the body was so—slightly—affected that it did not experience any great good or evil, it encountered different sensations, namely, those we call the senses of taste, smell, sound, heat, cold, light, colors, and the like, which in truth represent nothing to us outside of our mind, but vary in accordance with the diversity of the parts and modes in which the body is affected. The mind at the same time also perceived sizes, shapes, motions, and the like, which were exhibited to it, not as sensations, but as things or the modes of things existing, or at least capable of existing, outside thought, although it did not yet observe the distinction between the two.”

Lebih lanjut, kualitas primer adalah kualitas yang melekat pada

benda itu sendiri, sedangkan kualitas sekunder adalah kualitas obyek yang tercerap oleh indra kita. Pada yang pertama terdapat ketetapan matematis, sehingga ontologinya adalah independen dari sisi subyek ‘yakni cogito’ dan dapat ditelaah oleh akal budi; sedangkan pada yang kedua, kualitasnya selalu dalam keadaan korelat dengan kesadaran “cogito” (seperti panas, dingin, bau, asing, dan sebagainya). Dari pemilahan epistemologis ini, Descartes menegaskan bahwa secara ontologis, Wujud adalah hal-ihwal matematis yang secara

(10)

rasional terjamin ketetapannya karena keberadaan Tuhan. Hal ini bertentangan dengan kaum Empirisis yang meyakini bahwa jalan sejati untuk mencapai realitas atau wujud sebagaimana adanya adalah melalui penelaahan indrawi, dengan melibatkan panca indra di dalam setiap pengalaman.

Hal ini mendapat perhatian Immanuel Kant (1724-1804). Di tahun 1781, Kant menerbitkan sebuah buku filsafat ilmu

pengetahuan “Critique of Pure Reason.” Ia menyelidiki batas dan cakupan penalaran manusia yang di masanya memicu perdebatan antara kaum rasionalis dan empirisis. Dalam temuannya, manusia bisa memahami dua bentuk putusan, yakni (i) “analitik,” yakni putusan yang predikatnya tidak menambahkan pengetahuan baru pada subyek, dan (ii) “sintetik,” yakni putusan yang predikatnya menambahkan pengetahuan baru pada subyek pengetahuan. Putusan tersebut dapat diraih dalam dua cara, yakni; Pertama, “apriori,” atau pengetahuan yang diraih serta-merta oleh akal budi, tanpa melalui pengalaman; dan Kedua,aposteriori,” atau pengetahuan yang diraih setelah melalui pengalaman; baik pengalaman langsung atau tidak langsung.18

Dari pembagian-pembagian tersebut, Kant menemukan bahwa pengetahuan manusia hanya mencakup tiga bentuk. Bentuk pertama adalah “analitik apriori” (lihat pengertian-pengertian di atas), seperti dalam putusan tautologis “Sebuah benda adalah keluasan.” Predikat keluasan tidak memberi pengetahuan tambahan dari subyek benda, sebab sesuatu memang disebut benda jika

memiliki keluasan, sekecil apapun keluasan itu. Untuk mengetahui

kebenarannya, kita tidak memerlukan pengalaman memeriksa apa yang dimaksud benda dan apa itu keluasan. Dari bentuk analitik apriori ini lahir ilmu logika.

Bentuk kedua adalah “sintetik aposteriori,” seperti dalam putusan “Pohon mangga berakar tunggang” atau “Manusia adalah makhluk sosial.” Predikat akar tunggang memberi pengetahuan tambahan

18 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. J.M.D. Meiklejohn, (Hazleton:

(11)

dari subjek pohon manga, dan predikat makhluk sosial memberi

pengetahuan tambahan dari subyek manusia. Untuk mengetahui

kebenarannya, kita perlu menggali tanah di bagian bawah pohon manga di dekat rumah, dan mengamati bagaimana adik kita yang berusia balita mulai mencoba bermain dan menjalin hubungan dengan teman sebayanya di TK. Dari bentuk sintetik aposteriori

ini lahir ilmu-ilmu alam dan sosial, seperti fisika, biologi, sosiologi,

politik, dan kewarganegaraan.

Bentuk ketiga adalah “sintetik apriori”, seperti dalam tulisan

“7+5=12” (sesuai contoh di dalam buku Kant). Angka 12 memberi pengetahuan tambahan dari 7+5, tetapi hasil hitungan itu diraih

tanpa memerlukan pengalaman. Saat masih kecil, kita mungkin memerlukan jari atau beberapa batang lidi untuk membantu kita menghitung. Namun ketika semakin dewasa, kita yang terlatih berhitung cepat—apalagi seorang pedagang—bisa menjawab soal-soal seperti itu tanpa alat bantu. Dari bentuk “sintetik aposteriori”

ini lahir matematika.

Bagi Kant, apa yang disebut logika, matematika, ilmu-ilmu alam dan sosial, termasuk segala bentuk pengembangannya hingga sekarang—matematika komputasi, teknik metalurgi, sosiologi pedesaan, ekonomi makro, dan sebagainya—adalah ilmu pengetahuan yang sesungguhnya, sebab sudah melalui pemeriksaan akal budi. Apa-apa yang di luar itu, yakni teologi, psikologi, dan kosmologi19 tidak dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan. Sebab subyek-subyeknya seperti Tuhan, ajaran Tuhan, tata cara menyembah Tuhan, jiwa manusia, asal-mula dan akhir alam semesta, tidak bisa

diverifikasi dan tidak termasuk dalam cakupan pengetahuan. Meski

di dalam kajian epistemologinya ini muncul kesan anti realisme sekaligus menyelesaikan persoalan dualisme, Kant tetap meyakini secara ontologis bahwa realitas pada dirinya tetap ‘ada di sana.’ Hal inilah yang membuat pemikirannya justru membuat persoalan dualisme baru. Di taraf ontologis, Kant mengandaikan manusia

(12)

secara “idealisme transendental,” yakni memiliki esensi tetap, seragam, dan jauh (transcendence) melampaui partikularitas dan individualitas orang-perorang dalam menelaah realitas di hadapan dirinya. Di sisi lainnya, ia mengakui keterbatasan manusia untuk menjangkau benda-pada-dirinya atau “nomena.” Penjelasan ini, dapat dipetakan menjadi bagan sebagai berikut:

Filsuf Being Negasi

Plato Dunia Idea yang tetap dan

sem-purna Dunia Penampakan (yang senantiasa berubah-ubah appearence) (becoming)

Aristoteles Hylemorfism, dunia material yang tersusun dari materi dan bentuk dan senantiasa berubah menjadi aktual karena gerak.

Substansi dalam pikiran (thought) dan keharusan (ought) membuk-tikan keberadaan substansi ter sebut

Descartes Cogito di hadapan alam rasional yang matematis dan dijamin oleh Tuhan

Alam indrawi (appearance) yang ha-dir bagi kesadaran setelah di ce rap indra sebagai kualitas sekunder

Kant Idealisme transendental dengan

keterbatasan kapasitasnya di hadapan realitas

Alam noumena yang seharusnya (ought) tetapi tak terpahami oleh kapasitas transendental manusia

Bagan 2: Bentuk dualisme dalam tradisi Esensialisme pada filsafat

Yunani dan Barat Modern

Kritik Atas Filsafat-Pertama sebagai Esensialisme

Upaya menelusuri filsafat-pertama para filsuf Barat ini, bagi

Heidegger adalah sebuah tradisi Esensialisme yang lupa memisahkan antara Ada (Being) dan adaan-adaan (beings), antara wujud (existence) dan maujud (existent). Para filsuf telah melupakan hal paling dasar

dari keberadaan dirinya, dan keberadaan manusia pada umumnya, bahwa sebelum upaya-upaya rasional tersebut, manusia sudah terlebih dahulu ada-di-sana (dasein).20 Dalam hal ini, Heidegger mengikuti gurunya, Edmund Husserl (1859-1938) yang dikenal

20 Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson

(13)

sebagai bapak Fenomenologi. Melalui Fenomenologi, Husserl hendak mengembalikan kesadaran manusia yang terhalang pelbagai

teori dan spekulasi akal budi para filsuf, ke kesadaran termurni

terhadap dunia kehidupan (lebenswelt). Fenomenologi Heidegger melampaui Husserl; sementara Husserl masih mempercayai adanya ‘ego Cartesian’ yang substansial sebagaimana dirumuskan oleh Descartes, Heidegger lebih mengutamakan fenomenologi agar kembali pada kesadaran eksistensial manusia dengan faktisitasnya, sehingga yang hadir adalah pengalaman estetis-hermeneutis yang unik.

Bagi Heidegger, segala rumusan esensial para filsuf, tetapi

juga teori-teori di pelbagai ilmu pengetahuan sosial-humaniora

yang saat itu tengah mengembangkan diri terlepas dari filsafat,

adalah penelaahan ontis yang berbeda dengan penelaahan ontologis.

Upaya penelaahan ontologis harus dikembalikan kepada manusia

yang mengada-dalam-dunia. Keadaan ini mengharuskan kita untuk memisahkan antara cara manusia memahami dirinya (manusia) dengan cara manusia memahami realitas partikular-individual non-manusia (ontis).21 Manusia sebagai “dasein” akan memiliki pemahaman primordial tentang dunia eksistensial. Di sinilah

Heidegger membuka jalan bagi tradisi baru dalam filsafat, yakni hermeneutika radikal. Hermeneutika adalah filsafat pemahaman.

Pada mulanya, hermeneutika dibicarakan bersamaan dengan kesadaran akan subyek Cartesian sehingga posisinya hanyalah sampingan. Dalam pemikiran Kant, upaya hermeneutis manusia diandaikan sejajar setelah Kant secara rasional merumuskan daya telaah manusia yang (menurutnya) seragam. Setelah Heidegger memberikan kritik mendasar atas tradisi esensialis, hermeneutika memiliki kedudukan lebih terpusat bukan cuma di ranah epistemologi, tetapi juga di ranah ontologi. Hermeneutika menjadi

filsafat pertama, sebelum pelbagai pemikiran rasional menawarkan

gagasannya.

(14)

Tradisi hermeneutika pasca Heidegger pada akhirnya memperoleh penafsiran paling radikal, sekaligus nihilistis di tangan Jacques Derrida. Derrida bukan sekadar mengkritik upaya rasio dalam merumuskan dan menyampaikan filsafat pertama seperti Heidegger, tetapi juga melakukan destruksi terhadap manusia sebagai subyek. Derrida memulai proyeknya dengan nama “dekonstruksi” melalui bahasa. Istilah dekonstruksi merujuk pada telaah atas unsur-unsur di dalam sebuah teks yang

paling menentukan kadar filosofisnya. Menurut Derrida, setiap

ungkapan filosofis dalam teks-teks para filsuf, seperti “dunia ide” (Plato), “substansi-aksiden” (Aristoteles), “cogito” (Descartes), “idealisme transendental” (Kant), maupun “dasein” (Heidegger) adalah tradisi “ontoteologi,” yang mengupayakan akal budi agar mampu merumuskan realitas ‘melalui’ dan ‘di dalam’ bahasa.

Dalam tangkapan Derrida, upaya yang telah tersebut di atas adalah sia-sia berdasarkan beberapa pertimbangan, yakni pertama, bahasa memiliki sifat arbitrer (mana-suka) dengan kepentingan sebatas pembedaan (differance). Kedua, kontingensi akal budi manusia

yang senantiasa mengandaikan kehadiran—melalui metafisika,

yang disebut Derrida sebagai metafisika kehadiran—namun sesungguhnya hanya terhenti pada keadaan serba kurang (lack).

Ketiga, nihilisme bahasa itu sendiri, padahal bahasa adalah satu-satunya sarana akal budi dalam berpikir dan menyampaikan isi pikiran. Dampak dari penyifatan terhadap bahasa yang seperti itu adalah penundaan atas segala bentuk “representasionalisme,” sebab bahasa dipandang tidak bisa lagi menghadirkan (presenting) realitas secara utuh-penuh-padu; sedangkan yang tersisa hanyalah “teks,” dan tidak ada sesuatu di luar teks.22 Oleh Jean Francois Lyotard, kondisi ini disebut sebagai delegitimasi terhadap narasi besar rasionalitas manusia.23

22 Jacques Derrida, Of Grammatology, terj. Gayatri Chakravorty Spivak,

(Baltimore: The John Hopkins University Press, 1997), 158.

23 Jean-Francois Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, terj.

(15)

“Yet if reading must not be content with doubling the text, it cannot legitimately transgress the text toward something other than it, toward a referent (a reality that is metaphysical, historical, psychobiographical,

etc.) or toward a signified outside the text whose content could take

place, could have taken place outside of language, that is to say, in the sense that we give here to that word, outside of writing in general. That is why the methodological considerations that we risk applying here to an example are closely dependent on general propositions that we have elaborated above; as regards the absence of the referent or the

transcendental signified. There is nothing outside of the text”.24 Serangan para pascamodernis terhadap filsafat-pertama terkesan menyelesaikan pertentangan dualisme, namun justru

mengantarkan filsafat pada keadaan serba tak pasti karena realitas,

rasio, dan bahasa digugat. Para pascamodernis itu juga tidak betul-betul menyelesaikan persoalan dualisme. Meski tampak berada di pihak Anti-realisme mutlak karena tidak mempercayai realitas sebagai Wujud yang mandiri terhadap dirinya, mereka tetap mengandaikan sesuatu yang telah Wujud terlebih dahulu sebelum kesadaran secara intensif (sesuai dengan tesis Husserlian yang mereka ambil dari Heidegger) mengarahkan dan menyematkan bahasa kepadanya -senihil apapun bahasa dalam pemahaman mereka. Jika mengacu kepada peta konsep Heidegger di atas, kaum Pascamodernis hanya sedang membalikkan apa yang-wujud (being) dengan yang-mewujud (becoming) sambil terjebak oleh luaran dari pemikiran mereka, yakni semesta yang-tampak (appearance).

Penutup

Kritik Derrida sudah tepat tatkala ia menyebutkan bahwa rasio manusia tak akan mampu merumuskan dan menyampaikan realitas semesta. Namun alih-alih mengantarkannya kepada sesuatu yang adiluhung, Derrida justru meradikalkan fenomenologi Heidegger ke titik nihilisme. Bagi Syed Muhammad Naquib Al-Attas, inilah 1984), 37.

(16)

keadaan di mana akal manusia bekerja menelaah realitas tanpa bimbingan wahyu.

Tradisi Esensialisme, menurut Al-Attas, muncul karena pandangan terhadap realitas dilangsungkan berdasarkan tingkat

penalaran dan pengidraan biasa, dan perkembangan filosofis

dan saintifik kehidupan yang berkembang darinya.25 Jika ditilik

dari sudut pandang metafisika Islam berdasarkan Al-Qur’an dan hikmah, tak ada perbedaan nyata antara Esensialisme dan Eksistensialisme. Postulasi atas dua posisi tersebut hanya wujud di dalam pikiran manusia, bukan dalam realitas di luar kesadaran manusia. Hal ini karena status ontologis Wujud dalam Islam tidak terpisah. Semua wujud di alam ghaib dan syahadah adalah makhluk yang wujudnya bergantung pada Allah yang memberikannya wujud. Wujud tidak terpisah-pisah selain dalam benak mental manusia, sebab wujud pada hakikatnya adalah kesatuan, inilah yang disebut dengan “tauhid”.

Dalam Tauhid, pembahasan tentang Wujud akan mengantarkan manusia pada pengenalan terhadap Kebenaran. Menurut Al-Attas, satu-satunya Wujud Mutlak adalah Allah, sedangkan manusia dan segala makhluk-Nya adalah kenyataan yang masa kehidupannya tak lebih dari dua atom perjalanan waktu karena keberadaan mereka yang senantiasa hancur (fana). Wujud selain Allah senantiasa ada disebabkan oleh penciptaan Allah yang senantiasa menciptakan kembali sesuatu yang serupa dengan sesuatu itu setiap kali dihancurkan.26 Artinya, tanpa ‘tauhid’, upaya penelusuran yang ada sebagai yang-ada akan terus berada dalam keadaan terombang-ambing sebagaimana dialami Barat dalam rentang sejarahnya yang panjang.

25 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An

Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 181.

26 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad

Naquib Al-Attas, terj. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Amel, (Bandung: Mizan, 2003), 83-84.

(17)

Daftar Pustaka

Adian, Donny Gahral. 2012. Senjakala Metafisika Barat. Depok:

Koekoesan.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 2010. Islam dan Sekularisme. Terj. Khalif Muammar dkk. Bandung: PIMPIN.

_____. 1995. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the

Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur:

ISTAC.

_____.2001. Risalah Untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC.

Ariew, Roger (ed.). 2000. Rene Descartes: Philosophical Essays and

Correspondence. Indianapolis: Hacket Publishing Company.

Bagus, Lorens. 1991. Seri Filsafat Driyarkara 2; Metafisika. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Bertens, Kees. 1999. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.

Cooper, John M. (ed.). 1997. Plato: Complete Works. Indianapolis: Hackett

Publishing Company.

Derrida, Jacques. 1997. Of Grammatology, terj. Gayatri Chakravorty

Spivak. Baltimore: The John Hopkins University Press.

Harris, William. TT. Heraclitus: The Complete Fragments, Translation and

Commentary and The Greek Text. Vermont: Middlebury College.

Heidegger, Martin. 2005. An Introduction to Metaphysics, terj. Ralph Manheim. Delhi: Motilal Banarsidass.

_____. 1962. Being and Time, terj: John Macquarrie dan Edward Robinson. New York: Harper & Row.

Kant, Immanuel. 1997. Critique of Pure Reason, terj: J.M.D. Meiklejohn.

Hazleton: The Pennsylvania State University.

Lyotard, Jean-Francois. 1984. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, terj. Geoff Bennington dan Brian Massumi.

Referensi

Dokumen terkait

Apabila indikasi tersebut terjadi, Perusahaan harus menentukan taksiran jumlah yang dapat diperoleh kembali (recoverable amount) atas nilai aktiva dan mengakui penurunan nilai

Pengantin di Banjarnegara. Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Tata rias merupakan kegiatan mengubah penampilan dari bentuk asli sebenarnya dengan bantuan

Warna merah juga sering dihubungkan dengan energi, sehingga kita dapat memakai warna ini untuk mempromosikan minuman berenergi, permainan, mobil, hal-hal yang berhubungan

Tes Strip untuk Uji Kualitatif Asam Mefenamat, Aspirin, dan Parasetamol dengan Menggunakan Reagen Spesifik yang Diimmobilisasi pada Membran Nata de Coco-Al203; Siti

Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara pengamatan visual, cara komputasi dan cara

Pemanfaatan mikroorganisme dalam bidang teknologi semakin banyak digunakan misalnya dalam menghasilkan berbagai produk seperti bahan pangan, industri, pertanian,

Hasil ketera ngan dari pasangan usia subur yang termasuk kedalam umnet need ter- dapat sebanyak 5% sedang hamil namun tidak pada waktu yang diinginkan, sebanyak 22,5%

vastattiin yhdistämällä sisällön analyysillä aineistosta tuotettu teema- jäsennys ja teemojen esiintymisissä havaitut muutokset (tutkimuksen alakysymykset 1a ja 1b)