• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMAMPUAN EKOSISTEM MANGROVE DALAM MEREDUKSI TSUNAMI DI TELUK LOH PRIA LAOT PULAU WEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMAMPUAN EKOSISTEM MANGROVE DALAM MEREDUKSI TSUNAMI DI TELUK LOH PRIA LAOT PULAU WEH"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

KEMAMPUAN EKOSISTEM

MANGROVE

DALAM MEREDUKSI TSUNAMI

DI TELUK LOH PRIA LAOT PULAU WEH

Dini Purbani1), Menno Fatria Boer2), Marimin3), I Wayan Nurjaya4) &FredinanYulianda5)

ABSTRAK

Bencana geologi gempabumi pada 26 Desember 2004 dengan kekuatan 9,0 hingga 9,3 MW mengakibatkan terjadinya tsunami, yang telah menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem, infrasturktur dan kehilangan jiwa dan harta benda. Tinggi gelombang datang (run up) mencapai 30 m terjadi di bagian barat Banda Aceh. Penelitian ini memodelkan tinggi gelombang datang 30 m. Model sebaran genangan atau inundasi mengunakan model builder dengan parameter seperti: kemiringan lereng dan penggunaan lahan. Hasil dari model builder diketahui sebaran genangan di pesisir. Untuk mengurangi sebaran genangan menggunakan kerapatan dan ketebalan ekosistem mangrove, metode tersebut hasil penelitian peneliti tsunami Harada dan Imamura untuk mereduksi genangan. Hasil dari model builder diketahui luas genangan seluruhnya 427,69 ha masing-masing untuk hutan mangrove 39,75 ha, hutan 303,07 ha, kebun 25,66 ha, lahan terbangun 6,18 ha dan lahan terbuka 53,02 ha.Ekosistem mangrove mereduksi luas sebaran genangan menjadi 290,77 ha. Terjadi pengurangan inundasi sebesar 1,47%. Kata kunci: bencana geologi, sebaran genangan, ekosistem mangrove.

ABSTRACT

Earthquake disaster on December 26, 2004 had a magnitude of 9.0 to 9.3 Mw resulting tsunami.This resulted in damages to infrastructure, buildings, ecosystems and the distribution of coastal inundation. The up to 30 m high run up occurred in west Banda Aceh. As a model this research used run up 30 m. The distribution of inundation was derived from model builder using parameters such as: slope and land use. This resulted in the inundation distribution in the coastal zone. To reduce the spread of inundation, the method – found by tsunami researchers Harada and Imamura, density and thickness of the mangrove ecosystem were applied. From the model builder, it was known the total area of inundation of 427. 69 ha as follows: mangrove forest: 39.75 ha, forest: 303.07 ha, vegetation: 25.66 ha, land built: 6.18 ha and open land: 53. 02 ha. Mangrove ecosystems reduced the widespread of inundation distribution to 290.77 ha, which is 1.47%.

Keywords: geological disaster, widespread of inundation, mangrove ecosystem.

1)Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang-KP, KKP

2)Guru Besa Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor.

3)Guru Besar Departemen Teknologi Industri, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

4)Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan , IPB, Bogor

5)Staf Pengajar Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, Bogor.

Diterima tanggal: 13 April 2013; Diterima setelah perbaikan: 24 Juni 2013; Disetujui terbit tanggal 25 Oktober 2013

PENDAHULUAN

Pulau Weh yang terletak di sebelah barat laut Pulau Sumatera merupakan pulau kecil yang memiliki luas 153 km2. Pulau Weh tersusun oleh batuan vulkanik dan sedimen karbonatan. Jenis pulaunya termasuk dalam pulau komposit. Sebaran batuan vulkanik berada di sisi barat Pulau Weh sedangkan sedimen karbonatan berada di sisi timur. Pulau Weh memiliki habitat ekosistem mangrove yang berada di bagian tengah dengan substrat batu pasir.

Ekosistem mangrove di Pulau Weh terdiri atas

marga Rhizopora, Sonneratia, Xylocarpus dan

Bruguiera. Marga Rhizopora hampir terdapat di setiap ekosistem mangrove. Keberadaan ekosistem mangrove terletak di sekitar Teluk Loh Pria Laot. Sebaran habitat ekosistem mangrove sebagian besar berada di teluk dan terlindung dari ombak. Pada

umumnya sebaran habitat ekosistem mangrove di

pulau kecil sangat terbatas berbeda dengan kondisi di pulau besar.

Terbentuknya ekosistem mangrove karena adanya perlindungan dari ombak, masukan air tawar, sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu yang hangat. Proses internal pada komunitas ini seperti fiksasi energi, produksi bahan organik dan daur hara sangat dipengaruhi proses eksternal seperti suplai air tawar dan pasang surut, suplai hara dan stabilitas sedimen. Faktor utama yang mempengaruhi komunitas mangrove adalah salinitas, tipe tanah, ketahanan terhadap arus air dan gelombang laut. Faktor-faktor ini bervariasi sepanjang transek dari tepi laut ke daratan, sehingga dalam kondisi alami, campur tangan manusia sangat terbatas dalam membentuk zonasi vegetasi (Giessen, W., 1993). Suplai sedimen di pulau kecil sedikit, karena jumlah

(2)

sungai di pulau kecil terbatas, sebagian besar sifat sungai intermiten atau musiman. Oleh karena itu

ketebalan dan kepadatan ekosistem mangrove di

pulau kecil tidak luas. Sifat ekosistem mangrove secara fisik dapat menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari abrasi, tsunami, intrusi air laut dan dapat pula mengolah limbah (Saenger, 1983; Salim, 1986; Naamin, 1991).

Sumber gempabumi yang terjadi 26 Desember 2004 sumber gempa bumi berada sekitar 250 km barat daya Banda Aceh dengan kedalaman pusat gempa sekitar 45 km (Borreo, 2006). Dengan kekuatan gempa 9,1-9,3 MW atau 9,3 SR yang terjadi di dasar samudera, gempa dasyat ini menyebabkan terjadinya tsunami (Lay et al. 2005;USGS 2004). Titik pusat gempa bumi berada di lepas pantai bagian barat pesisir Sumatera Utara. Lokasi gempa berada pada 3o 31,6 ‘ U dan 95o 85,4 ‘ T dengan kedalaman sumber gempa 30 km dari permukaan laut (USGS, 2004).

Dampak dari gempabumi dan tsunami mengakibatkan terjadi kerusakan ekosistem mangrove

dan terumbu karang serta kehilangan jiwa dan harta benda. Kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi antara lain ; mangrove tampak ada yang tumbang, patah, tercabut dari akarnya dan hanyut (Gambar 1). Kerusakan terumbu karang pasca bencana

gempabumi dan tsunami tampak beberapa koloni terumbu karang ditemukan ada yang patah, terbalik dan mati tertutup sedimen. Komunitas karang yang paling banyak mengalami kerusakan adalah karang keras. Umumnya kerusakan terumbu karang terjadi pada lapisan yang tidak padat, mudah lepas dan berada di lereng (Baird et al., 2005). Kehilangan jiwa dan harta benda (berdasarkan data dari Pemerintah daerah Kota Sabang Tahun 2004) dapat dirinci sebagai berikut: korban jiwa dan benda terdiri atas 11 orang meninggal, 843 rumah rusak, 31 gudang bengkel, 11 ruko, 99 warung sehingga total kerugian mencapai Rp. 145.097.506.000,-. Kerusakan yang cukup parah terjadi di sisi timur Pulau Weh yang berbatasan dengan Selat Malaka dan di bagian tengah

yaitu di sekitar Teluk Loh Pria Laot. Di sisi barat Pulau Weh tidak mengalami kerusakan karena jenis pantai merupakan pantai bertebing tinggi (pantai cliff) yang tersusun oleh batuan vulkanik. Teluk Balohan dan Teluk Loh Pria Laot memiliki jenis pantai berpasir dengan kemiringan pantai 2o-3o, sehingga pada saat terjadi gelombang datang wilayah di sekitar mengalami kerusakan. Karakteristik pantai Pulau Weh terdapat di Gambar 2. Jenis pantai di Pulau Weh dibagi menurut tipologi pantai antara lain; 1. Pantai Berpasir, 2. Pantai Bertebing Tinggi (cliff) dan Pantai berbatu, kemudian 3. Pantai Mangrove. (Dolan, 1972)

Mitigasi tsunami dapat dilakukan secara fisik dan

non fisik. Upaya fisik meliputi pembuatan break water

(pemecah gelombang), sea wall (tembok laut), shelter

(tempat perlindungan), artificial hill (bukit buatan), vegetasi pantai, retrofitting (penguatan bangunan) dan lain-lain. Sedangkan upaya nonfisik di antaranya pendidikan, pelatihan, penyadaran masyarakat, tata ruang, zonasi, relokasi, peraturan perundangan dan penerapan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal Zone Management-ICZM) (Diposaptono & Budiman, 2008).

Upaya yang dilakukan dalam mereduksi gelombang datang (run up) di Teluk Loh Pria Laot memanfaatkan ekosistem mangrove. Tinggi gelombang datang (run up) yang dimodelkan adalah 30 meter, karena tinggi gelombang tersebut terjadi di bagian barat Banda Aceh (USGS, 2004; Borreo, 2005). Akibat tinggi gelombang tersebut menyebabkan terjadi inundasi di pesisir pantai yang menimbulkan kerusakan ekosistem mangrove, infrastruktur dan korban jiwa.

Tujuan penelitian adalah untuk: 1) mengetahui lokasi yang rentan terhadap gelombang datang, 2) melakukan pengukuran ketebalan dan kerapatan

ekosistem mangrove, 3) mengetahui luas sebaran

genangan yang menutupi penggunaan lahan, 4) mengetahui tingkat kerentanan di lokasi penelitian, 5) mengetahui kemampuan ekosistem mangrove dalam mereduksi genangan. Manfaat yang diharapkan dari

Kerusakan ekosistem mangrove lokasi Pantai Lhut. Gambar 1.

(3)

penelitian ini adalah dapat mengetahui kemampuan

ekosistem mangrove dalam mereduksi gelombang

datang.

Pencatatan tsunami telah dikembangkan suatu hubungan antara tinggi tsunami di daerah pantai dan magnitude/besaran tsunami dinyatakan dalam m. Besaran tsunami bervariasi mulai dari m = -2.0 yang memberikan tinggi gelombang kurang dari 0,3 m sampai m = 5 untuk gelombang lebih besar dari 32 m, seperti tertera dalam Tabel 1.

Tinggi gelombang datang dapat direduksi dengan ekosistem mangrove sebagaimana yang telah dilakukan oleh peneliti tsunami Harada & Imamura (2003) dari Universitas Tohoku. Dalam penelitian

tersebut digunakan ekosistem mangrove yang

mempunyai efektifitas dalam mereduksi tsunami.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Pulau Weh antara 15 November 2009 – 9 November 2011 di wilayah administratif Kecamatan Sukakarya. Secara administratif lokasi penelitian berada pada posisi 05o 50’ - 05o 54’ Lintang Utara dan 95o 14’ - 95o 17’ Bujur Timur (Gambar 3). Batas wilayah penelitian mencakup: Selat Malaka (Utara-Timur), Kecamatan Sukajaya (Barat) dan Samudera Hindia (Selatan).

Data yang digunakan dalam penelitian menggunakan data lapangan dan data sekunder. Data

Karakteristik pantai di Pulau Weh. Sumber: Purbani et al., 2005 Gambar 2.

Hubungan magnitudo dan tinggi tsunami di pantai (Iida,1963) Tabel 1.

Magnitude Tsunami (m) Tinggi tsunami/H (meter) 5,0 >32 4,5 24-32 4 16-24 3,5 12 -16 3 8-12 2,5 6-8 2 4-6 1,5 3-4 1 2-3 0,5 1,5-2 0 1-1,5 -0,5 0,75-1 -1 0,5-0,75 -1,5 0,3-0,5 -2 <0,3

(4)

lapangan hasil pengamatan transek kuadrat pada ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove dilakukan ulangan 3 kali pada petak semai, pancang dan pohon. Lokasi pengamatan: 1). Pantai Taman Wisata Alam (TWA) Alur Paneh, 2). Pantai Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1, 3). Pantai Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2, 4). Pantai Lhut 1, 5). Pantai Lhut 2 dan 6). Pantai Lhok Weng 1/Lam Nibong (Gambar 4). Pengambilan contoh

ekosistem mangrove secara ekologis dibedakan ke

dalam stadium pertumbuhan semai, pancang dan pohon.

Pada setiap transek diletakkan secara acak petak-petak contoh (plot) yang ditempatkan di sepanjang garis transek. Jarak antar kuadrat ditetapkan secara sistematis terutama berdasarkan perbedaan struktur vegetasi. Kelompok semai berukuran petak 1x1 m2(A) yang ditempatkan pada petak kelompok semai (diameter <2 cm). Kelompok pancang petak berukuran 5x5 m2 (B) yang ditempatkan pada petak kelompok pancang (diameter 2-10 cm). Kelompok pohon petak

merupakan pohon dewasa berukuran 10 x10 m2

(C) yang ditempatkan pada petak kelompok pohon (diameter > 10 cm). Pada setiap petak contoh dilakukan determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, dihitung induvidu tiap jenis, dan ukuran lingkar batang setiap pohon mangrove yang ada, parameter lingkungan (suhu, salinitas, DO dan pH), tipe substrat, dampak kegiatan manusia pada setiap stasiun (Bengen 2001) diilustrasikan pada Gambar 4.

Selanjutnya data sekunder yang digunakan adalah citra Alos-Avnir 2 yang diakusisi tanggal 13 Juli 2008. Data citra Quickbird yang mempunyai rseolusi 2,44 m direkam pada 28 April 2006 hasil unduhan dari Google Earth. Data vektor terdiri atas peta

Rupa Bumi Indonesia (RBI) Sabang lembar 0421-54&53. Data citra Alos-Avnir 2 dan Quickbird perlu dilakukan koreksi geometri. Proses koreksi geometri menggunakan acuan Peta RBI lembar 0421-54 & 53 Sabang. Proses koreksi dengan memberikan titik-titik koordinat kontrol (Ground Control Point) yang merata di seluruh Pulau Weh, sehingga diperoleh citra Quickbird yang terkoreksi geometri. Citra Alos-Avnir 2 dikoreksi menggunakan citra Quickbird yang sudah terkoreksi. Citra Quickbird digunakan untuk mengekstraksi garis pantai Pulau Weh sedangkan citra Alos-Avnir 2 digunakan untuk klasifikasi tutupan lahan/ penggunaan lahan secara visual. Setelah didapatkan jenis penggunaan lahan kemudian dikonversi ke nilai kekasaran permukaan mengikuti Putra (2008) seperti tersaji dalam Tabel 2.

Sebaran genangan yang terjadi di pesisir dimodelkan dengan menggunakan persamaan Barryman (2005). Persamaan tersebut menggunakan parameter nilai kekasaran permukaan, kemiringan lereng (slope) dan tinggi gelombang datang (run up) 30 m. Nilai kekasaran permukaan diperoleh dari analisis tutupan lahan hasil olehan citra Alos-Avnir 2. Nilai kemiringan lereng (slope) diperoleh dari Peta RBI lembar Sabang dan tinggi gelombang datang (run up) yang dimodelkan adalah 30 m, dijabarkan dalam persamaan (1).

Lokasi Pengambilan Contoh Ekosistem Mangrove. Gambar 3.

(5)

dimana :

Hloss adalah hilangnya ketinggian tsunami per 1 m dari jarak inundasi

n adalah koefisien kekasaran permukaan

H0 adalah ketinggian gelombang tsunami di

garis pantai

S adalah besarnya lereng permukaan

Persamaan (1) diolah dengan menggunakan model builder salah satu aplikasi dari ARCGIS 9.3.

Proses tahapan dalam mengaplikasikan model

builder (Gambar 5) sebagai berikut: 1) memasukkan

parameter nilai sloperadian diperoleh dari Peta

Kemiringan Lereng. Nilai atribut yang digunakan adalah

slopdegree, 2). dilakukan perhitungan matematika untuk mendapatkan sinslope, 3). perkalian antara

sinslope dengan konstanta 5 menghasilkan 5 sinslope, 4). masukkan parameter nilai kekasaran permukaan (n2) yang terdiri atas hutan, vegetasi mangrove, kebun, lahan terbangun dan lahan terbuka, nilai tersebut dikuadratkan, 5).dilakukan perkalian antara nilai kekasaran permukaan (n2) dan konstanta 167, 6) menghasilkan 167n2, 7). masukkan parameter tinggi gelombang datang (run up) sebesar 30 m yang dianotasikan sebagai H0, kemudian H0 dipangkatkan 1/3 menjadi H01/3, 8). dilakukan pembagian antara 167n2 dengan H

01/3 9). penjumlahan antara 5 sinslope dengan (167 n2 dibagi H

01/3), 10). menghasilkan H

loss, 11). untuk mendapatkan sebaran genangan

dari garis pantai maka digunakan deliniasi garis pantai dari citra Quickbird yaitu resolusi/ukuran sel piksel dibuat 10, 11). pembagian antara H loss

dengan sel piksel bernilai 10 untuk mendapatkan

cost distance, 12). proses matematik cost distance

menggunakan parameter tinggi gelombang datang (run up) 30 m yang dianotasikan dengan maximum distance, merupakan hasil pembagian H loss

dengan nilai sel piksel 10 dan garis pantai dari citra Quickbird, 13). hasil dari perhitungan cost distance dapat diketahui sebaran genangan di garis pantai hingga pedalaman (hinterland) yang kemudian di simpan di dua folder yang berbeda. Hasil proses dari

model builder menghasilkan model genangan akibat tsunami. Sebaran genangan terjadi di sepanjang pesisir timur sekitar Teluk Loh Pria Laot yang berada di bagian tengah dari Pulau Weh. Oleh karena itu perlu di sekitar Teluk Loh Pria Laot dilakukan reduksi sebaran genangan dengan ekosistem mangrove.

Sebaran genangan yang terjadi di pesisir Teluk Loh Pria Laot perlu diketahui tingkat kerentanannya. Dari tingkat kerentanannya, dapat diketahui wilayah mana saja yang rentan terhadap inundasi akibat tsunami. Langkah pertama dilakukan proses pembuatan Peta Tingkat Kerentanan dengan melakukan tumpang

susun (overlay) dengan Peta Kontur, Peta Bentuk

lahan dan Peta Jarak Genangan 30 m. Setelah didapatkan Peta Kerentanan, diketahui wilayah yang rentan, selanjutnya dilakukan reduksi inundasi dengan ekosistem mangrove seperti yang dilakukan peneliti dari Universitias Tohoku.

Desain unit contoh pengamatan vegetasi di lapangan dengan metode jalur. Gambar 4.

A : Petak pengukuran kategori semai. Petak contoh (1x1) m2 dengan diamter < 2 cm B : Petak pengukuran kategori pancang. Petak contoh (5 X 5) m2 dengan diameter 2-10 cm C : Petak pengukuran kategori pohon. Petak contoh (10 X 10) m2 dengan diameter > 10 cm

Nilai kekasaran permukaan untuk pemodelan tsunami (Putra, 2008) Tabel 2.

Jenis Penggunaan Lahan Kekasaran Permukaan

Hutan 0,070 Hutan Mangrove 0,025 Kebun 0,035 Lahan Terbangun 0,045 Lahan Terbuka 0,015 ... 1)

(6)

Skema model

builder

untuk genangan/inundasi.

(7)

Peneliti tsunami asal Jepang, Harada & Imamura dari Universitas Tohoku (2003) dalam Diposaptono & Budiman (2008) menerangkan vegetasi pantai dengan tebal 200 m, kerapatan 30 pohon per 100 m2, dan diameter pohon 15 cm dapat meredam 50 persen energi tsunami dengan tinggi gelombang datang (run up) 3 m. Hasil peneliti lain yaitu Pratikno et al. (2002) gelombang datang (run up) setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove

sehingga tinggi gelombang menjadi 0,73 m. Uraian reduksi tsunami dari Harada & Imamura tersebut diaplikasikan ke wilayah penelitian, dengan menggunakan kerapatan dan ketebalan mangrove hasil pengamatan lapangan. Dari pengamatan lapangan kerapatan 17 pohon per 100 m2 dan nilai ketebalan maksimal 238 m terdapat di Lhok Weng 3/ Teupin Layeue 2. Nilai tersebut diaplikasikan di daerah

penelitian dengan menggunakan tinggi gelombang datang (run up) 30 m. Perhitungan mendapatkan nilai reduksi pada tinggi gelombang datang 30 m, diperoleh dengan cara melakukan perbandingan pada tinggi gelombang datang 3 m. Hasil dari perhitungan perbandingan diperoleh nilai kemampuan mereduksi 33,72 persen. Namun daerah kajian tinggi yang dimodelkan menggunakan tinggi gelombang datang (run up) 30 m, mengacu hasil penelitian Imamura & Iida (1949) dalam Diposaptono & Budiman 2008, jika tinggi gelombang datang (run up) 30 m maka skala magnitudo 4. Dengan demikian jika diinterpretasikan maka skala magnitudo 4 kali lebih besar dari tinggi gelombang datang (run up) 1 m, sehingga kemampuan mereduksi pada tinggi gelombang 30 m lebih rendah dari tinggi gelombang 1 m. Dengan demikian kemampuan mereduksi gelombang datang 8,43 persen (33,72 persen/skala magnitudo 4), nilai tersebut sebagai dasar pengukuran dalam mereduksi tsunami diperjelas dalam persamaan (2).

Formula Reduksi Tsunami I

dengan :

D adalah ketebalan di setiap lokasi pengamatan R adalah kerapatan di setiap lokasi pengamatan D max adalah ketebalan maksimal (238 meter) R max adalah kerapatan maksimal (17 pohon per 100 m2)

Persamaan (2) kemudian dibuat dalam bentuk spasial menghasilkan Peta Reduksi Tsunami I. Peta Reduksi Tsunami I menginformasikan kemampuan ekosistem mangrove dalam mereduksi tsunami. Proses selanjutnya dilakukan tumpang susun (overlay) antara Peta Reduksi Tsunami I dengan Peta Tingkat Kerentanan menghasilkan Peta Reduksi Genangan I. Tujuan dari proses overlay untuk mengetahui seberapa

besar ekosistem mangrove dapat mereduksi tsunami. Adapun persamaan yang digunakan untuk proses ini menggunakan persamaan (3).

Reduksi Genangan = [Total_Skor] – [Total_Skor x Tsu_ Mng_Rd] …………...…. 3)

dengan:

Total_Skor = tumpang susun (overlay) Peta

Kontur, Peta Genangan Gelombang Datang 30 m dan Peta Bentuk lahan

Tsu_Mng_Rd = Tsunami Mangrove Reduksi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Genangan akibat tsunami menutupi penggunaan lahan adalah: hutan mangrove, hutan, kebun, lahan terbangun dan lahan terbuka. Hasil penggunaan lahan kemudian dimodelkan dengan aplikasi model builder

sehingga menghasilkan Peta Genangan (Gambar 6).

Peta Genangan. Gambar 6.

(8)

Pemodelan genangan menggunakan tinggi gelombang datang (run up) 30 m terjadi inundasi/ genangan hampir di semua penggunaan lahan. Luas genangan seluruhnya 427,69 ha masing-masing untuk

hutan mangrove 39,75 ha, hutan 303,07 ha, kebun

25,66 ha, lahan terbangun 6,18 ha dan lahan terbuka 53,02 ha. Wilayah yang tergenang cukup luas dapat dikatakan terjadi di sepanjang pesisir Kecamatan Sukakarya.

Wilayah yang tergenang di pesisir Teluk Loh Pria Laot mempunyai kerentanan yang berbeda-beda. Hasil analisis menunjukkan luas sebaran genangan dari masing-masing kelas tertera pada Tabel 3 dan ditunjukkan secara spasial pada Peta Tingkat Kerentanan (Gambar 7).

Wilayah di pesisir timur Pulau Weh atau yang berhadapan dengan Teluk Loh Pria Laot memiliki kerentanan yang sangat tinggi, namun semakin

mengarah ke arah pedalaman (hinterland) tingkat

kerentanannya menjadi cukup rentan dan aman. Hal ini dipengaruhi oleh jarak dari garis pantai dan kontur. Semakin jauh dari garis pantai dan berada pada kontur diatas 25 dari permukaan laut maka kerentanan menjadi cukup rentan dan aman.

Sebaran genangan/inundasi yang terdapat di pesisir dapat direduksi dengan ekosistem mangrove.

Penyebaran kerapatan dan ketebalan ekosistem

mangrove di daerah penelitian terbatas, hal ini merupakan sifat ekosistem mangrove yang berada di pulau kecil. Penyebaran ekosistem mangrove di lokasi

penelitian tertera pada Peta Ekosistem Mangrove

(Gambar 8) sedangkan ketebalan dan kerapatan dari masing-masing lokasi terdapat dalam Tabel 4.

Hasil pengamatan menunjukan Lhok Weng 3/ Teupin Layeu 2 memiliki kerapatan dan ketebalan yang maksimal yaitu 17 pohon/100 m2 dan 238,73 m. Oleh karena itu upaya mitigasi yang dilakukan pada penelitian ini dengan mengaplikasikan kerapatan dan ketebalan maksimal yaitu 17 pohon per 100 m2 dan 238,73 m ke dalam analsis SIG dengan menggunakan persamaan 2. Persamaan 2 dibuat dalam bentuk spasial ke dalam masing-masing ekosistem mangrove

menghasilkan Peta Reduksi Tsunami I (Gambar 9). Peta Reduksi Tsunami I menginformasikan nilai yang terendah 0,02 dan tertinggi 0,12, kemudian diolah untuk mendapatkan 4 kelas, rentang nilai tertinggi dikurangi nilai terendah dibagi 4 (0,12-0,02)/4, maka diperoleh interval kelas 0,026. Pembagian 4 kelas yaitu 1. Rendah (0,02-0,04), 2. Sedang (0,04-0,08), 3.Tinggi (0,07-0,09) dan 4. Sangat Tinggi (0,09-0,12). Peta Reduksi Tsunami I terbagi dalam 4 kelas tertera dalam Tabel 5.

Peta Reduksi Tsunami I (Gambar 9)

Peta Tingkat Kerentanan. Gambar 7.

Luas sebaran genangan dari masing-masing kelas tingkat kerentanan Tabel 3.

Kelas Tingkat Kerentanan Luas sebaran genangan (ha)

Aman 2,69

Cukup Rentan 31,40

Rentan 102,69

(9)

Peta Ekosistem Mangrove. Gambar 8.

Hasil pengukuran kerapatan dan ketebalan ekosistem mangrove

Tabel 4.

No Lokasi Pengamatan Kerapatan (pohon/100 m2) Ketebalan (m)

1 Pantai Lhut 2 9 99,54

2 TWA Alur Paneh 8 171,78

3 Teluk Boih 8 171,78

4 Lhok Weng 1/Lam Nibong 13 50,91 5 Lhok Weng 2/Teupin Layeu 1 14 104,20 6 Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b 14 104,20 7 Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 17 238,73

Peta Reduksi Tsunami I. Gambar 9.

menginformasikan kemampuan ekosistem mangrove

dengan kerapatan yang sesuai dengan lokasi pengamatan dalam mereduksi tsunami. Proses selanjutnya dilakukan usaha untuk mereduksi genangan akibat tsunami dengan cara Peta Reduksi Tsunami I (Gambar 9) dilakukan proses tumpang susun

(overlay) dengan Peta Tingkat Kerentanan (Gambar 7) menggunakan persamaan 3 menghasilkan Reduksi Genangan I. Hasil proses Reduksi Genangan I dibuat spasial menjadi Peta Reduksi Genangan (Gambar 10) terbagi dalam 4 kelas yang terdapat dalam Tabel 6.

(10)

Kelas tingkat reduksi mangrove

Tabel 5.

Kisaran Nilai Total Overlay Tingkat Reduksi Kelas Tingkat Reduksi

TRM<0.04 1 Rendah

0.04<TRM<0.08 2 Sedang 0.08<TRM< 0.09 3 Tinggi

TRM>0.09 4 Sangat Tinggi

Ket: TRM = Tingkat Reduksi Mangrove

Peta Reduksi Genangan. Gambar 10.

Kelas Reduksi Genangan Tabel 6.

Kisaran Nilai Total_Skor Tingkat Kerentanan Kelas Tingkat Kerentanan

RG I< 230 1 Aman

230<RG I<280 2 Cukup Rentan 280<RG I< 330 3 Rentan

RG I> 330 4 Sangat Rentan

Ket RG I = Reduksi Genangan

Peta Reduksi Genangan (Gambar 10) sebaran Kelas Sangat Rentan tersebar di wilayah pesisir timur lokasi penelitian dengan luas sebaran 290,77 ha, luas Kelas Rentan 104,66 ha, luas Kelas Cukup Rentan 31,71 ha dan luas Kelas Aman 2,74 ha. Pola sebaran genangan semakin ke arah dalam semakin aman dengan luas yang relatif kecil. Luas sebaran sangat rentan tampak terdapat di sepanjang pesisir timur Teluk Lhok Pria Laot.

Terjadi pengurangan inundasi/genangan n setelah direduksi dengan ekosistem mangrove. Luas inundasi sebelum direduksi adalah 427,69 ha, dan setelah direduksi dengan ekosistem mangrove menjadi 290,77 ha, inundasi berkurang 1,47% .

KESIMPULAN

1. Tsunami yang terjadi di sisi timur Pulau Weh mengakibatkan kerusakan ekosistem mangrove di Pantai Lho Weng 2/Teupin Layeu 1, Pantai Lhok Weng 2b/Teupin Layeu 1b, Pantai Lhok Weng 3/ Teupin Layeu 2, Pantai Lhut dan Pantai Lho Lhok

Weng 1/Lam Nibong. Kerusakan Pantai Taman Wisata Alur Paneh dan Teluk Boih tidak parah karena memiliki garis pantai sejauh 30-50 m terhadap ekosistem mangrove.

2. Pengukuran ketebalan dan kerapatan ekosistem

Mangrove di setiap lokasi pengamatan memiliki kerapatan dan ketebalan yang berbeda-beda. Ketebalan dan kerapatan maksimal berada di Lhok Weng 3/Teupin Layeu 2 dengan nilai ketebalan 238 m dan kerapatan 15 pohon per 100 m2.

(11)

3. Luas genangan seluruhnya yaitu 427, 69 ha masing-masing untuk hutan mangrove 39,75 ha, hutan 303,07 ha, kebun 25,66 ha, lahan terbangun 6,18 ha dan lahan terbuka 53,02 ha.

4. Hasil analisis dari Peta Reduksi Genangan I tampak di wilayah pesisir sangat rentan tsunami dengan sebaran genangan seluas 290, 77 ha, luas Kelas Rentan 104, 66 ha, luas Kelas Cukup Rentan 31, 71 ha dan luas Kelas Aman 2, 74 ha. Pola sebaran genangan semakin ke arah dalam semakin aman dengan luas yang relatif kecil. 5. Genangan akibat tsunami menutupi semua

penggunaan lahan dengan luas sebaran 427, 69 ha dan setelah direduksi dengan ekosistem

mangrove, maka luas genangan menjadi 290, 77 ha. Terjadi pengurangan sebesar 1, 47%.

Saran

Hasil analisis wilayah yang rentan terhadap gelombang datang/tsunami terdapat di sepanjang pesisir Teluk Loh Pria Laot, yang saat ini dimaanfatkan untuk permukiman, perdagangan, sekolah dan wisata bahari. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya mitigasi yang bersifat fisik dan non fisik sehingga masyarakat adaptif terhadap bencana tsunami yang dapat terjadi setiap waktu.

PERSANTUNAN

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr Budi Sulistiyo yang telah memberikan kesempatan penulis untuk meneliti di Pulau Weh,

2. Sdr Arie dari Geografi Universitas Gajah Mada, Sdr

Urban dan Sdr Hijaz dari Univeresitas Hasanuddin yang membantu penulis dalam mengolah data. 3. Makalah ini sudah pernah dipresentasikan di acara

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IX Ikatan Sarjana Oseanografi Indonesia (ISOI) pada tanggal 23 Oktober 2012 bertempat di Hotel Grand Legy Mataram NTB.

4. Tulisan ini kelanjutan dari “Kondisi Ekosistem Mangrove Pasca Tsunami di pesisir Teluk Loh Pria Laot Pulau Weh dan Upaya Rehabilitasi” yang telah dimuat di Jurnal Segara Volume 7 Nomor 2 Hal 113-119 Desember 2011.

DAFTAR PUSTAKA

Baird, A. H., Campbell, S. J., Anggoro A. W.,. Ardiwijaya, R. L., Fadli. N, Herdiana, Y., Kartawijaya, T., . Mahyiddin. D., Mukminin. A., Pardede. S. T., Pratchett. M. S., Rudi. E. & Siregar. A. M. (2005). Acehnese reefs in the wake of the Asian tsunami.

Current Biology 15:1926-1930.

Berryman K. (2006). Review of tsunami hazard and risk in New Zealand. Lower Hutt: Institute of

Geological and Nuclear Sciences.

[BAKOSURTANAL] Badan Koordinasi Survei dan

Pemetaan Nasional. (2011). DraftSurvei

pemetaan mangrove. Rancangan Standar Nasional ke 2.

Bengen DG. (2001). Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Borrero, J.C. (2005). Field survey of Northern Sumatra

and Banda Aceh, Indonesia after the tsunami and

earthquake of 26 December 2004.Seism. Res.

Lett. 76:312–20.

Diposaptono S, & Budiman. (2008). Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Penerbit Buku Ilmiah Populer Bogor.

Doland, R., (1972). Classification of The Coastal

Environment of The World I, The Americas. Giessen, W. (1993). Indonesia Mangrove . An update

on Remaining area and Management Issues. Presented at International Seminar on Coastal Zone Management of Small Ecosystem.Ambon. Iida, K. (1963). Magnitude, energy, and generation

mechanisms of tsunamis and a catalogue of earthquakes associated with tsunamis, in Proceedings, Tsunami Meetings Associated with

the Tenth Pacific Science Congress, pp. 7– 18, Int. Union of Geod. and Geophys., Paris.

Harada, K & Imamura, F.( 2003). Study on The

Evaluation of Tsnami Reducing by Coastal Control Forest for Actual Conditions. Asia and Pacific Coasts.

Lay, T., Kanamori, H., Ammon, CJ., Nettles, M., Ward SN., Aster, RC., Beck, SL., Brudzinki, MR., Butler, R., DeShon, HR., Eström, G., Satake, K, & Sipkin,S. (2005). The Great Sumatra-Andaman

Earthquake of 26 December 2004. Science

(308): 1127-1133.

Naamin, N. (1991). Penggunaan Hutan Mangrove untuk Budidaya Tambak Keuntungan dan Kerugiaan.

Dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Hutan

Mangrove MAB Indonesia LIPI. Bandar Lampung. Pratikno, W.A., Suntoyo, K. Sumbodho, Solihin,

Taufik & D. Yahya. (2002). Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk Mengurangi Resiko terhadap Bahaya Tsunami. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove, di Jakarta, 6-7 Agustus 2002.

(12)

Purbani D, Rainer Arief Troa, Anastasia Rita Tisiana

K dan Restu Nur Afi. (2005). Laporan akhir

Survei Terpadu Karakteristik Pulau-pulau.Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir.

Putra R. (2008). Kajian Risiko Tsunami terhadap Bangunan Gedung Nonhunian dengan Skenario Variasi Ketinggian Run-up pada Garis Pantai (Studi Kasus Kota Banda Aceh, Indonesia) Yogyakarta Tesis. Fakultas Geografi UGM.

Saenger. (1983). Global Status of Mangrove Ekosistem,

IUCN Commision on Ecology Papers, No. 3. 1983. Salim, E. (1986) Pengelolaan Hutan Mangrove

Berwawasan Lingkungan: Makalah dalam Pidato Pengarahan Diskusi Panel Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Mangrove, Ciloto 27 Pebruari 1986.

[USGS] United State Geological Survey Earthquake. (2004) Magnitude 9.1 - OFF THE WEST COAST OF NORTHERN SUMATRA. http://earthquake. usgs.gov/earthquakes/ eqinthenews/2004/ us2004slav/ .18 Desember 2011. (11:10)

Referensi

Dokumen terkait