• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Efektivitas Hutan Pantai di Cagar Alam Pananjung Pangandaran Sebagai Buffer Tsunami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemodelan Efektivitas Hutan Pantai di Cagar Alam Pananjung Pangandaran Sebagai Buffer Tsunami"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

The southern coast of Java is a coastal area prone to tsunami. In 2006, a tsunami with a magnitude of 6 Richter scale happened in Pangandaran area including Pananjung Nature Reserve. The presence of coastal forest in the Pananjung Nature Reserve reduced the force of the tsunami so that the destructive effect of the tsunami can be minimized. This research aimed to model and assess the effectiveness of coastal forest in Pananjung Nature Reserve as a tsunami buffer. Nested sampling was used to collect vegetation data with 4% sampling intensity. Extensive coastal forest of 38 ha was measured in 38 square forest sample plots with the size of the plot for the understorey 1 mx 1 m, seedlings 2 m x 2 m, saplings 5 mx 5 m, poles 10 m x 10 m, and trees 20 x 20 m. The plots were located purposively by considering the location of tsunami inundation and vegetation density. The vegetation density was performed by image analysis of Sentinel 2-A2017. The effectiveness of coastal forests as tsunami buffers was analyzed using mathematical concepts according to Harada and Imamura (2003) and modeled with Spatial Multi Criteria Analysis (SMCA) with width coastal vegetation criteria, vegetation density, tree diameter, and density of understorey. The results showed that in Pananjung Nature Reserve has vegetation density > 2000 ind/ha, average tree diameter of 15.94 cm, and coastal forest width between 120 m - 325 m. Topography of coastal forest Pananjung Nature Reserve waved between 0 m asl - 59 m asl. It was found that the effectiveness of coastal forest Pananjung Nature Reserve in reducing energy tsunami was in the value of 41.18%, thus it was included in the effective category.

Pemodelan Efektivitas Hutan Pantai di Cagar Alam Pananjung

Pangandaran Sebagai Buffer Tsunami

Effectiveness Model of Coastal Forest in Pananjung Nature Reserve, Pangandaran as

Tsunami Buffer

Denni Susanto1*, Lies Rahayu Wijayanti Faida2, & Sunarto3

1Program Pascasarjana Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281

Email : dennisusanto@gmail.com

2Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro No.1, Bulaksumur, Sleman 55281

3Departemen Geografi dan Ilmu Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Kaliurang No.4, Bulaksumur, Sleman 55281

Jurnal Ilmu Kehutanan

Journal of Forest Science

https://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt

HASIL PENELITIAN

Riwayat Naskah :

Naskah masuk (received): 7 Januari 2017 Diterima (accepted): 2 Desember 2018 KEYWORDS reduction sentinel vegetation characteristics surface roughness SMCA

(2)

INTISARI

Kawasan pantai selatan Jawa merupakan daerah pesisir yang rawan terjadi tsunami. Tahun 2006 tsunami dengan kekuatan gempa 6 skala Richter melanda daerah Pangandaran termasuk Cagar Alam Pananjung. Terdapatnya hutan pantai di Cagar Alam Pananjung mampu mereduksi kekuatan tsunami sehingga efek merusak tsunami dapat diminimalkan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memodelkan efektivitas hutan pantai Cagar Alam Pananjung Pangandaran sebagai buffer tsunami dengan berbagai faktor pereduksi tsunami. Nested sampling digunakan untuk pengambilan data karakteristik vegetasi dengan intensitas sampling 4%. Luas hutan pantai 38 ha, sehingga digunakan petak ukur sebanyak 38 petak ukur persegi dengan ukuran petak ukur untuk tumbuhan bawah 1 m x 1 m, semai 2 m x 2 m, sapihan 5 m x 5 m, tiang 10 m x 10 m, dan pohon 20 x 20 m. Petak ukur ditempatkan secara purposive dengan mempertimbangkan lokasi genangan tsunami dan kerapatan vegetasi. Kerapatan vegetasi dilakukan dengan analisis citra Sentinel 2-A tahun 2017. Efektifitas hutan pantai sebagai buffer tsunami dianalisis menggunakan persamaan matematis menggunakan konsep Harada dan Imamura (2003) dan dimodelkan dengan Spatial Multi Criteria Analysis (SMCA) dengan kriteria lebar hutan pantai, kerapatan vegetasi, diameter pohon, dan kerapatan tumbuhan bawah. Hasil penelitian menunjukkan nilai-nilai parameter hutan pantai pereduksi tsunami di Cagar Alam Pananjung berupa kerapatan vegetasi > 2000 ind/ha, rata-rata diameter pohon yaitu 15,94 cm, dan lebar hutan pantai antara 120– 325 m. Ketinggian tempat hutan pantai Cagar Alam Pananjung bergelombang antara 0–59 m dpl. Hasil pemodelan menunjukkan efektivitas hutan pantai Cagar Alam Pananjung sebagai buffer dalam meredam energi tsunami memiliki nilai reduksi sebesar 41,18%, sehingga termasuk kategori efektif.

Pendahuluan

I

ndonesia termasuk negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia. Secara geografis, Indonesia terletak pada 3 pertemuan lempeng bumi yaitu Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Kondisi ini menyebabkan Indonesia rawan terjadi gempa tektonik yang dapat memicu terjadinya tsunami. Tsunami merupakan salah satu bencana alam yang memiliki potensi dampak kerusakan yang cukup besar. Tsunami menyebabkan kerusakan ekologi dan mekanik yang luas pada daerah pesisir yang berdampak pada bidang pertanian dan akuakultur (Daly et al. 2017). Berdasarkan data BMKG, pada tahun 2006 pantai selatan Jawa telah terjadi bencana gelombang tsunami dengan kekuatan gempa 6 skala richter (Mardiyanto et al. 2013). Bencana tsunami tersebut melanda daerah Pangandaran termasuk KATA KUNCI reduksi sentinel karakteristik vegetrasi kekasaran permukaan SMCA

© Jurnal Ilmu Kehutanan -All rights reserved Cagar Alam Pananjung. Tsunami tahun 2006 membuat trauma tersendiri untuk warga Pangandaran. Tsunami yang terjadi di Pangandaran menimbulkan dampak sosial pada bidang pendidikan dan hilangnya lapangan pekerjaan. Selain itu menurut pengelola Cagar Alam Pananjung, tsunami Pangandaran juga mengakibatkan 500 lebih orang meninggal.

Kawasan Cagar Alam (CA) Pananjung merupakan salah satu ekosistem hutan hujan dataran rendah yang terletak di kawasan pantai selatan Jawa Barat. Kawasan Cagar Alam Pananjung memiliki daratan seluas 459,3 ha dan Cagar Alam laut seluas 470 ha. Adapun vegetasi yang mendominasi di Cagar Alam Pananjung adalah vegetasi hutan sekunder tua dan hutan primer yang memiliki persebaran vegetasi cukup merata (Husodo et al. 2015). Cagar Alam Pananjung memiliki suatu keunikan karena adanya

(3)

keberadaan salah satu flora langka yang ditemukan pertama kali oleh Apelman tahun 1993 yaitu Bunga Raflesia (Rafflesia padma). Menurut IUCN, status bunga Rafflesia padma di dunia masuk kategori Critically Endangered, sehingga keberadaannya sangat penting untuk dilindungi. Penemuan bunga ini mengubah status kawasan konservasi Suaka Margasatwa menjadi Cagar Alam Pananjung pada tahun 1961 (Kangiras 2009). Kerawanan bencana tsunami daerah Pangandaran perlu diantisipasi untuk melindungi pengunjung dan Rafflesia padma Cagar Alam Pananjung, Pangandaran.

Kawasan Cagar Alam Pananjung memiliki ekosistem yang cukup beragam, antara lain ekosistem pantai, ekosistem hutan dataran rendah, dan ekosistem hutan tanaman. Hutan Pantai Cagar Alam Pananjung merupakan kesatuan ekosistem hutan yang masih tersusun formasinya secara alami di daerah pesisir Pantai Pananjung. Vegetasi penyusun hutan pantai di Cagar Alam Pananjung banyak didominasi oleh tingkat pertumbuhan tiang dan pohon sehingga secara langsung akan menjadi buffer dalam mereduksi tenaga tsunami. Kecepatan tsunami dan gaya hidrodinamik akan berkurang penetrasinya dikarenakan manajemen kawasan pesisir yang baik dengan pengaturan penggunaan lahan (Koshimura et al. 2014). Penggunaan lahan di Cagar Alam Pananjung didominasi oleh hutan (lebih dari 90%) dan sisanya adalah bangunan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat Cagar Alam Pananjung dapat berperan dalam meminimalkan dampak terjadinya tsunami.

Vegetasi hutan pantai memiliki kemampuan meredam gelombang tsunami. Kerapatan pohon (tree density), lebar hutan (forest width), dan diameter pohon (tree diameter) merupakan karakteristik vegetasi yang dapat mereduksi gelombang tsunami (Forbes & Broadhead 2007). Harada dan Imamura (2003) juga memiliki kriteria nilai parameter vegetasi pantai yang efektif dalam mereduksi tsunami, yaitu lebar 200 m, kerapatan 30 individu/100 m2, dan diameter pohon 15 cm dengan jenis vegetasi Casuarina equisetifolia. Karakteristik tersebut dapat meredam 50 persen energi tsunami dengan tinggi gelombang datang (run up) 3 m. Penelitian yang dilakukan Husrin (2015) menunjukkan vegetasi Cagar Alam Pananjung memiliki karakteristik

hutan yang memiliki kerapatan 30 individu/100 m2 dan lebar hutan pantai yaitu > 120 m sehingga mampu menahan kekuatan hidrolik seperti tsunami. Setiap jenis pohon memiliki memiliki kemampuan yang berbeda dalam meredam gelombang tsunami (Pranata & Palapessy 2014).

Kondisi hutan pantai dalam penelitian ini merupakan parameter-parameter pereduksi kekuatan tsunami. Kondisi hutan pantai yang mempengaruhi perlindungan terhadap energi tsunami meliputi parameter kerapatan pohon, ketebalan hutan, diameter pohon, dan jenis pohon (Alongi 2008). Kerawanan akan bencana tsunami membuat kawasan pesisir harus mempunyai buffer alami berupa hutan pantai yang baik untuk meminimalkan efek akibat terjangan tsunami. Hutan pantai di Cagar Alam Pananjung mempunyai karakteristik vegetasi yang dapat dijadikan sebagai buffer kawasan pesisir. Penelitian ini dimaksudkan untuk memodelkan efektivitas hutan pantai di Cagar Alam Pananjung sebagai buffer tsunami, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi hutan pantai yang baik sebagai pereduksi gelombang tsunami. Informasi efektivitas hutan pantai yang baik sebagai buffer tsunami mengindikasikan karakteristik vegetasi dan topografi di lokasi tersebut juga baik, sehingga dapat diterapkan pada lokasi yang memiliki kerawanan bencana tsunami. Apabila kondisi vegetasi belum mampu optimal dalam mereduksi tsunami, maka perlu adanya tindakan perbaikan kondisi vegetasi sehingga dapat optimal dalam mereduksi gelombang tsunami.

Bahan dan Metode

Lokasi dan waktu penelitian

Lokasi penelitian berada di Cagar Alam Pananjung, Pangandaran, Provinsi Jawa Barat. Batas koordinat area penelitian ini adalah 108o 39’ 5” BT sampai 108o 39’ 43” BT dan 7o 42’ 3” LS sampai 7o 42’ 23” LS (Gambar 1). Luas hutan pantai Cagar Alam Pananjung yaitu ±38 ha. Penelitian dilakukan di sisi barat Cagar Alam karena sumber tsunami yang terjadi pada tahun 2006 berasal dari arah barat, sehingga bagian barat Cagar Alam Pananjung merupakan lokasi pertama yang menjadi buffer tsunami. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga September 2017. Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Juni 2017, sedangkan pengolahan data dilakukan pada bulan Juli sampai September 2017.

(4)

Gambar 1. Peta lokasi penelitian Figure 1. Map of study site Bahan dan alat penelitian

Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Sentinel 2-A perekaman tanggal 21 Juni 2017 untuk memperoleh data kerapatan vegetasi dan kekasaran permukaan, citra DEM Alos Palsar 2016 untuk memperoleh data topografi, GPS untuk memperoleh data lebar hutan pantai, dan seperangkat komputer dengan software Arc GIS 10.3 dan ENVI untuk membuat pemodelan hutan pantai dalam mereduksi kekuatan tsunami.

Prosedur penelitian

Nilai ketebalan hutan merupakan lebar hutan yang diperoleh dengan tracking menyusuri lebar hutan pantai. Data vegetasi didapatkan dengan membuat petak ukur di hutan pantai Cagar Alam Pananjung dengan intensitas sampling 4% sehingga didapatkan petak ukur sebanyak 38. Petak ukur ditempatkan secara purposive sampling dengan pertimbangan petak ukur ditempatkan pada lokasi-lokasi yang mewakili berdasarkan kerapatan vegetasi hasil analisis citra sentinel 2-A perekaman tanggal 21 Juni

2017, topografi, dan dampak rendaman tsunami di kawasan hutan pantai. Pengukuran vegetasi dimulai dari tingkatan semai sampai pohon, serta tumbuhan bawah. Pengambilan data tumbuhan bawah dilakukan pada petak ukur 1 m x 1 m, semai 2 m x 2 m, sapihan 5 m x 5 m, tiang 10 m x 10 m, dan pohon 20 m x 20 m (Wijana 2014). Data yang didapatkan menunjukkan kondisi parameter hutan pantai.

Analisis data

Citra Alos Palsar 2016 kemudian dianalisis menggunakan software pemetaan untuk menghasilkan data topografi berupa ketinggian tempat. Analisis kerapatan hutan pantai Cagar Alam Pananjung dilakukan dengan menggunakan model NDVI dengan rumus (Band 4 -Band 3) / (Band 4 + Band 3) dan hasil berupa peta kerapatan hutan dari kelas tidak berkerapatan sampai dengan kelas kerapatan sangat tinggi. Masing-masing kelas kerapatan dicari kerapatan individu/ha dengan menggunakan petak ukur. Analisis kerapatan vegetasi pada masing-masing petak ukur menggunakan rumus :

(5)

Terdapat 5 kelas efektivitas hutan pantai sebagai buffer tsunami (Tabel 2) yang merupakan hasil re-class dari nilai tinggi tsunami yang dapat direduksi (Tabel 1). Pemodelan yang digunakan pada penelitian ini adalah model Harada dan Imamura (2003). Model ini digunakan karena mudah dalam penerapannya, sehingga dapat dikolaborasikan dengan berbagai parameter vegetasi hutan pantai. Nilai yang digunakan dalam menggolongkan kelas efektivitas hutan pantai dalam mereduksi tsunami merujuk pada model Harada dan Imamura (2003) dengan mengkonversi nilai reduksi versi Harada dan Imamura (2003) menjadi nilai reduksi pada lokasi penelitian (Tabel 1). Konversi dilakukan karena lokasi penelitian memiliki kekuatan reduksi yang berbeda dengan lokasi penelitian Harada dan Imamura (2003).

Nilai koefisien kekasaran permukaan didapatkan dari hasil interpretasi tutupan lahan berbasis obyek dan pengamatan kerapatan tegakan di hutan pantai dan dicocokkan dengan tabel koefisien kekasaran permukaan Chow (1959). Citra Sentinel 2-A dianalisis untuk mendapatkan peta tutupan lahan dengan interpretasi berbasis obyek dalam citra. Unsur-unsur yang digunakan sebagai dasar analisis dalam interpretasi citra yaitu ukuran, rona, warna, tekstur, pola, dan asosiasi dengan bantuan software Arc GIS 10.3 (Lillesand & Kiefer 1994). Hasil analisis nilai koefisien kekasaran permukaan hutan pantai diklasifikasi menurut Chow (1959).

Data vegetasi dan topografi digunakan untuk mengetahui efektivitas hutan pantai sebagai buffer tsunami di CA Pananjung. Sebaran genangan yang terjadi Tabel 1. Hubungan tinggi tsunami dengan tsunami di hutan pantai

Table 1. Correlations of tsunami height with tsunami reduction value in coastal forest Tinggi Tsunami (m) Reduksi versi Harada dan Imamura (%) Nilai Reduksi lokasi penelitian (%)

1 – 3 50 85,33 3,1 – 5 30 51,19 5,1 – 12 12,5 21,33 12,1 – 19 7,89 13,47 19,1 – 26 5,76 9,84 26,1 – 32 4,68 7,99

Tabel 2. Kelas efektivitas hutan pantai sebagai tsunami

Table 2. coastal forest as tsunami

No Kelas Reduksi (%)

1 Sangat efektif >85

2 Lebih efektif 51 – 85

3 Efektif 21 – 50

4 Kurang efektif 13 – 20

5 Sangat kurang efektif <13

Tabel 3. Daftar nilai koefisien kekasaran permukaan (Chow 1959) Table 3. List of surface roughness coefficient (Chow 1959)

Land Use Roughness Coefficient

Water

River, Lake, and Ocean 0,016 Field

Open Field 0,030

Crop Field 0,035

Brush

Low-Medium Density of Brush 0,050

Brush and Trees 0,060

Dense Brush 0,100

Trees

Low Density of Tree 0,060

Medium Density of Tree 0,100

(6)

di pesisir Cagar Alam Pananjung dimodelkan dengan menggunakan persamaan Berryman (2006). Persamaan Berryman merupakan metode yang sederhana dengan mempertimbangkan tiga parameter yaitu kekasaran permukaan dari citra Sentinel 2-A tahun 2017, topografi dari DEM citra Alos Palsar 2016, dan tinggi gelombang (run up) tsunami di Pangandaran tahun 2006 setinggi 17 m (Pengelola Cagar Alam Pananjung). Rumus Berryman (2006) dijabarkan dalam persamaan 2.

...(2) Hloss adalah hilangnya ketinggian tsunami per 1 m dari

jarak inundasi

n adalah koefisien kekasaran permukaan

H0 adalah ketinggian gelombang tsunami di garis pantai

S adalah besarnya lereng permukaan

...(3)

R adalah lebar hutan di setiap lokasi pengamatan R max adalah lebar hutan maksimal K adalah kerapatan di setiap lokasi pengamatan K max adalah kerapatan maksimal D adalah Diameter di setiap lokasi pengamatan D max adalah Diameter maksimal S adalah Topografi di lokasi Pengamatan S max adalah Topografi maksimal

Hutan Pantai Cagar Alam Pananjung

1. Lebar Hutan 2. Kerapatan (Sentinel 2 A) 3. Diameter 4. (Alos Palsar) ParameterHutan Pantai Pemodelan Tsunami (Gambar 3 dan 4)

Model Hutan Pantai sebagai Tsunami (Gambar 7) Da ta Pros es Output

Analisis Efektivitas Hutan Pantai Cagar Alam Pananjung

(Model Harada dan Imamura)

Analisis kemampuan Hutan Pantai dalam mereduksi tsunami (Analisis Berryman, 2006)

Gambar 2. Diagram alir penelitian

Figure 2. Research flow chart

Hasil perhitungan menggunakan model Berryman (2006) menghasilkan peta genangan tsunami. Langkah selanjutnya adalah mengetahui kekuatan hutan pantai dalam mereduksi kekuatan tsunami dengan membuat peta reduksi tsunami menggunakan analisis Spatial Multi-Criteria Analysis (SMCA) (Sharifi 2006). Analisis SMCA merupakan pembobotan faktor-faktor karakteristik hutan yang dapat mereduksi kekuatan tsunami, sehingga menghasilkan peta reduksi kekuatan tsunami. Pembobotan analisis SMCA dibuat dalam bentuk formulasi pada persamaan 3.

(7)

Hasil dan Pembahasan

Penilaian efektivitas hutan pantai meliputi kondisi kerapatan hutan, kondisi diameter pohon, lebar hutan, dan tinggi tsunami. Kerapatan tumbuhan bawah per jenis di hutan pantai di Cagar Alam Pananjung yaitu 32.895 ind/ha. Kerapatan untuk tingkatan semai yaitu 42.434 ind/ha. Kerapatan tingkatan sapihan yaitu 2.873 ind/ha. Kerapatan tingkatan tiang yaitu 400 ind/ha. Kerapatan tingkatan pohon yaitu 117 ind/ ha. Diameter pohon penyusun hutan pantai Cagar Alam Pananjung yaitu 15,99 cm. Lebar hutan pantai Cagar Alam Pananjung berkisar antara 120 m – 325 m dan ketinggian tempatnya antara 0 m dpl – 59 m dpl. Menurut model Harada dan Imamura (2003), parameter vegetasi hutan pantai tersebut termasuk kategori efektif.

Cagar Alam Pananjung memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap ancaman bencana tsunami. Kondisi ini didasarkan pada ketinggian tempat, kelerengan, penggunaan lahan, jarak dari pantai, dan jarak dari sungai yang memungkinkan dampak yang besar di Cagar Alam Pananjung. Hal ini juga dikemukakan oleh Ramadhany dan Makalew (2016) bahwa parameter ketinggian tempat, kelerengan, dan jarak dari pantai merupakan faktor kerentanan tsunami.

Hutan pantai Pananjung memiliki kondisi yang masih alami dengan terumbu karang dan hamparan pasir pantai yang masih terlihat baik di sepanjang pantai. Kondisi ini akan membuat gelombang tsunami yang terjadi di kawasan pesisir pantai Cagar Alam Pananjung akan berkurang durasinya menuju dataran yang lebih tinggi (Athanasius 2009).

Perkiraan tinggi tsunami yang terjadi di kawasan Pantai Pananjung ± 17 m dengan pusat titik gelombang arah barat daya. Pemodelan dilakukan dengan menggunakan model Berryman (2006) sehingga dapat dilihat tingkat genangan daerah hutan pantai Cagar Alam Pananjung (Gambar 3). Tingkat genangan ini didapatkan dengan mempertimbangkan topografi kawasan dan kekasaran permukaan. Hutan bervegetasi merupakan kekasaran permukaan yang mendominasi kawasan hutan pantai Cagar Alam Pananjung.

Peta kelas genangan tsunami hutan pantai menunjukkan lima tingkat genangan mulai kerentanan sangat rendah sampai dengan kerentanan sangat tinggi. Tinggi gelombang tsunami (run up) tsunami 17 m yang dimodelkan menghasilkan tingkat genangan paling rendah 7 m sampai dengan 17 m. Hutan pantai Cagar Alam Pananjung mampu meredam genangan sampai

Gambar 3. Peta kelas genangan tsunami di hutan pantai CA Pananjung

(8)

dengan 10 m. Pengelola Cagar Alam Pananjung menjelaskan bahwa pada tahun 2006 gelombang tsunami dapat dibendung oleh hutan Cagar Alam Pananjung, sehingga kerusakan dan korban jiwa dapat diminimalkan. Run up tsunami yang datang akan menyebabkan kerusakan yang berbeda-beda bergantung pada objek yang terkena hantaman. Semakin bervariasi topografi suatu wilayah maka semakin beragam genangan yang ditimbulkan. Hal ini disebabkan sifat tsunami yang terus bergerak dengan kecepatan tinggi dan melewati daerah yang terletak di bawahnya (Zaitunah et al. 2012).

Luas genangan tsunami di hutan pantai Cagar Alam Pananjung seluas 27,17 ha atau 71,5% dari total luas lokasi kajian penelitian. Sekitar 28,5% kawasan hutan pantai tidak terdapat genangan akibat tsunami. Pemodelan kawasan hutan pantai tanpa vegetasi menghasilkan model luas genangan tsunami seluas 51,82 ha atau 47,56% lebih luas dari total genangan pemodelan dengan vegetasi. Hutan pantai Cagar Alam Pananjung yang dekat dengan laut lepas memiliki kerawanan bencana sangat tinggi. Semakin ke arah menjauhi pantai tingkat kerawanannyanya menjadi rendah. Hal ini dipengaruhi jarak garis pantai dan kontur. Lokasi yang mempunyai ketinggian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi

lain, memiliki tingkat genangan paling rendah bahkan run up tsunami tidak sampai lokasi tersebut. ketinggian dan topografi yang curam akan membuat kecepatan aliran tsunami semakin berkurang (De Risi 2017). Kondisi topografi yang sangat bervariasi membuat kelas kerentanan juga bervariasi. Sebaran genangan (inundasi) di pantai Cagar Alam Pananjung dapat direduksi dengan adanya hutan pantai. Kelas topografi, diameter pohon, dan kerapatan vegetasi mulai dari tumbuhan bawah sampai dengan pohon secara pemodelan mampu mengurangi inundasi akibat tsunami. Peta kerapatan vegetasi di hutan pantai Cagar Alam Pananjung disajikan di Gambar 4.

Kawasan pantai Cagar Alam Pananjung memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi. Hampir seluruh wilayah daratan vegetasi berkerapatan tinggi dan sangat tinggi. Kondisi ini ditunjukkan dengan NDVI citra Sentinel 2-A tahun 2017. Kondisi vegetasi yang masih alami membuat sistem ekologi di dalam berjalan optimal sehingga suksesi yang terjadi juga optimal. Hal ini membuat hutan pantai lebih optimal dalam menghadapi ancaman gelombang tsunami. Parameter pereduksi energi tsunami lainnya adalah topografi. Hutan pantai Cagar Alam Pananjung mempunyai topografi yang sangat bervariasi. Hasil analisis DEM citra Alos Palsar 2016 menunjukkan 5

Gambar 4. Peta kerapatan vegetasi hutan pantai Figure 4. Map of coastal forest vegetation density

(9)

Gambar 5. Peta Digital Elevation Model hutan pantai Figure 5. Map of coastal forest Digital Elevation Model

Gambar 6. Peta reduksi tsunami di hutan pantai CA Pananjung Figure 6. Map of tsunami reduction at costal forest Pananjung Nature Reserve kelas ketinggian tempat yaitu antara 0 m dpl sampai

dengan 59 m dpl. Gelombang tsunami yang datang dengan tinggi tertentu tidak akan bisa melewati topografi hutan pantai jika gelombangnya masih di bawah ketinggian tempat (Gambar 5).

Pemodelan hutan pantai dalam mereduksi tsunami dengan menggunakan analisis SMCA menghasilkan peta kelas reduksi tsunami di hutan pantai. Tingkat reduksi tsunami oleh hutan pantai menunjukkan sebaran kekuatan kelas reduksi tsunami sehingga diketahui masing-masing kelas reduksi tsunami dan luasannya (Tabel 4 dan Gambar 6).

(10)

Tabel 4. Luasan kelas reduksi tsunami di hutan pantai CA Pananjung Table 4. Area of tsunami reduction at coastal forest Pananjung Nature Reserve

No Kelas Reduksi Luas (ha) Luas (%) 1 Sangat Rendah 8,11 21,34 2 Rendah 0,27 0,71 3 Sedang 20,87 54,92 4 Tinggi 5,54 14,58 5 Sangat Tinggi 3,21 8,45 Total 38 100

Luas hutan pantai paling tinggi mempunyai tingkat reduksi sedang yaitu sebesar 54,92%. Lokasi yang memiliki tingkat reduksi paling rendah yaitu pada kelas rendah dengan besaran 0,71%. Hal ini menunjukkan mayoritas persebaran kekuatan reduksi tsunami dari vegetasi masih pada kelas sedang, sehingga pengurangan energi tsunami yang lebih besar dapat ditingkatkan lagi dengan meningkatkan karakteristik vegetasi yang berperan dalam mengurangi kekuatan tsunami. Model ini dapat diacu sebagai dasar kegiatan mitigasi bencana. Lokasi yang memiliki kerentanan tinggi menjadi prioritas pengelolaan kebencanaan.

Teori Harada dan Imamura (2003) diterapkan pada lokasi penelitian dengan menggunakan kerapatan, diameter, dan tebal hutan pantai pada pengambilan data lapangan. Perhitungan nilai reduksi pada tinggi gelombang datang 17 m dilakukan dengan persamaan Berryman (2006) dengan (run up) 17 m, sehingga diperoleh nilai kemampuan hutan pantai Cagar Alam Pangandaran dalam mereduksi gelombang tsunami sebesar 41,18%. Hasil perhitungan efektivitas hutan pantai sebagai buffer tsunami yaitu masuk dalam kategori efektif. Luas jangkauan tsunami di hutan pantai Cagar Alam Pananjung mencapai 71,5% atau 27,17 ha dari total luas hutan pantai.

Karakterik vegetasi hutan pantai Cagar Alam Pananjung sangat menentukan besaran reduksi gelombang tsunami. Menurut kriteria Harada dan Imamura (2003), hampir sebagian besar wilayah hutan pantai memiliki kerapatan, diameter, dan lebar hutan pantai yang baik. Hutan pantai yang masih baik akan menjadi penghalang gelombang tsunami yang datang, sehingga energi tsunami mampu diredam dan dapat direfleksikan kembali ke laut (Triatmadja 2010). Pantai Indonesia juga memiliki potensi yang besar mulai dari nelayan,

pedagang, sampai dengan wisatawan, sehingga kegiatan di sektor pantai cukup tinggi. Aktivitas yang tinggi juga terlihat di kawasan hutan pantai Cagar Alam Pananjung karena kawasan pantai ini menjadi pusat aktivisitas wisata maupun melaut. Kondisi tersebut menjadikan keberadaan hutan pantai yang baik sangat penting dalam penanggulangan bencana seperti tsunami.

Kesimpulan

Pemodelan reduksi tsunami di Cagar Alam Pananjung diperoleh dengan variabel pereduksi seperti vegetasi (kerapatan, lebar hutan, diameter) dan topografi. Hasil pemodelan faktor pereduksi tsunami menghasilkan peta kelas reduksi tsunami di Cagar Alam Pananjung Pangandaran. Peta kelas reduksi tsunami Cagar Alam Pananjung Pangandaran menunjukkan sebagian besar Cagar Alam memiliki kemampuan reduksi kelas efektif.

Daftar Pustaka

Alkema D, Ferlisi S, Boerboom L, Scolobog A, Westen C. 2011. Changes SMCE- Exercise Nocera, Generation of Hazard and Vulnerability Indices Using Spatial Multi Criteria Evaluation. ITC, Tweente.

Alongi DM. 2008. Mangrove forests: Resilience, protec-tion from tsunamis, and responses to global climate change. Estuarine. Coastal and Shelf Science Journal

76(1): 1-13.

Athanasius C. 2009. Pengaruh geomorfologi pantai terh-adap gelombang tsunami. Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi 4: 39-51.

Berryman K. 2006. Review of tsunami hazard and risk in New Zealand. Institute of Geological and Nuclear Sci-ences, Lower Hutt.

Chow VT. 1959. Open Channel Hydraulics.McGraw-Hill Book Company, ISBN 07-010776-9.

Daly P, Agus H, Nizamuddin, Ardiansyah, Divya H, Ezra H, Saiful M. 2017. Rehabilitating coastal agriculture and aquaculture after inundation events: Spatial analysis of livelihood recovery in post-tsunami Aceh, Indo-nesia. Ocean & Coastal Management Journal 142 (1): 218-232.

(11)

De Risi R, Goda K, Yasuda T, Mori N. 2017. Is flow velocity

in tsunami empiral fragility modeling? Earth Science Review 166: 64-82.

Harada K, Imamura F. 2002. Study on the evaluation of tsunami reducing by coastal control forest for actual conditions. Hlm 652-658. Proceedings of The Twelfth

International Offshore and Polar Engineering Confer -ence Japan 26–31 May 2002, Kitakyushu.

Henderson SEK, Elsass P. 2015. Predictors of trauma and

distress in Sri Lanka five years after the Indian Ocean

tsunami: A cross-sectional study. Journal of Disaster Risk Reduction 14: 438-444.

Hiraishi T, Harada K. 2003. Greenbelt tsunami prevention

in South Pacific region. Report of the Port and Airport

Research Institute, Tokyo.

Husodo T, Santoso P, Partasasmita R, Hendrawan R. 2015. Struktur komunitas dan tipologi komunitas tumbu-han di Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Panan-jung Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Proseding Seminar Nasional Masyarakat Biodi-versiti Indonesia 647-654.

Husrin S, Jaya K, Aprizon P, Joko P, Yudhi C, Aditya H. 2015. Assessment on the characteristics and the damping performance of coastal forests in Pangandaran after the 2006 Java Tsunami. Procedia Earth and Planetary Science 12:20-30.

Jamali AA. 2012. Biological soil conservation planning by Spatial Multi-Criteria evaluation techniques (Case study: Bonkuh Watershed in Iran). International Journal of Geological and Enviromental Engineering

6(1): 21-23.

Kangiras GE. 2009. Pendugaan daya dukungan model per-tumbuhan populasi Rusa Timor di Cagar Alam/Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran, Ciamis Jawa Barat. PhD Thesis. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Koshimura S, Hayashi S, Gokon H. 2014. The impact of the

2011 Tohoku earthquake tsunami disaster and impli-cations to the reconstruction. Soils and Foundations

54(4): 560-572.

Iida K. 1964. Magnitude, energy, and generation mech-anisms of tsunamis and a catalogue of earthquakes associated with tsunamis. Hlm 7-18. Proceedings of

Tsunami Meetings Associated with the Tenth Pacific

Science Congress. Int. Union of Geod. and Geophys. Paris.

Lillesand TM, Kiefer RW. 1994. Remote sensing and image interpretation. Brisbane, New York.

Mardiyanto B, Baskoro R, Muhammad H. 2013. Kajian ker-entanan tsunami menggunakan metode sistem

infor-masi geografi di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa

Yogyakarta. Jurnal of Marine Research 2 (1): 103-106. Ohira W, Honda K, Harada K. 2012. Reduction of tsunami

inundation by coastal forests in Yogyakarta, Indone-sia: a numerical study. Natural Hazards and Earth Sys-tem Sciences 12:85-95.

Pranata YA Johnny GP. 2014. Kekuatan lentur, MOE, dan MOR kayu ulin (Eusideroxylon zwageri). Jurnal Teknik Sipil 13: 25-31.

Purbani D, Fatria MB, Marimin, Wayan IN, Fredinan Y.2013. Kemampuan ekosistem mangrove dalam mereduksi tsu-nami di Teluk Loh Pria Laot Pulau Weh. IPB Press, Bogor. Ramadhany, Rizky R, Afra DNM. 2016. Perencanaan

lanskap Pantai Pangandaran berbasis mitigasi tsuna-mi. E-jurnal Arsitektur Lansekap 10: 62-71.

Rasheed AKA, Kesava DV, Revichandran C, Vijayan PR, Tony JT. 2006. Tsunami impacts on morphology of beaches along South Kerala Coast, West Coast of In-dia. Science of Tsunami Hazards 24(1): 24-34.

Sharifi A, Boerboom MAL, Shamsudin KB, Veeramuthu L.

2006. Spatial Multiple Criteria Decision Analysis in integrated planning for public transport and land use development study in Klang Valley, Malaysia. ISPRS Technical Commission II Symposium, Vienna, 12 – 14 July 2006.

Triatmadja R. 2010. Tsunami: Kejadian, penjalaran, daya ru-sak, dan mitigasinya. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wijana N. 2014. Metode analisis vegetasi. Plantavia, Yog-yakarta.

Zaitunah A, Kusmana C, Jaya INS, Haridjaja O. 2012. Kajian potensi daerah genangan akibat tsunami di Pantai Ci-amis Jawa Barat. Foresta 1(1): 1-6.

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi penelitian Figure 1. Map of study site Bahan dan alat penelitian
Table 1.  Correlations of tsunami height with tsunami reduction value in coastal forest Tinggi Tsunami (m)  Reduksi versi Harada dan Imamura
Gambar 2. Diagram alir penelitian Figure 2. Research flow chart
Gambar 3. Peta kelas genangan tsunami di hutan pantai CA Pananjung Figure 3. Map of tsunami inundation at costal forest Pananjung nature reserve
+4

Referensi

Dokumen terkait

Nilai erosi maksimum yang terjadi pada pantai mutiara pada skenario kemunduran garis pantai 0,288 m telah terjadi erosi maksimum 6,058m sedangkan pada nilai kemunduran garis

Elvian : Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula Di Hutan Pantai Dan Potensi Pemanfaatannya ...,2003 USU e-Repository © 2008... Elvian : Keanekaragaman Cendawan Mikoriza

Jumlah individu gastropoda dari hasil pengamatan yang telah dilakukan di sepanjang Pantai Cigebang Cagar Alam Bojonglarang Jayanti di analisis setiap transeknya

Berdasarkan urain tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang menitik beratkan pada penilaian manfaat ekonomi hutan bakau di sekitar kawasan Cagar Alam

Wawancara Dengan Narasumber Di Rumah Kepala Desa Pansur Natolu.. Dokumentasi Kegiatan Penelitian Di Hutan Cagar

Tinggi gelombang datang (run up) mencapai 30 m terjadi di bagian barat Banda Aceh. Penelitian ini memodelkan tinggi gelombang datang 30 m. Model sebaran genangan atau

Tinggi gelombang datang (run up) sekitar 2 -5 meter yang menerjang pesisir pantai Iboih dan Pulau Rubiah, kejadian tsunami berlangsung pagi hari jam 8 (delapan) pagi waktu

Tujuan lebih spesifik lagi adalah untuk: (1) menghitung kerusakan fisik hutan mangrove di pesisir pantai Situbondo, yakni dampak abrasi gelombang pasang