• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Aceh Singkil, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Langkat, Dairi dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Aceh Singkil, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Langkat, Dairi dan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi Letak dan Luas

Secara administrasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di 2 (dua) provinsi, yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Propinsi Sumatera Utara, serta berbatasan dengan 9 kabupaten (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Langkat, Dairi dan Karo) (BBTNGL, 2012).

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 Hektar yang terletak di dua propinsi, yaitu Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Propinsi Sumatera Utara. Kawasan TNGL berada pada koordinat 96º 35”- 98º 30” BT dan 2º 50” – 4º 10” LU (BBTNGL, 2012).

Status kawasan

Taman Nasional Gunung Leuser menyandang 2 status yang berskala global yaitu sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981 dan sebagai Warisan Dunia pada tahun 2004. Kedua status tersebut ditetapkan oleh UNESCO dan World Heritage Committee atas usulan Pemerintah Indonesia setelah melalui rangkaian proses seleksi yang ketat. Selain itu, Taman Nasional Gunung Leuser merupakan laboratorium alam yang kaya keanekaragaman hayati sekaligus juga merupakan ekosistem yang rentan, serta sebagai sistem penyangga kehidupan (life support system) (BBTNL, 2012).

(2)

Topografi

Ditinjau dari segi topografi, kawasan TNGL memiliki topografi mulai dari 0 meter dari permukaan laut (mdpl) yaitu daerah pantai hingga ketinggian lebih lebih dari 3000 mdpl, namun secara rata-rata hampir 80% kawasan memiliki kemiringan di atas 40% (BBTNGL, 2012).

Iklim

Kawasan TNGL dalam pengaruh inter-tropical convergence zone. Oleh karena itu sebagian besar klasifikasi iklimnya masuk ke dalam kategori Klas A, yaitu wet and hot tropical rainforest climate. Dalam tipe iklim ini, temperatur bulanan mencapai 18oC dan curah hujan tahunan lebih besar dari pada evaporasi tahunan aktual (BBTNGL, 2012).

Flora

Vegetasi di kawasan TNGL termasuk flora Sumatera dan erat hubungannya dengan flora di Semenanjung Malaysia, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa dan bahkan Philipina. Formasi vegetasi alami di TNGL ditetapkan berdasarkan 5 kriteria, yaitu bioklimat (zona klimatik ketinggian dengan berbagai formasi floristiknya). Empat kriteria lainnya adalah hubungan antara komposisi floristik dengan biogeografi, hidrologi, tipe batuan dasar dan tanah. Van Steenis yang melakukan penelitian pada tahun 1937 (de Wilde W.J.J.O dan B.E.E. Duyfjes, 1996), membagi wilayah tumbuh-tumbuhan di TNGL dalam beberapa zona, yaitu:

• Zona Tropika (termasuk zona Colline, terletak 500 – 1000 mdpl). Zona Tropika merupakan daerah berhutan lebat ditumbuhi berbagai jenis tegakan kayu yang berdiameter besar dan tinggi sampai mencapai 40 meter. Pohon

(3)

atau tegakan kayu tersebut digunakan sebagai pohon tumpangan dari berbagai tumbuhan jenis liana dan epifit yang menarik, seperti anggrek, dan lainnya. • Zona peralihan dari Zona Tropica ke Zona Colline dan Zona Sub-Montane

ditandai dengan semakin banyaknya jenis tanaman berbunga indah dan berbeda jenis karena perbedaan ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat maka pohon semakin berkurang, jenis liana mulai menghilang dan makin banyak dijumpai jenis rotan berduri.

• Zona Montane (termasuk zona sub montane,terletak 1000 – 1500 mdpl). Zona montane merupakan hutan montane. Tegakan kayu tidak lagi terlalu tinggi hanya berkisar antara 10 – 20 meter. Tidak terdapat lagi jenis tumbuhan liana. Lumut banyak menutupi tegakan kayu atau pohon. Kelembaban udara sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup kabut.

• Zona Sub Alphine (2900 – 4200 mdpl), merupakan zona hutan Ercacoid dan tak berpohon lagi. Hutan ini merupakan lapisan tebal campuran dari pohon-pohon kerdil dan semak-semak dengan beberapa pohon-pohon berbentuk payung (familia Ericacae) yang menjulang tersendiri serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut.

(BBTNGL, 2012). Fauna

Ditinjau dari segi geografi satwa, Pulau Sumatera digolongkan ke dalam Sub Regional Malaysia. Sedangkan di Pulau Sumatera dapat ditetapkan dua garis batas fauna, yaitu Pegunungan Bukit Barisan (bagian Barat dan Timur) dan Padang Sidempuan (bagian Utara dan Selatan). Garis batas fauna lainnya terdapat di Sungai Wampu yang tembus dari Pegunungan Tanah Karo memotong wilayah

(4)

Langkat Selatan. Jenis Kedih yang terdapat di sebelah timur Sungai Wampu ternyata berbeda dengan yang terdapat di sebelah barat. Kekayaan fauna di TNGL sebenarnya banyak terdapat di kawasan yang terletak di ketinggian 0 – 1000 mdpl. Di daerah yang lebih tinggi, komposisi fauna mengalami perubahan dan keberadaannya mulai terbatas (BBTNGL, 2012).

TNGL merupakan habitat dari mamalia, burung, reptil, ampibi, ikan, dan invertebrata. Kawasan ini juga merupakan habitat burung dengan daftar spesies 380 dan 350 di antaranya merupakan spesies yang hidup menetap. Diprediksi bahwa 36 dari 50 jenis burung endemik di Sundaland, dapat ditemukan di kawasan TNGL. Dari 129 spesies mamalia besar dan kecil di seluruh Sumatera, 65% di antaranya berada di kawasan taman nasional ini. TNGL dan kawasan di sekitarnya yang disebut sebagai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan habitat dari gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), Owa (Hylobates lar), Kedih (Presbytis thomasi). Saat ini Balai Besar TNGL lebih memfokuskan pengelolaannya pada 4 spesies satwa flagship, yaitu orangutan, badak sumatera, harimau sumatera, dan gajah sumatera.

Klasifikasi Orangutan

Berdasarkan taksonominya, menurut Groves (1971) orangutan sumatera diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub Phylum : Vertebrae

(5)

Kelas : Mammalia Ordo : Primata Sub Ordo : Anthropoidea Famili : Hominoidea Subfamili : Pongidae Genus : Pongo

Spesies : Pongo abelii

Orangutan merupakan satu-satunya primata kera besar (great apes) yang hidup di benua Asia, sedangkan tiga kerabat lainnya gorila, simpanse, dan bonobo hidup di benua Afrika (Rijksen & Meijaard 1999; Buij et al. 2002). Sampai akhir masa Pleistocen, orangutan masih menyebar pada kawasan yang meliputi China bagian selatan hingga Pulau Jawa, namun saat ini hanya ditemukan di Pulau Sumatera dan Borneo (Bacon & Long 2001). Hasil lokakarya IUCN-Primate Spesialist Group membagi orangutan menjadi dua spesies, yaitu orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang menempati daerah sebaran yang sempit di sebelah utara bagian utara dan selatan Danau Toba di Pulau Sumatera dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang terdapat di pulau Kalimantan dan di beberapa tempat yang merupakan kantong-kantong habitat hutan Sabah dan Serawak (Groves 2001; Rijksen & Meijaard 1999; Supriatna & Wahyono 2000).

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di Provinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Area seluas 1.094.692 hektar (ha) ini ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai taman nasional pada tahun 1980. Nama TNGL diambil dari Gunung Leuser yang membentang di kawasan tersebut dengan ketinggian mencapai 3.404 meter (m) diatas permukaan laut (dpl).

(6)

Bersama dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Kerinci Seblat, TNGL ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2004 sebagai situs warisan dunia, Tropical Rainforest Heritage of Sumatra pada tahun 2004. Sebelumnya, TNGL juga telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981, dan ASEAN Heritage Park pada tahun 1984.

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di Provinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Luas area adalah 1.094.692 hektar (ha). TNGL berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2,6 juta ha dan dianggap sebagai rumah terakhir bagi Orangutan sumatera yang sangat terancam punah. Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera termasuk kedalam wilayah Desa Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Secara geografis terletak pada 3°30’-3°35’ LU dan 98°0’-98°15’ BT, pada ketinggian antara 100-260 meter dpl. Batas-batas areal ini adalah disebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Bahorok yang merupakan batas alam, sedangkan di bagian lain berbatasan dengan kawasan Taman Nasional (BBTNGL, 2011).

Pemberian pakan utama di PPS dilakukan dengan menyebar pakan di sekitar kandang terbuka. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi penguasaan pakan oleh individu dominan. Penyebaran pakan terutama sangat penting bagi individu dengan status sosial yang rendah karena dapat mempermudah akses ke sumber pakan dan mengurangi risiko adanya gangguan dari individu dominan (Heulin & Cruz 2005).

Pakan Orangutan dapat berubah-ubah tergantung pada jenis pakan yang sedang tersedia dalam ruang dan waktu. Orangutan pada dasarnya termasuk

(7)

primata frugivora. Saat sedang musim buah, pakan Orangutan dapat seluruhnya bersumber pada pakan buah, dan saat bukan musim buah, alternatif pakan Orangutan adalah dedaunan (25%), kulit kayu (37%), buah (21%), dan serangga (7%) (Napier dan Napier, 1985). Sumber pakan terpenting adalah buah ara (Ficus spp.) yang berbuah sepanjang tahun. Orangutan juga merupakan pengumpul pakan yang oportunis, yaitu memakan apa saja yang dapat diraihnya, termasuk madu pada sarang lebah. Kegemarannya pada makanan yang tidak biasa ditemui dan tertebar acak di habitatnya, menyebabkan Orangutan selalu bergerak dalam rangka mencari makanan kegemarannya. Saat bukan musim buah Orangutan akan lebih aktif bergerak dibandingkan pada saat musim buah. Menurut Orangutan memiliki kemampuan luar biasa dalam menemukan sumber makanan yang kecil, jarang, dan tertebar acak. (MacKinnon dkk., 1974).

Hutan tropis adalah hutan yang terletak di daerah khatulistiwa, yaitu yang dibatasi oleh dua garis lintang 23.5 derajat LS dan 23.5 derajat LU. Hutan tropis mempunyai karakter: curah hajannya tinggi yang merata sepanjang tahun, yaitu antara 200 - 225 cm/tahun; matahari bersinar sepanjang tahun, dari bulan satu ke bulan yang lain perubahan suhunya relatif kecil; di bawah kanopi atau tudung pohon, gelap sepanjang hari, sehingga tidak ada perubahan suhu antara siang dan malam hari (Setia, 2009).

Bentuk lain dari liana misalnya yang ditemukan pada beberapa jenis Ficus spp, yaitu: mula-mula tumbuh seperti epifit di kanopi inangnya kemudian akarnya turun ke tanah. Kadang-kadang tipe jenis ini dapat mencekik tumbuhan inangnya sehingga mati. Tipe ini disebut Strangler. Liana ditemukan hidup 90% di hutan tropik dan merupakan tumbuhan khas pada hutan hujan tropik Kepadatan liana

(8)

tergantung dari kehangatan dan kelembaban udara di suatu habitat. Jenis liana menyusun 8% dari jenis tumbuhan lain di hutan hujan tropis (Jacobs, 1980).

Orangutan sangat rentan terhadap kepunahan yang diakibatkan oleh (1) kerusakan hutan yang terjadi dalam skala besar dan perburuan untuk tujuan diperdagangkan (Rijksen and Meijaard 1999); sedangkan (2) interval kelahirannya yang jarang, yakni kira-kira mencapai 8 tahun antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya (Galdikas & Wood 1990) dan (3) ukuran tubuhnya yang relatif besar. Selain faktor kerentanan, orangutan Sumatera juga tinggal dengan densitas yang rendah (mulai dari nol sampai tujuh ekor per km di Sumatera), sehingga membutuhkan ruang yang sangat luas berupa blok-blok hutan yang luas (Departemen Kehutanan, 2007).

Tipe Ekosistem Hutan Bukit Lawang

Kawasan TNGL berada pada koordinat 96º 35”- 98º 30” BT dan 2º 50” – 4º 10” LU. Kawasan TNGL memiliki topografi mulai dari 0 meter dari permukaan laut (mdpl) yaitu daerah pantai hingga ketinggian lebih lebih dari 3000 mdpl. Kawasan TNGL dalam pengaruh inter-tropical convergence zone. Oleh karena itu sebagian besar klasifikasi iklimnya masuk ke dalam kategori Klas A, yaitu wet and hot tropical rainforest climate. Analisis tipe ekosistem hutan di kawasan Stasiun Pengamatan Orangutan Sumatera (SPOS) tergolong ekosistem hutan hujan tropis dengan tipe iklim A. Hal ini sesuai dengan pernyataan Vickery (1984) hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10ºLU dan 10ºLS.

Santoso (1996) dan Direktorat Jenderal Kehutanan (1976) mengemukakan bahwa tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe

(9)

iklim A dan B. (menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson) atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah. Tegakan hutan hujan tropis didominasi oleh pepohonan yang selalu hijau.

Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tetumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan (Arief, 1994).

Berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut kawasan hutan SPOS tergolong pada zona 3 yang dinamakan hutan hujan atas karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 3300-4100 mdpl. Hal ini didukung pernyataan (Santoso, 1996; Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976), menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga zona atau wilayah sebagai berikut:

1. Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 0-1000 mdpl.

2. Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 1000-3300 mdpl.

3. Zona 3 dinamakan hutan huja atas karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 3300-4100 mdpl.

(10)

Pohon

65%

Liana

24%

Perdu

11%

Potensi Tumbuhan Pakan di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera

Hasil inventarisasi tumbuhan pakan orangutan di PPOS Bukit Lawang, ditemui 37 jenis tumbuhan penghasil buah pakan orangutan, dengan rincian golongan pohon 24 jenis, golongan perdu 4 jenis dan golongan liana atau tumbuhan merambat 9 jenis.

Persentase keragaman species tumbuhan buah pakan orangutan Sumatera antara pohon, liana dan perdu yang ditemukan pada jalur contoh secara sistematik dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini :

Gambar 1. Persentase perbandingan jenis tumbuhan buah pakan orangutan Sumatera (Pongo abelii) antara pohon, liana dan perdu yang ditemukan pada jalur contoh secara sistematik (Sumber: Iskandar, 2013).

Gambar 1 menjelaskan total 37 jenis tumbuhan buah pakan orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang ditemukan dalam 50 jalur sampling, jenis pohon dengan proporsi terbesar sebanyak 24 jenis (65 %). Liana atau tumbuhan merambat yang ditemukan adalah 9 jenis (24 %), dan perdu yang ditemukan yaitu 4 jenis (11 %).

(11)

Ara (Ficus spp.) sebagai spesies kunci (keystone species)

Menurut Whitmore (2003) aktivitas yang ramai di sebuah ara besar adalah salah satu perhatian yang tak terlupakan dari hutan (studi kasus Cocha Cashu). Kumpulan monyet datang dari segala arah seolah-olah dibimbing oleh beberapa persepsi misterius. Kita telah melihat lebih dari 100 monyet dari lima spesies dan 20 sampai 30 jenis burung makan secara bersamaan pada sebuah pohon Ficus perforate. Bagaimana mungkin begitu banyak hewan dengan mandiri dapat menemukan pohon yang pada hari pertama buahnya matang. Kami percaya bahwa hewan-hewan ini dipancing oleh keriuhan yang melengking dari berjuta burung parkit (Brotogerus spp.) yang dengan cepat berkumpul di tempat kejadian. Burung-burung ini adalah pemakan ara sama seperti tupai (Saimiri), dan suara mereka yang kuat adalah indikator/pertanda pasti pohon berbuah. Tupai memakan buah ara, tetapi kadang-kadang dalam seminggu hewan ini bertahan hidup tanpa makanan atau hanya memakan serangga, dimana serangga ini memberi keuntungan dengan memberi lebih banyak energi.

Ada bukti bahwa palem-paleman dan buah ara juga memainkan peranan penting sebagai spesies kunci (keystone spesies) di hutan Amerika Selatan lainnya. Tanaman ini disebut spesies kunci karena fungsi vital mereka. Jenis ara ini memiliki peran nyata dan penting dalam konservasi hutan.

Beberapa spesies pohon ara besar Malesia Barat, terutama tumbuhan atau pohon pencekik dan banyan sebagai spesies pohon yang sangat disukai dan penting bagi burung dan mamalia. Lima puluh burung enggang dari empat spesies telah diamati makan secara bersamaan di pohon ara tunggal di Gunung Mulu, Sarawak. Di Kuala Lompat, Malaya, 60 jenis burung menyuplai pakan terutama

(12)

pada 38 spesies Ficus di daerah dengan luas area 2 km2. Sebuah penelitian di Kutai, Kalimantan timur, menemukan bahwa pada hutan Cocha Cachu, buah ara jenis tertentu adalah spesies kunci (keystone spesies) untuk sumber daya untuk kehidupan (habitat) bagi banyak mamalia dan burung, dan penyuplai pakan dasar karena jenis ara ini berbuah sepanjang tahun. Buah ara yang dilengkapi dengan buah tanaman merambat (climbers) dari Annonaceae dan oleh beberapa Meliaceae dan Myristicaceae. Pada kedua lokasi, Kuala Lompat dan Kutai Timur ditemukan individu pohon ara dan bahkan spesies, berbuah sporadis (sekali-sekali), tetapi secara kolektif ara ini selalu subur .

Tidak ada catatan ara sebagai spesies kunci (keystone species) di hutan hujan Afrika. Dalam hutan Gabon ditemukan bahwa buah ara langka dan terutama sumber pakan kelelawar dalam skala besar . Selain itu, mereka berbuah jarang dan sporadis . Monyet dan burung besar mengandalkan dua famili Myristicaceae dan Annonaceae untuk spesies kunci (keystone) sebagai sumber buah-buahan jika kelaparan.

Jenis-jenis Ficus spp. 1. Ficus septica Burm. f.

Spesies :Ficus septica Burm. f. Nama umum :Awar-awar

(www.warintek.ristek.go.id, 2014). 2. Ficus variegata Bl.

Spesies :Ficus variegate Bl. Nama umum :Gondang

(13)

Spesies :Ficus benjamina L Nama umum :Beringin

4. Ficus elastica Nois. Ex. Bl.

Spesies :Ficus elastica Nois. Ex Bl. Nama umum :Karet

Nama lokal :Haryara Citan (Wulf, 1982).

5. Ficus annulata Bl.

Spesies :Ficus annulata Bl. Nama umum :Bulu

6. Ficus deltoidea Jack.

Spesies :Ficus deltoidea Jack. Nama umum :Tabat barito

(Starr, F, dkk., 2003).

Relung Ekologi (niche)

Di dalam habitat, setiap makhluk hidup mempunyai cara tertentu untuk hidup. Misalnya, burung yang hidup di sawah ada yang makan serangga, ada yang makan buah padi, ada yang makan katak, ada juga yang makan ikan. Cara hidup organism seperti itu disebut relung atau niche (Indriyanto, 2006).

Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam ekosistem (Heddy dkk., 1986). Menurut Resosoedarmo dkk. (1986), relung yaitu posisi atau status organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu. Relung suatu organisme ditentukan oleh tempat hidupnya

(14)

(habitat) dan oleh berbagai fungsi yang dikerjakannya, sehingga dikatakan sebagai profesi organisme dalam habitatnya. Profesi organisme menunjukkan fungsi organisme dalam habitatnya. Berbagai organisme dapat hidup bersama dalam satu habitat. Akan tetapi, jika dua atau lebih organisme mempunyai relung yang sama dalam satu habitat, maka akan terjadi persaingan. Makin besar kesamaan relung dari organisme-organisme yang hidup bersama dalam satu habitat, maka maikn intensif persaingannya dalam habitatnya.

Relung ekologi adalah status atau peran suatu mahluk hidup di dalam komunitas atau ekosistem. Relung ekologi tergantung pada adaptasi struktural mahluk, respons fisiologis dan perilakunya. Relung ekologi bukanlah ruang fisik, tetapi suatu abstraksi mencakup semua faktor-faktor fisik,kimia,fisiologis dan biotik yang diperlukan mahluk untuk hidup. Dalam ekologi tidak pernah ada dua jenis menempati relung ekologi yang sama. Suatu spesies dapat menempati relung ekologi sangat berbeda di daerah yang berbeda tergantung pada suplai makanan yang tersedia dan pada jumlah macam pesaing-pesaingnya.

Habitat adalah suatu tipe komunitas biotik atau kesatuan komunitas biotik dimana seekor satwa atau populasi hidup. Habitat adalah suatu unit lingkungan, alami maupun tidak (meliputi iklim, makanan, cover dan air) dimana seekor satwa, tumbuhan atau populasi secara alami dan normal hidup dan berkembang. Definisi habitat terbaru yang relevan untuk pengelola satwa liar yaitu sumberdaya dan kondisi yang ada pada suatu tempat yang memberikan tempat hidup (occupancy), termasuk survival dan reproduksi suatu organisme. Definisi ini berimplikasi bahwa habitat adalah sejumlah sumberdaya spesifik yang dibutuhkan oleh suatu spesies (Bailey, 1984)

(15)

Semua jenis satwa dapat hidup di suatu tempat hanya jika kebutuhan pokoknya seperti makanan, air, dan cover tersedia dan jika satwa memiliki daya adaptasi yang memungkinkannya menghadapi iklim yang ekstrim, kompetitor dan predator. Empat komponen dasar habitat adalah makanan, cover, air dan ruang.

Komponen habitat paling penting bagi satwa adalah makanan. Ketersediaan (availability) makanan biasanya berubah menurut musim. Bagi karnivora atau jenis pemangsa, ketersediaan makanan berarti ketersediaan satwa mangsa. Kuantitas dan kualitas makanan yang dibutuhkan oleh setiap satwaliar bervariasi menurut spesies, jenis kelamin, kelas umur, fungsi fisiologis, musim, cuaca dan lokasi geografis (Bailey, 1984). Karnivora mengeluarkan banyak energi untuk mencari, memburu, menangkap dan membunuh mangsa, tetapi diimbangi dengan kandungan energi yang tinggi dari satwa mangsanya. Karena kandungan nutrisi daging mangsa yang lengkap dan mudah dicerna, spesies pemangsa jarang atau tidak pernah mengalami kekurangan gizi dari mangsa alaminya. Masalah nutrisi bagi karnivora adalah masalah kuantitas dan ketersediaan (availability), bukan kualitas makanan (Bailey, 1984).

Cover didefinisikan sebagai sumberdaya struktural dari lingkungan yang mendukung perkembangbiakan (reproduksi) dan/atau daya hidup (survival) satwa dengan menyediakan fungsi-fungsi alami untuk spesies tersebut (Bailey, 1984). Cover biasanya digunakan untuk melarikan diri dari predator, walaupun predator yang memburu mangsanya juga memerlukan cover untuk dapat mendekati mangsanya. Cover juga memberikan perlindungan yang penting terhadap iklim yang keras, tempat berteduh dari panas, angin dan hujan atau perlindungan dari udara malam yang dingin.

(16)

Perbedaan Tumbuhan Pencekik (strangler) dengan Liana

Tumbuhan pencekik (strangler) adalah spesies tumbuhan yang pada awalnya hidup sebagai epifit pada suatu pohon, setelah akar-akarnya mencapai tanah dan dapat hidup sendiri lalu mencekik, bahkan dapat membunuh pohon tempat bertumpu Kormondy (1991) dalam Indriyanto (2006). Tumbuhan yang terkenal sebagai tumbuhan pencekik dari spesies tumbuhan anggota genus Ficus misalnya Ficus rigida, Ficus altissima. Spesies anggota Ficus yang sedang dalam pertumbuhannya dan masih berstatus sebagai epifit mengeluarkan akar-akar gantung yang tampak sangat menarik, bagaikan hiasan pada pohon inangnya. Akan tetapi, lama-kelamaan akar gantung itu semakin menjulur ke bawah, dan bila telah menancap di tanah, maka akar-akar itu mulai mengisap zat hara dan bahan organic dari dalam tanah. Kemudian akar-akar tersebut akan berkembang menjadi batang dan bersatu mencekik pohon induk. Pohon induk akan terjepit ditengah. Pada fase ini Ficus menjadi pencekik atau strangler.

Liana merupakan spesies tumbuhan merambat. Tumbuhan itu memiliki batang yang tidak beraturan dan lemah, sehingga tidak mampu ,mendukung tajuknya. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1982) dalam Indriyanto (2006), adanya liana di hutan merupakan salah satu cirri khas hutan hujan tropis, terutama spesies liana berkayu. Liana berkayu di hutan-hutan merupakan bagian vegetasi yang membentuk lapisan tajuk hutan dan mampu mendesak tajuk-tajuk pohon tempat bertumpu. Tajuk tumbuhan liana juga mengisi lubang-lubang tajuk hutan di antara beberapa pohon dalam tegakan hutan agar mendapatkan sinar matahari sebanyak-banyaknya, sehingga liana akan memperapat dan mempertebal lapisan tajuk pada stratum atas. Contoh spesies tumbuhan liana antara lain Plumbago

(17)

capensis, Bougenvillea spp.,dan berbagai spesies rotan, misalnya Calamus caesius, Calamus manan, Calamus scipionum, Calamus javensis, Daemonorops draco, dan Daaemonorops melanochaetes.

Daya Dukung Habitat

Habitat yang terbaik adalah habitat yang mampu mendukung beberapa orangutan sepanjang tahun, sedangkan habitat yang tidak baik adalah habitat yang hanya mampu mendukung satu ekor orangutan dalam beberapa minggu. Fakta tersebut mempunyai peranan penting dalam merancang suatu kawasan konservasi. Reintroduksi orangutan merupakan metode pelepasliaran orangutan ke wilayah hutan yang dulunya pernah didiami oleh orangutan. Metode reintroduksi ini dilakukan untuk melestarikan orangutan yaitu dengan melepasliarkan orangutan ke wilayah hutan yang tidak ada orangutan liarnya serta secara ekologi mampu mendukung kehidupan orangutan tersebut (tersedia cukup pohon pakan) (Susilo, 1995).

Daya dukung habitat adalah kemampuan suatu wilayah untuk dapat menampung sejumlah satwa liar. Pada kondisi wilayah yang memiliki jumlah satwa yang masih sedikit persaingan di antara individu sangat kecil. Faktor lain yang menentukan daya dukung habitat adalah faktor kesejahteraan yang ditinjau dari aspek kebutuhan dasar, aspek kualitas dan kuantitas habitatnya. Penurunan daya dukung habitat dapat menyebabkan pergerakan dari satwa liar, salah satu pergerakan tersebut adalah migrasi. Migrasi merupakan pola adaptasi perilaku yang dilakukan oleh beberapa jenis satwa liar yang tergantung pada keadaan dan kondisi penyebabnya. Migrasi pada umumnya dilakukan untuk memperoleh

(18)

makanan dan perkembangbiakan sehingga terkadang satwa liar memasuki lahan masyarakat atau diluar kawasan yang menjadi habitatnya (Alikodra, 2002).

Orangutan telah dijadikan simbol pelestarian hutan Indonesia dan merupakan key species dalam melindungi keanekaragaman hayati. Populasi orangutan secara umum banyak tersebar pada kawasan yang masih utuh terutama yang statusnya sebagai kawasan konservasi. Penurunan kualitas dan kuantitas habitat diduga menyebabkan perubahan perilaku pada Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Orangutan Sumatera harus mampu beradaptasi pada habitat yang sempit dan kurang mencukupi kebutuhannya. Dalam proses adaptasi tersebut diperkirakan orangutan akan memilih tipe-tipe habitat ideal yang lebih menguntungkannya termasuk kawasan pertanian dan perkebunan milik warga (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007).

Berdasarkan pentingnya peranan orangutan dalam ekosistem termasuk terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, maka orangutan disebut sebagai salah satu spesies payung (umbrella species) yaitu spesies yang kelestariannya berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem dimana spesies tersebut ditemukan (Santosa dan Rahman, 2012).

Secara geografis kawasan Bukit Lawang terletak pada 3º30’ LU - 3º45’ LU dan 98º BT - 98º15’ BT. Batas sebelah utara dan timur berbatasan dengan sungai Bohorok sedangkan sisi lainya berbatasan dengan kawasan TNGL. Secara umum topografi kawasan hutan Bukit Lawang adalah datar, bergelombang dan berbukit. Kawasan ini ada pada ketinggian 100 - 700 mdpl dengan kemiringan mencapai 400 (Departemen Kehutanan, 1990).

(19)

Kelimpahan Jenis

Menurut Soegianto (1994) dalam Indriyanto (2006) pengambilan contoh untuk analisis komunitas tumbuhan dilakukan dengan menggunakan metode kombinasi. Metode kombinasi yang dimaksudkan adalah kombiasi antara metode jalur dan garis berpetak. Di dalam metode tersebut, risalah pohon dilakukan dengan metode jalur, yaitu pada jalur-jalur yang lebarnya 20 m, sedangkan untuk fase permudaan (fase poles, sapling, dan seedling), serta tumbuhan bawah digunakan metode garis berpetak

Menurut Ludwig dan Reynold (1988) dalam Utomo (2012), keanekaragaman jenis suatu kawasan hutan dapat digambarkan dengan indeks Shannon-Wiener:

H'= -�(pi)ln pi

Semakin besar H’ suatu komunitas maka semakin beranekaragam jenis dalam komunitas tersebut. Nilai H’=0 dapat terjadi bila hanya satu spesies dalam satu contoh (sampel) dan H’ maksimal bila semua jenis mempunyai jumlah individu yang sama dan ini menunjukkan kelimpahan terdistribusi secara sempurna.

Menurut Kershaw (1973) dalam Marsono dan Thoyib (1984), struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu:

1. Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertical yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi.

2. Sebaran, horizontal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain.

(20)

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) dalam Utomo (2012) kelimpahan jenis ditentukan, berdasarkan besarnya frekuensi, kerapatan dan dominasi setiap jenis. Penguasaaan suatu jenis terhadap jenis-jenis lain ditentukan berdasarkan Indeks Nilai Penting, volume, biomassa, persentase penutupan tajuk, luas bidang dasar atau banyaknya individu dan kerapatan. Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyrakat tumbuh-tumbuhan. Unsur struktutr vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk menentukan indeks nilai penting dari penyusun komunitas hutan tersebut. Analisis vegetasi menjadi sarana untuk memperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.

Kelimpahan adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relatif spesies organisme dalam komunitas. Kelimpahan pada umumnya berhubungan dengan densitas berdasarkan penaksiran kualitatif. Menurut penaksiran kualitatif dan kuantitatif, kelimpahan memiliki kriteria sebagai berikut: Kriteria tingkat kelimpahan berdasarkan hubungan kriteria kualitatif Indriyanto (2006) dengan teori kuantitatif Michael (1995) :

0 = tidak ada atau sangat jarang 1 – 10 = jarang atau kadang-kadang 11- 20 = sering atau tidak banyak

(21)

Untuk mengetahui kelimpahan jenis, maka dapat digunakan persamaan (Michael, 1995):

N = eH (Asrianny dkk, 2008).

Produktivitas

Kegiatan analisis dan evaluasi habitat meliputi 3 tahap kegiatan, yaitu inventarisasi dan sensus habitat, penilaian produktivitas, dan diagnosis keadaan habitat. Inventarisasi dan sensus bertujuan untuk mengetahui daftar spesies tumbuh-tumbuhan dan penyebarannya serta komponen-komponen habitat (makanan, air, daerah perlindungan) beserta penyebarannya. Sensus habitat bertujuan untuk mengetahui jumlah anggota setiap spesies tumbuh-tumbuhan dan fungsinya.

Penilaian produktivitas meliputi penilaian perkembangan kualitas, produktivitas, ketersediaan, daya tahan, dan tingkat ketergantungannya. Diagnosis keadaan habitat dilakukan terhadap faktor-faktor kesejahteraan untuk mengetahui penyebab-penyebab menurun atau meningkatnya produktivitas. Berdasarkan hasila ananlisis dan evaluasi ini dapat disusun program-program pengelolaan kawasan secara keseluruhan maupun secara khusus. Produktivitas Connel dan Orians (1994) dalam Skolastika (2009) memperkenalkan suatu modifikasi umum mengenai faktor produktivittas adalah gagasan mengenai peningkatan secara perlahan–lahan pembagian di daerah tropik. Gagasan ini menghubungkan hipotesis stabilitas dan produktivitas serta menyatakan bahwa stabilitas dari produksi primer merupakan penentuan utama keanekaragaman jenis disuatu komunitas.

(22)

Spatially Explicit Individual-Based Forest Simulator (SExl-FS)

Simulator hutan SExl-FS berfokus pada interaksi pohon-pohon di agrofestri dengan system tanaman. Model ini menggunakan pendekatan orientasi objek di mana setiap pohon diwakili dengan sebuah contoh dari kelas generik pohon. Gambaran dari objek pohon-pohon yang terdapat dalam model ini meniru pohon nyata dan berinteraksi satu dengan yang lain. Modifikasi model ini dimediasi melalui dua sumber utama yaitu ruang dan cahaya yang menghasilkan sebuah representasi 3D dari plot-plot pada tegakan yang terdapat di kawasan hutan.

Software SExl-FS ini bermanfaat untuk penelitian-penelitian yang menggunakan data tegakan hutan atau vegetsilainnya. Output yang bisa digambarkan melalui hasil pengolahan dengan menggunakan program ini berupa bentuk 3 dimensi tegakan pada semua bagian tegakan atas, bawah, kiri dan kanan. Tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan sebuah representase dinamis dari suatu system kompleks yang mengacu pada kumpulan dari interaksi local individu pohon yang memiliki karakteristik yang berbeda (Hardja dan Gregoire, 2008).

Gambar

Gambar 1.   Persentase perbandingan jenis tumbuhan buah pakan orangutan Sumatera  (Pongo abelii) antara pohon, liana dan perdu yang ditemukan pada jalur  contoh secara sistematik (Sumber: Iskandar, 2013)

Referensi

Dokumen terkait

kami sampaikan Peringkat Teknis Peserta Penawaran E-Lelang Terbatas. Pekerjaan Pekerjaan Penataan Lingkungan (Beautifikasi) Gerbang Tol

[r]

Hasil keragaan aktivitas fagositik (PA) dan indeks fagositik (lP) dari benih ikan kerapu lumpur dengan perlakuan imunostimulan bakterin, terlihat bahwa besamya nilai

Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva (lapisan luar mata dan lapisan dalam kelopak mata) yang disebabkan oleh mikro-organisme (virus,

Dengan mengetahui data yang dibutuhkan tersebut, maka penulis bisa melakukan perhitungan untuk menentukan nilai kapasitor yang akan digunakan untuk perbaikan nilai

fiegitu pula oaya tidak dapat terlepaa dari kowaj ib- an dan peifayaratan yang telah ditentukan dalan kurikulum itu dan untuk itu saya memilihjudul « llASALAH OAITTI RUGI BAGI

Bedasarkan hasil dan pembahasan dari kripsi yang berjudul “Perbedaan Aerobic Exercise Dengan Contract Relax Stretching Dan Ice Massage Terhadap Penurunan Nyeri

Dari permasalahan yang sedang terjadi di antara kedua desa yang tersebut diatas yaitu desa Rowotengah dan desa Kemantren, dalam skripsi ini akan dibahas