• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Difteri

Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva dan atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh

cytotoxin specific yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran

asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, pada diphtheria faucial atau pada diphtheria faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan edema di leher dengan pembentukan membran pada trakea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas (Chin, 2000).

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae, berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Ada 3 type variant dari Corynebacterium diphtheriae yaitu type gravis, intermedius dan mitis (Depkes RI, 2004a). Corynebacterium diphtheriae dapat diklasifikasikan dengan cara Bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1 sampai 3 termasuk type mitis, tipe 4-6 termasuk type intermedius, tipe 7 termasuk type gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk type gravis yang virulen (Widoyono, 2005). Sedangkan Menurut Fredlund et al., (2011) difteri disebabkan oleh beberapa jenis spesies yaitu Corinebacterium diphtheriae, Corinebacterium

(2)

ulcerans, dan Corinebacterium pseudotuberculosis. Spesies yang paling terkenal

dan paling umum penyebab agen penyakit difteri adalah Corinebacterium

diphtheriae. Menurut Wagner et al., (2009) Corinebacterium ulcerans secara

historis terkait dengan sapi atau produk susu mentah, sedangkan Corinebacterium

pseudotuberculosis jarang menginfeksi manusia dan biasanya terkait dengan

hewan ternak.

2.2 Epidemiologi Difteri

Munculnya wabah difteri di Uni Soviet telah menjadi perhatian dalam epidemiologi penyakit. Selama tahun 1980-1994 wabah difteri telah menyebar ke 15 negara federasi Uni Soviet. Sedangkan di Eropa pada tahun 1992 terjadi wabah difteri yang mempunyai hubungan dengan kejadian wabah di Uni Soviet, antara lain di Belgia, Inggris, Firlandia, Jerman, Yunani dan Polandia. Di Polandia pada tahun 1992-1995 dilaporkan 19 dari 25 orang yang didiagnosa difteri sebelumnya telah mengunjungi negara lain diantaranya Rusia, Ukraina dan Belarus (Galazka, 2000).

Sedangkan di negara berkembang menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2013, difteri masih endemik. South-East Asia Region (SEARO) selalu menempati urutan pertama kasus difteri terbanyak di dunia. India merupakan negara tertinggi di SEARO dengan kasus difteri sebanyak 2.525 kasus (tahun 2012). Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2011 yaitu sebanyak 4.233 kasus. Sedangkan Indonesia merupakan negara tertinggi kedua setelah India dan selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Jumlah kasus difteri di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 189 kasus, tahun 2010 sebanyak 432, tahun 2011 sebanyak 806 kasus, dan pada tahun 2012 sebanyak 1.194 dengan

(3)

difteri, kasus tertinggi terjadi di Propinsi Jawa Timur sebanyak 955 kasus (79,5%), diikuti oleh Propinsi Kalimantan Selatan dan Propinsi Sulawesi Selatan masing-masing sebanyak 61 kasus (5,6%) dan 49 kasus (4,5%) (Kementrian Kesehatan, 2013).

Dinas Kesehatan Jawa Timur (2013) menyebutkan difteri merupakan kasus re emerging disease karena kasus difteri tersebut sebenarnya sudah menurun pada tahun 1985, namun kembali meningkat pada tahun 2005 saat terjadi KLB di Kabupaten Bangkalan. Sejak itu penyebaran difteri semakin meluas dan mencapai puncaknya pada tahun 2012 sebanyak 955 kasus dengan 37 kematian. Kabupaten Bangkalan merupakan penyumbang kasus tertinggi kedua di Propinsi Jawa Timur Tahun 2013, seperti tercatat dalam laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan bahwa tahun 2013 mencapai 76 kasus.

2.3 Patogenesis Difteri

Kuman Corinebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembangbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A, mengakibatkan inaktivasi enzim translokasi sehingga proses translokasi tersebut tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersamaan dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang pada awalnya mudah dilepas. Semakin banyak produksi toksin maka

(4)

semakin lebar daerah infeksi sehingga terbentuk eksudat fibrin, kemudian membentuk suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman tergantung dari jumlah darah yang terkandung (IDAI, 2008).

Menurut Zulhijjah (2012), toksin yang dihasilkan menyerang saraf tertentu seperti saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram (EKG). Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu.

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga mengalami kesulitan bernapas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagosis dapat ditegakkan (Ditjen P2PL Depkes, 2003). Diagnosis dikonfirmasi dari basil hasil swab hidung dan tenggorok (Kementerian Kesehatan, 2013).

(5)

2.4 Masa Inkubasi dan Masa penularan

Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari, terkadang lebih lama. Masa penularan beragam, tetap menular sampai tidak ditemukan lagi bakteri dari discharge dan lesi, biasanya berlangsung kurang lebih 2 minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari 4 minggu. Carrier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan. Terapi yang paling efektif mengurangi penularan adalah terapi antibiotik. Antibiotik biasanya membuat pasien menjadi non-infeksius dalam waktu 24 jam. (Chin, 2000).

2.5 Kerentanan dan Kekebalan

Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki imunitas biasanya memiliki imunitas juga. Perlindungan yang diberikan oleh ibu kepada bayinya bersifat pasif dan biasanya hilang sebelum bulan keenam. Imunitas dapat timbul setelah sembuh dari penyakit atau dari infeksi yang subklinis namun tidak memberikan kekebalan seumur hidup. Imunisasi dengan toksoid memberikan kekebalan cukup lama namun bukan kekebalan seumur hidup. Sero survei di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 40% remaja memiliki kadar antitoksin protektif yang rendah. Demikian juga tingkat imunitas di Kanada, Australia dan beberapa negara di Eropa lainnya juga mengalami penurunan. Walaupun demikian remaja yang lebih dewasa ini masih memiliki memori imunologis yang dapat melindungi mereka dari serangan penyakit. Di Amerika Serikat kebanyakan anak-anak telah diimunisasi pada kuartal ke-2 sejak tahun 1997 dan sebanyak 95% dari 174 anak-anak berusia 2 tahun menerima 3 dosis vaksin difteri. Antitoksin yang terbentuk

(6)

melindungi orang terhadap penyakit sistemik namun melindungi dari kolonisasi pada nosofaring (Chin, 2000).

2.6 Klasifikasi Difteri

Secara klinis difteri diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi sebagai berikut (IDAI, 2008) :

2.6.1 Difteri hidung

Difteri hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorbsi sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga lama untuk terdiagnosis. 2.6.2 Difteri faring

Gejala difteri faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan nyeri telan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat berwarna putih/kelabu dapat menutupi tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah laring trakea. Usaha melepaskan membran akan mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, maka akan timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernapasan atau

(7)

sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

2.6.3 Difteri laring

Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada difteri faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas kepercabangan trakeobronkial. Apabila difteri laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.

2.6.4 Difteri kulit, vulvovagina, konjungtiva dan telinga

Difteri kulit, vulvovagina, konjungtiva dan telinga merupakan tipe difteri yang tidak lazim unusual. Difteri kulit berupa tukak dikulit, tapi jelas dan terdapat membran pada dasarnya, kelainan cenderung menahun. Difteri

(8)

pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

2.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Kejadian Difteri

Menurut Nugroho (2012) Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium. Adanya membran di tenggorokan tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Apabila diangkat terjadi pendarahan. Sedangkan untuk diagnosa banding menurut Haq (2011) adalah sebagai berikut:

2.7.1 Difteri hidung

Pada difteri nasal, penyakit yang menyerupai adalah rhinorrhea (common

cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital).

(9)

1. Tonsilitis folikularis atau lakunaris. Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus dianggap penderita difteri bila panas terlalu tinggi, anak menjadi lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah apabila diangkat. Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak tidak terlalu lemah, faring dan tonsil tampak hiperemis dengan membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja.

2. Angina Plaut Vincent. Penyakit ini juga membran yang rapuh, tebal,

berbau dan tidak mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirilia (gram negatif).

3. Infeksi tenggorokan oleh mononukleusus infeksiosa. Terdapat kelainan ulkus membranosa yang tidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi.

4. Blood dyscrasia (misalnya leukimia). Mungkin ditemukan ulkus membranposa pada faring dan tonsil.

2.7.3 Difteri laring

Harus dibedakan dengan laringitis akut, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan membran rapuh yang tidak berdarah), atau benda asing pada laring, yang semuanya akan memberikan gejala striddor inspirasi dan sesak.

(10)

2.7.4 Difteri kulit

Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus dan stafilokokus.

2.8 Pencegahan Kejadian Difteri

Pencegahan difteri dapat dilakukan dengan cara: 2.8.1 Penyuluhan

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya difteri dan perlunya imunisasi difteri pada bayi dan anak-anak, Chin (2000).

2.8.2 Imunisasi massal

Tindakan yang paling efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara massal dengan Diptheria Toxoid (DT) Chin (2000). Menurut kementerian Kesehatan (2013) sasaran imunisasi untuk daerah Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah anak usia 2 bulan sampai 15 tahun atau sampai usia tertinggi kasus terjadi, dengan pengelompokan sebagai berikut:

1. Umur 2 bulan sampai dengan 3 tahun diberikan vaksin DPT-HB-Hib. 2. Umur >3 tahun sampai dengan 7 tahun diberikan vaksin DT.

3. Umur >7 tahun diberikan vaksin Td.

4. Kasus mungkin atau kasus konfirmasi laboratorium dari kasus difteri. 5. Memberikan imunisasi DPT/DT/Td (disesuaikan dengan umur penderita)

selama masa pemulihan.

(11)

7. Memutuskan rantai penyebaran dengan memberikan imunisasi difteri sesuai dosis kepada orang dekat (kontak) penderita kecuali mereka yang diketahui sudah diimunisasi lengkap dalam lima tahun terakhir.

8. Tindakan pencegahan untuk wisatawan adalah semua wisatawan datang dan keluar dari daerah harus up to date dengan vaksin difteri toksoid sebelum keberangkatan. Setelah itu, dosis booster Td secara rutin harus diberikan kepada semua orang dewasa setiap 10 tahun untuk mempertahankan perlindungan terhadap difteri serta tetanus. Penguat ini sangat penting bagi wisatawan yang akan tinggal atau bekerja dengan penduduk lokal di daerah endemis, seperti Pulau Madura di Jawa Timur. 2.8.3 Pemberian imunisasi sesuai jadwal

Imunisasi ad]alah suatu program dengan sengaja memasukkan antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu (Proverawati & Andhini, 2010). Program imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat yang terbukti paling cost effective dan telah diselenggrakan di Indonesia sejak tahun 1956. Mulai tahun 1977 kegiatan imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yaitu Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio, Tetanus, Hepatitis B serta Penumonia (Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan, 2013).

Imunisasi diklasifikasikan dalam imunisasi wajib dan pilihan. Imunisasi wajib diberikan kepada sasaran bayi, batita, anak sekolah dasar

(12)

sederajat dan wanita usia subur, terdiri dari imunisasi rutin (bertujuan untuk melengkapi imunisasi rutin pada bayi seperti DPT1, DPT2, DPT3) dan imunisasi tambahan. Yang termasuk imunisasi tambahan adalah

Backlog Fighting, Cash Program, PIN (Pekan Imunisasi Nasional), Sub

PIN, Catch Up Campaign Campak. Sedangkan Imunisasi pilihan adalah imunisasi lain yang tidak termasuk dalam imunisasi wajib, namun penting diberikan pada bayi, anak dan dewasa di Indonesia mengingat beban peyakit dari masing-masing penyakit (seperti: Measles Mumps Rubella

(MMR), Haemophillus influenzae type B (HiB), Demam Tifoid, Varisela,

Hepatitis A, Influenza, Pneumokokus dan Rotavirus) (Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan, 2013).

Pemberian suntikan imunisasi pada bayi tepat pada waktunya merupakan faktor yang sangat penting untuk kesehatan bayi. Imunisasi diberikan mulai dari lahir sampai awal masa kanak-kanak. Imunisasi dapat diberikan ketika ada kegiatan posyandu, pemeriksaan kesehatan pada petugas kesehatan atau pekan imunisasi (Proverawati & Andhini, 2010). Berikut jadwal pemberian imunisasi (Tabel 2.1)

Tabel 2.1. Jadwal Pemberian Imunisasi pada Bayi, Anak Sekolah Dasar 1,2 dan 3 No. Jenis Imunisasi Usia Pemberian Pemberian Jumlah Minimal Interval

1. Bayi

Hepatitis B 0-7 hari 1

BCG 1 bulan 1

Polio atau IPV 1,2,3,4 bulan 4 4 minggu

DPT-HB-Hib 2,3,4 bulan 3 4 minggu

(13)

Pemberian

DPT-HB-Hib 18 Bulan 1

Campak 24 Bulan 1

3. Anak Kelas 1 SD Waktu Pelaksanaan Keterangan Campak Bulan Agustus Bulan Imunisasi Anak

Sekolah (BIAS)

DT Bulan November

Td Bulan November BIAS

Sumber : Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI

Salah satu kebijakan program imunisasi yang dilakukan oleh pemerintah yaitu mengupayakan kualitas pelayanan bermutu. Kualitas vaksin dan logistik imunisasi sangat mempengaruhi keberhasilan imunitas yang ditimbulkan oleh vaksin tersebut (Depkes RI, 2005a). Penelitian yang dilakukan oleh Kunarti, (2004) di Kota Semarang terkait dengan titer antibodi dipengaruhi oleh kualitas pelayanan bermutu yakni cara pemberian vaksin DPT atau safety injection dan interval waktu pemberian imunisasi DPT mempengaruhi titer antibodi seseorang. Menurut Kristini T.D (2006) yang melakukan penelitian di Kota Semarang menyebutkan bahwa pengelolaan kualitas vaksin di pengaruhi oleh tingkat pengetahuan petugas, fungsi lemari es, cara pembawaan vaksin, ketersediaan pedoman program imunisasi.

2.9 Penanganan Kejadian Difteri 2.9.1 Penanganan penderita

1. Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteri faringeal, isolasi untuk difteri kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (sampel dari lesi

(14)

kulit pada difteri kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil). Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (Chin, 2000). Penderita diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan usap tenggorok negatif 2 kali berturut-turut (Soedarmo et al., 2002). Penderita tetap bersifat menular hingga basil-basil difteri tidak berhasil dibiakkan dari tempat infeksi, jika hasil negatif penderita sudah bisa di bebaskan dari isolasi (Nelson, 1992).

2. Pengobatan Antitoksin :

Antitoksin diberikan segera setelah dinyatakan diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin di hari pertama, angka kematian penderita kurang dari 1%. Jika penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian bisa meningkat sampai 30% (Soedarmo e t al., 2002). Dosis Anti Diphteria

Serum (ADS) ditentukan secara empiris berdasarkan lokasi membran dan

lama sakit, yang dapat dilihat pada tabel 2.2

Tabel 2.2 Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama sakit Tipe Difteri Dosis ADS (Unit) Cara Pemberian

Difteri Hidung 20.000 Intramuskular

(15)

Difteri Laring 40.000 Intramuskular dan Intravena Kombinasi lokasi di atas 80.000 Intravena

Difteri + komplikasi, bullneck 80.000-100.000 Intravena Terlambat berobat (>72 jam)

lokasi dimana saja 80.000-100.000 Intravena Sumber: Kementerian Kesehatan (2013).

Antibiotik :

Terapi antibiotik bukan sebagai substitusi terhadap terapi anti toksin. Pemberian intramuskuler penisilin prokain 50.000-100.000 unit/kg/hari selama 10 hari (Kementerian Kesehatan, 2013).

Corynebacterium diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in vitro, termasuk penisilin, eritromicin, klindamisin, rifampin dan tetrasiklin.

Penisilin dan eritromisin merupakan obat yang dianjurkan, eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan pengidap nasofaring. Terapi yang tepat adalah eritomisin yang diberikan secara oral atau parental (40-50 mg/kg/24 jam; maksimum 2 gr/24 jam). Terapi diberikan selama 14 hari. Beberapa penderita dengan difteri kulit diobati selama 7-10 hari. Lenyapnya organisme harus didokumentasi sekurang-kurangnya 2 biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok (atau kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi. Pengobatan eritromisin diulangi jika hasil biakan positif (Nelson, 2000).

(16)

Adapun penanganan kontak berdasarkan petunjuk teknis pelaksanaan imunisasi dan surveilans dalam rangka penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri (Kementerian Kesehatan, 2013) adalah sebagai berikut:

1. Yang termasuk kontak erat adalah tinggal serumah, teman bermain di lingkungan tempat tinggal, teman sekolah dalam 1 kelas, teman ngaji dalam 1 kelas, tenaga kesehatan yang merawat kasus atau mengambil spesimen, orang lain yang ada riwayat kontak dengan kasus dalam jarak <1 meter terhitung 5 hari sejak muncul gejala klinis pada kasus.

2. Setelah ditemukan adanya kasus, maka pencarian kontak erat harus segera dilakukan dengan cara mendatangi keluarga kasus kemudian menggali informasi secara detail orang-orang yang memenuhi kriteria sebagai kontak erat.

3. Lakukan pengambilan spesimen usap hidung dan tenggorok pada 3-5 kontak erat dengan kasus secara random.

4. Berikan obat profilaksis berupa eritromisin (etyl suksinat) dengan dosis 50 mg/kg BB/hari yang dibagi dalam 4 kali pemberian (dosis maksimal 2000mg/hari) atau 500 mg diberikan 4 kali sehari selama 7 hari. Antibiotik yang diberikan dapat membuat kontak erat menjadi non infeksius dalam waktu 24 jam.

(17)

5. Kontak yang hasil awal laboratoriumnya negatif

Corynebacterium diphtheriae (carrier) sebelum 7 hari, maka

obat propilaksis tetap dilanjutkan sampai selesai.

6. Kontak yang hasil laboratoriumnya positif Corynebacterium

diphtheriae (carrier) sebelum 7 hari, maka obat propilaksis

tetap dilanjutkan sampai selesai, lalu dilakukan pemeriksaan spesimen ulang setelah pemberian propilaksis 7 hari.

7. Bila kontak yang positif (carrier) hasil pemeriksaan laboratorium ulang (setelah 7 hari propilaksis) tetap positif, maka terapi ulang dilanjutkan selama 7 hari.

2.10 Faktor Risiko Kejadian Difteri 2.10.1 Umur

Menurut Chin (2000) Penyakit difteri lebih sering menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja yang tidak diimunisasi. Di Amerika Serikat dari tahun 1980 sampai dengan 1998 kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 kasus setiap tahunnya, dua pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau lebih. Faktor risiko yang mendasari terjadinya infeksi difteri di kalangan orang dewasa adalah menurunnya imunitas yang didapat karena imunisasi pada waktu bayi, tidak lengkapnya jadwal imunisasi oleh karena kontraindikasi yang tidak jelas, adanya

(18)

gerakan yang menentang imunisasi serta menurunnya tingkat sosial ekonomi.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kunarti (2004) tentang titer imunoglobulin G (IgG) difteri pada anak sekolah, menjelaskan bahwa semakin bertambahnya umur anak maka titer IgG akan semakin menurun, dan akan meningkat kembali setelah mendapatkan imunisasi ulangan. Rata-rata titer IgG pada usia balita (4-5 tahun) adalah 0,36 IU/ml, dengan adanya stimulans pada usia 6-7 tahun titer meningkat kembali mencapai 0,7 IU/ml dan akan menurun kembali tanpa adanya stimulan ulang.

2.10.2 Status imunisasi

Menurut Quick et al., (1996) status imunisasi merupakan faktor risiko dominan terjadinya difteri. Pemberian 3 dosis toksoid difteri pada anak-anak akan menghasilkan titer antibodi rata-rata lebih dari 0,01

International Unit ml (nilai batas protektif 0,01 IU). Sedangkan

pemberian imunisasi pada dosis pertama di nilai belum memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteri. Lama masa kekebalan sesudah mendapatkan imunisasi toksoid difteri merupakan masalah yang penting untuk diperhatikan. Beberapa penelitian serologik membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu tertentu, sehingga diperlukan imunisasi booster pada usia tertentu per 10 tahun.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kunarti (2004), dari 61 subyek yang mendapatkan DPT 3 kali rerata titer 0,487 IU/ml, 75 subyek yang telah diimunisasi DPT 3 kali + DT 1 kali rerata titer 0,697

(19)

IU/ml, 55 subyek telah diimunisasi DT 1 kali rerata titer 0,825 IU/ml, dan 30 subyek tidak mendapatkan DPT 3 kali dan DT rerata titer 0,230 IU/ml. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun titer yang terbentuk semuanya menunjukkan titer yang protektif namun dengan riwayat yang telah mendapatkan jenis imunisasi DT menunjukkan titer IgG yang terbentuk paling tinggi.

2.10.3 Status gizi

Kekurangan gizi atau gizi buruk mengakibatkan seseorang rentan terhadap penyakit infeksi. Kerentanan tersebut diakibatkan oleh zat antitoksin yang tidak terbentuk secara cukup di dalam tubuh (Notoatmodjo, 1997). Penilaian status gizi di masyarakat dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa, 2002).

Survei konsumsi makanan dengan metode Food Frequency

Questionnaire (FFQ) banyak digunakan secara luas terutama penelitian

epidemiologi, untuk melihat pola makan individu yang menjadi subjek penelitian. Pertanyaan didesain untuk mengukur asupan secara umum dan asupan jangka panjang. FFQ terdiri dari dua bagian yaitu daftar makanan dan respon yang mengindikasikan seberapa sering makanan dikonsumsi

(20)

(dengan katagori sering, kadang-kadang dan tidak pernah) selama periode waktu tertentu (hari, minggu, bulan atau tahun) (Yunus, 2011).

Tujuan dari metode frekuensi makanan ini adalah untuk memperoleh gambaran pola konsumsi makanan atau bahan makanan secara kualitatif. Selain itu, dapat menegakkan hipotesis bahwa jumlah konsumsi zat gizi pada masa lalu apabila dikaitkan dengan risiko penyakit jauh lebih penting dari apa yang dimakan saat sekarang. Namun dengan penggunaan metode ini, presisi pengukuran (penimbangan makanan) diabaikan. Hal ini untuk menggali informasi kebiasaan makan makanan tertentu pada waktu yang lebih lama (Gibson, 1990).

2.10.4 Perilaku

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia baik yang dapat diamati langsung maupun tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran yang positif maka akan bersifat langgeng (ling lasting) namun sebaliknya jika perilaku tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka perilaku tersebut bersifat sementara (Notoatmojo, 2003). Menurut Depkes (2003) perilaku atau kebiasaan hidup sehari-hari yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya penyakit difteri antara lain tidak menutup mulut bila batuk atau bersin sehingga mempermudah penularan penyakit, membuang ludah tidak pada tempatnya dan memakai alat makan bergantian.

(21)

Status sosial ekonomi merupakan gabungan dari ukuran ekonomi dan sosiologis atau posisi keluarga berdasarkan pendapatan, pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan menjadi mata rantai yang sulit terputus karena kemampuan mereka dalam mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan yang kurang memadai dan perilaku yang kurang sehat sehingga memudahkan dalam penularan dan penyebaran penyakit di masyarakat (Depkes, 2009).

2.10.6 Lingkungan fisik

1. Kepadatan lingkungan dan kepadatan hunian

Kepadatan penduduk yang tidak seimbang dengan luas wilayah memunculkan slum area dengan segala problem kesehatan masyarakatnya. Sementara di tingkat rumah tangga, kepadatan hunian rumah berpotensi melebihi syarat yang ditentukan. Luas lantai bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuni di dalam bangunan tersebut akan menyebabkan kepadatan yang berlebih. Hal ini tidak sesuai dengan standar kesehatan, karena menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen dalam ruangan, disamping itu apabila ada anggota keluarga yang terinfeksi penyakit akan lebih mudah menularkan terhadap anggota keluarga lainnya (Notoatmodjo, 1997). Menurut Depkes RI (1999) menyebutkan tentang persyaratan perumahan sehat ditetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8 meter2 untuk 2 orang, dan tidak dianjurkan lebih dari 2 orang kecuali anak

(22)

langsung pada umumnya terjadi pada masyarakat yang hidup dalam rumah berpenghuni padat.

2. Kelembaban Udara

Penyakit difteri muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis (Chin, 2000).

2.10.7 Sumber penularan

Menurut Noor (2008) pada dasarnya tidak satu pun penyakit yang dapat timbul hanya disebabkan oleh salah satu faktor penyebab tunggal semata. Pada umumnya, kejadian penyakit disebabkan oleh berbagai unsur yang secara bersama-sama mendorong terjadinya penyakit. Unsur penyebab penyakit dibagi menjadi dua bagian utama yaitu penyebab kausal primer antara lain unsur biologis, nutria, kimiawi, fisika, psikis dan penyebab kausal sekunder.

Sumber penularan difteri adalah manusia, baik sebagai penderita maupun carrier (Chin, 2000). carrier adalah orang yang terinfeksi dengan Corynebacterium diphteriae yang tidak memiliki gejala-gejala penyakit dan merupakan sumber penularan potensial (Kementerian Kesehatan, 2013).

2.10.8 Keeratan Kontak

Menurut Kementrian Kesehatan (2013) yang termasuk kontak erat penderita difteri adalah orang yang tinggal serumah, teman bermain di lingkungan tempat tinggal, teman sekolah dalam satu kelas, teman ngaji dalam satu kelas, tenaga kesehatan yang merawat kasus atau mengambil

(23)

<1 meter terhitung 5 hari sejak muncul gejala klinis pada kasus. Kontak erat merupakan faktor risiko kejadian difteri karena seseorang yang dapat menyebarkan difteri bisa melalui droplet infection.

Menurut Bres (1995), kontak dibedakan menjadi dua macam kontak yaitu kontak dekat dan kemungkinan kontak. Kontak dekat adalah seseorang yang pernah melakukan kontak berhadapan (face to face), yang telah memberikan perawatan tanpa upaya-upaya perlindungan, atau yang menyantap makanan yang sama maupun tinggal di kamar yang sama selama masa penularan, atau menangani barang-barang pasien (jika dimungkinkan penularan tidak langsung). Sedangkan kemungkinan kontak adalah seseorang yang kemungkinan terpapar karena berada pada jarak tertentu dari seorang kasus yang sangat menular pada masa penularan misalnya angkutan umum, bersebelahan tempat tidur di rumah sakit atau di tempat kerja yang sama.

2.10.9 Mobilitas

Mobilitas penduduk adalah perpindahan penduduk dari tempat satu ke tempat lain yang melewati batas administratif tertentu. Mobilitas dibagi menjadi dua yaitu mobilitas non permanen (sirkulasi dan komutasi) dan mobiltas permanen. Tujuan dari kepindahan penduduk dipengaruhi oleh kebutuhan pendidikan yang lebih tinggi atau kebutuhan pekerjaan.

Kasus difteri dilaporkan di London yaitu seorang wanita yang sebelumnya bepergian dari India terserang difteri faring dan difteri kulit (Hart, 1996). Di New Zealand kejadian difteri pertama kali selama kurun waktu 19 tahun terjadi pada anak yang berusia 32 Bulan. Hal ini kemungkinan tertular dari ayahnya yang memiliki lesi di kulit dan sebelumnya telah bepergian dari Bali (Gidding, 2000). Di Polandia pada

(24)

tahun 1992-1995 dilaporkan 19 dari 25 orang yang didiagnosa difteri telah mengunjungi negara lain diantaranya Rusia, Ukraina dan Belarus (Galazka, 2000). Terjadinya epidemi pada suatu daerah yang sudah lama bebas dari penyakit difteri, dapat ditimbulkan karena adanya penyakit difteri atau kariernya yang datang dari luar, atau terjadi mutasi dari jenis non virulen menjadi virulen (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006).

2.11 Dinamika Penularan

Dinamika penularan penyakit merupakan suatu proses transmisi (perpindahan) penyakit dari sumber (resource) penular atau sering disebut dengan reservoar ke reservoar lainnya. Manusia sebagai reservoar adalah penyakit yang berasal dari manusia yang sedang mengalami infeksi dan dapat berupa hanya sebagai pembawa (carrier). Penularan penyakit didukung dengan keberadaan agen (penyebab penyakit) dan lingkungan (Mahardhika, 2012).

Menurut Susanna (2005), dinamika penularan penyakit infeksi adalah menggunakan Kerangka Model SEIR (Susceptible, Exposed, Infection, Recovered) yang menggambarkan keadaan yang berbeda dalam perkembangan suatu penyakit dalam populasi: proporsi individu yang rentan terhadap infeksi (S), proporsi masyarakat yang terpapar agen infeksi tetapi belum menderita penyakit (E), proporsi yang benar-benar terinfeksi (I), dan mereka yang berpindah dari populasi (R) juga yang sembuh dari infeksi dan mereka yang imun atau mati. Kerangka model SEIR tersebut mencerminkan atau menggambarkan fakta atau bukti bahwa dinamika penyakit diakibatkan atau dipengaruhi oleh banyak faktor

(25)

yang unik dari populasi, termasuk jumlah penduduk dan kepadatan, demografi, tingkat imunitas. Infeksi pada manusia mungkin menyebabkan kematian, infeksi kronis atau sembuh karena adanya imunitas.

Secara umum dinamika penularan penyakit dapat didekati dengan mengidentifikasi cara penularan penyakit (mode of transmission), penyakit dapat ditularkan kepada manusia yang rentan melalui beberapa cara, baik terjadi secara langsung maupun tidak lansung dari orang ke orang lain dan penyebarannya di masyarakat. Ditinjau dari aspek epidemiologi dapat bersifat lokal, regional maupun internasional. Penularan langsung dari orang ke orang lain adalah agen penyakit ditularkan langsung dari seorang infektious ke orang lain melalui hubungan intim (kontak seks), penyakit yang bisa ditimbulkan antara lain GO, syphilis, HIV. Penularan penyakit tidak langsung yakni penyakit menular dari orang ke orang lain dengan perantaraan media. Menular melalui media udara, penyakit yang bisa ditimbulkan adalah seperti tuberculosis, rubella, difteri, influenza (Mahardhika, 2012).

Dinamika penularan dari orang ke orang lain melalui media udara seperti penyakit difteri, sangat penting untuk dipelajari saat ini karena masih mempunyai angka kesakitan (morbidity) yang tinggi, angka kematian (mortality) yang cukup tinggi serta mempunyai kehilangan ekonomi (economic-loss) yang sangat tinggi terutama di Propinsi Jawa Timur. Dinamika penularan juga terkait langsung dengan jenis agen dan pola endemisitas penyakit tersebut (Amiruddin et al, 2011). Endemisitas penyakit dapat dipengaruhi oleh daerah risiko yang tinggi. Yang dimaksud dengan daerah risiko tinggi adalah daerah yang berpotensi

(26)

terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti daerah dengan cakupan imunisasi dasar rendah (<80%), lokasi yang padat dan kumuh, daerah rawan gizi, daerah sulit dijangkau oleh pelayanan kesehatan dan daerah dimana budaya masyarakatnya menolak imunisasi (Kementrian Kesehatan, 2013).

Menurut Riskesdas (2007) kemudahan akses ke sarana pelayanan kesehatan berhubungan dengan beberapa faktor penentu, antara lain jarak ke tempat tinggal dan waktu tempuh ke sarana kesehatan, serta status sosial-ekonomi dan budaya. Jarak tempat tinggal ke sarana pelayanan kesehatan dibedakan dalam 3 kategori yaitu dekat, sedang dan jauh. Disebut dekat apabila antara tempat tinggal ke sarana pelayanan kesehatan berjarak < 1 km, dinyatakan sedang apabila antara tempat tinggal ke sarana pelayanan kesehatan berjarak 1-5 km, sedangkan dikatakan jauh apabila antara tempat tinggal ke sarana pelayanan kesehatan berjarak > 5 km.

2.12 Pemetaan Kejadian Difteri

Dalam hal pengolahan dan penyajian data dalam peralatan dan pemetaan, sistem informasi geografis (SIG) sudah menjadi peralatan yang standard untuk pemetaan (Putra, 2010). Menurut Sugandi (2009) sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran situasi ruang muka bumi atau informasi tentang ruang muka bumi yang diperlukan untuk dapat menjawab atau menyelesaikan suatu masalah yang terdapat dalam ruang muka bumi yang bersangkutan. Rangkaian tersebut meliputi pengumpulan, pemetaan, pengolahan, penganalisisan dan penyajian

(27)

data-data/fakta-fakta yang ada atau terdapat dalam ruang muka bumi tertentu. Data atau fakta yang ada atau terdapat dalam ruang muka bumi tersebut, sering juga disebut sebagai data/fakta geografis atau data/fakta spasial.

Data geografis disajikan dalam bentuk sebuah peta yang dimodelkan dengan

point (titik), line (garis) dan area (luasan) sebagai berikut:

2.12.1 Titik adalah representasi grafis yang paling sederhana untuk suatu obyek, representasi ini tidak memiliki dimensi.

2.12.2 Garis adalah bentuk linier yang akan menghubungkan paling sedikit dua titik dan digunakan untuk mempresentasikan obyek-obyek satu dimensi, seperti jalan, sungai dan jaringan listrik.

2.12.3 Area adalah representasi dari obyek-obyek dua dimensi seperti batas propinsi, batas kota dan batas bidang tanah.

Komponen dari SIG meliputi software, hardware dan data. Software merupakan perangkat lunak dalam komputer untuk mengolah data yang berasal dari perangkat keras (hardware), yang biasanya digunakan untuk penelitian sistem lingkungan adalah Map Info, Epi Info dan Arcview (Raharja, 2009). Epi Info merupakan software yang banyak digunakan oleh profesional di bidang kesehatan terutama kesehatan masyarakat. Software ini banyak digunakan untuk melakukan investigasi wabah, sehingga bisa digunakan untuk investigasi kejadian difteri yang saat ini merupakan Kejadian Luar Biasa (KLB) di Propinsi Jawa Timur. Salah satu modul yang terdapat dari Epi Info adalah modul Epi Map, yang digunakan untuk membuat pemetaan (Syahrul et al, 2013).

Gambar

Tabel 2.1. Jadwal Pemberian Imunisasi pada Bayi, Anak Sekolah Dasar 1,2 dan 3  No.  Jenis Imunisasi  Usia Pemberian  Jumlah
Tabel 2.2 Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama sakit

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, terdapat juga responden yang tidak berminat untuk menggunakkan kemahiran visualisasi kerana berpendapat bahawa langkah penyelesaian tersebut untuk

Dette kan sees i sammenheng med at praksiserfaring har gitt Astrid kunnskap om de sosiale normene for bruk av språk i en rådgivningskontekst (Bell, 2014; Kristoffersen, 2005),

Motivasi dapat berpengaruh pada meningkatnya kinerja karyawan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Regina (2010), Wahyu (2014), Azin (2013), dan

Sebagai garda terdepan dalam ikut menjaga kepariwisataan Pangandaran melalui kualitas pelayanan dan informasi yang diberikan kepada wisatawan, seorang pramuwisata

Secara visual pada daun cabe jawa tanpa kultur jaringan terdapat perubahan warna dari bercak hijau menjadi berwarna coklat, pada kalus dan eksplan cabe jawa kultur

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengembangkan permainan ular tangga berisi soal UNAS dan SBMPTN sebagai media pembelajaran fisika siswa kelas XI MIA 2 MAN 1

Based on Relative Agronomic Effectiveness (RAE) of cassava root yield, it can be concluded that 45-36-120-1,000 N-P-K-Organonitrophos kg ha -1 was the best combination dose

Oleh karna itu diperlukan adanya alat untuk meningkatkan perpindahan panas pada fluida tetapi dengan tidak memakai daya listrik yang cukup besar salah satu cara untuk