• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Mutu Nasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. 1. Mutu Nasi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

BERAS

Beras didapat dari hasil proses pascapanen dari tanaman padi, yaitu setelah tangkai dan kulit malainya dilepaskan dan digiling. Di beberapa negara di dunia, beras merupakan komponen yang penting dalam makanan sehari-hari. Menurut FAO (2004), beras adalah makanan pokok yang utama untuk tujuh belas negara di Asia Pasifik (terutama Indonesia, Filipina, Bangladesh, Jepang, dan Cina), sembilan negara di Amerika Utara dan Selatan, dan delapan negara di Afrika.

Secara umum, penduduk Indonesia dan Filipina menyenangi rasa nasi dari beras dengan kandungan amilosa medium (20-25%), sedangkan penduduk Jepang menyenangi beras dengan amilosa rendah (13-20%). Walaupun nasi yang disenangi penduduk Jepang lebih lengket dan mengkilat, kedua jenis nasi tersebut memiliki kepulenan yang sama dan tidak cepat mengeras meskipun dibiarkan semalam (Winarno, 1992).

Beras merupakan bagian dari tanaman padi (Oryza sativa, L.). Biji padi atau gabah terdiri atas dua penyusun utama, yaitu 72-82% bagian yang dapat dimakan atau kariopsis (disebut beras pecah kulit atau brown rice) dan 18-28% kulit gabah atau sekam (Haryadi, 2008). Pada penyosohan beras pecah kulit akan diperoleh beras giling dan dedak yang berasal dari lapisan perikarp, aleuron, dan sebagian endosperm bagian luar. Lapisan aleuron adalah lapisan dalam dari lapisan nucellus yang membungkus endosperm dan lembaga. Pada saat beras pecah kulit disosoh, kulit ari dan lembaga terpisahkan yang berarti juga kehilangan protein, lemak, vitamin, dan mineral yang lebih banyak terdapat pada bagian luar tersebut (Haryadi, 2008).

Beras sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein, dan unsur lain seperti lemak, serat kasar, mineral, vitamin, dan air. Menurut Juliano (1984), bagian gabah yang dapat dimakan adalah kariopsis yang terdiri dari 75% karbohidrat dan 8% protein pada kadar air 14%. Bagian endosperm atau bagian gabah yang diperoleh setelah penggilingan yang kemudian disebut beras giling yang mengandung 78% karbohidrat dan 7% protein. Penyusun-penyusun tersebut tidak tersebar merata pada seluruh bagian beras.

Sifat-sifat fisikokimia sangat menentukan mutu tanak dan mutu rasa nasi yang dihasilkan. Lebih khusus lagi, mutu ditentukan oleh kandungan amilosa, kandungan protein, dan kandungan lemak. Pengaruh lemak terutama muncul setelah gabah atau beras disimpan. Kerusakan lemak mengakibatkan penurunan mutu beras (Haryadi, 2008). Protein berpengaruh terhadap lama waktu penanakan, warna, rasa dan aroma nasi, serta mempengaruhi kemampuan penyerapan air (Haryadi, 2008).

1.

Mutu Nasi

Food and Agricultural Policy Research Center (1997) menyimpulkan mutu sebagai faktor utama yang menentukan nilai pasar produk pertanian dan tanaman pangan pada setiap fase dari produksi sampai konsumsi. Mutu beras terdiri dari mutu utama dan tambahan. Mutu utama meliputi karakteristik morfologi dan fisik yang ditentukan seperti dalam pemeriksaan standar gabah, berat, ukuran, bentuk, persentasi

(2)

5 keutuhan biji, dan kandungan air. Sedangkan mutu tambahan, yaitu terpusat pada perhatian konsumen dan proses industri seperti mutu makan, persentase penggilingan, nilai nutrisi, dan daya simpan. Dari faktor-faktor tersebut, mutu makan merupakan faktor penilai mutu beras.

Terdapat empat mutu yang dinilai dalam beras berdasarkan permintaan konsumen (Food and Agriculture Policy Research Center, 1997), antara lain:

 Nilai nutrisi : karakteristik pokok yang dapat diekspresikan dalam bentuk kalori dan kandungan protein; lemak; vitamin

 Mutu dalam bentuk keamanan dan sanitasi : merupakan prasyarat pangan yang bebas dari komponen-komponen merugikan dan kontaminasi yang berbahaya  Mutu dalam bentuk palatabilitas : motivasi dalam memilih makanan tertentu, seperti

rasa dan penampakan  Mutu dalam bentuk ekonomi

Beras (Oryza sativa L.) tidak seperti gandum, jagung, atau oats yang digiling menjadi tepung yang umumnya dimasak dan dikonsumsi seluruhnya. Ketika memasak beras tanpa bumbu, sifat dari beras itu sendiri yang paling penting dan flavor memegang kunci dalam penerimaan konsumen. Komponen volatil merupakan hal yang menarik dari analisis komposisi flavor beras karena komponen volatilnya berjalan menuju hidung saat dimakan, dan merangsang reseptor olfactory di dalam rongga hidung. Oleh karena itu, flavor volatil (aroma) dan tekstur adalah kualitas sensori utama beras. (Zeng et al. 2008).

Mutu makan dari beras yang dimasak sangat dipengaruhi oleh proses memasak, terutama jumlah air yang ditambahkan. Mutu makan dievaluasi oleh palatabilitas (tingkat kelezatan suatu bahan pangan) dan tingkat kesukaan secara individu. Selanjutnya, evaluasi dipengaruhi oleh keadaan fisiologis individu dan daerah tempat individu tersebut tinggal dimana saat pengukuran mengalami kondisi yang tidak mudah dalam mengungkapkan evaluasi sensorinya (Food and Agriculture Policy Research Center, 1997). Beras yang dimasak memiliki rasa yang tipis, menimbulkan kesulitan dalam mengevaluasi ciri-ciri dasar seperti kemanisan, kepahitan, dan keasaman. Bahkan analisis komponen kimia secara detail yang mungkin berhubungan dengan flavor beras masak hampir tidak menimbulkan efektivitas dalam evaluasi mutu. Mutu makan nasi umumnya berhubungan dengan kekerasan, kelengketan, aroma beras yang dimasak, kadar amilosa, dan kadar air (Food and Agriculture Policy Research Center, 1997).

2.

Aroma dan Flavor Nasi

Flavor nasi merupakan faktor penting dalam menentukan mutu dan penerimaan konsumen, sebagai contoh kenyataan pada beras aromatik menunjukkan kesukaan konsumen yang tinggi dan permintaan dengan harga premium (Limpawattana & Shewfelt, 2010). Tak seperti sebagian besar hasil panen lainnya, nasi umumnya dikonsumsi tanpa bumbu, yang membuat karakteristik sensorinya menjadi penting. Sedikit variasi dalam karakteristik sensori pada nasi, terutama aroma, dapat membuat beras mempunyai permintaan yang tinggi atau sebaliknya tidak dapat diterima sama sekali oleh konsumen (Yau & Liu, 1999). Akibatnya, aroma atau flavor dinilai sebagai kriteria utama untuk preferensi konsumen (Limpawattana, 2010).

(3)

6 Champagne (2008) menginformasikan bahwa selama lebih dari tiga puluh tahun banyak penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi aroma atau flavor nasi dimana sebagian besar hasil penelitian menghubungkan variabel sebelum pemanenan (lingkungan, budaya) dan pascapanen (pengeringan, penggilingan, penyimpanan, dan metode pemasakan) dengan perubahan senyawa volatil. Selain itu, beberapa peneliti diantaranya juga meneliti mengenai preferensi atau sensori deskriptif dengan analisis volatil secara simultan dimana hasilnya menyatakan bahwa senyawa volatil yang teridentifikasi dan mempengaruhi flavor nasi sebelum dan sesudah adalah 2-acetyl -2-pyrroline (2-AP; aroma popcorn). Senyawa 2-AP telah diketahui sebagai satu-satunya senyawa yang berkontribusi dalam pembentukan karakteristik aroma nasi dan terdapat hubungan antara konsentrasinya dalam nasi dengan intensitas aroma.

Buttery et al. (1982) menemukan bahwa 2-acetyl-1-pyrroline (disebut juga ACPY) adalah senyawa volatil organik yang terdapat pada nasi dari beras aromatik dimana senyawa ini dapat menjadi indikator yang baik untuk mengidentifikasi aroma nasi dari beras nonaromatik. Aroma dan flavor nasi, baik aromatik maupun nonaromatik, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah genetik padi, perlakuan sebelum panen, waktu panen dan pengeringan, kadar air gabah, kondisi pengeringan, penyimpanan, dan kadar air beras pecah kulit, derajat penyosohan, waktu dan suhu penyimpanan beras sosoh, pencucian beras, perendaman beras dalam air, cara menanak, pengaruh rasio air dan beras, dan suhu saat nasi disajikan (Champagne, 2008). Penelitian tentang aroma nasi dengan analisis deskriptif juga dilakukan oleh Limpawattana & Shewfelt (2010) yang menghasilkan 24 atribut aroma. Deskripsi aroma-aroma tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

3.

Rasa Nasi

Palatabilitas nasi dipengaruhi oleh kondisi tanah, iklim, cara penanaman, pascapanen, hasil penggilingan, dan proses memasak (Tran et al. 2004). Hasil penggilingan tidak hanya mempengaruhi mutu nasi, tetapi juga profit produsen. Penggilingan juga dapat membawa perubahan komposisi secara biologi dan kimia, seperti aktivitas amilase, peptidase, gula, lemak, asam amino, vitamin, dan mineral (Tran et al. 2004). Gula seperti glukosa dan sukrosa, dan asam amino seperti asam glutamat dan asam aspartat adalah komponen utama yang mempengaruhi rasa manis dan umami pada rasa nasi.

Penelitian mengenai rasa nasi yang dianalisis oleh taste sensing system, evaluasi secara kimia dan sensori telah dilakukan untuk mengetahui rasa nasi dari beras dengan variabel derajat penyosohan yang berbeda (Tran et al. 2004). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya korelasi positif antara derajat penyosohan dengan nilai sensori rasa manis dan gurih serta aktivitas enzim α-amilase dan ß-amilase. Semakin rendah derajat penyosohan, nilai sensori rasa manis dan gurih semakin rendah. Begitupun dengan aktivitas enzim amilase dimana semakin rendah derajat penyosohan, aktivitas enzim α-amilase dan ß-amilase semakin menurun.

Menurut Sugiyama et al. (1995) dalam Tran et al. (2004) menyatakan bahwa beras mengandung 90% sukrosa dimana 60%-nya terdapat pada lapisan luar beras. Selain itu, asam aspartat, asam glutamat, serin, dan alanin adalah asam amino bebas dimana total dari keempat asam amino tersebut sebesar 56-71% dari jumlah asam amino pada kernel dan 76-80% pada lapisan paling luar. Bahkan, bibitnya mengandung asam

(4)

7 amino bebas lebih besar dari pada bagian kernel yang lain (Saikusa et al. 1994). Kandungan asam amino bebas dan gula berkurang karena proses penyosohan. Kandungan glukosa dan sukrosa pada nasi lebih tinggi dari pada beras. Sukrosa adalah gula bebas utama pada beras dan nasi. Penelitian yang dilakukan saat ini (Tran et al. 2004) menunjukkan bahwa asam aspartat dan glutamat adalah asam amino utama pada beras yang belum dan yang sudah disosoh. Jadi, gula bebas (sukrosa dan glukosa) dan asam amino bebas (asam aspartat dan asam glutamat) merupakan komponen utama yang mempengaruhi rasa dari nasi dan mungkin juga bentuk respon sensori.

Tabel 1. Deskripsi atribut dan definisi sensori untuk evaluasi sensori flavor nasi (Limpawattana & Shewfelt, 2010)

Atribut Definisi

Popcorn Aroma yang mengingatkan kepada popcorn

Starchy Aroma yang berhubungan dengan pati pada sumber pati tertentu Woody Aroma yang berhubungan dengan kayu potong kering yang segar Smoky Aroma yang berhubungan dengan beberapa jenis flavor asap Cooked-grain Aroma yang berhubungan dengan biji-bijian yang matang Grain Aroma yang berhubungan dengan semua karakter yang memberi

kesan biji-bijian seperti jagung, gandum, dan oats Sulfury Aroma yang berhubungan dengan senyawa sulphur

Corn Aroma yang mengingatkan kepada yellow cream kaleng-jagung Nutty Aroma yang berhubungan dengan kacang panggang

Floral Aroma yang berhubungan dengan bunga-bungaan Dairy Aroma yang mengingatkan kepada susu sapi pasteurisasi Barny Aroma yang mengingatkan kepada peternakan

Green Aroma (sedikit manis) yang berhubungan dengan rumput atau sayur hijau

Rancid Aroma yang berhubungan dengan lemak dan minyak yang teroksidasi

Metallic Faktor kimia yang terstimulasi pada lidah dan gigi oleh logam-logaman

Sweet Aromatic Aroma yang berhubungan dengan rasa manis

Earthy Aroma yang mengingatkan kepada tumbuhan yang membusuk dan tanah basah

Waxy Aroma yang berhubungan dengan rantai asam lemak medium Sweet Sensasi rasa dasar yang ditimbulkan oleh gula

Salty Sensasi rasa dasar yang ditimbulkan oleh garam Bitter Sensasi rasa dasar yang ditimbulkan oleh kafein

(5)

8

4.

Tekstur Nasi

Salah satu permasalahan yang dihadapi industri beras adalah mengontrol mutu beras secara keseluruhan untuk kebutuhan pasar. Menurut Zeng et al. (2008), mutu nasi dipengaruhi oleh flavor volatil atau aroma dan tekstur nasi. Tekstur nasi berpengaruh terhadap penerimaan beras oleh konsumen ketika dikonsumsi sebagai biji-bijian yang utuh (Okabe, 1979).

Komposisi fraksi pati sangat berpengaruh pada sifat nasi, yaitu rasio amilosa dan amilopektin yang mempengaruhi karakteristik tekstur dan fisikokimia nasi. Kandungan amilosa juga dapat dikatakan sebagai indikator utama dari mutu nasi, dimana pengaruhnya pada kelengketan (Del Mundo & Juliano, 1981), nasi dari varietas beras yang lebih lengket (umumnya beras berukuran medium dan pendek) mengandung lebih sedikit amilosa dan nasi dari varietas beras yang paling lengket mengandung sebagian besar amilopektin. Kandungan amilosa sudah lama diketahui merupakan penentu tekstur nasi (Winarno, 1992). Tabel 2 menginformasikan mengenai tekstur nasi pada beberapa varietas beras di Indonesia berdasarkan kadar amilosa.

Banyak istilah sensori yang menjelaskan dan mendeskripsikan atribut tekstur nasi. Istilah-istilah tersebut dideskripsikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Beberapa varietas beras di Indonesia berdasarkan kandungan amilosanya (Deliani, 2004)

Kadar Amilosa (%)

Tekstur

Nasi Varietas

9-20 Pulen Bengawan Solo, Tukad Petanu, Sentani, Sintanur, Membramo, Cilosari, Cisadane 20-25 Sedang Bondoyudo, Pandanwangi, Rojolele, IR 64,

Cibodas, Maros, Way Apo Buru, Ciherang, Ciliwung

25-33 Pera IR 68, Batang Anai, Digul, Dewi Ratih, dan IR 36, Cisokan

(6)

9 Tabel 3. Deskripsi atribut sensori tekstur pada nasi (Meullenet, 1999)

T

*) permen-permenan

Istilah Definisi Teknik Referensi Skor

Permukaan Kelengketan di bibir Derajat kelengketan sampel saat menempel di bibir Tekan sampel diantara dua bibir, lepaskan, dan nilai Tomat Nougat Roti stik Pretzel Kering 0,0 4,0 7,5 10,0 Gigitan Pertama

Kekerasan Kekuatan yang dibutuhkan untuk menekan sampel

Tekan atau gigit sampel sesekali dengan geraham Krim keju Putih telur Keju Sosis Sapi Kacang Almond 1,0 2,5 4,5 5,5 9,5 11,0 Pengunyahan Kepaduan massa sampel (setelah 3 dan 8 kali pengunyahan) Derajat pengunyahan saat sampel dikunyah secara bersamaan Kunyah sanpel dengan gigi geraham sebanyak 3 atau 8 kali dan evaluasi

Wortel Jamur Sosis sapi Keju Brownies 2,0 4,0 7,5 9,0 13,0 Kekasaran massa Sejumlah

kekasaran yang dirasakan saat mengunyah sampel Kunyah sanpel dengan gigi geraham 8 kali dan evaluasi Agar-agar Jeruk kupas Oatmeal 0,0 3,0 6,5

Toothpull Kekuatan yang dibutuhkan agar rahang terpisah pada saat mengunyah

Kunyah sampel sampai 3 kali dan evaluasi Kijing Karamel Candy gum 3,5 5,0 10,0

Ukuran Partikel Besarnya ruang yang dipenuhi partikel sampel di dalam mulut Tempatkan nasi di tengah mulut dan evaluasi Tic Tac* M & M (plain)* Mike & Ikes* Cherry Bite* Spearmint leaf* 2,5 4,0 6,0 11,0 13,0

(7)

10

B.

VARIETAS UNGGUL BERAS

Varietas padi adalah segolongan tanaman yang satu sama lain memiliki sifat-sifat yang sama. Sifat-sifat tersebut diwariskan kepada keturunannya. Penggunaan benih dari varietas unggul berkontribusi cukup besar dalam meningkatkan produksi beras nasional. Beberapa keunggulan varietas tersebut antara lain produktivitas tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, rasa enak, genjah dan harga jual yang baik (Hadi dkk, 2005). Varietas unggul yang telah dilepas selain unggul dalam produksi (misalnya tahan terhadap suatu penyakit), varietas itu juga harus memiliki sifat yang jelas berbeda dari varietas lainnya yang sebelumnya sudah beredar (distinctive), seragam kinerja tanaman dan per-tanamannya (uniform), mantap (stable) dalam keunggulan sifat kinerja tanaman dan pertanaman (Hadi dkk, 2005). Varietas unggul padi sawah merupakan kunci keberhasilan peningkatan produksi padi di Indonesia. Perakitan varietas padi sawah selain bertujuan untuk meningkatkan hasil, juga dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi agroekosistem, sosial, budaya, dan preferensi masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, pemuliaan padi bersifat dinamis. Varietas baru terbentuk sepanjang waktu, diikuti dengan peningkatan rata-rata produktivitas padi secara nasional (Susanto, 2003).

Siregar (1981) mengatakan bahwa kata-kata “unggul” yang diberikan terhadap suatu varietas tidak dapat diartikan secara absolut, misalnya varietas padi unggul di negara-negara dingin, seperti Jepang, USA, Italia, dsb belum tentu varietas padi tersebut dikatakan unggul di negara yang beriklim tropis, seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh perbedaan iklim yang terdapat pada negara-negara tesebut, suhu yang rendah di daerah beriklim dingin dan suhu yang tinggi di daerah yang beriklim tropis sehingga mempengaruhi panjang/pendeknya penyinaran antara daerah-daerah tersebut. Suatu contoh bahwa perkataan “unggul” tidak dapat diartikan secara kekal dan abadi. Varietas-varietas Cina, Bengawan, Mas, Peta, Intan, Dara, Sinta, Dewi Tara, Remaja, Jelita, Sigadis, dll. merupakan varietas padi unggul pada zamannya karena memiliki kemampuan produksi yang tinggi. Namun seiring dengan kemajuan zaman, penelitian-penelitian mutakhir berhasil menciptakan varietas yang lebih unggul daripada varietas-varietas tersebut, seperti Pelita, 5, dan 8. Sementara itu, varietas 5 dan PB-8 disusul dan diganti dengan varietas yang lebih unggul, yaitu IR-26, IR-2PB-8, dan IR-30. Ketiga varietas tersebut lebih unggul karena memiliki kemampuan tahan terhadap gangguan serangga hama wereng coklat dan hama wereng hijau dimana kemampuan ini tidak dimiliki oleh PB-5 dan PB-8, walaupun sebenarnya IR-26, IR-28, IR-30 dan PB-5, PB-8 mempunyai daya hasil yang tinggi. Oleh karena itu, sifat unggul yang diberikan sebagai predikat untuk suatu varietas tidaklah berlaku untuk selama-lamanya. Predikat unggul yang diberikan kepada suatu varietas tertentu hanya berlaku selama belum ditemukan varietas yang lebih unggul dibandingkan dengan varietas terakhir yang diberikan predikat unggul (Siregar, 1981).

1.

Varietas Unggul Beras di Sumatra Barat

Sumatera Barat merupakan penyangga kebutuhan beras nasional, khususnya untuk propinsi tetangga, seperti Riau, Bengkulu, dan Jambi yang ditandai dengan surplus beras setiap tahunnya sehingga menghantarkannya menjadi salah satu propinsi di Indonesia sebagai lumbung beras nasional. Menurut Deptan (2003), faktor utama yang mendorong peningkatan produksi padi di Sumatera Barat berasal dari peningkatan luas panen (1,63% per tahun).

Masyarakat Sumatera Barat umumnya menyukai beras dengan tekstur nasi pera (tidak lengket). Kebiasaan makan nasi bertekstur pera sudah membudidaya di kalangan orang Minang. Varietas beras Solok dan varietas beras Ampek Angkek merupakan

(8)

11 varietas unggul local yang sangat disukai oleh umumnya orang Sumatra Barat karena tekstur nasinya pera dan aroma khas. Kini varietas lokal tersebut sulit ditemukan di pasar atau mungkin tidak lagi ditanam petani karena umurnya lebih panjang daripada varietas unggul. Meskipun demikian, varietas lokal tersebut merupakan aset yang perlu dilestarikan untuk bahan persilangan dalam menghasilkan padi unggul baru yang sesuai dengan tekstur nasi pera (Puslitbangtan, 2005).

Konsumen Sumatera Barat menyukai rasa nasi pera dengan kadar amilosa >24%. Varietas IR42 dan Cisokan merupakan varietas yang paling dominan berkembang di Sumatera Barat dikarenakan memiliki rasa nasi pera dengan kadar amilosa >25% (Puslitbangtan, 1993). Sampai saat ini di Sumatera Barat, varietas unggul Cisokan dan IR42 yang dilepas berturut-turut tahun 1980 dan 1986 masih berkembang dan ditanam sepanjang musim dalam hamparan yang luas. Diperkirakan varietas unggul Cisokan dan IR42 ditanam berturut-turut sekitar 30% dan 40%, diikuti IR66 (10%), varietas lokal spesifik Kuriak kusuik (10%), varietas lokal lainnya (7%) dan Anak daro (3%) pada periode tahun 2001-2004 (Zen, 2007).

2.

Varietas Unggul Beras di Jawa Barat

Salah satu sifat dari varietas padi yang digemari para petani di Pulau Jawa adalah butir-butir padi atau gabah tidak mudah terlepas dari mayang bulirnya pada saat tanaman padi siap untuk dipetik (Siregar, 1981). Hal ini karena varietas padi yang butirnya mudah rontok oleh para petani dianggap sebagai suatu yang sangat merugikan dimana hasil yang rontok akan dipungut dan merupakan suatu pekerjaan yang jika dilihat dari segi efisiensi akan sangat merugikan karena banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan (Siregar, 1981).

Masyarakat Indonesia di Pulau Jawa sebagian besar menyukai nasi yang pulen seperti nasi varietas IR64 dan Ciherang (Rozakurniati, 2010). Penyebaran varietas unggul padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur menunjukkan Varietas Ciherang makin mendominasi areal pertanaman padi di ketiga provinsi tersebut. Di Jawa Barat dan Jawa Timur, lebih dari 50% areal pertanaman padi telah ditanami dengan varietas Ciherang. Persentase penyebaran varietas beras di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 4.

(9)

12 Tabel 4. Proporsi penyebaran varietas padi di Pulau Jawa tahun 2008 (Ruskandar,

2009)

Varietas Jawa Barat (%) Jawa Tengah (%) Jawa Timur (%)

Ciherang 56,19 44,87 50,72 Cigeulis 9,80 0,91 6,74 IR 64 8,65 38,59 14,92 Situbagendit 4,00 Mekongga 2,45 0,84 Bondoyudo 1,33 Widas 1,28 IR42 1,25 Pepe 5,34 0,98 Cilamaya muncul 1,07 Logawa 0,61 Ciliwung 0,60

Way Apo Buru 4,37

Cibogo 9,18

Membamo 1,43 3,11

Cisadane 1,02

Varietas lain 15,06 6,16 8,08

3.

Varietas Unggul Beras di Sulawesi Selatan

Sulawesi selatan merupakan salah satu provinsi lumbung padi nasional kedua terbesar setelah Jawa Timur dengan produksi rata-rata 2,5 juta ton beras per tahun (Anonim, 2009). Areal pertanian yang dimiliki provinsi ini cukup besar, yaitu mencapai 1.411.446 ha, yang terbagi dalam lahan persawahan seluas 550.127 ha, dan lahan kering seluas 861.319 ha (Anonim, 2009). Jumlah areal yang cukup besar tersebut, jika dikelola maksimal sangat berpotensi menunjang ketahanan pangan nasional.

Di Sulawesi Selatan, areal tanam IR64 hanya 10,5%, sedangkan luas pertanaman varietas Ciliwung yang dilepas pada tahun 1989 menduduki 49,4% dari total areal tanaman padi di provinsi tersebut. Survei di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa di Kabupaten Sidrap luas pertanaman padi pada tahun 2001-2002 mencapai 75,6 ribu ha/musim dengan produktivitas 6,6 t/ha. Dari luasan itu, 89,3% diantaranya ditanami varietas unggul baru anjuran, seperti Ciliwung, IR64, Memberamo, Celebes, Way Apo Buru, Ciherang, IR66, IR74, Sintanur, dan Widas. Di Kabupaten Takalar, luas panen tanaman padi mencapai 9,6 ribu ha/musim dengan varietas yang menjadi pilihan utama adalah Ciliwung, Cisadane, Celebes, Membramo, Pelita, IR42, IR66, Sintanur, dan IR64 (Suprihatno & Daradjat, 2009).

Djamaluddin (2009) mengemukakan bahwa luas pertanaman padi di Sulawesi Selatan pada tahun 2007 adalah 834.636 ha, varietas padi yang banyak digunakan adalah Cisantana (29,2 %), Ciliwung (17,2%), Cigeulis (15,4%), Ciherang (14,3%), Way Apo Buru (4,4%), IR-64 (4,2%), sekitar 15,3 % varietas lain dan varietas lokal.

(10)

13

4.

Varietas Unggul Beras di Papua

Kabupaten Merauke merupakan sentra pengembangan padi di Papua (Rouw, 2008). Kondisi ini ditunjukan dengan tingkat kontribusi sebesar 73% terhadap total produksi padi di Papua (Rouw, 2008). Terdapat tiga sentra pengembangan padi sawah di Merauke, yaitu Distrik Merauke, Semangga-Tanah Miring dan Kurik (Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Merauke, 2003).

Varietas padi yang umum digunakan petani di Sentra Semangga-Tanah Miring, meliputi IR 64, IR 66, Memberamo, dan Digul. Varietas padi unggul yang ditanam di Irian Jaya adalah varietas padi yang memiliki potensi hasil tinggi, toleran terhadap serangan hama dan penyakit penting (Tungro dan Wereng Coklat) serta keracunan besi, dan memiliki rasa nasi yang disukai konsumen (LPTP Koya Barat, 2000). Varietas Mamberamo, Digul, Maros dan Cibudas adalah varietas padi yang memiliki potensi produktivitas yang tinggi. Varietas Mamberamo dan Digul memiliki kemampuan paling tahan terhadap Tungro. Varietas padi yang disukai petani adalah Mambramo dan Ciliwung (di Koya Barat); Mambramo, Digul dan Ciliwung (di prafi, Manokwari); Digul dan IR 64 (di Kurik, Merauke) (LPTP Koya Barat, 2000). Berikut adalah nama-nama varietas padi yang dianjurkan dibudidayakan di daerah pengembangan padi (LPTP Koya Barat, 2000):

 Jayapura, Manokwari : Membramo, Maros, Digul, dan IR66  Merauke (kondisi tergenang) : IR42, IR48, Digul, Lematang

 Merauke (kondisi tak tergenang) : Membramo, IR64, Maros, Ciliwung

C.

PREFERENSI MAKANAN

Pangan merupakan bagian kebudayaan komunitas etnik. Pangan etnik tidak hanya memperkaya sektor pangan tradisional, tetapi juga memainkan tugas penting dalam memelihara kebudayaan nasional.

Tingkah laku konsumen dapat dipelajari dua level esensial, yaitu mental dan fisik. Level mental meliputi kepercayaan konsumen, preferensi, perasaan, dan pilihan. Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi pangan menurut Shepherd and Sparks (1994), yaitu faktor intrinsik, ekstrinsik, biologis, fisik, psikologi, pribadi individu, sosial ekonomi, pendidikan, dan kultur. Preferensi dipengaruhi oleh waktu dan kondisi makanan, seperti kondisi lapar, perasaan, dan saat terakhir mengkonsumsi.

Menurut Bergier (1987), latar belakang kultur dalam penerimaan makanan tidak dapat diubah. Adat istiadat dan norma-norma baru tidak dapat menggantikan adat istiadat dan norma yang lama, kecuali untuk orang yang berada pada tingkat atas dan sangat kaya. Penerimaan makanan oleh seseorang juga berbeda tergantung keadaan sosial dan asal masing-masing daerah. Biasanya makanan tradisional akan dipertahankan dan tidak pernah diganti oleh adanya perkembangan makanan baru.

Menurut Lundahl (2007), untuk memahami faktor yang mendasar preferensi pangan, kembali pada akar formasi preferensi. Bayi memiliki preferensi bawaan untuk rasa manis dan makanan yang lembut. Mereka juga menghindari rasa asam dan pahit. Bagaimanapun juga, sejak awal (bahkan mungkin sebelum lahir) ada faktor yang mempengaruhi preferensi individu.

Preferensi pangan dapat diukur dengan menggunakan peratingan dari skala hedonik. Hedonik, berasal dari akar kata “hedonistic”, yang berarti mengukur kesukaan penerimaan

(11)

14 individu. Peratingan oleh sekelompok konsumen terhadap berbagai macam pangan dapat digambarkan dalam bentuk pemetaan (Lundahl, 2007).

Gambar 2. menunjukkan bahwa untuk mengerti tingkah laku konsumen perlu memahami hubungan proses kognitif dan persepsi suatu individu. Bagaimana teori “persepsi” mengenai suatu produk yang digerakkan oleh faktor ekstrinsik, seperti brand image, sikap, dan kebiasaan akan mempengaruhi persepsi sensori seseorang. Selanjutnya proses ini berpengaruh terhadap tingkah laku individu. Karena preferensi pangan berkembang untuk setiap individu, faktor sensori dan kognitif dipengaruhi oleh faktor kultur (faktor ekstrinsik). Pada kasus ini, kultur memiliki hubungan antara kognitif, persepsi, dan tingkah laku individu. Agar pengembangan suatu produk berhasil dipasaran, peneliti harus mengerti ketiga hubungan kompleks ini yang menentukan pilihan konsumen (Lundahl, 2007).

Gambar 2. Pola konsumen dalam menentukan pilihan makanan (Lundahl, 2007)

D.

EVALUASI SENSORI

Mutu makan nasi adalah mutu yang kompleks dimana sejumlah komponen ikut terlibat. Komponen-komponen tersebut tidak selalu dapat mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi mutu makan nasi. Data analisis secara fisikokimia pada setiap komponen tidak mudah dihubungkan dengan analisis secara objektif dan juga tidak ada metode evaluasi yang seefektif metode sensori yang menggunakan organ tubuh manusia sebagai alat yang menilai. Uji sensori dilakukan berdasarkan evaluasi subjektif melalui kemampuan penglihatan, penciuman, dan pencicipan. Akhir-akhir ini evaluasi sensori banyak digunakan untuk mengkaji preferensi makanan individu (Weaver & Helen, 2001).

1.

Quantitative Descriptive Analysis (QDA)

Pertama kali teknik deskripsi sensori yang diperkenalkan adalah Flavor Profile Method (FPM) yang dikembangkan oleh Arthur D. Little, Inc. pada tahun 1950-an (Meilgaard et al. 1999). Aplikasi metode analisis deskripsi yang baru-baru ini muncul pada tahun 1970-an adalah Quantitative Descriptive Analysis (QDA) dan Spectrum TM. Kedua teknik terakhir sangat berbeda dari FPM dimana keduanya digunakan untuk mengukur atribut sensori oleh masing-masing panelis lalu menghasilkan rata-rata atribut

(12)

15 sensori. Kedua teknik ini lebih baik dari pada FPM yang menghasilkan profil sensori dari konsensus kelompok (Pigott et al. 1998).

Seleksi panelis merupakan aspek yang kritis dalam analisis deskriptif (Meilgaard et al. 1999). Calon panelis yang baik harus dapat mendeskripsikan atribut flavor yang dihasilkan dan dapat membedakan antara aroma dan rasa (Drake & Civille, 2003). Kesehatan yang baik, memiliki antusiasme yang tinggi, dan biasa menggunakan produk yang diujikan adalah karakteristik calon panelis yang baik. Kemudian, calon panelis akan mengikuti tahapan seleksi panelis (Meilgaard et al. 1999). Setelah ketiga kategori tersebut dan tahapan seleksi panelis dilakukan, selanjutnya dilakukan pelatihan untuk menghasilkan sekelompok panelis yang kemudian fungsinya dapat dianalogikan dengan instrumen dalam mengevaluasi flavor suatu produk (Drake & Civille, 2003).

Menurut Meilgaard et al. (1999), tahap-tahap seleksi panelis terdiri dari tahap penyaringan (screening), acuity test (tes ketepatan), uji ranking/rating, dan personal interview. Menurut Stone & Sidel (2004), tahap penyaringan bertujuan untuk mengeliminasi kandidat panel yang tidak sensitif, mengetahui kandidat panel yang memiliki kemampuan sensori yang sangat sensitif dan dapat dipercaya, dan membiasakan kandidat panel dengan atribut sensori produk. Tes ketepatan untuk kandidat panel harus mampu mendemonstrasikan kemampuan untuk mendeteksi dan menjelaskan karakteristik sensori secara kualitatif; mendeteksi dan menggambarkan perbedaan secara kuantitatif (Meilgaard et al. 1999). Metode uji yang digunakan untuk uji deteksi secara kualitatif adalah identifikasi rasa dasar dan aroma dasar, sedangkan uji deteksi secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji segitiga atau uji duo trio untuk mendeteksi perbedaan yang kecil serta mendeskripsikan kunci perbedaan dari atribut sensori yang ada (Meilgaard et al. 1999). Uji rating/ranking digunakan untuk menentukan kemampuan panelis dalam membedakan penilaian intensitas atribut sensori yang diberikan (Meilgaard et al. 1999). Personal interview dilakukan untuk mengetahui kemauan, keseriusan, minat, rasa percaya diri, dan waktu luang calon panelis.

Pada metode QDA, panel leader adalah seorang sensori profesional yang memiliki kemampuan lebih baik dari anggota panel. Pada saat pelatihan, panel (idealnya 8-12 panelis) menghasilkan istilah-istilah untuk menggambarkan produk. Panel leader tidak berpartisipasi dalam diskusi untuk menghasilkan atribut sensori, tetapi berperan dalam memfasilitasi jalannya diskusi. Para panelis menentukan urutan munculnya atribut. Selain itu, panelis berlatih merating produk supaya terbiasa dengan proses analisis deskipsi dan memperoleh kepercayaan diri terhadap kemampuan mereka (Drake & Civille, 2003). Data diperoleh dari scoresheet dengan menggunakan skala garis yang diberi batas pada setiap akhir garis. Panelis memberi tanda garis pada skala garis. Selanjutnya tanda diubah menjadi nilai numerik dengan mengukur respons pada skala garis dengan menggunakan penggaris, digitizer, atau dengan sistem komputer (Drake & Civille, 2003).

Standar referensi dapat secara kualitatif, kuantitatif atau kedua-duanya (Munoz & Civille 1998). Untuk pendeskripsian sensori, standar referensi kualitatif merupakan hal yang penting untuk setiap istilah atribut sensori. Standar referensi kualitatif memungkinkan panelis untuk menghubungkan dengan konsep pengertian istilah sensori tersebut dan dapat memperpendek waktu pelatihan panel (Drake & Civille, 2003). Standar referensi kualitatif dalam pelatihan panelis digunakan untuk membuat panelis

(13)

16 fokus dalam mengidentifikasikan istilah sensori dan merupakan bagian yang paling dibutuhkan dalam pelatihan panelis metode deskriptif. Standar kuantitatif atau standar referensi intensitas pada umumnya tidak ditetapkan untuk setiap atribut. Munoz & Civille (1998) mendeskripsikan tiga macam standar referensi kuantitatif, yaitu secara universal, spesifik produk, dan spesifik atribut sensori.

Analisis sensori deskriptif memberikan informasi bagi para ahli sensori untuk memperoleh deskripsi produk secara lengkap, dan/atau menentukan atribut sensori mana yang penting dalam penerimaan konsumen (Stone & Sidel, 2004). Analisis deskriptif berguna untuk mengevaluasi perubahan sensori dari waktu ke waktu dengan memperhatikan keadaan sebelum dan sesudah panen serta umur simpan beras (Meilgaard et al. 1999). Aroma dan flavor nasi dapat dikarakterisasi dan secara analisis diukur oleh panelis terlatih dalam analisis sensori deskriptif (Meilgaard et al. 1999). Penggunaan analisis sensori deskriptif juga digunakan oleh Suwansri et al. (2002) dalam menganalisis penerimaan nasi aromatik Jasmine oleh konsumen US-Asia dan mengkorelasikannya dengan data sensori deskriptif sehingga atribut sensori yang berkaitan dengan penerimaan konsumen dapat diidentifikasi.

Penggunaan kombinasi antara analisis deskriptif dan uji preferensi panelis memberikan penilaian yang akurat dan mengidentifikasikan karakteristik kualitas sensori yang dibutuhkan pasar. Nilai sensori deskriptif juga dapat dikorelasikan dengan konsentrasi senyawa volatile dengan menggunakan metode statistik untuk menentukan senyawa mana yang bertanggung jawab dalam membentuk aroma dan flavor atau berfungsi sebagai penanda untuk atribut flavor/aroma tersebut.

2.

Uji Afeksi

Analisis deskripsi sensori digunakan untuk mengeidentifikasi dan mengkuantifikasi atribut sensori produk, sedangkan uji konsumen digunakan untuk memberikan informasi mengenai kesukaan konsumen (Meilgaard et al. 1999). Uji penerimaan dan preferensi memberikan informasi kesukaan dan/atau preferensi konsumen secara kuantitatif (Meilgaard et al. 1999).

Screener dan kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data demografi, frekuensi penggunaan, dan data pembelian suatu produk (Meilgaard et al. 1999). Kuesioner sering disertakan dengan uji penerimaan untuk membantu interpretasi data. Selain mengumpulkan data demografi dan informasi penggunaan, mengidentifikasi kesukaan dalam segmentasi pasar konsumen merupakan hal yang penting untuk industri dalam mengetahui produk dan atribut mana yang lebih di disukai konsumen.

Menurut Setyaningsih dkk (2010), uji afeksi terdiri dari uji penerimaan dan uji kesukaan/preferensi. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu produk yang menyebabkan sesorang menyukainya. Yang perlu ditekankan dalam uji afeksi adalah bahwa pilihan (preferensi) tidak sama dengan penerimaan, bisa jadi panelis lebih memilih contoh A dibanding contoh B, tetapi kedua contoh tidak dapat diterima. Uji kesukaan bertugas untuk memilih produk yang lebih disukai sedangkan uji penerimaan bertugas untuk merating produk yang disukai/diterima konsumen. Uji afeksi harus diperoleh dari sekelompok orang yang dapat mewakili suatu populasi masyarakat tertentu. Uji yang umumnya digunakan dalam melakukan uji afeksi adalah uji hedonik.

(14)

17

E.

PCA (PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS)

PCA adalah salah satu analisis multivariat yang digunakan untuk meringkas data yang terkumpul dari banyak variabel ke beberapa dimensi (Meilgaard et al. 1999). PCA merupakan teknik statistik untuk mengidentifikasi jumlah terkecil variabel yang tersembunyi, yang disebut komponen utama. Analisis ini mampu menjelaskan sebanyak 75%-90% dari total keragaman dalam data yang mempunyai 25-30 variabel hanya dengan 2-3 komponen utama (Meilgaard et al. 1999). Menurut Setyaningsik dkk (2010), analisis ini terlebih dahulu mencari indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum, yang disebut komponen utama 1 (PC1) yang mempunyai variasi terbesar dari variasi total individu. Kemudian dicari kompnen utama 2 (PC2) yang memiliki variasi individu terbesar setelah PC1. Setiap komponen PCA digambarkan oleh tiga atribut yang saling melengkapi, yaitu ragam, loadings, dan skor.

Hasil analisis gabungan dari loading dengan skor akan menghasilkan biplot. Menurut Anonim (2003), biplot merupakan upaya grafis terhadap data yang berupa tabel rata-rata beberapa variabel pada beberapa sampel dalam tampilan dua dimensi. Ada empat hal penting yang bisa didapatkan dari tampilan biplot, yaitu kedekatan antar sampel, keragaman variabel, hubungan (korelasi antar variabel), dan nilai variabel pada suatu sampel.

Menurut Satono dkk, 2003 terdapat tiga hal penting yang bisa didapatkan dari tampilan biplot, yaitu :

 Kedekatan antar objek, informasi ini bisa dijadikan panduan objek mana yang memiliki kemiripan karakteristik dengan objek tertentu. Dua objek dengan karakteristik yang sama akan digambarkan sebagai dua titik yang posisinya berdekatan.

 Keragaman peubah, informasi ini digunakan untuk melihat apakah ada peubah tertentu yang nilainya hampir sama semuanya untuk setiap objek, atau sebaliknya. Dalam biplot, peubah dengan keragaman kecil digambarkan sebagai vektor yang pendek, sedangkan peubah yang ragamnya besar digambarkan sebagai vektor yang panjang.

 Hubungan (korelasi antar peubah), informasi ini bisa digunakan untuk menilai bagaimana peubah yang satu mem(di)pengaruhi peubah yang lain. Dua peubah yang memiliki korelasi positif tinggi akan digambarkan sebagai dua buah garis dengan arah yang sama atau membentuk sudut sempit. Sementara itu, dua peubah yang memiliki korelasi negatif tinggi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah yang berlawanan atau membentuk sudut lebar (tumpul). Sedangkan dua peubah yang tidak berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan sudut mendekati 90˚ (siku-siku).

 Nilai peubah pada suatu onjek, informasi ini digunakan untuk melihat keunggulan dari setiap objek. Objek yang terletak searah dengan arah dari suatu peubah, dikatakan bahwa pada objek tersebut nilainya di atas rata-rata. Sebaliknya, jika objek lain terletak berlawanan dengan arah dari peubah tersebut, maka objek tersebut memiliki nilai di bawah rata-rata, sedangkan objek yang hampir ada tengah-tengah memiliki nilai dekat dengan rata-rata.

Gambar

Tabel  1.  Deskripsi  atribut  dan  definisi  sensori  untuk  evaluasi  sensori  flavor  nasi  (Limpawattana & Shewfelt, 2010)
Tabel  2.  Beberapa  varietas  beras  di  Indonesia  berdasarkan  kandungan  amilosanya  (Deliani, 2004)
Gambar  2.  menunjukkan  bahwa  untuk  mengerti  tingkah  laku  konsumen  perlu  memahami hubungan proses kognitif dan persepsi suatu individu

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada tiga lokasi sungai tambahan dalam penelitian keanekaragaman ikan di pulau bangka ini diperoleh komposisi ikan yang

Dari 10 plate yang digunakan sebagai media pertumbuhan menunjukkan hasil positif dan dari perhitungan angka kuman yang telah dilakukan menunjukkan hasil 1,162

[r]

• Siswa diminta untuk mengamati gambar yang terdapat pada buku teks yang menggambarkan perbedaan diantara Udin dan teman-temanya atau dapat juga dengan mengamati teman sekelasnya.

Validasi ahli dilakukan dengan cara memberikan angket yang mencakup penilaian terhadap seluruh isi/materi rancangan buku panduan layanan kes- ehatan mental

– Kebanyakan pinjaman bank berdasarkan prime rate of interest , yaitu tingkat bunga terendah yang ditetapkan oleh bank nasional kepada peminjam.. – Bank umumnya menentukan

Dengan mengucapkan Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

Pembangunan PLTMH Dompyong memanfaatkan aliran sungai Dompyong dengan tinggi head net 20 m dan debit rata- rata 0.41 m 3 /s diperoleh estimasi daya terbangkit sebesar 50