Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam terbitan (KDT) Al-’Aam dan Al-Khash
Penulis, Ahmad Sarwat 22 hlm
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Judul Buku
Al-’Aam dan Al-Khash
Penulis
Ahmad Sarwat Lc, MA
Editor
Al-Fatih
Setting & Lay out
Al-Fayyad
Desain Cover
Al-Fawwaz
Penerbit
Rumah Fiqih Publishing Jalan Karet Pedurenan no. 53 Kuningan
Daftar Isi
Daftar Isi ... 4
Bab 1 : Al-
‘Aam
... 7
A. Pengertian Al-‘Aam ... 7
B. Lafadz-lafadz Al ‘am ... 8
1. Lafadz kullu ( لك) dan jami’ ( عيمج). ... 9
2. Sighat Jama’ Yang Disertai Alif Lam ( لا) di Awal ... 9
3. Kata Benda Tunggal Yang Dima’rifahkan Dengan Alif Lam (لا) ... 9
4. Isim Isyarat ... 10
5. Isim Nakirah Yang Dinafikan ... 10
6. Isim maushul ... 10
C. Dalalah Lafadz ‘Am ... 10
1. Jumhur Ulama ... 11
2. Mazhab Al-Hanafiyah ... 11
D. Pembagian Lafadz ‘Am ... 12
1. Tetap Pada Keumumannya ... 12
2. Lafadz ‘Am Maksudnya Khusus ... 12
3. Lafadz ‘Am Yang Dikhususkan ... 13
4. Takhsish Al ‘am ... 14
5. Mukhashshish Muttashil ... 14
7. Mukhashshish Munfashil ... 17
A. Pengertian Al Khas ... 18
1. Manna al-Qaththan ... 18
2. Mushtafa Said al-Khin ... 18
3. Abdul Wahhab Khallaf ... 18
B. Karakteristik Lafadz Khas ... 19
7
Bab 1 : Al-
‘Aam
A. Pengertian Al-‘Aam
Al-‘aam (ماعلا) secara bahasa atau etimologi sebagaimana disebutkan oleh As-subki berarti umum1.
Sedangkan secara terminologi atau istilah, ada beberapa definisi yang diajukan oleh para ulama secara berbeda-beda, di antaranya :
Muhammad Adib Saleh mendefinisikan bahwa
al-‘am adalah lafadz yang diciptakan untuk
pengertian umum sesuai dengan pengertian tiap lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. 2
Jalaludin As Suyuthi menyebutkan bahwa ‘aam
adalah lafadz yang mencakup seluruh satuan-satuan yang pantas baginya dan tidak terbatas dalam jumlah tertentu. 3
Zakiy al-Din Sya’baniy menyebutkan bahwa
lafadz ‘aam adalah suatu lafadz yang cakupan
maknanya meliputi berbagai satuan (afrod)
1 Imam Tajudin Abd Al-Wahab Ibn Al-Subuki, Jam‟u
Al-Jawami‟, Juz I, (Semarang: Thoha Putra, tt.), h. 398-399
2 Satria Efendi. Ushul Fiqh. (Jakarta: Prenada Media,
2005),h. 196
3 Muhammad Nor Ikwan. Memahami Bahasa Al-Quran.
8
menurut makna yang sebenarnya tanpa adanya batasan tertentu.
Subkkhi Al Shaleh menuliskan dalam kitabnya
bahwa lafadz ‘aam adalah suatu lafadz yang di
dalamnya menunjukkan pengertian umum menurut makna yang sebenarnya, tidak dibatasi oleh jumlah dan tidak pula menunjukkan bilangan tertentu.
Para ulama di kalangan mazhab Al-Hanafiah menyebutkan bahwa al-‘aam adalah setiap lafadz
yang mencakup banyak hal, baik itu secara lafadz maupun makna.
Al-Ghazali menyebutkan bahwa al‘aam adalah
suatu lafadz yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih.
Al-Bazdawi mengatakan bahwa al-‘aam adalah
suatu lafadz yang mencakup semua yang cocok untuk lafadz tersebut dalam satu kata.
Para ulama di kalangan mazhab Al-Hanabilah menyebutkan bahwa al-‘aam adalah lafadz yang
mengumumi dua hal atau lebih.
Dari beberapa pengertian di atas, secara substansial tidak memiliki perbedaan makna.
Artinya, suatu lafadz bisa dikatakan ‘am apabila kandungan maknanya tidak memberikan batasan pada jumlah yang tertentu.
B. Lafadz-lafadz Al ‘am
Hasil penelitian para ulama terhadap kata-kata dan susunan kalimat bahasa arab yang terkandung
9
di dalam Al Quran, lafadz-lafadz yang menunjukkan lafadz umum adalah sebagai berikut :1
1. Lafadz kullu ( لك) dan jami’ ( عيمج). Seperti dalam Surat At Thur ayat 21
ُّل ُك
ُّ
ُّنيِهَرُّ َب َسَكُّاَمِبُّ ٍئِرْما
……tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang ia kerjakan. (QS At Thur: 21)
2. Sighat Jama’ Yang Disertai Alif Lam ( لا) di Awal Seperti lafadz al-walidat dalam Surat Al Baqarah ayat 233.
ُُّتا َ ِلِاَوْلاَو
ُّ
ُِّ ْيَلِم َكَُّ ِ ْيَلْوَحَُّّنُهَد َلَ ْوَأُّ َنْع ِضْرُي
“Para ibu (hendaknya) menyusukan anaknya selama 2 tahun penuhyaitu badi orang yang
ingin menyempurnakan penyusuannya” . (QS Al
Baqarah : 233)
3. Kata Benda Tunggal Yang Dima’rifahkan Dengan
Alif Lam ( لا)
Contohnya lafadz al-insan dalam surat Al-‘Asr
ayat 2.
َُّّن
ِ
ا
ُّ
َُّنا َسْن
ِ
ْلَا
ُّ
يِفَل
ُّ
ٍُّ ْسُخ
“Sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman” . (QS Al Asr : 2)
10
4. Isim Isyarat
Isim syarat (kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata man (نم) dalam surat An Nisa’ ayat 92.
ُّْنَمَو
ُّ
َُّلَتَق
ُُُّّم
اًنِمْؤ
ُّ
ُّ أَطَخ
ُّ
ُُّريِرْحَتَف
ُّ
ٍُّةَبَقَر
ُّ
ٍُّةَنِمْؤُم
Orang yang membunuh mukmin karena tidak disengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. (QS An
Nisa’ : 92)
5. Isim Nakirah Yang Dinafikan
Isim nakirah yang dinafikkan, seperti kata laa junaha dalam surat al mumtahanah ayat 10 :
َُّو
َُّلَ
ُُّّ
َُّحاَنُج
ُّ
ُُّْكْيَلَع
ُّ
ُّْنَأ
ُّ
َُّّنُهوُحِكْنَت
ُّ
اَذ
ِ
ا
ُّ
َُّّنُهوُمُتْيَت أ
ُّ
َُّّنُه َروُجُأ
Dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. (Qs Al-mumtahanah / 60; 10)
6. Isim maushul
Isim maushul itu adalah kata ganti penghubung, misalnya kata al-ladzina dalam ayat 10 Qs An-Nisa
َُّّن
ا
ِ
ُّ
َُّنيِ َّلَّا
ُّ
َُّنوُ ُكُْأَي
ُّ
َُّلاَوْمَأ
ُُّّ
ُّ ىَماَتَيْلا
ُّ
ُّاًمْل ُظ
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzolim (QS An Nisa : 10)
C. Dalalah Lafadz ‘Am
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa keumumannya lafadz ‘am itu akan tetap
dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang dijadikan dasar untuk mentakhsishnya.
11
1. Jumhur Ulama
Meskipun demikian sebagian besar ulama
berpendapat bahwa setiap lafadz ‘am, pasti ada
dalil yang mentakhsishnya. Diantara yang berpendapat demikian adalah jumhur ulama seperti Madzhab Asy-Syafi’i.
Atas dasar itulah sehingga mereka membuat
suatu kaidah “
َُّم
اَهصْو ُصُخَُّّلَ
اٍُّماَعُّ ْنِمُّا
ِ
ُّ
Tidak ada lafadz ‘am, melainkan selalu
ditakhshiskan1
Berdasarkan kaidah tersebut, maka mereka
berpendapat bahwa lafadz ‘am itu
dalalahnya zhanniyah dan bukan dalalah
qath’iyyah. Maksudnya sifatnya sebagai dalil masih
belum mutlak dan masih bersifat zhanni.
Maka bila kita temukan lafadz ‘am, masih
dibutuhkan takhshisnya dulu sebelum diamalkan. 2. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan menurut ulama madzhab hanafi
bahwa dalalah lafazh ‘am itu
bersifat qath’iyyah atau mutlak. Lafazh ‘am dalam
pandangan mereka memiliki makna secara pasti, tegas selama tidak ada dalil yang menyalahinya. Berkaitan dengan masalah ini mereka membuat kaidah sebagai berikut:
“Apabila terdapat lafazh ‘am, maka yang
dimaksudkan adalah seluruh satuan-satuan
12
yang dapat masuk kedalamnya dan ia bersifat
qath’i, sampai nanti ada dalil yang menunjukan
atas pengkhususannya dan yang membatasi sebagian satuan-satuannya”.
D. Pembagian Lafadz ‘Am
Lafadz ‘am apabila dilihat dari segi
penggunaanya dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu :1
1. Tetap Pada Keumumannya
Lafadz ‘am yang tetap pada keumumannya (al
-baqiy ‘ala umumihi), yaitu ‘am yang disertai
qarinah yang tidak memungkinkan untuk ditakhshish.
Contoh lafadz untuk kategori pertama ini biasanya berkaitan dengan kalimat-kalimat yang menerangkan sunnatullah (hukum ilahi)2, seperti
dalam surat hud ayat 6 berikut ini :
ام
ُُّّ
نم
ُُّّ
ةباذ
ُُّّ
في
ُُّّ
ضرالا
ُُّّ
الا
ُُّّ
لىع
ُُّّ
الله
ُُّّ
اهقزر
ُُّّو
ُُّّ
لمعي
ُُّّ
اهرقت سم
ُُُّّّو
ُُّّ
اهعدوت سم
ُّ
ك
ُّ
في
ُّ
باتك
ُّ
ُّيبم
“Dan tidak ada seekor binatang melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang member
rizkinya…..”(QS Hud : 6)
2. Lafadz ‘Am Maksudnya Khusus
Lafadz ‘am tetapi maksudnya khusus(al-am
al-muradu bihi al-khushush), yaitu ‘am yang disertai 1 Manna Khalil Al Qathan. Mabahits fii Ulumil Qur’an.(
Riyadh: Mansyurat al-Ashr Al-Hadits, 1990),h.
13
qarinah yang menghilangkan arti umumnya dan
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘am itu
adalah sebagian dari satuannya, seperti dalam surat at taubah ayat 120 :
نكَ
ُُّّ
لهلَ
ُُّّ
ةنيدلما
ُُّّ
نمو
ُُّّ
ملهوح
ُُّّ
نم
ُُّّ
بارعالا
ُُّّ
نا
ُُّّ
اوفلختي
ُُّّ
ُّنع
ُُّّ
لوسر
ُّ
الله
ُّ
لَو
ُّ
ُّبغري
ُّ
مهسفنبا
ُّ
نع
ُّ
ُّهسفن
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk madinah dan orang-orang arab baduwi yang berdiri di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut ( pula)bagi mereka mencintai diri mereka daripada
mencintai diri Rasul.” (At Taubah/9:120).
Sepintas dipahami bahwa ayat tersebut menunjukkan ayat umum, yaitu penduduk madinah dan orang-orang arab disekitarnya, termasuk orang-orang sakit dan lemah. Namun yang dikehendaki dari ayat tersebut bukanlah masyarakat pada umumnya, tetapi hanya masyarakat yang mampu saja yang diwajibkan.
3. Lafadz ‘Am Yang Dikhususkan
Lafadz ‘am yang dikhusushkan (al-am
al-makhshush), yaitu ‘am yang tidak disertai qarinah,
baik itu qarinah yang tidak memungkinkan untuk ditakhshish, maupun qarinah yang menghi-langkan keumumannya.
Lafadz ‘am ini menunjukkan keumumannya
selama tidak ada dalil yang mengkhususkan, seperti dalam surat al baqarah ayat 228 berikut ini
تاقلطلما
ُّ
نصبتري
ُّ
ُّنهسفنبا
ُّ
ةثلاث
ُُّّ
ُّورق
14
“Wanita-wanita yang dithalaq, hendaklah menahan diri (menunggu)sampai tiga kali
suci…..”(QS Al Baqarah :228)
4. Takhsish Al ‘am
Menurut Zakiy al-Din Sya’ban, takhshish adalah memalingkan lafadz ‘am dari makna
umumnya dan membatasinya dengan sebagian satuan-satuan yang tercakup di dalamnya, karena ada dalil yang menunjukkan mengenai hal itu.1
Takhshish al-‘am biasa disebut juga dengan qashar al-‘am, yaitu mempersempit makna
yang masih umum. Alat atau sarana yang digunakan untuk melakukan takhshish al ‘am biasa disebut dengan mukhashshish.
Definisi mukhashshish menurut Manna al-Qaththan adalah dalil yang menjadi dasar adanya
pengeluaran lafadz ‘am. Mukhashshish dapat
dibagi menjadi 2 macam, yaitu mukhashshis muttashil dan mukhashshish munfashil. 2
5. Mukhashshish Muttashil
Mukhashshish muttashil yaitu takhshish yang
tidak berdiri sendiri, dimana ‘am
dan mukhashshishnya tidak dipisah oleh suatu hal. Mukhashshish muttashil ini dibagi lagi menjadi lima macam, yaitu :
Istisna’ (pengecualian), seperti dalam surat An Nur ayat 4-5
1 Muhammad Nor Ikwan. Memahami,h. 189
2 Acep Hermawan. Ulumul Qur’an. (Bandung: Remaja Rosdakarya,
15
نيلَّاو
ُُّّ
نومري
ُُّّ
ُّتنصلمحا
ُُّّ
لمو
ُُّّ
اوتيا
ُُّّ
ةعبربا
ُُّّ
ءادهش
ُُّّ
همولدجاف
ُُّّ
ُّينثم
ُُّّ
ةلدج
ُُّّ
لَو
ُُّّ
اولبقت
ُُّّ
مله
ُُّّ
ُّةداهش
ُُّّ
ادبا
ُُّّ
كئلوا
ُُّّ
هم
ُُّّ
نوقسفلا
ُُّّ
نيلَّا
ُُّّ
اوبتا
ُُّّ
نم
ُّ
دعب
ُّ
لكذ
ُّو
ُّ
اوحلصا
ُّ
ناف
ُّ
الله
ُّ
روفغ
ُُّّ
ُّيحر
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.4) Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS
An Nur :4-5)
Surat An Nur ayat 5 berfungsi sebagai pentakhshish Surat An Nur ayat 4. Dan kata (لاا ) merupakan qarinah dari istisna’.
Sifat, sebagaimana firman Allah dalam QS An Nur ayat 27 sebagai berikut :
ايهايا
ُُّّ
نيلَّا
ُُّّ
اونما
ُُّّ
لَ
ُُّّ
ُّاولحدت
ُُّّ
تاويب
ُُّّ
يرغ
ُُّّ
كتويب
ُُّّ
تىح
ُُّّ
اوسن أت ست
ُُُّّّو
ُُّّ
اوملست
ُّ
لىع
ُّ
اهلها
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu, sebelum meminta izin dan memberi salam
kepada penghuninya.”
Syarat, sebagaimana dalam QS An Nur ayat 33 sebagai berikut :
16
ففعت سيلو
ُّ
نيلَّا
ُّ
لَ
ُّ
نوديج
ُّ
احكان
ُّ
تىح
ُّ
ميهنغي
ُّ
الله
ُّ
نم
ُّ
لهضف
“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu
mengetahui pada mereka terdapat kebaikan.”
Pada ayat ini , perintah untuk melakukan perjanjian ditakhshish dengan syarat majikan mengetahui adanya kebaikan, baik sebelum atau sesudah menandatangani perjanjian.
Ghayah atau batas penghabisan (pembatasan).
Seperti dalam surat Al Isra’ ayat 15 :
.
امو
ُّ
انك
ُّ
يبذعم
ُّ
تىح
ُّ
ُّثعبن
ُّ
ُّلَوسر
“…dan Kami tidak akan mengazab, sampai Kami mengutus seorang rasul.”
Lafadz wa ma kunna mu’adzibiina (Kami tidak
akan mengazab) pada ayat di atas bersifat umum. Akan tetapi keumumannya dipersempit
pengertiannya dengan
adanya ghayah (pembatasan), yaitu lafadz hatta
nab’atsa rasuulan (sampai Kami mengutus seorang
rasul).
Badal ba’da min kull (mengganti sebagian dari
keseluruhannya)
وُّ
لله
ُّ
لىع
ُّ
سانلا
ُّ
حج
ُّ
ُّتيبلا
ُّ
نم
ُّ
عاطت سا
ُّ
هيلا
ُّ
لايبس
“…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yakni orang-orang
yang sanggup mengadakan perjalanan.” (Qs Ali
17
Melaksanakan ibadah haji merupakan kewajiban seorang muslim, tetapi keumuman tersebut dipersempit , yaitu hanya bagi orang yang mampu saja.
7. Mukhashshish Munfashil
Mukhashshish munfashil merupaka kebalikan dari mukhashshish muttashil, dimana antara ‘am
dengan mukhashshish dipisahkan oleh suatu hal, sehingga antara keduanya tidak disebutkan dalam satu kalimat. 1Takhshish untuk kategori ini dapat
berupa nash Al Quran, hadist nabi, ijma’, maupun
qiyas.
1Acep Hermawan. Ulumul Qur’an. (Bandung: Remaja
18
Bab 2 : Khas
A. Pengertian Al KhasLafadz khas merupakan lawan dari lafadz ‘am, jika lafadz ‘am memberikan arti umum, yaitu suatu
lafadz yang mencakup berbagai satuan-satuan yang bnyak, maka lafadz khas adalah suatau lafadz yang menunjukan makna khusus.
Definisi lafadz khas dari para ulama adalah sebagai berikut :1
1. Manna al-Qaththan
Menurut Manna al-Qaththan, lafadz khas adalah lafadz yang merupakan kebalikan dari
lafadz ‘am, yaitu yang tidak menghabiskan semua
apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan. 2. Mushtafa Said al-Khin
Menurut Mushtafa Said al-Khin, lafadz khas adalah setiap lafadz yang digunakan untuk menunjukkan makna satu atas beberapa satuan yang diketahui.
3. Abdul Wahhab Khallaf
Sedangkan menurut Abdul Wahhab Khallaf, lafadz khas adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan satu orang tertentu.
19 B. Karakteristik Lafadz Khas
Berdasarkan definisi lafadz khas sebagaimana yang telah diebutkan sebelumnya, maka lafadz khas dapat diketahui dengan karakteristik sebagai berikut :
Lafadz tersebut menyebutkan tentang nama seseorang, jenis, golongan, atau nama sesuatu, seperti dalam surat Al Fath ayat 29:
دمحم
ُّ
لوسر
ُُّّ
الله
ُّ
لَّاو
ني
ُّ
هعم
ُّ
ءادشا
ُّ
لىع
ُُّّ
ُّرافكلا
“Muhammad itu adalah Rasul Allah dan orang
-orang yang bersama dengan dia adalah keras (tegas) terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka…”(QS Al
Fath/48 : 29)
Lafadz Muhammad pada ayat tersebut adalah lafadz khas, karena hanya menunjukkan satu pengertian, yaitu Nabi Muhammad SAW. Lafadz tersebut menyebutkan jumlah atau bilangan tertentu dalam satu kalimat. Seperti dalam firman Allah :
تاقلطلماو
ُّ
نصبتري
ُّ
نهسفنبا
ُّ
ةثلاث
ُّ
ُّءورق
“Dan wanita-wanita yang ditalak (oleh suaminya) hendaklah ia menahan diri
(menunggu) selama tiga kali quru’.” (QS Al
Baqarah : 228)
Ayat di atas menjelaskan bahwa iddah seorang
wanita yang ditalak suaminya adalah tiga kali quru’.
Lafadz tsalatsah pada ayat tersebut merupakan lafadz khas, arena secara eksplisit menyebutkan
20
tentang jumlah atau bilangan tertentu. Lafadz tersebut dibatasi dengan suatu sifat tertentu atau diidhafahkan.
امو
ُُّّ
نكَ
ُُّّ
نمؤلم
ُُّّ
نا
ُُّّ
لتقي
ُُّّ
انمؤم
ُُّّ
الا
ُُّّ
ائطخ
ُُّّ
ُّنمو
ُُّّ
لتق
ُُّّ
انمؤم
ُُّّ
ائطخ
ُّ
ريرحتف
ُّ
ةبقر
ُّ
انمؤم
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman.”(QS An Nisa : 92)
Lafadz raqabah mu’minah (hamba sahaya yang
beriman) dalam ayat tersebut merupakan lafadz khas, karena menunjukkan pada satu jenis tertentu, yaitu hamba sahaya yang beriman.
C. Dalalah lafazh khas
Menurut jumhur ulama telah sepakat bahwa
lafazh khash ini dalam nash syara’ menunujuk kepada dalalah qath’iyah. Artinya selama lafazh
tersebut tidak ada qarinah yang menunujukan
kepada makna lain, maka hukumnya tetap qath’i
seperti firman Allah :
نم
ُُّّ
ُّعتتم
ُُّّ
ةرمعلبا
ُُّّ
لىا
ُُّّ
جلحا
ُُّّ
سيت ساافم
ُُّّ
نم
ُُّّ
يدهلا
ُُّّ
نفم
ُُّّلم
ُُّّ
ديج
ُُّّ
ُّمايصف
ُُّّ
ةثلث
ُّ
مياا
ُّ
في
ُّ
جلحا
ُّو
ُّ
ةعب س
ُُّّ
اذا
ُّ
ُّتعجر
“ tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh
hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali”
21
Lafazh tsalasah dalam ayat tersebut adalah lafazh khas yang tidak mungkin untuk diartikan dengan makna selain tiga hari. Oleh karenanya
dalalah maknanya adalah qath’iyah (pasti) dan dalalah hukumnya pun juga qath’i. Lafazh khas
yang ditemui dalam nash wajib diartikan sesuai dengan arti hakiki selama tidak dinemukan dalil yang memalingkan dari arti hakiki ke arti lain.1