• Tidak ada hasil yang ditemukan

referat status epileptikus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "referat status epileptikus"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan yang mewakili keadaan darurat medis dan neurologis. Menurut International League Against Epilepsy, status epileptikus adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih.1

Studi berbasis populasi di Richmond, VA, Delorenzo et al., memperkirakan bahwa 50,000-200,000 kasus status epileptikus terjadi setiap tahun di Amerika Serikat.2 Angka kematian untuk status epileptikus cukup tinggi, sekitar 22%-25% walaupun dengan terapi obat agresif. Aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 60 menit dan usia lanjut adalah faktor yang berperan memperburuk diagnosis.3

Berdasarkan gejala kejang yang menyertainya, status epileptikus diklasifikasikan menjadi tiga yakni status epileptikus konvulsif, status epileptikus non-konvulsif, dan status epileptikus refrakter.4 Kejang tonik klonik pada status

epileptikus konvulsif menandakan keberlanjutan aktivitas kejang. Hal ini tidak terjadi pada status epileptikus non konvulsif.3 Etiologi terjadinya status epileptikus adalah usia, penyakit cerebrovskular, hipoksia, gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi trauma, dan idiopatik.4

Pada status epileptikus, baik konvulsif maupun non-konvulsif, tujuan pengobatan adalah untuk menghentikan secepatnya aktivitas kejang. Diperlukan penatalaksanaan yang agresif. Obat yang sering digunakan adalah golongan benzodiazepine, fosfeitoin dan fenobarbital. The American Acedemy of Neurology merekomendasi bahwa semua pasien status epileptikus juga mendapat tiamin (vitamin B1) dan dektrosa 50%.3

(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1 DEFINISI

Status epileptikus menurut Epilepsy Foundation of America’s Working Group on Stastus Epileptic adalah sebagai bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit atau dua atau lebih bangkitan, dimana diantara dua bangkitan tidak terdapat pemulihan kesadaran. Penanganan kejang harus dimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu kejang.5

2 EPIDEMIOLOGI

Jumlah kasus status epileptikus di Amerika Serikat berdasarkan studi epidemiologi yaitu sekitar 102.000-152.000 episode per-tahun dan sebanyak 55.000 kematian per-tahun telah dikaitkan dengan status epileptikus.1 Status

epileptikus merupakan keadaan kejang terus menerus, dengan kejadian tahunan berkisar 10-86 per 100.000 orang.6

3 ETIOLOGI

Etiologi status epileptikus tergantung usia dan menentukan prognosis. Setelah usia 60 tahun penyakit serebrovaskular beresiko menimbulkan kejang. Penelitian yang dipimpin oleh Richmon di Virginia USA, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun yang menderita status epileptikus, 35% di antaranya disebabkan oleh acute cerebrovascular (CVA). Etiologi lainnya hipoksia, gangguan metabolik, alkohol, tumor, infeksi trauma, dan idiopatik.4

Penelitian di Rochester, Minnesota, USA mengidentifikasi bahwa dementia ditambahkan dalam daftar penyebab status epileptikus. Penelitian di California

(3)

juga mengidentifikasistroke sering menyebabkan generalized status epilepticus (GSE).4

4 KLASIFIKASI7

Berdasarkan lokasi, awal bangkitan status epileptikus terjadi dari area tertentu di korteks ( Partial Onset ) atau kedua hemisfer otak ( Generalized onset ) sedangkan jika berdasarkan pengamatan klinis, status epileptikus terbagi atas konvulsif (bangkitan umum tonik-klonik) dan non-konvulsif (bangkitan bukan umum tonik-klonik).

Banyak pendekatan klinis yang diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus yaitu status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana dan kompleks).

5 PATOFISIOLOGI

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.3

Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut: 3

- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan;

- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun, apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan;

(4)

- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA);

- Ketidak seimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktifitas kejang.3

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.3

Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun status epileptikus melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai kejang tersebut. Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan yang mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus menerus yang abnormal, eksitasi yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan penghambatan yang tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada status epileptikus lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama berlangsungnya status.8

(5)

Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur limbik seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak masih dapat mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah, dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai dan mungkin akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang terjadi terus menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi, leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai.8

Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan banyak efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan mikroglia - yang mungkin berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor yang menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja - yang kemudian bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical. Aktifasi ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat. Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh glutamat - glutamic-mediated excitotoxicity-khususnya di hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang, receptor-gated calcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA. Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar.9

6 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis status epileptikus berbeda tergantung pada masing-masing jenisnya. Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling

(6)

sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.7

A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epilepticus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik tonik-klonik umum. Pada status klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran di antara serangan dan peningkatan frekuensi.7

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hiperpnea dengan retensi karbondioksida. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hiperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.7

B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epilepticus)

Ada kalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.8 C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epilepticus)

(7)

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.7

D. Status Epileptikus Mioklonik

Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselopati. Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosis yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.7

E. Status Epileptikus Absens

Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai slow motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Status epileptikus memberikan respon yang baik terhadap Benzodiazepin intravena.7

F. Status Epileptikus Non Konvulsif

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus

(8)

konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoid, delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.7

G. Status Epileptikus Parsial Sederhana a. Status Somatomotorik

Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermiten atau gangguan berbahasa (status afasik).7

b. Status Somatosensorik

Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.7

H. Status Epileptikus Parsial Kompleks

Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan di antara episode. Pada SE parsial kompleks juga dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus

(9)

temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.7

7 DIAGNOSIS 2.7.1 ANAMNESIS

Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk didiagnosa, dan kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosis seringkali terjadi. Ketepatan diagnosis pada pasien dengan epilepsi bergantung terutama pada penegakan terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi. Hal ini mengarahkan pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang harus menelusuri secara teliti tentang bagaimana perasaan pasien sebelum gangguan, selama (apabila pasien sadar) dan setelah serangan, dan juga memperoleh penjelasan yang jelas tentang apa yang dilakukan pasien setiap tahap kejang dari seorang saksi. Seseorang tidak dapat langsung menegakkan diagnosa hanya dengan gejala klinis yang ada melalui penilaian serangan. Pemeriksaan, seperti EEG, sebaiknya digunakan untuk menunjang perkiraan diagnostik yang didasarkan pada informasi klinis. Diagnostik secara tepat selalu jauh lebih sulit dilakukan pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran tanpa adanya saksi mata.10

Gejala klinis yang dapat dilihat secara nyata adalah kejang dengan tonik, klonik, atau tonik-klonik pada gerakan tungkai. Pasien mungkin hanya menunjukkan gerakan kejang dengan amplitudo yang kecil pada wajahnya, tangan, kaki dan sentakan nistagmoid pada kedua matanya. Jika kejang ini berhenti, pasien akan tetap dalam kondisi tidak sadar dan tidak memberikan respon atau kemungkinan pasien bingung kemudian kejang kembali terjadi.8

Pada pemeriksaan neurologis, pasien tidak akan memberikan respon terhadap komando verbal. Dia akan meningkatkan atau menurunkan tonus otot,

(10)

dengan gerakan yang tidak perlu pada tungkai, dan akan memperlihatkan refleks Babinski positif. Umumnya, tanda neurologis yang ditemukan bersifat simetris.8

Kadang-kadang terdapat pasien dengan kebingungan yang menetap, gangguan kesadaran, dan mampu menggerakkan kaki dan berjalan yang dimiliki oleh pasien status epileptikus yang disebut juga status epileptikus non-konvulsif (complex partial epilepticus). Pada pasien seperti ini, gambaran hasil EEG yang abnormal dan terjadi secara persisten dan spesifik, menegakkan diagnosis.8

Uraian di bawah ini dapat menjelaskan tentang diagnosis diferensial pada epilepsi bentuk lain.10

1 Bangkitan tonik-klonik harus dibedakan dari penyebab serangan gangguan kesadaran lainnya. Gangguan kardiovaskuler adalah penentu utama yakni berupa pusing biasa dan pingsan vasovagal pada pasien yang muda, aritmia, dan hipotensi postural pada pasien yang tua. Kebingungan seringkali terjadi disebabkan oleh kejang mioklonik singkat yang kadang-kadang disertai pingsan yang disebabkan oleh banyak faktor. Yang cukup memburamkan diagnosis adalah serangan non-epileptik yang bersifat psikogenik. Diabetes yang dalam masa terapi harus segera dicurigai merupakan hipoglikemia. Pada umumnya, menggigit lidah, nafas sesak dan tidak teratur, kejang hebat, inkontinensia, post-ictal confusion, dan nyeri tungkai merupakan ciri dari epilepsi tonik-klonik

2 Bangkitan absen atau Absence Seizure memberikan gambaran jelas berupa hilangnya kesadaran dalam beberapa waktu secara tiba-tiba. Selama hilangnya kesadaran, penderita seakan-akan sadar namun seperti orang yang menghayal dan tiba-tiba kembali melanjutkan aktifitas seakan tidak pernah terjadi bangkitan. Namun dagnosis untuk bangkitan jenis ini diburamkan oleh menghayal dan ketidakfokusan terhadap lingkungan. 3 Kejang motorik fokal tidak memiliki diagnosis diferensial

4 Kejang sensorik fokal dapat diburamkan oleh transient ischaemic attack tetapi seringkali terjadi dalam waktu yang lebih singkat dan lebih sering, dan menyebabkan lebih banyak menyebabkan kesemutan daripada kebas.

(11)

5 Kejang lobus frontal dapat diburamkan oleh dystonia. Penyakit ini sendiri menunjukkan perubahan perilaku yang aneh akibat fungsi lobus frontal yang terganggu.

6 Kejang lobus temporal harus dibedakan dengan ansietas dan serangan panik. Serangan yang diprovokasi oleh berbagai penyebab, atau yang lebih dari beberapa menit, sepertinya tidak disebabkan oleh epilepsi lobus temporal. Serangan yang melibatkan tingkah laku aneh yang membutuhkan kewaspadaan, pikiran yang jernih dan/atau tingkah laku yang terkoordinasi dengan baik seperti berkelahi dan merampok toko tidak menggambarkan epilepsi sama sekali.

Di luar dari temuan akurat yang berkaitan dengan serangan, terdapat banyak informasi lebih lanjut yang perlu ditelusuri melalui anamnesis dan pemeriksaan. Jika serangan tersebut diduga akan berlanjut sebagai epilepsi, penelusuran harus disusun sesuai dengan penyebab epilepsi. Epilepsi umum primer-tonik-klonik umum primer, bangkitan absen dan mioklonik, dengan atau tanpa fotosensitivitas-memiliki kaitan dengan keluarga, sehingga bertanya mungkin akan mengungkap anggota keluarga lainnya yang juga menderita serangan epilepsi. Epilepsi fokal bentuk apapun memperlihatkan adanya patologi intrakranial. Patologi paling umum yang dimaksud adalah pembentukan jaringan ikat pada satu daerah yang merupakan kelanjutan dari beberapa proses perjalanan penyakit aktif sebelumnya, meskipun kadang-kadang serangan epilepsi mungkin terjadi ketika terdapat proses patologi yang masih berlangsung di fase aktif.10

- Setelah trauma otak saat melahirkan; - Setelah trauma pada otak dan kepala;

- Selama atau setelah meningitis, ensefalitis, atau abses otak;

- Pada saat atau sisa dari infark serebri, perdarahan serebral, atau perdarahan sub arachnoid;

- Hasil dari trauma bedah yang tak terhindarkan.

Kadang-kadang epilepsi dicetuskan oleh gangguan biokimia di otak seperti:

- Selama putus konsumsi obat dan alkohol;

- Selama koma hepatik, uremik, dan hipoglikemik;

- Sementara mengonsumsi obat penenang atau antidepresan.

(12)

Yang juga perlu dipikirkan adalah kemungkunan epilepsi yang dicetuskan oleh tumor otak. Tumor otak merup[akan penyebab yang tidak sering menyebabkan epilepsi, namun tidak boleh disingkirkan tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut. Epilepsi yang onsetnya dimulai pada umur dewasa, khususnya dengan tanda-tanda defisit neurologis fokal dan terasosiasi, kemungkinan besar disebabkan oleh tumor.10

Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu dintanyakan kepada pasien maupun saksi:10

- Family history - Past history - Systemic history - Alcoholic history - Drug hostory

- Focal neurological symptoms and signs 2.7.2 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik sangat penting karena mungkin dapat mengungkapkan tanda neurologis yang abnormal yang mengindikasikan temuan sebagai berikut:10

- Patologi intrakranial di masa lalu

- Patologi intrakranial yang dialami sekarang

- Perkembangan patologi intrakranial yang dimaksud di atas

2.7.3 EEG DAN PEMERIKSAAN LAINNYA

Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran aktifitas listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi spesifik kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan hasil yang abnormal.10

EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa epilepsi secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosa dan membantu pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus diingat10 :

(13)

- 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang ringan dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau kedua lobus temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi yang tidak pernah mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal pada EEG;

- 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang normal pada masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG dimasukkan pada periode tidur.

Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan yang sering, karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang terjadi. Namun dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan EEG.10

Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu penting pada pasien kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG. Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang memberikan informasi yang dibutuhkan.10

Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan pemeriksaan di atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara seksama untuk menegakkan diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG.10

8 PENATALAKSANAAN11

 Prinsip:

1 Stabilisasi pasien dengan prinsip kegawadaruratan umum (ABC) 2 Menghentikan bangkitan dan mencari etiologi simultan

3 Mecegah bangkitan ulang atau mengatasi penyulit 4 Mengatasi factor pencetus

(14)

 Bila setelah menit ke 60 belum teratasi (refrakter), sebaiknya perawatan dilakukan di ICU

A. Status Epileptikus Konvulsif

Stadium Penatalaksanaan

Stadium I (0-10 menit) - Memperbaiki fungsi kardio-respirasi

- Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi bila perlu

Stadium II (10-60 menit) - Pemeriksaan status neurologic

- Pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu

- Monitor status metabolic, AGD dan status hematologi

- Pemeriksaan EKG

- Memasangi infus pada pembuluh darah besar dengan NaCl 0,9%. Bila akan digunakan 2 macam OAE pakai jalur infus

- Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan laboratorium (AGD, Glukosa, fungsi ginjal dan hati, kalsium, magnesium, pemeriksaan lengkap hematologi, waktu pembekuan dan kadar OAE), pemeriksaan lain sesuai klinis

- Pemberian OAE emergensi : Diazepam 0.2 mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/menit IV dapat diulang bila kejang masih berlangsung setelah 5 menit

- Berilah 50 cc glukosa 50% pada keadaan hipoglikemia

- Pemberian tiamin 250 mg intervena pada pasien alkoholisme

- Menangani asidosis dengan bikarbonat Stadium III (0-60/90

menit)

- Menentukan etiologi

- Bila kejang berlangsung terus setelah pemberian lorazepam / diazepam, beri phenytoin iv 15 – 20 mg/kg dengan kecepatan < 50 mg/menit. (monitor tekanan darah dan EKG

(15)

pada saat pemberian)

- Atau dapat pula diberikan fenobarbital 10 mg/kg dengan kecepatan < 100 mg/menit (monitor respirasi pada saat pemberian)

- Memulai terapi dengan vasopressor (dopamine) bila diperlukan

- Mengoreksi komplikasi

Stadium IV (30/90 menit) - Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, pasien dipindah ke ICU, diberi Propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu) atau Thiopenton (100-250 mg bolus iv pemberian dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG terakhir, lalu dilakukan tapering off. Iviemonitor bangkitan dan EEG, tekanan intracranial, memulai pemberian OAE dosis rumatan

B. Status Epileptikus Non Konvulsif11

Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain

SE Lena Benzodiazepin IV/Oral Valproate IV

SE Parsial Complex Klobazam Oral Lorazepam / Fenintoin / Fenobarbital IV

SE Lena Atipikal Valproat Oral Benzodiazepin,

Lamotrigin, Topiramat, Metilfenidat, Steroid Oral

SE Tonik Lamotrigine Oral Metilfenidat, Steroid

SE Non-konvulsif pada pasien koma Fenitoin IV atau Fenobarbital Anastesi dengan tiopenton, Penobarbital, Propofol atau Midazolam

C. Status Epileptikus Refrakter11

- Terapi bedah epilepsy

- Stimulasi N.Vagus

(16)

- Modifikasi tingkah laku

- Relaksasi

- Mengurangi dosis OAE

- Kombinasi OAE

Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsy refrakter

Kombinasi OAE Indikasi

Sodium valproate + etosuksimid Bangkitan Lena

Karbamazepin + sodium valproate Bangkitan Parsial Kompleks

Sodium valproate + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum Topiramat + Lamotrigin Bangkitan Parsial/Bangkitan Umum

9 PROGNOSIS

Prognosis status epileptikus bergantung pada respon terhadap pengobatan. Dalam studi yang dilakukan oleh Koperasi SE Veteran Affairs menunjukkan bahwa sebesar 56% dari pasien yang terdiagnosis jelas mengalami GCSE (General Convulsive Status Epilepticus) yang memberikan respon terhadap pengobatan tahap awal. Sedangkan untuk jenis status epileptikus halus (Subtle SE) hanya 15% pasien yang menanggapi pengobatan awal. Sehingga jelas terlihat bahwa prognosis juga tergantung terhadap baik buruknya respon pasien terhadap pengobatan yang diberikan. Semakin rendah respon terhadap pengobatan, semakin buruk prognosis.7

2.10. KOMPLIKASI

Komplikasi status epileptikus bervariasi. Komplikasi sistemik meliputi hipertermia, asidosis, hipotensi, kegagalan pernapasan , rabdomiolisis, serta aspirasi. 7

(17)

BAB III KESIMPULAN

Status epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus ditangani segera dan secepat mungkin, karena melibatkan proses fisiologis pada sistem homeostasis tubuh, kerusakan syaraf dan otak yang dapat mengakibatkan kematian. Penanganannya tidak hanya menghentikan kejang yang sedang berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit dasar dari status tersebut. seperti umur, jenis kejang, etiologi, jenis kelamin perempuan, durasi dari status epileptikus, dan lamanya onset sampai penanganan merupakan faktor prognostik penting.

Dengan lebih dipahaminya dasar dari patofisologi penyakit ini maka diharapkan prognosis pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Deshpande LS, Lou JK, Mian A, Blair RE, Sombati S, Attkisson E, et al. Time course and mechanism of hippocampal neuronal death in an in vitro model of status epilepticus: Role of NMDA receptor. Eur J Pharmacol 2008;583(1):73-83.

(18)

2. Medscape Emedicine. Apr 11, 2014. Status Epileptic http://emedicine.medscape.com diakses pada 9 Agustus 2015

3. Lombardo MC. Gangguan kejang. In: Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi. 6 ed. Jakarta: EGC; 2005. p. 1158-1161.

4. Assis TMRd, Costa G, Bacellar A, Orsini M, Nascimento OJM. Status epilepticus in the elderly: epidemiology, clinical aspects and treatment. Neurology 2012;4(17):78-84.

5. Standar Pelayanan Medik (SPM) Perdossi. Jakarta: Perdossi 2008

6. Hughes R. Neurological emergencies. 4 ed. London: BMJ Publishing Group; 2003.

7. Medscape Reference. May 26, 2011. Status Epileptikus.

http://emedicine.medscape.com diakses pada 30 Juni 2012 20.29 WIB.

8. Davis LE, King MK, Schultz JL. Fundamentals of neurological disease -an introductory text. New york: Demos medical publishing; 2005.

9. Hughes R. Neurological emergencies. 4 ed. London: BMJ Publishing Group; 2003.

10. Wilkinson I, Lennox G. Essential neurology. 4 ed. Victoria, Australia: Blackwell Publishing; 2005.

11. Epilepsi KS. Pedoman tata laksana epilepsi. 3 ed. Jakarta: Perdossi; 2008.

Referensi

Dokumen terkait