6
Nusa Lembongan merupakan salah satu dari tiga pulau di Kecamatan Nusa Penida dan pulau terbesar kedua setelah Pulau Nusa Penida. Letak Nusa Lembongan berada disebelah Tenggara dari daratan Pulau Bali. Letak Nusa Lembongan bersebelahan dengan Nusa Ceningan di Selatannya dipisahkan oleh Selat Ceningan dan disebelah Tenggaranya adalah Pulau Nusa Penida yang dipisahkan oleh Selat Toyapkeh. Sebelah Utara pulau ini adalah Selat Badung dan Samudra Hindia sebelah Barat Daya.
Secara geografis, Nusa Lembongan terletak antara 08o30'43'' LS - 08o41'43'' LS dan 115o25'36'' BT - 115o28'20'' BT. Suhu rata-rata di perairan Nusa Lembongan berkisar 25 - 33 oC. Secara administratif, Nusa Lembongan terbagi atas dua desa yaitu Desa Lembongan dan Desa Jungutbatu, termasuk kedalam Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali (Alhanif 1996).
Pola mata pencaharian penduduk di Nusa Lembongan ini sangat terkait dengan sumberdaya laut, khususnya perairan pantai. Sebagian besar mata pencaharian penduduknya sebagai nelayan penangkap ikan dan terutama sebagian besar sebagai nelayan budidaya rumput laut. Oleh sebab itu, perekenomian penduduk Nusa Lembongan mengandalkan budidaya rumput laut dan perikanan.
Kawasan Nusa Lembongan merupakan kawasan wisata budaya dan bahari yang telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tk. I Bali Nomor 528 tahun 1993 yang perkembangan pariwisatanya cukup pesat. Kehidupan dan budidaya tradisional masyarakat serta pemandangan bawah air disekitar pulau telah banyak menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
2.2 Morfologi dan Klasifikasi Lamun
Lamun (seagrass) merupakan kelompok tumbuhan berbunga yang terdapat di lingkungan laut dan hidup di perairan pantai yang dangkal. Secara struktural dan fungsional, lamun memiliki kesamaan dengan tumbuhan (rumput)
daratan. Bagian tubuh lamun terdiri dari daun, tangkai, akar dan struktur reproduksi (bunga dan buah). Seperti halnya rumput di darat, lamun mempunyai tunas berdaun tegak dan tangkai yang efektif untuk berkembang biak.
Halophila ovalis Enhalus acoroides
Halodule uninervis Halophila spinulosa
Gambar 1. Morfologi Umum Tumbuhan Lamun
Terdapat empat ciri-ciri pada lamun menurut Endrawati (2000), yakni: 1. Toleransi terhadap kadar garam lingkungan
2. Tumbuh pada perairan yang selamanya terendam
3. Mampu bertahan dan mengakar pada lahan dari hempasan ombak dan arus 4. Menghasilkan polinasi hydrophilous (benang sari yang tahan terhadap
Semua lamun memiliki batang (rhizoma). Perkembangbiakan secara vegetatif bergantung pada tumbuhan dan percabangan rhizomanya. Akar lamun memiliki fungsi untuk menancapkan tumbuhan ke substrat dan menyerap zat-zat hara. Lamun mendiami lingkungan perairan, maka akarnya tidak penting dalam menyerap air dibandingkan dengan akar tumbuhan daratan, zat hara juga dapat langsung diserap dari kolom air melalui daun-daunnya (Yulianda 1995).
Lamun termasuk tumbuhan yang berpembuluh. Pembuluh berfungsi sebagai alat transport air, unsur hara dan udara yang dibutuhkan dalam pertumbuhan. Adanya sistem pembuluh ini maka lamun dapat tumbuh pada substrat pasir atau lumpur yang memungkinkan pemanfaatan unsur hara di dasar perairan dalam konsentrasi yang tinggi (Philips and Menez 1988).
Sebanyak 60 jenis lamun yang terdapat di seluruh dunia terbagi dalam 12 genera, 4 famili dan 2 ordo. Di perairan Indonesia ditemukan 12 jenis lamun dari famili Hydrocharitaceae dan Potamogetonaceae (Gambar 2). Keduabelas jenis lamun yang tumbuh di perairan Indonesia disajikan pada Tabel 2.1. Jenis lamun
Halophila spinulosa hanya terdapat di Kepulauan Riau, Anyer, Baluran Utara dan Papua. Halophila decipiens hanya terdapat di Teluk Jakarta, Teluk Sumbawa dan Kepulauan Aru. Thalassodendron ciliatum umumnya terdapat di wilayah timur Indonesia (Den Hartog 1970).
Gambar 2. Jenis-jenis Lamun di Indonesia (Sumber: http://seagrass-indonesia.oseanografi.lipi.go.id)
Lamun termasuk ke dalam sub kelas Monocotyledoneae dan merupakan tumbuhan berbunga (Kelas Angiospermae). Secara lengkap, klasifikasi beberapa jenis tumbuhan lamun yang terdapat di perairan pantai Indonesia (Yulianda 1995) adalah sebagai berikut:
Divisi : Anthophyta
Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Helobiae
Famili : Hydrocharitaceae Genus : Enhalus
Spesies : Enhalus acoroides
Genus : Halophila
Spesies : Halophila decipiens Halophila ovalis
Halophila spinulosa
Halophila minor
Genus : Thalassia
Spesies : Thalassia hemprichii
Famili : Potamogetonaceae Genus : Cymodocea
Spesies : Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Genus : Halodule
Spesies : Halodule pinifolia
Halodule uninervis
Genus : Syringodium
Spesies : Syringodium isoetifolium
Genus : Thalassodendron
Tabel 1. Deskripsi Substrat Jenis-jenis Lamun di Indonesia
No. Jenis Lamun Deskripsi
1 Cymodocea rotundata Tumbuh dominan di daerah intertidal
2 Cymodocea serrulata Tumbuh hanya di daerah yang berbatasan
dengan mangrove
3 Enhalus acoroides Tumbuh di substrat pasir berlumpur
4 Halodule pinifolia Spesies pionir, dominan di daerah intertidal
5 Halodule uninervis Tumbuh pada rataan terumbu karang yang
rusak
6 Halophila minor Tumbuh pada substrat berlumpur
7 Halophila ovalis Tumbuh di daerah yang intensitas
cahayanya kurang
8 Halophila decipiens Tumbuh pada substrat berlumpur
9 Halophila spinulosa Tumbuh pada rataan terumbu karang yang
rusak
10 Syringodium isoetifolium Tumbuh pada substrat lumpur yang dangkal
11 Thalassia hemprichii Tumbuh pada substrat pasir berlumpur dan
pecahan karang
12 Thalassodendron ciliatum Tumbuh pada daerah subtidal
(Sumber: Bengen 2004)
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang ditumbuhi oleh lamun yang terdapat di laut. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat yang berlumpur sampai berbatu. Padang lamun lebih sering ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang.
Gambar 3. Ekosistem Lamun (Sumber: www.statesymbolsusa.org)
2.3 Penyebaran Padang Lamun
Zona penyebaran lamun secara umum berkesinambungan, namun biasa terdapat perbedaan pada komposisi jenisnya maupun luas daerah penutupannya. Pola penyebaran lamun sangat tergantung pada topografi dasar pantai, kandungan nutrien dasar perairan dan beberapa faktor fisik dan kimia lainnya. Kadang terlihat pola penyebaran yang tidak merata dengan kepadatannya yang relatif rendah dan bahkan terdapat semacam ruang-ruang kosong di tengah padang lamun yang tidak tertumbuhi oleh lamun. Kadang juga terlihat pola penyebaran yang berkelompok. Banyak juga terdapat pola penyebaran yang merata tumbuh hampir pada seluruh garis pantai dengan kepadatan yang sedang dan bahkan tinggi.
Penyebaran padang lamun di daerah Bali berada di wilayah pesisir Bali Tenggara seperti perairan Pantai Timur Nusa Dua, Pantai Sanur, Pulau Serangan dan Pulau Lembongan. Khusus di perairan Pantai Sanur, padang lamun sangat melimpah pada laguna dan merupakan jenis yang dominan. Ekosistem padang lamun di Bali sudah banyak terdegradasi akibat adanya aktivitas masyarakat dan pembangunan (Arthana 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alhanif (1996) menyatakan bahwa penyebaran jenis Cymodocea rotundata saja yang ditemukan pada setiap stasiun pengamatan tetapi untuk jenis Thalassia hemprichii termasuk jenis yang paling banyak ditemukan dalam plot transek dan keberadaannya paling mendominasi di perairan Nusa Lembongan, Provinsi Bali.
Penyebaran lamun hampir di seluruh perairan di dunia yang bersubstrat serta kedalamannya cocok bagi pertumbuhannya, kecuali di perairan Daerah Kutub Utara, Daerah Kutub Selatan, Amerika Latin. Biasanya komunitas ini berbatasan dengan komunitas terumbu karang di laut dan hutan mangrove di pantai. Interaksi ketiga kelompok ini telah dikemukakan oleh Ogden dan Zieman (1997) dalam UNESCO (1983), dimana terdapat lima bentuk interaksi utama, yaitu: interaksi fisik, zat makanan, zat organik terlarut, zat organik tergumpal, ruaya hewan dan dampak manusia (Gambar 4).
Gambar 4. Interaksi Terumbu Karang, Lamun, Mangrove (Sumber: http://arohmangusti.wordpress.com) 2.4 Fungsi dan Peranan Padang Lamun
Secara ekologis, padang lamun mempunyai beberapa fungsi dan peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan organisme di daerah pesisir, yaitu:
1. Produsen detritus dan zat hara.
2. Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang.
3. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini.
4. Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari.
5. Memiliki tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada dilaut dangkal.
6. Sebagai pendauran berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka dilingkungan laut. Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh alga epifit.
2.5 Parameter Lingkungan Perairan
Beberapa parameter lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun. Parameter lingkungan utama yang mempengaruhi distribusi dan pertumbuhan ekosistem padang lamun adalah sebagai berikut :
2.5.1 Parameter Lingkungan Fisik 2.5.1.1 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat dipergunakan sebagai indikator untuk menentukan perubahan ekologi. Perubahan suhu akan mempengaruhi densitas yang pada akhirnya akan mempengaruhi gerak vertikal air laut. Sverdup et al. (1961) menyatakan bahwa suhu berpengaruh secara langsung pada kehidupan di laut, khususnya tumbuhan lamun. Pengaruh tersebut meliputi laju fotosintesa tumbuhan dan proses fisiologis khususnya metabolisme dan daur reproduksinya.
Menurut Berwick (1983) menyatakan bahwa kisaran temperatur optimal bagi spesies padang lamun adalah 28 - 30 oC sedangkan untuk fotosintesis lamun membutuhkan suhu optimum antara 25 - 35 °C. Pengaruh suhu bagi lamun sangat besar, suhu mempengaruhi proses-proses fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Proses-proses fisiologi tersebut akan menurun tajam apabila suhu perairan berada diluar kisaran tersebut.
Penelitian yang dilakukan Barber (1985) melaporkan produktivitas lamun yang tinggi pada suhu tinggi, bahkan diantara faktor lingkungan yang diamati hanya suhu yang mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas tersebut. Pada kisaran suhu 10 - 35 °C produktivitas lamun meningkat dengan meningkatnya suhu.
2.5.1.2 Kecerahan
Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Kecerahan sangat penting pada perairan alami karena erat kaitannya dengan proses fotosintesa.
Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk melaksanakan proses fotosintesis diperlihatkan dengan observasi dimana distribusinya terbatas pada daerah yang masih menerima cahaya matahari (Berwick 1983). Namun
demikian pengatan di lapangan mengatakan bahwa sebaran komunitas lamun di dunia masih ditemukan hingga kedalaman 90 m, jika kedalaman ini masih dapat cahaya matahari. Beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan muatan sedimen pada bahan air akan berakibat pada tingginya kekeruhan perairan, sehingga berfungsi mengurangi penetrasi cahaya. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan pada produktivitas primer ekosistem padang lamun (Dahuri 2003).
2.5.1.3 Kecepatan Arus
Arus merupakan gerakan air yang mengakibatkan perpindahan horizontal dan vertikal massa air. Bagi padang lamun, kecepatan arus mempunyai pengaruh yang sangat nyata. Produktivitas padang lamun tampak dari pengaruh keadaan kecepatan arus perairan.
Produktivitas padang lamun juga dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan. Pada saat kecepatan arus sekitar 0,5 m/det, jenis turtle grass (Thalassia testudium) mempunyai kemampuan maksimal untuk tumbuh (Dahuri 2003). 2.5.1.4 Kedalaman
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan
Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo et al. 1987).
Kedalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Pertumbuhan tertinggi Enhalus acoroides pada lokasi yang dangkal dengan suhu tinggi. Selain itu di Teluk Tampa Florida ditemukan kerapatan T. testudinun tertinggi pada kedalaman sekitar 100 cm dan menurun sampai pada kedalaman 150 cm (Hutomo et al. 1987).
2.5.1.5 Substrat
Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat (Tabel 1). Di Indonesia padang lamun dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang (Kiswara dan
Hutomo 1985). Kedalaman substrat berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup dua hal, yaitu pelindung tanaman dari arus laut dan tempat pengolahan serta pemasok nutrien (Berwick 1983).
2.5.2 Parameter Lingkungan Kimia 2.5.2.1 Salinitas
Salinitas menunjukkan konsentrasi semua ion yang terlarut dalam air dan dinyatakan dalam permil. Perairan laut mempunyai kestabilan salinitas yang relatif tinggi dan nilainya berkisar antara 34 - 35 o/oo (Odum 1971). Sebaran salinitas dilaut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji 1993).
Spesies lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar yaitu antara, 10 dan 40 o/oo. Salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya ekosistem padang lamun adalah meningkatnya salinitas yang diakibatkan oleh berkurangnya suplai air tawar dari sungai (Bapedal 1996).
Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih lamun. Pada jenis Amphibolisantartica
biomassa, produktivitas dan kecepatan pulih tertinggi ditemukan pada salinitas 42,5 o/oo. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, namun jumlah cabang dan lebar daun semakin menurun (Walker 1985). 2.5.2.2 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) menyatakan nilai intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan encer dan mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Di lingkungan perairan laut, nilai pH optimum untuk pertumbuhan lamun berkisar 7,3 – 9,0 (Phillips 1998 dalam Zulkifli dan Efriyeldi 2003). Perubahan nilai pH dapat dipengaruhi oleh adanya aktivitas fotosintesa, suhu perairan, terdapatnya unsur-unsur kimia (anion dan kation), serta adanya masukan bahan-bahan yang bersifat asam atau basa ke perairan (Pescod 1973 dalam Wardoyo 1975).
2.6 Pengelolaan Ekosistem Lamun
Pelestarian ekosistem padang lamun merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegitan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya apabila keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya alam diberikan porsi yang lebih besar.
Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian areal padang lamun. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan ekosistem pesisir perlu untuk diarahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam pesisir (Bengen 2004).
Salah satu strategi penting yang saat ini sedang banyak dibicarakan orang dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, termasuk ekosistem padang lamun adalah pengelolaan berbasis masyarakat (Community Based Management). Raharjo (1996) mengemukakan bahwa pengeloaan berbasis masyarakat mengandung arti keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di suatu kawasan. Dalam konteks ini pula perlu diperhatikan mengenai karakteristik lokal dari masayakarakat di suatu kawasan. Sering dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab kerusakan sumber daya alam pesisir adalah kegiatan pemusnahan yang dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, dalam strategi ini perlu dicari alternatif mata pencaharian yang tujuannya adalah untuk mangurangi tekanan terhadap sumberdaya pesisir termasuk lamun di kawasan tersebut.
Pengelolaan Berwawasan Lingkungan
Dalam perencanaan pembangunan pada suatu sistem ekologi pesisir dan laut yang berimplikasi pada perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam, perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara menyeluruh. Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan laut perlu
dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam setiap perencanaan pembangunan, agar dapat dicapai suatu pengembangan lingkungan hidup di pesisir dan laut dalam lingkungan pembangunan.
Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Menurut definisi, pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terletak atau berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut (Carter 1996). Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (community-base management) dapat didefinisikan sebagai proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya lautnya, dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan, keinginan, dan tujuan serta aspirasinya (Dahuri 2003).
2.7 Pemetaan Padang Lamun dengan Penginderaan Jauh
Teknologi satelit penginderaan jauh (Remote Sensing) mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi dan memantau sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir, diantaranya ekosistem lamun, mangrove, terumbu karang, ekosistem pantai, muara sungai (estuary) dan juga perubahan pola tataguna lahan wilayah pesisir (Supriyadi 2009).
Penggunaan teknologi penginderaan jauh dalam studi pemetaan padang lamun, mangrove dan terumbu karang memiliki banyak kelebihan, jika dibandingkan dengan menggunakan metode survei 'in situ', yang memberikan gambaran hanya mencakup wilayah sempit (Hoczkovich dan Atkinson 2003). Teknologi Remote Sensing memiliki kelebihan, diantaranya mampu merekam data dan informasi secara luas, berulang dan lebih terinci mendeteksi perubahan ekosistem, dapat menjangkau daerah yang sulit didatangi manusia atau kapal, data diperoleh dalam bentuk atau format digital, sehingga mudah untuk dianalisis menggunakan komputer dan harga dari informasi yang diperoleh relatif lebih murah (Mumby et al. 1999).
Penginderaan jauh untuk lamun berhubungan dengan habitat dasar laut dimana lamun tertutupi oleh kolom perairan sehingga tingkat intensitas cahaya yang masuk ke dalam air menurun diakibatkan bertambahnya kedalaman. Prinsip kerja pendeteksian padang lamun menggunakan citra satelit adalah dengan memanfaatkan nilai reflektansi (spektral) langsung yang khas dari tiap objek di dasar perairan yang kemudian direkam oleh sensor. Menurut Mount (2006), menjelaskan bahwa sinar biru dan hijau adalah sinar dengan energi terbesar yang dapat direkam oleh satelit penginderaan jauh di laut yang mengunakan spektrum cahaya tampak (400 - 650 nm).
Gambar 5. Ilustrasi kemampuan radiasi sensor satelit ke badan air (Sumber: Setiawan 2012)
Gelombang masuk ke kolom air, kemudian diserap dan dipantulkan kembali oleh permukaan air. Gelombang yang dipantulkan kembali menuju satelit adalah perwujudan dari ekstraksi sifat bawah permukaan air. Gelombang ini kemudian banyak digunakan untuk memetakan tipe substrat dasar (Rasib dan Hashim 1997).
Pemetaan ekosistem perairan air dangkal dengan menggunakan penginderaan jarak jauh (Remote Sensing) dapat memberikan manfaat yang besar dalam rencana pengelolaan ekosistem pantai. Kombinasi antara Sistem Informasi Geografis (SIG) dan metode skoring (pembobotan) dari komponen ekosistem lamun seperti jumlah jenis, persentase tutupan lamun dan biota asosiasinya akan sangat bermanfaat di dalam memetakan kesehatan ekosistem lamun, sumberdaya hayati laut dan rencana dalam pengelolaan ekosistem pesisir dan laut secara terpadu, dimana proses pengelolaan berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan mengenai pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan.
2.8 Karakteristik Citra ALOS
Advanced Land Observing Satellite merupakan satelit jenis baru yang dimiliki oleh Jepang setelah dua satelit pendahulunya yaitu JERS-1 dan ADEOS. ALOS yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 mempunyai 5 misi utama yaitu untuk kepentingan kartografi, pengamatan regional, pemantauan bencana alam, penelitian sumberdaya alam dan pengembangan teknologi (Purwadhi 2010). Citra satelit ALOS yang digunakan pada penelitian ini adalah citra hasil perekaman sensor AVNIR yang terdiri dari 4 band. Band 1, 2, dan 3 berturut-turut adalah band panjang gelombang biru, hijau, dan merah, sedangkan band 4 adalah
band panjang gelombang inframerah dekat (Setiawan 2012).
Citra satelit ALOS memiliki data multispektral dengan resolusi spasial sebesar 10 meter. ALOS memiliki 3 sensor utama yaitu: 1) Panchromatik Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) untuk pemetaan elevasi digital dengan resolusi 2,5 meter, 2) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer
(AVNIR) untuk observasi penutupan lahan dan memiliki resolusi spasial 10 meter, dan 3) Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) untuk observasi lahan dan dapat digunakan siang dan malam hari, serta pada segala cuaca (Jaxa 2008). Spesifikasi satelit ALOS ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi Satelit ALOS-AVNIR Tanggal peluncuran 24 Januari 2006
Kendaraan peluncuran H-IIA
Lokasi peluncuran Pusat Antariksa Tanegashima
Tipe Orbit Sun-Synchronous
Waktu Orbit 691,65 km diatas equator
Periode pengulangan 46 hari
Inklinasi 98,16o
Periode orbital 98,7 menit
Band AVNIR2 band 1 (0,42 - 0,50 μm)
band 2 (0,52 - 0,60 μm)
band 3 (0,61 - 0,69 μm)
band 4 (0,76 - 0,89 μm) (Sumber: Jaxa 2008)
Tabel 3. Karakteristik band/saluran/kanal ALOS AVNIR2 Warna Band Gelombang (μm) Panjang Manfaat
Biru 1 0,42 - 0,50
Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan.
Hijau 2 0,52 - 0,60
Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak diantara dua saluran penyerapan.
Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakan tanaman sehat terhadap tanaman tidak sehat.
Merah 3 0,61 - 0,69
Band yang paling berguna untuk membedakan tipe tanaman, lebih dari pada band
1 dan 2. Near
Infrared 4 0,76 - 0,89
Berguna untuk meneliti biomassa tanaman dan juga membedakan batas tanah- tanaman dan daratan-air. (Sumber: Jaxa 2008)
Banyak aplikasi citra satelit ALOS untuk pemetaan lahan, hutan dan daerah pesisir termasuk ekosistem lamun. Citra satelit ALOS mampu memberikan cakupan yang cukup luas dengan resolusi tinggi sehingga perolehan datanya mendekati data yang sebenarnya. Penelitian sebelumnya mengenai pemetaan lamun dengan menggunakan citra satelit ALOS pernah dilakukan oleh Supriyadi (2009) di daerah Bitung-Manado. Metode yang digunakan yaitu dengan mengintegrasikan antara hasil analisis data citra satelit ALOS dengan Sistem Informasi Geografi (SIG). Berdasarkan hasil analisis spasial klasifikasi, sebaran lamun di daerah Bitung-Manado seluas 6,5 ha yang memiliki tutupan lamun >75 % dan klasifikasi kurang dari 25 % mencapai 40,1 ha (Supriyadi 2009).