• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Cina. Kemajuan dan perkembangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. lainnya, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Cina. Kemajuan dan perkembangan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Jepang merupakan salah satu Negara industri terbesar di dunia.1 Berkat kemajuan industrinya, Jepang menjadi raksasa ekonomi di antara Negara industri lainnya, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Cina. Kemajuan dan perkembangan industri Jepang tidak lepas dari peran pemerintah melalui kebijakan industri yang diterapkan pasca Perang Dunia II. Pada masa Perang Dunia II, Jepang mengalami kekalahan bahkan mengalami kerugian di berbagai sektor ekonomi yang cukup parah akibat terjadinya penghancuran terhadap dua kota pusat industrinya, yaitu Nagasaki dan Hiroshima yang dibom atom oleh Amerika Serikat. Segera setelah kekalahan tersebut, Jepang mulai berupaya untuk membangun negaranya dengan berangkat kembali dari titik nol. Dalam tempo yang sangat cepat, Jepang mampu memulihkan ekonominya dari kehancuran.

Pemerintah Jepang menjalankan kegiatan industri dan perdagangan yang secara khusus diatur, direncanakan, dan dikembangkan oleh Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri atau Ministry of International Trade and Industry (MITI). Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang adalah menjamin ketersediaan bahan baku, subsidi, proteksi, distribusi, dan infrastruktur. Selain itu, Pemerintah juga mendorong inovasi supaya mampu bersaing dengan kompetitor lainnya yang diatur oleh Kementerian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi atau Ministry of Education,Culture,Sports,Science &

Technology (MEXT). Terbukti pada tahun 1952-1955 ekonomi Jepang tumbuh

1 Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, Ekonomi dan Industri (online),

(2)

dengan pesat (“High Growth Era”) dengan ditandai pertumbuhan ekonomi sekitar 10% dan puncaknya pada tahun 1960-an.2 Kemajuan ini sering disebut sebagai

“Economic Miracle of Japan”.3

Uraian di atas menunjukkan keberhasilan Jepang dalam membangun kembali ekonominya pasca Perang Dunia II yang disebabkan oleh adanya struktur politik dan pemerintahan yang mendukung. Peran pemerintah sangat besar dan mampu menggerakkan kelompok bisnis untuk bekerjasama dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Institusi pemerintah dianggap sebagai perusahaan besar. Mekanisme pemerintahan semacam ini secara lebih spesifik sering disebut dengan Japan Inc.4

(government-business relationship). Pemerintah mengatur industrinya melalui

kebijakan industri. Kebijakan industri adalah semua interaksi yang melibatkan pemerintah dengan sektor industri, termasuk juga perdagangan, labor market, sistem inovasi dan kebijakan kompetisi yang dilaksanakan dalam “administrative guidance”. Kebijakan industri tersebut mampu mendorong keberhasilan ekonomi Jepang.

Salah satu industri yang berkembang di Jepang adalah industri instrumen musik. Industri instrumen musik di Jepang berkembang pesat pasca Perang Dunia II. Industri instrumen musik ini sebenarnya bukan merupakan industri utama yang menjadi perhatian pembangunan di Jepang. Prioritas kebijakan saat itu adalah produksi besi, baja, dan batubara. Industri instrumen musik termasuk dalam leisure industry, namun permintaan terhadap produk instrumen musik terus meningkat tinggi pasca Perang Dunia II sehingga hal tersebut menjadi faktor penarik peningkatan industri ini. Meskipun bukan menjadi arus utama prioritas, namun industri instrumen musik turut

2 J. Ravianto, Orientasi Produktivitas dan Ekonomi Jepang: Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?, Penerbit

Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1985, p. 91

3 M. Takada, Japan’s Economic Miracle:Underlying Factors and Strategies for the Growth, 1999, hal. 12. 4 C. Johnson, “MITI and The Japanese Miracle: The Growth Industrial Policy 1925-1975”, Stanford University

(3)

merasakan dampak dari kebijakan industri. Hal inilah yang menjadi faktor pendorong majunya industri instrumen musik di Jepang.

Bentuk nyata Jepang sebagai pemain dominan di pasar global industri instrumen musik dapat dilihat dari banyaknya perusahaan pembuat instrumen musik yang ada setelah berakhirnya Perang Dunia II, yakni sekitar 115 manufaktur.5 Di Jepang, industri instrumen musik selalu dipusatkan di kota Hamamatsu, sebuah pusat penting wilayah industri yang menghubungkan Osaka dan Tokyo. Hal ini juga salah satu strategi pemerintah dengan memusatkan industri tersebut di Kota Hamamatsu melalui Sistem Inovasi Regional. Pembangunan daerah melalui kerangka Sistem Inovasi Regional ini, menjadikan Hamamatsu sebagai kota industri instrumen musik di Jepang.

Saat ini, perusahaan instrumen musik terbesar di dunia adalah Yamaha, Kawai, dan Roland yang ketiganya memiliki basis di Hamamatsu. Produksi instrumen musik Barat di Hamamatsu dimulai pada tahun 1887 oleh Torakusu Yamaha.6 Yamaha merupakan perusahaan instrumen musik terbesar di dunia dengan market share mencapai 18% pada tahun 2010.7 Koichi Kawai, salah seorang teknisi piano di Yamaha, membangun Kawai Musical Instrument Company pada tahun 1927. Produksi piano kedua perusahaan tersebut sangat popular di dunia sehingga kota Hamamatsu tumbuh menjadi pabrik utama pembuatan instrumen musik, khususnya piano.

Industri instrumen musik sempat terhenti karena depresi ekonomi dan keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II. Perusahaan instrumen musik dikonversi untuk memproduksi komponen pesawat tempur. Setelah kekalahan Jepang dalam

5Panjiva, “Japanese Manufacturers of Musical Instruments”,

<http://panjiva.com/Japanese-Manufacturers-Of/musical+instruments>, diakses 19 Agustus 2014.

6 Hamamatsu Information Book, Musical Instrument Industry (online),

<http://www.hamamatsu-books.jp/en/category/detail/4d221037495ea.html>, diakses 19 Agustus 2014.

(4)

perang, industri instrumen musik kembali berkembang dengan pesat. Industri di Hamamatsu cepat berkembang setelah tahun 1958 dengan populernya pendidikan musik di sekolah-sekolah dan mekanisasi dalam pabrik.8 Puncaknya adalah pada tahun 1960-1970an ketika instrumen musik elektrik mulai diperkenalkan.

Perkembangan pesat industri instrumen musik di Jepang menjadi hal yang sangat menarik untuk dikaji karena dalam prosesnya melibatkan peran para aktor, seperti Pemerintah Jepang, swasta, dan universitas melalui kerangka kebijakan industri dan sistem inovasi regional. Keputusan Pemerintah Jepang untuk mendukung sektor leisure industry dapat dinilai sebagai suatu strategi yang jeli dan tepat. Skripsi ini memaparkan hasil penelitian mengenai transfer ilmu pengetahuan antar aktor dalam sistem inovasi untuk mengembangkan dan memajukan perusahaan instrumen musik di Hamamatsu.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah, bagaimana dampak Regional Innovation System terhadap industri instrumen musik di Hamamatsu?

1.3Landasan Konseptual

a. Developmental State

Developmental state adalah pembangunan ekonomi yang menekankan pada

pentingnya peran negara sebagai pelindung dan pemandu dalam proses pembangunan ekonomi domestik, namun perlu dibedakan bahwa developmental

state ini berbeda dengan konsep merkantilisme. Merkantilisme memandang

proses perkembangan ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada negara yang

8 Hamamatsu Information Book, Musical Instrument Industry (online),

(5)

bertujuan untuk memaksimalkan kekuasaan. Dalam konsep developmental state, Chalmers Johnson dalam bukunya MITI and The Japanese Miracle: The Growth

Industrial Policy 1925-1975 menggambarkan peran pemerintah yang sangat besar

dengan memberi insentif kepada masyarakat bisnis melalui peraturan administratif, subsidi, proteksi, hingga peninjauan pasar. Pemerintah secara langsung terlibat dalam pembangunan ekonomi dan mempunyai pengaruh yang besar dalam keputusan publik.9 Dalam bidang pembangunan industri, pemerintah

Jepang, terutama MITI, telah memperluas dukungan, khususnya pinjaman berbunga rendah dan impor perlindungan untuk industri tertentu untuk keseimbangan pembayaran, alasan keamanan politik, dan nasional, terutama selama tahun 1950-an dan 1960-an.10

Setidaknya ada lima karakteristik dari developmental state ini. Pertama, pembangunan ekonomi merupakan prioritas utama bagi pemerintah. Kedua, pembangunan ekonomi merupakan plan-rational development, yakni model gabungan antara intervensi negara yang dikompromikan dengan mekanisme pasar. Ketiga, peran negara sangat besar dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang tidak hanya dalam hal perencanaan pembangunan namun lebih jauh juga dalam pelaksanaannya. Keempat, negara memiliki kontrol yang sangat besar dalam sektor swasta. Kelima, intervensi negara yang sangat besar dalam proses pembangunan ini didukung oleh birokrasi yang bersih, rasional, dan berdasarkan meritokrasi (birokrasi ala Weberian).11

9 C. Johnson, “MITI and The Japanese Miracle: The Growth Industrial Policy 1925-1975”, hal. 24.

10K. Sakoh, ‘Japanese Economic Success Industrial Policy Or Free Market’, Cato Journal, vol.4, no. 2, musim

gugur 1984, hal. 541.

11 P.S. Winanti, ‘Developmental State dan Tantangan Globalisasi: Pengalaman Korea Selatan’, Jurnal Ilmu Sosial

(6)

Selanjutnya, menurut Chalmers Johnson, harus ada empat kriteria yang membedakan model pembangunan ini dengan model pembangunan yang lain, yaitu:12

1) Keberadaan birokrasi negara yang kecil, tidak mahal, namun elit yang dikelola oleh orang yang terbaik dalam sistem.

2) Sistem Politik di mana birokrasi diberikan ruang lingkup yang cukup untuk mengambil inisiatif dan beroperasi secara efektif.

3) Kesempurnaan metode kesesuaian pasar dari intervensi pemerintah dalam ekonomi

4) Keberadaan organisasi yang mengatur.

Dari kriteria di atas, Jepang dianggap memiliki empat kriteria tersebut.

Pertama, birokrasi di Jepang dijalankan secara efisien dengan menggunakan

konsep governability yaitu distribusi kekuasaan, otonomi, dan kebijakan eksekutif hingga tingkat daerah. Kedua, keberadaan sistem politik Jepang yang padu antara elit politik dan birokrasi dalam mendorong transformasi ekonomi nasional.

Ketiga, prioritas kebijakan ekonomi politik Jepang yang tercermin dari kebijakan

industriyang membawa Jepang kepada masa ”High Growth Era” serta adanya ruang bagi birokrasi dan industri untuk saling bertukar informasi. Keempat, adanya lembaga MITI sebagai pilot organization dalam merumuskan kebijakan industri. MITI memiliki kewajiban untuk menjalankan tugas menunjukkan jalan dari pembangunan ekonomi dan menggunakan rangkaian alat kebijakan untuk

12 C. Johnson, “The Developmental State: Odyssey of a Concept”, dalam M. Woo-Cumings (ed.), The

(7)

memastikan bahwa bisnis domestiknya terkelola dan terpelihara demi kepentingan nasional.

Konsep developmental state ini akan dikaitkan dengan kebijakan industri yang ada di Jepang. Developmental state ini mendorong adanya kebijakan industri di Jepang. Kebijakan Industri dibuat oleh Pemerintah Jepang setelah Perang Dunia II dan terutama pada tahun 1950-an dan 1960-an. Target kebijakan industri adalah untuk meningkatkan pembangunan industri dan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan swasta. Selanjutnya, tujuan dari kebijakan industri tersebut untuk mengalihkan sumber daya kepada industri tertentu dalam rangka mendapatkan keuntungan kompetitif internasional untuk Jepang. Kebijakan-kebijakan dan metode ini digunakan terutama untuk meningkatkan produktivitas

input dan untuk mempengaruhi investasi industri, baik secara langsung maupun

tidak langsung.

Pemerintah Jepang menggunakan strategi pendekatan terhadap perdagangan, ketenagakerjaan, kompetisi pasar, dan insentif untuk memajukan perekonomian. Salah satu upaya yang dilakukan Jepang dalam memajukan perekonomiannya adalah dengan meningkatkan produktivitas barang-barang berkualitas tinggi dan memusatkannya pada daerah-daerah tertentu, seperti sentralisasi industri instrumen musik pada Kota Hamamatsu.

b. Kebijakan Industri

Kebijakan industri memiliki definisi sebagai “policy that attempts to achieve the economic and noneconomic goals of a country by intervening in resource allocation across industries or sectors, or in the (industrial)

(8)

organization of an industry or sector.”13 Sebagaimana telah diuraikan dalam pendahuluan, bahwa kebijakan industri dibuat oleh Pemerintah Jepang setelah Perang Dunia II. Tujuannya adalah untuk mengarahkan pembangunan industri di Jepang sesuai dengan arahan pemerintah. Keberhasilan ekonomi Jepang pasca perang secara ekstensif dikreditkan ke kebijakan industri yang diatur oleh

Ministry of International Trade and Industry (MITI). Seperti uraian sebelumnya,

administrative guidance digunakan oleh Pemerintah Jepang untuk menyangga

ayunan pasar, mengantisipasi perkembangan pasar, dan meningkatkan persaingan pasar. Melalui Administrative Guidance ini pula, pemerintah berusaha mengarahkan perkembangan industri di Jepang sesuai dengan garis-garis kebijakan pemerintah, termasuk di dalamnya Research and Development (R&D).

Kebijakan sebelum tahun 1960-an adalah melindungi perusahaan domestik dengan memungut tariff yang tinggi pada barang impor. Pada tahun 1970-an, Jepang tidak bisa lagi mengimplementasikan kebijakan tersebut karena globalisasi ekonomi dunia memaksa Jepang untuk meliberalisasi dan membuat perusahaaan Jepang lebih kompetitif secara internasional.

Metode prioritas produksi pasca berakhirnya Perang Dunia II diambil sebagai langkah darurat dalam periode yang kacau. Pemerintah mengontrol produksi secara langsung, termasuk pengalokasian bahan mentah, pemberian harga, pembiayaan, subsidi, dan penjatahan barang impor. Kebijakan pada periode ini diprioritaskan pada produksi batubara, besi, dan baja. Masuk periode 1950-an, produksi dirasionalisasi melalui kontrol pemerintah secara tidak langsung dari bahan mentah, produksi, dan distribusi. Kebijakan yang diambil berpusat pada pembiayaan modal karena ditujukan untuk mendukung industri

13 M. Fujiwara, “Industrial Policy in Japan: A Political Economy View”, dalam P. Krugman (ed.), Trade with

(9)

domestik, sehingga target pembiayaan modal diberikan kepada produksi besi dan baja, tenaga listrik, dan pembuatan kapal.

Kebijakan industri bergeser ke arah koordinasi pemerintah terhadap sektor privat pada tahun 1960-an. Pada periode ini, Jepang ditekan untuk meliberalisasi ekonomi, jadi Jepang harus memperhatikan kompetisi internasional. Sehingga skala ekonomi menjadi fokus utama. Kebutuhan merger dan akuisisi membawa koordinasi pemerintah untuk investasi, produksi dan pemberian harga terhadap sektor privat.

Masuk pada tahun 1970-an, pemerintah bergeser ke arah perencanaan jangka panjang untuk mendorong perkembangan industri teknologi tinggi. In the

1970s, the main role of government became long-term vision planning. Industri

mesin dan elektronik juga dipromosikan, menandai dimulainya keunggulan industri ini di Jepang. Dan terakhir, pada tahun 1980-an, kecondongan untuk menuju liberalisasi ekonomi membuat pemerintah Jepang sulit untuk mengintervensi industri domestiknya.14

c. Regional Innovation System (Sistem Inovasi Regional)

Regional Innovation System atau Sistem Inovasi Regional merupakan

sebuah pola pendekatan pembangunan daerah yang dilakukan secara sistemik dan sistematis. Melalui pendekatan pembangunan Sistem Inovasi Regional ini, keseluruhan pelaku, lembaga, jaringan, kemitraan, aksi, proses produksi dan kebijakan yang mempengaruhi arah perkembangan, kecepatan dan difusi inovasi serta proses pembelajaran dilaksanakan untuk mencapai pembangunan sebuah daerah.15 Sistem Inovasi Regional pada dasarnya merupakan suatu kesatuan dari

14 A. Kuchiki, Industrial Policy in Asia, Institute of Developing Economies Paper, no. 128, Chiba, 2007, hal. 6. 15Prof. Ir. Urip Santoso, S.IKom., M.Sc., Ph.D,Peranan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) dalam Percepatan

(10)

sehimpunan aktor, kelembagaan, hubungan, jaringan, interaksi, dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktik), serta proses pembelajaran.

Peningkatan daya saing antar daerah merupakan agenda yang sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, inovasi dalam pembangunan yang berjalan secara komprehensif serta terjadinya kolaborasi antar aktor pembangunan merupakan faktor kunci peningkatan daya saing. Pengembangan Sistem Inovasi Regional merupakan salah satu strategi utama dalam Sistem Inovasi Nasional sebagai wadah proses interaksi antara komponen penguatan sistem inovasi.

Sebuah sistem inovasi didasari oleh unsur-unsur dan hubungan yang saling berinteraksi dalam produksi, difusi dan pemanfaatan pengetahuan baru.16

Pengetahuan ini dimanfaatkan secara praktik, termasuk untuk penggunaan komersial.17 Dengan demikian pengetahuan yang diciptakan, disebarkan dan digunakan tidak selalu dalam bentuk produk komersial atau jasa, tetapi dapat memiliki efek praktis dan sosial. Lebih khusus pengetahuan dapat berupa ide-ide baru dan konsep, keterampilan baru atau kompetensi, atau kemajuan teknologi dan organisasi.18

Persaingan global dan perkembangan teknologi telah menyebabkan perubahan dalam faktor-faktor keberhasilan negara maju. Inovasi telah menjadi faktor penentu penting dari daya saing dan keberhasilan perusahaan, daerah, dan negara. Faktor internal perusahaan dan lingkungan eksternal merupakan faktor

16 B.A. Lundvall, National Systems Of Innovation: Towards A Theory Of Innovation AndInteractive Learning.

Pinter, London, 1992, Hal. 2

17P. Cooke, M.G. Uranga, & G. Etxebarria,‘Regional Innovation Systems: Institutional AndOrganisational

Dimensions’,Research Policy, vol. 26, Issues 4-5, 1997, Hal 478.

18 G. Schienstock,&T. Hämäläinen,Transformation of The Finnish Innovation System: ANetwork Approach, Sitra,

(11)

penting yang mempengaruhi inovasi.19 Sistem inovasi regional memiliki pengaruh terhadap inovasi di tingkat daerah dan dengan demikian juga dapat diasumsikan memiliki pengaruh pada daya saing dan keberhasilan suatu daerah. Pembuat kebijakan dan keputusan juga telah mengakui pentingnya inovasi terhadap daya saing kota, daerah, dan bangsa.20

Ada beberapa indikator yang berguna untuk mengkaji sistem inovasi regional. Menurut Seppänen, terdapat sembilan dari kelompok indikator yang berada dalam posisi sentral ketika mengkaji sistem inovasi regional. Indikator tersebut adalah sumber daya manusia, inovasi, sektor swasta, sektor publik, penelitian dan pengembangan, keuangan, interaksi, sikap dan nilai-nilai dan kinerja ekonomi.21 Tentu saja tidak semua indikator termasuk dalam sembilan indikator tersebut relevan ketika menggambarkan pengaruh sistem inovasi regional di daya saing daerah tertentu. Dalam menganalisis industri instrumen musik di Hamamatsu, penulis menggunakan indikator kinerja ekonomi dan indikator inovasi. Kedua indikator ini merupakan indikator yang paling relevan untuk mengkaji Regional Innovation System di industri instrumen musik Hamamatsu.

Indikator kinerja ekonomi mengilustrasikan kondisi ekonomi dari daerah atau nasional. Ada beberapa sub-grup dalam indikator ini, yaitu produktivitas dan ketenagakerjaan.22 Produktivitas mengukur pertumbuhan dan tingkat produktivitas. Selain itu, produktivitas juga menilai pertumbuhan produktivitas

19M.E. Porter, & S. Stern, ‘Innovation: Location Matters’, MIT Sloan Management Review,vol. 42, Issue 4, 2001,

hal. 28.

20 S. K. Seppänen, Regional Innovation Systems and Regional Competitiveness: An Analysis of Competitiveness

Indexes, dalam DRUID-DIME Academy Winter 2008 PhD Conference on Geography, Innovation and Industrial Dynamics, Tampere, Finland, Januari 2008, hal. 2.

21 S. K. Seppänen, Regional Innovation Systems and Regional Competitiveness: An Analysis of Competitiveness

Indexes, hal. 22.

22 S. K. Seppänen, Regional Innovation Systems and Regional Competitiveness: An Analysis of Competitiveness

(12)

tenaga kerja dan perdagangan. Kemudian, ketenagakerjaan diukur dengan pekerjaan dan pertumbuhan pekerjaan, tingkat lapangan kerja, dan sektor ketenagakerjaan tertentu. Ketenagakerjaan menggambarkan output atau hasil kegiatan ekonomi dan inovasi. Selain itu, juga menggambarkan ekonomi, kemakmuran, potensi dan nilai restrukturisasi dasar masyarakat.

Indikator inovasi menggambarkan kinerja inovasi, inovasi dan kreativitas. Kegiatan inovasi adalah produksi pengetahuan, pemahaman dan manajemen, komersialisasi dan perlindungan, aplikasi atau produksi ide. Indikator yang berkaitan dengan inovasi juga dapat menggambarkan properti atau kepemilikan seperti kekayaan intelektual yang menggambarkan hasil dari kegiatan inovasi. Salah satu untuk mengevaluasi inovasi ini adalah tingkat hak paten. Menurut Pasal 1 UU Paten di Jepang, tujuan adanya UU ini adalah untuk meningkatkan perlindungan dan pemanfaatan penemuan, untuk mendorong penemuan, dan dengan demikian mampu memberikan kontribusi pada pengembangan industri.23 Subjek dari perlindungan ini adalah penemuan (invention). Selain itu, penemuan tersebut harus ditandai dengan tingkat kreativitas teknologi yang tinggi berdasarkan hukum alam dan aturan untuk memenuhi syarat perlindungan di bawah UU Paten.

1.4Argumen Utama

Berdasarkan kerangka konseptual yang telah penulis paparkan, argument utama yang penulis ajukan untuk menjawab pertanyaan penelitian adalah kebijakan industri yang diterapkan oleh pemerintah Jepang dan Sistem Inovasi Regional berpengaruh besar terhadap kemajuan dan perkembangan industri musik di Jepang yang berpusat di Kota Hamamatsu. Jepang memilih menggunakan model perkembangan ekonomi

23 Japan Patent Office, What is a Patent, <http://www.jpo.go.jp/english/faqs/patent.html#anchor6-1>, diakses

(13)

developmental state. Model perkembangan ekonomi ini memungkinkan peran pemerintah untuk bisa mengembangkan sektor swasta di dalam ekonomi domestiknya (dalam hal ini industri instrumen musik). Dukungan pemerintah diwujudkan dalam bentuk kebijakan industri yang dibuat untuk mendukung perkembangan industri instrumen musik di Jepang. Pemerintah Jepang menggunakan strategi pendekatan terhadap perdagangan, ketenagakerjaan, kompetisi pasar, dan insentif untuk memajukan perekonomian. Salah satu upaya yang dilakukan Jepang dalam memajukan perekonomiannya adalah dengan Sistem Inovasi Regional. Perkembangan industri instrumen musik di Hamamatsu dikaji melalui kerangka Sistem Inovasi Regional dengan melihat dua indikator, yaitu indikator ekonomi dan indikator inovasi. Kebijakan industri dan regional innovation system mampu membawa industri instrumen musik di Hamamatsu menjadi penguasa industri instrumen musik tidak hanya di Jepang melainkan juga di pasar global.

1.5Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi literatur dari buku-buku dan jurnal-jurnal yang bertemakan mengenai perkembangan perekonomian Jepang, teori-teori ekonomi pembangunan, industrialisasi, kebijakan-kebijakan industri Jepang, dan sistem inovasi regional di Jepang, serta mengenai perkembangan perusahaan teknologi di Jepang dan juga menggunakan riset online seperti pencarian data di artikel online, koran digital, atau website resmi dari pihak-pihak yang terkait dalam skripsi ini.

1.6Jangkauan Penelitian

Penelitian skripsi ini membahas mengenai penerapan Regional Innovation

System untuk memajukan industri instrumen musik di Kota Hamamatsu. Sebagai studi

(14)

kemajuan industri instrumen musik yang ada di Hamamatsu, yaitu Yamaha, Kawai, dan Roland. Periode waktu penelitian antara tahun 1960-2000.

1.7Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari empat bab. Bab pertama berisi, pendahuluan, menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, argumen utama, metode penelitian, jangkauan penelitian dan sistematika penulisan dari skripsi ini. Bab kedua, penulis menjelaskan mengenai Developmental State dan Kebijakan Industri di Jepang dan Sistem Inovasi Regional di Hamamatsu. Selanjutnya, bab ketiga penulis menjelaskan mengenai analisis dampak Sistem Inovasi Regional di Hamamatsu. Indikator yang digunakan adalah indikator ekonomi, menjelaskan mengenai produksi dan perdagangan, jumlah industri instrumen musik, dan aglomerasi industri instrumen musik di Hamamatsu. Kedua, indikator inovasi yang menjelaskan tentang perkembangan jenis produk dan paten tentang instrumen musik. Selanjutnya pada bab terakhir yaitu bab keempat, penulis memaparkan mengenai kesimpulan dari pembahasan terhadap rumusan masalah yang telah diajukan.

Referensi

Dokumen terkait

Tari ketuk tilu terdiri dari penari wanita yang biasa disebut ronggeng dan nayaga sebagai pengiring musik.. Pertunjukkan tarian ketuk tilu biasanya dilakukan di area yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pinjaman dana bergulir dari Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kota Semarang dapat membantu meningkatkan produk, omzet penjualan,

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Untuk menganalisis pengaruh umur dan jumlah tanggungan

Secara rinci, pada tahap perencanaan ini, prosedur tindakan yang dilakukan peneliti adalah (1) membagi guru dalam beberapa kelompok kecil, (2) peneliti memberikan

Berdasarkan hasil persentase kepuasaan masyarakat yakni dengan indikator tanggungjawab dengan item pertanyaan tanggung jawab petugas dalam mengerjakan tugasnya,

Kabar baik bagi mereka yang menginginkan fitur ini adalah tampaknya aplikasi seluler YouTube sekarang memberi pengguna opsi untuk memilih pengaturan kualitas video

Simpangan baku(S) adalah nilai yang menunjukan tingkat variasi kelompok data atau ukuran standar penyimpangan dari nilai rata-ratanya... X = nilai rata-rata data n = jumlah data

Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat-Nya, tesis ini dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai