• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA STUDENT ENGAGEMENT DAN PERCEIVED CLASSROOM GOAL STRUCTURE SISWA SMA PADA MATAPELAJARAN MATEMATIKA, BAHASA INDONESIA DAN BAHASA INGGRIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA STUDENT ENGAGEMENT DAN PERCEIVED CLASSROOM GOAL STRUCTURE SISWA SMA PADA MATAPELAJARAN MATEMATIKA, BAHASA INDONESIA DAN BAHASA INGGRIS"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA STUDENT ENGAGEMENT DAN PERCEIVED

CLASSROOM GOAL STRUCTURE SISWA SMA PADA

MATAPELAJARAN MATEMATIKA, BAHASA INDONESIA DAN

BAHASA INGGRIS

Posma Prima Napitupulu dan Ivan Sujana Fakultas Psikologi

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara student engagement dan perceived classroom structure siswa SMA pada tiga matapelajaran, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Pengukuran terhadap student engagement menggunakan alat ukur School Engagement Measure-McArthur (Fredricks, et al., 2005) dan pengukuran terhadap perceived classroom goal structure menggunakan skala Perception of Classroom Goal Structure dari alat ukur Patterns of Adaptive Learning Survey (Midgley, et al., 2000). Jumlah partisipan yang diperoleh sejumlah 188 siswa kelas 11 SMA yang bersekolah di Jabodetabek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga dimensi student engagement, yaitu

behavioral, emotional dan cognitive engagement memiliki hubungan yang signifikan dengan

perceived classroom goal structure pada seluruh matapelajaran. Menggunakan multiple regression analysis diketahui bahwa tipe perceived classroom goal structure, yang memberikan sumbangan terbesar terhadap adalah tipe persepsi classroom mastery goal structure. Berdasarkan hasil tersebut, student engagement siswa dapat ditingkatkan dengan membentuk kelas yang memiliki clasroom mastery goal structure.

Kata Kunci:

Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Perceived Classroom Goal Structure, Siswa Kelas 11 SMA, Student Engagement

Abstract

The purpose of this study was to investigate whether there was a relationship between student engagement and perceived classroom goal structure of high school grade students in Math, Bahasa and English subjects. Student engagement was measured using the School Engagement Measure-McArthur (Fredricks, et al, 2004) and student’s perceived classroom goal structure was measured using the Perception of Classroom Goal Structure scale of the Pattern of Adaptive Learning Survey (PALS) (Midgley, et al., 2000). A total of 188 eleventh grade students from schools in the Jabodetabek area participated in this study. Results show that there was an overall significant correlation between the three student engagement dimensions (behavioral, emotional, and cognitive) and student’s perceived classroom goal structure. Using multiple regression analyses, the study shows that perceptions of a classroom mastery goal structure contributed the most to student engagement. Result of the study implies that student engagement can be increased in a classroom with a mastery goal structure.

Keyword:

Bahasa, English, High School Student, Math, Perceived Classroom Goal Structure, Student Engagement

(2)

1.Latar Belakang

Sejak dulu, pendidikan telah memegang peranan penting dalam memajukan peradaban manusia. Melalui pendidikan, seseorang belajar untuk mengembangkan kemampuan yang ia miliki dan memahami dunia yang akan ia hadapi. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) 2003, bab I pasal I dinyatakan bahwa “pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya”. Sejalan dengan pernyataan tersebut, pada bab II pasal 2 dinyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk menciptakan “siswa yang beriman dan bertakwa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Berdasarkan undang-undang tersebut, pendidikan diharapkan dapat mendorong siswa untuk aktif mengembangkan potensi dirinya dan berkembang menjadi individu yang seutuhnya.

Pada kenyataannya, ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia masih belum mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Prestasi rendah, bolos, bosan dan jenuh dengan sekolah merupakan beberapa hal yang dialami oleh siswa-siswa Indonesia dan menjadi suatu permasalahan bagi para pendidik. Dari segi prestasi, menurut hasil survei

Program for International Student Assessment (PISA) yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2009, Indonesia menduduki posisi ke-57 dari 65 negara yang berpartisipasi dan memiliki skor yang secara signifikan di bawah rata-rata dalam pelajaran matematika dan sains serta dalam kemampuan membaca (OECD, 2009). Prestasi rendah ini juga disebabkan oleh kebosanan dan kejenuhan yang dialami siswa, sehingga tidak seluruh siswa dapat bersemangat dalam belajar. Bahkan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Bidang Pendidikan, Musliar Kasim menilai pendidikan Indonesia sudah sangat membosankan.

"Selama ini pendidikan kita membosankan. Indikator sederhananya, anak-anak gembira jika gurunya tidak datang. Itu karena pola pendidikan kita masih memberatkan anak," kata Musliar dalam jumpa pers Internalisasi Nilai dalam Rangka Gerakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Melalui Kebudayaan" (Akuntono, 2012).

Kini, dalam upaya mengatasi prestasi rendah, kebosanan dan kejenuhan siswa, para peneliti, pengajar dan pembuat kebijakan berfokus kepada suatu konsep kunci, yaitu student engagement (Fredricks, Blumenfield, & Paris, 2004 dalam Fredricks, McColskey, Meli, Mordica, Montrosse & Mooney, 2011). Dalam suatu studi literatur, Fredricks et al., (2004)

(3)

melakukan suatu ulasan terhadap 44 penelitian student engagement dan mengungkapkan bahwa student engagement terdiri atas tiga dimensi, yaitu behavioral engagement, emotional engagement dan cognitive engagement. Behavioral engagement berasal dari ide partisipasi atau keterlibatan, emotional engagement melingkupi reaksi positif dan negatif terhadap guru, siswa lain, kegiatan kelas dan sekolah dan cognitive engagement meliputi keinginan untuk mengerahkan usaha untuk dapat memahami ide yang kompleks dan menguasai keterampilan yang sulit. Dari ulasan tersebut dapat disimpulkan definisi student engagement adalah tingkah laku, emosi dan upaya kognitif yang dimunculkan siswa ketika mengikuti kegiatan kelas. Dari penjabaran tersebut terlihat bahwa student engagement juga meliputi aspek-aspek tingkah laku, emosi, dan kognitif siswa yang telah menjadi fokus dari penelitian-penelitian sebelumnya yang telah disebut diatas. Sehingga penelitian akan student engagement akan memberikan pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap ketiga aspek tersebut dan dinamika antara ketiga aspek tersebut terhadap kegiatan belajar siswa (Fredricks, et al., 2004)

Fredricks, et al., (2004) menyebutkan bahwa student engagement bersifat malleable

atau dapat dibentuk dalam siswanya. Student engagement terbentuk dari interaksi individu dengan konteks dan bersifat responsif terhadap perubahan dalam lingkungannya (Connell, 1990; Finn & Rock, 1997; dalam Fredricks et al., 2004). Merujuk kembali kepada definisi

student engagement, yaitu tingkah laku, emosi dan upaya kognitif yang dimunculkan siswa ketika mengikuti kegiatan kelas, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu lingkungan yang dapat membentuk student engagement adalah lingkunan kelas siswa itu sendiri. Sebagai agen pendidikan yang berkontak langsung dengan siswa, lingkungan kelas dapat membentuk proses belajar siswa dan membantunya dalam mencapai prestasi. Selain itu, siswa menghabiskan mayoritas dari waktunya belajar di kelas ketimbang di rumah ataupun tempat bimbingan belajar. Oleh sebab itu, perlu dipahami faktor lingkungan kelas yang dapat mempengaruhi proses belajar siswa.

Sejak tahun akhir 1970, terdapat banyak penelitian yang berusaha memahami pengaruh faktor-faktor lingkungan kelas terhadap proses belajar siswa (Ames, 1992). Menurut Ames dan Archer (1988), lingkungan kelas dapat menentukan motivasi dan tujuan belajar dari seorang siswa sehingga memengaruhi performanya di sekolah dan prestasi yang dicapai atau yang kemudian disebut sebagai goal orientation. Goal orientation dari sebuah kelas ditentukan oleh bagaimana struktur dari sebuah kelas itu tersusun. Menurut Ames (1992), struktur kelas merupakan konteks terjadinya proses pembelajaran dan berkembangnya pengaturan tugas, sistem penilaian dan informasi mengenai sikap siswa serta

(4)

menentukan hubungan antara sesama siswa, dengan guru dan dengan tugas-tugasnya. Urdan (2010) memperjelas definisi tersebut dengan menyatakan bahwa classroom goal structure

adalah kebijakan, praktik, kepercayaan umum dan norma yang diberlakukan untuk menimbulkan goals tertentu. Berdasarkan goal orientation yang akan terbentuk pada siswa, maka terdapat dua macam kelas, yaitu mastery-oriented dan performance-oriented classroom.

Mastery-oriented classroom merupakan kelas yang berusaha membentuk mastery goal orientation pada siswanya. Kelas dengan goal orientation ini berfokus terhadap proses pembelajaran, menguasai sebuah tugas sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan sendiri, mengembangkan kemampuan baru, mengasah kemampuan, mencoba menyelesaikan suatu tantangan dan berusaha memperoleh pemahaman dan insight (Ames, 1992; Dweck & Legget, 1988; Harter, 1981; Maehr & Midgely, 1991; Midgely et al, 1988; Nicholls, 1998; Pintrich, 2000). Individu dengan goal orientation ini melihat bahwa tujuan pembelajaran ialah pemahaman dan apa yang ia pelajari berguna dalam mengembangkan dirinya. Sementara itu,

performance-oriented classroom akan membentuk individu dengan performance goal orientation. Individu dengan goal orientation ini memusatkan perhatiannya pada usaha untuk mendemonstrasikan kemampuannya ke orang lain dan bagaimana usahanya akan dinilai orang lain, berfokus dalam menampilkan performa yang lebih baik atau menghindari performa yang lebih buruk dibandingkan dengan orang lain (Ames, 1992; Dweck & Legget, 1988; Midgley et al, 1988 Pintrich, 2000).

Meskipun unsur dari lingkungan kelas tersebut telah dikelola oleh guru untuk membentuk goals tertentu pada para siswa, namun pengalaman yang dialami siswa dapat berbeda-beda. Siswa mengalami pengalaman kelas yang berbeda dan juga membawa pengalaman-pengalaman masa lalu yang berbeda pula, sehingga mereka dapat mengartikan interaksi antara guru dan murid atau sebuah peristiwa dalam kelas secara berbeda-beda pula (Meece et al., 1988 dalam Ames, 1992). Oleh sebab itu, untuk mengetahui apakah struktur kelas yang disusun benar-benar membentuk goal orientation tertentu pada siswa, perlu diketahui pula persepsi siswa terhadap struktur kelasnya atau yang disebut sebagai Perceived Classroom Goals Structure (PCGS). Perceived classroom goals structure yang dimiliki oleh siswa dapat mempengaruhi bagaimana siswa akan terlibat atau berpartisipasi dalam kelasnya. Penelitian menunjukkan bahwa pilihan siswa terhadap goal orientation, perceived ability dan keterlibatan kognitif dipengaruhi oleh PCGS (Ames, 1992; Ames & Archer, 1988; deCharms, 1976; Rosenholtz & Simpson, 1984; Ryan et al., 1985 dalam Blackburn, 1998). Dari

(5)

penjabaran di atas, terbuka kemungkinan bahwa persepsi siswa terhadap struktur kelas berhubungan dengan student engagement yang ditampilkan oleh siswa. Mengingat pentingnya student engagement yang telah dijabarkan, maka penelitian akan hubungan kedua konsep ini perlu dilakukan dan dapat menambahkan pemahaman terhadap student engagement.

Peneliti memilih untuk meneliti pada beberapa pelajaran saja, yaitu pelajaran Matematika, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Ketiga matapelajaran ini selalu diujikan di Ujian Akhir Nasional, sehingga dianggap sebagai matapelajaran yang wajib dikuasai siswa untuk lulus. Dalam Scholastic Aptitude Test (SAT), kemampuan yang diuji adalah kemampuan matematika, membaca dan menulis siswa, yang dianggap sebagai modal dasar untuk dapat berhasil dalam menjalani pendidikan pada setiap jenjangnya. Pemilihan terhadap jenjang SMA juga didasari oleh penelitian Marks (2000), yang menyatakan bahwa student engagement siswa SMA merupakan paling rendah semasa sekolah. Rumusan masalah yang diajukan peneliti adalah: Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara antara student engagement dan perceived classroom goals structure siswa SMA pada pelajaran (1) Matematika, (2) Bahasa Indonesia (3) Bahasa Inggris? Hasil dari penelitian ini dapat menambah literatur mengenai konsep student engagement dan perceived classroom goal structure untuk situasi di Jabodetabek. Selain itu, penelitian dapat bermanfaat untuk digunakan sebagai acuan untuk mengevaluasi struktur kelas pada jenjang pendidikan SMA, khususnya pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris guna menumbuhkan

student engagement. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian lanjutan di area student engagement ataupun perceived classroom goal structure dan merupakan suatu langkah kecil dalam upaya pengembangan pendidikan di Indonesia.

2. Tinjauan Teoritis 2.1 Student Engagement

Meskipun terdapat suatu kesepakatan umum bahwa student engagement menimbulkan dampak yang positif, namun hingga saat ini belum disepakati suatu definisi mengenai student engagement (Harris, 2008). Definisi-definisi awal dari student engagement bersifat unidimensional dan berfokus kepada aspek tingkah laku siswa. Menurut Natriello (1984; dalam Appleton, Christenson & Furlong, 2008), student engagement merupakan partisipasi siswa dalam kegiatan yang menjadi bagian dari program sekolah. Newmann, Wehlage, & Lamborn (1992; dalam Appleton, et al., 2008) mendefinisikan student engagement sebagai

(6)

investasi psikologis dan usaha yang dikerahkan siswa terhadap pembelajaran, pemahaman atau penguasaan suatu pengetahuan, keterampilan atau karya yang menjadi tujuan dari kegiatan akademis. Marks (2000) mengusulkan definisi student engagement sebagai suatu proses psikologis, khususnya perhatian, ketertarikan, investasi, dan upaya yang dikerahkan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Dari penjelasan tersebut, peneliti menggarisbawahi bahwa setiap definisi mengandung tiga unsur yang serupa, yaitu siswa sebagai subjek, tindakan dari siswa, dan aktivitas sebagai objek tujuan dari tindakan tersebut. Untuk kepentingan penelitian ini, aktivitas yang dimaksud adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam lingkungan kelas. Peneliti juga ingin menyoroti bahwa student engagement merupakan suatu konstruk multidimensional dan merujuk kepada ulasan Fredricks et al. (2004), yang terdiri atas aspek tingkah laku (behavioral), emosi, dan kognitif. Jadi, definisi student engagement yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tingkah laku, emosi, dan upaya kognitif yang dimunculkan siswa ketika mengikuti aktivitas kelas.

Berdasarkan ulasan dari Fredricks et al. (2004), student engagement merupakan suatu konstruk multidimensional yang terdiri atas tiga dimensi, yaitu behavioral engagement, emotional engagement, dan cognitive engagement:

Behavioral engagement merujuk partisipasi dan keterlibatan dalam kegiatan akademis maupun sosial. Perilaku siswa yang mencerminkan behavioral engagement dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu kepatuhan terhadap peraturan, keterlibatan dalam kegiatan belajar (memperhatikan pelajaran, bertanya dan ikut serta dalam diskusi), serta partisipasi dalam kegiatan olahraga maupun organisasi sekolah kelas (Fredricks et al., 2004). Dimensi ini dianggap sangat penting dalam pencapaian hasil akademis yang positif dan mencegah putus sekolah (Connel, 1990; Finn, 1989 dalam Fredricks et al., 2005).

Emotional engagement merujuk kepada sikap, ketertarikan, penilaian (value), dan reaksi afektif siswa terhadap kelas, guru, teman sekelas ataupun sekolah (Connell & Wellborn, 1991; Skinner & Belmont, 1993, Lee & Smith, 1995; Stipek, 2002 dalam Fredricks et al., 2004). Dimensi emotional engagement dianggap penting untuk menumbuhkan rasa keterikatan siswa terhadap instansi pendidikannya (sekolah ataupun kelas) dan mempengaruhi kesediaan siswa untuk belajar (Connel, 1990; Finn, 1989 dalam Fredricks et al., 2005).

Cognitive engagement merujuk kepada konsep investasi, yaitu siswa bersedia untuk mengerahkan usaha yang dibutuhkan, atau bahkan lebih dari yang dibutuhkan guna memahami suatu materi ataupun penguasaan terhadap suatu kemampuan. Fredricks et al.

(7)

(2004) menjelaskan bahwa cognitive engagement meliputi motivasi untuk belajar dan menggunakan strategi kognitif dan metakognitif dalam berpikir dan belajar.

2.2 Perceived Classroom Goal Structure

Ames dan Archer (1988), melakukan suatu penelitian untuk mengidentifikasi unsur-unsur dari lingkungan kelas yang dapat mendorong pengadopsian goal orientation, baik

mastery maupun performance, kepada para siswanya. Ames dan Archer mendefinisikan unsur-unsur tersebut sebagai classroom goals structure. Classroom goals structure, secara umum dapat diartikan sebagai pesan yang tersampaikan dalam suatu lingkungan (kelas ataupun sekolah) yang menonjolkan suatu goal tertentu (Urdan, 2010). Elliot dan Church (1997; dalam Church, Elliot & Gable 2001) mengajukan sebuah revisi terhadap teori dikotomi goal orientation dan membedakan performace goals menjadi performance-approach dan performance-avoid. Merujuk kepada revisi ini, peneliti hendak melengkapi definisi Urdan (2010) mengenai classroom goals structure menjadi kebijakan, praktik, kepercayaan umum dan norma yang diberlakukan untuk menimbulkan goals tertentu, baik itu

mastery, performance-approach atau performance-avoid, pada siswa dalam sebuah kelas. Berdasarkan goal orientation yang dikemukakan oleh Elliot dan Church (1997; dalam Church, Elliot & Gable 2001), maka terdapat tiga macam classroom goals structure, yaitu

mastery goals oriented classrooms, performance-approach goals oriented classrooms, dan

performance-avoid goals oriented classrooms.

Keberhasilan classroom goals structure yang direncanakan untuk menimbulkan goal orientation tertentu pada siswanya, sangat bergantung terhadap persepsi dari siswanya atau yang disebut sebagai perceived classroom goals structure (PCGS). PCGS siswa terhadap kelasnya menjadi prediktor yang kuat akan goal orientation yang akan dimiliki oleh siswa (Bong, 2005; Roeser, Midgely & Urdan, 1996). Untuk menyusun definisi dari PCGS, peneliti merujuk kepada penjelasan Urdan (2010) mengenai classroom goal structure. Peneliti menjelaskan PCGS sebagai persepsi siswa terhadap kebijakan, praktik, kepercayaan umum dan norma yang diberlakukan untuk menimbulkan goals tertentu, baik itu mastery, performance-approach atau performance-avoid, pada siswa dalam sebuah kelas.

Tipe classroom goals structure pertama adalah mastery goal oriented classrooms, yaitu kelas yang berusaha untuk mendorong pengadopsian mastery goals pada siswa-siswanya.

Mastery goal merupakan tujuan dari tingkah laku siswa yang berfokus terhadap pengembangan kompetensi dan penguasaan akan materi dan tugas (Church, Elliot & Gable

(8)

2001). Individu dengan mastery goals bertujuan untuk mengembangkan keterampilan baru, memahami materi dan tugas yang mereka pelajari, mempertajam kompetensi dan mencapai penguasaan berdasarkan standar yang ditetapkan oleh dirinya sendiri (Ames, 1992; Brophy, 1983; Meece, Blumenfeld & Hoyle, 1988; Nicholls, 1989; dalam Ames 1992). Untuk dapat memunculkan mastery goals dan dinyatakan sebagai mastery goal oriented classrooms, maka kelas tersebut harus fokus terhadap pengembangan keterampilan, pemahaman dan penguasaan terhadap materi yang diajarkan lebih penting dibandingkan dengan nilai akhirnya saja (Bong, 2008; Hartigan 2012).

Tipe classroom goal structure berikutnya adalah performance-approach goal oriented classrooms, yaitu kelas yang mendorong siswanya untuk kemudian memiliki performance-approach goal orientation. Individu dengan performance-approach goal orientation

senantiasa berupaya mencari penilaian positif akan kebolehannya (Church, Elliot & Gable 2001). Berbeda dengan mastery goals yang menentukan kompetensi berdasarkan perkembangan yang dialami dan standar yang ditentukan sendiri, individu dengan

performance-approach goal orientation mengandalkan penilaian orang lain untuk menentukan kompetensi yang dimiliki (Ames, 1992). Kelas yang mendukung pembentukan

performance-approach goals umumnya menekankan kompetisi dan pentingnya perolehan nilai tinggi (Bong, 2008).

Tipe classroom goal structure terakhir adalah performance-avoid goal oriented classrooms. Pada classroom goal structure ini, individu terdorong untuk memiliki

performance-avoid goal orientation, yaitu tujuan siswa untuk menghindari penilaian negatif karena terlihat tidak kompeten (Church, Elliot & Gable 2001). Serupa dengan performance-approach, individu dengan performance-avoid goals melakukan penilaian akan kompetensinya berdasarkan perbandingan sosial dan penilaian orang lain terhadap dirinya. Perbedaannya dengan performance-approach yang mencari pengakuan dari orang lain, individu dengan performance-avoid menghindari penilaian yang negatif. Hal ini cenderung terjadi pada siswa-siswa yang tidak percaya diri dan memiliki prestasi yang relatif rendah (Ames, 1992). Baik performance-approach maupun performance-avoid muncul dari kelas yang menekankan akan kompetensi dan peroleh nilai yang tinggi (Bong, 2008).

3.Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan pengambilan data yang dilakukan hanya sekali (one-shot study). Terdapat tiga hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:

(9)

a) HA1: Terdapat hubungan yang signifikan antara student engagement dan PCGS siswa SMA kelas 11 pada pelajaran Matematika.

b) HA2: Terdapat hubungan yang signifikan antara student engagement dan PCGS siswa SMA kelas 11 pada pelajaran Bahasa Indonesia.

c) HA3: Terdapat hubungan yang signifikan antara student engagement dan PCGS siswa SMA kelas 11 pada pelajaran Bahasa Inggris.

Partisipan dalam penelitian adalah siswa SMA/SMK JABODETABEK kelas 11. Alasan peneliti memilih jenjang SMA didasari penelitian Marks (2000) yang menyatakan bahwa student engagement paling tinggi pada jenjang sekolah dasar yang kemudian menurun ketika SMP dan semakin menurun ketika masuk SMA. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa student engagement pada tingkat SMA adalah yang paling rendah di masa sekolah. Pemilihan kelas 11 didasari pertimbangan bahwa siswa pada kelas tersebut telah beradaptasi lebih dari satu tahun dengan lingkungan kelasnya dan memiliki sikap serta persepsi yang lebih ajeg terhadap kegiatan di kelasnya. Selain itu, dengan proses penyesuaian dan adaptasi yang telah dilalui siswa kelas 11, peneliti mengasumsikan bahwa siswa pada tingkat tersebut memiliki karakteristik yang paling representatif terhadap siswa SMA. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik accidental sampling melalui penyebaran kuesioner yang dilakukan secara online dengan menyebarkan link kuesioner kepada siswa SMA yang memenuhi karakteristik partisipan penelitian.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk kuesioner self-report. Pada penelitian ini peneliti alat ukur student engagement yang diadaptasi dari Student Engagement Measures-McArthur oleh Fredricks et al. (2005). Alat ukur ini terdiri dari 19 item, namun peneliti juga menambahkan tiga buah item yang dirasa relevan dengan zaman dan konteks pendidikan di Indonesia pada saat ini, sehingga item kuesioner berjumlah 22. Peneliti menggunakan skala Likert dengan empat pilihan respon yaitu “Tidak pernah”, “Jarang”, “Sering”, dan “Selalu”. Setiap item diberi skor dari 1 untuk pilihan “Tidak Pernah” hingga skor 4 untuk pilihan “Selalu”. Pada item-item yang unfavorable, skor dibalik menjadi 4 untuk “Tidak Pernah” dan 1 untuk “Selalu”. Dari hasil uji reliabilitas, koefisien Cronbach Alpha dari reliabilitas keseluruhan alat ukur Student Engagement Measure-McArthur yang telah diadaptasi adalah sebesar 0,929. Selain itu, juga dilakukan uji reliabilitas pada setiap dimensinya dan diperoleh nilai Cronbach Alpha sebesar 0,938 untuk emotional engagement, 0,66 untuk behavioral engagement, dan 0,822 untuk cognitive engagement. Dari hasil

(10)

5.Pembahasan

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan student engagement

memiliki hubungan yang signifikan dengan perceived classroom goals structure dan dari hasil multiple regression analysis didapatkan bahwa tipe persepsi classroom mastery goal structure memberikan sumbangan terbesar terhadap student engagement. Berikut akan dijabarkan interpretasi terhadap hasil penelitian, keterkaitan hasil dengan penelitian yang pernah terjadi sebelumnya, serta implikasi dari hasil yang diperoleh. Pertama-tama peneliti akan membahas interpretasi terhadap hubungan tiap-tiap dimensi student engagement dengan

perceived classroom goals structure.

Dari hasil pengolahan data yang dilakukan, behavioral engagement terbukti memiliki hubungan signifikan dengan perceived classroom goals structure dan hasil tersebut terdapat pada setiap matapelajaran. Tipe persepsi classroom mastery goal structure pun terbukti sebagai penyumbang terbesar dari varians behavioral engagement. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin siswa memersepsikan kelasnya sebagai kelas yang mendorong pembentukan mastery goals akan diikuti dengan peningkatan dari tingkah laku behavioral engagement, seperti partisipasi dan keterlibatan siswa dalam aktivitas kelas.

Berbeda dengan behavioral engagement, hubungan signifikan antara dimensi

emotional engagement dengan perceived classroom goal structure ditemukan pada matapelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, namun tidak pada pelajaran Matematika. Peneliti mencurigai adanya variabel moderator yang dapat mengubah hubungan antara

perceived classroom goal structure dan emotional engagement yang perlu dianalisis lebih lanjut. Namun, dari hubungan signifikan yang diperoleh pada matapelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, mengindikasikan bahwa semakin siswa memersepsikan kelasnya sebagai kelas yang mendorong pembentukan mastery goals, yaitu kelas yang berfokus kepada perkembangan individu dan bukan kepada hasil atau posisi prestasi siswa dibandingkan siswa yang lain, maka akan disertai kenaikan oleh emotional engagement. Kenaikan pada emotional engagement berarti kenaikan dalam afek, emosi dan respons positif siswa terhadap kegiatan kelas. Selain itu, peneliti juga melihat bahwa terdapat hubungan yang negatif yang signifikan antara tipe persepsi classroom performance-approach goal structure

dengan emotional engagement pada pelajaran Bahasa Indonesia. Ini berarti siswa yang memersepsikan kelasnya sebagai kelas yang berfokus kepada pencapaian hasil atau nilai yang tinggi dan mendukung kompetisi dan perbandingan sosial antar siswa ( performance-approach goal), maka akan diikuti penurunan dalam emotional engagement, yaitu afek dan

(11)

sikap negatif terhadap kegiatan dalam kelas tersebut. Hubungan negatif ini perlu diteliti lanjut dengan keterkaitannya akan self-perception dan prestasi siswa dalam matapelajaran tersebut karena menurut Ames (1992), bagi siswa yang merasa dirinya mampu akan dapat berkompetisi dan bersaing untuk mencapai nilai yang tinggi, namun siswa yang merasa dirinya tidak mampu akan kehilangan kepercayaan dirinya dan menghindari terlihat tidak kompeten.

Serupa dengan hasil dari behavioral engagement, hubungan signifikan antara

cognitive engagement dan perceived classroom goal structure ditemukan pada ketiga matapelajaran yang diteliti. Akan tetapi, pada matapelajaran Bahasa Inggris, secara keseluruhan perceieved classroom goal structure berhubungan signifikan dengan cognitive engagement, namun tidak ditemukan suatu hubungan yang signifikan antara tipe-tipe

perceived classroom goal structure dengan cognitive engagement. Dari hasil analisis juga ditemukan bahwa tipe persepsi classroom mastery goal structure kembali menjadi penyumbang terbesar terhadap varians cognitive engagement. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa, semakin siswa memersepsikan kelasnya sebagai kelas yang menonjolkan

mastery goals, maka akan disertai kenaikan dalam cognitive engagement, yaitu upaya siswa untuk berusaha lebih dalam memahami materi dan keterampilan yang diajarkan di kelas. Peneliti juga hendak menyoroti bahwa berbeda dengan dimensi student engagement lainnya, tidak ditemukan satupun hubungan negatif antara cognitive engagement dengan tipe-tipe

perceived classroom goal structure. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa dapat tetap

engaged secara kognitif meskipun memersepsikan kelasnya sebagai performance approach

ataupun performance avoid. Peneliti berasumsi bahwa perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh alat ukur student engagement yang digunakan, khususnya item-item pada dimensi

cognitive engagement tidak menyebutkan konteks lingkungan kelas. Item-item cognitive engagement mengukur usaha tambahan yang siswa berikan untuk memahami materi yang telah dipelajari, namun mayoritas dari item-item tersebut menggambarkan usaha tambahan yang dapat dilakukan siswa diluar lingkup kelas. Dengan demikian tidak dapat diperoleh informasi mengenai hubungan antara perceived classroom goal structure dengan student engagement.

Peneliti juga ingin menyoroti bahwa diantara ketiga tipe perceived classroom goal structure, mastery terbukti memiliki hubungan yang signifikan dan memberikan sumbangan paling besar terhadap student engagement. Implikasi teoretis dari penemuan ini adalah bahwa pengukuran akan perceived classroom goal structure, khususnya tipe persepsi classroom

(12)

Implikasi praktis dari penemuan penelitian ini adalah bahwa kelas yang dipersepsikan oleh siswa sebagai kelas yang berfokus kepada perkembangan tiap-tiap individu tanpa melakukan perbandingan dan mendukung siswa untuk menguasai, memahami, dan berprestasi sesuai dengan standar yang telah ditentukan sendiri, akan disertai kenaikan dalam partisipasi siswa, emosi, dan sikap yang positif terhadap kegiatan belajar serta kenaikan dalam upaya siswa untuk memahami dan menguasai materi yang diajarkan di kelas. Temuan ini konsisten dan menambah temuan beragam penelitian yang menunjukkan bahwa pengadopsian mastery goals berhubungan dengan berbagai dampak positif (Ames, 1992; Urdan 2010, Hartigan 2012, Meece, Anderman dan Anderman 2006).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan bahwa baik student engagement maupun perceived classroom goal structure merupakan variabel yang sangat bergantung kepada konteks kelasnya. Hal ini terlihat dari ketidakseragaman hasil hubungan yang diperoleh diantara ketiga matapelajaran tersebut. Terdapat begitu banyak kemungkinan bahwa terdapat faktor-faktor dalam kelas yang mempengaruhi hubungan antara kedua variabel. Berdasarkan Dweck (1986; dalam Ames, 1992), self-concept merupakan variabel mediator antara variabel-variabel tingkah laku, emosional, dan kognitif dengan tingkah laku siswa dalam kelas pada siswa-siswa yang mengadopsi performance goals. Hal tersebut dapat menjadi variabel mediator, sehingga tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara tipe PCGS yang approach maupun avoid dengan student engagement.

Selain itu, Bong (2005), juga mengatakan bahwa PCGS siswa tidak hanya terbentuk dari cara guru mengelola unsur-unsur dari kelasnya, namun juga dipengaruhi oleh sikap dan tingkah laku dari teman-teman sekelas. Kompetisi dalam kelas yang identik dengan

performance goals dapat terbentuk karena siswa-siswanya yang memiliki sikap kompetitif (Bong, 2005). Dalam alat ukur PCGS yang digunakan, tidak terdapat pembeda yang jelas antara mana persepsi yang timbul karena pengelolaan guru dan mana yang merupakan hasil interaksi dengan siswa lain. Ditambah lagi dengan fakta bahwa partisipan dari penelitian ini merupakan siswa SMA, yang pada masa tersebut interaksi dengan teman memegang pengaruh yang besar terhadap tingkah laku siswa, maka peer interaction merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hubungan antara PCGS dengan student engagement.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan salah satu skala dari Pattern of Adaptive Learning Survey (PALS) untuk memberikan gambaran umum mengenai persepsi siswa secara terhadap struktur dari kelasnya. Akan tetapi, dari hasil tersebut tidak diketahui persepsi siswa detail unsur-unsur dari struktur tersebut. Dalam penelitiannya Ames (1992, dalam

(13)

guru mengatur dan mengelolanya, yang dapat mempengaruhi motivasi dan keterlibatan kognitif dari siswa dalam kelas. Ames (1992) menggunakan sebuah akronim TARGET untuk mewakili keenam unsur struktur tersebut, yaitu Task, Authority, Recognition, Grouping, Evaluation, dan Time. Meskipun penyusunan PALS juga berlandaskan kepada teori dari Ames (1992) dan telah dibuktikan valid reliabel dan digunakan selama bertahun-tahun, namun tidak dapat memberikan informasi mengenai setiap unsur tersebut.

6.Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

Meskipun dimensi emotional engagement pada matapelajaran Matematika tidak memiliki hubungan yang signifikan, akan tetapi secara umum, terdapat hubungan yang signifikan antara ketiga dimensi student engagement dan perceived classroom goals structure

siswa kelas 11 pada matapelajaran Matematika. Tipe perceived classroom goals structure

yang memberikan sumbangan paling besar terhadap student engagement pada matapelajaran Matematika, adalah tipe persepsi classroom mastery goals structure. Berdasarkan temuan tersebut, semakin siswa memersepsikan kelasnya sebagai kelas yang mendorong pengadopsian mastery goals, maka akan diikuti dengan kenaikan studentengagement siswa.

Terdapat hubungan yang signifikan antara ketiga dimensi student engagement dan

perceived classroom goals structure siswa kelas 11 pada matapelajaran Bahasa Indonesia. Tipe perceived classroom goals structure yang memberikan sumbangan paling besar terhadap student engagement pada matapelajaran Bahasa Indonesia, adalah tipe persepsi

classroom mastery goals structure. Berdasarkan temuan tersebut, semakin siswa memersepsikan kelasnya sebagai kelas yang mendorong pengadopsian mastery goals, maka akan diikuti dengan kenaikan student engagement Bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa student engagement memiliki hubungan yang signifikan dengan perceived classroom goals structure.

Terdapat hubungan yang signifikan antara ketiga dimensi student engagement dan

perceived classroom goals structure siswa kelas 11 pada matapelajaran Bahasa Indonesia. Tipe perceived classroom goals structure classroom mastery goals structure memberikan sumbangan terbesar pada dimensi behavioral dan emotional engagement, akan tetapi tidak pada cognitive engagement. Meskipun demikian, dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin siswa memersepsikan kelasnya sebagai kelas yang mendorong pengadopsian

(14)

7. Saran

Penelitian lanjutan yang dapat dilakukan adalah penelitian yang menggunakan alat ukur yang dapat memberikan informasi mengenai persepsi siswa terhadap unsur-unsur dari struktur kelas berdasarkan konsep TARGET dari Ames (1992). Dengan demikian, hasil penelitian dapat digunakan untuk memberikan evaluasi dan saran praktis kepada sekolah dan guru mengenai pengelolaan unsur-unsur kelas untuk memberikan dampak yang positif bagi kegiatan belajar. Selain itu, mengingat akan keberagaman hasil yang diperoleh dari setiap kelas, peneliti juga menyarankan agar dilakukan penelitian untuk mengeksplorasi faktor-faktor kontekstual kelas maupun personal tiap individu siswa dan menggunakan analisis moderator untuk mengetahui pengaruh setiap faktor terhadap hubungan student engagement

dan perceived classroom goal structure. Peneliti juga menyarankan untuk mengukur self-concept dan peer influences untuk penelitian selanjutnya, karena merupakan faktor penengah antara PCGS dengan student engagement.

Peneliti juga menyarankan agar pengumpulan data dilakukan secara tatap muka dan dalam jumlah yang banyak pada saat yang bersamaan, misalnya dalam suatu lab yang tersedia beberapa komputer. Dengan demikian peneliti dapat menjawab pertanyaan partisipan apabila ada yang mereka bingungkan. Selain itu, peneliti juga menyarankan pengujian reliabilitas, validitas dan pengambilan data dengan jumlah sampel yang lebih besar guna mendapatkan hasil data yang lebih akurat. Peneliti juga menyarankan studi yang menggunakan desain within-subject design untuk mengetahui perbandingan hubungan

perceived classroom goal structure dan student engagement terkait faktor-faktor personal dan perbandingan hubungan tersebut untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris pada tingkat individual

Daftar Pustaka

Akuntono, I. (2012). Wamendikbud: Pendidikan kita membosankan. Diunduh pada tanggal 20 Mei 2013, dari http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/28/11061385/Wamendikbud.Pen didikan.Kita.Membosankan.

Ames, C. (1992). Classrooms: Goals, structures, and student motivation.. Journal of Educational Psychology, 84(3), 261-271.

Ames, C. & Archer, J. (1988). Achievement goals in the classroom: Students’ learning strategies and motivation processes. Journal of Educational Psychology, 80(3), 260-267.

Appleton, J.J., Christenson, S.L., & Furlong, M. (2008). Student engagement with school: Critical conceptual and methodological issues of the construct.

(15)

Blackburn, M. A. (1998). Cheating and motivation: An examination of the relationships among cheating behaviours, motivational goals, cognitive engagement, and perceptions of classroom goal structures. Diunduh dari

ProQuest Dissertations & Theses (PQDT).

Bong, M. (2008). Effects of parent-child relationship and classroom goal structures on motivation, help-seeking avoidance, and cheating. The Journal of Experimental Education, 76(2), 191-217.

Church, M.A., Elliot, A.J., & Gable, S.L. (2001). Perceptions of classroom environment, achievement goals, and achievement outcomes. Journal of Educational Psychology, 93(1), 43-54.

Fredricks, J.A., Blumenfeld, P.C., & Paris, A.H. (2004). School engagement: Potential of the concept, state of the evidence. Review of Educational Research, 74(1), 59-109. Fredricks, J.A., Blumenfeld, P., Friedel, J., & Paris, A.H. (2005). School engagement

Dalam K.A. Moore & L.H. Lippman (Ed.), What do children need to flourish? Conceptualizing and measuring indicators of positive development (pp. 305-321). New York: Springer.

Harris, L.R. (2008). A phenomenographic investigation of teacher conceptions of student engagement in learning. The Australian Educational Researcher, 35 (1), 57-79. Hartigan, A. (2012). Using cognitive interviewing to assess primary students’

perceptions of classroom goal structures. (Disertasi doctoral, George Mason University,2012).Diunduh dari

http://digilib.gmu.edu/dspace/bitstream/1920/8084/1/Hartigan_gmu_0883E10208.pdf

Maehr, M.L. & Midgley, C. (1991). Enhancing student motivation: A schoolwide approach.

Educational Psychologist, 26(3&4), 399-427.

Meece, J.L., Anderman, E.M., & Anderman, L.H. (2006). Classroom goal structure, student motivation, and academic achievement. Annu. Rev. Psychol., 57, 487-503.

Midgley, C., Maehr, M.L., Hruda L.Z., Anderman, E., Anderman, L., & Freeman, K.E., dkk. (2000). Manual for the patterns of adaptive learning scales. Michigan: The University of Michigan.

OECD. (2009). PISA 2009 Results:What Students Know and Can Do. Student performance in reading,mathematics and science. Paris: OECD.

(16)

pengujian validitas, menggunakan internal consistency, kisaran koefisien validitas item-item

dari alat ukur student engagement adalah 0,218 hingga 0,862.

Untuk mengukur PCGS, peneliti mengadaptasi salah satu subskala dari alat Patterns of Adaptive Learning Scales, yaitu perception of classroom goals structure scales yang disusun oleh Midgley, et al. (2000). Midgley et al. (2000) menyatakan bahwa skala-skala dari alat ukur ini dapat digunakan secara sendiri-sendiri, sehingga peneliti hanya menggunakan skala yang diperlukan sesuai tujuan penelitian. Alat ukur ini terdiri dari 14 item dan peneliti menggunakan skala Likert dengan empat pilihan respon yaitu “Sangat Tidak Sesuai”, “Tidak Sesuai”, “Sesuai”, dan “Sangat Sesuai”. Setiap item diberi skor dari 1 untuk pilihan “Sangat Tidak Sesuai” hingga skor 4 untuk pilihan “Sangat Sesuai”. Dari hasil uji diperoleh koefisien Cronbach Alpha dari reliabilitas skala Classroom Mastery Goals Structure adalah sebesar 0,617, kemudian 0,681 untuk Classroom Approach Goals Structure, dan 0,781 Classroom Avoid Goals Structure. Dari hasil pengujian validitas, kisaran koefisien validitas item-item

dari alat ukur PCGS adalah 0,012 hingga 0,751. Peneliti menyadari terdapat dua item yang tidak melewati standar minimal 0,2, yaitu item nomor 2 dengan Corrected Item-Total Correlation sebesar 0,102 dan item nomor 14 yaitu sebesar 0,012.

4. Hasil Penelitian

4.1 Gambaran Partisipan

Dari 240 partisipan yang mengisi kuesioner yang disebar, hanya 188 data yang dapat terpakai, yaitu 64 untuk kuesioner pelajaran Matematika, 63 untuk kuesioner pelajaran Bahasa Indonesia, dan 61 untuk kuesioner pelajaran Bahasa Inggris.

Tabel 4.1

Gambaran Demografis Partisipan Penelitian

Pelajaran Matematika n=64 Pelajaran Bahasa Indonesia n=63 Pelajaran Bahasa Inggris n=61 Karakteristik

Partisipan Data Partisipan Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase

Jenis Kelamin Laki-Laki 20 31.2% 18 28.6% 24 39.3% Perempuan 44 68.8% 45 71.4% 37 60.7% Jenis Sekolah SMA Negeri 40 62.5% 30 47.6% 41 67.2% SMA Swasta 21 32.8% 33 52.4% 19 31.1% SMK 3 4.7% - - - Lain-lain - - - - 1 1.6% Jurusan IPA 40 62.5% 47 74.6% 43 70.5% IPS 18 28.1% 15 23.8% 18 29.5% Bahasa 3 4.7% 1 1.6% - - Lain 3 4.7% - - - -

(17)

Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa mayoritas dari partisipan penelitian adalah perempuan atau siswi kelas 12 SMA, siswa yang bersekolah di SMA Negeri, dan siswa dari jurusan studi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolahnya.

4.2 Hasil Analisis

Peneliti menggunakan multiple regression analysis untuk menguji hubungan antara kedua variabel, serta untuk mengetahui tipe perceived classroom goal structure mana yang paling berkontribusi terhadap hubungan tersebut. Rincian dari hasil analysis dapat dilihat di tabel 4.2.

Dari Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa hasil multiple regression analysis

mengindikasikan 15,9% dari varians behavioral engagement dapat dijelaskan oleh perceived classroom goals structure (R²=0,159) dan signifikan pada L.o.S 0,05. Selain itu, juga ditemukan bahwa persepsi tipe classroom mastery goals structure (Beta=0,294; p<0,05)

memberikan sumbangan terbesar terhadap behavioral engagement, sedangkan tipe persepsi yang lainnya tidak cukup signifikan untuk menyumbang bagi behavioral engagement.

Dari hasil multiple regression analysis mengindikasikan bahwa perceived classroom goals structure tidak memiliki hubungan yang signifikan pada L.o.S 0,05, terhadap varians

emotional engagement (R²=0,076). Dari hasil analisis, ketiga tipe perceived classroom goals structure tidak memberikan sumbangan yang signifikan terhadap emotional engagement.

Selain itu, diperoleh hasil bahwa 13,7% dari varians cognitive engagement dapat dijelaskan oleh perceived classroom goals structure (R²=0,137) dan signifikan pada L.o.S 0,05. Dapat dilihat bahwa persepsi tipe classroom mastery goals structure (Beta=0,318; p<0,05) memberikan sumbangan terbesar terhadap cognitive engagement, sedangkan tipe persepsi yang lainnya tidak cukup signifikan untuk menyumbang bagi cognitive engagement.

Dalam tabel 4.2 dapat dilihat bahwa hasil multiple regression analysis

mengindikasikan 18,2% dari varians behavioral engagement dapat dijelaskan oleh perceived classroom goals structure (R²=0,182) dan signifikan pada L.o.S 0,05. Selain itu, juga ditemukan bahwa persepsi tipe classroom mastery goals structure (Beta=0,409; p<0,05) memberikan sumbangan terbesar terhadap behavioral engagement, sedangkan tipe persepsi yang lainnya tidak cukup signifikan untuk menyumbang bagi behavioral engagement.

Dari dimensi emotional engagement, hasil multiple regression analysis

mengindikasikan 32,9% dari varians emotional engagement dapat dijelaskan oleh perceived classroom goals structure (R²=0,329)dan signifikan pada L.o.S 0,05. Ditemukan juga bahwa

(18)

persepsi tipe classroom mastery goals structure (Beta=0,491; p<0,05) memberikan sumbangan terbesar terhadap emotional engagement, diikuti oleh tipe persepsi classroom approach goals structure (Beta=0.341; p<0,05) yang juga memiliki hubungan yang signifikan dengan emotional engagement. Perbedaannya, tipe persepsi yang mastery memilki hubungan yang positif dengan emotional engagement, sedangkan tipe persepsi yang

approach memiliki hubungan yang negatif. Untuk tipe persepsi lainnya tidak cukup signifikan untuk menyumbang bagi emotional engagement.

Dari hasil analisis juga ditemukan bahwa 18,6% dari varians cognitive engagement

dapat dijelaskan oleh perceived classroom goals structure (R²=0,186) dan signifikan pada L.o.S 0,05. Selain itu, juga ditemukan bahwa persepsi tipe classroom mastery goals structure

(Beta=0,759; p<0,05) memberikan sumbangan terbesar terhadap cognitive engagement,

namun kedua tipe persepsi yang lainnya tidak cukup signifikan untuk menyumbang bagi

cognitive engagement.

Berdasarkan tabel 4.2, hasil multiple regression analysis mengindikasikan bahwa 15,8% dari varians behavioral engagement dapat dijelaskan oleh perceived classroom goals structure (R²=0,158) dan signifikan pada L.o.S 0.05. Selain itu, juga ditemukan bahwa persepsi tipe classroom mastery goals structure (Beta=0.439; p<0,05) memberikan sumbangan terbesar terhadap behavioral engagement, sedangkan tipe persepsi yang lainnya tidak cukup signifikan untuk menyumbang bagi behavioral engagement.

Tabel 4.2 juga menampilkan hasil multiple regression analysis yang mengindikasikan bahwa 30,3% dari varians emotional engagement dapat dijelaskan oleh perceived classroom goals structure (R²=0,303) dan signifikan pada L.o.S 0,05. Dari penghitungan tersebut juga ditemukan bahwa persepsi tipe classroom mastery goals structure (Beta=0,819; p<0,05) memberikan sumbangan terbesar terhadap emotional engagement, sedangkan tipe persepsi lainnya tidak cukup signifikan untuk menyumbang bagi emotional engagement.

Hasil dari multiple regression analysis mengindikasikan bahwa 15,1% dari varians

cognitive engagement dapat dijelaskan oleh perceived classroom goals structure (R²=0,151) dan signifikan pada L.o.S 0,05. Meskipun secara keseluruhan, perceived classroom goals structure memiliki hubungan yang signifikan dengan cognitive engagement, namun tidak demikian ketika hubungan dari tiap tipe perceived classroom goals structure ditelaah kembali. Dari tabel 4.2, terlihat bahwa tidak ada satupun tipe perceived classroom goals structure yang memiliki hubungan yang signifikan dengan cognitive engagement.

(19)

Tabel 4.2

Hasil Multiple Regression Analysis Behavioral Engagement ke Perceived Classroom Goals Structure

    Behavioral Engagement Emotional Engagement Cognitive Engagement

    R

2 Sig. Beta (β) Sig. R2 Sig. Beta (β) Sig. R2 Sig. Beta (β) Sig.

Matematika n=64

Perception of Classroom Goals Structure 0.159 0.015* - - 0.076 0.186 - - 0.137 0.03* - -

Classroom Mastery Goals Structure - - 0.294 .018* - - 0.189 .140 - - 0.318 .012*

Classroom Approach Goals Structure - - 0.238 .081 - - 0.155 .276 - - 0.038 .782

Classroom Avoid Goals Structure - - -0.014 .918 - - -0.167 .236 - - 0.183 .182

Bahasa Indonesia n=63

Perception of Classroom Goals Structure 0.182 0.008* - - 0.329 0.000* - 0.186 0.007* - -

Classroom Mastery Goals Structure - - 0.409 .001* - - 0.491 .000* - - 0.417 .001*

Classroom Approach Goals Structure - - -0.123 .383 - - -0.341 .008* - - 0.120 .392

Classroom Avoid Goals Structure - - 0.100 .476 - - 0.027 .828 - - 0.014 .920

Bahasa Inggris n=61

Perception of Classroom Goals Structure 0.158 0.20* - - 0.302 0.000* - - 0.155 0.021* - -

Classroom Mastery Goals Structure - - 0.411 .002* - - 0.526 .000* - - 0.163 .214

Classroom Approach Goals Structure - - -0.17 .905 - - -0.227 .086 - - 0.188 .187

Classroom Avoid Goals Structure - - -0.047 .752 - - 0.107 .428 - - 0.168 .245

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini menyatakan bahwa proposal pengabdian saya dengan judul &#34;PELATIHAN ALUR LOGIKA UNTUK SISWA SMAN 1 BALEENDAH&#34; yang saya usulkan dalam

Oleh karena itu, proses kegiatan Tebak Gambar ini haruslah sesuai dengan kondisi anak, harus memiliki bahan dan alat sesuai kebutuhan di sekolah, guru dan anak sehingga

Sebagai kelanjutan proses pelelangan ini, kami mengundang saudara untuk menghadiri tahapan verifikasi dan pembuktian kualifikasi paket pekerjaan Jalan Usaha Tani Gampong Geunang

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan,”Hukum Perdata Islam di Indonesia; studi kritis perkembangan hukum Islam dari Fiqih; UU no.1 tahun 1974 sampai KHI”, yang

tentang tehnik relaksasi nafas dalam adalah dengan cara perawat harus lebih banyak menginformasikan bahkan menerapkan teknik ini kepada pasien yang mengalami nyeri

It is worth citing Eliot's assumptions about the conditions of Virgil's writing, assumptions which led him to see the Aeneid as the classic par excellence : ``We expect the language

butir soal dengan materi dan kesesuaian butir soal dengan indikator soal. Sedangkan untuk validitas butir soal diperoleh berdasarkan hasil. uji coba instrumen. Teknik yang

Pada Penulisan Ilmiah ini, penulis mencoba menerapkan suatu pencarian letak kost dengan menggunakan komputer yang terdiri dari perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak