• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN DISERTASI DOKTOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN DISERTASI DOKTOR"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KEMAJUAN

PENELITIAN DISERTASI DOKTOR

STRUKTUR NEGOSIASI PEDAGOGIS DALAM GENRE

PERKULIAHAN BAHASA INGGRIS DENGAN PENDEKATAN

LINGUISTIK SISTEMIK FUNGSIONAL

Tahun ke-1 dari rencana 1 tahun

PELAKSANA:

SUNARDI, S.S., M.Pd. / NIDN: 0612016601

UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

AGUSTUS 2016

(2)
(3)

2 RINGKASAN

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian disertasi yang sedang dilakukan. Secara keseluruhan, penelitian disertasi yang sedang dilakukan memiliki lima tujuan penelitian, yaitu mendeskripsikan dan menjelaskan genre perkuliahan bahasa Inggris yang dikaji dalam penelitian ini dalam hal: (1) tahapan perkuliahan dalam mencapai tujuan sosialnya; (2) struktur negosiasi pedagogis sebagai realisasi makna interpersonal pada setiap tahapan genre perkuliahan; (3) realisasi leksikogramatikal dari makna eksperensial pada setiap tahapan genre perkuliahan; (4) realisasi leksikogramatikal dari makna tekstual pada setiap tahapan genre perkuliahan; dan (5) hubungan antara realisasi makna interpersonal, eksperensial, dan tekstual dengan tahapan genre perkuliahan dalam mencapai tujuan sosialnya.

Penelitian ini hanya memfokuskan pada pencapaian tujuan 1 dan 2, yaitu mendeskripsikan dan menjelaskan tahapan genre perkuliahan bahasa Inggris dan struktur negosiasi pedagogis sebagai realisasi makna interpersonal pada setiap tahapan genre perkuliahan bahasa Inggris.

Penelitian ini dilakukan dalam pendekatan penelitian kualitatif, dengan menggabungkan metode analisis genre dalam linguistik sistemik fungsional (LSF) dan metode etnografis seperti yang dikemukakan oleh Spradley. Data penelitian ini berupa 10 wacana perkuliahan bahasa Inggris yang dilakukan di program studi bahasa Inggris pada perguruan tinggi di Kota Semarang. Data tersebut ditentukan secara purposif dengan menggunakan kriteria tertentu (criterion-based selection) untuk lokasi perkuliahan dan dosen pengampu. Lokasi penelitian ini adalah lima perguruang tinggi yang memiliki program studi bahasa Inggris, yaitu Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS), Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA), dan Universitas Stikubank (UNISBANK). Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode pengamatan dan perekaman secara audio dan video terhadap kegiatan perkuliahan, wawancara dengan dosen pengampu, dan kajian terhadap dokumen perkuliahan. Keabsahan data dilakukan dengan menggunakan teknik triangulasi sumber data dan triangulasi metode.

Analisis data dilakukan dengan mendeskripsikan realisasi linguistik dalam genre perkuliahan bahasa Inggris. Setiap wacana perkuliahan dianalisis dalam dua hal, yaitu tahapan perkuliahan dari awal sampai akhir (schematic structures) dan struktur negosiasi (pedagogic exchanges) antara dosen dan mahasiswa dalam melakukan kegiatan perkuliahan. Prosedur analisis data dilakukan dengan mengikuti model analisis etnografis yang terdiri dari empat tahapan analisis, yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponen, dan menemukan tema budaya.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa genre perkuliahan bahasa Inggris terbentuk dari tiga tahapan, yaitu tahap orientasi, tahap diskusi, dan tahap penutup. Masing-masing tahap terbentuk dari beberapa tahap yang lebih kecil. Penelitian ini juga menunjukkan ada dua jenis struktur negosiasi pedagogis antara dosen dan mahasiswa dalam kegiatan perkuliahan, yaitu negosiasi pedagogis triadik (triadic pedagogic exchanges) dan negosiasi pedagogis melalui scaffolding (scaffolded pedagogic exchanges).

(4)

3 PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkah dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Kemajuan Penelitian Disertasi Doktor dengan judul “Struktur Negosiasi Pedagogis dalam Genre Perkuliahan Bahasa Inggris dengan Pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional”.

Berkat bantuan dari berbagai pihak baik pada saat persiapan, masa penelitian, pembahasan maupun pada saat penyusunan Laporan Kemajuan Penelitian ini, maka akhirnya kami dapat menyelesaikan Laporan Kemajuan Penelitian ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat – Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemristekdikti atas dukungan dana dalam penelitian disertasi doktor ini; 2. Rektor Universitas Dian Nuswantoro yang telah memberikan kesempatan seluas-luasnya

kepada Tim Peneliti untuk mengembangkan diri dalam kegiatan penelitian untuk memenuhi unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi;

3. Dekan Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan dorongan kepada kami selaku dosen untuk selalu meningkatkan produktivitas penelitian;

4. Para Ketua Program Studi Sastra Inggris dan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Semarang, Universitas PGRI Semarang, Universitas Dian Nuswantoro, Universitas Katolik Soegijapranata, dan Universitas Stikubank yang telah berkenan terlibat dalam penelitian ini;

5. Kepala Pusat Penelitian, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Dian Nuswantoro beserta staffnya yang telah memberikan banyak dukungan teknis, fasilitas, administrasi guna kelancaran penelitian ini;

6. Teman-teman dosen, khususnya dosen yang menjadi respondedn dalam penelitian, yang telah memberikan ide dan informasi dalam Focused-Group Discussion (FGD); dan 7. Serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah banyak

memberikan bantuan, arahan serta dorongan kepada kami dalam menyelesaikan penelitian ini.

Akhirnya kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun guna perbaikan pelaksanaan penelitian ini.

Semarang, Agustus 2016 Sunardi

(5)

4 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... 0 HALAMAN PENGESAHAN ... 1 RINGKASAN ... 2 PRAKATA ... 3 DAFTAR ISI ... 4 BAB 1. PENDAHULUAN ... 5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 16

BAB 4. METODE PENELITIAN ... 17

BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI ... 19

BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ... 23

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 25

(6)

5 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dalam konteks sosial dan budaya, bahasa yang digunakan dalam interaksi pembelajaran di kelas memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi kognitif, fungsi budaya, dan fungsi pedagogis (Mercer, 2007: 254). Secara kognitif, bahasa memungkinkan peserta pembelajaran memperoleh, memproses, mengorganisasikan, dan mengevaluasi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang mereka pelajari; fungsi budaya memungkinkan penularan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada peserta didik sebagai generasi penerus budaya; sedangkan secara pedagogis bahasa memungkinkan guru/dosen melakukan pembimbingan intelektual terhadap peserta didik. Berkenaan dengan fungsi bahasa dalam konteks pembelajaran (schooling) sebagai fenomena sosial, Christie (2002: 2-3) menyatakan bahwa melalui bahasa lah semua aktivitas pembelajaran dilaksanakan, baik secara lisan maupun tertulis, meskipun bahasa tidak dapat berdiri sendiri dalam kegiatan pendidikan secara umum tetapi merupakan bagian dari sejumlah aktivitas sosial lainnya yang saling berhubungan dalam kegiatan pendidikan.

Penggunaan bahasa Inggris di kelas pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing memiliki karakteristik khusus. Dalam hal ini, bahasa Inggris merupakan bahasa yang menjadi tujuan pembelajaran sekaligus bahasa yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Fenomena bahasa dalam kegiatan pembelajaran seperti ini disebut sebagai “the vehicle and object of instruction” oleh Long (1983: 9), “the subject matter of the lesson, and as the medium of the instruction” oleh Willis (1992: 163), “both a target and medium of education” oleh Gibbons (2003: 247; 2007: 258) dan “the aims of a lesson and the means of achieving those aims” oleh Walsh (2006: 3). Fenomena kelas bahasa (language classroom) seperti ini tidak terjadi ketika bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa perkuliahan (content classroom) dalam kelas mata kuliah ekonomi atau komputer, misalnya, sebagai mata kuliah yang memfokuskan pada materi ekonomi atau komputer. Dalam perkuliahan ekonomi atau komputer ini, perhatian dosen dan mahasiswa semata-mata terpusatkan pada rangkaian materi tentang ekonomi atau komputer yang menjadi pokok bahasan perkuliahan tersebut, tanpa pembahasan pada bahasa Inggris yang digunakan dalam perkuliahan tersebut.

Kegiatan perkuliahan di kelas, termasuk perkuliahan bahasa Inggris pada jurusan bahasa Inggris di perguruan tinggi, merupakan salah satu jenis proses sosial di masyarakat

(7)

6

yang dilaksanakan dengan menggunakan bahasa, sehingga dapat disebut sebagai sebuah genre. Dalam pandangan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF), genre digambarkan sebagai suatu aktifitas sosial dalam suatu budaya tertentu, yang dilakukan secara disengaja, berorientasi kepada pencapaian suatu tujuan, dan dilaksanakan secara bertahap dengan menggunakan bahasa (Martin dalam Eggins, 2004: 26). Berdasarkan pandangan ini, kegiatan perkuliahan dapat disebut sebagai suatu genre karena kegiatan ini dilaksanakan oleh dosen dan mahasiswa dengan menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan pembelajaran, dan tujuan pembelajaran tersebut dicapai melalui serangkaian kegiatan pembelajaran secara bertahap.

Keberadaan karakteristik sebuah genre dalam kegiatan perkuliahan menujukkan bahwa kegiatan perkuliahan merupakan sebuah kegiatan yang terstruktur (Christie, 2002: 3; Walsh, 2006: 3). Salah satu ciri terstrukturnya kegiatan perkuliahan tampak pada pentahapan kegiatan pembelajaran secara keseluruhan dan penggunaan ragam bahasa khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar untuk mencapai tujuan perkuliahan (Christie, 1991: 207). Penggunaan bahasa yang terlihat dari pola leksiko-gramatikanya menunjukkan adanya makna tertentu dalam setiap tahapan kegiatan perkuliahan sebagai suatu proses sosial. Menurut pandangan LSF, bahasa yang menjalankan fungsi sosial menyatakan secara bersamaan tiga makna utama atau metafungsi, yaitu makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual (Christie, 2002: 12; Halliday & Matthiessen, 2014: 29-30; Eggins, 2004: 11-13; Martin, 2009: 11). Makna ideasional menyatakan realitas dunia dan hubungan antara dua realitas atau lebih; makna interpersonal menggambarkan hubungan sosial dan sikap antara penutur dan mitra tutur; dan makna tekstual menggambarkan cara penyampaian makna ideasional dan tekstual tersebut dalam sebuah teks. Ketiga makna metafungsional tersebut pasti tergambarkan dalam semua interaksi pembelajaran antara dosen dan mahasiswa ketika mereka menjalankan kegiatan perkuliahan di kelas dari awal sampai akhir. Realisasi makna metafungsional tersebut tentu saja juga merupakan sesuatu yang sengaja dipilih oleh dosen dan mahasiswa sebagai perwujudan secara verbal untuk mencapai tujuan perkuliahan. Hal ini menunjukkan bahwa wacana perkuliahan bahasa Inggris di Indonesia sebagai sebuah genre menarik untuk dikaji dari sudut pandang linguistik untuk melihat bagaimana bahasa Inggris digunakan dalam proses sosial yang umumnya disebut sebagai kegiatan perkuliahan.

1.2 Permasalahan

Kegiatan pembelajaran di kelas, termasuk perkuliahan bahasa Inggris, telah banyak dijadikan sebagai objek penelitian dalam bentuk analisis wacana kelas (classroom discourse

(8)

7

analysis) (Cazden, 1986: 432-460; Walsh, 2006: 39-61). Penelitian yang utamanya dilakukan oleh Flanders (1970), Sinclair & Coulthard (1975), Mehan (1979), dan Sinclair & Brazil (1982) tersebut merupakan analisis wacana kelas yang dilakukan dengan pendekatan sosiolinguistik yang hanya menggambarkan pola interaksi antara guru dan murid pada tingkatan mikro (Love & Suherdi, 1996: 229). Analisis tersebut belum menggambarkan pola interaksi antara guru dan murid dan hubungannya dengan kegiatan pembelajaran secara keseluruhan, serta hubungannya dengan konteks situasi dan konteks budaya di luar kelas.

Penelitian terhadap wacana kelas yang mampu mendeskripsikan realisasi kebahasaan yang membentuk kegiatan pembelajaran di kelas dan makna di balik realisasi tersebut adalah penelitian yang didasarkan pada LSF yang memandang bahasa sebagai sumber untuk membuat makna dan bukannya sebagai seperangkat aturan (Martin, 2009: 11). Pendekatan ini lebih menekankan pada kegiatan perkuliahan sebagai sebuah teks dan hubungannya dengan konteks yang melingkupi kegiatan perkuliahan tersebut, baik konteks situasi maupun konteks budaya. Dalam pandangan LSF, kegiatan perkuliahan dianggap sebagai suatu genre karena kegiatan perkuliahan memiliki suatu tujuan sosial yang akan dicapainya. Dalam mencapai tujuan tersebut, dosen dan mahasiswa melakukan tahapan kegiatan pembelajaran dari awal sampai akhir, dan tahapan kegiatan tersebut dilaksanakan dengan menggunakan pilihan bahasa tertentu (register) yang sesuai dengan konteks budaya (genre) berlangsungnya kegiatan perkuliahan. Penggunaan bahasa tertentu pada kegiatan perkuliahan menunjukkan adanya makna tertentu yang disampaikan oleh dosen dan mahasiswa. Makna tersebut meliputi makna eksperensial (materi perkuliahan yang dipelajari), makna interpersonal (hubungan sosial antara dosen dan mahasiswa), dan makna tekstual (fungsi bahasa dalam kegiatan perkuliahan).

Penelitian terhadap genre kelas/perkuliahan bahasa Inggris dengan pendekatan LSF telah dilakukan oleh Christie (1991, 1995), Young (1994), Love & Suherdi (1996), dan Sinar (2002). Penelitian-penelitian tersebut sebagaian besar dilakukan pada perkuliahan bahasa Inggris dengan fungsi bahasa Inggris sebagai bahasa pertama dan kedua dalam konteks budaya negara berbahasa Inggris (Australia, Kanada, Malaysia). Selain itu, mereka memfokuskan pada kajian salah satu makna metafungsional (eksperensial, interpersonal, atau tekstual). Sampai saat ini belum ada penelitian genre perkuliahan bahasa Inggris dengan konteks budaya Indonesia dalam pendekatan LSF yang menggambarkan realisasi ketiga jenis makna metafungsional (eksperensial, interpersonal, dan tekstual).

(9)

8 1.3 Urgensi (Keutamaan) Penelitian

Selama ini kajian genre dengan pendekatan LSF terhadap kegiatan pembelajaran bahasa Inggris lebih banyak dilakukan pada genre dasar (elemental genre) ragam tulis yang dihasilkan oleh peserta didik melalui proses pembelajaran berbasis genre (genre-based

approach). Kajian tersebut lebih menitikberatkan pada pembelajaran keterampilan berbahasa Inggris (language skills), khususnya writing. Masih sedikit penelitian dengan pendekatan LSF yang menitikberatkan pada kegiatan pembelajaran dengan materi pengetahuan berbahasa (language contents). Penelitian genre perkuliahan bahasa Inggris yang selama ini dilakukan, seperti penelitian Christie (1991, 1995), Young (1994), Love & Suherdi (1996), dan Sinar (2002), terjadi pada konteks budaya bukan Indonesia (Australia, Kanada, dan Malaysia) dan hanya menitikberatkan pada realisasi salah satu makna metafungsional yang ada dalam genre perkuliahan bahasa Inggris, yaitu eksperensial, interpersonal, atau tekstual.

Dalam konteks pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia, baik di pendidikan tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi, guru/dosen selama ini hanya dikenalkan dengan tahap-tahap kegiatan pembelajaran. Misalnya, dalam pendekatan konvensional, tahapan pembelajaran meliputi: kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Demikian juga, dalam pendekatan berbasis genre, terdapat empat tahapan pembelajaran, yaitu building

knowledge of the field, modelling of the text, joint-contruction of the text, dan independent

construction of the text. Namun demikian, teori tahapan pembelajaran tersebut tidak disertai dengan model pilihan bahasa (lexicogrammatical features) yang sesuai dengan tahapan pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, penelitian genre perkuliahan bahasa Inggris dalam konteks budaya Indonesia, yang mampu menggambarkan tahapan perkuliahan serta realisasi linguistiknya secara lengkap perlu untuk dilakukan.

1.4 Keterkaitan Penelitian ini dengan Penyelesaian Disertasi

Penelitian ini merupakan bagian dari penyelesaian penelitian disertasi yang sedang dilakukan. Secara umum, penelitian disertasi yang sedang dilakukan memiliki lima tujuan penelitian, yaitu mendeskripsikan dan menjelaskan genre perkuliahan bahasa Inggris yang dikaji dalam penelitian ini dalam hal:

1. Tahapan perkuliahan dalam mencapai tujuan sosialnya;

2. Struktur negosiasi pedagogis sebagai realisasi makna interpersonal pada setiap tahapan genre perkuliahan;

3. Realisasi leksikogramatikal dari makna eksperensial pada setiap tahapan genre perkuliahan;

(10)

9

4. Realisasi leksikogramatikal dari makna tekstual pada setiap tahapan genre perkuliahan; dan

5. Hubungan antara realisasi makna interpersonal, eksperensial, dan tekstual dengan tahapan genre perkuliahan dalam mencapai tujuan sosialnya.

Penelitian yang dilakukan dalam hibah penelitian disertasi doktor ini memfokuskan pada pencapaian tujuan (1) dan (2). Tujuan (1) menjadi dasar dalam mendeskripsikan realisasi makna metafungsional yang merupakan tujuan (2), (3), dan (4). Tujuan (2) merupakan realisasi makna interpersonal yang berbentu negosiasi antara dosen dan mahasiswa dalam membentuk wacana perkuliahan secara keseluruhan. Penentuan struktur negosiasi ini mempermudah pendeskripsian realisasi makna eksperensial dan tekstual yang ada di tujuan (3) dan (4). Akhirnya, pendeskripsian tahapan genre perkuliahan dan realisasi makna metafungsionalya menunjukkan alasan penggunaan pilihan bahasa dalam genre perkuliahan bahasa Inggris. Keterkaitan penelitian ini dengan disertasi dapat digambarkan sebagai berikut:

Dilakukan dalam penelitian disertasi

Tujuan 1 Tujuan 2 Tujuan 3 Tujuan 4 Tujuan 5

Dilakukan dalam Penelitian ini

(11)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Kajian Penelitian Sebelumnya

Penelitian wacana kelas sebagai genre dengan menggunakan pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) telah dilakukan oleh Christie (1991, 1995), Young (1994), Love & Suherdi (1996), dan Sinar (2002). Penelitian Christie (1991, 1995) dilakukan terhadap kelas persiapan menulis (writing planning genre) dan kelas ilmu sosial (sosial science

macrogenre) tingkat sekolah dasar di Australia, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua bagi siswa tersebut. Dalam penelitian ini Christie menyebut wacana kelas sebagai wacana pedagogis dengan dua jenis genre, yaitu genre kurikulum dan genre kurikulum makro. Genre kurikulum adalah wacana pedagogis yang memiliki bagian awal, tengah, dan akhir, dan hanya berlangsung selama satu pertemuan (one lesson). Sementara genre kurikulum makro adalah perpaduan dari beberapa genre kurikulum yang membentuk satu kesatuan sehingga hubungan antara genre-genre kurikulum tersebut membentuk struktur bagian awal, tengah, dan akhir. Genre kurikulum makro berlangsung selama lebih dari satu pertemuan. Christie juga memperkenalkan dua jenis pilihan bahasa (register) yang membentuk genre kurikulum, yaitu register regulatif dan register instruksional. Penelitian ini menemukan struktur skematik genre kurikulum persiapan menulis: Task Orientation^Task Spesification^Task dan genre kurikulum makro ilmu sosial:

Curriculum Initiation^Curriculum Negotiation^Curriculum Closure.

Penelitian wacana perkuliahan yang dilakukan Young dan disajikan dalam University

Lectures: Macro-structure and Micro-features (1994), dilakukan terhadap perkuliahan bidang ilmu teknik, sosiologi, dan ekonomi di perguruan tinggi di Kanada dalam bahasa Inggris sebagai bahasa pertama atau kedua. Dengan menggunakan kerangka analisis LSF, khususnya pendapat Gregory (1985) tentang konsep struktur fase dan strata dalam linguistik komunikasi, Young menemukan tujuh fase utama pembentuk struktur perkulihan yang terbentuk secara dinamis dan muncul secara tidak berurutan. Ketujuh fase tersebut direalisasikan melalui makna eksperiensial yang meliputi: fase pembentuk wacana dengan proses mental, fase isi dengan proses relasional , fase kesimpulan dengan proses mental, fase evaluasi dengan proses relasional, fase contoh dengan proses relasional, fase interaksi, dan fase latar belakang.

(12)

11

Love & Suherdi (1996) melakukan kajian terhadap kelas bahasa Inggris sebagai bahasa kedua untuk siswa sekolah migran di Melbourne Australia. Kajian dilakukan dengan menggunakan kerangka LSF, khususnya analisis struktur exchange seperti yang dikemukakan oleh Berry (1981) dan Ventola (1987). Analisis difokuskan pada realisiasi makna interpersonal melalui negosiasi antara guru dan murid dalam kelas menulis surat dengan pendekatan berbasis genre (genre-based approach). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur negosiasi antara guru dan murid dalam kelas menulis surat bahasa Inggris dilakukan secara sederhana (synoptic) dan kompleks (dynamic). Struktur negosiasi sederhana dilakukan melalui penggunaan move secara sinoptik dalam bentuk negosiasi pengetahuan (knowledge

negotiation exchanges) dan negosiasi tindakan (action negotiation exchanges). Selain melalui negosiasi sederhana, interaksi antara guru dan murid juga dapat dilakukan melalui struktur negosiasi yang kompleks dengan menggunakan move yang bersifat dinamis.

Sinar (2002) melakukan penelitian untuk disertasi terhadap wacana perkuliahan bahasa Inggris di Univesiti Malaya, Malaysia dengan bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Kerangka analisis yang digunakan sama seperti kerangka analisis Young, yaitu menemukan fase dan sub-fase perkuliahan dan realisasi ciri-ciri makna eksperiensial. Hasil penelitian ini meliputi: 1. Wacana perkuliahan lebih merepresentasikan kegiatan yang berorientasi secara akademik

daripada berorientasi secara sosial.

2. Fase yang sering mucul dalam perkuliahan adalah fase substansiasi, fase kesimpulan, dan fase evaluasi.

3. Sub-fase yang sering muncul dalam perkuliahan adalah sub-fase definisi, pernyataan, penjelasan, ringkasan, penekanan, dan penilaian.

4. Kemunculan sub-fase tersebut dalam tahapan perkuliahan lebih sering bersifat dinamis. Secara eksperensial, jenis proses yang paling banyak digunakan dalam perkuliahan adalah proses relasional.

Dibandingkan dengan ketiga penelitian wacana kelas/perkuliahan dalam perspektif LSF tersebut di atas, penelitian yang akan dilakukan dalam disertasi ini berbeda dalam beberapa hal, yaitu pandangan tentang genre kelas/perkuliahan, tingkat pendidikan, fungsi bahasa Inggris dalam perkuliahan, latar belakang budaya, fungsi bahasa Inggris dalam budaya tersebut, dan fokus makna metafungsional yang dikaji. Perbedaan dan persamaan penelitian ini dengan ketiga penelitian terdahulu dapat dijelaskan seperti Tabel 1.

(13)

12

Tabel 1. Perbedaan dan Persamaan Penelitian ini dengan Penelitian Sebelumnya

No Peneliti Tingkat Pendidikan Fungsi Bahasa Inggris Latar Belakang Budaya Makna Metafungsional yang dikaji 1 Frances Christie (1991, 1995) Sekolah dasar Bahasa pertama dan kedua Australia Eksperensial, interpersonal, tekstual 2 Lynne Young (1994) Perguruan tinggi Bahasa kedua Kanada Eksperensial 3 Kristina Love & Didi Suherdi (1996) Sekolah lanjutan Bahasa kedua Australia Interpersonal 4 Tengku Sylvana Sinar (2002) Perguruan tinggi Bahasa asing Malaysia Eksperensial 5 Sunardi (2016) Perguruan tinggi Bahasa asing Indonesia Eksperensial, interpersonal, tekstual

2.2 Teori Genre dalam Aliran LSF

Teori genre dalam aliran LSF sering dikenal dengan sebutan Teori Genre Australia atau Aliran Sydney karena teori genre ini mulai diperkenalkan dari Universitas Sydney dan berkembang pesat di Australia. Pendekatan analisis genre ini didasarkan pada teori LSF yang pertama kali diperkenalkan oleh MAK Halliday dari Universitas Sydney, yang kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya, khususnya J.R. Martin dengan konsepnya tentang genre sebagai proses sosial yang bertahap dan berorientasi kepada tujuan (Martin, 1992: 505). LSF memandang bahasa sebagai semiotika sosial (Halliday dan Hasan, 1989: 3) dan merupakan suatu fenomena sosial tentang penyampaian makna melalui pilihan bahasa dari sistem bahasa dalam konteks tertentu (Eggins, 2004: 22).

Dalam pandangan LSF, konsep genre merupakan bagian dari model bahasa dan konteks sosial yang saling berhubungan (Martin, 2009: 13). Teks, atau bahasa yang menjalankan fungsi sosial, selalu muncul dalam suatu konteks sosial yang terdiri dari dua, yaitu konteks situasi (register) dan konteks budaya (genre) (Butt, et al., 2001: 3). Menurut Eggins (2004: 9), register menggambarkan dampak dimensi-dimenasi konteks situasi dari peristiwa berbahasa terhadap cara penggunaan bahasa. Ada tiga dimensi atau variabel yang dianggap mempengaruhi pilihan penggunaan bahasa dalam suatu peristiwa berbahasa, yaitu medan (topik pembicaraan), pelibat (hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur), dan moda

(14)

13

(peran bahasa). Genre menggambarkan pengaruh konteks budaya terhadap bahasa melalui pelaksanaan proses sosial secara bertahap dan berorientasi kepada pencapaian tujuan sosial. Menurut Martin (2009: 13), teori genre dikembangkan untuk menggambarkan bagaimana kita menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari dalam budaya tertentu, dan melakukannya secara terus-menerus dengan menambah apa yang kita butuhkan dan membuang yang tidak kita butuhkan. Dengan demikian, teori genre adalah teori tentang batas antara dunia sosial kita dengan apa yang kita inginkan; genre adalah konfigurasi makna secara berurutan dan budaya sebagai sistem genre. Secara teknis, Martin mendefinisikan genre sebagai suatu proses sosial yang dilakukan secara bertahap dan berorientasi kepada tujuan. Dikatakan

bertahap karena untuk mencapai tujuan komunikasi biasanya diperlukan beberapa tahap melalui pembabakan di dalam genre; dikatakan berorientasi kepada tujuan karena pembabakan tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dan kita akan merasa frustasi atau kurang bila pembabakannya tidak lengkap, dan dikatakan sosial karena kita menggunakan genre dalam interaksi dengan orang lain.

2.3 Hubungan antara Genre, Register, dan Bahasa

Menurut Martin (1992: 496; 2007: 35) dan Eggins (2004: 76-79), dalam LSF terdapat hubungan yang erat antara genre, register, dan bahasa. Konteks budaya (genre) dan konteks situasi (register) merupakan dua tingkatan konteks yang melingkupi bahasa. Konteks budaya lebih abstrak dan lebih umum daripada konteks situasi yang memiliki tiga variabel yang memiliki pengaruh langsung terhadap bahasa, yaitu medan, pelibat, dan moda. Bahasa, dengan tiga tingkatannya, yaitu semantik wacana, leksikogramatika, dan fonologi/grafologi, merupakan realisasi dari genre dan register.

Hubungan antara konteks situasi dan bahasa dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Variabel medan (field) direalisasikan melalui makna ideasional pada tataran semantik

wacana. Makna ideasional selanjutnya direalisasikan melalui pola transitivitas pada tataran leksikogramatika;

2. Variabel pelibat (tenor) direalisasikan melalui makna interpersonal pada tataran semantik wacana. Makna interpersonal selanjutnya direalisasikan melalui pola mood pada tataran leksikogramatika; dan

3. Variable moda (mode) direalisasikan melalui makna tekstual pada tataran semantik wacana. Makna tekstual selanjutnya direalisasikan melalui pola tema-rema pada tataran leksikogramatika.

(15)

14

4. Pola-pola leksikogramatika tersebut selanjutnya direalisasikan melalui ungkapan yang berbentuk tuturan (fonologi) atau tulisan (grafologi) agar dapat digunakan dalam interaksi.

2.4 Klausa sebagai Pertukaran Makna

Klausa sebagai pertukaran makna (clause as exchange) merupakan realisasi dari makna interpersonal. Dalam makna interpersonal, klausa dipandang sebagai sumber makna yang berfungsi untuk mengorganisasikan proses interaksi di antara penutur/penulis dan pendengar/pembaca. Sistem gramatika yang dipakai untuk melihat klausa sebagai pertukaran makna yang dapat menggambarkan hubungan antar peran adalah sistem MOOD, polaritas, modalitas, dan fungsi tutur (Halliday & Mathiessen, 2004: 106; 2014: 134-136).

Dalam merealisasikan makna interpersonal, MOOD dan FUNGSI TUTUR masing-masing menggambarkan jenis suatu klausa dan fungsi tuturan dari suatu move secara individual (interact). Makna interpersonal juga terealisasikan melalui perpaduan antara move satu dengan yang lain dalam membentuk pasangan bertetangga (adjacency pairs) yang menggambarkan struktur exchange suatu negosiasi dalam interaksi (Martin, 1992: 46).

Menurut Berry (1981) dalam Martin & Rose (2007: 240) dan Rose (2014: 8), ada dua jenis exchange yang dapat dilakukan dalam sistem negosiasi, yaitu negosiasi pengetahuan (exchanges of knowledge) dan negosiasi tindakan (exchanges of action). Dalam negosiasi pengetahuan (K), pihak yang memberi pengetahuan/informasi disebut dengan primary

knower (K1), sedangkan pihak yang meminta pengetahuan/informasi disebut secondary

knower (K2).

Tabel 2. Jenis-Jenis Fungsi Tutur

Peran Tutur Komoditas pertukaran

Fungsi Tutur

Inisiasi Respon yang

diharapkan

Respon yang tidak diharapkan Memberi Barang dan jasa Menawarkan (offer) Menerima tawaran (acceptance) Menolak tawaran (rejection) Meminta Memerintah (command) Menjalankan perintah (undertaking) Menolak perintah (refusal) Memberi Informasi Menyatakan (statement) Mengiyakan pernyataan (acknowledgement) Mengingkari pernyataan (contradiction) Meminta Bertanya (question) Menjawab pertanyaan (answer) Menghindari pertanyaan (disclaimer) (Diadaptasi dari Halliday & Matthiessen, 2014: 137) Dalam negosiasi tindakan (A), pihak yang melakukan tindakan disebut primary actor (A1) dan pihak yang meminta tindakan disebut secondary actor (A2). Selain itu, dalam

(16)

15

situasi tertentu, pemberian informasi/pengetahuan dan tindakan dapat diantisipasi atau ditunda (delay) oleh K1 atau A1 sampai K2 atau A2 melakukan sesuatu terlebih dahulu. Demikian juga, K2 atu A2 dapat memberi tindak lanjut (follow-up) terhadap konstribusi K1 atau A1. Struktur dasar negosiasi yang memungkin terjadi dalam suatu interaksi dapat digambarkan melalui Gambar 2.

Melaksanakan A1 A1 memulai Mengantisipasi dA1^A2^A1 Tindakan A2 memulai A2^A1 Negosiasi Melaksanakan K1 K1 memulai Mengantisipasi dK1^K2^K1 Pengetahuan K2 memulai K2^K1

Gambar 2. Struktur Exchange dalam Sistem Negosiasi

(17)

16 BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Secara khusus, penelitian yang dilakukan dalam hibah penelitian disertasi doktor ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan:

1. Tahapan genre perkuliahan bahasa Inggris yang dikaji dalam penelitian ini dalam mencapai tujuan sosialnya.

2. Struktur negosiasi pedagogis sebagai realisasi makna interpersonal yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa dalam setiap tahapan genre perkuliahan bahasa Inggris.

3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan menghasilkan teori yang dapat dijadikan rujukan dalam melakukan kajian tentang genre pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing dan konteks situasinya (register). Secara khusus, penelitian ini dapat memberikan sumbangan teori tentang pencapaian tujuan perkuliahan bahasa Inggris melalui serangkaian tahapan kegiatan perkuliahan atau struktur skematik dengan menggunakan bahasa dalam konteks budaya Indonesia yang dilakukan oleh dosen bahasa Inggris terhadap mahasiswa peserta perkuliahan yang dosen dan mahasiswanya bukan penutur jati bahasa Inggris. Struktur skematik dan realisasi gramatika perkuliahan bahasa Inggris yang terjadi dalam konteks tersebut dimungkinkan berbeda dengan apa yang terjadi dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa pertama (L1) atau bahasa kedua (L2).

(18)

17 BAB IV

METODE PENELITIAN 1.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dalam bentuk analisis wacana dengan pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional terhadap wacana perkuliahan bahasa Inggris. Penelitian ini merupakan penelitian analisis wacana yang dilakukan dengan mengambil kelas pembelajaran bahasa Inggris sebagai latar belakang (classroom discourse analysis). Meskipun berlatar belakang kelas pembelajaran, penelitian ini tidak dimaksudkan sebagai penelitian linguistik terapan (applied linguistics) dalam pendekatan psikometri. Sebagai peneliti wacana kelas, penelitian ini lebih menekankan pada fenomena linguistik yang ada di kegiatan perkuliahan.

1.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini ditentukan berdasarkan definisi lokasi penelitian dalam penelitian kualitatif sebagai situasi sosial yang memiliki tiga unsur utama, yaitu tempat dan waktu, aktor, dan aktifitas (Spradley, 1980: 39). Berdasarkan pada ketiga pengertian lokasi penelitian tersebut di atas, maka lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah perkuliahan bahasa Inggris yang dilakukan di jurusan bahasa asing (language classrooms) pada perguruan tinggi di Kota Semarang, yang di dalamnya terdapat kegiatan perkuliahan (activities), tempat dan waktu perkuliahan (setting), dan dosen dan mahasiswa yang terlibat dalam perkuliahan (actors). Tempat penelitian ini adalah lima perguruan tinggi di Kota Semarang yang memiliki program studi bahasa Inggris. Kelima program studi tersebut ditentukan berdasarkan kriteria kinerja program studi yang meliputi nilai akreditasi program studi, jumlah dosen, dan jumlah mahasiswa berdasarkan pada laman www.forlap.ristekdikti.go.id. Berdasarkan pada kriteria tersebut, kelima perguruan tinggi yang memiliki program studi bahasa Inggris yang dijadikan sebagai lokasi penelitian ini adalah Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS), Universitas Katolik Soegijapranata (UNIKA SP), dan Universitas Stikubank (UNISBANK). Masing-masing perguruan tinggi diambil dua wacana perkuliahan bahasa Inggris, sehingga penelitian ini menggunakan sepuluh wacana perkuliahan bahasa Inggris.

1.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data penelitian ini meliputi:

a) Peristiwa, yaitu kegiatan perkuliahan bahasa Inggris yang dilaksanakan di program studi yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini.

(19)

18

b) Narasumber (informan), yaitu dosen pengampu kegiatan perkuliahan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini.

c) Benda dan rekaman, yang mencakup buku dan media perkuliahan, dan rekaman audio-visual kegiatan perkuliahan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini.

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik:

a) Pendokumentasian secara audio-visual terhadap kegiatan perkuliahan bahasa Inggris yang dijadikan sasaran penelitian ini dan pengalihan rekaman kegiatan perkuliahan dalam bentuk tulisan (transcription).

b) Pengamatan berperan pasif terhadap kegiatan perkuliahan bahasa Inggris yang dijadikan sasaran penelitian ini.

c) Wawancara mendalam dengan dosen pengampu kegiatan perkuliahan bahasa Inggris yang dijadikan sasaran penelitian ini.

d) Pengkajian dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan perkuliahan bahasa Inggris yang menjadi sasaran penelitian ini, seperti buku ajar perkuliahan.

1.4 Teknik Analisis Data

Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan dua teknik, yaitu teknik analisis wacana dalam LSF dan teknik analisis etnografi seperti yang dikemukakan oleh Spradley. Kerangka analisis wacana dengan pendekatan LSF dalam penelitian ini merupakan perpanduan antara model genre Martin (1992) sebagai suatu proses sosial yang berorientasi kepada tujuan yang dicapai secara bertahap dan direalisasikan melalui register, model genre kurikulum Christie (2002) yang ditandai dengan register regulatif dan register instruksional, dan model Halliday & Matthiessen (2004) tentang realisasi makna metafungsional. Ketiga model tersebut dipakai untuk menggambarkan fenomena semiotika sosial yang ada di proses sosial yang namanya perkuliahan bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia. Kerangka analisis wacana tersebut dilakukan dengan mengikuti prosedur analisis data dalam metode etnografis, yang terdiri dari empat tahapan, yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponen, dan menemukan tema budaya. Urutan dalam analisis etnografis dapat digambarkan seperti Gambar 3 berikut (Santosa, 2010: 120).

Gambar 3. Diagram Analisis Etnografis

Analisis Domain Analisis Taksonomi Analisis Komponen

Menemukan Tema Budaya

(20)

19 BAB V

HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI 4.1 Hasil yang Dicapai

Penelitian ini telah menghasilkan dua temuan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu struktur skematis genre perkuliahan bahasa Inggris dan struktur negosiasi pedagogis yang terjadi dalam perkuliahan bahasa Inggris, khususnya dalam konteks perkuliahan bahasa Inggris sebagai bahasa asing di wilayah yang dikaji.

4.1.a Struktur Skematis Genre Perkuliahan Bahasa Inggris

Berdasarkan analisis struktur skematis terhadap seluruh wacana perkuliahan yang dikaji dalam penelitian ini, kegiatan pembelajaran dalam genre perkuliahan bahasa Inggris tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk tiga tahapan utama, yaitu

1. Tahap orientasi, 2. Tahap diskusi, dan 3. Tahap penutup.

Secara skematis, struktur perkuliahan tersebut dapat digambarkan melalui Gambar 4.1. Dalam skema ini, simbol ^ menyatakan bahwa satu kegiatan mengikuti kegiatan lainnya (sequence); simbol π menyatakan bahwa satu kegiatan dapat muncul lagi (recursion); dan simbol [ ] menyatakan wilayah kemunculan kembali suatu kegiatan (domain of recursion).

GS ^ RPL ^ LA ^ CIH ^ CHW ^ SLA ^ SLO ^ [EC ^ GExa ^ CC ^ CSU ^ GExe] π ^ CT ^ STC ^ AHW ^ HK ^ FU ^ FW

Gambar 4.1 Struktur Skematis Genre Perkuliahan Bahasa Inggris Arti singkatan:

GS : Getting started CC : Concluding concept

RPL : Reviewing previous lecture CSU : Checking in student’s understanding

LA : Looking ahead Gexe : Giving exercise

CIH : Checking in homework CT : Concluding topic

CHW : Concluding homework STC : Signaling to close

SLA : Setting up lecture agenda AHW : Announcing homework

SLO : Stating lecture objective HK : Housekeeping

EC : Explaining concept FU : Following-up

GExa : Giving example FR : Farewell

Tahap orientasi terbentuk dari beberapa langkah yang lebih kecil, yaitu getting

started, reviewing previous lecture, looking ahead, checking in homework, concluding homework, setting up lecture agenda, dan stating lecture objective. Tahap diskusi, yang

(21)

20

merupakan tahapan utama genre perkuliahan, terbentuk dari beberapa langkah yang lebih kecil, yaitu explaining concept, giving example, concluding concept, checking in student’s

understanding, giving exercise, dan concluding topic. Tahap diskusi ini dapat terjadi beberapa kali (recursive) sesuai dengan jumlah pokok bahasan yang dibahas dalam tahap diskusi. Selanjutnya tahap penutup terdiri dari langkah signaling to close, announcing

homework, housekeeping, following-up, dan farewell.

Negosiasi yang terjadi antara dosen dan mahasiswa dalam kegiatan perkuliahan berbentuk moves yang selanjutnya membentuk exchanges. Struktur exchanges yang terjadi dalam kegiatan perkuliahan dapat berbentuk sederhana (simple) dalam satu jenis klausa (mood) atau berbentuk kompleks (complex) dalam klausa kompleks. Realisasi struktur exchange pada setiap langkah genre perkuliahan bahasa Inggris dapat digambarkan pada Tabel 4.1.

Table 1. Realisasi struktur exchange pada setiap tahap dan langkah

Tahap Langkah Jenis

Exchange

Komoditas Negosiasi Orientation Getting started Simple Attention

Reviewing previous lecture Complex Knowledge

Looking ahead Simple Knowledge

Checking in homework Complex Knowledge Concluding homework Complex Knowledge Setting up lecture agenda Complex Knowledge Stating lecture objective Complex Knowledge Discussion Explaining concept Complex Knowledge

Giving example Complex Knowledge

Concluding concept Simple Knowledge Checking in student’s

understanding

Simple Knowledge

Giving exercise Complex Knowledge Concluding topic Simple Knowledge Closure Signaling to close Simple Action

Announcing homework Complex Action

Housekeeping Simple Action

Following-up Complex Action

Farewell Simple Attention

4.1.b Struktur Negosiasi Pedagogis

Berdasarkan identifikasi dan klasifikasi negosiasi pedagogis antara dosen dan mahasiswa dalam kegiatan perkuliahan bahasa Inggris, terdapat dua jenis negosiasi pedagogis, yaitu negosiasi pedagogis triadik (triadic pedagogic exchanges) dan negosiasi pedagogis berbentuk scaffolding (scaffolded pedagogic exchanges).

(22)

21

Negosiasi pedagogis triadik berbentuk siklus interaksi dosen-mahasiswa yang terdiri dari tiga tahap, yaitu Focus – Task – Evaluate, seperti dicontohkan pada Tabel 4.2 dan 4.3.

Table 4.2. Triadic pedagogic exchange: successful completion of task

Spkr Exchange Phases Roles

T Yohana, how many types of phrase do we have? Focus dK1

S Five. Noun phrase, adjective phrase, adverb phrase, verb phrase, and prepositional phrase

Propose K2

T Right. We have five phrases Affirm K1

Table 4.3. Triadic pedagogic exchange: failure of completing task

Spkr Exchange Phases Roles

T Adibrata, what is the main characteristic of noun phrase?

Focus dK1

S It can be human. Propose K2

T No, not that one Reject K1

Berbeda dengan negosiasi pedagogis triadik yang memungkinkan terjadinya masalah bagi mahasiswa yang memiliki kemampuan akademik yang rendah, struktur negosiasi pedagogis berbentuk scaffolding memungkinkan mahasiswa dapat mengerjakan tugas seperti yang diinginkan oleh dosen, karena dosen memberi bantuan tentang cara mengerjakan tugas tersebut. Struktur negosiasi seperti ini berbentuk siklus interaksi dosen-mahasiswa yang terdiri dari tahap: Prepare – Focus – Task – Evaluate – Elaborate.

Penelitian ini menemukan enam jenis struktur negosiasi pedagogis berbentuk scaffolding, dengan memperhatikan urutan tahap siklus interaksinya, yaitu:

1. Prepare – Focus – Identify – Affirm – Elaborate

2. Prepare – Focus – Propose – Affirm – Elaborate (Focus – Propose – Affirm) 3. Prepare – Focus – Prepare – Focus – Propose – Affirm – Elaborate

4. Prepare – Focus – Not propose – Prepare – Propose – Affirm – Elaborate

5. Focus – Not identify – Prepare (Focus – Identify – Affirm – Focus – Identify – Focus – Identify – Focus ) – Identify – Affirm – Elaborate

6. Prepare – Focus – Identify – Affirm – Elaborate (Focus – Identify – Focus – Identify – Affirm)

(23)

22 1. Prepare – Focus – Identify – Affirm – Elaborate

Dalam siklus ini, sebelum menyebutkan apa yang harus dikerjakan mahasiswa (Focus), dosen membuat persiapan (Prepare) dengan memberi informasi yang dapat membantu mahasiswa mengerjakan tugas. Prepare ini ternyata memungkinkan mahasiswa memberikan jawaban pertanyaan (Identify) yang diterima oleh dosen (Affirm). Berdasrkan jawaban mahasiswa tersebut, dosen selanjutnya memberi penekanan (Elaborate) untuk memprdalam pemahaman mahasiswa tentang topik yang dibahas. Siklus ini direalisasikan melalui peran sebagai sebuah negosiasi yang berbentuk K1^dK1^K2^K1^K1, seperti ditunjukkan pada Table 4.4.

Table 4.4. Siklus Interaksi Scaffloding Tipe 1

Spkr Exchange Phases Roles

T In Joe Walcott is a great boxer, a great boxer follows directly the predicator

Prepare K1

Which one is the predicator Focus dK1

S Is Identify K2

T Is Affirm K1

So a great boxer must be subject complement, because

a great boxer describes particular about Joe Walcott.

Elaborate K1

2. Prepare – Focus – Propose – Affirm – Elaborate (Focus – Propose – Affirm) Table 4.5. Siklus Interaksi Scaffolding Tipe 2

Spkr Exchange Phases Roles

T And based on your readings I think you have

understood about the difference between the phrases in English.

Prepare K1

And how many phrases do we have ... based on your readings especially based on chapter three?

Focus dK1

S Five. Propose K2

T Five. Affirm K1

what are they? Focus dK1

S Noun phrase, adjective phrase, adverb phrase, verb phrase, and prepositional phrase

Propose K2

T So when we combine english words into phrases, the possibilities of the phrase that we can make or that we can produce will be one of the five phrases. It can be a noun phrase, adjective phrase, adverb phrase, verb phrase, and prepositional phrase.

(24)

23 BAB VI

RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

Berdasarkan hasil yang telah dicapai, maka rencana tahapan berikutnya yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah:

1. Menyempurnakan struktur skematik dan jenis-jenis struktur negosiasi pedagogis yang ditemukan dari wacana perkuliahan yang ada. Hal ini akan dilakukan dengan mengadakan Focussed Group Discussion (FGD) dengan dosen yang menjadi responden dalam penelitian ini, untuk mengetahui alasan munculnya struktur tersebut.

2. Mengkonsultasikan hasil penelitian ini dengan promotor untuk mendapatkan masukan dalam menyempurnakan kesimpulan penelitian.

3. Mempublikasikan hasil penelitian ini melalui jurnal nasional terkreditasi dan jurnal internasiona. Bereputasi.

(25)

24 BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan berikut:

1. Kegiatan perkuliahan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang dilakukan di beberapa program studi bahasa Inggris yang dikaji dalam penelitian ini dapat disebut sebagai sebuah genre, karena kegiatan perkuliahan ini merupakan interaksi antara dosen dan mahasiswa yang dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Dalam mencapai tujuan pembelajaran tersebut, dosen merencanakan kegiatan pembelajaran secara bertahap dan berorientasi kepada pencapaian tujuan.

2. Genre perkuliahan bahasa Inggris terbentuk dari tiga tahapan, yaitu tahap orientasi, tahap diskusi, dan tahap penutup. Masing-masing tahap terbentuk dari beberapa tahap yang lebih kecil.

3. Terdapat dua jenis struktur negosiasi pedagogis antara dosen dan mahasiswa dalam kegiatan perkuliahan, yaitu negosiasi pedagogis triadik (triadic pedagogic exchanges) dan negosiasi pedagogis melalui scaffolding (scaffolded pedagogic exchanges).

(26)

25

DAFTAR PUSTAKA

Berry, M. 1981. ‘Systemic Linguistics and Discourse Analysis: A Multi-layered Approach to Exchange Structure’. pp 120 – 145. dalam M. Coulthard & M. Montgomery (Eds.).

Studies in Discourse Analysis. London: Routledge and Keagen Paul.

Butt, David, Fahey, R., Spinks, S., & Yallops, C. 2001. Using Functional Grammar: An

Explorer’s Guide (Second Edition). Sydney: NCELTR, Macquarie University.

Cazden, Courtney B. 1986. ‘Classroom Discourse’. pp. 439-460. dalam Wittrock, Merle C. (Ed.). Handbook of Research on Teaching. New York: Macmillan.

Christie, Frances. 1991. Pedagogical and Content Registers in a Writing Lesson. Linguistics

and Education, 3: 203-224.

Christie, Frances. 1995. Pedagogic Discourse in the Primary School. Linguistics and

Education, 7: 221-242.

Christie, Frances. 2002. Classroom Discourse Analysis: A Functional Perspective. London: Continuum.

Christie, Frances. 2004. ‘Authority and Its Role in the Pedagogic Relationship of Schooling’. pp. 173-283. dalam Young, Lynne & Harrison, Claire (eds.). Systemic Functional and

Critical Discourse Analysis. London: Continuum.

Eggins, Suzanne. 2004. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. Second Edition. London: Continuum.

Gibbons, Pauline. 2007. ‘Learning a New Register in a Second Language’. pp. 258-270. dalam Candlin, Cristopher N. & Mercer, Neil (eds.). English Language Teaching in Its

Context: A Reader. New York: Routledge.

Gregory, M. 1985. ‘Towards Communication Linguistics: A Framework’. pp. 119-134. dalam Benson, J.D. & Greaves, W.S. (Eds.). Systemic Perspective on Discourse, Vol. 1. Kumpulan Makalah dari the 9-th International Systemic Workshop, York University of Toronto, August 1982, Alex Publishing Corporation, Norwoop.

Halliday, M.A.K & Matthiessen, Christian. 2014. Halliday’s Introduction to Functional

Grammar (Fourth Edition). London: Routledge.

Lee, Joseph J. 2011. A Genre Analysis of Second Language Classroom Discourse: Exploring

the Rethorical, Linguistic, and Contextual Dimensions of Language Lessons. Disertasi, Tidak Diterbitkan. College of Arts and Sciences, Georgia State University, United States of America.

Long, M.H. 1983. Native speaker/non-native speaker conversation and the negotiation of meaning. Applied Linguistics, 4: 126–141.

Love, Kristina & Suherdi, Didi. 1996. The Negotiation of Knowledge in an Adult English as a Second Language Classroom. Linguistics and Education, 8: 229-267.

Martin, J.R. 1992. English Text: System and Structure. Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.

Martin, J.R. 2007. ‘Construing Knowledge: A Functional Linguistic Perspective’. pp. 34-64. dalam Christie, F. dan Martin J.R. (eds.) Language, Knowledge, and Pedagogy:

(27)

26

Martin, J.R. 2009. Genre and Language Learning: A Social Semiotic Perspective. Linguistics

and Education, 20: 10-21.

Martin, J.R. 2013. Embedded Literacy: Knowledge as Meaning. Linguistics and Education, 24: 23-37.

Martin, J.R. & Rose, David. 2007. Working with Discourse: Meaning beyond the Clause. London: Continuum.

Martin, J.R. & Rose, David. 2008. Genre Relations: Mapping Culture. London: Equinox. Mercer, Neil. 2007. ‘Language for Teaching a Language’. pp. 243-257. dalam Candlin,

Cristopher N. dan Mercer, Neil (eds.). English Language Teaching in Its Context: A

Reader. New York: Routledge.

Rose, David & Martin, J.R. 2012. Learning to Write, Reading to Learn: Genre Knowledge

and Pedagogy in the Sydney School. Sheffiled: Equinox Publishing Ltd.

Rose, David. 2014. Analysing Pedagogic Discourse: An Approach from Genre and Register.

Functional Linguistcs. Vol. 2 (11): 1-32.

Santosa, Riyadi. 2010. Forms and Meanings of Conjunctive Relation in Adult, Teenage, and

Children Indonesian Popular Magazines and Their Impact on Language Styles: A Systemic Functional Linguistics Approach. Disertasi, Tidak Diterbitkan. College of Arts and Science. Universiti Utara Malaysia.

Sinar, Tengku Sylvana. 2002. Phasal and Experiential Realizations in Lecture Discourse: A

Systemic Functional Perspectives. Disertasi, Tidak Diterbitkan. University of Malaya, Malaysia.

Sinclair, John. & Coulthard, Malcom. 1975. Towards an Analysis of Discourse: the English

Used by Teachers and Pupils. London: Oxford University Press.

Sinclair, John & Coulthard, Malcom. 1992. Towards an Analysis of Discourse. pp. 1 – 34. dalam Coulthard, Malcom (ed.). Advances in Spoken Discourse Analysis. New York: Routledge.

Spradley, J.P. 1980. Participation Observation. New York: Holt, Rinehart, and Winston. Spradley, J.P. 2007. Metode Etnografi. Penerjemah: Misbah Zulfa Elisabeth. Yogyakarta:

Penerbit Tiara Wacana.

Sri Mulatsih, Sunardi & Muh. Rifqi. 2013. Model Pembelajaran Writing Berbasis Karakter

di Perguruan Tinggi: Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Ditlitabmas Dikti.

Sunardi, R A Nugroho & Budiharjo. 2014. Model Pembelajaran Inklusif Bahasa Inggris bagi

Mahasiswa Tunanetra di Perguruan Tinggi: Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Ditlitabmas Dikti.

Sunardi. 2014. Regulative and Instructional Registers of An EFL Lecture in Indonesian

University Context. Paper disajikan pada the 61-st TEFLIN International Conference, 7-9 Oktober 2015, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Sunardi. 2015. Pedagogic Exchange Structures of An English Curriculum Genre in

Indonesian University Context. Paper disajikan pada the 7-th International Conference on English as a Foreign Language (COTEFL), 16-17 Mei 2015, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

(28)

27

Ventola, Eija. 1987. The Structure of Social Interaction: A Systemic Approach to the

Semiotics of Service Encounters. London: Frances Pinter.

Wiratno, Tri. 2010. Pengantar Ringkas Linguistik Sistemik Fungsional (Draf Buku). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Walsh, Steve. 2006. Investigating Classroom Discourse. New York: Routledge.

Willis, Jane. 1992. ‘Inner and Outer: Spoken Discourse in the Language Classroom’. pp. 162 – 182. dalam Coulthard, Malcom (ed.). Advances in Spoken Discourse Analysis. New York: Routledge.

Young, Lynne. 1994. ‘University Lectures: Macro-Structures and Micro-Features’. dalam Flowerdew, J. (Ed.). Academic Listening: Research Perspectives. London: Cambridge University Press.

(29)

28 LAMPIRAN

1. Hasil Publikasi Ilmiah

(Pada The 4th International Conference on Language, Society, and Culture in Asian Contexts (LSCAC), 24 – 25 May 2016, Universitas Negeri Malang)

(30)

29

PEDAGOGIC NEGOTIATION STRUCTURES OF ENGLISH CURRICULUM GENRES IN INDONESIAN UNIVERSITY CONTEXT

Sunardi, M. Sri Samiati Tarjana, Soepomo Poedjosoedarmo, Riyadi Santosa Department of Linguistics, Postgradute Program, Sebelas Maret University

soenklaten@gmail.com

Abstract:

The dialogic discourse of an English teaching-learning episode through which knowledge and skills are negotiated can be thought of as a curriculum genre. The typical feature of a curriculum genre is its two fields: the knowledge to be acquired by the learners and the pedagogic activity through which it is acquired. The pedagogic activity unfolds as sequences of learning activities through which the knowledge and values may be acquired. The learning activities are enacted dialogically as exchanges between teachers and students. This study aims at finding the schematic structures of English curriculum genres in Indonesian university context and the patterns of pedagogic exchange structures that enact the learning activities. The data of this study were video-taped EFL classrooms taught by non-native English lecturers in some universities in Semarang. The data were analyzed by referring to the analytical framework of curriculum genre and conversational structure under systemic functional linguistics (SFL). The findings show that in terms of exchange structure, the negotiation between teacher and students occurs in knowledge-oriented exchanges and action-oriented exchanges. Negotiation of knowledge occurs more frequently than negotiation of action.

Key words: curriculum genre, pedagogic discourse, exchange structure Background of the Study

Teaching and learning activities in a classroom can be perceived as a pedagogic discourse. Borrowing from Bernstein (1990), Christie (1995, p. 223) used the term pedagogic discourse to capture a sense of the social practices involved in educational activities, and, quite fundamentally, the principle or principles that determine the structuring or ordering of these in which both of these are realized in distinctive patterns of classroom text construction. According to Rose (2014, p. 1), the study of a pedagogic discourse allows us to examine the nature of the pedagogic subject or the pedagogic person that is constructed in the discourse. The dialogic discourse of an English teaching-learning episode through which knowledge and skills are negotiated can be thought of as a curriculum genre (Christie, 1995, p. 221; Rose, 2014, p. 3).

Seen from the perspective of genre study, particularly that in Systemic Functional Linguistics (SFL), an English as a foreign language (EFL) classroom discourse is a social activity carried out using language. In SFL genre study, genre is defined by Martin (as cited in Eggins, 2004, p. 54) as a staged, goal oriented, purposeful activity in which speakers engage as members of a culture. Less technically, genre is how things get done, when language is used to accomplish them. According to Martin (2009, p. 13), genre is staged, because it usually takes us more than one phase of meaning to work through a genre; it is goal-oriented, because unfolding phases are designed to accomplish something and we feel a sense of frustration or incompleteness if we are stopped; and it is social, because we undertake genres interactively with others. Based on this definition of genre, an EFL lecture is perceived as a genre because it is constructed by pedagogic subjects (students and teacher) by using English language to achieve certain learning objectives through staged learning activities. The existence of genre characteristics in a teaching-learning episode shows that classroom discourse is a structured language behavior (Christie, 2002, p. 3). One of the structured characteristics of EFL classroom activity is reflected from its overall staged activities and its particular linguistic features used in carrying out the teaching-learning activities to achieve the learning objectives. The specific lexico-grammatical features used in each teaching-learning step shows certain meanings communicated in the step. Under the definition of genre theory in SFL, the language which plays a social function in a curriculum genre expresses three meta-functional meanings simultaneously:

(31)

30

ideational, interpersonal, and textual meanings (Halliday & Matthiessen, 2014, p. 30; Martin, 2009, p. 11; Christie, 2002, p. 11). The ideational meaning refers to the learning topics discussed in the classroom; the interpersonal meaning refers to the social relations between teacher and students in the classroom; and the textual meaning refers to the role of language in the classroom.

The typical feature of a curriculum genre is its two fields: the knowledge to be acquired by the learners and the pedagogic activity through which it is acquired (Rose, 2014, p. 4). The types of knowledge may range from domestic, recreational and manual trades that can be demonstrated and acquired ostensively (horizontal discourses) to theoretically organized bodies of knowledge of professional occupations (vertical discourses) that are typically acquired through formal educations (Bernstein, 1990; Martin, 1992). The pedagogic activity unfolds as sequences of learning activities through which the knowledge and values may be acquired (Rose, 2014, p. 4).

This paper focuses on the sequence of learning activities carried out in an EFL classroom and the interpersonal meaning realizations through the negotiation patterns of exchange structure between teacher and students. Interpersonally, learning activities are enacted dialogically as exchanges between teacher and students. The social relations enacted between teacher and students in classroom episode are referred by Rose (2014, p. 4) as pedagogic relations. In classroom discourse, the pedagogic relations are enacted by teacher and students through moves and exchanges (Rose, 2014, p. 5; Love & Suherdi, 1996, p. 240). Moves are the individual contributions made by teacher or students in the classroom interaction. In terms of clause, a move is defined as a clause selecting independently for mood (Martin, 1992, p. 40) or in terms of conversation, it is a unit after which speaker change could occur without turn transfer being seen as an interruption (Eggins & Slade, 1997, p. 186). A set of moves combining together to complete a single pedagogic negotiation is called an exchange.

In pedagogic negotiation, there are two general types of exchange: knowledge negotiation exchanges or action negotiation exchanges (Rose, 2014, p. 6; Love & Suherdi, 1996, p. 243). In an action negotiation exchange, one person performs an action, which may have been demanded by another. The person performing the action is known as the primary actor (A1); the person demanding the action is a secondary actor (A2). A minimal action exchange consists of just an A1 action, without an A2 demand, so A1 is the core move in an action exchange. These kinds of moves in action exchange also occur in knowledge negotiation exchange. In a knowledge exchange, one person gives information, which may have been demanded or received by another. The person giving information is the primary knower (K1), while the person demanding or receiving information is a secondary knower (K2). In certain circumstances, K1 or A1 may choose to delay his or her K1 or A1 in order to check whether the other person, K2 or A2, also has the knowledge or can do the action. This kind of move is referred to as a DK1 or DA1, where D refers to the process of delaying the provision of information or compliance of action. The basic options for pedagogic exchanges are set out in Figure 1. The symbol ^ means “follows on from.”

Figure 1. Basic options for pedagogic exchanges (Rose, 2014)

Perform A1 A1 initiates Delay dA1^A2^A1 Action A2 initiates A2^A1 Exchange Moves Perform K1 K1 initiates Delay dK1^K2^K1 Knowledge K2 initiates K2^K1

(32)

31 Method

The data of this study were video-taped English lectures taken from some English departments in some Indonesian universities where English was used as a foreign language (EFL). The lecturers of these lectures were non-native English speakers. When the lectures were video-taped, the classes talked about content lessons in English language, such as English Syntax, Second Language

Acquisition, and English Material Development.

Data analyses were done by transcribing the lectures by referring to the transcription symbols as suggested in Eggins and Slade (1997). The transcribed utterances were then divided into clauses from which the schematic structures of the lectures and the realizations of pedagogic moves and exchanges were identified and classified based on exchange system network as suggested in Martin (1992), Ventola (1987), and Martin & Rose (2007).

Findings and Discussion

The Schematic Structure

One of the lectures was held in the evening for about 90 minutes in the course of English Syntax. The class discussed the types of English phrases and the syntactic analysis of the phrases in the form of tree diagram from functional and categorical points of view. Through this lesson topic, the lecturer managed the teaching-learning activities to achieve the goals of the lecture. The teaching-learning activities were sequenced in such a way that made three major stages: orientation, discussion, and closure. Each stage was carried out in smaller steps. Schematically, the structure of this lecture can be displayed as follows, where the sequence is indicated by ^, the recursion is indicated by π, and the domain of recursion is indicated by the symbol [ ].

GS ^ RPL ^ LA ^ CIH ^ CHW ^ SLA ^ SLO ^ [EC ^ GExa ^ CC ^ CSU ^ GExe] π ^ CT ^ STC ^ AHW ^ HK ^ FU ^ FW

Key to symbols:

GS : Getting started CC : Concluding concept

RPL : Reviewing previous lecture CSU : Checking in student’s understanding LA : Looking ahead Gexe : Giving exercise

CIH : Checking in homework CT : Concluding topic CHW : Concluding homework STC : Signaling to close SLA : Setting up lecture agenda AHW : Announcing homework SLO : Stating lecture objective HK : Housekeeping

EC : Explaining concept FU : Following-up GExa : Giving example FR : Farewell

Orientation stage was carried out sequentially through smaller steps: getting started, reviewing previous lecture, looking ahead, checking in homework, concluding homework, setting up lecture agenda, and stating lecture objective. Discussion stage, which constituted the main activity of the lecture, was carried out through the steps of explaining concept, giving example, concluding concept, checking in student’s understanding, giving exercise, and concluding topic. Discussion stage moved in a recursive phase (indicated with the brackets [ ] and the symbol π), because in the course of this main activity the lecture discussed the types of English phrases: noun, adjective, adverb, verb, and prepositional phrases. The domain of recursion included the steps of explaining concept, giving example, concluding concept, checking in student’s understanding, and giving exercise. This recursive phase occurred in the discussion of every phrase type. Beyond the recursive phases, the discussion stage ended with the step of concluding topic in which the lecturer summarized and concluded the lesson topic. The closure stage was sequentially carried out through the steps of signaling to close, announcing homework, housekeeping, following-up, and farewell.

(33)

32

The Patterns of Exchange Structure

The negotiation that occurred between teacher and students in the EFL curriculum genre in this study was enacted through the moves which were combined into certain exchanges. The patterns of moves and exchanges varied across stages and steps. The patterns of exchange structure employed in this curriculum genre could be in simple moves or move complexes. Simple exchange structure unfolded in a standard and predictable way, which made a synoptic move. The simple move was realized by a clause selecting independently for mood. The move complex was realized by a paratactic clause complex. The commodities of pedagogic exchanges could be knowledge (information) or action (goods & services). The realization of the exchange structures together with their structure types and commodities of negotiation in the discourse can be presented in Table 1.

Table 1. The realization of the exchange structures across steps

Stage Step Exchange

Structure

Commodities negotiated Orientation Getting started Simple Attention

Reviewing previous lecture Complex Knowledge

Looking ahead Simple Knowledge

Checking in homework Complex Knowledge Concluding homework Complex Knowledge Setting up lecture agenda Complex Knowledge Stating lecture objective Complex Knowledge Discussion Explaining concept Complex Knowledge

Giving example Complex Knowledge

Concluding concept Simple Knowledge Checking in student’s

understanding

Simple Knowledge

Giving exercise Complex Knowledge Concluding topic Simple Knowledge Closure Signaling to close Simple Action

Announcing homework Complex Action

Housekeeping Simple Action

Following-up Complex Action

Farewell Simple Attention

Simple exchange structures occurred in either negotiated or negotiated exchanges. A non-negotiated exchange was an exchange in which there was no negotiation between teacher and students. In this exchange, there was only one functional structural slot is realized so that it made a single move exchange. In the data, this one-slot exchange was employed by the teacher as the primary knower (K1) in the step of looking ahead in which the teacher told the students about what to expect in the next learning activities from the learning matters in the previous meeting, and this information needed no response from the students. A single move is exemplified in Example 1.

Example 1

Slot Move Spkr Utterance

1 K1 T and now we would like to develop the words we have studied in the previous meeting into higher grammatical units or higher syntactical units into phrases.

Unlike a non-negotiated exchange, in a negotiated exchange there was negotiation between teacher and students on certain knowledge or action. This exchange structure was constructed by at least two moves in adjacency pairs employed by teacher and students. In the data, there were two types of

Gambar

Gambar 1. Keterkaitan penelitian ini dengan penelitian disertasi
Tabel 1. Perbedaan dan Persamaan Penelitian ini dengan Penelitian Sebelumnya   No  Peneliti  Tingkat  Pendidikan  Fungsi  Bahasa  Inggris  Latar  Belakang Budaya  Makna  Metafungsional yang dikaji  1  Frances  Christie  (1991, 1995)  Sekolah dasar  Bahasa
Tabel 2. Jenis-Jenis Fungsi Tutur
Gambar 2. Struktur Exchange dalam Sistem Negosiasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan adalah merupakan aplikasi komponen vitamin C dalam sediaan likuid koloid gel dengan sedikit pelarut dan banyak komponen bioaktif, yang dalam

Proses reduksi di atas adalah reduksi ke-1, yang belum memberikan hasil yang optimal yaitu apabila ditinjau dari densitas sejati yang diperoleh yang masih rendah

Pelayanan kebidanan adalah bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan yang telah terdaftar (teregister) yang dapat dilakukan secara

Namun demikian, bila terdapat permasalahan yang sama dengan karakteristik yang sama pada subjek lain, maka hasil penelitian kualitatif ini dapat pula menjadi

Terkait dengan penelitian ini, variabel-variabel yang ingin diuji pembuktian hipotesisnya adalah ada atau tidak ada pengaruh terpaan Soompi.com (X) terhadap sikap komunitas Jogja

(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 huruf h meliputi upaya untuk pengembangan pertanian melalui sektor agribisnis, Pemerintah Kota Parepare

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang dilakukan dengan mendeskripsikan bagaimana efektifitas PERMA Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi

Jadi maksud dari penekanan yang diangkat dalam permasalahan adalah: membuat lebih baik dan lebih maju bangunan stasiun kereta api Kutoarjo dengan ruang-ruang yang dapat menampung