• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS STRUKTUR NOVEL ANAK BAKUMPAI TERAKHIR KARYA YUNI NURMALIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ANALISIS STRUKTUR NOVEL ANAK BAKUMPAI TERAKHIR KARYA YUNI NURMALIA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

12 2.1 Analisis Struktur

Analisis struktur merupakan langkah awal dalam analisis karya sastra sebelum membahas analisis selanjutnya. Analisis tersebut bertujuan untuk menjelaskan unsur-unsur yang ada dalam karya sastra. Analsisis struktur karya sastra, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2005:37).

Struktur novel ABT di dalam penelitian ini mencakup analisis tema, alur, penokohan, dan latar. Analisis struktur merupakan keperluan di dalam melaksanakan penelitian terhadap suatu teks karya sastra. Analisis struktur bertujuan untuk melihat struktur karya sastra, terutama unsur instrinsik. Sebelum analisis struktur dilakukan, terlebih dahulu disajikan sinopsis novel ABT yang dapat diikuti pada subbab berikut ini.

Analisis struktur merupakan analisis awal dalam karya sastra sebelum membahas analisis selanjutnya. Teeuw (1984:154) berpendapat bahwa analisis

(2)

struktur harus dipergunakan sebagai langkah awal melaksanakan penelitian lebih lanjut.

2.1.1 Tema

Tema merupakan suatu gagasan pokok atau ide pikiran tentang suatu hal yang membangun kepaduan dalam karya sastra. Pada hakikatnya tema merupakan makna yang dikandung cerita atau makna cerita dalam sebuah karya fiksi-novel, dan bahkan lebih dari satu interpretasi yang menyebabkan tidak mudah untuk menentukan tema pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum dari karya itu (Nurgiyantoro, 2005:82).

Proses memahami tema terbentuk secara perlahan-lahan bersamaan dengan proses pemahaman terhadap narasi novel, berdasarkan gagasan utama yang ingin diungkapkan dalam novel ABT adalah kerusakan alam Kalimantan. Tema utama tidak dapat muncul sekaligus secara sempurna, tetapi didukung oleh tema tambahan. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Area ini cocok untuk pertambangan emas. Pulau ini punya banyak seribu anak sungai. Jika disetiap titik kita bangun pertambangan emas, perusahaan kita akan kaya raya. Tapi, penduduk di sini tidak akan setuju kalau kita bangun perusahaan tambang di sekitar mereka. Limbahnya akan meracuni mereka. Pengusaha ambisius itu tidak perduli. Ide bagus. Racuni mereka melalui air sungai. Mereka pasti pindah. Anak buah yang penurut itu terdiam.” (hlm. 13)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa pengusaha melakukan berbagai cara agar dapat membangun industri pertambangan di daerah tersebut. Meskipun dengan cara

(3)

yang tidak baik, yaitu dengan cara mencemari air sungai yang digunakan penduduk sebagai kebutuhan sehari-hari. Penduduk yang berada di daerah tersebut pergi. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Kami sudah hafal suara itu. Suara orang-orang menebang kayu. Nantinya gelondongan kayu itu dibawa melalui aliran sungai. Pembalakkan liar pun kerap terjadi di hutan kami. Kawasan hutan tropis kami seluas beribu-ribu hektar telah dikonversi menjadi perkebunan sawit. Tiga perusahaan besar di sana memanfaatkan hutan kami untuk menjadi sebuah perkebunan sawit dan perusahaan tambang. Seperti barusan kalaulah kami pergi bersama Kai, mungkin ia akan berang melihat hutannya sedikit demi sedikit terkikis kekayaan alamnya.” (hlm. 72)

Kerusakan ekosistem Kalimantan tidak hanya disebabkan oleh pembangunan industri pertambangan. Pembalakkan liar sering terjadi untuk pembukaan lahan baru. Lahan baru tersebut digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.

“Akibat terjadinya kerusakan lingkungan di bagian atas pegunungan Meratus, tingkat kekeruhan air sungai sangat tinggi. Bahkan air sungai juga diduga telah tercemar dan mengandung zat berbahaya. Air di Sungai Barito dan Sungai Martapura paling tercemar oleh bakteri E. Coli dan merkuri akibat pertambangan emas yang menggunakan air raksa.” (hlm. 112)

Dampak dari pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh industri pertambangan tersebut berupa air sungai yang mengandung bakteri E. Coli dan merkuri. Hal tersebut disebabkan oleh penggunaan zat berbahaya di pertambangan emas.

“Orang-orang suku yang berdiam di Sungai Barito telah tercemar. Tubuh kalian telah terkontaminasi racun seperti merkuri. Hal itu sedikit mempengaruhi perubahan genetika dan DNA pada diri kalian. Air yang orang-orang Suku Bakumpai dan suku lain biasa pakai untuk minum dan untuk semua hajat hidupnya ternyata memang membawa dampak panjang bagi kesehatan masyarakat, ujar Eliyana panjang lebar.” (hlm. 177)

(4)

Kutipan di atas membuktikan bahwa akibat pembuangan limbah secara tidak

bertanggung jawab memberikan dampak yang berkepanjangan terhadap

kelangsungan hidup suku Bakumpai. Secara tidak langsung suku Bakumpai perlahan-lahan punah karena DNA mereka bercampur dengan merkuri dan logam berat.

Simpulan semua kutipan di atas merupakan perjalanan Aruna dalam novel ABT yang sekaligus menjadi klimaks cerita. Tema dalam novel ABT ialah masalah kerusakan lingkungan serta eksistensi suku Dayak Bakumpai yang terancam punah.

2.1.2 Alur

Plot secara tradisional diartikan sebagai alur atau jalan cerita. Plot mengandung unsur jalan cerita seperti peristiwa-peristiwa yang saling susul-menyusul untuk membentuk jalan cerita itu sendiri (Nurgiyantoro, 2005:111). Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2005:113) plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun kejadian tersebut dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu menyebabkan peristiwa yang lain.

Untuk memeroleh keutuhan sebuah alur cerita, Aristoteles (dalam Nurgiyantoro, 2005:142) mengemukakan bahwa alur harus terdiri atas tiga tahapan, yaitu: tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end). Ketiga tahapan tersebut menunjukkan keutuhan cerita.

(5)

2.1.2.1 Tahap Awal

Tahap awal sebuah cerita disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2005:142). Fungsi tahap awal ialah memberikan informasi dan penjelasan yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.

Pada tahap awal novel ABT dilukiskan tentang keadaan alam Kalimantan yang masih alami. Seiring berkembangnya waktu, para pengusaha dan investor mulai mendatangi bumi Kalimantan untuk membangun industri-industri pertambangan. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Jalan setapak di depan semakin menyempit. Pepohonan dengan dahan rimbun merunduk menyambar ke sana ke mari, semakin menyulitkan mobil jip itu menapaki jalan. Tak pantas disebut jalan raya karena rupanya mirip jalan pinggiran kecil yang terdapat di pelosok kota. Berbatu, bersemak, dan berbelukar.” (hlm. 9)

Kutipan di atas menggambarkan latar yang berfungsi untuk mengenalkan kepada pembaca tentang tempat terjadinya cerita. Pengarang menggambarkan secara rinci agar pembaca mampu menghayati cerita.

Selain itu diperkenalkan juga tentang kekayaan alam bumi Kalimantan yang membuat para pengusaha ingin mendirikan industri pertambangan di pulau tersebut. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

(6)

“Ya, tempat ini memang menggiurkan. Batu baru, emas, intan, beragam spesies dan sumber alam yang kaya membuat semua orang melirik tempat ini. Tempat yang cocok untuk membuat semua orang menjadi kaya raya, namun tempat ini juga berbahaya”. (hlm. 10)

Kutipan di atas menggambarkan tentang kekayaan alam Kalimantan berupa batu bara, emas, intan, dan sumber alam yang lainnya. Hal tersebut membuat para pengusaha berdatangan untuk mendirikan industri pertambangan.

Pada bagian awal juga diceritakan tentang seorang gadis kecil suku Bakumpai yang bernama Aruna. Semasa kecilnya bumi Kalimantan tanah kelahirannya dijadikan sebagai surga petualangan bersama Samudra, sepupunya. Berikut kutipannya.

“Rasa ingin tahu kami muncul, hal itu yang membuat aku dan Samudra selalu berani menghadapi tantangan apapun. Seolah perasaan kami sama jika ada sesuatu yang menarik yang berbau petualangan atau menurutku bau jiwa yang tidak bisa diatur ini selalu meronta. Seperti yang satu ini. Kami tak tahu entah apa, kami takut, tapi penasaran. Sudah terpatri di jiwaku hingga Samudra pun tertulari”. (hlm. 50)

Kutipan di atas menggambarkan tentang keadaan alam Kalimantan yang belum terjamah oleh pengusaha pertambangan. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkah laku sehari-hari tokoh utama yang menjadikan tanah kelahirannya itu sebagai surga petualangannya.

2.1.2.2 Tahap Tengah

Tahap tengah cerita juga disebut sebagai tahap pertikaian. Pada tahap ini ditampilkan pertentangan atau konflik yang sudah dimunculkan pada tahap

(7)

sebelumnya. Konflik menjadi semakin meningkat, dan semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal, konflik atau pertentangan yang terjadi antartokoh cerita, antar tokoh protagonis dengan tokoh antagonis, atau keduanya sekaligus. Bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang dan terpenting dari karya fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2005:145). Fungsi tahap tengah ialah mengembangkan konflik yang telah diperkenalkan pada tahap sebelumnya.

Pada tahap tengah ini, inti cerita disajikan seperti: tokoh memainkan peran, peristiwa penting yang dikisahkan, konflik berkembang semakin meruncing, menegangkan, dan mencapai klimaks. Untuk mengidentifikasi konflik utama, peristiwa fungsional-klimaks, dan tema atau gagasan utama. Pada bagian inilah pembaca memperoleh cerita dari kegiatan pembacaannya (Nurgiyantoro, 2005: 145).

Pada tahap tengah novel ABT ini digambarkan tentang pertemuan Aruna dengan Dayu kakak sepupunya. Dayu merupakan tokoh yang tidak menyukai kehadiran Aruna. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Aku mendesis. Bersungut-sungut bergumam tak jelas padanya. Sebuah bentuk ungkapan yang tak pernah tersampaikan, kenapa ia membenciku”. “Kejadian pagi-pagi dua hari yang lalu menambah deret panjang daftar kebenciannya padaku. Ketika itu, Dayu memainkan pusaka yang nenek moyang berikan kepada Kai berupa periasai dari kayu yang disebut kelembit. Kelembit merupakan alat penangkis dalam peperangan melawan musuh. Perisai tersebut terbuat dari kayu yang ringan, tapi tidak mudah pecah. Pada permukaannya terdapat ukiran-ukiran khas suku Dayak”. (hlm. 58)

(8)

Pada kutipan di atas merupakan gambaran sikap Dayu yang tidak suka terhadap Aruna. Hal itu disebabkan oleh kakek mereka yang lebih menyayangi Aruna daripada Dayu. Lebih dalam digambarkan pada kutipan sebagai berikut.

“Benda itu telah berumur sangat tua, sehingga Kai menegur Dayu untuk tidak bermain-main dengan pusaka itu. Dayu yang temperamen membantingnya sampai pusaka itu jatuh ke lantai kayu dan meninggalkan patahan pada ujungnya. Kai, yang melihat benda pusaka warisan nenek moyangnya itu rusak, menghujat Dayu”.

“Ikau tak pantas mahapa pusaka ni. Ikai beken keturunan dari suku kami. Ikau bukan keturunan Patih Bahandang Balau seperti Aruna”. (hlm 59)

Dayu membenci Aruna dikarenakan kakek mereka yang pilih kasih. Kakeknya lebih sayang kepada Aruna karena Aruna merupakan keturunan asli dari suku Bakumpai. Pada tahap tengah ini pengarang juga menceritakan bagaimana usaha yang dilakukan oleh Aruna untuk menjaga lingkungannya yang telah tercemar oleh limbah beracun yang dapat mengancam populasi penduduk suku Bakumpai. Perhatikan kutipan berikut.

“Berdasarkan sebuah analisis pada buku yang kubaca, banyak kawasan hutan bekas terbakar pada lima tahun terakhir ini mengalami perubahan tutupan lahan. Ada areal yang didominasi lahan terbuka yang cukup luas di daerah deket Desa Pujon, Kecamatan Kapuas Tengah. Mungkin ini lokasi tambang emas atau pasir zirkon. Zirkon adalah sejenis pasir halus sebagai bahan baku keramik dan kompinen elektronik”. (hlm. 113)

Pertemuan Aruna dengan Eliyana membuat mereka menjadi sahabat dekat. Eliyana yang seorang peneliti dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) akan meneliti DNA Suku Bakumpai di daerah Barito untuk mengetahui asal usul suku Bakumpai, dan Aruna ikut membantu Eliyana dalam penelitian ini yang disebabkan

(9)

wasiat yang diberikan oleh Kai untuk menjaga keturunan asli sukunya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.

“Kalian tidak steril. Darah kalian mengandung kontaminasi racun merkuri dan arsenik dalam kadar yang berbeda-beda. Racun-racun itu bisa menjadi toksin yang bersifat dapat merusak bayi-bayi dalam kandungan, sistem saraf pusat manusia, organ-organ reproduksi, dan sistem kekebalan tubuh”. (hlm. 182)

Kutiipan di atas merupakan dampak dari pembuangan limbah di sepanjang Sungai Barito. Racun tersebut mengalir dalam darah suku Bakumpai yang menyebabkan rusaknya gen genetik keturunan asli mereka. Melihat kondisi sukunya, Aruna teringat pesan Kai yang sebelum meninggal untuk menikah dengan Avara anak Arai. Mereka berdua sejak lama sudah dijodohkan. Namun, mereka berdua tidak mengetahuinya.

2.1.2.3 Tahap Akhir

Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat dari klimaks. Bentuk penyelesaian sebuah cerita dalam banyak hal ditentukan oleh hubungan antartokoh dan konflik yang dimunculkan (Nurgiyantoro, 2005: 145-146). Aristoteles (dalam Nurgiyantoro, 2005:146) membedakan akhir sebuah cerita ke dalam dua kemungkinan, yaitu: kebahagiaan (happy end) dan kesedihan (sad end).

Novel ABT menceritakan tentang pertemuan Aruna dengan Avara. Pada pertemuannya yang pertama kali Aruna tidak langsung mengutarakan keinginannya

(10)

untuk menikah bersama Avara karena mereka berdua belum saling mengenal. Hal ini tampak pada kutipan berikut ini.

“Aku bercakap-cakap dengan Bara. Ia memberitahuku lebih banyak hal dibanding Satria mengenai tempat ini. Seolah tempat ini adalah rumahnya. Ia bercerita ia senang bertualang ke alam liar, mendaki gunung, dan menjelajah nusantara, tentu sambil mengabadikan keindahannya di balik lensa kamera. Ia juga bercerita kalau ia sangat menyukai laut. Ceritanya tentang ekosistem laut mengalir deras. Kami mempunyai minat yang sama. Sama-sama menyukai petualangan dan mencintai keindahan alam. Ada beberapa hal yang berbeda. Ia bukanlah seorang pecinta lingkungan dan sedikit tidak peduli dengan cerita yang kututurkan tentang ekosistem yang rusak akibat limbah pembuangan perusahaan tambang. Seolah ia hanya berpikir keindahan alam yang ia lihat akan bertahan selamanya. Abadi seolah diawetkan. Kukatakan kalau semua itu semu. Ia malah tertawa dengan khas”. (hlm. 227)

Kutipan di atas membuktikan bahwa Aruna dan Avara belum saling mengenal karena Avara menggunakan nama Bara ketika bertemu dengan Aruna. Hal ini menyebabkan Aruna tidak dapat mengenalinya. Aruna tidak mengenal Avara dikarenakan Avara menggunakan nama pemberian orang tua angkatnya.

Pada pertemuan selanjutnya dengan Avara. Aruna langsung mengutarakan wasiat yang diberikan oleh Kai kepadanya. Namun, Avara menanggapinya dengan sedikit tidak percaya. Perhatikan kutipan berikut ini.

“Jadi, tanpa kuketahui, sebetulnya aku sudah memiliki calon istri? Tanya Avara tak percaya. Ia tertawa miris. Apa-apaan ini? Aku bahkan tidak tahu kalau ayah kandungku masih hidup!”.

“Aku menghela napas. Kalian berdua tolong diam. Aku juga sama bingungnya dengan kalian. Aku berhenti sejenak dan menatap Avara. Aku tidak akan memintamu menikahiku seperti wasiat Kai. Tapi, aku harap kau mengingat asal-usulmu, juga kewajiban kita untuk melestarikan suku Bakumpai”. (hlm. 246)

(11)

Pada tahap akhir novel ABT pengarang tidak menggambarkan secara jelas akhir cerita novel ini apakah berakhir menyenangkan (happy ending) atau menyedihkan (sad ending). Peneliti menafsirkan bahwa cerita ini berakhir menyedihkan (sad ending), dikarenakan tokoh utama yakni Aruna tidak bisa bersatu bersama Avara untuk menjaga bumi kelahirannya.

2.1.3 Penokohan

Penokohan sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan yang menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2005:165). Adapun pendapat Jones (dalam Nurgiyantoro 2005:165), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penggunaan istilah karakter (character) dalam berbagai buku bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2005:165).

Penokohan dapat dilihat melalui tiga dimensi, yaitu: dimensi sosiologis, psikologis, dan fisiologis (Lajos Egri dalam Sukada, 1987:62). Dimensi sosiologis, meliputi: golongan masyarakat, pekerjaan, pendidikan, agama, suku, bangsa, penduduk di masyarakat, tempat tinggal, dan hobi. Dimensi psikologis, meliputi: moral, ambisi, pribadi, tempramen, sikap hidup, pikiran dan perasaan, kecerdasan,

(12)

dan tanggung jawab. Dimensi fisiologis, meliputi: jenis kelamin, umur, tinggi dan berat badan, warna kulit, rambut, potongan tubuh, penampilan dan cacat tubuh.

Untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis penokohan dalam novel ABT, terlebih dulu dibedakan tokoh-tokohnya berdasarkan dari segi peran atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita. Tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan secara terus-menerus dalam sebuah cerita sehingga mendominasi sebagian besar cerita disebut tokoh utama. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2005:176-177).

Berdasarkan pandangan di atas, maka dapat ditentukan tokoh utama (tokoh sentral) novel ABT adalah Aruna. Aruna merupakan tokoh yang mendominasi seluruh kisah yang ada dalam novel tersebut. Tokoh tambahan yang mendukung jalannya cerita adalah Kai, Samudra, Dayu, Eliyana, Avara. Berturut-turut tokoh utama dan tokoh tambahan novel ABT diuraikan sebagai berikut.

2.1.3.1 Tokoh Utama

Telah disebutkan di atas tokoh utama novel ABT adalah Aruna. Ditinjau dari segi sosiologis Aruna merupakan anak tunggal, dan merupakan cucu ketiga dari Kai dan Nini. Selain itu, ia juga merupakan keturunan berdarah asli suku Bakumpai yang menganut agama Islam. Perhatikan kutipan berikut.

(13)

“…..Tapi, karena aku terlahir sebagai anak satu-satunya dengan garis darah keturunan langsung dari nenek moyang suku kami, Bakumpai, Patih Bahandang Balau, seorang Kai pun luluh dan bisa menahan sabar melihatku”. (hlm. 29)

Kutipan di atas menggambarkan bahwa kedudukan Aruna sebagai cucu yang berdarah asli suku Bakumpai harus hadir pada sebuah upacara adat yang dilaksanakan. Hal ini dikarenakan Kai menaruh harapan pada Aruna untuk menggantikan dirinya kelak. Aruna harus menghadiri upacara adat dikarenakan ia satu-satunya keturunan asli suku Bakumpai yang mewarisi nilai-nilai leluhur dari kakeknya.

Seiring berjalannya waktu, Aruna dan Samudra mulai masuk sekolah. Tempat ia bersekolah tidak dijelaskan dalam novel tersebut, hanya disebutkan bahwa Aruna memakai seragam putih merah yang biasanya dikenakan oleh siswa Sekolah Dasar. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Aku tak pernah menceritakan bagaimana aku sekolah. Umurku 11 tahun dan sebenarnya aku tak terlalu menyukai sekolah. Aku harus bangun pagi-pagi sekali. Aku harus memakai seragam jahitan Uma yang sudah lusuh berwarna putih merah. Aku harus berangkat sedini mungkin, menyusuri Sungai Barito menggunakan rakit. Belum lagi harus berjalan berkilo-kilometer jauhnya ke tempat yang orang-orang namakan sekolah itu”. (hlm. 91)

Dilihat dari segi psikologis, Aruna digambarkan sebagai orang yang memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk menjaga lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu, ia juga memiliki kepribadian yang ulet dan tekun dalam melakukan sesuatu. Hal itu dapat dilihat dari kutipan sebagai berikut.

“Aku ikut dalam ekspedisi itu sebagai satu-satunya dari suku kami yang pernah menginjak Pegunungan Muller. Dulu, bersama Kai. Pegunungan itu tak jauh berbeda seperti yang kutinggalkan terakhir kali. Meski kenangan

(14)

pahit pernah terukir di sana, ekspedisi kali ini adalah untuk memberi kesan pada aktivis seperti mereka bahwa pegunungan ini layak dijadikan sebuah tempat yang harus dilindungi. Daerah ini termasuk dari sedikit alam yang masih asri. Untuk itu, sebagai aktivis lingkungan, aku merekomendasikan Muller sebagai warisan alam yang berharga”. (hlm. 154-155)

Kutipan di atas membuktikan bahwa Aruna ikut dalam ekspedisi ke Pegunungan Muller untuk melakuan penelitian. Keikut sertaan Aruna pada ekspedisi tersebut karena ia satu-satunya penduduk asli suku Bakumpai yang pernah menjelajah Gunung Muller. Selain itu, ia juga diharapkan mampu membantu tim peneliti ketika melakukan penelitian di gunung tersebut karena ia penduduk asli suku Bakumpai yang mengetahui keadaan pegunungan tersebut.

Ditinjau dari segi fisiologis, Aruna bukanlah anak yang istimewa, baik dari fisik maupun penampilannya. Aruna merupakan seorang gadis bertubuh kecil dan lincah, dengan postur tubuh seperti itu Aruna lebih mudah melakukan kegiatannya sehari-hari. Digambarkan sebagai berikut.

“Kaki mungilku yang lincah, gesit menapaki tanah yang ditumbuhi alang-alang. Sudahlah, Nini, ikuti saja upacaranya. Aku merajuk. Memperlambat langkahku dan memutar tubuhku ke belakang. Aku tak mau ikut”. (hlm. 15) Kutipan di atas menggambarkan keadaan fisik Aruna yang bertubuh kecil dengan pakaian adat yang digunakannya. Tubuh kecil yang dimiliki membuat ia lebih mudah berlari dan melakukan hal-hal lain yang merepotkan orang bertubuh besar.

(15)

2.1.3.2 Tokoh Tambahan

Analsisis selanjutnya adalah analisis penokohan pada tokoh tambahan. Analisis pertama dimulai dari Kai, kemudian disusul dengan Samudera, Dayu, Eliyana, dan Avara.

1) Kai

Tokoh tambahan yang dianalisis terlebih dahulu adalah Kai yakni kakek Aruna. Ditinjau dari segi sosiologis Kai merupakan tetua suku yang menjadi pemimpin suatu ritual adat di suku Bakumpai. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Kai membaca mantra diiringi suara gamelan. Ayahku mulai bertingkah aneh. Diam, cekikikan. Diam lagi, lalu tertawa terkekeh-kekeh. Suaranya persis seperti tetua yang aku temui di puhun sadatu tadi. Setidaknya, itu yang kudengar. Aku tak melihat proses selanjutnya”. (hlm. 32-33)

Kutipan di atas membuktikan bahwa Kai dipercaya untuk memimpin suatu upacara adat. Hal ini dikarenakan Kai merupakan tetua suku dari suku Bakumpai. Kehadiran Kai dan Aruna dalam sebuah prosesi adat sangat penting karena mereka merupakan generasi penerus suku Bakumpai yang berdarah asli. Kai menaruh harapan besar pada Aruna untuk melestarikan suku Bakumpai termasuk adat istiadatnya. Oleh karena itu, Aruna harus mempelajari setiap prosesi yang ada pada suku Bakumpai.

(16)

Dari segi psikologis, Kai adalah laki-laki tua yang berambisi untuk melestarikan keturunan asli suku Bakumpai dan ia juga memliki rasa tanggung jawab yang besar untuk menjaga lingkungan tempat tinggalnya. Berikut kutipannya.

”Beberapa saat lamanya, sebelum api itu benar-benar melahap masuk hutan, Kai memberitahuku untuk menggunakan segala cara untuk supaya kebakaran di titik ini padam. Ia menyuruhku membasahi kain-kain yang kami kenakan, sarung Kai dan kainku, untuk kubasahi dengan air sungai. Sebisa mungkin air yang membasahi kain itu bisa membasahi semak belukar itu dan mengecilkan api yang berkobar. Sangat mustahil sekali, naluriku sempat ingin protes, tapi kami tak punya jalan lain”. (hlm. 120)

Kutipan di atas membuktikan usaha yang dilakukan Kai untuk menjaga lingkungan tempat tinggalnya. Hal itu dilakukan Kai dengan cara berpatroli melihat keadaan hutan yang setiap hari semakin rusak. Terkadang pada saat berpatroli di hutan, ia memadamkan api yang melahap hutan menggunakan alat sederhana.

“Sebuah guratan senyuman tersungging di bibirnya. Ia memberi amanat padaku agar meneruskan apa yang Kai lakukan, menjaga adat dan tradisi suku kami, serta menjaga bumi kami. Setelah berfirasat Kai akan pergi jauh, aku menitikkan air mataku. Aku memeluk Kai dan memintanya untuk bertahan”. (hlm. 152)

Kai tetap mempertahankan keinginannya untuk menjaga kelestarian tempat tinggal dan keaslian suku Bakumpai sampai akhir hayatnya. Hal itu dilakukan oleh Kai dengan cara mewasiatkan semua keinginanya kepada Aruna.

Dari segi fisiologis, Kai tidak digambarkan secara jelas, ia hanya digambarkan sebagai seorang laki-laki tua yang sudah mempunyai tiga orang cucu. Berikut kutipannya.

(17)

“Wajah Kai tampak tirus dan pucat. Aku mengamatinya. Tubuhnya begitu kurus. Tulang rusuknya menyembul di bawah permukaan kulitnya. Kulitnya yang terlipat membentuk keriput menghiasi wajah dan tangannya. Usia Kai setengah abad, kukira ia tak kan pernah terlihat tua karena ia kukenal sebagai seorang yang luar biasa. Tapi, malam ini, ia hanyalah seorang kakek tua yang sudah berubah, lemah dan tak berdaya”. (hlm. 145)

Kutipan di atas menggambarkan keadaan Kai yang sudah tua termakan usia. Tetapi, usia tidak menjadi halangan bagi Kai untuk tetap mempertahankan keaslian suku Bakumpai, serta menjaga kelestarian alam tempat tinggalnya.

2) Samudera

Analsis tokoh selanjutnya adalah Samudera. Dilihat dari segi sosiologisnya, Samudera merupakan anak yang selalu bersemangat dalam belajar. Motivasi Samudera dalam mengemban pendidikan ia dapatkan dari ayahnya yang menyadari pentingnya pendidikan bagi kehidupan. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut.

“Samudera lain halnya denganku. Ia 180 derajat kebalikanku. Letupan semangatnya menggebu-gebu kalau sudah berurusan dengan sekolah. Matanya selalu berbinar-binar ketika menatap guru yang sedang menerangkan pelajaran di depan kelas. Satu yang menggangguku juga adalah mulutnya yang ikut-ikutan bereaksi. Menyimak sambil menganga. Ia yang duduk di belakangku pernah kulempar kapur di mejaku bekas lemparan dari guruku”. (hlm. 93-94)

Kutipan di atas membuktikan bahwa Samudera lebih semangat dari Aruna dalam masalah pendidikan. Bagi Samudera pendidikan adalah hal yang paling penting. Hal ini dikarenakan oleh tuntutan orang tuanya agar kelak ia mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

(18)

Dilihat dari segi psikologisnya, pengarang menggambarkan tokoh Samudera sebagai tokoh yang pemberani dan selalu percaya diri. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut.

“Aku ragu, tapi Samudera laki-laki. Tentu lebih berani. Tapi, tak kukira dia seberani ini”.

“Samudera berayun-ayun sambil memeluk cabang pohon. Aku menutup mata. Ngeri jika melihatnya jatuh. Bunyi krek dahan membuatku memekik menahan nafas”. (hlm. 51-52)

Keberanian yang dimiliki oleh Samudera selalu dibuktikannya kepada Aruna karena ia merupakan seorang laki-laki dan harus melindungi seorang wanita. Segala sesuatu yang dilakukannya tidak pernah gagal, karena ia memiliki rasa percaya diri yang kuat ketika melakukan sesuatu.

Dilihat dari segi fisik, pengarang menggambarkan tokoh Samudera yang telah menjadi dewasa dengan keadaan fisik dan penampilan yang dimilikinya. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Oh, kau sudah datang. Chandra menjabat tangan pemuda itu. Ia membuka topinya. Rasanya aku mengenalnya. Sangat tidak asing. Mataku menyipit mengamati. Ia juga. Aku hampir tak percaya siapa yang kulihat. Alis tebal yang mudah terangkat itu. Barisan gigi yang rapi itu. Rambut tebal dan super hitam itu. Bibir yang selalu mengkerucut. Dan ciri khas cara jalannya yang lambat. Sebuah gambaran dan memori masa kecil melintas dibenakku. Chandra mengenalkannya pada kami. Kenalkan, ini Samudera”. (hlm. 238) Meskipun Aruna dengan Samudera telah berpisah lama dan masing-masing telah tumbuh menjadi dewasa, mereka berdua tetap masih saling mengenal satu sama lain sebagai saudara sepupu. Aruna mengenali Samudera dari ciri khas yang dimiliki

(19)

Samudera, begitu pula sebaliknya. Samudera kembali ke tanah kelahirannya dikarenakan ia peduli terhadap keadaan alam Kalimantan yang hancur.

3) Dayu

Dilihat dari segi sosiologis, Dayu adalah anak pertama dari pasangan Awahita dan Lizam yang berarti cucu dari Kai. Dayu tidak disukai oleh Kai dikarenakan dia bukan keturunan asli suku Bakumpai, melainkan keturunan yang berdarah campuran. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Ikau tak pantas mahapa pusaka ni. Ikau beken keturunan dari suku kami. Ikau bukan keturunan dari Patih Bahandang Balau seperti Aruna”. (hlm. 59) Kutipan di atas menggambarkan ketidaksukaan Kai pada Dayu. Hal ini disebabkan karena Dayu bukanlah keturunan asli dari Patih Bahandang Balau. Selain ituu, kebencian Kai terhadap Dayu disebabkan juga oleh pernikah orang tuanya. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Pembangkangan Bi Awahita terhadap rencana pernikahannya dengan seorang anak dari suku Bakumpai membuat Kai dan Nini kecewa. Sejak itu, Kai menjadi sensitif pada Bi Awahita. Meskipun ia menyayangi Bi Awahita, tapi sepertinya rasa kecewanya takkan pernah pupus…”. (hlm. 60)

Kebencian Kai terhadap Dayu disebabkan oleh pernikahan kedua orangtuanya. Dayu yang merupakan keturunan berdarah campuran yang membuat Kai semakin membenci Dayu dan tidak boleh menyentuh benda pusaka peninggalan nenek moyang suku Bakumpai.

(20)

Dilihat dari segi psikologis, pengarang menggambar tokoh Dayu dengan sifat yang tempramental. Hal itu tampak pada kutipan berikut.

“Narai? Jawab suara ketus seseorang yang membuka pintu kamar dengan menggerutu. Dayu”.

“Tak da. Ia menutup pintu kayunya yang reot. Setengah membanting”.

“Sejak ia sembuh dari sakitnya, ia semakin menjadi-jadi. Menjadi-jadi tidak menyukaiku. Aku sempat bertanya pada Uma mengapa ia demikian, namun Uma hanya menjawab dengan gelengan kepalanya. Uma pasti akan selalu bilang “sudahlah”. Tapi, Uma tidak menawarkanku perkiraan-perkiraan mengapa Dayu begitu”. (hlm. 58)

Sikap temperamental Dayu kepada Aruna disebabkan oleh perasaan cemburunya. Aruna lebih disayang oleh Kai, sedangkan ia tak dianggap. Hal itu dikarenakan ia bukan keturunan asli suku Bakumpai melainkan keturunan yang berdarah campuran, karena ibunya menikah dengan orang suku Banjar dan Kai tidak merestuinya.

Ditinjau dari segi fisik, pengarang menggambar tokoh Dayu dalam keadaan sakit parah selama dua bulan. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Sudah dua bulan dayu sakit keras. Badan dan keringatnya dingin seperti mayat hidup, tapi ia mengeluh panas disekujur tubuhnya. Uma, Kai, Apa, dan bibiku dibuat kerepotan karena khawatir Dayu diguna-guna. Meskipun kakekku sudah mencari ramuan tumbuh-tumbuhan dari hutan, Dayu tak kunjung sembuh. Saat itu, klinik pengobatan tidak ada di desa kami. Kami harus pergi ke hilir Barito menuju pusat kota Marabahan. Perjalanan itu pun harus kami susuri sepanjang hari melalui Sungai Barito menggunakan rakit atau perahu”. (hlm. 16)

Keadaan fisik Dayu semakin lemah disebabkan oleh penyakit yang dideritanya tidak kunjung sembuh selama berbulan-bulan. Hal itu membuat ibu

(21)

beserta keluarga besarnya di suku Bakumpai menjadi khawatir. Kakeknya memutuskan untuk melangsungkan sebuah upacara adat penyembuhannya.

4) Eliyana

Dilihat dari segi sosiologisnya, pengarang menggambarkan tokoh Eliyana sebagai seorang dokter yang berasal dari Jakarta. Kemudian ia datang ke Kalimantan untuk melakukan penelitian. Berikut kutipannya.

“Ketika pertama kali aku bertemu Eliyana, ia mengatakan padaku kalau ia adalah seorang dokter. Tujuannya datang ke sini adalah meneliti dampak pembuangan limbah tailing di Sungai Barito. Hari itu kulihat ia bersemangat sekali terjun ke lapangan. Mengambil sampel air sungai dan memasukkannya pada tube kecil”. (hlm. 157)

Tujuan Eliyana datang ke tanah Kalimantan ialah untuk meneliti dampak dari pembuangan limbah tailing ke sungai. Selain itu, ia juga meneliti gen suku Bakumpai dan suku lainnya. Apakah darah suku Bakumpai terkontaminasi zat beracun yang terkandung pada air sungai yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dari segi psikologis, Eliyana adalah seorang wanita yang memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap lingkungan karena ia merupakan seorang pecinta lingkungan. Selain itu, ia juga memiliki sifat yang selalu ingin membantu orang lain. Berikut kutipannya.

“Aku kagum dengan penjelasan Eliyana. Selain pengetahuannya luas, ia peduli dengan lingkungan suku kami. Saat kami menepi, ia melihat ibu-ibu sedang memanfaatkan air sungai untuk mencuci perabotan dan baju. Eliyana dengan sopan bertanya pada ibu itu apakah ada keluhan karena memanfaatkan air sungai itu. Ibu itu hanya tersenyum, tak begitu mengerti dengan bahasanya.

(22)

Aku membantu menerangkannya dengan bahasa kami. Ibu itu menjawab iya, ia mengeluh gatal-gatal dan alergi serta terserang penyakit kulit. Eliyana yang peduli menyarankan untuk tidak memakai air sungai ini lagi”. (hlm. 160) Sikap rasa tanggung jawab serta kemanusiaannya tercermin dari cara dan prilaku dalam kehidupan sehari-hari. Di samping menjalankan tugas untuk meneliti lingkungan yang tercemar oleh zat berbahaya, ia juga membantu menangani pengobatan masyarakat suku Bakumpai yang terkena dampak zat bercaun dengan sukarela.

Dilihat dari segi fisiologis, oleh pengarang Eliyana tidak digambarkan secara jelas, ia hanya seorang wanita muda yang menggunakan kacamata sehingga ia terlihat seperti cendekiawan muda. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.

“……Salah seorang dari mereka seorang wanita berkacamata, hari itu datang menginjak tanah kami. Ia tampak seperti cendekiawan muda yang bersemangat. Ia menjabat tanganku, tersenyum padaku dan mengenalkan namanya, Eliyana”. (hlm. 154)

Kutipan di atas menggambarkan sosok Eliyana sebagai seorang wanita muda dengan penampilan seperti seorang cendikiawan. Ia adalah seorang wanita muda yang bersemangat untuk tetap menjaga kelestarian alam Kalimantan. Tidak hanya menjaga kelestarian alam, ia juga memperhatikan keadaan populasi suku Bakumpai yang terancam punah.

5) Avara

Dilihat dari segi sosiologisnya, Avara merupakan keturunan yang berdarah asli suku Bakumpai. Namun, sejak kecil ia diserahkan oleh ayahnya kepada orang tua

(23)

angkat yang berasal dari Jakarta dan tinggal di sana. Ia juga seorang mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia. Berikut kutipannya.

“Selanjutnya ia meminta informasi keberadaan Avara di Jakarta. Eliyana bertanya pada pria ternyata betul bernama Arai itu. Kai Arai memberi tahu kami bahwa Avara mempunyai orangtua angkat di Jakarta. Ie baisi kuitan angkat sikanih. Ie sakula si Unbersitas Indonesia. Ia menunjuk Eliyana. Ie dokter kilauan ikau. Ia seorang mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia”. (hlm. 187)

Avara adalah seorang keturunan yang berdarah asli suku Bakumpai seperti Aruna. Namun, ia tidak tinggal bersama ayahnya di Kalimantan. Ayahnya menyerahkan Avara kepada orang tua angkatnya karena ia telah kehilangan ibunya sejak kecil.

Dilihat dari segi psikologisnya, pengarangan menggambarkan Avara yang memiliki kepribadian yang tidak mudah percaya dengan perkataan orang yang baru dikenalnya. Avara beranggapan bahwa kabar yang disampaikan kepadanya belum tentu benar. Berikut kutipannya.

“Jadi, tanpa kuketahui, sebetulnya aku sudah memiliki calon istri? Tanya Avara tak percaya. Ia tertawa miris. Apa-apaan ini? Aku bahkan tidak tahu kalau ayah kandungku masih hidup!”. (hlm. 246)

Avara terkejut ketika Aruna menyampaikan amanat Kai yang menyuruh mereka untuk menikah demi menyelamatkan populasi suku Bakumpai yang terancam punah. Ia tidak percaya dengan semua perkataan Aruna, karena sejak kecil ia diasuh oleh orangtua angkatnya dan ia pun tidak mengetahui keadaan orangtua kandungnya

(24)

masih hidup atau tidak. Dia tertegun dan berpikir keras dengan perkataan yang dilontarkan Aruna kepadanya.

Dilihat dari segi fisiologisnya, Avara tidak digambarkan secara jelas oleh pengarang. Dikarenakan Avara bukanlah tokoh uama yang diceritakan dari awal hingga akhir cerita.

2.1.4 Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005:216). Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain (Nurgiyantoro, 2005:227).

2.1.4.1 Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas (Nurgiyantoro, 2005:227).

(25)

Latar tempat novel ABT adalah di Pulau Kalimantan. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa lokasi yang pada kenyataan berada pada wilayah Kalimantan, seperti: Sungai Barito, Kampung Bakumpai atau Kota Marabahan, Banjarmasin, Tumbang Karamo, Desa Tujang, dan Kampung Tumbang Topus. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

“Kota Marabahan, sebagai kota tua yang bersejarah, dilihat dari letaknya yang strategis karena berada di samping tiga Sungai Barito yang menghubungkan ke Hulu Barito, Banjarmasin, dan Margasari. Di Marabahan pada masa lalu menurut cerita Kai, diperjualbelikan dagangan dari tanah Siang dan Murung yang terletak di hilir Barito melalui perdagangan sungai dengan berjejernya ratusan perahu dan rakit raksasa”. (hlm. 65)

Kutipan di atas menggambarkan letak kediaman suku Bakumpai yang menghuni bumi Kalimantan berdasarkan cerita dari leluhur secara turun-temurun. Selain itu, dijelaskan pula keadaan ekonomi dan matapencaharian suku Bakumpai sebagai pedagang pada zaman dahulu.

“Di pedalaman suku Kalimantan Tengah terdapat suku Dayak Ot Danum yang dihubungkan dengan Ngaju atau di Sungai Barito yang disebut juga Biaju. Ngaju bisa dikaitkan induk suku kami. Ngaju adalah suku Dayak yang populasinya dominan di pulau kami. Mereka menghuni sepanjang sungai yang mengalir ke pulau selatan kami hingga tembus ke Laut Jawa. Dialek bahasa Ngaju mirip dengan dialek suku kami”. (hlm. 66-67)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa suku Bakumpai merupakan bagian dari suku Dayak Ot Danum atau suku Dayak Ngaju yang menghuni sepanjang Sungai Barito. Bahasa yang digunakan oleh suku Dayak Ngaju sama dengan bahasa yang digunakan oleh suku Bakumpai.

(26)

Tidak terbatas pada latar tempat yang disebutkan secara jelas seperti di atas, tetapi juga terdapat latar tempat yang dilukiskan tanpa lokasi yang spesifik. Latar tempat semacam ini memiliki nuansa yang khas untuk membangun suasana bacaan. Seperti kutipan berikut.

“Jalan setapak di depan semakin menyempit. Pepohonan dengan dahan rimbun merunduk menyambar ke sana ke mari, semakin menyulitkan mobil jip itu menapaki jalan. Tak pantas disebut jalan raya karena rupanya mirip jalan pinggiran kecil yang terdapat di pelosok kota. Berbatu, bersemak, dan berbelukar”. (hlm. 9)

Penggambaran latar yang dihadirkan oleh pengarang mampu membuat pembaca merasakan suasana alam yang masih asri. Dengan menghadirkan keadaan jalan raya yang ditumbuhi pepohonan yang rindang.

“Aku melintas padang semak belukar yang kulewati tadi. Kali ini aku mengambil jalan setapak karena tak takut Nini mengikutiku. Saat ini, justru aku menginginkannya. Menginginkanya bersembunyi di semak seperti tadi, lalu aku yang akan mengagetkannya, setelah itu pulang bersama”. (hlm. 25) Pada kutipan di atas pengarang menggambarkan suasana jalan setapak yang dikelilingi semak belukar. Suasana mencekam yang dihadirkan pengarang mampu membuat pembaca ikut serta dalam cerita tersebut.

2.1.4.2 Latar Waktu

Latar waktu adalah suatu rentangan waktu yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam sebuah karya sastra (Sudjiman, 1988:23). Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan

(27)

waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (Nurgiyantoro, 2005:230)

Latar waktu novel ABT tidak dijelaskan secara ekplisit oleh pengarang. Namun, terdapat implikasi bahwa peristiwa yang terjadi pada novel tersebut mengambil latar waktu sekitar tahun 2000-an. Berikut kutipannya.

“Avara. 17 Agustus 2009”.

“Avara. B de’Phoenix. 16 Agustus 2010”.

“Berulang kali kubaca nama itu dari kiri ke kanan tanpa berkedip sampai kesadaran otakku pulih. Ia pernah ke sini, desisku pada Eliyana. Pikiranku mengambang, berputar-putar otakku berpikir serius. Seolah otakku mengopi terlalu banyak kata yang cukup sulit kupercaya. Ia pernah ke sini. Ia pernah ke sini. Ia pernah ke sini. Ia pernah ke sini”. (hlm. 214)

Kutpan di atas menggambarkan waktu pendakian Avara ke puncak Mahameru. Setiap tahun Avara mendaki ke Gunung Semeru seperti informasi yang tertera pada batu besar tempat para pendaki mengukir sejarah mereka ketika melakukan pendakian ke Gunung Semeru.

Informasi selanjutnya memberikan gambaran tentang teknologi yang berkembang pada latar waktu karya sastra. Alat transportasi jarak jauh sudah mengandalkan tenaga mesin otomatis. Di samping sudah mengenal alat transportasi mesin, bagi masyarakat pedalaman Kalimantan masih menggunakan rakit sebagai alat transportasi air mereka.

“Mobil besar itu merusak rerumputan, meratakan tanah dan menjamah semak belukar di depan mereka”.

(28)

“Apa kau yakin jalan ini sesuai dengan jalan yang ada di peta? Seorang wanita yang duduk di belakang bertanya pada yang mengemudikan sebuah mobil Land Rover yang mereka tumpangi”. (hlm. 10)

“Diperjalanan, sebuah motor menghentikan perjalanan kami. Seorang pemuda yang cara jalannya kukenal itu dengan sedikit canggung menghampiriku. Ia meminta Eliyana untuk meninggalkan kami berdua”. (hlm. 247)

Penggambaran teknologi yang dipaparkan pengarang pada novel ABT ini membuktikan bahwa cerita dalam novel berlangsung sekitar tahun 2000-an. Hal tersebut dapat dilihat dari kemajuan teknologi yang berkembang pada saat itu.

2.1.4.3 Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (Nurgiyantoro, 2005:233-234).

Latar sosial yang digambarkan oleh pengarang pada novel ABT adalah gambaran masyarakat suku Bakumpai yang masih percaya terhadap hal-hal yang berbau mistis sebagai salah satu peninggalan dari nenek moyang mereka. Suku Bakumpai hingga saat ini masih mempertahankan tradisi peninggalan nenek moyangnya. Perhatikan kutipan berikut.

(29)

“Akhirnya Kai memutuskan untuk menyelenggarakan ritual upacara Badewa. Ritual adat ini dilakukan ketika yang sakit sulit disembuhkan . ritual ini dipercaya bisa sangat manjur menuntaskan bala penyakit yang menurut Kai tidak bisa disembuhkan. Ritual ini masih dipegang kakekku secara turun-menurun dari nenek moyangnya. Ia masih percaya dan melestarikannya”. (hlm. 16-17)

Kai meyakini bahwa dengan melangsungkan ritual upacara Badewa tersebut Dayu dapat disembuhkan. Menurut Kai penyakit yang diderita Dayu bukanlah penyakit biasa yang dapat disembuhkan oleh dokter.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, tanin yang digunakan sebagai adsorbent diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan metode Microwave Assisted Extraction (MAE), selanjutnya

seperti berkelahi, pada awalnya mereka selesaikan sendiri tanpa harus diselesaikan oleh pengasuh. Kondisi ini menunjukkan perilaku dapat menyelesaikan masalah sendiri

[r]

The example shows that violation of Grice’s Maxims in teacher talk could affect the students’ behavior in the classroom.. In point of fact, the teacher talks

Pekerjaan ini membutuhkan ketelitian dan pengalaman yang luas , sebab kekeliruan sedikit, misalnya sambungan tersebut ku- rang rata/menonjol sedikit saja, batu

parkir yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota. Ada juru parkir nya, ada yang mengatur letak kendaraan yg diparkirkan agar tidak mengganggu pengguna jalan yang lainnya.

Karena penyusunan skripsi dan penulisan artikel ilmiah merupakan bagian merupakan bagian dari kegiatan penelitian ilmiah, maka pedoman ini hanya akan bermanfaat dari kegiatan

Candida spp merupakan organisme yang normal didapati di saluran cerna, tetapi pada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun maka jamur ini