• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI MIKORIZA UNTUK MENINGKATKAN KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN TERDEGRADASI1)

Oleh :

Erdy Santoso2), Maman Turjaman2), dan Ragil SB Irianto2) ABSTRAK

Pada saat ini introduksi mikoriza merupakan teknologi yang tidak bisa ditawar lagi untuk meningkatkan keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi di Indonesia. Kendala utama yang dihadapi dalam kegiatan rehabilitasi lahan adalah rendahnya unsur hara, toksisitas aluminium, fiksasi P yang tinggi, pH sangat asam, dan rendahnya bahan organik. Penggunaan mikoriza akan bermanfaat apabila telah diketahui tingkat efektivitas jenis mikoriza yang terbentuk pada setiap jenis pohon yang akan diproduksi. Pada makalah ini didiskusikan aplikasi cendawan ektomikoriza dan endomikoriza untuk kegiatan rehabilitasi hutan di Indonesia. Kata kunci : Mikoriza, rehabilitasi, degradasi

I. PENDAHULUAN

Adalah Professor Dr. J. M. Janse (1897) peneliti senior asal Belanda yang bekerja di Kebun Raya Bogor dan menjadi pionir dalam riset mikoriza di Indonesia. Dari salah satu publikasi ilmiahnya yang ditulis dalam bahasa Perancis berjudul “Les Endophytes Radicaux De Quelques Plantes Javanaises” (Endofitik akar pada beberapa jenis tanaman asal Jawa), Prof. Janse melaporkan banyak temuan tentang peranan mikoriza pada jenis-jenis pohon hutan yang ada di Cibodas, Gunung Pangrango (Jawa Barat). Hasil temuannya mengindikasikan, mikoriza berperan dalam rantai makanan di rizosfer akar dan memacu pertumbuhan hampir semua jenis pohon di hutan tropika Indonesia. Kita tidak pernah berpikir bahwa hutan tropika yang kaya raya telah diberi pupuk kimia oleh nenek moyang kita. Padahal fenomena alam ini menjelaskan, mikoriza termasuk dalam rantai makanan ekosistem pemasok makanan dan turut membesarkan pohon-pohon raksasa di hutan tropis Indonesia. Selanjutnya hasil penelitian dan pemikiran Prof. Janse hampir satu abad lebih menjadi inspirasi peneliti di bidang mikrobiologi hutan, bagaimana teknologi mikoriza turut memberikan andil menjadi input teknologi dalam mempercepat pertumbuhan pohon dan merehabilitasi lahan hutan terdegradasi akibat pembukaan hutan untuk kegiatan pertambangan, illegal logging, dan kebakaran hutan. Teknologi mikoriza yang didiskusikan dalam tulisan ini lebih difokuskan kepada jenis-jenis cendawan yang hidup dalam jaringan korteks akar atau sering disebut cendawan mikoriza dan keberadaannya sangat berlimpah di lantai-lantai hutan tropis Indonesia.

II. SIMBIOTIK MUTUALISME

Simbiotik mutualisme atau sering disebut kerjasama saling menguntungkan antara tanaman hutan (inang) dan mikroba tanah yang merupakan dasar pokok dalam mengembangkan bioteknologi mikoriza. Inang, dalam pertumbuhan hidup-nya mendapatkan sumber makanan lebih bahidup-nyak dari dalam tanah dengan

1

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006.

2

(2)

bantuan penyerapan lebih luas dari organ-organ mikoriza pada sistem perakaran dibandingkan yang diserap oleh rambut akar biasa. Makanan utama yang diserap adalah fosfor (P) dan juga termasuk nitrogen (N), kalium (K) dan unsur mikro lain seperti Zn, Cu dan B. Melalui proses enzimatik, makanan yang terikat kuat da-lam ikatan senyawa kimia seperti aluminium (Al) dan besi (Fe), dapat diuraikan dan dipecahkan dalam bentuk tersedia bagi inang. Karena cuma inang yang ber-fotosintesa, sebagai imbalannya, sebagian hasil fotosintat (berupa karbohidrat cair) yang dimasak pada daun berklorofil didistribusikan ke bagian akar inang, dan tentunya mikoriza di jaringan korteks akar inang mendapatkan aliran energi untuk hidup dan berkembangbiak di dalam tanah. Dari kegiatan barter antara mikoriza dan inang, maka proses simbiosis mutualistis berlangsung terus menerus dan saling menguntungkan seumur hidup inang.

Filosofi dasar yang dianut untuk mem-perbaiki ekosistem hutan yang terdegradasi adalah kembali ke alam (back to nature) dan ramah terhadap lingkungan. Prinsip kembali kepada alam berupa pemanfaatan kekayaan mikoriza di hutan tropika dan menggu-nakannya kembali mikoriza telah diseleksi dan diinokulasi kembali ke bibit tanaman hutan. Begitu banyaknya jenis mikoriza, maka kita perlu menyeleksi jenis-jenis mikoriza yang cocok dengan inang. Sebagai contoh, jenis-jenis meranti (keluarga Diptero-carpaceae) lebih suka bersimbiosis dengan cendawan ektomikoriza, yang berciri ditemu-kannya tubuh buah cendawan di lantai-lantai hutan pada setiap memasuki musim hujan. Demikian juga di hutan alam Pinus merkusii di Takengon Aceh, tim peneliti Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam (Bogor) pada tahun 1995 menemukan cendawan dari kelompok ektomikoriza Pisolithus arhizus, yang terma-suk kategori jenis super strain, dengan ciri khas sporanya berbentuk seperti buah durian (Gambar 1 dan Gambar 2). Cendawan ektomikoiza ini pun telah diujico-bakan untuk kegiatan inokulasi pada bebera-

pa jenis tanaman meranti (Turjaman et al., 2006). Selain itu telah dipeoleh juga jenis-jenis cendawan endomikoriza untuk jenis-jenis hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah (Tawaraya et al., 2003; Turjaman et al., 2006).

Tidak mudah memperoleh mikoriza super strain. Kita harus masuk hutan dan mengeksplorasi mikoriza pada setiap jenis tanaman hutan yang tumbuh secara alami. Proses berikutnya, mengisolasi, membiakkan dan memurnikan mikoriza pada media sintetik di laboratorium. Bagian akhir dari proses pencarian mikoriza adalah melakukan preservasi mikoriza dalam bentuk bank isolat mikoriza. Karena kita sudah berinvestasi dari riset ini, maka penyimpanan dan menjaga mutu mikoriza menjadi sangat penting dan suatu saat nanti akan diproduksi dan Gambar 1. Spora Pisolithus arhizus difoto

dengan Scanning Electron Microscope (SEM)

Gambar 2. Tubuh buah cendawan Pisolithus

arhizus asal hutan alam Pinus merkusii Aceh Tengah

(3)

digunakan skala massal. Apabila kita mendapatkan mikoriza super strain untuk jenis tanaman hutan tertentu, maka kita dapat memperbanyaknya dalam skala massal. Kemungkinan kita mendapat mikoriza yang “biasa-biasa” saja itu bakal terjadi. Atinya, apabila kita aplikasikan tidak akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Adapun kelemahan dari mikoriza adalah mikoriza kurang efektif atau tidak dapat bekerja pada kondisi lahan yang subur, karena rambut akar tanaman hutan dapat langsung menyerap nutrisi dari dalam tanah tanpa bantuan mikoriza.

Cikal bakal kegiatan RHL (Rehabilitasi Hutan dan Lahan) terletak pada kegiatan produksi bibit tanaman hutan di persemaian. Penggunaan mikoriza dapat dikombinasikan dengan pupuk kimia dengan dosis yang sangat rendah. Efisiensi penggunaan pupuk kimia dapat dikurangi hingga lebih dari 50% di tingkat persemaian. Setelah bibit tanaman berukuran 25-30 cm dan akar telah diselubungi oleh jejaring hifa cendawan, tanaman siap diangkut dan ditanam di lapangan pada saat memasuki musim hujan. Ciri-ciri bibit yang telah bermikoriza adalah bibit tampak kuat (vigor), sehat dan daun berwarna hijau. Ciri lain, dengan mata telanjang dapat dilihat organ hifa/miselia cendawan menyelimuti sistem perakaran dan membentuk koloni dan warna yang khas tergantung jenis mikoriza pembentuknya (Gambar 3).

Pada saat ditanam di lapangan, bibit yang telah bermikoriza pada akarnya idak perlu diberi pupuk lagi atau diberi dengan dosis rendah. Apalagi saat ini harga pupuk kimia cukup mahal harganya dan langka. Selain itu adanya issue yang beredar, ba-nyak ditemukan pupuk kimia palsu/oplosan. Kemungkinan juga penyimpangan dan ma-nipulasi distribusi pupuk kimia yang harusnya di tabur di lapangan, tapi malah berkarung-karung pupuk dibawa lari oleh oknum lapangan yang tidak bertanggungjawab.

Selain itu perlu dikalkulasi lagi berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan pemupukan mulai di persemaian dan lapangan dalam kegiatan RHL untuk skala miliyaran bibit tanaman hutan.

Ada anggapan dari beberapa praktisi kehutanan, karena hutan kita memiliki biodiversitas tinggi termasuk kekayaan jenis mikoriza, jadi tidak perlu diinokulasi mikoriza secara buatan. Dalam kegiatan produksi bibit tanaman hutan di persemaian, mereka telah bisa menggunakan tanah berasal dari hutan, selanjutnya mikoriza yang terkandung dalam tanah dengan sendirinya akan masuk ke sistem perakaran dan membantu menyerap unsur hara, sehingga tidak perlu inokulasi buatan pada bibit tanaman. Sebenarnya teknologi konvensional ini pun diperkenalkan oleh praktisi kehutanan Belanda pada tahun 1900-an ketika mereka memperbanyak bibit Pinus merkusii di Pulau Jawa, dengan cara mengambil lapisan atas permukaan tanah dari bawah tegakan P. merkusii dewasa, yang kita sering sebut inokulasi dengan menggunakan top soil.

Pandangan yang keliru tersebut perlu diluruskan. Memang mikoriza simbiotik alami dapat digunakan, tetapi efektivitas dan jenisnya tidak diketahui, sehingga efeknya tidak konsisten bagi pertumbuhan tanaman hutan, kadang berhasil atau tanaman akan mati akibat diserang cendawan penyakit akar. Apalagi setiap Gambar 3. Kolonisasi mikoriza pada

(4)

tahunnya program RHL secara nasional memerlukan milyaran batang bibit tanaman, sehingga tidak mungkin untuk mengambil tanah hutan sebagai sumber inokulum mikoriza dan dapat berdampak pada kerusakan lingkungan berupa erosi tanah dan masuknya penyakit akar sehingga bibit tanaman menjadi sakit. Akibatnya adalah kerugian dan kegagalan program RHL akan terulang lagi.

III. APLIKASI MIKORIZA A. Produksi Mikoriza

Mikoriza dapat dikemas dalam ber-bagai bentuk produk. Kemasan teknologi yang paling sederhana dan praktis untuk jenis cendawan ekto-mikoriza yang sporanya berlimpah adalah bentuk tablet spora. Selain itu ada kemasan lain yang cukup praktis di mana organ cendawan spora, hifa dan propagul lain dapat dikapsulkan dan

dicampur dengan bahan dasar olahan rumput laut (alginat). Sedangkan untuk jenis cendawan endomikoriza adalah dengan cara memperbanyaknya pada inang tanaman semusim selama 3 bulan dan selanjutnya spora yang telah terbentuk pada sistem perakaran dapat dipanen dan dikemas dengan pembawa dari pasir atau batuan zeolite.

Di pasar internasional, produk mikoriza dapat dipesan on-line melalui internet di negara-negara Amerika, Eropa, Australia dan Jepang. Beberapa nama perusahaan yang memproduksi mikoriza adalah Biorize (Perancis), Osaka Gaz Ltd., Idemitsu Ltd. (Jepang), Plant Health Care Ltd., Mycorrhizal Applications Ltd. dan Reforestation Tehnologies International Ltd. (Amerika). Perusahaan tersebut tidak hanya menjual produk mikoriza tapi juga memberikan bantuan teknis dalam kegiatan aplikasinya. Apabila ada perusahaan bibit menginginkan produk mikoriza dalam skala besar untuk produksi jutaan bibit, maka perusahaan bibit tersebut harus memesan terlebih dahulu kepada produsen mikoriza. Karena penggunaan mikoriza dipakai “sekali untuk seumur hidup tanaman”, maka pengaturan tata waktu pembibitan harus disesuaikan dengan pemesan mikoriza. Mikoriza hanya dapat disimpan dalam jangka waktu 6 bulan. Setelah itu efektivitas mikoriza makin berkurang. Di Jepang, perusahaan minyak dan gas, seperti Osaka Gaz Ltd. dan Idemitsu Ltd., mempunyai divisi R & D untuk produk mikoriza dan telah mempunyai pangsa pasar di Jepang untuk komoditi tanaman pertanian, hortikultura dan kehutanan. Di Indonesia, sempat hadir satu perusahaan swasta nasional yang menjual produk mikoriza, tapi terkendala kurangnya informasi dan promosi kepada masyarakat tentang pentingnya mikoriza untuk pertumbuhan tanaman dan sistem pemasaran dan kelembagaannya belum terbentuk. Sebenarnya biaya produk mikoriza sangat murah berkisar Rp 100,- per bibit tanaman, apabila inokulum mikoriza dapat diproduksi skala massal. Hal ini tidak seberapa dibandingkan dengan standar harga per bibit tanaman untuk kegiatan RHL (berkisar antara Rp 1.000,- - Rp 5.000,-.) Selain itu, manfaat jangka panjang yang dapat diperoleh adalah investasi yang berkesinambungan, pertumbuhan bibit dapat hidup di lahan gersang, serta dari sudut pandang ekologi hutan, kita juga turut membantu

Gambar 4. Ektomikoriza dikemas dalam tablet (kiri) dan kapsul alginat (kanan)

(5)

menyambung kembali rantai-rantai makanan yang sempat terputus yang diakibatkan oleh kerusakan hutan.

Pengguna teknologi mikoriza simbiotik adalah semua institusi atau perusahaan yang memproduksi bibit tanaman hutan untuk kegiatan RHL. Kalau kita lihat program RHL yang dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan akan mencapai target 3 juta hektar dalam waktu 5 tahun, maka diperkirakan bibit tanaman hutan yang dibutuhkan adalah minimal 3 milyar bibit berbagai jenis tanaman hutan dengan asumsi jarak tanam 3 x 3 m. Menanam pohon sebanyak itu berarti investasi jangka panjang dan beresiko. Sedangkan produsen mikorizanya seyogyanya adalah perusahaan BUMN/swasta kehutanan yang bergerak dalam kegiatan tanam-menanam. Diharapkan dengan peran perusahaan BUMN/swasta kualitas produksi inokulum mikoriza dapat terjamin termasuk pola distribusi dan pemasarannya. Perusahaan juga dapat berinvestasi dengan pola kemitraan bersama peneliti di bidangnya, agar beberapa bagian proses produksi penting dari produk inokulum dapat dilindungi dan dipatenkan secara bersama-sama, sehingga produk-produk yang dihasilkan mutunya tetap terjaga dan sangat sulit untuk dipalsukan. Dampak positifnya, membuka peluang sinergisme antara perusahaan dan peneliti dalam negeri agar dapat memacu penemuan-penemuan baru dalam pemanfaatan mikoriza di hutan tropis. Pemanfaatan mikoriza tidak hanya untuk memacu pertumbuhan tanaman, tetapi bahan-bahan metabolik sekunder dapat dijadikan bahan aktif untuk pengobatan manusia, industri makanan dan farmasi. Jangan sampai kesempatan ini dibiarkan berlalu, karena peneliti asing dari negara maju dapat mengambil alih teknologi ini dan negara kita kembali hanya sebagai pengguna barang impor yang sebenarnya bahan bakunya dari Indonesia.

B. Aplikasi Mikoriza

Untuk memacu pertumbuhan pohon di persemaian dan lapangan, diperlukan pemahaman kondisi biologi di sekitar sistem perakaran beserta interaksi biogeokimia dalam proses penyerapan unsur hara oleh tanaman. Cendawan mikoriza merupakan mikroba penting dalam ekosistem hutan. Bagian tubuh cendawan mikoriza yang cocok dengan inang dapat dimanfaatkan dalam bentuk produk inokulum. Cendawan mikoriza merupakan salah satu alternatif teknologi rehabilitasi hutan dan lahan yang dapat diterapkan di Indonesia. Aplikasi cendawan mikoriza dimungkinkan dengan cara memanfaatkan cendawan mikoriza lokal yang cocok dengan inang (pohon) yang akan diintroduksi dalam skala besar. Bibit bermikoriza lebih tahan kering daripada bibit yang tidak bermikoriza. Kekeringan yang menyebabkan rusaknya jaringan korteks, kemudian matinya perakaran, pengaruhnya tidak akan permanen pada akar yang bermikoriza. Akar bermikoriza akan cepat pulih kembali setelah periode kekurangan air berlalu. Hifa cendawan masih mampu menyerap air pada pori-pori tanah pada saat akar bibit sudah tidak mampu lagi. Selain itu penyebaran hifa di dalam tanah sangat luas, sehingga dapat memanen air relatif lebih banyak. Sebagai contoh Pinus merkusii yang banyak ditanam di Indonesia sejak awal merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh yang pertumbuhannya sangat memerlukan mikoriza, maka untuk meningkatkan keberhasilan penanaman P. merkusii di lapangan, dibutuhkan bibit dengan mikoriza pada perakarannya. Begitu juga penanaman jenis-jenis Dipterocarpaceae (terutama jenis-jenis meranti di Jawa Barat) memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap cendawan ektomikoriza, dengan demikian

(6)

aplikasi ektomikoriza lokal perlu dikembangkan dalam skala besar. Dengan demikian untuk meningkatkan keberhasilan program RHL, maka bibit tanaman hutan harus dibekali mikoriza pada sistem perakarannya agar tanaman hutan memiliki daya hidup yang lebih di lapangan. Beberapa tahapan penting dalam proses pemanfaatan mikoriza berupa teknik sterilisasi dan teknik inokulasi pada tahap persemaian.

1. Teknik Sterilisasi Media dan Benih a. Sterilisasi Media

Tahap kegiatan ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan tingkat kolonisasi mikoriza (>80 %) yang akan diinokulasi di persemaian. Keputusan untuk melakukan salah satu teknik sterilisasi harus mempertimbangkan jenis media yang digunakan dan tingkat persaingan cendawan mikoriza yang akan digunakan terhadap jenis mikroba pada sistem perakaran, karena pada umumnya cendawan mikoriza sangat lambat pertumbuhannya pada media buatan dibandingkan dengan cendawan penyebab penyakit. Dengan demikian sterilisasi media masih diperlukan untuk mengurangi tingkat persaingan cendawan/bakteri yang menghambat proses kolonisasi ektomikoriza, seperti cendawan Pythium sp. dan Rhizoctonia sp. penyebab penyakit lodoh (damping off) di persemaian.

1) Sinar Matahari

Untuk daerah tropis seperti di Indonesia dapat memanfaatkan keberadaan sinar matahari sebagai cara untuk mematikan cendawan penyebab penyakit. Dengan cara menyediakan tempat penjemuran beratapkan seng plastik dan dibuat kondisi agak menyungkup, akan timbul pengaruh rumah kaca yang suhunya dapat meningkat sampai 50-60oC selama lima jam. Dalam beberapa hari media yang dijemur dapat dimasukkan ke dalam kontainer.

2) Autoclave

Penggunaan autoclave lebih banyak digunakan untuk serangkaian percobaan dalam skala uji coba kecocokan jenis mikoriza. Media dipanaskan sampai suhu 121o C pada tekanan 1 atmosfer selama 60 menit. Untuk skala lapangan cara ini tidak praktis.

3) Teknik Fumigasi

Teknik fumigasi merupakan salah satu cara untuk mengurangi dan mematikan jumlah populasi mikroba tanah yang tidak disukai dan dapat mempengaruhi perkembangan awal cendawan mikoriza di sekitar perakaran inang. Salah satu kelemahan dari cendawan ektomikoriza ini adalah pertumbuhan hifa/miselia sangat lambat pada media buatan maupun di tanah. Sedangkan cendawan penyakit mempunyai kemampuan pertumbuhan yang cepat, dalam 1-3 hari hifa/miselia cendawan penyakit sudah berkembang cepat. Jadi apabila cendawan mikoriza bersaing dengan cendawan patogen (penyakit) maka kemungkinan kegagalan dalam proses inokulasi dan kolonisasi semakin besar, sehingga dapat dikatakan cendawan ektomikorizanya tidak efektif. Di Indonesia bahan fumigasi yang biasa digunakan adalah berbahan aktif dazomet, dengan masa inkubasi 10-14 hari. Setelah itu baru dapat dilakukan inokulasi mikoriza di persemaian.

4) Penggorengan Media

Tujuan dari penggorengan media adalah untuk mematikan mikroba lain yang

(7)

Penggorengan dilakukan di atas api selama 3 jam. Melakukan kegiatan penggorengan dalam skala besar memang kurang praktis, karena perlu disediakan tungku khusus dan bahan bakar. Penggorengan dilakukan terutama untuk menghilangkan cendawan penyebab lodoh pada media tabur benih.

b. Sterilisasi Permukaan Benih

Untuk mengurangi persaingan dengan cendawan lain seperti cendawan penyebab penyakit maka perlu dilakukan sterilisasi permukaan benih sebelum ditaburkan di me-dia tabur steril (Gambar 5). Tujuan yang ingin dicapai dari sterilisasi permukaan ini adalah untuk mendapatkan tingkat kolonisa-si cendawan ektomikoriza yang diinokulakolonisa-si di persemaian.

Bahan sterilant yang biasa digunakan untuk sterilisasi permukaan benih adalah :

o Sodium hypochlorit (NaOCl) 5%, digunakan untuk sterlisasi permukaan sela ma 10 menit. Kemudian benih dibilas dengan air sampai bersih.

o Hydrogen peroxide (H202) 30% juga dapat untuk sterilisasi permukaan selama

5 menit dan selanjutnya dibilas dengan air sampai bersih. 2. Teknik Inokulasi

a. Ektomikoiza

Inokulasi cendawan ektomikoriza diprioritaskan pada jenis-jenis meranti, pinus, eucalyptus, Gnetum gnemon, dan beberapa jenis dari kelompok Fagaceae. Teknik inokulasi ektomikoriza pada dasarnya dapat terjadi secara alam maupun secara buatan. Teknik inokulasi ektomikoriza secara alam terjadi melalui proses sebagai berikut :

1) Penularan Secara Alam

o Menggunakan inokulum tanah yang ber-mikoriza sebagai media tanam bibit dengan cara memanfaatkan media tanah yang berasal dari bawah tegakan inang yang bermikoriza sedalam 0-20 cm dari permukaan tanah sebagai media tanam, diharapkan secara alamiah mikoriza yang terdapat pada media tanah akan meng-kolonisasi perakaran bibit yang ditanam pada media tersebut. Untuk lebih men-jamin kehidupan bibit, media tanah

(topsoil) yang bermikoriza masih perlu ditambah dengan pupuk dasar NPK dosis 0,5 g/kg tanah bisa dalam bentuk larutan (1 %) setiap satu minggu. o Penanaman pohon induk bermikoriza (mother trees). Di bedeng persemaian

ukuran 1 x 5 m, sebelum bibit ditanam terlebih dahulu ditanam pohon induk yang telah terkolonisasi ektomikoriza. Kemudian baru dilakukan pena-naman bibit di bedeng semai di antara pohon induk bermikoriza. Dengan cara menanam bibit berdekatan dengan pohon induk yang bermikoriza diharapkan

Gambar 5. Teknik sterilisasi permukaan benih tanaman hutan

Gambar 6. Kolonisasi cendawan ektomikoriza pada Pinus merkusii

(8)

terjadi penularan secara alamiah yang akhirnya diperoleh bibit tanaman bermikoriza dalam kurun waktu 10-12 bulan.

Di Perum Perhutani cara ini dipakai di persemaian Pinus merkusii. Caranya adalah dengan menyusui bibit Pinus yang masih kecil di bedeng-bedeng persemaian dengan bibit Pinus merkusii yang telah bermikoriza berukuran 30-40 cm (Gambar 6).

2) Penularan Secara Buatan (Menggunaan Spora dan Miselia) o Penggunaan suspensi spora

Biasanya memanfaatkan ketersediaan cendawan yang memiliki kapasitas produksi spora yang besar seperti Pisolithus, Scleroderma dan Rhizopogon. Dengan cara suspensi yaitu jumlah 5 g spora dicampur per 10 liter air dan diaduk sampai merata maka suspensi spora dapat digunakan untuk menginokulasi bibit sebanyak 5.000 bibit. Untuk menghindari spora terbawa air dan menempel di akar maka perlu ditambah dengan bahan perekat berupa larutan tween 20 yang mirip seperti bahan deterjen 2-3 tetes.

o Penggunaan spora ektomikoriza pada sistem irigasi

Kegiatan ini telah dilakukan pada perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Eucalyptus spp. di Chili (Amerika Selatan) dengan persyaratan sebagai berikut: (i) Stok spora ektomikoriza (seperti dari jenis Pisolithus sp., Scleroderma sp. dan Rhizopogon sp.) tersedia berlimpah di alam dan mencukupi untuk kegiatan inokulasi; (ii) inokulasi dilakukan dengan menaburkan spora ektomikoriza pada bak penampungan air sentral setelah benih disapih pada kontainer polytube. Kemudian kegiatan ini dilakukan sekali lagi pada minggu ke-4 untuk menghasilkan tingkat kolonisasi ektomikoriza yang lebih baik. 3) Tablet spora

Tahapan kerja dari teknik inokulasi dengan menggunakan tablet spora, sebagai berikut :

o Tablet dapat diinokulasi pada saat penyapihan (over spin) bibit Pinus yang masih berkotiledon bentuk seperti pentol korek. Satu tablet diberikan untuk satu bibit. Letak tablet sebaiknya dekat dengan sistem perakaran.

o Tablet spora dapat diinokulasi dengan menggunakan molen dalam skala operasional. Media tanam diusahakan dalam keadaan kering (tidak terlalu lembab). Molen diputar bersamaan dengan masuknya media tanam, tablet spora, dan pupuk dasar dengan dosis tertentu. Setelah dilakukan pemutaran selama 20-30 menit, media tanam yang telah berisi tablet spora dan pupuk dasar dimasukan ke dalam kontainer bibit.

4) Kapsul Spora

Selanjutnya pada kapsul spora, teknik penggunaannya sebagai berikut : o Penggunaan kapsul spora sama dengan penggunaan tablet spora.

o Biaya produksi kapsul spora lebih banyak digunakan pada penyediaan gelatin (selongsong kapsul).

o Tingkat efektivitas kapsul spora sama dengan tablet spora. 5) Penularan dengan menggunakan Miselia

o Bahan dan alat yang digunakan adalah miselia ektomikoriza, Sodium Alginate, Calcium Chlorida, aquadest, blender; pipet.

o Tahapan kerja sebagai berikut:

- Miselia ektomikoriza yang telah diperbanyak disaring dan dihancurkan de-ngan menggunakan blender. Potode-ngan-potode-ngan miselia dicampur dede-ngan

(9)

aquadest. Inokulasi dilakukan dengan menggunakan pipet ke masing-masing polybag yang telah berisi satu benih berkecambah yang baru disapih. - Biakan murni miselia cair dapat dilakukan dengan cara suspensi atau

dengan cara miselia dikapsulkan terlebih dahulu ke dalam bahan gel (calcium alginate). Pada kondisi ini butiran gel yang berisi miselia telah siap diinoku-lasikan. Butiran gel akan hancur setelah disiram air dan kondisi yang lembab. Setelah itu potongan miselia akan keluar dan berkembang dengan tujuan akhir mengontak akar sehingga terjadi proses awal kolonisasi pembentukan ektomikoriza.

- Kemasan dalam calcium algi-nate sangat cocok untuk da-erah subtropis dengan sistem bareroots. Sedangkan untuk daerah tropis dapat dilaksana-kan dengan cara sistem pen-campuran media dengan alat molen (Gambar 7).

b. Endomikoriza

Jenis-jenis tanaman yang berasosiasi dengan endomikoriza atau dikenal de-ngan sebutan CMA (Cendawan Mikoriza Arbuskular) antara lain yaitu jati, sungkai, mahoni, Eucalyptus spp., Acacia spp., Gmelina arborea, Duabanga, Khaya spp., Agathis, sonokeling, saga, puspa, waru, rasamala, saninten, mahoni dan lain-lain. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam telah mempunyai sumber inokulan CMA yang dapat diaplikasikan pada semua jenis tanaman tersebut di atas. Namun demikian untuk produksi skala massal perlu dibuat semacam unit produksi mikoriza untuk mendukung program RHL. Adapun teknik aplikasinya, sebagai berikut :

1) Pembibitan Vegetatif

CMA diberikan pada saat pemindahan bibit dari tahap perakaran ke tahap aklimatisasi (ke polybag atau polytube). CMA sebanyak 2-5 gr dimasukkan ke dalam lubang penanaman bibit. Untuk produksi bibit dalam skala besar aplikasi pemberian CMA ini dapat dicampur secara merata ke media bibit, sehingga akan efisien waktu, biaya dan tenaga. Contoh bentuk spora CMA disajikan pada Gambar 8.

2) Pembibitan generatif

Pemberian CMA dapat diberikan dalam tiga cara tergantung kepada besar kecilnya benih dan kuantitas produksi bibit :

o Sistem lapisan

Cara ini sangat cocok untuk biji-biji ukuran kecil seperti Eucalyptus spp. dan Acacia spp. Pada bak perkecambahan, pada lapisan paling bawah diisi dengan media perkecambahan setebal 10 cm, kemudian dilapisi dengan inokulan CMA setebal 0,5-1,0 cm dan dilapisi lagi dengan media perke-cambahan setebal 0,5 cm. Biji-biji yang akan dikecambahkan ditabur pada

Gambar 7. Teknik inokulasi ektomikoriza dengan cara manual dan menggunakan molen

Gambar 8. Spora Gigaspora decipiens asal hutan rawa gambut, Kalimantan Tengah

(10)

lapisan atas secara merata, kemudian ditutup dengan media perkecambahan setebal 0,5 cm.

o Sistem campur (molen)

Cara ini sangat cocok untuk produksi bibit dalam skala besar seperti hutan tanaman Acacia mangium atau Acacia crassicarpa yang ada di Sumatera dan Kalimantan.

IV. PENUTUP

Sebelum ada kata terlambat dan kita bakal didahului oleh negara lain yang akan mengekspor mikoriza ‘eksotik’ ke Indonesia, dan belum tentu kompatibel dengan jenis komoditi tanaman hutan tropis Indonesia, sebaiknya kita harus mengambil langkah-langkah nyata untuk segera mengaplikasikan mikoriza ‘asli’ dari hutan tropis Indonesia, yang jelas mampu beradaptasi dengan kondisi lokal. Mikoriza super strain dapat melawan dan meminimasi laju kerusakan hutan yang meningkat setiap tahunnya, dengan cara membantu pertumbuhan tanaman yang telah bermikoriza pada lahan-lahan hutan yang terdegradasi di bekas areal pertambangan, padang alang-alang, dan lahan rawa-gambut dengan pola partisipatif dari masyarakat sekitar hutan. Diharapkan dengan input teknologi ini, lahan hutan terdegradasi akan menciut dan ekosistem hutan tropis menjadi pulih kembali, sehingga keterpurukan ekonomi Indonesia dan bencana-bencana alam yang datang silih berganti dapat berhenti sampai di sini saja. Selanjutnya perekonomian kita bangkit kembali khususnya ekspor legal komoditi kehutanan Indonesia kembali berjaya di perdagangan internasional. Kita harus berani mempromosikan dan menjual produk hasil hutan kayu maupun bukan kayu yang berasal dari input teknologi mikoriza yang ramah lingkungan dan berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.

DAFTAR PUSTAKA

Janse, J.M. 1897. Les Endophytes Radicaux de Quelques Plantes Javanaises. Annal. Jardin Bot. Buitenzorg 14 : 53-201.

Tawaraya, K., Y. Takaya, M. Turjaman, S.J. Tuah, S.H. Limin, Y. Tamai, J.Y. Cha, T. Wagatsuma, M. Osaki. 2003. Arbuscular Mycorrhizal Colonization of Tree Species Grown in Peat Swamp Forests of Central Kalimantan, Indonesia. Forest Ecology and Management 182 : 381-386. Elsevier.

Turjaman, M., Y. Tamai, E.Santoso, M. Osaki, K. Tawaraya. 2006. Arbuscular Mycorrhizal Fungi Increased Early Growth of Two Non-Timber Forest Product Species Dyera polyphylla and Aquilaria filaria Under Greenhouse Conditions. Mycorrhiza 16: 459-464. Springer-Verlag.

Turjaman, M., Y. Tamai, H. Segah, S.H. Limin, J.Y. Cha, M. Osaki, K. Tawaraya. 2005. Inoculation with The Ectomycorrhizal Fungi Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. Improve The Early Growth of Shorea pinanga Nursery Seedlings. New Forests 30 : 67-73. Springer-Verlag.

Gambar

Gambar  5. Teknik sterilisasi permukaan benih                     tanaman hutan
Gambar 7. Teknik inokulasi ektomikoriza dengan  cara manual dan menggunakan molen

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sudiyono (2001), lemahnya posisi petani dalam pemasaran pertanian disebabkan oleh: (1) bagian pangsa pasar (market share) yang dimiliki petani umumnya sangat

Sedangkan di Jerman, terdapat kekuasaan kehakiman tertinggi yakni Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) beserta dengan kekuasaan kehakiman yang ada

Pendirian rumah ibadah merupakan sesuatu yang sangat hakiki bagi setiap pemeluk agama manapun, karena rumah ibadah selain berfungsi sebagai simbol kesatuan dan

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana hasil pemahaman membaca mahasiswa, bagaimana kemampuan menulis paragraf mahasiswa, apakah ada hubungan yang

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul:

Base WO <F6> otvara prozor u kojem je moguće podešavanje osnovne nul točke.. Radno područje

a.. Disaudia adalah satu jenis gangguan bicara yang disebabkan gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran tersebut menyebabkan kesulitan dalam menerima

Sasaran kinerja utama Badan Litbangkes adalah Meningkatnya kualitas penelitian, pengembangan dan pemanfaatan di bidang kesehatan dengan indikator kinerja utama