• Tidak ada hasil yang ditemukan

teknik relaksasi.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "teknik relaksasi.pdf"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Teknik Relaksasi

I. Teknik Relaksasi Nafas Dalam 1. Definisi

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer dan Bare, 2002).

2. Tujuan dan Manfaat Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Menurut National Safety Council (2004), bahwa teknik relaksasi nafas dalam saat ini masih menjadi metode relaksasi yang termudah. Metode ini mudah dilakukan karena pernafasan itu sendiri merupakan tindakan yang dapat dilakukan secara normal tanpa perlu berfikir atau merasa ragu.

Sementara Smeltzer dan Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan dari teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efisiensi batuk mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan

(2)

menurunkan kecemasan. Sedangkan manfaat yang dapat dirasakan oleh klien setelah melakukan teknik relaksasi nafas dalam adalah dapat menghilangkan nyeri, ketenteraman hati, dan berkurangnya rasa cemas.

3. Patofisiologi Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Penurunan Nyeri

(Gambar 2.1) Sumber: Prasetyo, 2010

4. Prosedur Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Bentuk pernafasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernafasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diafragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen

Pembedahan

Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Rasa Nyeri Post Operasi ↓ Hormone Adrenalin Memberikan Rasa Tenang Meningkatkan Konsentrasi Mempermudah Mengatur Pernafasan ↑ Oksigen Dalam Darah Mengurangi Detak Jantung ↓ Tekanan Darah Nyeri 

(3)

bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi (Priharjo, 2003).

Lebih lanjut Priharjo (2003) menyatakan bahwa adapun langkah-langkah teknik relaksasi nafas dalam adalah sebagai berikut : a. Usahakan rileks dan tenang.

b. Menarik nafas yang dalam melalui hidung dengan hitungan 1,2,3, kemudian tahan sekitar 5-10 detik.

c. Hembuskan nafas melalui mulut secara perlahan-lahan.

d. Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskannya lagi melalui mulut secara perlahan-lahan.

e. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang.

f. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali. 5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Teknik Relaksasi Nafas

Dalam terhadap Penurunan Nyeri.

Teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu (Smeltzer dan Bare, 2002) : a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme

yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemik.

b. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin.

(4)

Pernyataan lain menyatakan bahwa penurunan nyeri oleh teknik relaksasi nafas dalam disebabkan ketika seseorang melakukan relaksasi nafas dalam untuk mengendalikan nyeri yang dirasakan, maka tubuh akan meningkatkan komponen saraf parasimpatik secara stimulan, maka ini menyebabkan terjadinya penurunan kadar hormon kortisol dan adrenalin dalam tubuh yang mempengaruhi tingkat stress seseorang sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan membuat klien merasa tenang untuk mengatur ritme pernafasan menjadi teratur. Hal ini akan mendorong terjadinya peningkatan kadar PaCO2 dan

akan menurunkan kadar pH sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen (O2) dalam darah (Handerson, 2005).

II. Teknik Distraksi 1. Definisi

Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri, bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Prasetyo, 2010).

2. Tujuan dan Manfaat Teknik Distraksi

Tujuan penggunaan teknik distraksi dalam intervensi keperawatan adalah untuk pengalihan atau menjauhkan perhatian klien terhadap sesuatu yang sedang dihadapi, misalnya rasa nyeri. Sedangkan manfaat dari penggunaan teknik ini, yaitu agar seseorang yang menerima teknik ini merasa lebih nyaman, santai, dan merasa berada pada situasi yang lebih menyenangkan (Widyastuti, 2010).

(5)

3. Prosedur Teknik Distraksi

Prosedur teknik distraksi berdasarkan jenisnya, antara lain : a. Distraksi visual

Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat pemandangan, dan gambar (Prasetyo, 2010).

b. Distraksi pendengaran

Mendengarkan musik yang disukai, suara burung, atau gemercik air. Klien dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan musik yang tenang, seperti musik klasik. Klien diminta untuk berkosentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu, seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki (Tamsuri, 2007).

c. Distraksi pernafasan

Cara pertama, yaitu bernafas ritmik. Anjurkan klien untuk memandang fokus pada satu objek atau memejamkan mata, lalu lakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan hitungan satu sampai empat (dalam hati), kemudian menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitung satu sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang memberi ketenangan, lanjutkan teknik ini hingga terbentuk pola pernafasan ritmik. Cara kedua, yaitu bernafas ritmik dan massase, instruksikan klien untuk melakukan pernafasan ritmik dan pada saat yang bersamaan

(6)

lakukan massase pada bagaian tubuh yang mengalami nyeri dengan melakukan pijatan atau gerakan memutar di area nyeri (Widyastuti, 2010).

d. Distraksi intelektual

Distraksi intelektual dapat dilakukan dengan mengisi teka-teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (ditempat tidur), seperti mengumpulkan perangko atau menulis cerita. Pada anak-anak dapat pula digunakan teknik menghitung benda atau barang yang ada di sekeliling.

e. Teknik sentuhan

Distraksi dengan memberikan sentuhan pada lengan, mengusap, atau menepuk-nepuk tubuh klien. Teknik sentuhan dapat dilakukan sebagai tindakan pengalihan atau distraksi. Tindakan ini dapat mengaktifkan saraf lainnya untuk menerima respons atau teknik gateway control. Teknik ini memungkinkan impuls yang berasal dari saraf yang menerima input sakit atau nyeri tidak sampai ke medula spinalis sehingga otak tidak menangkap respons sakit atau nyeri tersebut. Impuls yang berasal dari input saraf nyeri tersebut diblok oleh input dari saraf yang menerima rangsang sentuhan karena saraf yang menerima sentuhan lebih besar dari saraf nyeri. (Widyastuti, 2010).

(7)

III. Imajinasi Terbimbing 1. Definisi

Imajinasi terbimbing adalah sebuah teknik relaksasi yang bertujuan untuk mengurangi stress dan meningkatkan perasaan tenang dan damai. Imajinasi terbimbing atau imajinasi mental merupakan suatu teknik untuk mengkaji kekuatan pikiran saat sadar maupun tidak sadar untuk menciptakan bayangan gambar yang membawa ketenangan dan keheningan (National Safety Council, 2004).

2. Manfaat Imajinasi Terbimbing

Imajinasi terbimbing merupakan salah satu jenis dari teknik relaksasi sehingga manfaat dari teknik ini pada umumnya sama dengan manfaat dari teknik relaksasi yang lain. Teknik ini dapat mengurangi nyeri, mempercepat penyembuhan dan membantu tubuh mengurangi berbagai macam penyakit seperti depresi, alergi dan asma (Holistic-online, 2006).

Dalam imajinasi terbimbing klien menciptakan kesan dalam pikiran, berkonsentrasi pada kesan tersebut, sehingga secara bertahap mampu mengurangi ketegangan dan nyeri (Potter dan Perry, 2006).

3. Dasar Imajinasi Terbimbing

Imajinasi merupakan bahasa yang digunakan oleh otak untuk berkomunikasi dengan tubuh. Segala sesuatu yang kita lakukan akan diproses oleh tubuh melalui bayangan. Imajinasi terbentuk melalui rangasangan yang diterima oleh berbagai indera seperti gambar,

(8)

aroma, rasa, suara dan sentuhan (Holistic-online, 2006). Respon tersebut timbul karena otak tidak mengetahui perbedaan antara bayangan dan aktifitas nyata (Tusek, 2000 yang dikutip dalam anonim, 2008).

4. Proses Asosiasi Imajinasi

Imajinasi terbimbing merupakan suatu teknik yang menuntut seseorang untuk membentuk sebuah bayangan/imajinasi tentang hal-hal yang disukai. Imajinasi yang terbentuk tersebut akan diterima sebagai rangsang oleh berbagai indra, kemudian rangsangan tersebut akan dijalankan ke batang otak menuju sensor thalamus. Ditalamus rangsang diformat sesuai dengan bahasa otak, sebagian kecil rangsangan itu ditransmisikan ke amigdala dan hipokampus sekitarnya dan sebagian besar lagi dikirim ke korteks serebri, dikorteks serebri terjadi proses asosiasi pengindraan dimana rangsangan dianalisis, dipahami dan disusun menjadi sesuatu yang nyata sehingga otak mengenali objek dan arti kehadiran tersebut. Hipokampus berperan sebagai penentu sinyal sensorik dianggap penting atau tidak sehingga jika hipokampus memutuskan sinyal yang masuk adalah penting maka sinyal tersebut akan disimpan sebagai ingatan. Hal-hal yang disukai dianggap sebagai sinyal penting oleh hipokampus sehingga diproses menjadi memori. Ketika terdapat rangsangan berupa bayangan tentang hal-hal yang disukai tersebut, memori yang telah tersimpan akan muncul kembali dan menimbulkan suatu persepsi dari pengalaman

(9)

sensasi yang sebenarnya, walaupun pengaruh/akibat yang timbul hanyalah suatu memori dari suatu sensasi (Guyton dan Hall, 2008). 5. Macam-Macam Teknik Imajinasi terbimbing

Berdasarkan pada penggunaannya terdapat beberapa macam teknik imajinasi terbimbing (Holistic-Online, 2006) :

a. Guided Walking Imagery

Pada teknik ini pasien dianjurkan untuk mengimajinasikan pemandangan standar seperti padang rumput, pegunungan, pantai dll. kemudian imajinasi pasien dikaji untuk mengetahui sumber konflik.

b. Autogenic Abeaction

Dalam teknik ini pasien diminta untuk memilih sebuah perilaku negatif yang ada dalam pikirannya kemudian pasien mengungkapkan secara verbal tanpa batasan. Bila berhasil akan tampak perubahan dalam hal emosional dan raut muka pasien. c. Covert sensitization

Teknik ini berdasar pada paradigma reinforcement yang menyimpulkan bahwa proses imajinasi dapat dimodifikasi berdasarkan pada prinsip yang sama dalam modifikasi perilaku. d. Covert Behaviour Rehearsal

Teknik ini mengajak seseorang untuk mengimajinasikan perilaku koping yang dia inginkan.

(10)

IV. Teori Gate Control

Menurut Prasetyo (2010) Teori Gate Control menyatakan bahwa nyeri dan persepsi nyeri dipengaruhi oleh 2 sistem, yaitu:

1) Substansi gelatinosa pada dorsal horn di medula spinalis.

2) Sistem yang berfungsi sebagai inhibitor (penghambat) yang terdapat pada batang otak.

Serabut A delta berdiameter kecil membawa impuls nyeri cepat sedangkan serabut C membawa impuls nyeri lambat. Sebagai tambahan bahwa serabut A-beta yang berdiameter lebar membawa impuls yang dihasilkan oleh stimulus sentuhan. Didalam substansi gelatinosa impuls ini akan bertemu dengan suatu gerbang yang membuka dan menutup berdasarkan prinsip siapa yang lebih mendominasi, serabut taktil A-Beta ataukah serabut nyeri yang berdiameter kecil. Apabila impuls yang dibawa serabut nyeri yang berdiameter kecil melebihi impuls yaang dibawa oleh serabut taktil A-Beta maka gerbang akan terbuka sehingga perjalanan impuls nyeri tidak terhalangi sehingga impuls akan sampai ke otak. Sebaliknya, apabila impuls yang dibawa serabut taktil lebih mendominasi, gerbang akan menutup sehingga impuls nyeri akan terhalangi. Alasan inilah yang mendasari mengapa dengan masase dapat mengurangi durasi dan intensitas nyeri (Prasetyo, 2010).

(11)

B. Konsep Dasar Nyeri 1. Definisi Nyeri

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

2. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri disebut nosiseptor yang merupakan ujung-ujung saraf bebas, tidak bermielin atau sedikit bermielin dari neuron afferen. Nosiseptor tersebar luas pada kulit dan mukosa dan terdapat pula pada struktur yang lebih dalam seperti visera, persendian, dinding arteri, hati dan kandung empedu. Nosiseptor memberi respon yang terpilih terhadap stimulasi yang membahayakan seperti stimulasi kimia, thermal, listrik atau mekanis. Yang tergolong stimulasi kimia terhadap nyeri adalah histamin, bradikinin, prostaglandin, substansi P serta bermacam-macam asam. Sebagian bahan tersebut dilepaskan oleh jaringan yang rusak. Jaringan yang rusak tersebut menyebabkan terjadinya anoksia yang dapat menimbulkan persepsi nyeri. Selain jaringan yang rusak, spasme otot juga dapat menimbulkan nyeri karena menekan pembuluh darah pada daerah

(12)

yang terjadi anoksia tersebut. Pembengkakan jaringan juga dapat menyebabkan nyeri karena tekanan (stimulasi mekanik) kepada nociceptor yang menghubungkan jaringan (Insaffita, 2005).

3. Transmisi Nyeri

a. Reseptor Nyeri ( Nosiseptor)

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri juga disebut nosiseptor, secara anatomis nosiseptor ada yang bermielien dan ada yang tidak bermielien dari saraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatic dalam (deep somatic), dan pada daerah visceral. Karena letaknya yang berbeda-beda inilah nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. (Smeltzer dan Bare, 2002).

b. Mediator Kimia

Sejumlah substansi yang mempengaruhi sensitivitas ujung-ujung saraf atau reseptor nyeri dilepaskan ke jaringan ekstraseluler sebagai akibat dari kerusakan jaringan. Zat-zat kimiawi yang dapat meningkatkan transmisi atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin, substansi P,dan Prostaglandin (Smeltzer dan Bare, 2002).

(13)

Dengan adanya respon nyeri tersebut maka tubuh secara fisiologi akan memproduksi endogen untuk menghambat impuls nyeri tersebut. Endogen terdiri dari endorfin dan enkefalin, substansi ini seperti morfin yang berfungsi menghambat transmisi influs nyeri. Apabila tubuh mengeluarkan substansi-substansi ini, salah satu efeknya adalah pereda nyeri (Smeltzer dan Bare, 2002).

Lebih lanjut Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa endorfin dan enkefalin ditemukan dalam konsentrasi yang kuat dalam sistem saraf pusat. Endorfin dan enkefalin adalah zat kimiawi endogen (diprodukasi oleh tubuh) yang berstruktur seperti opioid. Morfin dan obat-obatan opioid lainya menghambat transmisi yang menyakitkan dengan meniru endorfin dan enkefalin.

Serabut interneural inhibitor yang mengandung enkefalin terutama diaktifkan melalui aktivitas serabut perifer non-nosiseptor (serabut yang normalnya tidak mentransmisikan stimuli nyeri atau yang menyakitkan) pada tempat reseptor yang sama dengan reseptor nyeri atau nosiseptor dan serabut desenden, berkumpul bersama dalam suatu sistem yang disebut descending control. Endorfin dan enkefalin juga dapat menghambat imfuls nyeri dengan memblok transmisi impuls ini di dalam otak dan medula spinalis (Smeltzer & Bare, 2002).

Keberadaan endorfin dan enkefalin ini membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari stimuli nyeri yang sama. Individu dengan endorfin lebih banyak

(14)

lebih sedikit merasakan sakit dibandingkan dengan individu yang kadar endorfinnya sedikit yang akan merasakan nyeri yang lebih besar (Smeltzer dan Bare, 2002).

4. Proses Terjadinya Nyeri

Stimulus nyeri: biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik

Stimulus nyeri menstimulasi nosiseptor di perifer

Impuls nyeri diteruskan oleh saraf afferen (A-delta dan C) ke medulla spinalis melalui dorsal horn

Impuls bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina II dan III)

Impuls melewati traktus spinothalamus

Impuls masuk ke formatio Impuls langsung masuk

retikularis ke thalamus

Sistem limbik Fast pain

Slow pain

- Timbul respon emosi

- Respon otonom: TD meningkat, keringant dingin (Gambar 2.2)

(15)

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik. Faktor-faktor yang dimaksud adalah :

a. Usia

Menurut Potter dan Perry (2006) usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada anak, remaja dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak, remaja dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Sedangkan menurut Tamsuri (2007) menyatakan bahwa anak-anak lebih kesulitan untuk memahami nyeri sedangkan orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi.

b. Jenis Kelamin

Hidayat (2006) menyatakan bahwa arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir sebagian mengartikan nyeri merupakan hal yang negatif, seperti membahayakan, merusak dan lain-lain. Keadaan ini lebih sering dipengaruhi oleh jenis kelamin. Menurut Burn, dkk (1989) yang dikutip dalam Potter dan Perry (2006) bahwa kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria. Ini menunjukkan bahwa individu berjenis kelamin perempuan lebih mengartikan negatif terhadap nyeri.

(16)

c. Kebudayaan

Ernawati (2010) menyatakan bahwa orang akan belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri. (Ex: suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika merasakan nyeri).

d. Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri

Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti pada nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten (Smeltzer dan Bare, 2002).

e. Perhatian

Tingkat perhatian seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat akan meningkatkan respon nyeri , sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri (Prasetyo, 2010).

f. Ansietas (Kecemasan)

Hubungan antara nyeri dan cemas bersifat kompleks, cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas (Prasetyo, 2010). Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Gill (1990) yang dikutip dalam Ernawati (2010), yang melaporkan adanya suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakini mengendalikan emosi

(17)

seseorang. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.

6. Respon Nyeri

Beberapa respon yang di manifestasikan oleh tubuh dengan adanya stimulasi nyeri adalah sebagai berikut :

a. Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahamanan klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain : Bahaya atau merusak, komplikasi seperti infeksi, penyakit yang berulang, penyakit baru, penyakit yang fatal, peningkatan ketidakmampuan dan kehilangan mobilitas (Smeltzer dan Bare, 2002).

b. Respon Fisiologis

Prasetyo (2010) menyatakan bahwa pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon sterss. Stimulasi tersebut menghasilkan respon fisiologis tubuh sebagai berikut:

(18)

Tabel 2.1 Respon Fisiologis Tubuh terhadap Nyeri Respon Fisiologis Tubuh terhadap Nyeri

Respon Simpatis

a. Dilatasi saluran bronchial dan peningkatan respirasi rate. b. Peningkatan heart rate.

c. Vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan tekanan darah). d. Peningkatan glukosa darah. e. Diaphoresis.

f. Peningkatan kekuatan otot. g. Dilataasi pupil.

h. Penurunan motilitas gaster intestinal.

Respon Parasimpatis

a. Muka pucat. b. Otot mengeras.

c. Penurunan denyut jantung dan tekanan darah.

d. Nafas cepat daan irregular. e. Nausea dan vomitus. f. Kelelahan dan keletihan Sumber : Prasetyo 2010

c. Respon Tingkah Laku

Menurut Potter dan Perry (2006) : secara umum respon pasien terhadap nyeri terbagi atas respon perilaku dan respon yang dimanifestasikan oleh otot dan kelenjar otonom. Respon perilaku diantaranya:

1) Secara Vokal : merintih, menangis, menjerit, bicara terengah-engah dan menggerutu.

(19)

2) Ekspresi Wajah : meringis, merapatkan gigi, mengerutkan dahi, menutup rapat atau membuka lebar mata atau mulut, menggigit bibir dan rahang tertutup rapat.

3) Gerakan Tubuh : kegelisahan, immobilisasi, ketegangan otot, peningkatan pergerakan tangan dan jari, melindungi bagian tubuh. 4) Interaksi Sosial : menghindari percakapan, hanya berfokus pada

untuk aktivitas penurunan nyeri, menghindari kontak sosial, berkurangnya perhatian.

Respon yang dimanifestasikan oleh otot polos dan kelenjar otonom, diantaranya nausea, muntah, stasis lambung, penurunan motilitas usus, dan peningkatan sekresi usus.

7. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat dikelompokkan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cedera spesifik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan (Smeltzer dan Bare 2002).

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (Smeltzer dan Bare 2002).

(20)

Tabel 2.2 Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis

Tujuan Memperingatkan adanya cedera atau masalah

Tidak ada

Awitan Mendadak Terus-menerus atau

intermiten Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat

Durasi Durasi singkat(dari beberapa detik sampai

enam bulan)

Durasi lama(enam bulan atau lebih) Respon otonom a. Konsitensi dengan

respon simpatis. b. Frekuensi jantung meningkat. c. Volume sekuncup meningkat. d. Tekanan darah meningkat. e. Dilatasi pupil meningkat. f. Tegangan otot meningkat. g. Motilitas gastrointestinal menurun. h. Aliran saliva menurun(mulut kering)

Tidak terdapat respon otonom

Komponen psikologis Ansietas a. Depresi. b. Mudah marah. c. Menarik diri dari

minat dunia luar. d. Menarik diri dari

persahabatan.

Respons jenis lainnya a. Tidur terganggu.

b. Lobido menurun. c. Nafsu makan

menurun

Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker, artritis. Sumber : Keperawatan Medikal Bedah Vol I 2002

(21)

Hidayat (2006) menyatakan bahwa selain klasifikasi nyeri diatas, terdapat pula jenis nyeri lain yang spesifik, diantaranya nyeri somatis dalam (deep somatic pain), nyeri viseral, nyeri kutaneus/supeficial (cutaneus pain), nyeri psikogenik, reffered pain, nyeri phantom dari ekstremitas dan nyeri neurologis.

8. Nyeri Post - Operasi

Toxonomi Comitte of The International Assocation mendefinisikan nyeri post operasi sebagai sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosi yang berhubungan dengan kerusakan jaringan potensial atau nyata menggambarkan terminologi suatu kerusakan.

Nyeri setelah pembedahan normalnya dapat diprediksi hanya terjadi dalam durasi yang terbatas, lebih singkat dari waktu yang diperlukan untuk perbaikan alamiah jaringan-jaringan yang rusak (Morison, 2004 yang dikutip dalam Nurhayati, 2011).

Etiologi dari diagnosa keperawatan yang muncul adalah cedera fisik dari pembedahan yang dilakukan karena ketika bagian tubuh terluka oleh tekanan, potongan, sayatan, dingin atau kekurangan oksigen pada sel, maka bagian tubuh yang terluka akan mengeluarkan berbagai macam substansi intraseluler yang dilepaskan keluar ekstraseluler yang akan mengiritasi nosiseptor. Saraf ini akan merangsang dan bergerak sepanjang serabut saraf atau neurotransmisi yang akan menghasilkan substansi seperti neurotransmitter seperti prostaglandin, epineprin yang membawa

(22)

pesan nyeri dari medulla spinalis yang ditransmisikan ke otak dan akan dipersepsikan sebagai nyeri (Nanda, 2009).

Selama periode pasca operatif, proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan kembali equilibrium fisiologi pasien, menghilangkan rasa nyeri dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien kembali pada fungsi yang optimal dengan cepat, aman, dan senyaman mungkin (Smeltzer and Bare, 2002 yang dikutip dalam Nurhayati 2011).

Nyeri akut setelah pembedahan setidak-tidaknya mempunyai fungsi fisiologis positif, berperan sebagai peringatan bahwa perawatan khusus harus dilakukan untuk mencegah trauma lebih lanjut pada daerah tersebut. Tetapi hal ini merupakan salah satu keluhan yang paling ditakuti oleh klien setelah pembedahan. Sensasi nyeri mulai terasa sebelum kesadaran klien kembali penuh, dan semakin meningkat seiring dengan berkurangnya pengaruh anestesi. Adapun bentuk nyeri yang dialami oleh klien pasca pembedahan adalah nyeri akut yang terjadi karena adanya luka insisi bekas pembedahan (Perry dan Potter, 2006).

Nyeri akut yang dirasakan oleh klien pasca operasi tersebut merupakan penyebab stress, frustasi, dan gelisah yang menyebabkan klien mengalami gangguan tidur, cemas, tidak nafsu makan, dan ekspresi tegang (Perry dan Potter, 2006). Selain itu nyeri juga dapat meningkatkan metabolisme dan curah jantung, kerusakan respon insulin, peningkatan produksi kortisol dan retensi cairan (Smeltzer dan Bare, 2002).

(23)

Nyeri post operasi akan meningkatkan stress post operasi dan memiliki pengaruh negatif pada penyembuhan nyeri. Kontrol nyeri sangat penting setelah operasi, nyeri yang dibebaskan dapat mengurangi kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dapat mentoleransi mobilisasi yang cepat. Pengkajian nyeri dan kesesuaian analgesik harus digunakan untuk memastikan bahwa nyeri pasien post operasi dapat dibebaskan (Torrance dan Serginson (1997) yang dikutip dalam Smelzer dan Bare 2002).

9. Pengkajian Keperawatan tentang Nyeri

Pengkajian keperawatan tentang nyeri menurut Smeltzer dan Bare, 2002 : a. Deskripsi Verbal tentang Nyeri

Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan karenanya harus diminta untuk menggambarkan dan membuat tingkatannya. Informasi yang diperlukan harus menggambarkan nyeri individual dalam beberapa cara :

1) Intensitas Nyeri

Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal (misalnya tidak nyeri, sedikit nyeri, hebat atau sangat hebat, dengan skala perbandingan 0 -10, dimana 0 = tidak nyeri, 10 = nyeri sangat hebat).

2) Karakteristik Nyeri

Termasuk letak , durasi (menit, jam, hari, bulan, tahun), irama (terus-menerus, hilang timbul, periode bertambah dan berkurangnya

(24)

intensitas atau keberadaan nyeri), dan kualitas (misalnya : nyeri seperti ditusuk, seperti terbakar).

3) Faktor-Faktor yang Meredakan Nyeri (Memperingan)

Misalnya dengan gerakan, kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obatan bebas) dan apa yang dipercaya oleh pasien dan keluarga dapat mengatasi nyerinya.

4) Efek Nyeri Terhadap Aktivitas Kehidupan Sehari-hari

Misalnya apakah sudah mengganggu istirahat tidur, nafsu makan, konsentasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja, aktivitas-aktivitas santai. Nyeri akut sering berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis dengan depresi.

5) Kekhawatiran Individu Terhadap Nyeri

Dapat meliputi bebagai masalah yang luas, seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri.

b. Skala Analog Visual (VAS)

Skala Analog Visual (VAS) sangat berguna dalam mengkaji intensitas nyeri. Skala nyeri tersebut berbentuk garis horisontal sepanjang 10 cm. Ujung kiri biasanya menandakan tidak nyeri sedangkan ujung kanan biasanya menandakan nyeri berat. Cara kerjanya dengan meminta pasien untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi disepanjang rentang tersebut (Smeltzer dan Bare, 2002).

(25)

Beberapa skala yang dapat digunakan untuk mengukur intensitas nyeri, menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah sebagai berikut:

1) Skala Intensitas Nyeri Deskriptif

(Gambar 2.3) 2) Skala Identitas Nyeri Numerik (NRS)

(Gambar 2.4) 3) Visual Analog Scale (VAS)

Tidak Nyeri Nyeri Berat (Gambar 2.5) 4) Skala Wajah 0 Tidak sakit 2 Sedikit Sakit 4 Agak mengganggu 6 Menganggu Aktivitas 8 Sangat Mengganggu 10 Tidak tertahankan (Gambar 2.6) Sumber: Prasetyo, 2010

(26)

10. Manajemen Nyeri

Menurut Prasetyo (2010) menyatakan bahwa manajemen dalam penanganan nyeri terbagi atas tindakan farmakologis dan non farmakologis serta pembedahan.

a. Tindakan Farmakologi 1) Analgesik Narkotik

Opiate merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri pada klien, untuk nyeri sedang hingga nyeri berat. 2) Analgesik lokal

Analgesik lokal bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat diberikan langsung ke serabut saraf.

3) Analgesik yang dikontrol klien

Sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari infus yang di isi narkotik menurut resep, dipasang dengan pengatur pada lubang injeksi intravena. Penggunaan narkotik yang dikendalikan klien dipakai pada klien dengan nyeri pasca bedah, nyeri kanker, krisis sel. 4) Obat-Obat Nonsteroid (NSAIDs)

Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini menghambat agregasi platelet, kontraindikasi meliputi klien dengan gangguan koagulasi atau klien dengan terapi antikoagulan. Contohnya : Ibuprofen, Naproksen, Indometasin, Tolmetin, Piroxicam, serta Ketorolac (Toradol). Selain itu terdapat pula golongan NSAIDs yang lain

(27)

seperti Asam Mefenamat, Meclofenomate serta Phenylbutazone, dll (Goodman dan Gilman, 2008).

Beberapa contoh mekanisme kerja NSAIDs adalah sebagai berikut: a) Ketorolac

Farmakodinamik :

Ketorolac tromethamine merupakan suatu obat analgesik non narkotik. Obat ini bukan sebagai anti-inflamasi (meskipun ketorolac mempunyai sifat-sifat AINS yang khas (Katzung, 2002). Pernyataan Katzung (2002) tersebut berbeda dengan Goodman dan Gilman (2008) yang menyatakan bahwa efek ketorolac tromethamine menghambat biosistesis prostaglandin dan tromboksan A2. Ketorolac tromethamine dapat memberikan efek anti-inflamasi dengan menghambat peletakan granulosit pada pembuluh darah yang rusak. Menstabilkan membrane lisosom dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan magrofag ke tempat peradangan. Farmakokinetik :

Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian intramuskuler dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Ketersediaan hayati oral sekitar 80%, dan obat ini akan diekskresikan dalam waktu paru eliminasi 4 sampai 6 jam. Lebih dari 99% ketorolac tromethamine diikat oleh protein dan sebagian besar di metabolisme dihati. Metabolismenya adalah hidroksilate.

(28)

Dan yang tidak dimetabolisme (unchanged drug) akan diekskresikan melalui urin (Goodman dan Gilman, 2008).

Sedangkan Setiabudy (2007) menyatakan bahwa pemberian ketorolac secara intarmuskular sebagai analgesik pasca bedah memperlihatkan efektivitas sebanding morfin/meperidin dosis umum. Masa kerjanya lebih panjang dan efek sampingnya lebih ringan. Obat ini juga dapat diberikan secara oral. Absorpsi oral dan intramuskular berlangsung cepat dan mencapai puncak dalam 30 - 50 menit. Bioavailabilitas oral mencapai 80% dan hampir seluruhnya terikat protein plasma.

b) Asam Mefenamat Farmakodinamik :

Asam mefenamat merupakan asam fenilantranilat yang mengalami N-subtitusi. Senyawa fenamat mempunyai sifat radang, anti-piretik dan analgesik. Pada uji analgesia, asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan kerja perifer. Senyawa fenamat memiliki sifat-sifat tersebut terutama karena kemampuannya menghambat siklooksigenase. Selain itu senyawa fenamat juga mengantagonis efek prostaglandin tertentu (Goodman dan Gilman, 2008).

Farmakokinetik :

Konsentrasi puncak dalam plasma tercapai dalam 2 sampai 4 jam setelah pemberian oral dalam dosis tunggal. Pada manusia, sekitar

(29)

50% dosis asam mefenamat diekskresi dalam urin, terutama sebagai matabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi dan metabolit 3-karboksil serta konjugatnya. Dua puluh persen obat ini ditemukan dalam feses, terutama sebagai metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi (Goodman dan Gilman, 2008).

Sedangkan Setiabudy (2007) menyatakan bahwa asam mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma. Dengan demikian interkasi terhadap obat antikoagulan harus dihentikan.

c) Piroksikam Farmakodinamik :

Piroksikam merupakan suatu obat anti radang yang efektif, potensinya sebagai inhibitor biosintesis prostaglandin in viro. Piroksikam dapat menghambat aktivasi neurofil yang tidak tergantung pada kemampuannya untuk menghambat siklooksigenase (Goodman dan Gilman, 2008). Selain itu piroksikam juga sebagai penghambat COX nonselektif, tetapi pada konsentrasi tinggi juga dapat menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear, mengurangi produksi radikal oksigen dan menghambat fungsi limfosit (Katzung, 2002).

Farmakokinetik :

Goodman dan Gilman (2008) menyatakan bahwa piroksikam diabsorpsi sempurna setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak dalam plasma terjadi dalam 2 sampai 4 jam. Terjadi siklus

(30)

enterohepatik piroksikam, dan perkiraan waktu paruh dalam plasma beragam dengan nilai rata-rata sekitar 50 jam. Setelah diabsopsi, piroksikam banyak terikat pada protein plasma (99%). Pada keadaan tunak (misalnya 7 sampai 12 hari), konsentrasi piroksikam dalam plasma dan cairan sinovial kira-kira sama. Kurang dari 5% obat ini diekskresi dalam urin.

d) Ibuprofen Farmakodinamik :

Ibuprofen merupakan obat turunan sederhana dari phenylpropionic acid. Obat ini mempunyai aktivitas radang, analgesik, anti-piretik yang bermanfaat bagi menusia. Ibuprofen merupakan inhibitor siklooksigenase yang efektif. Ibuprofen mempunyai efek penghambatan yang nyata terhadap fungsi leukosit (Goodman dan Gilman, 2008).

Farmakokinetik :

Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat setelah pemberial oral, dan konsentrasi puncak dalam plasma adalah 15 - 30 menit. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Ekskresi ibuprofen cepat dan sempurna, lebih dari 90% dosis yang teringesti diekskresikan melalui urin sebagai metabolit atau konjugatnya. Metabolit utamanya adalah suatu senyawa terhidroksilasi dan terkarboksilasi (Goodman dan Gilman, 2008). Sementara Katzung (2002) menyatakan bahwa ibuprofen lebih dari 99% terikat dengan protein plasma, dengan

(31)

mudah dibersihkan dan mempunyai waktu paruh terminal lebih dari 1 - 2 jam. Ibuprofen dimetabolisme secara ekstensif di dalam hati. b. Tindakan Nonfarmakologis

Tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan penanganan, misalnya penanganan fisik/stimulasi fisik, meliputi :

1) Relaksasi : Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stress sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Relaksasi terbagi menjadi relaksasi nafas dalam dan relaksasi otot.

2) Imajinasi terbimbing : Imajinasi terbimbing adalah upaya untuk menciptakan kesan dalam pikiran klien kemudian berkonsentrasi pada kesan tersebut sehingga secara bertahap dapat menurunkan persepsi nyeri klien. Tindakan ini dapat dilakukan secara bersamaan dengan tindakan relaksasi.

3) Distraksi : Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian klien ke hal-hal lain diluar nyeri, sehingga dengan demikian diharapkan dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.

4) Stimulasi elektrik (TENS) : Bisa dilakukan dengan massase, mandi air hangat, kompres dengan es, pijatan dengan menthol dan stimulasi saraf electrik transkutan (TENS).

(32)

5) Akupuntur : Jarum-jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri yang dapat memblokade transmisi nyeri ke otak.

c. Pembedahan

Tindakan ini dilakukan apabila dengan tindakan-tindakan non invasif tidak dapat membebaskan nyeri. Beberapa contoh pembedahan yang dapat dilakukan adalah :

1) Cordotomy

Cordotomy merupakan tindakan menginsisi traktus anterolateral dari spinal cord untuk mengintrupsi transmisi nyeri.

2) Neurectomy

Neurectomy adalah tindakan pembedahan dengan menghilangkan sebuah saraf. Neurectomy perifer merupakan tindakan pemotongan saraf pada bagian distal spinal cord.

3) Symphatectomy

Saraf simpatis mempunyai peran penting di dalam memproduksi dan mentransmisi sensasi nyeri. Symphatectomy termasuk di dalamnya adalah merusak dengan melakukan injeksi atau insisi pada ganglia dalam saraf simpatis, biasanya dilakukan pada daerah lumbal atau pada bagian dorsal servik di dasar leher.

4) Rhizotomy

Rhizotomy merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan pemotongan pada dorsal root.

(33)

Tindakan pembedahan merupakan pengobatan yang jarang di indikasikan dan dilakukan. Pembedahan ini dilakukan hanya ketika pengobatan yang dilakukan sebelumnya tidak memberikan hasil yang efektif (Brannon & Jeist, 2007). Resiko yang dapat ditimbul akibat pembedahan ini meliputi gejala nyeri baru akibat kerusakan saraf, kekambuhan nyeri dan kerusakan neurologi pasca operasi (Potter & Perry, 2006). Hal yang sama juga di ungkapkan oleh Sjamsuhidayat dan Jong (2005) yang dikutip dalam Ayudianningsing (2012) bahwa oleh Pemberian analgesik dan pemberian narkotik untuk menghilangkan nyeri tidak terlalu dianjurkan karena dapat mengaburkan diagnosa. C. Konsep Appendisitis

1. Definisi

Menurut Mansjoer (2000), Appendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun.Penyebab yang paling umum dari appendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa sehingga menyebabkan inflamasi.

2. Etiologi

Menurut Sjamsuhidajat dan Jong (2005), penyebab dari appendisitis adalah :

(34)

b. Tumor apendiks. c. Cacing ascaris.

d. Erosi mukosa apendiks karena parasit E. Histolytica. e. Hiperplasia jaringan limfe.

3. Patofisiologi

Appendisitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit dan benda asing. Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekalit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan (Smeltzer dan Bare, 2002)

Selanjutnya Mansjoer (2000) menyatakan bahwa obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus semakin banyak, karena elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukus.

Pada saat ini terjadi appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Sumbatan menyebabkan nyeri sekitar umbilicus dan epigastrium, nausea, muntah. Invasi kuman E Coli dan spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularisa, dan akhirnya ke peritoneum parietalis terjadilah peritonitis lokal kanan bawah. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal

(35)

tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul akan meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di area kanan bawah. Keadaan ini yang kemudian disebut dengan appendisitis supuratif akut (Mansjoer, 2000).

Lebih lanjut Mansjoer (2000), menyatakan bila aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah, akan menyebabkan appendisitis perforasi.

Selanjutnya Guyton dan Hall (2008) menyatakan bahwa spasme otot juga merupakan penyebab rasa nyeri. Rasa nyeri ini mungkin secara langsung disebabkan oleh terangsangnya reseptor nyeri yang bersifat mekanosensitif, namun mungkin juga nyeri tidak langsung disebabkan oleh pengaruh spasme otot yang menekan pembuluh darah dan menyebabkan iskemia. Diduga, salah satu penyebab nyeri pada keadaan iskemia adalah terkumpulnya sejumlah besar asam laktat dalam jaringan (metabolisme tanpa oksigen).

4. Manifestasi Klinik

Menurut Mansjoer (2000), keluhan apendiks biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilicus atau periumbilicus. Dalam 2 - 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat mual, dan muntah.

(36)

Perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri.

Pada appendisitis ditemukan nyeri tekan lepas, hebat dan terlokalisir yang berasal dari peritoneum parietale. Nyeri tersebut terjadi apabila peritoneum parietale meradang sehingga setiap gerakan peritoneum (termasuk gerakan mengangkat tangan pada waktu pemeriksaan) akan meningkatkan rasa nyeri. Bila tanda rovsing, psoas, dan obturator sign positif, akan semakin meyakinkan diagnosa klinis (Snell, 2006).

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan appendisitis menurur Mansjoer (2000) adalah sebagai berikut :

a. Sebelum operasi

1) Observasi keadaan umum klien. 2) Intubasi bila perlu.

3) Pemberian antibiotik. b. Operasi

Proses appendektomi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya sebagai berikut :

1) Insisi menurut Mc Burney (Grid Incision atau Muscle Splittig Incision). Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior (SIAS) dengan umbilikus pada batas sepertiga lateral (titik Mc. Burney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis, dan fasia. Keuntungan dari insisi ini adalah

(37)

tidak terjadinya benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh, dan masa istrahat pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas dan waktu operasi lebih lama, lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong otot secara tajam.

2) Insisi menurut Roux (Muscle Cutting Incision). Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc. Burney, hanya sayatannya langsung menembus otot dinding perut tanpa melihat arah serabut sampai tampak peritonium. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah diperluas, sederhana dan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah sehingga perdarahan lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih lama karena adanya benjolan yang mengganggu pasien, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi, kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi dan masa penyembuhan lebih lama.

3) Insisi pararektal, dilakukan sayatan pada garis batas lateral m. rektus abdominalis dekstra secara vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntungannya adalah tekhnik ini dapat dipakai pada kasus-kasus apendiks yang belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah sayatan ini tidak langsung mengarah ke apendiks atau sekum, kemungkinan

(38)

memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup luka operasi dibutuhkan jahitan penunjang.

c. Pasca operasi 1) Observasi TTV.

2) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.

3) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler.

4) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama pasien dipuasakan.

5) Berikan minum mulai15 ml/jam selama 4 - 5 jam pasca operasi lalu tingkatkan menjadi 30 ml/jam.

6. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium terjadi peningkatan leukosit dengan peningkatan jumlah neutrofil. Pemeriksaan urine dilakukan untuk membedakan dengan kelainan pada ginjal dan saluran kemih, pemeriksaan USG dilakukan bila terjadi infiltrat apendikularis (Mansjoer, 2000).

7. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi : a. Perforasi

Keterlambatan penanganan merupakan penyebab terjadinya perforasi. Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans

(39)

muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).

b. Peritonitis

Peradangan peritoneum biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari appendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala yang timbul seperti : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, abdomen tegang/kaku, nyeri tekan, nyeri lepas dan bunyi usus menghilang (Price dan Wilson, 2006).

8. Kerangka Konseptual

(Gambar 2.7) 9. Hipotesis

Terdapat pengaruh antara teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien post operasi appendisitis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo.

Variabel Independen Variabel Dependen

TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM

PENURUNAN SENSASI NYERI

Gambar

Tabel 2.1 Respon Fisiologis Tubuh terhadap Nyeri  Respon Fisiologis Tubuh terhadap Nyeri
Tabel 2.2 Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis  Karakteristik  Nyeri Akut  Nyeri Kronis

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hasil uji statistik tersebut dapat diinterpre tasikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien pasca

Peneliti menyarankan pada responden (remaja) agar dapat memanfaatkan teknik relaksasi nafas dalam ataupun kompres hangat untuk mengurangi nyeri menstruasi sebagai

Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas dalam Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri Pada Pasien Post perasi SC Di Ruang Perawatan Kebidanan RSUD.Prof.Dr.H Aloe Saboe.F.Ked

Kesimpulan dari penelitian ini ada pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat nyeri pada lansia dengan rheumatoid arthritis di UPT PSTW

Berdasarkan fenomena di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan kelelahan pasien gagal ginjal kronik

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat

Peneliti menyarankan pada responden (remaja) agar dapat memanfaatkan teknik relaksasi nafas dalam ataupun kompres hangat untuk mengurangi nyeri menstruasi

Hasil uji statistik tersebut dapat diinterpre tasikan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien pasca