• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Nyeri

Dalam dokumen teknik relaksasi.pdf (Halaman 26-35)

Menurut Prasetyo (2010) menyatakan bahwa manajemen dalam penanganan nyeri terbagi atas tindakan farmakologis dan non farmakologis serta pembedahan.

a. Tindakan Farmakologi 1) Analgesik Narkotik

Opiate merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri pada klien, untuk nyeri sedang hingga nyeri berat. 2) Analgesik lokal

Analgesik lokal bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat diberikan langsung ke serabut saraf.

3) Analgesik yang dikontrol klien

Sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari infus yang di isi narkotik menurut resep, dipasang dengan pengatur pada lubang injeksi intravena. Penggunaan narkotik yang dikendalikan klien dipakai pada klien dengan nyeri pasca bedah, nyeri kanker, krisis sel. 4) Obat-Obat Nonsteroid (NSAIDs)

Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini menghambat agregasi platelet, kontraindikasi meliputi klien dengan gangguan koagulasi atau klien dengan terapi antikoagulan. Contohnya : Ibuprofen, Naproksen, Indometasin, Tolmetin, Piroxicam, serta Ketorolac (Toradol). Selain itu terdapat pula golongan NSAIDs yang lain

seperti Asam Mefenamat, Meclofenomate serta Phenylbutazone, dll (Goodman dan Gilman, 2008).

Beberapa contoh mekanisme kerja NSAIDs adalah sebagai berikut: a) Ketorolac

Farmakodinamik :

Ketorolac tromethamine merupakan suatu obat analgesik non narkotik. Obat ini bukan sebagai anti-inflamasi (meskipun ketorolac mempunyai sifat-sifat AINS yang khas (Katzung, 2002). Pernyataan Katzung (2002) tersebut berbeda dengan Goodman dan Gilman (2008) yang menyatakan bahwa efek ketorolac tromethamine menghambat biosistesis prostaglandin dan tromboksan A2. Ketorolac tromethamine dapat memberikan efek anti-inflamasi dengan menghambat peletakan granulosit pada pembuluh darah yang rusak. Menstabilkan membrane lisosom dan menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan magrofag ke tempat peradangan. Farmakokinetik :

Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap setelah pemberian intramuskuler dengan konsentrasi puncak rata-rata dalam plasma 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis tunggal 30 mg. Ketersediaan hayati oral sekitar 80%, dan obat ini akan diekskresikan dalam waktu paru eliminasi 4 sampai 6 jam. Lebih dari 99% ketorolac tromethamine diikat oleh protein dan sebagian besar di metabolisme dihati. Metabolismenya adalah hidroksilate.

Dan yang tidak dimetabolisme (unchanged drug) akan diekskresikan melalui urin (Goodman dan Gilman, 2008).

Sedangkan Setiabudy (2007) menyatakan bahwa pemberian ketorolac secara intarmuskular sebagai analgesik pasca bedah memperlihatkan efektivitas sebanding morfin/meperidin dosis umum. Masa kerjanya lebih panjang dan efek sampingnya lebih ringan. Obat ini juga dapat diberikan secara oral. Absorpsi oral dan intramuskular berlangsung cepat dan mencapai puncak dalam 30 - 50 menit. Bioavailabilitas oral mencapai 80% dan hampir seluruhnya terikat protein plasma.

b) Asam Mefenamat Farmakodinamik :

Asam mefenamat merupakan asam fenilantranilat yang mengalami N-subtitusi. Senyawa fenamat mempunyai sifat radang, anti-piretik dan analgesik. Pada uji analgesia, asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan kerja perifer. Senyawa fenamat memiliki sifat-sifat tersebut terutama karena kemampuannya menghambat siklooksigenase. Selain itu senyawa fenamat juga mengantagonis efek prostaglandin tertentu (Goodman dan Gilman, 2008).

Farmakokinetik :

Konsentrasi puncak dalam plasma tercapai dalam 2 sampai 4 jam setelah pemberian oral dalam dosis tunggal. Pada manusia, sekitar

50% dosis asam mefenamat diekskresi dalam urin, terutama sebagai matabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi dan metabolit 3-karboksil serta konjugatnya. Dua puluh persen obat ini ditemukan dalam feses, terutama sebagai metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi (Goodman dan Gilman, 2008).

Sedangkan Setiabudy (2007) menyatakan bahwa asam mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma. Dengan demikian interkasi terhadap obat antikoagulan harus dihentikan.

c) Piroksikam Farmakodinamik :

Piroksikam merupakan suatu obat anti radang yang efektif, potensinya sebagai inhibitor biosintesis prostaglandin in viro. Piroksikam dapat menghambat aktivasi neurofil yang tidak tergantung pada kemampuannya untuk menghambat siklooksigenase (Goodman dan Gilman, 2008). Selain itu piroksikam juga sebagai penghambat COX nonselektif, tetapi pada konsentrasi tinggi juga dapat menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear, mengurangi produksi radikal oksigen dan menghambat fungsi limfosit (Katzung, 2002).

Farmakokinetik :

Goodman dan Gilman (2008) menyatakan bahwa piroksikam diabsorpsi sempurna setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak dalam plasma terjadi dalam 2 sampai 4 jam. Terjadi siklus

enterohepatik piroksikam, dan perkiraan waktu paruh dalam plasma beragam dengan nilai rata-rata sekitar 50 jam. Setelah diabsopsi, piroksikam banyak terikat pada protein plasma (99%). Pada keadaan tunak (misalnya 7 sampai 12 hari), konsentrasi piroksikam dalam plasma dan cairan sinovial kira-kira sama. Kurang dari 5% obat ini diekskresi dalam urin.

d) Ibuprofen Farmakodinamik :

Ibuprofen merupakan obat turunan sederhana dari phenylpropionic acid. Obat ini mempunyai aktivitas radang, analgesik, anti-piretik yang bermanfaat bagi menusia. Ibuprofen merupakan inhibitor siklooksigenase yang efektif. Ibuprofen mempunyai efek penghambatan yang nyata terhadap fungsi leukosit (Goodman dan Gilman, 2008).

Farmakokinetik :

Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat setelah pemberial oral, dan konsentrasi puncak dalam plasma adalah 15 - 30 menit. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Ekskresi ibuprofen cepat dan sempurna, lebih dari 90% dosis yang teringesti diekskresikan melalui urin sebagai metabolit atau konjugatnya. Metabolit utamanya adalah suatu senyawa terhidroksilasi dan terkarboksilasi (Goodman dan Gilman, 2008). Sementara Katzung (2002) menyatakan bahwa ibuprofen lebih dari 99% terikat dengan protein plasma, dengan

mudah dibersihkan dan mempunyai waktu paruh terminal lebih dari 1 - 2 jam. Ibuprofen dimetabolisme secara ekstensif di dalam hati. b. Tindakan Nonfarmakologis

Tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan penanganan, misalnya penanganan fisik/stimulasi fisik, meliputi :

1) Relaksasi : Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stress sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Relaksasi terbagi menjadi relaksasi nafas dalam dan relaksasi otot.

2) Imajinasi terbimbing : Imajinasi terbimbing adalah upaya untuk menciptakan kesan dalam pikiran klien kemudian berkonsentrasi pada kesan tersebut sehingga secara bertahap dapat menurunkan persepsi nyeri klien. Tindakan ini dapat dilakukan secara bersamaan dengan tindakan relaksasi.

3) Distraksi : Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian klien ke hal-hal lain diluar nyeri, sehingga dengan demikian diharapkan dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.

4) Stimulasi elektrik (TENS) : Bisa dilakukan dengan massase, mandi air hangat, kompres dengan es, pijatan dengan menthol dan stimulasi saraf electrik transkutan (TENS).

5) Akupuntur : Jarum-jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri yang dapat memblokade transmisi nyeri ke otak.

c. Pembedahan

Tindakan ini dilakukan apabila dengan tindakan-tindakan non invasif tidak dapat membebaskan nyeri. Beberapa contoh pembedahan yang dapat dilakukan adalah :

1) Cordotomy

Cordotomy merupakan tindakan menginsisi traktus anterolateral dari spinal cord untuk mengintrupsi transmisi nyeri.

2) Neurectomy

Neurectomy adalah tindakan pembedahan dengan menghilangkan sebuah saraf. Neurectomy perifer merupakan tindakan pemotongan saraf pada bagian distal spinal cord.

3) Symphatectomy

Saraf simpatis mempunyai peran penting di dalam memproduksi dan mentransmisi sensasi nyeri. Symphatectomy termasuk di dalamnya adalah merusak dengan melakukan injeksi atau insisi pada ganglia dalam saraf simpatis, biasanya dilakukan pada daerah lumbal atau pada bagian dorsal servik di dasar leher.

4) Rhizotomy

Rhizotomy merupakan tindakan pembedahan dengan melakukan pemotongan pada dorsal root.

Tindakan pembedahan merupakan pengobatan yang jarang di indikasikan dan dilakukan. Pembedahan ini dilakukan hanya ketika pengobatan yang dilakukan sebelumnya tidak memberikan hasil yang efektif (Brannon & Jeist, 2007). Resiko yang dapat ditimbul akibat pembedahan ini meliputi gejala nyeri baru akibat kerusakan saraf, kekambuhan nyeri dan kerusakan neurologi pasca operasi (Potter & Perry, 2006). Hal yang sama juga di ungkapkan oleh Sjamsuhidayat dan Jong (2005) yang dikutip dalam Ayudianningsing (2012) bahwa oleh Pemberian analgesik dan pemberian narkotik untuk menghilangkan nyeri tidak terlalu dianjurkan karena dapat mengaburkan diagnosa. C. Konsep Appendisitis

1. Definisi

Menurut Mansjoer (2000), Appendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun.Penyebab yang paling umum dari appendisitis adalah obstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa sehingga menyebabkan inflamasi.

2. Etiologi

Menurut Sjamsuhidajat dan Jong (2005), penyebab dari appendisitis adalah :

b. Tumor apendiks. c. Cacing ascaris.

d. Erosi mukosa apendiks karena parasit E. Histolytica. e. Hiperplasia jaringan limfe.

3. Patofisiologi

Appendisitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit dan benda asing. Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekalit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan (Smeltzer dan Bare, 2002)

Selanjutnya Mansjoer (2000) menyatakan bahwa obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus semakin banyak, karena elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukus.

Pada saat ini terjadi appendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Sumbatan menyebabkan nyeri sekitar umbilicus dan epigastrium, nausea, muntah. Invasi kuman E Coli dan spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularisa, dan akhirnya ke peritoneum parietalis terjadilah peritonitis lokal kanan bawah. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal

tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul akan meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di area kanan bawah. Keadaan ini yang kemudian disebut dengan appendisitis supuratif akut (Mansjoer, 2000).

Lebih lanjut Mansjoer (2000), menyatakan bila aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah, akan menyebabkan appendisitis perforasi.

Selanjutnya Guyton dan Hall (2008) menyatakan bahwa spasme otot juga merupakan penyebab rasa nyeri. Rasa nyeri ini mungkin secara langsung disebabkan oleh terangsangnya reseptor nyeri yang bersifat mekanosensitif, namun mungkin juga nyeri tidak langsung disebabkan oleh pengaruh spasme otot yang menekan pembuluh darah dan menyebabkan iskemia. Diduga, salah satu penyebab nyeri pada keadaan iskemia adalah terkumpulnya sejumlah besar asam laktat dalam jaringan (metabolisme tanpa oksigen).

Dalam dokumen teknik relaksasi.pdf (Halaman 26-35)

Dokumen terkait