• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RITUS-RITUS DAUR HIDUP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II RITUS-RITUS DAUR HIDUP"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

RITUS-RITUS DAUR HIDUP 2.1 Teori Van Gennep

Van Gennep (1960) observed that important role transitions generally consist of three phases:

1) separation, in which a person disengages from a social role or status,

2) transition, in which the person adapts and changes to fit new roles, and

3) incorporation, in which the person integrates the new role or status into the self.

Van Gennep (1960) mengamati bahwa transisi peran penting umumnya terdiri dari tiga fase:

1) pemisahan, di mana seseorang tidak terlibat dari peran atau status sosial,

2) transisi, di mana seseorang beradaptasi dan perubahan agar sesuai dengan peran baru, dan

3 ) penggabungan, dimana orang tersebut mengintegrasikan peran baru atau status

ke dalam diri.

Van Gennep dalam Dhavamony (1995:176-177) beranggapan bahwa ritual-ritual yang berhubungan dengan perpindahan orang-orang dan kelompok-kelompok dalam wilayah dan perpindahan menuju status baru, misalnya karena kehamilan dan kelahiran, pada waktu inisiasi, masa pertunagan dan perkawinan, dan dalam upacara-upacara pemakaman, juga dalam ritual-ritual dalam peralihan

(2)

musim dan fase-fase bulan, masa-masa tanam dan buah pertama serta panen, saat pentahbisan dan pelantikan, semuanya itu menyajikan tatanan yang sama. Pertama ada pemisahan dari yang keadaan yang lama atau situasi sosial sebelumnya, kemudian suatu masa ‘marginal’ dan akhirnya tahap ‘penyatuan’ kepada kondisi yang baru atau penyatuan kembali dengan kondisi yang lama.

Van gennep dalam Dhavomony (1995:179) menjelaskan bahwa semua kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa peralihan individu dari suatu status sosial ke status sosial yang lain. Dalam setiap ritual penerimaan ada tiga tahap : perpisahan, peralihan, dan penggabungan. Pada tahap pemisahan, individu dipisahkan dari satu tempat atau kelompok atau status; dalam tahap peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek dari prosedur-prosedur perubahan; sedangkan pada masa penggabungan ia secara resmi ditempatkan ke pada suatu tempat, kelompok atau status baru.

Tujuan pelaksanaan ritual itu biasanya untuk mencegah perubahan yang tidak diinginkan. Kadang terget dari pelaksanaan ritual itu adalah suatu aspek hakikat bukan manusia, kadang manusiawi; kadang individu; atau suatu kelompok. Perubahan yang dimaksud kadang merupakan perubahan yang kecil, suatu koreksi yang akan memulihkan keseimbangan dan status quo, melestarikan gerakan sistem ikatan-ikatan, misalnya ritual pernikahan; kadang menyangkut perubahan sistem yang radikal, tercapainya level keseimbangan yang baru, atau bahkan kualitas baru dalam organisasi, misalnya ritual masuk sekolah atau kenaikan pangkat.

(3)

Ritual sebagai kontrol sosial bermaksud mengontrol perilaku dan kesejahteraan individu demi dirinya sendiri sebagai individu ataupun individu bayangan. Hal itu semua dimaksudkan untuk mengontrol, secara konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara keseluruhan.

Selanjutnya, ritus merupakan suatu kegiatan, biasanya dalam bidang keagamaan, yang bersifat seremonial dan bertata. Ritus terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:

1. Ritus peralihan, umumnya mengubah status sosial seseorang, misalnya: pernikahan, pembabtisan, atau wisuda.

2. Ritus peribadatan, di mana suatu komunitas berhimpun untuk beribadah bersama-sama, misalnya: umat Muslim shalat berjamaah, umat Yahudi di sinagoga dan umat Kristen menghadiri Misa.

3. Ritus devosi pribadi, di mana seseorang melakukan ibadah pribadi, termasuk berdoa dan berziarah, misalnya Muslim dan Muslimah menunaikan ibadah haji

ritus bagi orang Jepang pada umumnya dilakukan secara Budha.

2.2 Daur Hidup Menurut Masyarakat Jepang

Daur hidup dalam masyarakat Jepang disebut Tsuka Girei. Tsuka yang artinya bertahap atau tahapan sedangkan Girei artinya upacara atau perayaan, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian dari Tsuka Girei adalah

(4)

perayaan-;perayaan yang dilakukan secara bertahap mulai dari proses kelahiran sampai menjadi dewa.

Daur hidup dalam masyarakat Jepang berhubungan dengan pandangan akan roh orang Jepang, yaitu pandangan tradisional yang di pengaruhi oleh Shinto dan Budha. Tsuboi, Yobumi dalam Situmorang (2000 : 30) mengatakan adalah suatu kepercayaan dalam kerangka agama Budha yang disesuaikan dengan kondisi alam Jepang.

Tsuboi menjelaskan pemikiran-pemikiran Yanagita Kunio (1875-1962) yang mengatakan bahwa manusia memiliki roh, dan roh tersebut masuk kedalam tubuh manusia pada waktu lahir dan meninggalkan tubuh manusia pada waktu meninggal. Roh itu mengalami proses perjalanan seperti arah jarum jam terbalik. Dalam setiap kondisi, roh tersebut mengalami perubahan, perubahan tersebut adalah perubahan dari kekotoran menuju kesucian dengan bantuan acara-acara dan persembahan (kuyo). Proses perjalanan roh manusia tersebut dimulai pada masa kelahiran.

Pada waktu seseorang lahir penuh dengan kekotoran, yaitu karena darah ibu yang melahirkan masih berada diseluruh badan seseorang tersebut, karena berada dalam kondisi kekotoran tersebut, maka rohnya berada dalam keadaan labil. Keadaan ini akan berlangsung sampai seseorang tersebut dewasa. Keadaan labil ini akan akan berlangsung selama seseorang tersebut masih dalam keadaan kekotoran, kondisi tersebut baru akan semakin berkurang dengan adanya acara-acara daur hidup. Dalam teorinya Van Gennep dalam Situmorang (2000 : 30) dikatakan “Li Rites de passadge” atau dalam bahasa Jepang disebut Tsuka Girei.

(5)

Adapun acara yang dilakukan yaitu seperti acara-acara menuju kedewasaan yang disebut Shussan (acara kelahiran), Nazuke Iwai (pemberian nama) Okuizome (pemberian makan pertama) yaitu setelah anak berusia seratus hari, Hattanjou (ulang tahun pertama) di sini dilakukan pemilihan masa depan anak, Shichigosan (acara 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun) yaitu acara untuk mendatangi kuil pada tanggal 15 November bagi anak umur 3, 5 dan 7 tahun, dan acara kedewasaan (20 tahun) pada tanggal 15 Januari bagi semua anak yang berusia 20 tahun pada tahun tersebut (Situmorang, Hamzon, 2000 : 31)

Setelah masa kekotoran berlalu seseorang tersebut memasuki kehidupan perkawinan. Pada masa ini, roh seseorang tersebut berada dalam keadaan stabil. Kemudian ada acara khusus setelah memasuki kehidupan dalam pernikahan misalnya, Yakudoshi yaitu acara bagi orang yang memasuki usia bahaya pada tahun tersebut, misalnya usia 42 pada laki-laki dan usia 33 bagi wanita. Toshi Iwai bagi orang yang berusia 66 tahun (Gareki), usia 70 tahun (Kouki), usia 88 (Maiju), dan usia 99 (Hakuju) (Suzuki dalam Situmorang, 2000 : 32)

Menurut Situmorang, Hamzon (2000 : 28) masyarakat Jepang berkepercayaan majemuk. Mereka menyembah banyak dewa atau tuhan. Sistem kepercayaan Jepang hanya bersifat dasar saja, yaitu hanya yang bersifat praktis dalam kehidupan sehari- hari.

Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 42-43) dalam kepercayaan tradisional Jepang dibedakan antara roh alam dan roh manusia. Roh manusia dibedakan antara roh orang hidup dan roh orang mati. Roh manusia disebut juga

(6)

dengan roh orang hidup, sedangkan roh alam disebut juga dengan animisme dimana semua roh-roh di atas dipercaya memiliki kekuatan misterius.

Menurut Suzuki, Iwayumi dalam situmorang (2000 : 29) mengatakan bahwa pandangan hidup dan mati orang Jepang berada dalam suatu circle (lingkaran). Manusia semenjak lahir hingga menikah berada dalam posisi tidak tenang, atau berada dalam posisi kekotoran. Oleh karena itu perlu diadakan upacara selamatan (ritus) supaya mereka beroleh selamat. Upacara-upacara tersebut misalnya, upacara sushan, okuizome, hattanjo, shichigosan, dan sebagainya. Dalam acara okuizome, atau makan pertama diadakan juga mono erabi, yaitu memilih benda-benda yang dibuat sebagai simbol masa depan. Jika si anak memilih benda tersebut, diramalkan bahwa masa depan si anak sesuai dengan benda yang dipilih tersebut. Oleh karena itu kepercayaan masyarakat Jepang masih kental dengan unsur-unsur tahayul.

Menurut Sasaki dalam Situmorang (2006 : 45), dalam kepercayaan masyarakat Jepang, yang tercemar itu adalah mayat, kelahiran dan keluar darah. Oleh karena itu ibu yang sedang melahirkan juga karena mengeluarkan darah maka berada dalam kondisi tercemar.

Menurut Hori Ichiro dalam Situmorang (2006 : 40) mengatakan bahwa agama-agama rakyat Jepang sebagai Folk Belief adalah kepercayaan yang sudah ada sebelum agama-agama melembaga masuk ke Jepang. Agama-agama rakyat yang belum melembaga yang ada di Jepang primitive tersebut adalah agama Proto Shinto. Shinto adalah suatu kepercayaan tradisional yang lahir di Jepang. Kalau kita melihat dari huruf kanjinya, dapat kita terjemahkan menjadi suatu cara

(7)

kehidupan bertuhan. Shin adalah Tuhan atau Dewa, kemudian To adalah jalan, atau dapat diterjemahkan sebagai konsep cara ber Tuhan. Oleh karena itu dalam kepercayaan masyarakat Jepang jumlah Kami (dewa) sangat banyak

2.3 Daur Hidup Menurut Masyarakat Batak Toba

Kebiasaan-kebiasaan suku Batak Toba yaitu berupa upacara adat dimulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, penyakit, malapetaka, hingga kematian. Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara adat dilakukan agar terhindar dari bahaya/celaka yang akan menimpa, memperoleh berkat, kesehatan dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat suku Batak Toba (Merliana, 2010)

Dalam upacara adat Batak tampak sekali perasaan komunal berdasarkan prinsip DALIHAN NA TOLU, dan kalau tidak berdasarkan adat Dalihan Na Tolu bukanlah upacara adat Batak. Pihak pengundang, baik suami maupun isteri, dinamai suhut, dinamai hal itu sisada hasuhuton sehingga untuk membedakan disebutlah tuan rumah itu suhut tangkas (baca: suhut takkas) atau suhut

sihabolonan. Pasif saja peranan suhut dalam mengatur acara-acara. Ia hanya

diberi kesempatan mangampu (baca: mangappu), yaitu mengucapkan terima kasih kepada para hadirin sebelum berakhir upacara itu. Yang mewakilinya terhadap dongan sabutuha dinamai suhut paidua. Dalam pesta adat yang diadakan di rumah, dia itu boleh saudara semarga yang masih turunan satu kakek dengan tuan rumah, sedang dalam pesta kawin atau upacara kematian biasanya yang lebih jauh lagi hubungan darahnya dengan tuan rumah. Sahabat karib dari tuan rumah, yang

(8)

bukan kerabat semarga, tidak boleh mewakili tuan rumah dalam upacara adat Batak, baik ke dalam maupun ke luar ialah dongan sabutuha (dongan tubu)

Dalam pesta adat di rumah hanya satu pihak pengundang, yaitu tuan rumah. Pihak mertua tidak hanya mengajak dongan sabutuha dari pihaknya untuk menyertainya, tetapi selalu turut juga boru dari pihaknya. Di rumah tempat upacara itu dilakukan duduk di atas tikar dua pihak berhadap-hadapan. Pada satu baris panjang duduk suhut, diapit oleh dongan sabutuha serta boru dari pihaknya. Dihadapan mereka ini duduk berderet pihak mertua tadi yang juga diapit oleh dongan sabutuha dari pihaknya, kesemuanya merupakan hula-hula dari tuan rumah, dan selain itu lagi boru dari pihak mertua tersebut.

Dalam pesta kawin ada pengecualian, ada dua pihak pengundang, yaitu orang tua mempelai pria. Di sini juga selalu duduk terpisah para tamu yang diundang oleh parboru (orang tua siputeri) dari para tamu yang diundang oleh paranak (orang tua siputera). Mertua beserta rombongannya, dan ada kalanya juga beberapa pihak hula-hula lainnya beserta rombongan masing-masing, kalau datang ke upacara adat dari boru selalu membawa beras. Di bona pasogit setiap rombongan itu berbaris mulai dari gerbang kampung menuju ke rumah pengundang tersebut, dan biasanya disambut di depan rumah itu oleh pihak boru tersebut sambil berdiri. Kaum wanita dalam rombongan tadi semuanya menjunjung semacam sumpit yang dinamai tandok berisi beras. Beras ini digelar boras sipir ni tondi, artinya “beras penguatkan jiwa”, sengaja beras itu diberi diatas kepala supaya mengandung kekuatan magis.

(9)

Ada lagi yang disodorkan oleh mertua dalam suatu acara khusus kepada sang menantu, yaitu ikan emas di atas baki, yang dinamai dekke sitio-tio (artinya: ikan jernih). Ikan itu melambangkan kesuburan karena banyak telurnya. Masyarakat Batak mendambakan berkembang biak keturunan dan berbuah apa yang hendak dikerjakan untuk hidup sehari-hari, yang dapat disimpulkan dengan satu kata, yaitu gabe. Ulos juga dari pihak hula-hula, yang dililitkannya pada tubuh boru untuk menghangatkan tubuh dan jiwa, merupakan perlambang dari totalitas kosmos, semua itu yang disampaikan oleh hula-hula dalam setiap upacara adat adalah sesuai dengan semboyan yang berbunyi horas jala gabe, yang dapat kiranya di terjemahkan dengan “selamat serta sejahtera” dalam bahasa Indonesia. Pihak tuan rumah sebagai boru tidak hanya tahu menerima saja, tetapi harus memberi juga, yaitu daging, yang bermakna (namargoar). Di perantauan pada umumnya, binatang yang dipotong bukan kerbau tetapi substitutnya, yakni “kerbau pendek” (babi) di kalangan orang Batak yang beragama Kristen atau kambing di kalangan orang Batak yang beragama Islam. Walaupun demikian untuk dapat memahami makna yang dalam dari na margoar tadi kita harus bertolak dari binatang kerbau, kerbau dalam upacara bius dan kerbau sajian untuk memuja arwah leluhur di zaman animisme; dalam hal yang disebut terakhir ini kepala kerbau disajikan di tempat kuburan leluhur itu. Selain itu merupakan tradisi juga di zaman dulu menanam kepala kerbau di suatu tempat sebagai sajian kepada dewa tanah. Memang kepala adalah bagian tubuh yang paling mulia, digunakan juga oleh manusia untuk menyembah orang lain dengan cara menundukkan kepala. Sudah jelas kiranya mengapa kepala kerbu disajikan oleh boru untuk menghormati hula-hula. Yang diterimanya ini dinamai jambar. Selain

(10)

untuk hula-hula ada juga jambar-jambar untuk dongan sabutuha (dongan tubu), boru dan lainnya.

Jambar ialah bagian yang harus diterima oleh setiap kelompok kerabat berdasarkan peranan komunal sesuai dengan adat Dalihan Na Tolu. Selain jambar daging tersebut ada lagi jambar hata, yaitu hak angkat bicara. Sebagai acara penutup dalam setiap upacara adat ialah marhata, yaitu dialog resmi diantara boru di satu pihak dan hula-hula di pihak lain. Tanpa ada acara marhata tersebut bukanlah upacara adat namanya. Dialog resmi itu sudah standar tata tertibnya dari zaman ke zaman.

Sering kali terdengar dalam setiap upacara adat Batak semboyan yang berbunyi MANAT MARDONGAN TUBU, ELEK MARBORU, SOMBA MARHULA-HULA, artinya “Hendaklah berhati-hati bicara dengan teman semarga, jangan suka bertengkar! Terhadap boru jangan suka memerintah untuk dilayani, sopanlah bicara! Berhadapan dengan hula-hula haruslah dengan sikap menyembah!”

Setiap orang Batak digelari raja dalam upacara adat. Kadang-kadang raja ni hula-hula, dan Kadang-kadang pula raja ni dongan sabutuha. Hal itu tergantung pada statusnya di suatu upacara adat, apakah ia boru atau hula-hula atau dongan sabutuha. Biar pangkatnya jenderal tetapi hal ini tidak berlaku dalam suatu upacara adat, tetapi statusnya yang disebut tadi

Prinsip yang masih dimuat dalam masyarakat adat batak toba adalah sisolisoli do adat, artinya sebagai salah satu unit gotong-royong dalam

(11)

upacara-yang rajin berpartisipasi akan dibalas demikian kalau ia pada suatu waktu mengadakan pesta adat, akan tetapi orang yang malas berpartisipasi, walaupun ia kaya raya atau tinggi pangkatnya, pestanya akan sepi. Lain halnya kalau ada kesedihan, misalnya rumahnya terbakar atau anaknya meninggal atau orang yang belum mempunyai cucu meninggal (pria atau wanita). Dalam hal ini berlaku pepatah pajumpang di tano rara, jadi hendaklah turut menunjukkan perhatian walaupun orang yang ditimpa kesedihan tadi malas berpartisipasi dalam upacara-upacara adat atau pernah timbul perselisihan yang gawat dengan orang yang bersangkutan, semoga orang tersebut berubah kelakuannya.

Pesta perkawinan adalah upacara adat yang terpenting bagi orang Batak, oleh karena hanya orang yang sudah kawin berhak mengadakan upacara adat, dan upacara-upacara adat lainnya seperti menyambut lahirnya seorang anak, pemberian nama kepadanya dan lain sebagainya adalah sesudah pesta kawin itu. Tambahan lagi adapun pesta perkawinan dari sepasang pengantin merupakan semacam jembatan yang mempertemukan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin lelaki dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin perempuan. Artinya karena perkawinan itulah maka Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin pria merasa dirinya berkerabat dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin wanita, demikian pula sebaliknya. Segala istilah sapaan dan acuan yang digunakan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain, demikian pula sebaliknya, adalah istilah-istilah kekerabatan berdasarkan Dalihan Na Tolu.

Hal ini disebabkan karena perkawinan bagi orang Batak bukanlah merupakan persoalan pribadi suami isteri melulu, termasuk orangtua serta saudara saudara kandung masing-masing, akan tetapi merupakan ikatan juga dari marga

(12)

orangtua suami dengan marga orang tua isteri, ditambah lagi dengan boru serta hula-hula dari masing-masing pihak. Akibatnya ialah kalau cerai perkawinan sepasang suami isteri maka putus pulalah ikatan diantara dua kelompok tadi. Kesimpulannya ialah perkawinan orang batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu, dan upacara agama serta catatan sipil hanyalah perlengkapan belaka. Perkawinan orang Batak yang hanya di absahkan dengan upacara agama serta catatan sipil boleh dikatakan masih dianggap perkawinan gelap oleh masyarakat Batak dilihat dari sudut adat Dalihan Na Tolu. Buktinya ialah apabila timbul keretakan di dalam suatu rumah tangga yang demikian, maka sudah pasti marga dari masing-masing pihak tidak merasa ada hak dan kewajiban untuk mencampurinya.

Pada saat kelahiran sudah merupakan kebiasaan, apalagi menjelang lahirnya anak pertama, orang tua dari si isteri disertai rombongan kecil kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya; salah satu istilah untuk kunjungan ini ialah mangirdak, yang artinya membangkitkan “semangat”. Adapula lagi yang melilitkan selembar ulos yang dinamai ulos tondi, artinya “ulos untuk menguatkan jiwa” ke tubuh si putri dan suaminya dalam acara sesudah makan. Tentu saja tuan dan nyonya rumah didampingi kaum kerabat dalm upacara sederhana tadi.

Sesudah lahir anak yang dinanti-nantikan itu adakalanya diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu, dinamai mangharoani, artinya “menyambut tibanya (sang anak)”. Ada juga yang menyebutnya mamboan aek si unte, karena pihak hula-hula membawa makanan

(13)

Pada zaman animisme di bona pasogit mengikuti suatu upacara yang dinamai martutuaek, yakni dipermandikan sang bayi ke mata air. Pada hari yang telah ditentukan oleh datu (dukun), pagi-pagi waktu matahari baru terbit, sang ibu yang menggendong anaknya beserta rombongan para kerabat menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka itu. Kemudian datu (dukun) menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh sianak, yang terkejut karenanya dan menjerit terhiba-hiba. Pada umur belasan tahun, yaitu pada pada waktu seorang pemuda atau pemudi mencapai tahap pubertas, ia harus lagi menempuh ujian mental yang di zaman animisme dinamai mangalontik ipon, sesudah memeluk agama kristen gereja mengharuskan pemuda dan pemudi menempuh ujian setelah mendapat pelajaran agama selama kira-kira satu tahun.

Pada saat meninggal, orang Batak pra-kristen memberikan perhatian yang sangat besar kepada peristiwa kematian. Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba itu sendiri juga merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, alam dibagi atas tiga banua, yaitu : banua ginjang (atas) merupakan banua kuasa kemuliaan Mulajadi Na Bolon, yang dihuni oleh roh-roh suci. Banua tonga (tengah) merupakan alam raya yang dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Banua toru (bawah) merupakan alam bawah yang penuh penderitaan yang dihuni oleh roh-roh jahat.

Keyakinan masyarakat Batak akan adanya hubungan antara orang yang hidup dengan roh orang mati, tercermin dalam berbagai upacara adat yang dilakukan terhadap orang-orang yang akan dan telah mati, seperti: manulangi (menyulangi orang yang akan mati), hamatean (kematian), mangongkal holi

(14)

(menggali tulang belulang), dan pesta pendirian tugu serta pesta tahunan di tugu-tugu marga. Keyakinan ini merupakan dasar utama bagi diselenggarakannya upacara adat.

Upacara-upacara di atas pada hakekatnya merupakan upacara agama hasipelebeguon yang masih tetap dilakukan oleh kebanyakan orang-orang kristen dalam masyarakat Batak sekarang. Sebagian dari mereka melakukannya mungkin saja mengerti akan makna dari upacara tersebut, namun sebagian besar mungkin tidak memiliki pengertian akan latar belakang dan tujuan upacara adat (Gultom, 1992).

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian yang dilakukan oleh Carvalho et al., (1996) telah menemukan bahwa rasio antara tebal dinding posterior ventrikel kiri dengan

No information available regarding specific activities for conservation of individual in national park and protected areas. Routine activities are patrols and field

Penelitian ini dilakukan di SMAN 1 Tan- jung Beringin dengan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana pengaruh pembelajaran Inquiry Training (Latihan Inkuiri) terhadap

Uji sensitivitas Mycobacterium tuberculosis complex terhadap obat anti TB lini pertama pada penelitian ini menunjukkan bahwa isolat monoresisten terhadap rifampisin sebesar 2,86%

Perlu dilakukan pengujian daya antijamur minyak atsiri dan ekstrak limbah simplisia sisa destilasi rimpang kunir putih ( Kaempferia rotunda Linn.) dengan metode

BIT berada di level 3 ( Established ), dimana pada level 3 perusahaan dikatakan telah mencapai tingkat kematangan, ada penyelarasan strategis yang mencirikan bahwa

Hasil pengujian hipotesis penelitian ini membuktikan bahwa muatan etika dalam pengajaran akuntansi keuangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap etis

Dengan melakukan analisa terhadap hasil analisa dokumen rekam medik dan wawancara mendalam dapat kita lihat bahwa upaya pelayanan kesehatan terhadap pasien dengan