• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Terhadap Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris Sehingga Melanggar Legitime Portie Ahli Waris Ditinjau Dari KUHPerdata (Studi Putusan Nomor 188 Pdt.G 2013 PN.Smg)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akibat Hukum Terhadap Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris Sehingga Melanggar Legitime Portie Ahli Waris Ditinjau Dari KUHPerdata (Studi Putusan Nomor 188 Pdt.G 2013 PN.Smg)"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

A. Ketentuan Umum Pewarisan Menurut KUHPerdata

1. Pengertian Hukum Waris

Definisi hukum waris atau pewarisan sangat banyak ditemui dalam

buku-buku tentang waris, pewarisan, hibah, dan lain sebagainya.

Keanekaragaman definisi tersebut berbeda-beda tergantung pada perspektif

kalangan yang membuat definisi. Adapun beberapa definisi tentang hukum

waris yang dikemukakan oleh para ahli hukum antara lain :

a. Wirjono Projodikoro menggunakan istilah “warisan dan

mengartikannya menjadi soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban tentang harta kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup”.50 b. Hazairin menggunakan istilah “hukum kewarisan, yang artinya

peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.51

c. Soepomo menggunakan istilah “hukum waris yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang harta benda dan barang yang tidak berwujud

benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia

(generatie) kepada turunannya. Proses itu telah mulai pada waktu

orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akut

disebabkan oleh orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut”.52

d. Menurut H.M. Idris Ramulyo, “hukum waris ialah himpunan

aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris atau badan

(2)

hukum mana yang berhak mewaris harta peninggalan, bagaimana kedudukan masing ahli waris serta berapa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna”.53

e. Menurut R. Santoso Pudjosubroto, “hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.54

f. Menurut R. Abdul Djamali, “hukum waris adalah ketentuan hukum

yang mengatur tentang nasib kekayaan seseorang setelah meninggal dunia”.55

g. Menurut B. Ter Haar Bzn., “hukum waris adalah aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan perolehan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi”.56

h. Menurut A. Pitlo, “hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini dari orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.57

i. Menurut Gregor van der Burght, “hukum waris adalah himpunan aturan yang mengatur akibat-akibat hukum harta kekayaan pada kematian, peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan orang yang meninggal dunia, dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan peralihan ini bagi para penerimanya, baik dalam hubungan dan perimbangan di antara mereka satu dengan yang lain maupun dengan pihak ketiga”.58

j. Menurut Wahyo Darmabrata, “hukum waris adalah peraturan yang mengatur akibat hukum kematian atau meninggalnya seseorang terhadap harta kekayaan yang ditinggalkan. Dengan kata lain, hukum waris diartikan semua kaidah hukum yang mengatur peralihan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Selain mengatur mengenai nasib harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris, hukum waris juga mengatur siapa di antara para anggota

keluarga pewaris yang berhak untuk mewaris”.59

53

M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 28.

54

R. Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-hari, (Yogyakarta : Hien Hoo Sing, 1964), hal. 8.

55

R. Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung : Mandar Madju, 2002), hal. 112.

56 Cet. Kesatu, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 1.

59

(3)

Meskipun pengertian hukum waris atau pewarisan beranekaragam

dan diambil dari perspektif yang berbeda-beda, namun definisi-definisi

tersebut tetap memiliki kesamaan. Kesamaan ini dirangkum menjadi unsur

pengertian hukum waris atau pewarisan sehingga dapat dikatakan hukum

waris atau pewarisan mengandung beberapa unsur yaitu sebagai berikut :

a. Adanya seorang peninggal warisan (erf later) pada saat wafat

meninggalkan kekayaan. Unsur ini menimbulkan persoalan yaitu bagaimana dan sampai di mana hubungan seorang peninggal warisan dengan kekayaannya yang dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan di mana si peninggal warisan berada.

b. Adanya seorang atau beberapa ahli waris (erf genaam) yang berhak

menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. Unsur ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai di mana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan beralih kepada ahli waris.

c. Adanya harta warisan (halaten schap) yaitu wujud kekayaan yang

ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris itu. Unsur ini menimbulkan persoalan yaitu bagaimana dan sampai mana wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana si peninggal warisan dan ahli waris

bersama-sama berada. 60

2. Penempatan Pengaturan Hukum Waris dan Hukum Harta Kekayaan

Dalam KUHPerdata

Hukum waris dan hukum harta kekayaan sendiri sebenarnya

merupakan bagian yang tidak terlepas dari hukum perdata.61 Sistematika

hukum perdata dibagi menjadi dua macam yaitu sistematika hukum perdata

menurut ilmu pengetahuan hukum (doktrin) dan sistematika hukum perdata

yang terdapat dalam KUHPerdata.62

60

Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), hal. 7-8.

61

Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUHPerdata dan Perkembangannya, (Bandung : Refika Aditama, 2012), hal. 1.

62

(4)

Sistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan (doktrin)

mengelompokkan seluruh ketentuan hukum perdata ke dalam empat bidang

atau subsistem yaitu :

a. Bidang Hukum Orang

Pengelompokkan ini menunjukkan manusia sebagai subjek hukum harus mempunyai ciri khas atau identitas diri, seperti nama, domisili, kewenangan hukum, kecakapan bertindak dalam hukum, pencatatan peristiwa hukum sehubungan dengan hak perorangan.

b. Bidang Hukum Keluarga

Dalam bidang ini, diatur mengenai hukum perkawinan, akibat perkawinan, hubungan hukum antara suami istri serta keturunan, dan lain sebagainya.

c. Bidang Hukum Harta Kekayaan

Bidang ini mengatur objek dari harta kekayaan itu, hubungan manusia dengan benda yang melahirkan hak-hak kebendaan, serta hubungan hukum pribadi lainnya dengan perantaraan benda.

d. Bidang Hukum Waris

Hukum waris mengatur tentang bagaimana pengalihan dari harta

kekayaan yang ditinggalkan tersebut, siapa yang berhak

menerimanya dan bagaimana cara peralihannya. 63

Pengelompokkan hukum perdata di atas didasarkan pada siklus

kehidupan manusia yang harus dilindungi. Siklus ini dimulai sejak seorang

manusia dilahirkan diperlukan hukum atau norma tentang ketentuan orang

sebagai subjek hukum. Manusia kemudian akan membentuk keluarga sesuai

kodratnya dan tidak terlepas dari harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya sehingga diperlukan aturan/petunjuk hidup yang mengatur

bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam membentuk keluarga

dan mengatur harta kekayaannya. Selanjutnya, ketika manusia sebagai

subjek hukum meninggal dunia yang akan menimbulkan masalah tentang

63

(5)

harta kekayaan yang dimilikinya atau ditinggalkannya sehingga diperlukan

hukum atau norma tentang ketentuan hukum waris.

Adapun sistematika hukum perdata menurut KUHPerdata juga

disusun dalam empat kelompok atau pembidangan yang disebut buku dan

masing-masing dibagi dalam beberapa bab, dan kemudian bab tersebut terdiri

dari beberapa bagian dan bagian terdiri dari pasal, serta pasal tersebut

berkemungkinan terdiri dari beberapa ayat, antara lain :

a. Buku Pertama mengatur tentang Orang;

b. Buku Kedua mengatur tentang Benda;

c. Buku Ketiga mengatur tentang Perikatan/Perutangan;

d. Buku Keempat mengatur tentang Pembuktian dan Daluarsa. 64

Jika pembagian atau sistematika dari KUHPerdata dibandingkan

dengan sistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan (doktrin),

maka sebenarnya sistematika KUHPerdata tersebut sudah memuat pembagian

hukum perdata menurut ilmu pengetahuan. Hukum tentang orang dan

keluarga sama-sama diatur dalam Buku Pertama (Orang), hukum waris,

diatur dalam Buku Kedua (Benda), dan Hukum harta kekayaan terperinci

dalam Buku Kedua (Benda) dan Buku Ketiga (Perikatan).65

Pengaturan hukum waris dalam Buku Kedua KUHPerdata yakni Bab

XII sampai dengan Bab XVIII dengan rincian sebagai berikut :

a. Bab XII tentang pewarisan karena kematian;

b. Bab XIII tentang surat wasiat;

64

Ibid., hal. 5.

65

(6)

c. Bab XIV tentang pelaksana wasiat dan pengurusan harta peninggalan;

d. Bab XV tentang hak memikir dan hak istimewa untuk mengadakan

pendaftaran harta peninggalan;

e. Bab XVI tentang menerima atau menolak suatu warisan;

f. Bab XVII tentang pemisahan harta peninggalan; dan

g. Bab XVIII tentang harta peninggalan yang tidak terurus. 66

Penempatan hukum waris dalam Buku Kedua KUHPerdata seperti

terurai di atas masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum,

karena masalah pewarisan tidak hanya mencakup hukum benda saja,

melainkan juga menyangkut aspek hukum lainnya, misalnya hukum

perorangan dan kekeluargaan.67 Namun menurut pembuat Undang-undang,

hukum waris merupakan hak kebendaan yaitu hak kebendaan atas boedel

dari orang yang meninggal dunia sehingga harus diatur dalam Buku Kedua

yang mengatur tentang benda itu sendiri, dan hak-hak atas benda.68

Pendapat tersebut juga diperkuat dengan Pasal 528 KUHPerdata yang

berbunyi “Atas suatu hak kebendaan, seorang dapat mempunyai, baik suatu

kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak waris, baik hak pakai hasil,

baik hak pengabdian tanah, baik hak gadai atau hipotik”69

dan Pasal 584

KUHPerdata yang berbunyi :

“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluarsa, karena pewarisan, baik menurut Undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dank arena penunjukkan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa

66

F.X. Suhardana, Hukum Perdata I Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 20.

67

Surani Ahlan Syarif, Op.cit., hal. 10.

68

Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Loc.cit.

69

(7)

perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”. 70

Terkait dengan penempatan hukum harta kekayaan dalam Buku

Kedua (Benda) dan Buku Ketiga (Perikatan), pembuat Undang-undang

berpendapat bahwa hukum benda dan hukum perikatan merupakan

pembentuk dari hukum harta kekayaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa

hukum harta kekayaan selain memuat aturan atau ketentuan tentang

kebendaan, juga memuat aturan atau ketentuan tentang hubungan hukum

yang bersifat kebendaan, seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa

menyewa, dan lain sebagainya.71

3. Ruang Lingkup Harta Kekayaan Dalam Warisan

Pada dasarnya, hukum waris sangat erat kaitannya dengan hukum

harta kekayaan. Hal ini karena hukum waris mengatur tentang proses

perpindahan harta kekayaan dari orang meninggal dunia (pewaris) kepada

para ahli warisnya. Ruang lingkup harta kekayaan (vermogen) yang dapat

dialihkan meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris

dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.72

Adapun hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan

meskipun mempunyai nilai uang, namun tidak dapat beralih kepada ahli

waris, antara lain :

70

Pasal 548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

71

Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Op.cit., hal. 6.

72

(8)

a. Hubungan kerja atau hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan yang sifatnya sangat pribadi, mengandung prestasi yang kaitannya sangat erat dengan pewaris, misalnya pelukis yang berjanji untuk membuat lukisan potret seseorang (Pasal 1601 KUHPerdata);

b. Keanggotaan dalam suatu perseroan (Pasal 1646 ayat 4

KUHPerdata), sehingga perseroan akan berakhir kalau seorang persero meninggal atau di bawah pengampuan;

c. Lastgeving (Pasal 1813 KUHPerdata), pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa;

d. Hak untuk menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang

di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah perwalian, berakhir dengan meninggalnya si anak (Pasal 314 KUHPerdata);

e. Hak pakai hasil (vruchtgebruik) berakhir dengan meninggalnya orang

yang memiliki hak tersebut (Pasal 807 KUHPerdata); dan

f. Hak bunga cagak hidup (lijfrente) berakhir dengan meninggalnya

orang yang memiliki hak tersebut (Pasal 1776 jo. Pasal 1779

KUHPerdata). 73

Selain dalam lapangan hukum harta kekayaan, hak dan kewajiban

dalam lapangan hukum keluarga juga ada yang dapat diwariskan kepada ahli

waris antara lain :

a. Hak suami untuk menyangkal keabsahan anak dapat dilanjutkan oleh

ahli warisnya (Pasal 257 jo. Pasal 252 jo. Pasal 259 KUHPerdata); dan

b. Hak untuk menuntut keabsahan anak dapat pula dilanjutkan oleh ahli

warisnya, kalau tuntutan tersebut sudah diajukan oleh anak yang menuntut keabsahan, yang sementara perkaranya berlangsung telah meninggal dunia (Pasal 269 KUHPerdata, Pasal 270 KUHPerdata,

dan Pasal 271 KUHPerdata). 74

Hak mengingkari keabsahan anak dan hak menuntut keabsahan anak

itu tidak hilang dengan sendirinya meskipun si bapak atau si anak meninggal

(9)

digunakan namun belum selesai diputus. Terkait dengan hak mengingkari

anak, adapun pembatasan waktu yang harus dipatuhi yaitu hak si bapak dari

anak yang akan diingkari keabsahannya harus digunakan dalam jangka waktu

satu bulan (kalau ia berada di tempat anak tersebut dilahirkan) dan 2 bulan

sesudah ia kembali (kalau ia tidak berada di tempat pada waktu anak tersebut

dilahirkan) atau sejak diketahui olehnya kalau kelahiran anak tersebut

dirahasiakan.75

4. Syarat dan Prinsip Umum Pewarisan

Sebagai salah satu cara memperoleh hak kebendaan, suatu peralihan

dikatakan pewarisan apabila memenuhi syarat-syarat umum sebagai berikut:

a. Pewarisan hanya terjadi karena kematian (Pasal 830 KUHPerdata),

yang dimaksud kematian di sini adalah kematian alamiah dan wajar (natuurlijke dood), bukan kematian perdata (burgelijke dood)

sebagaimana diatur dalam Pasal 718 Code Civil dan tidak dikenal

dalam hukum positif di Indonesia. Jika seseorang disangka meninggal dunia, maka harta bendanya akan berpindah kepada orang-orang yang disangka akan menjadi ahli warisnya sepanjang pemindahan itu bersifat sementara dan dengan syarat. Oleh karena itu, jika suatu ketika orang yang disangka meninggal dunia itu masih hidup maka harta bendanya menjadi miliknya lagi dan berhak menuntutnya dari

orang-orang yang diduga sebagai ahli warisnya.76

b. Ahli waris harus ada atau hidup pada waktu warisan terbuka (Pasal

836 KUHPerdata). Namun pada Pasal 2 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya”.77

Dari pasal ini, dapat disimpulkan bahwa Pasal 2 KUHPerdata adalah pengecualian dari Pasal 836 KUHPerdata. Terkait kedudukan bayi dalam kandungan, Pasal 2 ayat 2 KUHPerdata dengan jelas mengatur bahwa bayi dalam kandungan ibu dianggap sebagai subjek hukum dengan syarat telah dibenihkan, lahir

75

J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 13.

76

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit., hal. 4.

77

(10)

dalam keadaan hidup, dan ada kepentingan yang menghendakinya

(warisan).78

Terkadang dalam hal pewarisan timbul suatu keadaan di mana tidak

dapat diketahui siapakah yang mati terlebih dahulu antara pewaris dan ahli

waris karena mereka meninggal dunia dalam keadaan dan waktu yang sama.

Oleh karena itu, digunakan ketentuan dalam Pasal 831 KUHPerdata yang

berbunyi :

“Jika beberapa orang, di mana yang satu dipanggil sebagai ahli waris dari yang lain, meninggal dunia dalam kecelakaan yang sama, atau pada hari yang sama tanpa diketahui mana yang meninggal lebih dahulu, maka diadakan dugaan bahwa mereka meninggal pada saat yang sama, sehingga tidak ada peralihan harta peninggalan dari yang satu kepada yang lain”. 79

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa pewaris dan ahli waris yang

sama-sama meninggal dunia dalam waktu dan keadaan yang sama-sama tidak saling

mewarisi satu sama lain. Jika ada bantahan bahwa pewaris dan ahli waris

meninggal tidak pada saat yang sama, maka bantahan itu harus dibuktikan

karena perbedaan waktu meninggal walaupun satu detik saja dianggap tidak

meninggal bersama-sama.80

Dalam hukum waris, setelah seseorang meninggal dunia, maka pada

saat itu juga segala hak dan kewajibannya beralih dengan sendirinya kepada

para ahli warisnya. Hal tersebut secara jelas diatur dalam Pasal 833 ayat 1

KUHPerdata dan disebut dengan prinsip saisine yang berasal dari bahasa

Perancis yakni le mort saisit le vif, artinya yang mati dianggap digantikan

78

Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 14-15.

79

Pasal 831 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

80

(11)

oleh yang masih hidup.81 Hak dan kewajiban berupa keuntungan dan utang

yang diperoleh secara mewaris disebut dengan titel umum (algemene titel)

sehingga tidak perlu dengan penyerahan atau levering.82

Selain prinsip saisine, hukum waris juga mengenal prinsip

hereditatis petitio yang artinya hak menuntut bagian dari harta warisan (Pasal

834 KUHPerdata). Dengan adanya prinsip ini, maka setiap ahli waris berhak

menuntut setiap barang atau uang yang termasuk harta peninggalan untuk

diserahkan kepadanya apabila harta peninggalan itu dikuasai oleh orang lain.

Prinsip hereditatis petitio ini menjadi gugur karena daluarsa dengan tenggang

waktu selama 30 (tiga puluh) tahun (Pasal 835 KUHPerdata).83

Hukum waris KUHPerdata menganut sistem pembagian waris

berdasarkan individual. Oleh karena itu, harta warisan dibagikan berdasarkan

jumlah ahli waris dengan menganut asas persamaan yang berarti bagian

laki-laki dan perempuan adalah sama. Adapun prinsip pembagian warisan yakni

dalam Pasal 1066 KUHPerdata yang berisi :

a. Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan

diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tak terbagi;

b. Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu

perjanjian yang bertentangan dengan itu;

c. Dapat diperjanjikan bahwa pembagian harta benda itu

dipertangguhkan selama waktu tertentu; dan

d. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun, tetapi

dapat diadakan lagi jika tenggang lima tahun itu telah lalu. 84

81

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit., hal. 6.

82

Effendi Perangin, Op.cit., hal. 8.

83

Pasal 835 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

84

(12)

Dengan pasal di atas, ketika pewaris meninggal dunia, segala harta miliknya

akan langsung dibagi-bagikan kepada ahli waris. Jika hal tersebut tidak

dilakukan, para ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan segera

dibagikan, walaupun ada perjanjian yang bertentangan dengan itu. Dengan

kesepakatan ahli waris, dimungkinkan juga penangguhan atau penahanan

pembagian harta warisan, namun penangguhan atau penahanan tersebut tidak

boleh lewat dari lima tahun, kecuali dalam keadaan luar biasa.85

5. Jenis-jenis Pewarisan

Berdasarkan KUHPerdata, dikenal dua macam pewarisan yaitu

sebagai berikut :

a. Pewarisan secara ab-intestato

yakni pewarisan dilakukan menurut ketentuan Undang-undang di mana hubungan darah merupakan faktor penentu dalam hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris.

b. Pewarisan secara testamentair

yakni pewarisan terjadi karena ditunjuk atau ditetapkan dalam suatu

surat wasiat atau testament yang ditinggalkan oleh pewaris. 86

Pewarisan secara ab-intestato sepenuhnya mengikuti ketentuan

dalam KUHPerdata dan digunakan apabila pewaris tidak membuat ketentuan

lain dalam surat wasiat. Lain halnya jika pewaris membuat wasiat, maka

wasiat lebih diutamakan sehingga terjadilah pewarisan secara testamentair.

Hal ini tercantum secara jelas pengaturannya dalam Pasal 874 KUHPerdata

yang menyatakan bahwa “Seluruh harta kekayaan yang meninggalkan

85

N.M. Wahyu Kuncoro, Hukum Waris Permasalahan dan Solusinya, (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2015), hal. 32.

86

(13)

seseorang pada saat kematiannya, menjadi hak kepunyaan para ahli warisnya

menurut Undang-undang, sepanjang mengenai hal itu tidak diadakannya

suatu ketetapan yang sah dengan surat wasiat”. 87

Hal-hal yang termuat dalam

surat wasiat dapat menyimpang dari ketentuan yang termuat dalam

Undang-undang, namun ada ahli waris tertentu yakni para ahli waris dalam garis lurus

baik ke atas maupun ke bawah tidak dapat sama sekali dikecualikan. Mereka

kemudian dijamin dengan adanya ketentuan Pasal 913 KUHPerdata yaitu

ketentuan bagian mutlak atau legitime portie.

Pewarisan secara ab-intestato sendiri terbagi menjadi dua macam

yakni mewaris berdasarkan kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde) dan

mewaris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling). Adapun istilah lain

mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) yaitu disebut juga

mewaris secara langsung.88 Pewarisan yang dimaksud menganut asas

individual di mana mereka yang terpanggil untuk mewaris dikarenakan

kedudukan atau haknya sendiri. Dasar hukum pewarisan berdasarkan

kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) terdapat pada Pasal 852 ayat 2

KUHPerdata yang berbunyi “Mereka mewaris kepala demi kepala, jika

dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat ke satu dan

masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewaris pancang

demi pancang, jika sekalian mereka atau sekadar sebagian mereka bertindak

sebagai pengganti”. 89

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang

mewaris dengan kedudukannya sendiri dalam susunan keluarga pewaris

87

Pasal 874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

88

Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 18.

89

(14)

mempunyai posisi yang memberikannya hak untuk mewaris. Hak yang

dimaksud bukanlah hak menggantikan hak orang lain melainkan murni

haknya sendiri sehingga tiap-tiap ahli waris tersebut yang mewaris kepala

demi kepala menerima bagian yang sama besarnya.

Adakalanya, ahli waris yang mewaris dengan kedudukannya sendiri

(uit eigen hoofde) berhalangan untuk mewarisi harta peninggalan pewaris,

baik dikarenakan tidak patut mewaris (Pasal 838 KUHPerdata) ataupun

karena keinginannya sendiri menolak warisan (Pasal 1058 KUHPerdata).

Terkait dengan kondisi tidak patut mewaris (onwaardig), maka keturunan

yang sah dari ahli waris yang tidak patut mewaris itu yang menerima warisan.

Hal ini didasarkan pada Pasal 840 KUHPerdata yang menyatakan :

“Apabila anak-anak dari seorang yang telah dinyatakan tak patut menjadi waris, atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka tidaklah mereka karena kesalahan orang tua tadi, dikecualikan dari pewarisan; namun orang tua itulah sama sekali tak berhak menuntut supaya diperbolehkan menikmati hasil barang-barang dari warisan, yang mana, menurut Undang-undang hak nikmat hasilnya diberikan orang tua atas

barang-barang anaknya.” 90

Terkait dengan pasal di atas, keturunan yang sah dari ahli waris yang tidak

patut mewaris ini bukanlah menggantikan kedudukan orang tuanya karena

orang tuanya masih hidup, melainkan mereka mewaris berdasarkan

kedudukannya sendiri dan masing-masing dari mereka mendapatkan bagian

yang sama besar.

Hampir sama dengan kondisi tidak patut mewaris, ahli waris yang

mewaris dengan kedudukannya sendiri (iut eigen hoofde) namun menolak

90

(15)

warisan, maka keturunan dari mereka yang menolak warisan yang akan

mendapatkan warisan. Dasar hukumnya ada pada ketentuan Pasal 1060

KUHPerdata yang menyatakan :

“Siapa yang telah menolak suatu warisan, tidak sekali-sekali dapat diwakili dengan cara pergantian; jika ia satu-satunya yang ahli waris dalam derajatnya, ataupun jika kesemua ahli waris menolak, maka sekalian anak-anak tampil ke muka atas dasar kedudukan mereka sendiri dan mewaris untuk bagian yang sama.” 91

Dengan pasal tersebut, disimpulkan bahwa keturunan yang sah dari ahli waris

yang menolak warisan ini bukanlah menggantikan kedudukan orang tuanya

karena orang tuanya masih hidup, melainkan mereka mewaris berdasarkan

kedudukannya sendiri dan masing-masing dari mereka mendapatkan bagian

yang sama besar.

Selain mewaris dengan kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde),

mewaris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling) juga merupakan salah

satu jenis pewarisan secara ab-intestato. Pengertian mewaris berdasarkan

penggantian (bij plaatsvervulling) yakni pewarisan di mana ahli waris

mewaris menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah

meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris (Pasal 852 ayat 2 KUHPerdata).92

Dalam KUHPerdata, mewaris karena penggantian lebih rinci diatur dalam

Pasal 841 KUHPerdata sampai dengan Pasal 848 KUHPerdata. Mewaris

dengan penggantian juga disebut dengan perwakilan atau vertegenwoordigen,

dengan maksud untuk memperoleh pengertian yang tepat mengenai

91

Pasal 1060 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

92

(16)

penggantian tempat. Namun, sebaiknya istilah perwakilan tidak digunakan

karena keluarga sedarah yang jauh tidak mewakili yang meninggal terlebih

dahulu serta tidak bertindak atas orang tersebut, melainkan hanya

menggantikan tempatnya yang terbuka karena kematian.93

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pewarisan

berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling) yaitu sebagai berikut :

a. Ditinjau dari orang yang digantikan

Dasar hukum Pasal 847 KUHPerdata yang berbunyi : “Tiada seorang

pun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku penggantinya”.94

b. Ditinjau dari orang yang menggantikan, maka haruslah :

1) Keturunan sah dari yang digantikan, termasuk keturunan sah dari

anak luar kawin, namun anak luar kawin tidak berwenang untuk itu; dan

2) Memenuhi syarat untuk mewaris pada umumnya yaitu hidup

pada saat warisan terbuka (Pasal 836 KUHPerdata, dengan pengecualian Pasal 2 ayat 2 KUHPerdata tentang bayi dalam kandungan), bukan orang yang dinyatakan tidak patut mewaris, serta tidak ditiadakan hak mewarisnya oleh pewaris dengan surat wasiat. 95

Dari syarat di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang digantikan

harus meninggal terlebih dahulu dari pewaris karena tidak ada penggantian

waris bagi orang yang masih hidup. Selain itu, orang yang menggantikan

harus keturunan sah dari yang digantikan karena dalam pewarisan dengan

penggantian (bij plaatsvervulling) lebih dipentingkan hubungan hukum antara

pewaris dengan ahli waris. Jika ternyata orang yang digantikan tersebut tidak

patut mewaris (onwaardig) atau menolak warisan (verwerpen), maka

93

Kelompok Belajar Esa, Hukum Waris Bagian I, Literatur Wajib Pada Jurusan Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta : Penerbit Esa, 1979), hal. 28.

94

Pasal 847 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

95

(17)

keturunan dari orang yang tidak patut atau menolak warisan tersebut ini

mendapat warisan bukan karena penggantian, melainkan berdasarkan

kedudukannya sendiri (Pasal 840 KUHPerdata dan Pasal 1060

KUHPerdata).96 Hal ini karena syarat utama atau prinsipal dari pewarisan

dengan penggantian (bij plaatsvervulling) ini tidak terpenuhi yakni

kedudukan ahli waris yang masih hidup tidak dapat digantikan oleh ahli

warisnya.

Dalam KUHPerdata, juga dikenal tiga macam penggantian tempat,

yaitu :

a. Pergantian tempat dalam garis lurus ke bawah.

Berdasarkan Pasal 842 KUHPerdata, pergantian tempat ini berlangsung terus tanpa batas. Dalam segala hal pergantian ini diperbolehkan, baik bilamana ada beberapa anak pewaris yang mewaris bersama-sama dengan keturunan dari seorang anak yang telah meninggal terlebih dahulu, maupun dalam hal semua keturunan mereka mewaris secara bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.

b. Pergantian tempat dalam garis menyamping.

Berdasarkan Pasal 844 KUHPerdata, warisan harus dibagi antara semua keturunan saudara-saudara yang meninggal dunia terlebih dahulu itu, walaupun keturunan tersebut pada derajat yang tidak sama.

c. Pergantian tempat dalam garis menyamping yang lebih jauh daripada

saudara sekandung.

Berdasarkan Pasal 845 KUHPerdata, pergantian tempat yang dimaksud hanya terbatas bagi keturunan dari saudara sekandung yang telah mendahului meninggal dari seorang yang mempunyai hubungan

darah terdekat dengan orang yang meninggalkan warisan. 97

KUHPerdata memperbolehkan pergantian tempat dalam garis lurus

ke bawah dan menyamping, namun tidak untuk garis lurus ke atas. Hal ini

96

Pasal 840 dan Pasal 1060 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

97

(18)

dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 843 KUHPerdata yang berbunyi “Tiada

penggantian terhadap keluarga garis menyamping ke atas, keluarga sedarah

ke atas mewaris kepala demi kepala. Keluarga terdekat dalam garis

menyamping menutup semua keluarga dalam perderajatan lebih jauh”.98

Terkait dengan penggantian tempat anak luar kawin yang diakui, jika pewaris

hanya meninggalkan anak luar kawin maka berdasarkan Pasal 873 ayat 1

KUHPerdata, anak luar kawin dapat menuntut seluruh harta warisan untuk

diri sendiri dengan mengesampingkan Negara.99

Selain pewarisan secara ab-intestato, pewarisan juga dapat terjadi

secara wasiat atau testamentair. Suatu akta wasiat atau testamen berisi apa

yang dikehendaki seseorang setelah meninggal dunia. Pada asasnya, suatu

pernyataan kemauan adalah datang dari satu pihak saja (eenzigdig) dan setiap

waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Penarikan kembali itu

(herrolpen) boleh secara tegas (uitdrukkelijk) atau secara diam-diam

(stilzwijgend).100 KUHPerdata secara jelas melarang dua orang atau lebih

menyatakan kemauan terakhir dalam surat wasiat atau testamen yang sama.

Hal ini terdapat pada Pasal 930 KUHPerdata yang berbunyi “Dalam satu

-satunya akta, dua orang atau lebih tak diperbolehkan menyatakan wasiat

mereka baik untuk mengaruniai seorang ketiga maupun atas dasar pernyataan

bersama atau bertimbal balik”. 101

98

Pasal 834 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

99

Pasal 873 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

100

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2005), hal. 107.

101

(19)

Adapun pewarisan berdasarkan wasiat diatur dalam beberapa pasal

dalam KUHPerdata yaitu sebagai berikut :

a. Menurut Pasal 875 KUHPerdata, “wasiat adalah akta yang memuat kehendak terakhir setelah pewaris meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali”.

b. Menurut Pasal 888 KUHPerdata, “dalam surat wasiat, syarat-syarat

yang tidak dimengerti atau tidak mungkin dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan yang baik, dianggap sebagai tidak tertulis”.

c. Menurut Pasal 890 KUHPerdata, “Jika di dalam testamen disebut

sebab yang palsu, dan isi dari testamen itu menunjukkan bahwa

pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan

kepalsuannya, maka testamen tidaklah sah”.

d. Menurut Pasal 893 KUHPerdata, “suatu testamen adalah batal, jika

dibuat secara paksa, tipu atau muslihat”.

e. Menurut Pasal 895 KUHPerdata, “untuk dapat membuat atau menarik kembali surat wasiat, orang harus mempunyai kemampuan bernalar”.

f. Menurut Pasal 897 KUHPerdata, “seseorang yang belum dewasa (belum genap delapan belas tahun) tidak diperbolehkan membuat surat wasiat”. 102

Dari pasal-pasal di atas, dapat diketahui bahwa surat wasiat adalah

kehendak terakhir dari pewaris dan harus dilaksanakan sebagai wujud hormat

terhadap orang yang meninggal dunia. KUHPerdata tidak memberikan

batasan usia maksimum seseorang yang dapat membuat surat wasiat. Yang

diatur dalam KUHPerdata adalah batas usia minimum seseorang yang dapat

membuat wasiat. Oleh karena itu, terkait dengan batas usia maksimum

seseorang dapat membuat surat wasiat, disimpulkan tidak ada pembatasan

usia maksimum karena selama orang tersebut berakal budi atau mempunyai

kemampuan bernalar, maka ia dapat membuat surat wasiat.

102

(20)

Lazimnya, surat wasiat berisi mengenai ketetapan tentang harta

peninggalan, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa ada juga surat wasiat

yang berisi tentang hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan

harta peninggalan. Lebih rinci, surat wasiat dapat berisi hal-hal sebagai

berikut :

a. Pengangkatan waris untuk seluruh atau sebagian dari harta

peninggalan pewaris. Namun ada perbedaan penting antara ahli waris

ab-intestato dengan ahli waris yang diangkat dengan suatu testamen

(erfstelling), yakni pewarisan testamentair tidak mengenal pergantian

tempat (bij plaatsvervulling) serta ahli waris testamentair tidak

menikmati inbreng.103

b. Wasiat yang berisi pemberian suatu benda tertentu atau hibah wasiat

(legaat). Menurut Vollmar, “kata barang-barang jenis tertentu

menunjuk pada benda atau zaak dan zaak itu dapat berupa benda

berwujud maupun tidak berwujud. Bahkan, legaat juga meliputi

hak-hak yang sebenarnya tidak ada di dalam warisan pewaris, tetapi diwajibkan kepada seorang ahli waris untuk dikatakan demi legataris.104

c. Wasiat yang berisi hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan

dengan harta peninggalan, misalnya sebagai berikut :

1) Pengangkatan waris dan penunjukan orang yang akan menerima

legaat (legataris);

2) Suatu perintah (last), bisa suatu kewajiban melakukan atau

larangan untuk melakukan tindakan tertentu atau perintah pemberian barang kepada orang tertentu;

3) Pencabutan wasiat yang terdahulu;

4) Menawarkan suatu barang termasuk dalam harta warisan untuk

dibeli, menerima penawaran dalam suatu testamen disebut oblaat;

5) Memberikan suatu hak kebendaan tertentu atau membebaskan

suatu utang;

6) Menyingkirkan (onterven) seorang atau beberapa orang ahli

waris; dan

7) Mengangkat seorang wali dan seorang testamentair executoir

(pelaksana wasiat) atau mengakui seorang anak. 105

(21)

Pada prinsipnya, wasiat harus dibuat dengan bantuan notaris, tetapi

ada juga wasiat yang dapat dibuat dengan akta di bawah tangan, asal isinya

mengenai pengangkatan pelaksana wasiat (executeur trstamentair),

penyelenggaraan penguburan, serta menghibahkan pakaian, perhiasan

tertentu, dan mebel yang tertentu. Wasiat seperti itu dinamakan codicil.106

Codicil harus ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pewaris dan diberi

tanggal.

6. Ahli Waris Dalam Hukum Waris KUHPerdata

Berdasarkan cara memperoleh warisan, maka ahli waris dalam

hukum waris KUHPerdata terbagi atas :

a. Ahli waris ab-intestato adalah ahli waris yang ditentukan berdasarkan

Undang-undang. Ahli waris ini berlaku bagi orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan pewaris atau dengan kata lain

mereka adalah anggota keluarga pewaris.107 Namun, semua keluarga

sedarah pewaris tidak sekaligus mewaris terhadap pewaris, melainkan yang lebih dekat pertaliannya lebih didahulukan daripada yang lebih jauh pertaliannya.

Yang termasuk dalam ahli waris ab-intestato ialah suami atau isteri

(duda atau janda) dari si pewaris, keluarga sedarah yang sah (wettige

bloedverwanten), dan keluarga alami (natuurlijke bloedverwanten).

Sedangkan, untuk keluarga semenda (aanverwanten) dari pewaris

tidak mewaris berdasarkan Undang-undang. Keluarga semenda (aanverwanten) hanya berhak mewaris jika pewaris menunjuk atau

mengangkatnya sebagai ahli waris dengan surat wasiat.108

b. Ahli waris testamentair yaitu semua orang yang diangkat oleh

pewaris dengan surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya. Yang dapat

diangkat sebagai ahli waris testamentair tersebut boleh semua orang,

sepanjang orang itu tidak dilarang oleh Undang-undang menjadi ahli waris, misalnya Pasal 904 KUHPerdata yang menyatakan bahwa

“seorang anak di bawah umur, meskipun telah mencapai usia delapan

(22)

belas tahun, tidak boleh menghibahwasiatkan sesuatu untuk keuntungan walinya”.109

Khusus terkait ahli waris ab-intestato, ada pengaturannya secara

rinci dan khusus dalam Undang-undang (KUHPerdata) yang harus ditaati.

Keluarga sedarah sah dalam pewarisan ab-intestato tidak mewaris sekaligus

atau bersamaan, melainkan ada orang yang lebih didahulukan dari yang lain

melalui urutan jalan tertentu. Urutan tersebut diatur oleh KUHPerdata dengan

membagi seluruh keluarga sedarah dari pewaris dalam empat golongan atau

tingkatan ahli waris. Berdasarkan urutan haknya dalam menerima warisan,

golongan atau tingkatan ahli waris ab-intestato secara garis besar yaitu

sebagai berikut:

a. Golongan I terdiri dari anak-anak dan keturunan selanjutnya serta

isteri atau suami;

b. Golongan II terdiri dari ayah, ibu, saudara, saudari, serta keturunan

dari saudara dan saudari;

c. Golongan III terdiri dari kakek dan nenek seterusnya ke atas baik dari

pihak ayah maupun dari pihak ibu (keluarga sedarah lurus ke atas di luar ayah dan ibu); dan

d. Golongan IV terdiri dari keluarga sedarah garis ke samping di luar

saudara dan saudari. 110

Ahli waris golongan I erat kaitannya dengan Pasal 852 KUHPerdata

yang berbunyi :

“ Anak-anak atau sekalian keturunannya mereka walaupun dilahirkan dari lain-lain perkawinan, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek atau semua keluarga sedarah mereka dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan tiada perbedaan berdasarkan kelahirannya terlebih dahulu. Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka berkaitan keluarga dalam derajat kesatu dan

109

Pasal 904 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

110

(23)

masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewaris pancang demi pancang, jika mereka semua atau sebagian dari mereka bertindak sebagai pengganti”. 111

Dari pasal tersebut, dapat diketahui bahwa ahli waris golongan I

adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah meliputi anak-anak beserta

keturunannya dengan bagian yang sama besar, mewaris kepala demi kepala

dan mengenal penggantian,112 serta tanpa membedakan jenis kelamin, waktu

kelahiran dari perkawinan pertama atau kedua, serta tidak ada perbedaan

antara anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu . Hal ini berbeda dengan

sistem hukum di Inggris di mana berlaku apa yang dinamakan the right of

primogeniture (hak anak yang lahir pertama atau anak sulung). Dengan asas

tersebut, di Inggris jika seorang ayah meninggal dunia meninggalkan tiga

orang anak laki-laki, maka seluruh warisannya jatuh pada anak sulung

sedangkan adik-adiknya tidak memperoleh apapun.113

Sepanjang memperoleh pewarisan ab-intestato, kedudukan janda

atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan pewaris yang hidup paling

lama) disamakan dengan kedudukan anak terhitung sejak tanggal 1 Januari

1936 berdasarkan Staatsblad nomor 486 tahun 1935. Sebelumnya, kedudukan

janda atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan pewaris yang hidup paling

lama) tersebut hanya berhak mewaris jika pewaris tidak meninggalkan

keluarga sedarah sampai derajat kedua belas.114

111

Pasal 852 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

112

Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Dasar-dasar Hukum Waris Barat : Suatu Pembahasan Teoretis dan Praktik), (Bandung : Tarsito, 1988), hal. 8.

113

M. U. Sembiring, Op.cit., hal.23-24.

114

(24)

Dalam hal pembagian warisan, berdasarkan Pasal 852 (a)

KUHPerdata, bagian janda atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan

pewaris yang hidup paling lama) dari perkawinan pertama adalah sama besar

dengan bagian anak, kecuali bagian janda atau duda (suami atau istri yang

ditinggalkan pewaris yang hidup paling lama), mendapat bagian maksimal ¼

(seperempat) bagian dari harta warisan atau tidak boleh melebihi bagian anak

yang terkecil, apabila dari perkawinan pertama dilahirkan anak.115

Selanjutnya, pembagian warisan untuk ahli waris golongan II

mengacu pada Pasal 854 KUHPerdata, Pasal 857 KUHPerdata, dan Pasal 859

KUHPerdata yakni sebagai berikut :

a. Orang tua menerima bagian yang sama dengan bagian saudara

laki-laki atau perempuan tetapi tidak kurang dari ¼ (seperempat) (Pasal

854 ayat 2 KUHPerdata);116

b. Jika hanya ada orang tua (bapak dan ibu), maka bapak dan ibu

masing-masing menerima ½ (setengah) bagian. Apabila hanya ada ahli waris bapak atau ibu saja, maka bapak atau ibu yang hidup terlama mendapatkan seluruh harta peninggalan (Pasal 855

KUHPerdata);117

c. Masing-masing orang tua menerima 1/3 (sepertiga) bagian, jika

kecuali mereka masih ada seorang saudara laki-laki atau perempuan

(Pasal 854 KUHPerdata);118

d. Jika hanya ada seorang ibu atau bapak dan seorang saudara laki-laki

atau perempuan, maka ibu atau bapak itu mendapat ½ (setengah), dan bila ada dua orang saudara perempuan, maka ia mendapat 1/3 (sepertiga) dan bila tiga atau lebih saudara laki-laki atau perempuan,

maka ia mendapat ¼ (seperempat) bagian (Pasal 855

KUHperdata);119

e. Apabila bagian orang tua yang sudah ditentukan, maka sisanya dibagi

antara saudara laki-laki atau perempuan untuk bagian yang sama, bila semuanya itu saudara-saudara sekandung atau semuanya sebapak

115

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung : Refika Aditama, 2005), hal. 30.

116

Pasal 854 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

117

Pasal 855 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

118

Pasal 854 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

119

(25)

atau seibu. Apabila saudara-saudara itu dari perkawinan yang berlainan, maka sisanya harta peninggalan setetlah dikurangi bagian

orang tua dibelah menjadi dua (sistem kloving), sebagian untuk garis

bapak dan sebagian untuk garis ibu, saudara-saudara kandung mendapat bagian dari dua garis tersebut. Sedangkan mereka yang setengah hanya mendapat bagian dari garis di mana mereka berada

(Pasal 857 KUHPerdata).120

Mencermati pengaturan di atas, dapat disimpulkan bahwa ahli waris

golongan II adalah keluarga dalam garis lurus ke atas dan menyamping

meliputi orang tua, saudara-saudara laki-laki dan perempuan dan

keturunannya. Perlu diingat bahwa ahli waris golongan II hanya mewaris jika

si pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan janda atau duda dan/atau

keturunannya (ahli waris golongan I) atau jika janda atau duda dan/atau

keturunannya (ahli waris golongan I) menolak atau tidak patut menerima

warisan.

Selanjutnya, ahli waris golongan III meliputi leluhur (adscendent)

yang lebih jauh dari ayah dan ibu berupa kakek dan nenek seterusnya ke atas

baik dari sisi ayah maupun dari sisi ibu. Ahli waris ini hanya mewaris jika si

pewaris tidak mempunyai baik ahli waris golongan I dan ahli waris golongan

II.121 Mengacu pada Pasal 850 KUHPerdata dan Pasal 853 ayat 1

KUHPerdata, harta peninggalan harus dibagi atau dibelah atau kloving

menjadi dua bagian yang sama besarnya, satu bagian untuk semua keluarga

sedarah dalam garis si bapak lurus ke atas serta satu bagian lainnya untuk

semua keluarga sedarah yang sama dalam garis si ibu. Ahli waris yang

120

Pasal 857 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

121

(26)

terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah dari bagian

dalam garisnya, dengan mengesampingkan semua ahli waris lainnya (Pasal

853 ayat 2 KUHPerdata).122 Semua keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas

dalam derajat yang sama mendapat bagian yang sama besar secara kepala

demi kepala (Pasal 853 ayat 3 KUHPerdata).123

Para ahli waris golongan IV ialah semua keluarga sedarah garis ke

samping di luar saudara saudari dan keturunannya yang dibatasi sampai

dengan derajat keenam, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu (Pasal

861 KUHPerdata). Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah

dalam derajat yang mengizinkan untuk mewaris, maka semua keluarga

sedarah dalam garis yang lain memperoleh warisan (Pasal 861 ayat 2

KUHPerdata). Pertama-tama harta peninggalan dibelah menjadi dua, sebagian

untuk pihak bapak dan sebagian lainnya untuk pihak ibu. Apabila ada salah

satu pihak tidak terdapat ahli waris yang berhak menerima sampai derajat

keenam, maka bagian itu dipindahkan ke pihak yang lain dan pihak lain itu

mewaris seluruh harta peninggalan, dibagi menurut pasal-pasal yang ada.124

Selain golongan-golongan di atas, anak luar kawin juga merupakan

salah satu ahli waris ab-intestato apabila diakui. Dengan kata lain, apabila

anak luar kawin tidak diakui sah oleh ayahnya, maka mereka tidak dapat

menuntut haknya atas harta warisan karena tanpa pengakuan, tidak ada

hubungan perdata antara anak tersebut dengan orang tuanya serta tanpa

122

Pasal 853 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

123

Pasal 853 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

124

(27)

hubungan perdata, maka tidak ada pula hubungan pewarisan antara mereka.125

Anak luar kawin baru mendapat bagian dari warisan apabila ia diakui oleh

ayahnya (berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata lahirlah hubungan perdata

antara si anak dengan si ayah).126

Tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun anak luar kawin yang diakui

mempunyai hak waris terhadap orang tuanya, namun hak warisnya bersifat

inferior jika dibandingkan dengan hak waris anak-anak sah karena anak luar

kawin tidak mempunyai hak waris tersendiri, artinya anak luar kawin akan

selalu mewaris bersama-sama dengan keluarga sedarah pewaris (salah satu

dari empat golongan ahli waris ab-intestato), kecuali jika pewaris sama sekali

tidak meninggalkan keluarga sedarah serta bagian yang diterima anak luar

kawin adalah lebih kecil dari bagian yang seharusnya diterima sekiranya ia

anak sah.127

Ada dua macam pewarisan anak luar kawin yaitu sebagai berikut :

a. Hak waris aktif anak luar kawin (Pasal 862 KUHPerdata sampai

dengan Pasal 866 KUHPerdata, Pasal 872 KUHPerdata, dan Pasal 873 ayat 1 KUHPerdata).

Dalam pembagian warisan, anak luar kawin mewaris bersama dengan semua golongan ahli waris. Besar bagian yang diterima anak luar kawin tergantung dengan golongan mana anak luar kawin tersebut mewaris, atau tergantung dari derajat hubungan

kekeluargaan dari para ahli waris yang sah.128

Jika anak-anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan keturunan yang sah dari pewaris atau dengan suami atau istri (golongan I), maka anak-anak luar kawin mewaris 1/3 (sepertiga) dari bagian, yang sedianya mereka akan mendapat bagian andaikata mereka anak-anak sah. Kemudian, apabila anak luar kawin mewaris bersama-sama saudara-saudara dan/atau orang tua dari si pewaris

125

M. U. Sembiring, Op.cit., hal. 46.

126

R.H. Soerojo Wongsowidjojo, Op.cit., hal. 28.

127

M.U. Sembiring, Loc.cit.

128

(28)

(golongan II), maka bagian anak luar kawin yang diakui sah adalah sebesar ½ (setengah) bagian dari harta peninggalan. Jika anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan golongan III, maka bagiannya adalah ½ (setengah) dari harta peninggalan. Jika anak luar kawin mewaris bersama golongan IV, maka ia mendapat ¾ (tiga per empat) bagian dari seluruh harta peninggalan. Khusus bila anak luar kawin mewaris bersama dengan golongan III dan IV, maka yang menjadi dasar perhitungan adalah golongan terdekat dengan si pewaris, yakni golongan III. Anak luar kawin akan mendapat seluruh harta warisan apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris yang sah (golongan I sampai IV).

b. Hak waris pasif anak luar kawin (Pasal 870 KUHPerdata, Pasal 871

KUHPerdata, Pasal 873 ayat 2 dan 3 KUHPerdata).

Menurut Pasal 866 KUHPerdata, jika seorang anak luar kawin meninggal dunia, maka sekalian anak dan keturunannya yang berhak menuntut bagian-bagian yang diberikan kepada mereka menurut Pasal 863 KUHPerdata dan Pasal 865 KUHPerdata. Selain anak-anak yang sah, suami atau istri anak-anak-anak-anak luar kawin yang diakui sah juga berhak mendapat warisan. Bapak atau ibu yang mengakui sah seorang anak luar kawin baru terpanggil sebagai ahli waris, bila anak luar kawin itu tidak meninggalkan keturunan yang sah dan/atau suami atau istri (Pasal 870 KUHPerdata). Dalam hal hanya bapak dan ibu yang terpanggil menjadi ahli waris anak luar kawin yang diakui, maka bapak dan ibu masing-masing mendapat ½ (setengah) bagian. 129

Perlu diketahui bahwa pengakuan terhadap anak luar kawin harus dilakukan sebelum anak meninggal dunia, dan jika pengakuan dilakukan setelah anak meninggal, maka hal itu tidak memberikan kepada ayah atau ibu yang mengakui itu hak atas warisan anak yang

diakui tersebut.130

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat perbedaan pengertian antara

hak waris aktif anak luar kawin dan hak waris pasif anak luar kawin. Hak

waris aktif anak luar kawin membicarakan tentang bagaimana cara anak luar

kawin yang diakui sah mendapat warisan, sedangkan hak waris pasif lebih

membahas mengenai bagaimana cara mewaris harta peninggalan seorang

anak luar kawin yang diakui sah.

129

Maman Suparman, Op.cit., hal 42-49.

130

(29)

Lain halnya dengan ahli waris ab-intestato, ahli waris testamentair,

tidak ada pengaturan secara rinci siapa saja yang dapat dijadikan sebagai ahli

waris testamentair dan berapa bagiannya. KUHPerdata hanya mengatur

ketetapan yang dapat dibuat di dalam surat wasiat atau testamen. Mengacu

pada Pasal 876 KUHPerdata, berdasarkan isinya, wasiat dapat digolongkan

menjadi dua jenis yaitu :

a. Wasiat yang berisi erfstelling atau wasiat pengangkatan ahli waris

(Pasal 954 KUHPerdata)

Erfstelling ini diberikan alas hak yang umum artinya pemberian meliputi hak-hak (aktiva) maupun kewajiban-kewajiban (pasiva) pewaris serta dalam wasiat tidak ditentukan bendanya secara tertentu.

Dalam hal ini, orang yang ditunjuk dinamakan testamentair

erfgenaam yakni ahli waris menurut surat wasiat. Ahli waris yang dimaksud adalah ahli waris yang memperoleh segala hak dan

kewajiban si peninggal (conder algemene titel).131

b. Wasiat yang berisi legaat atau hibah wasiat (Pasal 957 KUHPerdata)

di mana wasiat jenis ini diberikan alas hak khusus, artinya bahwa barang-barang yang dihibahwasiatkan disebutkan secara tegas dan jelas karena disyaratkan adanya penunjukkan barang-barang tertentu atau semua barang-barang dari jenis tertentu. Di sini, penerima hibah wasiat hanya menerima hak-hak (aktiva) tertentu saja dan tidak menanggung kewajiban-kewajiban (pasiva).

Orang yang menerima legaat dinamakan legataris. 132

Berdasarkan Pasal 838 KUHPerdata, ahli waris baik ab-intestato

maupun testamentair dapat kehilangan hak warisnya dan dikategorikan tidak

patut mewaris (onwaardig). Hal-hal yang menyebabkannya adalah sebagai

berikut :

a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh

atau setidaknya mencoba membunuh si yang meninggal;

b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena

memfitnah si yang meninggal dengan mengadukan pengaduan telah

131

M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 24.

132

(30)

melakukan kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat;

c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah menghalangi

atau mencegah si yang meninggal untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat; dan

d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat

wasiat si yang meninggal. 133

Mereka yang tersebut di atas secara otomatis kehilangan bagian

mutlak atau legitime portie dan tidak mempengaruhi kepada perhitungan

bagian mutlak atau legitime portie. Kedudukan mereka yang tidak patut

mewaris sama dengan kedudukan orang yang menolak harta warisan. Dalam

hal anak-anak dari orang yang tidak patut mewaris, mewaris secara pribadi

atau langsung (uit eigen hofde) bukan sebagai penggantian (bij

plaatsvervulling).134 Jika ternyata orang yang tidak patut mewaris tersebut

berpura-pura sebagai ahli waris dan menguasai sebagian atau seluruh harta

peninggalan, maka ia wajib mengembalikan semua harta yang dikuasainya

termasuk hasil-hasil yang telah dimanfaatkan atau dinikmatinya.135

B. Pengaturan Hibah dan Hibah Wasiat Dalam Pewarisan Menurut KUHPerdata

1. Pengertian Hibah dan Hibah Wasiat

Menurut kamus ilmiah popular internasional, secara umum “hibah

adalah pemberian sedekah, pemindahan hak”.136

Ada beberapa istilah lain

yang dapat dinilai sama dengan hibah yakni schenking dalam bahasa Belanda

133

Pasal 838 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

134

Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hal. 21.

135

Pasal 839 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

136

(31)

dan gift dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, antara istilah gift dengan hibah

terdapat perbedaan mendasar, begitu juga antara istilah schenking dengan

hibah. Contoh perbedaan istilah schenking dengan hibah adalah menyangkut

masalah kewenangan istri. Schenking tidak dapat dilakukan oleh istri tanpa

bantuan suami dan juga tidak dapat terjadi antara suami istri, sedangkan hibah

dapat dilakukan oleh seorang istri tanpa bantuan suami, demikian pula hibah

antara suami istri tetap dibolehkan.137

Menurut KUHPerdata, hibah dibagi menjadi dua bentuk yakni hibah

dan hibah wasiat. Masyarakat seringkali bingung dan menyamakan istilah

hibah dan hibah wasiat dalam KUHPerdata tersebut. Padahal, sebenarnya

istilah hibah dan hibah wasiat dalam KUHPerdata meskipun hampir sama

namun ada unsur yang membedakan keduanya. Salah satu perbedaan

mendasar dari hibah dan hibah wasiat adalah pelaksanaan hibah dilakukan

semasa pemberi hibah masih hidup sedangkan untuk hibah wasiat,

pelaksanaannya hanya dapat dilakukan setelah pemberi hibah wasiat

(pewaris) meninggal dunia.

Adapun para ahli hukum yang memberikan definisi terkait hibah

yaitu sebagai berikut :

a. Menurut Eman Suparman, “hibah adalah pemberian yang dilakukan

oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup. Biasanya pemberian tersebut tidak akan pernah dicela oleh sanak keluarga yang tidak menerima pemberian itu. Oleh karena itu, pada dasarnya seorang pemilik harta kekayaan

137

(32)

berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada siapapun”.138

b. Menurut Kansil, “hibah adalah suatu perjanjian di mana pihak pertama akan menyerahkan suatu benda karena kebaikannya kepada pihak lain yang menerima kebaikannya itu”.139

c. Menurut R. Subekti, “hibah atau pemberian adalah perjanjian

obligatoir di mana pihak yang satu menyanggupi dengan cuma-cuma (omniet) dengan secara mutlak (onnerroepelijk) memberikan suatu benda pada pihak lainnya, pihak mana yang menerima pemberian itu. Sebagai suatu perjanjian, pemberian itu seketika mengikat dan tidak

dapat ia cabut kembali begitu saja menurut kehendak satu pihak”.140

Selain ahli hukum, KUHPerdata sendiri juga ada memberikan

definisi terkait hibah ataupun hibah wasiat yaitu sebagai berikut :

a. Pasal 1666 KUHPerdata menyebutkan bahwa ”hibah adalah suatu

perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma, dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”.141

b. Pasal 957 KUHPerdata menyebutkan bahwa “hibah wasiat adalah penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barang-barang bergerak atau tidak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas

seluruh atau sebagian harta peninggalannya”.142

Dari rumusan pasal-pasal di atas, dapat diketahui unsur-unsur dari

hibah ataupun hibah wasiat yaitu sebagai berikut :

a. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan cuma-cuma,

artinya tidak ada kontra prestasi dari penerimaan hibah (Pasal 1666 KUHPerdata);

b. Dalam hibah selalu disyaratkan bahwa penghibah mempunyai

maksud untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah;

R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 95.

141

Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

142

(33)

c. Yang menjadi objek perjanjian hibah adalah segala harta benda milik penghibah, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, benda tetap maupun benda bergerak, termasuk juga segala piutang penghibah;

d. Hibah tidak dapat ditarik kembali (Pasal 1688 KUHPerdata);

e. Penghibahan harus dilakukan pada waktu penghibah masih hidup

(Pasal 1682 KUHPerdata);

f. Pelaksanaan penghibahan dapat juga dilakukan setelah penghibah

meninggal dunia;

g. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682

KUHPerdata).143

2. Ketentuan Hibah dan Hibah Wasiat Menurut KUHPerdata

a. Ketentuan Hibah Dalam KUHPerdata

KUHPerdata mengatur hibah dan hibah wasiat dalam Buku yang

berbeda. Lebih rinci, hibah dalam KUHPerdata dikategorikan dalam

hukum perikatan yakni di dalam Buku Ketiga Bab X tentang hibah (Pasal

1666-1693 KUHPerdata) daripada Buku Kedua tentang pewarisan. Hal

ini karena pelaksanaan hibah dilakukan saat seseorang masih hidup

sehingga salah satu syarat untuk proses pewarisan yakni adanya

seseorang yang meninggal dunia yang meninggalkan sejumlah harta

kekayaan tidak terpenuhi.

Berdasarkan Pasal 1667 KUHPerdata, penghibahan hanya boleh

dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan

itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka

penghibahan batal sekadar mengenai barang-barang yang belum ada.144

Kemudian, Pasal 1668 KUHPerdata menyebutkan bahwa penghibah

tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menggunakan

143

Maman Suparman, Op.cit., hal. 136.

144

(34)

hak miliknya atas barang yang telah dihibahkan karena penghibahan

demikian dipandang tidak sah.145 Akan tetapi, penghibah boleh

memperjanjikan bahwa ia tetap berhak menikmati atau memungut hasil

barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dihibahkan, atau

menggunakan hak itu untuk keperluan orang lain dengan syarat

memperhatikan ketentuan-ketentuan Buku Kedua Bab X tentang hak

pakai hasil (Pasal 1669 KUHPerdata).146

Pada prinsipnya, hibah tidak dapat ditarik kembali (Pasal 1666

KUHPerdata). Namun berdasarkan alasan yang telah ditetapkan oleh

KUHPerdata dan mengingat keadaan tertentu, hibah dimungkinkan untuk

ditarik kembali oleh si pemberinya.147 Penarikan hibah oleh si

pemberinya hanya dapat dilakukan dengan alasan tertentu dengan dasar

hukum Pasal 1688 KUHPerdata yaitu sebagai berikut :

1) Apabila syarat-syarat tidak terpenuhi, sedangkan penghibahan telah

dilakukan (Pasal 913 KUHPerdata);

2) Apabila si penerima hibah telah dinyatakan bersalah melakukan

kejahatan yang bertujuan untuk mengambil nyawa si penghibah; dan

3) Apabila si penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah

kepada si penghibah, setelah si penerima hibah ini jatuh dalam

keadaan miskin atau pailit. 148

Alasan-alasan di atas membatasi tindakan pemberi hibah agar tidak

bertindak seenaknya membatalkan hibah yang telah dilakukannya. Perlu

ditegaskan bahwa alasan-alasan di atas bukan bersifat kumulatif,

145

Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

146

Pasal 1669 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

147

Maman Suparman, Op.cit., hal. 137.

148

(35)

melainkan bersifat alternatif artinya salah satu saja alasan di atas

terpenuhi, maka suatu tindakan hibah dapat ditarik kembali.

Dalam hal terjadi penarikan hibah, maka segala barang yang

telah dihibahkan harus segera dikembalikan kepada penghibah dalam

keadaan bersih dari beban-beban yang melekat di atas barang tersebut.

Misalnya barang yang dihibahkan yang sedang dijadikan jaminan hak

tanggungan atau fiducia, maka penerima hibah harus segera melunasinya

sebelum barang tersebut dikembalikan kepada pemberi hibah.149 Jika

penerima hibah beritikad tidak baik atau buruk sehingga ia tidak mau

mengembalikan barang yang dihibahkan atau membebaskan barang yang

dihibahkan dari beban-beban di atas barang tersebut, maka pemberi hibah

dapat menuntut pengembalian atau pembebasan tersebut. Dasar

hukumnya dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1689 KUHPerdata yang

menyebutkan bahwa “si penghibah dapat menuntut hibah kembali, bebas

dari beban hipotik (hak tanggungan) beserta hasilnya dan pendapatan

yang diperoleh si penerima hibah atas benda yang dihibahkan”. 150

Hal ini

untuk menjamin agar pemberi hibah tidak dirugikan karena tindakan

penerima hibah terhadap barang yang dihibahkan tersebut.

Adapun menurut Pasal 1690 KUHPerdata, pada pokoknya

berarti benda yang dihibahkan dapat tetap pada si penerima hibah

meskipun sebelumnya benda-benda hibah tersebut telah didaftarkan lebih

dahulu oleh penerima hibah. Hal ini karena apabila penuntutan kembali

149

Eman Suparman, Op.cit., hal. 87.

150

(36)

yang dilakukan oleh pemberi hibah dikabulkan maka semua perbuatan si

penerima hibah dianggap batal.151 Tuntutan hukum pemberi hibah

terhadap penerima hibah ini gugur dengan lewatnya waktu satu tahun

terhitung mulai hari terjadinya peristiwa yang menjadi alasan tuntutan

itu, dan dapat diketahuinya peristiwa itu oleh si pemberi hibah (Pasal

1692 KUHPerdata).152 Ahli waris si pemberi hibah tidak dapat

melakukan tuntutan hukum tersebut, kecuali si pemberi hibah semula

telah mengajukan tuntutan ataupun orang tersebut telah meninggal lewat

satu tahun setelah terjadinya peristiwa yang dituduhkan.153

Hibah antara suami istri selama perkawinan tidak

diperbolehkan, kecuali mengenai benda-benda bergerak yang bertubuh

yang harganya tidak terlampau mahal. Demikian juga terkait anak yang

belum dilahirkan, hibah tidak boleh dilakukan, kecuali apabila

kepentingan si anak tersebut menghendaki. Adapun orang yang sama

sekali dilarang menerima penghibahan yaitu sebagai berikut :

1) Orang yang menjadi wali atau pengampu si pemberi hibah;

2) Dokter yang merawat si pemberi hibah ketika sakit; dan

3) Notaris yang membuat surat-surat milik si pemberi hibah. 154

Tindakan penghibahan diwujudkan dengan adanya suatu akta

atau perjanjian hibah. Perjanjian hibah termasuk perjanjian formil dengan

mensyaratkan adanya akta notaris atau akta otentik sehingga dapat

151

Maman Suparman, Loc.cit.

152

Pasal 1692 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

153

M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 59.

154

Referensi

Dokumen terkait

Jika terjadi angka yang sama (tie), pilihlah hari libur yang kebutuhan untuk hari yang berdekatannya terendah. Jika masih terdapat angka yang sama, secara

Selanjutnya, secara normatif dapat ditarik satu konsep difinisi yang utuh tentang substansi administrasi bangunan gedung yaitu suatu rangkaian per syaratan

[r]

Pada Terminal BBM Semarang Group mesin pompa produk yang sering breakdown, yang dapat membuat kerugian waktu pengiriman bahan bakar ke SPBU di Jawa Tengah dan

Hasil penelitian diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kesiapan siswi menghadapi menarche dengan nilai P= 0,46 > α = 0.05 dan tidak ada hubungan

Asam lemak tersebut ditransportasikan oleh albumin ke jaringan yang memerlukan dan disebut sebagai asam lemak bebas (free fatty acid/ FFA) Secara ringkas, hasil akhir dari

Adapun kerangka teori penerapan manajemen pengendalian infeksi yang akan diteliti yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan (Huber, 2010),

Pengetahuan masyarakat terhadap pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok ini menunjukkan pemahaman tentang qanun bahwa pihak pengelola RSUDZA telah berhasil dalam melakukan