A. Ketentuan Umum Pewarisan Menurut KUHPerdata
1. Pengertian Hukum Waris
Definisi hukum waris atau pewarisan sangat banyak ditemui dalam
buku-buku tentang waris, pewarisan, hibah, dan lain sebagainya.
Keanekaragaman definisi tersebut berbeda-beda tergantung pada perspektif
kalangan yang membuat definisi. Adapun beberapa definisi tentang hukum
waris yang dikemukakan oleh para ahli hukum antara lain :
a. Wirjono Projodikoro menggunakan istilah “warisan dan
mengartikannya menjadi soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban tentang harta kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup”.50 b. Hazairin menggunakan istilah “hukum kewarisan, yang artinya
peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.51
c. Soepomo menggunakan istilah “hukum waris yaitu hukum yang memuat peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang harta benda dan barang yang tidak berwujud
benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia
(generatie) kepada turunannya. Proses itu telah mulai pada waktu
orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akut
disebabkan oleh orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut”.52
d. Menurut H.M. Idris Ramulyo, “hukum waris ialah himpunan
aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris atau badan
hukum mana yang berhak mewaris harta peninggalan, bagaimana kedudukan masing ahli waris serta berapa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna”.53
e. Menurut R. Santoso Pudjosubroto, “hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.54
f. Menurut R. Abdul Djamali, “hukum waris adalah ketentuan hukum
yang mengatur tentang nasib kekayaan seseorang setelah meninggal dunia”.55
g. Menurut B. Ter Haar Bzn., “hukum waris adalah aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan perolehan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi”.56
h. Menurut A. Pitlo, “hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini dari orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.57
i. Menurut Gregor van der Burght, “hukum waris adalah himpunan aturan yang mengatur akibat-akibat hukum harta kekayaan pada kematian, peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan orang yang meninggal dunia, dan akibat-akibat hukum yang ditimbulkan peralihan ini bagi para penerimanya, baik dalam hubungan dan perimbangan di antara mereka satu dengan yang lain maupun dengan pihak ketiga”.58
j. Menurut Wahyo Darmabrata, “hukum waris adalah peraturan yang mengatur akibat hukum kematian atau meninggalnya seseorang terhadap harta kekayaan yang ditinggalkan. Dengan kata lain, hukum waris diartikan semua kaidah hukum yang mengatur peralihan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Selain mengatur mengenai nasib harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris, hukum waris juga mengatur siapa di antara para anggota
keluarga pewaris yang berhak untuk mewaris”.59
53
M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 28.
54
R. Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-hari, (Yogyakarta : Hien Hoo Sing, 1964), hal. 8.
55
R. Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung : Mandar Madju, 2002), hal. 112.
56 Cet. Kesatu, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 1.
59
Meskipun pengertian hukum waris atau pewarisan beranekaragam
dan diambil dari perspektif yang berbeda-beda, namun definisi-definisi
tersebut tetap memiliki kesamaan. Kesamaan ini dirangkum menjadi unsur
pengertian hukum waris atau pewarisan sehingga dapat dikatakan hukum
waris atau pewarisan mengandung beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
a. Adanya seorang peninggal warisan (erf later) pada saat wafat
meninggalkan kekayaan. Unsur ini menimbulkan persoalan yaitu bagaimana dan sampai di mana hubungan seorang peninggal warisan dengan kekayaannya yang dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan di mana si peninggal warisan berada.
b. Adanya seorang atau beberapa ahli waris (erf genaam) yang berhak
menerima kekayaan yang ditinggalkan itu. Unsur ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai di mana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal warisan beralih kepada ahli waris.
c. Adanya harta warisan (halaten schap) yaitu wujud kekayaan yang
ditinggalkan dan beralih kepada ahli waris itu. Unsur ini menimbulkan persoalan yaitu bagaimana dan sampai mana wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, di mana si peninggal warisan dan ahli waris
bersama-sama berada. 60
2. Penempatan Pengaturan Hukum Waris dan Hukum Harta Kekayaan
Dalam KUHPerdata
Hukum waris dan hukum harta kekayaan sendiri sebenarnya
merupakan bagian yang tidak terlepas dari hukum perdata.61 Sistematika
hukum perdata dibagi menjadi dua macam yaitu sistematika hukum perdata
menurut ilmu pengetahuan hukum (doktrin) dan sistematika hukum perdata
yang terdapat dalam KUHPerdata.62
60
Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2015), hal. 7-8.
61
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUHPerdata dan Perkembangannya, (Bandung : Refika Aditama, 2012), hal. 1.
62
Sistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan (doktrin)
mengelompokkan seluruh ketentuan hukum perdata ke dalam empat bidang
atau subsistem yaitu :
a. Bidang Hukum Orang
Pengelompokkan ini menunjukkan manusia sebagai subjek hukum harus mempunyai ciri khas atau identitas diri, seperti nama, domisili, kewenangan hukum, kecakapan bertindak dalam hukum, pencatatan peristiwa hukum sehubungan dengan hak perorangan.
b. Bidang Hukum Keluarga
Dalam bidang ini, diatur mengenai hukum perkawinan, akibat perkawinan, hubungan hukum antara suami istri serta keturunan, dan lain sebagainya.
c. Bidang Hukum Harta Kekayaan
Bidang ini mengatur objek dari harta kekayaan itu, hubungan manusia dengan benda yang melahirkan hak-hak kebendaan, serta hubungan hukum pribadi lainnya dengan perantaraan benda.
d. Bidang Hukum Waris
Hukum waris mengatur tentang bagaimana pengalihan dari harta
kekayaan yang ditinggalkan tersebut, siapa yang berhak
menerimanya dan bagaimana cara peralihannya. 63
Pengelompokkan hukum perdata di atas didasarkan pada siklus
kehidupan manusia yang harus dilindungi. Siklus ini dimulai sejak seorang
manusia dilahirkan diperlukan hukum atau norma tentang ketentuan orang
sebagai subjek hukum. Manusia kemudian akan membentuk keluarga sesuai
kodratnya dan tidak terlepas dari harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehingga diperlukan aturan/petunjuk hidup yang mengatur
bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam membentuk keluarga
dan mengatur harta kekayaannya. Selanjutnya, ketika manusia sebagai
subjek hukum meninggal dunia yang akan menimbulkan masalah tentang
63
harta kekayaan yang dimilikinya atau ditinggalkannya sehingga diperlukan
hukum atau norma tentang ketentuan hukum waris.
Adapun sistematika hukum perdata menurut KUHPerdata juga
disusun dalam empat kelompok atau pembidangan yang disebut buku dan
masing-masing dibagi dalam beberapa bab, dan kemudian bab tersebut terdiri
dari beberapa bagian dan bagian terdiri dari pasal, serta pasal tersebut
berkemungkinan terdiri dari beberapa ayat, antara lain :
a. Buku Pertama mengatur tentang Orang;
b. Buku Kedua mengatur tentang Benda;
c. Buku Ketiga mengatur tentang Perikatan/Perutangan;
d. Buku Keempat mengatur tentang Pembuktian dan Daluarsa. 64
Jika pembagian atau sistematika dari KUHPerdata dibandingkan
dengan sistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan (doktrin),
maka sebenarnya sistematika KUHPerdata tersebut sudah memuat pembagian
hukum perdata menurut ilmu pengetahuan. Hukum tentang orang dan
keluarga sama-sama diatur dalam Buku Pertama (Orang), hukum waris,
diatur dalam Buku Kedua (Benda), dan Hukum harta kekayaan terperinci
dalam Buku Kedua (Benda) dan Buku Ketiga (Perikatan).65
Pengaturan hukum waris dalam Buku Kedua KUHPerdata yakni Bab
XII sampai dengan Bab XVIII dengan rincian sebagai berikut :
a. Bab XII tentang pewarisan karena kematian;
b. Bab XIII tentang surat wasiat;
64
Ibid., hal. 5.
65
c. Bab XIV tentang pelaksana wasiat dan pengurusan harta peninggalan;
d. Bab XV tentang hak memikir dan hak istimewa untuk mengadakan
pendaftaran harta peninggalan;
e. Bab XVI tentang menerima atau menolak suatu warisan;
f. Bab XVII tentang pemisahan harta peninggalan; dan
g. Bab XVIII tentang harta peninggalan yang tidak terurus. 66
Penempatan hukum waris dalam Buku Kedua KUHPerdata seperti
terurai di atas masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli hukum,
karena masalah pewarisan tidak hanya mencakup hukum benda saja,
melainkan juga menyangkut aspek hukum lainnya, misalnya hukum
perorangan dan kekeluargaan.67 Namun menurut pembuat Undang-undang,
hukum waris merupakan hak kebendaan yaitu hak kebendaan atas boedel
dari orang yang meninggal dunia sehingga harus diatur dalam Buku Kedua
yang mengatur tentang benda itu sendiri, dan hak-hak atas benda.68
Pendapat tersebut juga diperkuat dengan Pasal 528 KUHPerdata yang
berbunyi “Atas suatu hak kebendaan, seorang dapat mempunyai, baik suatu
kedudukan berkuasa, baik hak milik, baik hak waris, baik hak pakai hasil,
baik hak pengabdian tanah, baik hak gadai atau hipotik”69
dan Pasal 584
KUHPerdata yang berbunyi :
“Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan, karena daluarsa, karena pewarisan, baik menurut Undang-undang, maupun menurut surat wasiat, dank arena penunjukkan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa
66
F.X. Suhardana, Hukum Perdata I Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 20.
67
Surani Ahlan Syarif, Op.cit., hal. 10.
68
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Loc.cit.
69
perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu”. 70
Terkait dengan penempatan hukum harta kekayaan dalam Buku
Kedua (Benda) dan Buku Ketiga (Perikatan), pembuat Undang-undang
berpendapat bahwa hukum benda dan hukum perikatan merupakan
pembentuk dari hukum harta kekayaan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
hukum harta kekayaan selain memuat aturan atau ketentuan tentang
kebendaan, juga memuat aturan atau ketentuan tentang hubungan hukum
yang bersifat kebendaan, seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa
menyewa, dan lain sebagainya.71
3. Ruang Lingkup Harta Kekayaan Dalam Warisan
Pada dasarnya, hukum waris sangat erat kaitannya dengan hukum
harta kekayaan. Hal ini karena hukum waris mengatur tentang proses
perpindahan harta kekayaan dari orang meninggal dunia (pewaris) kepada
para ahli warisnya. Ruang lingkup harta kekayaan (vermogen) yang dapat
dialihkan meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris
dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.72
Adapun hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan
meskipun mempunyai nilai uang, namun tidak dapat beralih kepada ahli
waris, antara lain :
70
Pasal 548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
71
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Op.cit., hal. 6.
72
a. Hubungan kerja atau hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan yang sifatnya sangat pribadi, mengandung prestasi yang kaitannya sangat erat dengan pewaris, misalnya pelukis yang berjanji untuk membuat lukisan potret seseorang (Pasal 1601 KUHPerdata);
b. Keanggotaan dalam suatu perseroan (Pasal 1646 ayat 4
KUHPerdata), sehingga perseroan akan berakhir kalau seorang persero meninggal atau di bawah pengampuan;
c. Lastgeving (Pasal 1813 KUHPerdata), pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa maupun si penerima kuasa;
d. Hak untuk menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang
di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah perwalian, berakhir dengan meninggalnya si anak (Pasal 314 KUHPerdata);
e. Hak pakai hasil (vruchtgebruik) berakhir dengan meninggalnya orang
yang memiliki hak tersebut (Pasal 807 KUHPerdata); dan
f. Hak bunga cagak hidup (lijfrente) berakhir dengan meninggalnya
orang yang memiliki hak tersebut (Pasal 1776 jo. Pasal 1779
KUHPerdata). 73
Selain dalam lapangan hukum harta kekayaan, hak dan kewajiban
dalam lapangan hukum keluarga juga ada yang dapat diwariskan kepada ahli
waris antara lain :
a. Hak suami untuk menyangkal keabsahan anak dapat dilanjutkan oleh
ahli warisnya (Pasal 257 jo. Pasal 252 jo. Pasal 259 KUHPerdata); dan
b. Hak untuk menuntut keabsahan anak dapat pula dilanjutkan oleh ahli
warisnya, kalau tuntutan tersebut sudah diajukan oleh anak yang menuntut keabsahan, yang sementara perkaranya berlangsung telah meninggal dunia (Pasal 269 KUHPerdata, Pasal 270 KUHPerdata,
dan Pasal 271 KUHPerdata). 74
Hak mengingkari keabsahan anak dan hak menuntut keabsahan anak
itu tidak hilang dengan sendirinya meskipun si bapak atau si anak meninggal
digunakan namun belum selesai diputus. Terkait dengan hak mengingkari
anak, adapun pembatasan waktu yang harus dipatuhi yaitu hak si bapak dari
anak yang akan diingkari keabsahannya harus digunakan dalam jangka waktu
satu bulan (kalau ia berada di tempat anak tersebut dilahirkan) dan 2 bulan
sesudah ia kembali (kalau ia tidak berada di tempat pada waktu anak tersebut
dilahirkan) atau sejak diketahui olehnya kalau kelahiran anak tersebut
dirahasiakan.75
4. Syarat dan Prinsip Umum Pewarisan
Sebagai salah satu cara memperoleh hak kebendaan, suatu peralihan
dikatakan pewarisan apabila memenuhi syarat-syarat umum sebagai berikut:
a. Pewarisan hanya terjadi karena kematian (Pasal 830 KUHPerdata),
yang dimaksud kematian di sini adalah kematian alamiah dan wajar (natuurlijke dood), bukan kematian perdata (burgelijke dood)
sebagaimana diatur dalam Pasal 718 Code Civil dan tidak dikenal
dalam hukum positif di Indonesia. Jika seseorang disangka meninggal dunia, maka harta bendanya akan berpindah kepada orang-orang yang disangka akan menjadi ahli warisnya sepanjang pemindahan itu bersifat sementara dan dengan syarat. Oleh karena itu, jika suatu ketika orang yang disangka meninggal dunia itu masih hidup maka harta bendanya menjadi miliknya lagi dan berhak menuntutnya dari
orang-orang yang diduga sebagai ahli warisnya.76
b. Ahli waris harus ada atau hidup pada waktu warisan terbuka (Pasal
836 KUHPerdata). Namun pada Pasal 2 KUHPerdata menyebutkan bahwa : “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya”.77
Dari pasal ini, dapat disimpulkan bahwa Pasal 2 KUHPerdata adalah pengecualian dari Pasal 836 KUHPerdata. Terkait kedudukan bayi dalam kandungan, Pasal 2 ayat 2 KUHPerdata dengan jelas mengatur bahwa bayi dalam kandungan ibu dianggap sebagai subjek hukum dengan syarat telah dibenihkan, lahir
75
J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 13.
76
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit., hal. 4.
77
dalam keadaan hidup, dan ada kepentingan yang menghendakinya
(warisan).78
Terkadang dalam hal pewarisan timbul suatu keadaan di mana tidak
dapat diketahui siapakah yang mati terlebih dahulu antara pewaris dan ahli
waris karena mereka meninggal dunia dalam keadaan dan waktu yang sama.
Oleh karena itu, digunakan ketentuan dalam Pasal 831 KUHPerdata yang
berbunyi :
“Jika beberapa orang, di mana yang satu dipanggil sebagai ahli waris dari yang lain, meninggal dunia dalam kecelakaan yang sama, atau pada hari yang sama tanpa diketahui mana yang meninggal lebih dahulu, maka diadakan dugaan bahwa mereka meninggal pada saat yang sama, sehingga tidak ada peralihan harta peninggalan dari yang satu kepada yang lain”. 79
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa pewaris dan ahli waris yang
sama-sama meninggal dunia dalam waktu dan keadaan yang sama-sama tidak saling
mewarisi satu sama lain. Jika ada bantahan bahwa pewaris dan ahli waris
meninggal tidak pada saat yang sama, maka bantahan itu harus dibuktikan
karena perbedaan waktu meninggal walaupun satu detik saja dianggap tidak
meninggal bersama-sama.80
Dalam hukum waris, setelah seseorang meninggal dunia, maka pada
saat itu juga segala hak dan kewajibannya beralih dengan sendirinya kepada
para ahli warisnya. Hal tersebut secara jelas diatur dalam Pasal 833 ayat 1
KUHPerdata dan disebut dengan prinsip saisine yang berasal dari bahasa
Perancis yakni le mort saisit le vif, artinya yang mati dianggap digantikan
78
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 14-15.
79
Pasal 831 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
80
oleh yang masih hidup.81 Hak dan kewajiban berupa keuntungan dan utang
yang diperoleh secara mewaris disebut dengan titel umum (algemene titel)
sehingga tidak perlu dengan penyerahan atau levering.82
Selain prinsip saisine, hukum waris juga mengenal prinsip
hereditatis petitio yang artinya hak menuntut bagian dari harta warisan (Pasal
834 KUHPerdata). Dengan adanya prinsip ini, maka setiap ahli waris berhak
menuntut setiap barang atau uang yang termasuk harta peninggalan untuk
diserahkan kepadanya apabila harta peninggalan itu dikuasai oleh orang lain.
Prinsip hereditatis petitio ini menjadi gugur karena daluarsa dengan tenggang
waktu selama 30 (tiga puluh) tahun (Pasal 835 KUHPerdata).83
Hukum waris KUHPerdata menganut sistem pembagian waris
berdasarkan individual. Oleh karena itu, harta warisan dibagikan berdasarkan
jumlah ahli waris dengan menganut asas persamaan yang berarti bagian
laki-laki dan perempuan adalah sama. Adapun prinsip pembagian warisan yakni
dalam Pasal 1066 KUHPerdata yang berisi :
a. Tiada seorang pun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan
diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tak terbagi;
b. Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu
perjanjian yang bertentangan dengan itu;
c. Dapat diperjanjikan bahwa pembagian harta benda itu
dipertangguhkan selama waktu tertentu; dan
d. Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun, tetapi
dapat diadakan lagi jika tenggang lima tahun itu telah lalu. 84
81
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.cit., hal. 6.
82
Effendi Perangin, Op.cit., hal. 8.
83
Pasal 835 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
84
Dengan pasal di atas, ketika pewaris meninggal dunia, segala harta miliknya
akan langsung dibagi-bagikan kepada ahli waris. Jika hal tersebut tidak
dilakukan, para ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan segera
dibagikan, walaupun ada perjanjian yang bertentangan dengan itu. Dengan
kesepakatan ahli waris, dimungkinkan juga penangguhan atau penahanan
pembagian harta warisan, namun penangguhan atau penahanan tersebut tidak
boleh lewat dari lima tahun, kecuali dalam keadaan luar biasa.85
5. Jenis-jenis Pewarisan
Berdasarkan KUHPerdata, dikenal dua macam pewarisan yaitu
sebagai berikut :
a. Pewarisan secara ab-intestato
yakni pewarisan dilakukan menurut ketentuan Undang-undang di mana hubungan darah merupakan faktor penentu dalam hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris.
b. Pewarisan secara testamentair
yakni pewarisan terjadi karena ditunjuk atau ditetapkan dalam suatu
surat wasiat atau testament yang ditinggalkan oleh pewaris. 86
Pewarisan secara ab-intestato sepenuhnya mengikuti ketentuan
dalam KUHPerdata dan digunakan apabila pewaris tidak membuat ketentuan
lain dalam surat wasiat. Lain halnya jika pewaris membuat wasiat, maka
wasiat lebih diutamakan sehingga terjadilah pewarisan secara testamentair.
Hal ini tercantum secara jelas pengaturannya dalam Pasal 874 KUHPerdata
yang menyatakan bahwa “Seluruh harta kekayaan yang meninggalkan
85
N.M. Wahyu Kuncoro, Hukum Waris Permasalahan dan Solusinya, (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2015), hal. 32.
86
seseorang pada saat kematiannya, menjadi hak kepunyaan para ahli warisnya
menurut Undang-undang, sepanjang mengenai hal itu tidak diadakannya
suatu ketetapan yang sah dengan surat wasiat”. 87
Hal-hal yang termuat dalam
surat wasiat dapat menyimpang dari ketentuan yang termuat dalam
Undang-undang, namun ada ahli waris tertentu yakni para ahli waris dalam garis lurus
baik ke atas maupun ke bawah tidak dapat sama sekali dikecualikan. Mereka
kemudian dijamin dengan adanya ketentuan Pasal 913 KUHPerdata yaitu
ketentuan bagian mutlak atau legitime portie.
Pewarisan secara ab-intestato sendiri terbagi menjadi dua macam
yakni mewaris berdasarkan kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde) dan
mewaris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling). Adapun istilah lain
mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) yaitu disebut juga
mewaris secara langsung.88 Pewarisan yang dimaksud menganut asas
individual di mana mereka yang terpanggil untuk mewaris dikarenakan
kedudukan atau haknya sendiri. Dasar hukum pewarisan berdasarkan
kedudukan sendiri (uit eigen hoofde) terdapat pada Pasal 852 ayat 2
KUHPerdata yang berbunyi “Mereka mewaris kepala demi kepala, jika
dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat ke satu dan
masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewaris pancang
demi pancang, jika sekalian mereka atau sekadar sebagian mereka bertindak
sebagai pengganti”. 89
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang
mewaris dengan kedudukannya sendiri dalam susunan keluarga pewaris
87
Pasal 874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
88
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op.cit., hal. 18.
89
mempunyai posisi yang memberikannya hak untuk mewaris. Hak yang
dimaksud bukanlah hak menggantikan hak orang lain melainkan murni
haknya sendiri sehingga tiap-tiap ahli waris tersebut yang mewaris kepala
demi kepala menerima bagian yang sama besarnya.
Adakalanya, ahli waris yang mewaris dengan kedudukannya sendiri
(uit eigen hoofde) berhalangan untuk mewarisi harta peninggalan pewaris,
baik dikarenakan tidak patut mewaris (Pasal 838 KUHPerdata) ataupun
karena keinginannya sendiri menolak warisan (Pasal 1058 KUHPerdata).
Terkait dengan kondisi tidak patut mewaris (onwaardig), maka keturunan
yang sah dari ahli waris yang tidak patut mewaris itu yang menerima warisan.
Hal ini didasarkan pada Pasal 840 KUHPerdata yang menyatakan :
“Apabila anak-anak dari seorang yang telah dinyatakan tak patut menjadi waris, atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka tidaklah mereka karena kesalahan orang tua tadi, dikecualikan dari pewarisan; namun orang tua itulah sama sekali tak berhak menuntut supaya diperbolehkan menikmati hasil barang-barang dari warisan, yang mana, menurut Undang-undang hak nikmat hasilnya diberikan orang tua atas
barang-barang anaknya.” 90
Terkait dengan pasal di atas, keturunan yang sah dari ahli waris yang tidak
patut mewaris ini bukanlah menggantikan kedudukan orang tuanya karena
orang tuanya masih hidup, melainkan mereka mewaris berdasarkan
kedudukannya sendiri dan masing-masing dari mereka mendapatkan bagian
yang sama besar.
Hampir sama dengan kondisi tidak patut mewaris, ahli waris yang
mewaris dengan kedudukannya sendiri (iut eigen hoofde) namun menolak
90
warisan, maka keturunan dari mereka yang menolak warisan yang akan
mendapatkan warisan. Dasar hukumnya ada pada ketentuan Pasal 1060
KUHPerdata yang menyatakan :
“Siapa yang telah menolak suatu warisan, tidak sekali-sekali dapat diwakili dengan cara pergantian; jika ia satu-satunya yang ahli waris dalam derajatnya, ataupun jika kesemua ahli waris menolak, maka sekalian anak-anak tampil ke muka atas dasar kedudukan mereka sendiri dan mewaris untuk bagian yang sama.” 91
Dengan pasal tersebut, disimpulkan bahwa keturunan yang sah dari ahli waris
yang menolak warisan ini bukanlah menggantikan kedudukan orang tuanya
karena orang tuanya masih hidup, melainkan mereka mewaris berdasarkan
kedudukannya sendiri dan masing-masing dari mereka mendapatkan bagian
yang sama besar.
Selain mewaris dengan kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde),
mewaris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling) juga merupakan salah
satu jenis pewarisan secara ab-intestato. Pengertian mewaris berdasarkan
penggantian (bij plaatsvervulling) yakni pewarisan di mana ahli waris
mewaris menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah
meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris (Pasal 852 ayat 2 KUHPerdata).92
Dalam KUHPerdata, mewaris karena penggantian lebih rinci diatur dalam
Pasal 841 KUHPerdata sampai dengan Pasal 848 KUHPerdata. Mewaris
dengan penggantian juga disebut dengan perwakilan atau vertegenwoordigen,
dengan maksud untuk memperoleh pengertian yang tepat mengenai
91
Pasal 1060 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
92
penggantian tempat. Namun, sebaiknya istilah perwakilan tidak digunakan
karena keluarga sedarah yang jauh tidak mewakili yang meninggal terlebih
dahulu serta tidak bertindak atas orang tersebut, melainkan hanya
menggantikan tempatnya yang terbuka karena kematian.93
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pewarisan
berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling) yaitu sebagai berikut :
a. Ditinjau dari orang yang digantikan
Dasar hukum Pasal 847 KUHPerdata yang berbunyi : “Tiada seorang
pun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku penggantinya”.94
b. Ditinjau dari orang yang menggantikan, maka haruslah :
1) Keturunan sah dari yang digantikan, termasuk keturunan sah dari
anak luar kawin, namun anak luar kawin tidak berwenang untuk itu; dan
2) Memenuhi syarat untuk mewaris pada umumnya yaitu hidup
pada saat warisan terbuka (Pasal 836 KUHPerdata, dengan pengecualian Pasal 2 ayat 2 KUHPerdata tentang bayi dalam kandungan), bukan orang yang dinyatakan tidak patut mewaris, serta tidak ditiadakan hak mewarisnya oleh pewaris dengan surat wasiat. 95
Dari syarat di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang digantikan
harus meninggal terlebih dahulu dari pewaris karena tidak ada penggantian
waris bagi orang yang masih hidup. Selain itu, orang yang menggantikan
harus keturunan sah dari yang digantikan karena dalam pewarisan dengan
penggantian (bij plaatsvervulling) lebih dipentingkan hubungan hukum antara
pewaris dengan ahli waris. Jika ternyata orang yang digantikan tersebut tidak
patut mewaris (onwaardig) atau menolak warisan (verwerpen), maka
93
Kelompok Belajar Esa, Hukum Waris Bagian I, Literatur Wajib Pada Jurusan Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta : Penerbit Esa, 1979), hal. 28.
94
Pasal 847 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
95
keturunan dari orang yang tidak patut atau menolak warisan tersebut ini
mendapat warisan bukan karena penggantian, melainkan berdasarkan
kedudukannya sendiri (Pasal 840 KUHPerdata dan Pasal 1060
KUHPerdata).96 Hal ini karena syarat utama atau prinsipal dari pewarisan
dengan penggantian (bij plaatsvervulling) ini tidak terpenuhi yakni
kedudukan ahli waris yang masih hidup tidak dapat digantikan oleh ahli
warisnya.
Dalam KUHPerdata, juga dikenal tiga macam penggantian tempat,
yaitu :
a. Pergantian tempat dalam garis lurus ke bawah.
Berdasarkan Pasal 842 KUHPerdata, pergantian tempat ini berlangsung terus tanpa batas. Dalam segala hal pergantian ini diperbolehkan, baik bilamana ada beberapa anak pewaris yang mewaris bersama-sama dengan keturunan dari seorang anak yang telah meninggal terlebih dahulu, maupun dalam hal semua keturunan mereka mewaris secara bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.
b. Pergantian tempat dalam garis menyamping.
Berdasarkan Pasal 844 KUHPerdata, warisan harus dibagi antara semua keturunan saudara-saudara yang meninggal dunia terlebih dahulu itu, walaupun keturunan tersebut pada derajat yang tidak sama.
c. Pergantian tempat dalam garis menyamping yang lebih jauh daripada
saudara sekandung.
Berdasarkan Pasal 845 KUHPerdata, pergantian tempat yang dimaksud hanya terbatas bagi keturunan dari saudara sekandung yang telah mendahului meninggal dari seorang yang mempunyai hubungan
darah terdekat dengan orang yang meninggalkan warisan. 97
KUHPerdata memperbolehkan pergantian tempat dalam garis lurus
ke bawah dan menyamping, namun tidak untuk garis lurus ke atas. Hal ini
96
Pasal 840 dan Pasal 1060 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
97
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 843 KUHPerdata yang berbunyi “Tiada
penggantian terhadap keluarga garis menyamping ke atas, keluarga sedarah
ke atas mewaris kepala demi kepala. Keluarga terdekat dalam garis
menyamping menutup semua keluarga dalam perderajatan lebih jauh”.98
Terkait dengan penggantian tempat anak luar kawin yang diakui, jika pewaris
hanya meninggalkan anak luar kawin maka berdasarkan Pasal 873 ayat 1
KUHPerdata, anak luar kawin dapat menuntut seluruh harta warisan untuk
diri sendiri dengan mengesampingkan Negara.99
Selain pewarisan secara ab-intestato, pewarisan juga dapat terjadi
secara wasiat atau testamentair. Suatu akta wasiat atau testamen berisi apa
yang dikehendaki seseorang setelah meninggal dunia. Pada asasnya, suatu
pernyataan kemauan adalah datang dari satu pihak saja (eenzigdig) dan setiap
waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Penarikan kembali itu
(herrolpen) boleh secara tegas (uitdrukkelijk) atau secara diam-diam
(stilzwijgend).100 KUHPerdata secara jelas melarang dua orang atau lebih
menyatakan kemauan terakhir dalam surat wasiat atau testamen yang sama.
Hal ini terdapat pada Pasal 930 KUHPerdata yang berbunyi “Dalam satu
-satunya akta, dua orang atau lebih tak diperbolehkan menyatakan wasiat
mereka baik untuk mengaruniai seorang ketiga maupun atas dasar pernyataan
bersama atau bertimbal balik”. 101
98
Pasal 834 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
99
Pasal 873 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
100
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2005), hal. 107.
101
Adapun pewarisan berdasarkan wasiat diatur dalam beberapa pasal
dalam KUHPerdata yaitu sebagai berikut :
a. Menurut Pasal 875 KUHPerdata, “wasiat adalah akta yang memuat kehendak terakhir setelah pewaris meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali”.
b. Menurut Pasal 888 KUHPerdata, “dalam surat wasiat, syarat-syarat
yang tidak dimengerti atau tidak mungkin dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan yang baik, dianggap sebagai tidak tertulis”.
c. Menurut Pasal 890 KUHPerdata, “Jika di dalam testamen disebut
sebab yang palsu, dan isi dari testamen itu menunjukkan bahwa
pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan
kepalsuannya, maka testamen tidaklah sah”.
d. Menurut Pasal 893 KUHPerdata, “suatu testamen adalah batal, jika
dibuat secara paksa, tipu atau muslihat”.
e. Menurut Pasal 895 KUHPerdata, “untuk dapat membuat atau menarik kembali surat wasiat, orang harus mempunyai kemampuan bernalar”.
f. Menurut Pasal 897 KUHPerdata, “seseorang yang belum dewasa (belum genap delapan belas tahun) tidak diperbolehkan membuat surat wasiat”. 102
Dari pasal-pasal di atas, dapat diketahui bahwa surat wasiat adalah
kehendak terakhir dari pewaris dan harus dilaksanakan sebagai wujud hormat
terhadap orang yang meninggal dunia. KUHPerdata tidak memberikan
batasan usia maksimum seseorang yang dapat membuat surat wasiat. Yang
diatur dalam KUHPerdata adalah batas usia minimum seseorang yang dapat
membuat wasiat. Oleh karena itu, terkait dengan batas usia maksimum
seseorang dapat membuat surat wasiat, disimpulkan tidak ada pembatasan
usia maksimum karena selama orang tersebut berakal budi atau mempunyai
kemampuan bernalar, maka ia dapat membuat surat wasiat.
102
Lazimnya, surat wasiat berisi mengenai ketetapan tentang harta
peninggalan, namun tidak tertutup kemungkinan bahwa ada juga surat wasiat
yang berisi tentang hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan
harta peninggalan. Lebih rinci, surat wasiat dapat berisi hal-hal sebagai
berikut :
a. Pengangkatan waris untuk seluruh atau sebagian dari harta
peninggalan pewaris. Namun ada perbedaan penting antara ahli waris
ab-intestato dengan ahli waris yang diangkat dengan suatu testamen
(erfstelling), yakni pewarisan testamentair tidak mengenal pergantian
tempat (bij plaatsvervulling) serta ahli waris testamentair tidak
menikmati inbreng.103
b. Wasiat yang berisi pemberian suatu benda tertentu atau hibah wasiat
(legaat). Menurut Vollmar, “kata barang-barang jenis tertentu
menunjuk pada benda atau zaak dan zaak itu dapat berupa benda
berwujud maupun tidak berwujud. Bahkan, legaat juga meliputi
hak-hak yang sebenarnya tidak ada di dalam warisan pewaris, tetapi diwajibkan kepada seorang ahli waris untuk dikatakan demi legataris.104
c. Wasiat yang berisi hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan
dengan harta peninggalan, misalnya sebagai berikut :
1) Pengangkatan waris dan penunjukan orang yang akan menerima
legaat (legataris);
2) Suatu perintah (last), bisa suatu kewajiban melakukan atau
larangan untuk melakukan tindakan tertentu atau perintah pemberian barang kepada orang tertentu;
3) Pencabutan wasiat yang terdahulu;
4) Menawarkan suatu barang termasuk dalam harta warisan untuk
dibeli, menerima penawaran dalam suatu testamen disebut oblaat;
5) Memberikan suatu hak kebendaan tertentu atau membebaskan
suatu utang;
6) Menyingkirkan (onterven) seorang atau beberapa orang ahli
waris; dan
7) Mengangkat seorang wali dan seorang testamentair executoir
(pelaksana wasiat) atau mengakui seorang anak. 105
Pada prinsipnya, wasiat harus dibuat dengan bantuan notaris, tetapi
ada juga wasiat yang dapat dibuat dengan akta di bawah tangan, asal isinya
mengenai pengangkatan pelaksana wasiat (executeur trstamentair),
penyelenggaraan penguburan, serta menghibahkan pakaian, perhiasan
tertentu, dan mebel yang tertentu. Wasiat seperti itu dinamakan codicil.106
Codicil harus ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pewaris dan diberi
tanggal.
6. Ahli Waris Dalam Hukum Waris KUHPerdata
Berdasarkan cara memperoleh warisan, maka ahli waris dalam
hukum waris KUHPerdata terbagi atas :
a. Ahli waris ab-intestato adalah ahli waris yang ditentukan berdasarkan
Undang-undang. Ahli waris ini berlaku bagi orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan pewaris atau dengan kata lain
mereka adalah anggota keluarga pewaris.107 Namun, semua keluarga
sedarah pewaris tidak sekaligus mewaris terhadap pewaris, melainkan yang lebih dekat pertaliannya lebih didahulukan daripada yang lebih jauh pertaliannya.
Yang termasuk dalam ahli waris ab-intestato ialah suami atau isteri
(duda atau janda) dari si pewaris, keluarga sedarah yang sah (wettige
bloedverwanten), dan keluarga alami (natuurlijke bloedverwanten).
Sedangkan, untuk keluarga semenda (aanverwanten) dari pewaris
tidak mewaris berdasarkan Undang-undang. Keluarga semenda (aanverwanten) hanya berhak mewaris jika pewaris menunjuk atau
mengangkatnya sebagai ahli waris dengan surat wasiat.108
b. Ahli waris testamentair yaitu semua orang yang diangkat oleh
pewaris dengan surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya. Yang dapat
diangkat sebagai ahli waris testamentair tersebut boleh semua orang,
sepanjang orang itu tidak dilarang oleh Undang-undang menjadi ahli waris, misalnya Pasal 904 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
“seorang anak di bawah umur, meskipun telah mencapai usia delapan
belas tahun, tidak boleh menghibahwasiatkan sesuatu untuk keuntungan walinya”.109
Khusus terkait ahli waris ab-intestato, ada pengaturannya secara
rinci dan khusus dalam Undang-undang (KUHPerdata) yang harus ditaati.
Keluarga sedarah sah dalam pewarisan ab-intestato tidak mewaris sekaligus
atau bersamaan, melainkan ada orang yang lebih didahulukan dari yang lain
melalui urutan jalan tertentu. Urutan tersebut diatur oleh KUHPerdata dengan
membagi seluruh keluarga sedarah dari pewaris dalam empat golongan atau
tingkatan ahli waris. Berdasarkan urutan haknya dalam menerima warisan,
golongan atau tingkatan ahli waris ab-intestato secara garis besar yaitu
sebagai berikut:
a. Golongan I terdiri dari anak-anak dan keturunan selanjutnya serta
isteri atau suami;
b. Golongan II terdiri dari ayah, ibu, saudara, saudari, serta keturunan
dari saudara dan saudari;
c. Golongan III terdiri dari kakek dan nenek seterusnya ke atas baik dari
pihak ayah maupun dari pihak ibu (keluarga sedarah lurus ke atas di luar ayah dan ibu); dan
d. Golongan IV terdiri dari keluarga sedarah garis ke samping di luar
saudara dan saudari. 110
Ahli waris golongan I erat kaitannya dengan Pasal 852 KUHPerdata
yang berbunyi :
“ Anak-anak atau sekalian keturunannya mereka walaupun dilahirkan dari lain-lain perkawinan, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek atau semua keluarga sedarah mereka dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan tiada perbedaan berdasarkan kelahirannya terlebih dahulu. Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka berkaitan keluarga dalam derajat kesatu dan
109
Pasal 904 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
110
masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri, mereka mewaris pancang demi pancang, jika mereka semua atau sebagian dari mereka bertindak sebagai pengganti”. 111
Dari pasal tersebut, dapat diketahui bahwa ahli waris golongan I
adalah keluarga dalam garis lurus ke bawah meliputi anak-anak beserta
keturunannya dengan bagian yang sama besar, mewaris kepala demi kepala
dan mengenal penggantian,112 serta tanpa membedakan jenis kelamin, waktu
kelahiran dari perkawinan pertama atau kedua, serta tidak ada perbedaan
antara anak sulung, anak tengah, dan anak bungsu . Hal ini berbeda dengan
sistem hukum di Inggris di mana berlaku apa yang dinamakan the right of
primogeniture (hak anak yang lahir pertama atau anak sulung). Dengan asas
tersebut, di Inggris jika seorang ayah meninggal dunia meninggalkan tiga
orang anak laki-laki, maka seluruh warisannya jatuh pada anak sulung
sedangkan adik-adiknya tidak memperoleh apapun.113
Sepanjang memperoleh pewarisan ab-intestato, kedudukan janda
atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan pewaris yang hidup paling
lama) disamakan dengan kedudukan anak terhitung sejak tanggal 1 Januari
1936 berdasarkan Staatsblad nomor 486 tahun 1935. Sebelumnya, kedudukan
janda atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan pewaris yang hidup paling
lama) tersebut hanya berhak mewaris jika pewaris tidak meninggalkan
keluarga sedarah sampai derajat kedua belas.114
111
Pasal 852 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
112
Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Dasar-dasar Hukum Waris Barat : Suatu Pembahasan Teoretis dan Praktik), (Bandung : Tarsito, 1988), hal. 8.
113
M. U. Sembiring, Op.cit., hal.23-24.
114
Dalam hal pembagian warisan, berdasarkan Pasal 852 (a)
KUHPerdata, bagian janda atau duda (suami atau istri yang ditinggalkan
pewaris yang hidup paling lama) dari perkawinan pertama adalah sama besar
dengan bagian anak, kecuali bagian janda atau duda (suami atau istri yang
ditinggalkan pewaris yang hidup paling lama), mendapat bagian maksimal ¼
(seperempat) bagian dari harta warisan atau tidak boleh melebihi bagian anak
yang terkecil, apabila dari perkawinan pertama dilahirkan anak.115
Selanjutnya, pembagian warisan untuk ahli waris golongan II
mengacu pada Pasal 854 KUHPerdata, Pasal 857 KUHPerdata, dan Pasal 859
KUHPerdata yakni sebagai berikut :
a. Orang tua menerima bagian yang sama dengan bagian saudara
laki-laki atau perempuan tetapi tidak kurang dari ¼ (seperempat) (Pasal
854 ayat 2 KUHPerdata);116
b. Jika hanya ada orang tua (bapak dan ibu), maka bapak dan ibu
masing-masing menerima ½ (setengah) bagian. Apabila hanya ada ahli waris bapak atau ibu saja, maka bapak atau ibu yang hidup terlama mendapatkan seluruh harta peninggalan (Pasal 855
KUHPerdata);117
c. Masing-masing orang tua menerima 1/3 (sepertiga) bagian, jika
kecuali mereka masih ada seorang saudara laki-laki atau perempuan
(Pasal 854 KUHPerdata);118
d. Jika hanya ada seorang ibu atau bapak dan seorang saudara laki-laki
atau perempuan, maka ibu atau bapak itu mendapat ½ (setengah), dan bila ada dua orang saudara perempuan, maka ia mendapat 1/3 (sepertiga) dan bila tiga atau lebih saudara laki-laki atau perempuan,
maka ia mendapat ¼ (seperempat) bagian (Pasal 855
KUHperdata);119
e. Apabila bagian orang tua yang sudah ditentukan, maka sisanya dibagi
antara saudara laki-laki atau perempuan untuk bagian yang sama, bila semuanya itu saudara-saudara sekandung atau semuanya sebapak
115
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung : Refika Aditama, 2005), hal. 30.
116
Pasal 854 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
117
Pasal 855 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
118
Pasal 854 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
119
atau seibu. Apabila saudara-saudara itu dari perkawinan yang berlainan, maka sisanya harta peninggalan setetlah dikurangi bagian
orang tua dibelah menjadi dua (sistem kloving), sebagian untuk garis
bapak dan sebagian untuk garis ibu, saudara-saudara kandung mendapat bagian dari dua garis tersebut. Sedangkan mereka yang setengah hanya mendapat bagian dari garis di mana mereka berada
(Pasal 857 KUHPerdata).120
Mencermati pengaturan di atas, dapat disimpulkan bahwa ahli waris
golongan II adalah keluarga dalam garis lurus ke atas dan menyamping
meliputi orang tua, saudara-saudara laki-laki dan perempuan dan
keturunannya. Perlu diingat bahwa ahli waris golongan II hanya mewaris jika
si pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan janda atau duda dan/atau
keturunannya (ahli waris golongan I) atau jika janda atau duda dan/atau
keturunannya (ahli waris golongan I) menolak atau tidak patut menerima
warisan.
Selanjutnya, ahli waris golongan III meliputi leluhur (adscendent)
yang lebih jauh dari ayah dan ibu berupa kakek dan nenek seterusnya ke atas
baik dari sisi ayah maupun dari sisi ibu. Ahli waris ini hanya mewaris jika si
pewaris tidak mempunyai baik ahli waris golongan I dan ahli waris golongan
II.121 Mengacu pada Pasal 850 KUHPerdata dan Pasal 853 ayat 1
KUHPerdata, harta peninggalan harus dibagi atau dibelah atau kloving
menjadi dua bagian yang sama besarnya, satu bagian untuk semua keluarga
sedarah dalam garis si bapak lurus ke atas serta satu bagian lainnya untuk
semua keluarga sedarah yang sama dalam garis si ibu. Ahli waris yang
120
Pasal 857 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
121
terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas, mendapat setengah dari bagian
dalam garisnya, dengan mengesampingkan semua ahli waris lainnya (Pasal
853 ayat 2 KUHPerdata).122 Semua keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas
dalam derajat yang sama mendapat bagian yang sama besar secara kepala
demi kepala (Pasal 853 ayat 3 KUHPerdata).123
Para ahli waris golongan IV ialah semua keluarga sedarah garis ke
samping di luar saudara saudari dan keturunannya yang dibatasi sampai
dengan derajat keenam, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu (Pasal
861 KUHPerdata). Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah
dalam derajat yang mengizinkan untuk mewaris, maka semua keluarga
sedarah dalam garis yang lain memperoleh warisan (Pasal 861 ayat 2
KUHPerdata). Pertama-tama harta peninggalan dibelah menjadi dua, sebagian
untuk pihak bapak dan sebagian lainnya untuk pihak ibu. Apabila ada salah
satu pihak tidak terdapat ahli waris yang berhak menerima sampai derajat
keenam, maka bagian itu dipindahkan ke pihak yang lain dan pihak lain itu
mewaris seluruh harta peninggalan, dibagi menurut pasal-pasal yang ada.124
Selain golongan-golongan di atas, anak luar kawin juga merupakan
salah satu ahli waris ab-intestato apabila diakui. Dengan kata lain, apabila
anak luar kawin tidak diakui sah oleh ayahnya, maka mereka tidak dapat
menuntut haknya atas harta warisan karena tanpa pengakuan, tidak ada
hubungan perdata antara anak tersebut dengan orang tuanya serta tanpa
122
Pasal 853 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
123
Pasal 853 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
124
hubungan perdata, maka tidak ada pula hubungan pewarisan antara mereka.125
Anak luar kawin baru mendapat bagian dari warisan apabila ia diakui oleh
ayahnya (berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata lahirlah hubungan perdata
antara si anak dengan si ayah).126
Tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun anak luar kawin yang diakui
mempunyai hak waris terhadap orang tuanya, namun hak warisnya bersifat
inferior jika dibandingkan dengan hak waris anak-anak sah karena anak luar
kawin tidak mempunyai hak waris tersendiri, artinya anak luar kawin akan
selalu mewaris bersama-sama dengan keluarga sedarah pewaris (salah satu
dari empat golongan ahli waris ab-intestato), kecuali jika pewaris sama sekali
tidak meninggalkan keluarga sedarah serta bagian yang diterima anak luar
kawin adalah lebih kecil dari bagian yang seharusnya diterima sekiranya ia
anak sah.127
Ada dua macam pewarisan anak luar kawin yaitu sebagai berikut :
a. Hak waris aktif anak luar kawin (Pasal 862 KUHPerdata sampai
dengan Pasal 866 KUHPerdata, Pasal 872 KUHPerdata, dan Pasal 873 ayat 1 KUHPerdata).
Dalam pembagian warisan, anak luar kawin mewaris bersama dengan semua golongan ahli waris. Besar bagian yang diterima anak luar kawin tergantung dengan golongan mana anak luar kawin tersebut mewaris, atau tergantung dari derajat hubungan
kekeluargaan dari para ahli waris yang sah.128
Jika anak-anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan keturunan yang sah dari pewaris atau dengan suami atau istri (golongan I), maka anak-anak luar kawin mewaris 1/3 (sepertiga) dari bagian, yang sedianya mereka akan mendapat bagian andaikata mereka anak-anak sah. Kemudian, apabila anak luar kawin mewaris bersama-sama saudara-saudara dan/atau orang tua dari si pewaris
125
M. U. Sembiring, Op.cit., hal. 46.
126
R.H. Soerojo Wongsowidjojo, Op.cit., hal. 28.
127
M.U. Sembiring, Loc.cit.
128
(golongan II), maka bagian anak luar kawin yang diakui sah adalah sebesar ½ (setengah) bagian dari harta peninggalan. Jika anak luar kawin mewaris bersama-sama dengan golongan III, maka bagiannya adalah ½ (setengah) dari harta peninggalan. Jika anak luar kawin mewaris bersama golongan IV, maka ia mendapat ¾ (tiga per empat) bagian dari seluruh harta peninggalan. Khusus bila anak luar kawin mewaris bersama dengan golongan III dan IV, maka yang menjadi dasar perhitungan adalah golongan terdekat dengan si pewaris, yakni golongan III. Anak luar kawin akan mendapat seluruh harta warisan apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris yang sah (golongan I sampai IV).
b. Hak waris pasif anak luar kawin (Pasal 870 KUHPerdata, Pasal 871
KUHPerdata, Pasal 873 ayat 2 dan 3 KUHPerdata).
Menurut Pasal 866 KUHPerdata, jika seorang anak luar kawin meninggal dunia, maka sekalian anak dan keturunannya yang berhak menuntut bagian-bagian yang diberikan kepada mereka menurut Pasal 863 KUHPerdata dan Pasal 865 KUHPerdata. Selain anak-anak yang sah, suami atau istri anak-anak-anak-anak luar kawin yang diakui sah juga berhak mendapat warisan. Bapak atau ibu yang mengakui sah seorang anak luar kawin baru terpanggil sebagai ahli waris, bila anak luar kawin itu tidak meninggalkan keturunan yang sah dan/atau suami atau istri (Pasal 870 KUHPerdata). Dalam hal hanya bapak dan ibu yang terpanggil menjadi ahli waris anak luar kawin yang diakui, maka bapak dan ibu masing-masing mendapat ½ (setengah) bagian. 129
Perlu diketahui bahwa pengakuan terhadap anak luar kawin harus dilakukan sebelum anak meninggal dunia, dan jika pengakuan dilakukan setelah anak meninggal, maka hal itu tidak memberikan kepada ayah atau ibu yang mengakui itu hak atas warisan anak yang
diakui tersebut.130
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat perbedaan pengertian antara
hak waris aktif anak luar kawin dan hak waris pasif anak luar kawin. Hak
waris aktif anak luar kawin membicarakan tentang bagaimana cara anak luar
kawin yang diakui sah mendapat warisan, sedangkan hak waris pasif lebih
membahas mengenai bagaimana cara mewaris harta peninggalan seorang
anak luar kawin yang diakui sah.
129
Maman Suparman, Op.cit., hal 42-49.
130
Lain halnya dengan ahli waris ab-intestato, ahli waris testamentair,
tidak ada pengaturan secara rinci siapa saja yang dapat dijadikan sebagai ahli
waris testamentair dan berapa bagiannya. KUHPerdata hanya mengatur
ketetapan yang dapat dibuat di dalam surat wasiat atau testamen. Mengacu
pada Pasal 876 KUHPerdata, berdasarkan isinya, wasiat dapat digolongkan
menjadi dua jenis yaitu :
a. Wasiat yang berisi erfstelling atau wasiat pengangkatan ahli waris
(Pasal 954 KUHPerdata)
Erfstelling ini diberikan alas hak yang umum artinya pemberian meliputi hak-hak (aktiva) maupun kewajiban-kewajiban (pasiva) pewaris serta dalam wasiat tidak ditentukan bendanya secara tertentu.
Dalam hal ini, orang yang ditunjuk dinamakan testamentair
erfgenaam yakni ahli waris menurut surat wasiat. Ahli waris yang dimaksud adalah ahli waris yang memperoleh segala hak dan
kewajiban si peninggal (conder algemene titel).131
b. Wasiat yang berisi legaat atau hibah wasiat (Pasal 957 KUHPerdata)
di mana wasiat jenis ini diberikan alas hak khusus, artinya bahwa barang-barang yang dihibahwasiatkan disebutkan secara tegas dan jelas karena disyaratkan adanya penunjukkan barang-barang tertentu atau semua barang-barang dari jenis tertentu. Di sini, penerima hibah wasiat hanya menerima hak-hak (aktiva) tertentu saja dan tidak menanggung kewajiban-kewajiban (pasiva).
Orang yang menerima legaat dinamakan legataris. 132
Berdasarkan Pasal 838 KUHPerdata, ahli waris baik ab-intestato
maupun testamentair dapat kehilangan hak warisnya dan dikategorikan tidak
patut mewaris (onwaardig). Hal-hal yang menyebabkannya adalah sebagai
berikut :
a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh
atau setidaknya mencoba membunuh si yang meninggal;
b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena
memfitnah si yang meninggal dengan mengadukan pengaduan telah
131
M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 24.
132
melakukan kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat;
c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah menghalangi
atau mencegah si yang meninggal untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat; dan
d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat
wasiat si yang meninggal. 133
Mereka yang tersebut di atas secara otomatis kehilangan bagian
mutlak atau legitime portie dan tidak mempengaruhi kepada perhitungan
bagian mutlak atau legitime portie. Kedudukan mereka yang tidak patut
mewaris sama dengan kedudukan orang yang menolak harta warisan. Dalam
hal anak-anak dari orang yang tidak patut mewaris, mewaris secara pribadi
atau langsung (uit eigen hofde) bukan sebagai penggantian (bij
plaatsvervulling).134 Jika ternyata orang yang tidak patut mewaris tersebut
berpura-pura sebagai ahli waris dan menguasai sebagian atau seluruh harta
peninggalan, maka ia wajib mengembalikan semua harta yang dikuasainya
termasuk hasil-hasil yang telah dimanfaatkan atau dinikmatinya.135
B. Pengaturan Hibah dan Hibah Wasiat Dalam Pewarisan Menurut KUHPerdata
1. Pengertian Hibah dan Hibah Wasiat
Menurut kamus ilmiah popular internasional, secara umum “hibah
adalah pemberian sedekah, pemindahan hak”.136
Ada beberapa istilah lain
yang dapat dinilai sama dengan hibah yakni schenking dalam bahasa Belanda
133
Pasal 838 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
134
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hal. 21.
135
Pasal 839 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
136
dan gift dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, antara istilah gift dengan hibah
terdapat perbedaan mendasar, begitu juga antara istilah schenking dengan
hibah. Contoh perbedaan istilah schenking dengan hibah adalah menyangkut
masalah kewenangan istri. Schenking tidak dapat dilakukan oleh istri tanpa
bantuan suami dan juga tidak dapat terjadi antara suami istri, sedangkan hibah
dapat dilakukan oleh seorang istri tanpa bantuan suami, demikian pula hibah
antara suami istri tetap dibolehkan.137
Menurut KUHPerdata, hibah dibagi menjadi dua bentuk yakni hibah
dan hibah wasiat. Masyarakat seringkali bingung dan menyamakan istilah
hibah dan hibah wasiat dalam KUHPerdata tersebut. Padahal, sebenarnya
istilah hibah dan hibah wasiat dalam KUHPerdata meskipun hampir sama
namun ada unsur yang membedakan keduanya. Salah satu perbedaan
mendasar dari hibah dan hibah wasiat adalah pelaksanaan hibah dilakukan
semasa pemberi hibah masih hidup sedangkan untuk hibah wasiat,
pelaksanaannya hanya dapat dilakukan setelah pemberi hibah wasiat
(pewaris) meninggal dunia.
Adapun para ahli hukum yang memberikan definisi terkait hibah
yaitu sebagai berikut :
a. Menurut Eman Suparman, “hibah adalah pemberian yang dilakukan
oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup. Biasanya pemberian tersebut tidak akan pernah dicela oleh sanak keluarga yang tidak menerima pemberian itu. Oleh karena itu, pada dasarnya seorang pemilik harta kekayaan
137
berhak dan leluasa untuk memberikan harta bendanya kepada siapapun”.138
b. Menurut Kansil, “hibah adalah suatu perjanjian di mana pihak pertama akan menyerahkan suatu benda karena kebaikannya kepada pihak lain yang menerima kebaikannya itu”.139
c. Menurut R. Subekti, “hibah atau pemberian adalah perjanjian
obligatoir di mana pihak yang satu menyanggupi dengan cuma-cuma (omniet) dengan secara mutlak (onnerroepelijk) memberikan suatu benda pada pihak lainnya, pihak mana yang menerima pemberian itu. Sebagai suatu perjanjian, pemberian itu seketika mengikat dan tidak
dapat ia cabut kembali begitu saja menurut kehendak satu pihak”.140
Selain ahli hukum, KUHPerdata sendiri juga ada memberikan
definisi terkait hibah ataupun hibah wasiat yaitu sebagai berikut :
a. Pasal 1666 KUHPerdata menyebutkan bahwa ”hibah adalah suatu
perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma, dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”.141
b. Pasal 957 KUHPerdata menyebutkan bahwa “hibah wasiat adalah penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya segala barang-barang bergerak atau tidak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas
seluruh atau sebagian harta peninggalannya”.142
Dari rumusan pasal-pasal di atas, dapat diketahui unsur-unsur dari
hibah ataupun hibah wasiat yaitu sebagai berikut :
a. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan cuma-cuma,
artinya tidak ada kontra prestasi dari penerimaan hibah (Pasal 1666 KUHPerdata);
b. Dalam hibah selalu disyaratkan bahwa penghibah mempunyai
maksud untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah;
R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 95.
141
Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
142
c. Yang menjadi objek perjanjian hibah adalah segala harta benda milik penghibah, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, benda tetap maupun benda bergerak, termasuk juga segala piutang penghibah;
d. Hibah tidak dapat ditarik kembali (Pasal 1688 KUHPerdata);
e. Penghibahan harus dilakukan pada waktu penghibah masih hidup
(Pasal 1682 KUHPerdata);
f. Pelaksanaan penghibahan dapat juga dilakukan setelah penghibah
meninggal dunia;
g. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682
KUHPerdata).143
2. Ketentuan Hibah dan Hibah Wasiat Menurut KUHPerdata
a. Ketentuan Hibah Dalam KUHPerdata
KUHPerdata mengatur hibah dan hibah wasiat dalam Buku yang
berbeda. Lebih rinci, hibah dalam KUHPerdata dikategorikan dalam
hukum perikatan yakni di dalam Buku Ketiga Bab X tentang hibah (Pasal
1666-1693 KUHPerdata) daripada Buku Kedua tentang pewarisan. Hal
ini karena pelaksanaan hibah dilakukan saat seseorang masih hidup
sehingga salah satu syarat untuk proses pewarisan yakni adanya
seseorang yang meninggal dunia yang meninggalkan sejumlah harta
kekayaan tidak terpenuhi.
Berdasarkan Pasal 1667 KUHPerdata, penghibahan hanya boleh
dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan
itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka
penghibahan batal sekadar mengenai barang-barang yang belum ada.144
Kemudian, Pasal 1668 KUHPerdata menyebutkan bahwa penghibah
tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menggunakan
143
Maman Suparman, Op.cit., hal. 136.
144
hak miliknya atas barang yang telah dihibahkan karena penghibahan
demikian dipandang tidak sah.145 Akan tetapi, penghibah boleh
memperjanjikan bahwa ia tetap berhak menikmati atau memungut hasil
barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dihibahkan, atau
menggunakan hak itu untuk keperluan orang lain dengan syarat
memperhatikan ketentuan-ketentuan Buku Kedua Bab X tentang hak
pakai hasil (Pasal 1669 KUHPerdata).146
Pada prinsipnya, hibah tidak dapat ditarik kembali (Pasal 1666
KUHPerdata). Namun berdasarkan alasan yang telah ditetapkan oleh
KUHPerdata dan mengingat keadaan tertentu, hibah dimungkinkan untuk
ditarik kembali oleh si pemberinya.147 Penarikan hibah oleh si
pemberinya hanya dapat dilakukan dengan alasan tertentu dengan dasar
hukum Pasal 1688 KUHPerdata yaitu sebagai berikut :
1) Apabila syarat-syarat tidak terpenuhi, sedangkan penghibahan telah
dilakukan (Pasal 913 KUHPerdata);
2) Apabila si penerima hibah telah dinyatakan bersalah melakukan
kejahatan yang bertujuan untuk mengambil nyawa si penghibah; dan
3) Apabila si penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah
kepada si penghibah, setelah si penerima hibah ini jatuh dalam
keadaan miskin atau pailit. 148
Alasan-alasan di atas membatasi tindakan pemberi hibah agar tidak
bertindak seenaknya membatalkan hibah yang telah dilakukannya. Perlu
ditegaskan bahwa alasan-alasan di atas bukan bersifat kumulatif,
145
Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
146
Pasal 1669 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
147
Maman Suparman, Op.cit., hal. 137.
148
melainkan bersifat alternatif artinya salah satu saja alasan di atas
terpenuhi, maka suatu tindakan hibah dapat ditarik kembali.
Dalam hal terjadi penarikan hibah, maka segala barang yang
telah dihibahkan harus segera dikembalikan kepada penghibah dalam
keadaan bersih dari beban-beban yang melekat di atas barang tersebut.
Misalnya barang yang dihibahkan yang sedang dijadikan jaminan hak
tanggungan atau fiducia, maka penerima hibah harus segera melunasinya
sebelum barang tersebut dikembalikan kepada pemberi hibah.149 Jika
penerima hibah beritikad tidak baik atau buruk sehingga ia tidak mau
mengembalikan barang yang dihibahkan atau membebaskan barang yang
dihibahkan dari beban-beban di atas barang tersebut, maka pemberi hibah
dapat menuntut pengembalian atau pembebasan tersebut. Dasar
hukumnya dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1689 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa “si penghibah dapat menuntut hibah kembali, bebas
dari beban hipotik (hak tanggungan) beserta hasilnya dan pendapatan
yang diperoleh si penerima hibah atas benda yang dihibahkan”. 150
Hal ini
untuk menjamin agar pemberi hibah tidak dirugikan karena tindakan
penerima hibah terhadap barang yang dihibahkan tersebut.
Adapun menurut Pasal 1690 KUHPerdata, pada pokoknya
berarti benda yang dihibahkan dapat tetap pada si penerima hibah
meskipun sebelumnya benda-benda hibah tersebut telah didaftarkan lebih
dahulu oleh penerima hibah. Hal ini karena apabila penuntutan kembali
149
Eman Suparman, Op.cit., hal. 87.
150
yang dilakukan oleh pemberi hibah dikabulkan maka semua perbuatan si
penerima hibah dianggap batal.151 Tuntutan hukum pemberi hibah
terhadap penerima hibah ini gugur dengan lewatnya waktu satu tahun
terhitung mulai hari terjadinya peristiwa yang menjadi alasan tuntutan
itu, dan dapat diketahuinya peristiwa itu oleh si pemberi hibah (Pasal
1692 KUHPerdata).152 Ahli waris si pemberi hibah tidak dapat
melakukan tuntutan hukum tersebut, kecuali si pemberi hibah semula
telah mengajukan tuntutan ataupun orang tersebut telah meninggal lewat
satu tahun setelah terjadinya peristiwa yang dituduhkan.153
Hibah antara suami istri selama perkawinan tidak
diperbolehkan, kecuali mengenai benda-benda bergerak yang bertubuh
yang harganya tidak terlampau mahal. Demikian juga terkait anak yang
belum dilahirkan, hibah tidak boleh dilakukan, kecuali apabila
kepentingan si anak tersebut menghendaki. Adapun orang yang sama
sekali dilarang menerima penghibahan yaitu sebagai berikut :
1) Orang yang menjadi wali atau pengampu si pemberi hibah;
2) Dokter yang merawat si pemberi hibah ketika sakit; dan
3) Notaris yang membuat surat-surat milik si pemberi hibah. 154
Tindakan penghibahan diwujudkan dengan adanya suatu akta
atau perjanjian hibah. Perjanjian hibah termasuk perjanjian formil dengan
mensyaratkan adanya akta notaris atau akta otentik sehingga dapat
151
Maman Suparman, Loc.cit.
152
Pasal 1692 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
153
M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 59.
154