• Tidak ada hasil yang ditemukan

CONCTRUCTING HUMAN RIGHTS FOR SOCIAL WORK PRACTICE (MENGKONSTRUKSIKAN HAM UNTUK PRAKTIK PEKSOS) Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CONCTRUCTING HUMAN RIGHTS FOR SOCIAL WORK PRACTICE (MENGKONSTRUKSIKAN HAM UNTUK PRAKTIK PEKSOS) Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk:"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

i Paper ke-IX

CONCTRUCTING HUMAN RIGHTS FOR SOCIAL WORK PRACTICE (MENGKONSTRUKSIKAN HAM UNTUK PRAKTIK PEKSOS)

Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk:

Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia

Dosen:

Dr. EPI SUPIADI, M.Si

Dra. SUSILADIHARTI, M.SW

Oleh: HERU SUNOTO NRP: 13.01.003

PROGRAM SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL

BANDUNG 2013

(2)

ii

KATA PENGANTAR

... دعبو ،ينعجمأ هبحصو هلآ ىلعو ،ينملأا هلوسر ىلع ملاسلاو ةلاصلاو ،ينلماعلا ّبر لله دملحا

Segala puji bagi Allah SWT sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ke-VIII, paper tentang Constructing Human Rights for Social Work Practice (Mengkonstruksikan HAM untuk Praktik Peksos) dengan referensi utama buku Jim Ife, “Human Right and Social Work” Bab IX untuk mata kuliah Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan HAM bisa selesai.

Terakhir, kami berharap ada masukan dan penyempurnaan dari sesama teman-teman Sp-1, dan lebih khusus lagi dosen kami.

Bandung, 05 Oktober 2013 Heru Sunoto

(3)

iii DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I. PENDAHULUAN 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2

Pendekatan Deduktif Pendekatan Induktif

BAB III. PEMBAHASAN 5

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 7

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN

Apa tugas seorang peksos, apa definisi pekerjaan social, bagaimana peran peksos dijalankan, ada tiga ranah praktik peksos, kaitan peran peksos dengan HAM, apa hakikat HAM, bagaimana mengartikulasikan HAM dalam istilah kebutuhan, bagaimana kita mendongkrak kemampuan klien dalam mengartikan kebutuhan, HAM dalam dokumen HAM internasional, HAM harus mengacu kepada kearifan local, keadilan dunia, dan sebagainya, semuanya sudah kita bahas pada beberapa bab terdahulu.

Pembahasan-pembahasan itu sebatas mengutarakan berbagai ensiklopedia pekerjaan social. Namun bagaimana cara mengkonstruksi HAM di dalam praktik peksos? Apakah dari tataran keilmuan terlebih dahulu baru kemudian melangkah kepada masalah HAM? Ataukah sebaliknya? Dari masalah factual HAM baru kemudian mengkaitkannya dengan dokumen tentang HAM? Inilah persimpangan jalan yang harus dicermati oleh seorang peksos.

Secarar umum, seorang peksos bisa melaluinya dengan pendekatan deduktif, yaitu mencermati HAM dalam kajian ilmu, membahas melalui dokumen HAM internasional dan nasional, kemudian menukik pada masalah factual kasus HAM. Juga bisa sebaliknya, dengan pendekatan induktif, yaitu langsung pada pembahasan masalah factual lalu dikaitkan dengan keilmuan dan dokumen HAM. Hal inilah yang akan kita bahas pada Bab 9 kali ini.

(5)

2 BAB II

MENGKONSTRUKSIKAN HAM UNTUK PRAKTIK PEKSOS

Ada dua cara yang bisa dipakai oleh peksos di dalam mengejawantahkan HAM ke dalam praktik pekerjaan social, yaitu:

Deductive approach (Pendekatan deduktif). Yaitu dengan diawali pernyataan tentang pemahaman bagian-bagian HAM, kemudian melangkah ke tahap pertanyaan “apa arti hak-hak tersebut dalam tataran praktik? Contohnya, seorang peksos yang bekerja dalam ranah anak. Maka, ia pertama kali mempelajari semua hak-hak asasi anak. Tentang hak tersebut bisa dipelajari di dalam Konvensi PBB tentang hak anak, dan mempelajari juklak-juknisnya. Tahapan berikutnya adalah mengkaitkan dan menyimpulkannya dengan prinsip-prinsip praktik pekerjaan social. Singkatnya, pendekatan deduktif diawali dari HAM lalu diterapkan dalam isu-isu praktik.

Inductive approach (Pendekatan induktif). Adapun tahapan induktif adalah seorang peksos mengawalinya dengan cara melihat fakta lapangan/kasus HAM. Lalu ia bertanya “isu-isu HAM apa yang akan saya ambil, lalu saya jadikan bahan informasi awal praktik peksos dalam ranah HAM?” Contohnya, seorang peksos yang bekerja dalam ranah anak. Maka, ia langsung melihat pada konflik masalah anak dengan orang tua, tentang model perawatan, hubungan dalam keluarga, keinginan anak, keinginan orang tua, keamanan dalam rumah, dan seterusnya. Lalu, ia menganalisis semua masalah tersebut dengan dikaitkan dengan HAM. Singkatnya, pendekatan induktif diawali dengan isu-isu praktik dan kemudian dibawa kepada HAM.

PENDEKATAN DEDUKTIF

Di atas kami sebutkan bahwa pendekatan deduktif diawali dari pengetahuan tentang HAM untuk kemudian digerakkan menuju kasus-kasus HAM di lapangan. Pengetahuan tentang HAM ada dua, yaitu (i) formal documents (dokumen formal) dan (ii) informal understandings (pemahaman informal)

Dokumen formal

Dokumen formal artinya dokumen yang tertulis dan resmi tentang HAM. Ada tiga tingkatan dokumen HAM tingkat internasional, regional, dan tingkat Negara/nasional. Contohnya:

(6)

3

 the Universal Declaration of Human Rights (UNDR).1  the International Covenants on Civil and Political Rights.

 the International Covenants on Economic, Social, and Cultural Rights.

 Optional Protocol to the International Covenants on Civil and Political Rights, terkait dengan terhadap individu yang permohonan ke PBB jika hak-hak mereka terlanggar.  Second Optional to the International Covenants on Civil and Political Rights, aiming at

the abolition of the death penalty (tujuan penghapusan hukuman mati), dan lain-lain2 Ada beberapa masalah terkait dengan dokumen HAM tersebut, yaitu:

 Masalah pertama, bahwa dokumen HAM itu sendiri, secara bahasa, sangat tidak gender. Karena memang ketika dokumen itu disusun dan disahkan dikaitkan atau sebagai jawaban atas masalah yang saat itu menyeruak. Sehingga tidak ada “bahasa perempuan” dalam dokumen HAM tersebut.

 Masalah ke dua, dokumen HAM tersebut dibidani oleh kalangan elit kemudian disebarkan secara internasional dengan istilah “demi kepentingan seluruh ummat manusia”, tidak melibatkan partisipasi khalayak. Dokumen HAM dan protocol tersebut, meski melibatkan beragam budaya berbeda, tetap saja yang ikut di dalamnya adalah kalangan terpelajarnya saja, seperti politisi, akademisi, pengacara, kuasa hokum, ahli hokum, dan lain-lain. Termasuk pekerja social juga, sama, membuat dokumen tentang HAM sendiri meski atas nama “demi kebaikan klien”.

 Masalah ke tiga, bahwa dokumen HAM internasional beserta protocol-protokolnya, meski diterima dan diratifikasi oleh Negara, namun peratifikasian itu didasarkan pada alasan politis, bukan karena pemahaman mendalam dan keinginan untuk benar-benar melindungi HAM tersebut. Maka, kita hingga kini masih melihat bagaimana perlakukan Negara terhadap rakyatnya, melalui kebijakan yang tidak HAM.

Meskipun begitu, ada beberapa manfaat konvensi ini bagi para peksos, dan karena itu tidak boleh diabaikan . Dokumen HAM tersebut membawa kekuatan moral yang kuat dan tidak bisa dianggap enteng. Deklarasi Universal adalah dokumen yang kuat dan inspiratif. Ia bisa dijadikan landasan dalam mengadvokasi munculnya kebijakan politik baru, atau memiliki pengaruh kuat bagi para aktivis yang mengkampanyekan HAM. Manfaatnya buat peksos adalah merupakan area yang penting di mana pekerja sosial harus diberitahu dengan baik, dan penting untuk program pendidikan pekerjaan sosial dasar dan lanjutan untuk memasukkan materi tentang perlindungan formal atas hak-hak warga negara, dan bagaimana caranya agar individu, kelompok, dan masyarakat dapat mengambil tindakan jika mereka merasa hak-haknya telah dilanggar.

1

Lihat Lampiran I, hal 229 – 236.

2

(7)

4 Mendefinisikan HAM

Dokumen formal, tentu saja, hanya merupakan satu aspek wacana HAM. Apalagi sebagaimana kita tahu bahwa ternyata dokumen-dokumen HAM tersebut disusun oleh kalangan tertentu saja, meski dari beragam budaya. Artinya, ketika system demikian masih sangat deduktif, maka peksos bisa langsung berbaur dengan masyarakat, kelompok, dan individu sebagai klien untuk berdialog tentang apa HAM mereka. Dan ini juga merupakan tahapan engagement. Sambil mendiskusikan HAM versi mereka, peksos harus selalu ingat 5 kriteria HAM sebagaimana yang pernah kita bahas pada bab-bab terdahulu.3

Jika dialog tersebut telah bisa menghasilkan “definisi HAM” menurut mereka sendiri, maka peksos bisa masuk ke tahap berikutnya, yaitu moving from right to needs and hence to action (mengubah hak menjadi kebutuhan untuk kemudian diupayakan). Ini artinya ada keaktifan dari klien tentang bagaimana perspektif hak yang sebenarnya yang dibingkai dalam proses praktik peksos.

PENDEKATAN INDUKTIF

Tahapan induktif, sebagaimana sudah secara singkat kami jelaskan di depan, adalah diawali dengan “dunia nyata”, mengidentifikasi isu-isu HAM, kebutuhan atau masalah, lalu melihat ilmu tentang HAM, apa yang bisa digagas dari HAM tentang isu-isu tersebut. Cara ini lebih sering digunakan dalam praktik peksos dalam hubungannya dengan HAM.

Pendekatan induktif, maknanya adalah bahwa pertanyaan-pertanyaan tentang HAM tidak lagi ditanyakan secara abstrak. Bukan “apa urgensi HAM bagi manusia”? Tapi sudah masuk lebih spesifik, misalnya “Isu-isu HAM apa yang sesuai untuk keadaan/situasi ini”?

Pendekatan induktif, juga bermakna “upaya merealisasikan HAM, mendefinisikannya/ mengartikannya dilakukan secara praktik”, bukan secara keilmuan; peksos menjadi bagian dalam diskusi bersama klien yang kami sebut tadi sebagai engagement. Pemahaman akan HAM yang demikian akan lebih membumi, lebih factual, lebih empiric, ketimbang HAM dalam wacana, diskusi, kajian ilmiah dan sebagainya. ***

3 Lima kriteria HAM adalah:

1. Merealisasikan tuntutan hak adalah perlu agar eksistensi mereka optimal sebagai manusia dan sama dengan orang lain;

2. Hak yang dituntut adalah upaya untuk memenuhi rasa kemanusiaan diri setiap orang.

3. Sesuatu disebut HAM, jika ada dukungan yang luas kepada hak tersebut untuk melampaui satu budaya tertentu dan pembagian lain;

4. Tuntutan hak bisa dipenuhi asal bisa juga direalisasikan secara efektif kepada seluruh manusia, tidak hanya terbatas pada orang tertentu.

(8)

5 BAB III PEMBAHASAN

MENGKONSTRUKSIKAN HAM DI DALAM PRAKTIK PEKSOS

Deduktif-Induktif

Berdasarkan penjelasan Jim Ife dalam Bab IX, tersurat penulis mengadopsi perspektif penelitian social di dalam “bagaimana mulai melangkahkan kaki peksos dalam ranah HAM”, yaitu Deduktif dan Induktif. Kami setuju untuk hal ini. Melalui pendekatan Deduktif-Induktif, peksos yang berkiprah di ranah HAM bisa dengan tepat. Namun, yang paling tepat menurut kami adalah pendekatan induktif. Hal ini karena beberapa alasan:

1. Efektif-efisiensi waktu. Artinya, seorang peksos tidak perlu mendalami seluruh detail HAM dari berbagai dokumen HAM, baik nasional, regional, maupun internasional. Hal ini akan lebih lama waktunya, jika tidak boleh disebut “membuang-buang waktu”. Ini jika ia akan menangani masalah HAM, dan bukan sedang belajar tentang HAM. Cukuplah ia menemukan masalah HAM, lalu ia search dokumen HAM mana saja yang terkait dengan kasus HAM tersebut.

2. Masalah-Makalah. Artinya, peksos langsung menemukan masalah HAM, memahami dan bersama klien menjadikan sebagai kebutuhan. Setelah itu baru mencari “makalah” tentang HAM. Ini sangat efektif, meski ini tidak berarti seorang peksos “kepalanya kosong” ketika membahas kasus klien. Ini mirip dengan pendekatan induktif dalam penelitian.

Human Motivation Perspective4

Perspektif kedua yang bisa digunakan seorang peksos dalam “melangkah” menangani kasus HAM, adalah dengan mengadopsi perspektif “Human Motivation”-nya A.H. Maslow. A.H. Maslow menyebutkan basic needs dalam tingkatan kebutuhan dari terendah hingga tertinggi adalah: fisiogis, keamanan, kepemilikan dan cinta, penghormatan, dan aktualisasi diri. Maka, mengadopsi dari perspektif teori Maslow, seorang peksos ketika menemukan beberapa masalah klien secara bersamaan, pertama kali ia harus melakukan ranking, mana yang paling mendesak dan mana yang kurang mendesak. Memilah antara kebutuhan dan keinginan, dan memastikan kebutuhan yang paling mendesak itulah sebagai representasi HAM klien.

4

A.H. Maslow, a Theory of Human Mmotivation, Nalanda Digital Library, Regional Engeenering College, Calcut, India, 1943. Dan buku Motivation and Personaliti, Harper and Row Publisher Inc., 1954.

(9)

6

Human Rights and Non-Human Rights (Hak Asasi dan Hak Tidak Asasi)5

Pendekatan berikutnya adalah memilih mana masalah klien yang termasuk HAM dan bukan HAM. Peksos meski mengusung slogan “bersama klien menyelesaikan masalah”, tidak berarti semua masalah bisa diselesaikan bersama. Seringkali terjadi “konflik” dalam menentukan mana yang masuk HAM dan mana yang bukan. Maka, meski ada urutan berdasarkan mana yang HAM dan mana yang bukan HAM. Masalah HAM biasanya asasi, sangat mendasar bagi kehidupan klien, namun yang bukan HAM biasanya tidak asasi, tidak mendasar bagi kehidupan manusia. Maka, peksos harus mendahulukan masalah klien yang berjenis HAM dan mengesampingkan yang bukan HAM.

Needs and Wants (Kebutuhan-Keinginan)6

Kebutuhan adalah apa yang dibutuhkan oleh semua orang tanpa terkecuali. Adapun keinginan adalah apa yang diinginkan oleh seseorang. Oleh karena itu, kebutuhan bersifat umum, sedangkan keinginan sifatnya sangat individual. Contoh: klien kelaparan, ia membutuhkan makan. Maka, pemenuhan makan bagi klien adalah HAM (baca: kebutuhan), maka peksos berjuang bersama klien untuk mendapatkan makanan yang layak sebagai manusia. Namun, jika klien meminta “makan di KFC” setiap hari, maka ini disebut keinginan. Tidak perlu seorag peksos yang concern di ranah HAM untuk mengindahkan keinginan klien yang demikian.

.***

5

Michelle Parlevliet, Bridging the divide Exploring the relationship between human rights and conflict management, Centre for Conflict Resolution, Cape Town, 2002

6

Christopher Whitehouse, Human Rights and Basic Needs in Development: are they Universal? Are they Universalisable?, University of Bath, UK.

(10)

7 BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan apa yang sudah kami kemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut:

Seorang peksos yang bekerja dalam ranah HAM, memiliki beberapa perspektif yang bisa digunakan ketika akan menangani masalah klien yang terkait dengan HAM, yaitu (i) deduc-tive-inductive approaches, (ii) Human Rights-Non Human Right Perspective, (iii) Human Motivation Perspective, (iv) Needs and Wants Perspective.

Penerapan secara cermat dalam meneliti setiap permasalahan klien --mikro, mezzo, dan makro— sangat berpengaruh kepada setiap proses pertolongan sehingga berjalan efektif dan efisien, dan hasilnya benar-benar akuntabel dan optimal .

SARAN

1. Pekerja Sosial harus memperluas cakrawala dan menajamkan skill dalam penanganan masalah klien, sehingga pelayanan akan benar-benar efektif, efisien, akuntabel, optimal. 2. Para stakeholder, seperti Kementerian Sosial RI, kementerian terkait, dan termasuk IPSPI, NGO-NGO, perlu untuk secara secara periodic melakukan upgrading kemampuan dan ketrampilan pekerja social tentang “proses penanganan HAM” sehingga peksos terampil dalam bagaimana memulai menangani klien.

(11)

8

DAFTAR PUSTAKA

A.H. Maslow, a Theory of Human Mmotivation, Nalanda Digital Library, Regional Engeenering College, Calcut, India, 1943.

A.H. Maslow, Motivation and Personaliti, Harper and Row Publisher Inc., 1954

Christopher Whitehouse, Human Rights and Basic Needs in Development: are they Universal? Are they Universalisable?, University of Bath, UK

Jim Ife, Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge Univercity Press, 2008;

Michelle Parlevliet, Bridging the divide Exploring the relationship between human rights and conflict management, Centre for Conflict Resolution, Cape Town, 2002.

_____________________, Human Rights, Human Needs, Human Development, Human Security: Relationships between Four International ‘Human’ Discourses, Des Gasper1 Institute of Social Studies, The Hague, GARNET Working Paper: No 20/07, July 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendapatkan perbedaan karakter visual Pura Mandaragiri Semeru Agung sebagai Pura Hindu di luar Bali yang memiliki gaya Arsitektur Bali dilakukan penyandingan dengan

informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, dan sosial yang sangat menjaga citra positif bangsa di dunia Internasional. Lembaga ini tidak hanya memperkerjakan tenaga kerja

Pendapat lain yang mendukung hal tersebut datang dari Nurdin (2011) dalam jurnal penelitiannyanya yang menyatakan bahwa jika semakin lengkap fasilitas belajar

Anak autis yang dijadikan subjek penelitian semuanya mampu melakukan kontak mata saat namanya dipanggil. Namun, durasinya sangat pendek yakni hanya satu detik. Setelah itu, anak

Balai Konservasi Sumber Daya Alam sangat terbantu dengan keberadaan Borneo Orangutan Survival Foundation yang sangat membantu dapal upaya pelestarian Orangutan

Sarwono (2011) Menyatakan bahwa pupuk organik mempunyai banyak kelebihan, apabila dibandingkan dengan pupuk anorganik yaitu pupuk yang memiliki unsur hara yang

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat-Nya penelitian tindakan kelas yang berjudul “ PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGENAL KENAMPAKAN

Manajemen sumber daya manusia iaalah proses menseleksi, proses melatih, dan proses reward dan punishment yang dimana, alur atau sirkulasi sistem yang berjalan