• Tidak ada hasil yang ditemukan

KIAT-KIAT STRATEGIS MENYIKAPI PROBLEMA SUMBER DAYA LAHAN DALAM MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN DALAM KONTEKS GREEN ECONOMY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KIAT-KIAT STRATEGIS MENYIKAPI PROBLEMA SUMBER DAYA LAHAN DALAM MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN DALAM KONTEKS GREEN ECONOMY"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KIAT-KIAT STRATEGIS MENYIKAPI PROBLEMA SUMBER DAYA

LAHAN DALAM MENDUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN

DALAM KONTEKS GREEN ECONOMY

Scheme and Strategy in Addressing Land Resource Problems to

Support Food Self–Sufficiency in The Green Economy Context

Irsal Las, M. Sarwani, dan A. Mulyani

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor

E-mail: puslitbangtanak@litbang.deptan.go.id

ABSTRACT

As a large country population, food self–sufficiency is the major national stability factor. Some problem and issues in food self–sufficiency are: (a) national foods are produced by small farmers with their limitations, (b) land resources and land conversion problems, and (c) climate change and variation threat. In addition to increasing the volume of food productivity, food security and sufficiency might be supported by a new long term land resources expansion. We predicted 4.7 mha land resources expansion for paddy fields, corns, soybeans and other food commodities in 2025 and will be 14.9 mha in 2050. The potential available land resources are approximately 65 percent or equal with 30.7 mha which are sub-optimal and degraded land. Environmental dynamic and climate change have been influencing national smart development and using green economy concept to build an environmental-friendly agriculture innovative model (m-PRL-i). The main targets are food productivity enhancement, better economy value, sustainable resources and low GHG emissions. In the sub-optimal land, m-PRL-I depend on two main strategies, are (a) planning and applying new innovative and adaptive technologies, and (b) integrated agriculture resources development and optimization, with based on (i) exploration, exploitation and experimental design for genetic resources, (ii) land and water resources optimization efficiency, (iii) optimization and efficiency in carbon, biomass and organic waste. Some of m-PRL-I products are PTT and SRI approach, plants and livestock integration (SITT), integrated carbon efficiency farm (ICEF), integrated agriculture on dry land (SPTLKIK/Food Smart Village), and m-KRPL. In agricultural development policies, rational designation and good practice in land resources development are needed. They are supported by (a) farmer empowerment acceleration in sub-optimal land resources for food m-PRL-i development, (b) priority of land expansion in sub-optimal and degraded land cultivation (APL), (c) acceleration and escalation for integrated research and development activities. Therefore, m-PRL-i have to in line with the result of scientific study against food security index and climate change in the specific location.

Keywords : sub-optimal land, climate change, green economy, m-PRL inovative

ABSTRAK

Sebagai bangsa yang besar, kemandirian pangan merupakan pilar utama stabilitas nasional. Beberapa isu dan permasalahan dalam kemandirian pangan, antara lain, (a) sebagian pangan diproduksi oleh petani gurem dengan berbagai keterbatasan, (b) berbagai

(2)

problema sumberdaya lahan, termasuk ancaman konversi lahan, dan (c) adanya ancaman keragaman dan perubahan iklim. Selain melalui peningkatan produktivitas, dalam jangka panjang ketahanan dan kemandirian pangan harus ditopang oleh perluasan areal baru. Hingga tahun 2025 dibutuhkan 4,7 juta lahan bukaan baru untuk padi, jagung, kedelai dan komoditas pangan lainnya, meningkat menjadi 14,9 hingga tahun 2050. Masalahnya, lebih dari 65 persen dari lahan potensial dan tersedia dengan luas 30,7 juta ha adalah lahan sub-optimal dan terdegradasi/terlantar. Dinamika lingkungan dan perubahan iklim, menuntut reorientasi pembangunan agar lebih “smart”yang bertitik tolak pada konsep green economy dalam bentuk model pertanian inovatif ramah lingkungan (m-PRL-i). Sasaran utama peningkatan produktivitas, nilai tambah ekonomi, kelestarian sumberdaya dan lingkungan/rendah emisi GRK. Pada lahan sub-optimal, m-PRL-i harus bertumpu pada dua strategi induk, yaitu (a) perakitan dan penerapan teknologi inovatif dan adaptif, dan (b) pengembangan dan optimalisasi sumberdaya pertanian terintegrasi, berbasis pada (i) eksplorasi, eksploitasi dan rekayasa sumberdaya genetik, (ii) optimalisasi dan efisiensi sumberdaya lahan dan air, dan (iii) optimalisasi dan efisiensi karbon, biomasa dan limbah organik. Beberapa varian m-PRL-i adalah pendekatan PTT (dan SRI), integrasi tanaman dan ternak (SITT), pertanian terpadu efisiensi karbon (ICEF), pertanian terpadu lahan kering beriklim kering (SPTLKIK/Food Smart Village), dan m-KRPL. Untuk pengembangannya perlu adanya sentuhan kebijakan yang berbasis pada tatanan peruntukan dan pengelolaan sumberdaya lahan yang bijak dan rasional, dengan dukungan (a) percepatan pemberdayaan petani dalam mengembangkan m-PRL-i pangan di lahan suboptimal, (b) perluasan lahan diprioritas pada lahan suboptimal terdegradasi dan terlantar di kawasan budidaya (APL), (c) akselarasi dan eskalasi kegiatan penelitian dan pengembangan terpadu. Selain itu, m-PRL-i harus didasarkan pada hasil kajian saintifik terhadap indeks kerentanan pertanian terhadap perubahan perubahan iklim spesifik lokasi.

Kata kunci : lahan sub-optimal, perubahan iklim, green economy, m-PRL inovatif

PENDAHULUAN

Sebagai bangsa yang besar, kemandirian pangan harus menjadi pilar utama stabilitas nasional. Oleh karena itu, dengan penduduk 237 juta jiwa pada tahun 2010 yang akan meningkat dengan laju pertumbuhan 1,49 persen/tahun (BPS, 2010), Indonesia harus memposisikan upaya peningkatan produksi pangan secara berkelanjutan. Sementara itu, sektor pertanian, terutama pangan menghadapi berbagai tantangan, seperti semakin sempitnya kepemilikan lahan yang diindikasikan oleh peningkatan jumlah petani gurem (kepemilikan lahan<0,5 ha/RTP), dari 10,80 juta pada tahun 1993 menjadi 13,66 juta pada tahun 2003, dan diperkirakan >15 juta pada tahun 2010 (BPS, 1993 dan 2003). Kondisi tsb makin diperparah oleh: (a) penurunan kapasitas dan kualitas infrastruktur, (b) ancaman konversi lahan, dan (c) degradasi lahan dan air (Las dan Mulyani, 2009).

Selain itu, beberapa faktor biofisik lainnya juga menggerogoti kapasitas dan mengancam produksi pangan nasional, seperti ancaman variabilitas dan perubahan iklim, kerusakan lingkungan serta keterbatasan sumberdaya lahan potensial. Beberapa aspek sosial ekonomi, seperti lambatnya inovasi, makin tidak menariknya kegiatan pertanian bagi generasi muda, serta persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian dengan non pertanian, juga menjadi kendala dalam pembangunan pertanian dimasa yang akan datang.

(3)

Selain peningkatan produktivitas, dalam jangka panjang kemandirian dan ketahanan pangan harus ditopang oleh perluasan areal baru. Walaupun swasembada beras sempat diraih kembali pada tahun 2008 namun belum menjamin kemapanan dan keberlanjutan ketahanan pangan nasional. Apalagi jika bahan pangan utama lainnya yang masih terjerap (food trap) dan bergantung pada produk impor, terutama kedelai, gandum, jagung, gula dan daging. Tanpa dukungan perluasan areal/lahan, kondisi tersebut sulit diatasi. Demikian juga halnya dengan pengembangan bioenergi sebagai satu keharusan dalam kelangkaan deposit energi fosil dan pemanasan global (Apriyantono, 2009) juga menuntut tambahan lahan baru.

Berbagai kajian, mengindikasikan bahwa, sebagian besar lahan cadangan untuk pengembangan pertanian masa depan, merupakan lahan sub-optimal dan/atau terdegradasi dan terlantar, tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Mulyani et al., 2013). Selain produktivitasnya yang rendah dan fragile, lahan-lahan tersebut jika terusik tanpa sentuhan inovasi, akan menyebabkan dampak lingkungan dan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan pemanasan global.

Oleh sebab itu, dibutuhkan kiat-kiat strategis berbasis green economy dan

smart agriculture dalam menghadapi problema sumberdaya lahan dan ancaman

perubahan iklim bagi kemandirian pangan. Namun apapun kiatnya, dukungan kebijakan dan reorientasi politik pertanian dalam hal lahan sangat menentukan.

KEBUTUHAN DAN PROBLEMA SUMBERDAYA LAHAN

Bertitik tolak dari laju pertumbuhan produktivitas padi dari berbagai komoditas pangan utama sejak lebih dari 1-2 dekade terakhir yang terus melandai, semakin memperkuat pendapat bahwa ketahanan dan kemandirian pangan harus ditopang dengan perluasan areal atau pembukaan lahan baru, baik sawah maupun lahan kering. Apalagi jika memperhatikan rata-rata luas kepemilikan lahan yang hanya 360 m2/kapita, terkecil di Asia dan jauh dari layak untuk mendukung kesejahteraan penduduk, maka perluasan areal pertanian sangat diperlukan.

Kebutuhan Sumberdaya Lahan Pertanian

Kebutuhan lahan untuk perluasan areal pertanian ditentukan oleh dua faktor atau variabel, yaitu laju peningkatan kebutuhan pangan dan laju (tuntutan) pertumbuhan ekonomi pada sektor yang berbasis sumberdaya lahan. Kebutuhan pangan pokok, seperti beras, jagung, dan kedelai hingga tahun 2025 masing-masing sebesar 38,7 juta ton, 19,4 juta ton, dan 2,5 juta ton (Sudaryanto et al., 2010). Walaupun masih perlu ditelisik ulang sesuai kondisi terkini dinamika permintaan pangan, namun proyeksi tersebut masih dapat dijadikan sebagai salah satu referensi awal dalam memprediksi kebutuhan lahan.

(4)

Diperkirakan hingga tahun 2025 dibutuhkan 7,3 juta lahan bukaan baru untuk padi, jagung, kedelai dan komoditas pangan lainnya, termasuk hortikultura, dan meningkat menjadi 14,9 hingga tahun 2050, yang terdiri dari lahan sawah 5 juta ha, lahan kering 8,7 juta ha, dan lahan rawa 1,2 juta ha (Sumarno dan Suharta, 2010). Perkiraan terakhir yang lebih sederhana di kemukakan oleh Las et

al. (2012) dan Haryono (2013) bahwa dari sekitar 7,3 juta ha lahan baru tersebut,

1,4 juta ha diperlukan untuk pencetakan sawah baru, 1,3 juta ha untuk jagung, 2 juta ha untuk kedelai, dan 2,6 juta ha untuk tanaman pangan lainnya, termasuk tebu dan hortikultura.

Permasalahan utama dalam memenuhi kebutuhan pangan masa depan adalah keragaan, ketersediaan,dan status kepemilikan lahan cadangan. Tidak mudah memperoleh lahan cadangan untuk pengembangan pertanian di masa yang akan datang, baik itu di kawasan pertanian maupun kawasan hutan.

Keragaan dan Ketersediaan Sumberdaya Lahan Pertanian

Secara kuantitas, Indonesia memang mempunyai sumberdaya lahan yang cukup luas dengan berbagai keragaman dan karakteristik. Namun sebagian besar merupakan lahan sub-optimal (LSO), hanya sekitar 17 persen adalah lahan subur (optimal) dan itupun sebagian besar diantaranya sudah dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan untuk berbagai penggunaan, terutama infrastruktur. Lahan sub-optimal yang secara alamiah mempunyai produktivitas rendah dan ringkih (fragile) dengan berbagai kendala akibat faktor inheren (tanah, bahan induk) maupun faktor eksternal akibat iklim, terutama curah hujan dan suhu, atau lahan yang terdegradasi atau terlantar.

Secara biofisik dan dengan berbagai sentuhan inovasi teknologi, diperkirakan sekitar 58 persen dari lahan sub-optimal tersebut potensial untuk lahan pertanian. Bahkan pada saat ini sebenarnya, sekitar 15 persen lahan sawah eksisting dan sekitar 60 persen dari lahan pertanian lainnya juga merupakan lahan sub-optimal yang potensial dan produktif serta sudah berkontribusi secara signifikan terhadap ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Lahan sub-optimal terluas (123,1 juta ha) merupakan lahan kering dan 34,1 juta ha adalah lahan basah (rawa). Lahan kering terluas merupakan lahan kering masam atau lahan kering beriklim basah yang sebagian besar tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan kering beriklim kering seluas 13,3 juta ha, tersebar di Jatim, Bali, NTT, dan NTB. Lahan kering masam dengan tingkat pencucian hara yang sangat intensif sehingga tanah menjadi miskin hara dan bereaksi masam, sebaliknya lahan kering beriklim kering relatif subur, namun dangkal dan berbatu. LSO basah terdiri dari 14,9 juta ha lahan gambut, seluas 11,0 juta ha berupa lahan rawa pasang surut, dan 9,3 juta ha berupa lahan rawa lebak (Mulyani dan Sarwani, 2013).

Luas lahan potensial (sesuai) dan tersedia secara biofisik untuk pertanian seluas 30,7 juta ha (BBSDLP, 2013) terdiri dari 8,28 juta ha potensial untuk pertanian lahan basah (sawah), 7,08 juta ha sesuai untuk pertanian lahan kering tanaman semusim, dan 15,31 juta ha lahan sesuai untuk pertanian tanaman

(5)

tahunan (Tabel 1). Sekitar 31 persen di antaranya merupakan lahan sub-optimal atau lahan rawa, gambut, lahan kering beriklim kering, dan hampir 30 persen lainnya merupakan lahan terdegradasi/terlantar berupa semak belukar/padang alang-alang yang disebabkan oleh deforestasi dan eksploitasi yang kurang optimal.

Tabel 1. Luas Lahan yang Sesuai dan Tersedia untuk Perluasan Areal Pertanian Lahan Basah dan Lahan Kering

Pulau

Lahan basah semusim Lahan kering semusim*) Lahan kering tahunan**) Total Rawa Non-rawa Total

……..……… 000 ha ……… Sumatera 354,9 606,2 960,9 1.312,8 3.226,8 6.499,4 Jawa 0 14,4 14,4 40,5 159,0 213,9 Bali dan NT 0 48,9 48,9 137,7 610,2 796,7 Kalimantan 730.2 665,8 1.396,0 3.639,4 7.272,0 12.307,4 Sulawesi 0 423,0 423,0 215,5 601,2 1.239,6 Maluku+ Papua 1.893,4 3.539,3 5.432,7 1.739,0 3.441,0 10.612,7 Indonesia 2.978,4 5.297,6 8.275,8 7.083,8 15.310,1 30.669,7 Keterangan : *) Lahan kering semusim juga untuk tanaman tahunan

**) Lahan kering tahunan termasuk juga sebagian gambut Sumber: Badan Litbang Pertanian (2007)

Seluas 66,4 persen (20,3 juta ha) di antara lahan tersebut berada di kawasan hutan dan 33,7 persen di kawasan budidaya atau APL (area penggunaan lain) (Tabel 2). Di samping itu, diperkirakan pula bahwa lebih dari 35 persen dari lahan tersisa tersebut merupakan lahan konsesi dan/atau berstatus kepemilikan perorangan yang tidak selalu mudah dimanfaatkan dan dikembangkan. Ini berarti peluang dan potensi perluasan areal pertanian baru di masa yang akan datang tertuju pada penggunaan lahan sub-optimal yang sebagian di antaranya berada di kawasan hutan dengan status kepemilikan yang rumit dan tumpang tindih.

Tabel 2. Lahan Tersedia untuk Pertanian pada Kawasan Budidaya Pertanian dan Kehutanan

No. Pulau Kawasan Budidaya Total

- ha - Pertanian Kehutanan 1. Sumatera 2.741.632 2.757.776 5.499.408 2. Jawa 129.022 84.868 213.890 3. Bali dan NT 515.874 280.872 796.746 4. Kalimantan 3.907.977 8.399.413 12.307.390 5. Sulawesi 682.192 557.412 1.239.604 6. Maluku+Papua 2.331.106 8.281.545 10.612.651 Indonesia 10.307.803 20.361.886 30.669.689 Sumber: Kemhut (2007, BBSDLP, 2008)

(6)

Konversi Penggunaan Lahan

Menurut data BPS, konversi lahan dalam periode 1981-1999 sekitar 90.147 ha/tahun, 61,6 persen di antaranya terjadi di Jawa (Irawan, 2004) dan dalam periode 1999-2002 konversi lahan mencapai 187.720 ha/tahun (Winoto, 2005). Walaupun data tersebut masih patut diperdebatkan, namun secara faktual dan visual, laju konversi lahan pertanian memang cukup deras terlihat, dan BBSDLP (2013) memperkirakan laju konversi tersebut 50-60.000 ha per tahun. Bahkan berdasarkan rencana tata ruang (RTR) seluruh kabupaten/kota se-Indonesia, konversi lahan sawah di Indonesia diperkirakan akan terjadi seluas 3.099.020 ha atau 42,4 persen dari total areal lahan sawah.

Selain itu, jika memperhatikan MP3EI, baik by design ataupun by accidence, sebagian dari lahan sawah subur dan intensif di Jawa mendapat tekanan yang sangat tinggi terkait dengan alih fungsi lahan untuk penggunaan lain, terutama untuk infrastruktur dan pengembangan industri. Padahal sebagian besar dari lahan tersedia untuk pengembangan lahan pertanian pangan di luar Jawa, terutama di koridor Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua (Republik Indonesia, 2010) merupakan lahan sub-optimal baik di lahan kering maupun rawa.

UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan 4 PP turunannya diharapkan dapat menekan laju konversi di masa yang akan datang. Namun banyak pihak berpendapat bahwa UU tersebut hanya efektif diimplementasikan pada pihak pengembang skala luas (perumahan, perkantoran, perindustrian, dan sebagainya), tetapi sulit untuk perorangan. Oleh sebab itu, perluasan areal baru tetap menjadi solusi utama dalam mengatasi konversi lahan.

Degradasi Lahan Eksisting

Salah satu penyebab pelandaian (leveling off) produktivitas lahan sawah, intensif di Jawa, adalah penurunan kesuburan fisik maupun kimia dan biologi tanah. Pada lahan kering, degradasi diindikasikan oleh kerusakan fisik lahan (erosi, longsor, dll) dan penurunan daya dukung (kapasitas retensi air, hara, produktivitas, dll) yang menyebabkan: a) semakin sulitnya meningkatkan produktivitas, b) inefisiensi produksi, dan c) makin sulitnya pengolahan tanah (inefisiensi tenaga kerja).

Penyebab utama degradasi lahan sawah terkait dengan sistem pengelolaan lahan dan usahatani, seperti: (a) pemupukan dan penggunaan input lain yang tidak rasional; (b) pengurasan hara yang berlebihan tanpa pengembalian bahan organik atau tanpa pupuk organik; (c) eksploitasi dan pengelolaan lahan yang sangat intensif, IP tinggi dengan pola tanam yang monoton/monokultur; dan (d) pencemaran kegiatan non-pertanian (industri, domestik, dll). Degradasi lahan sawah juga dapat terjadi secara alamiah seperti intrusi air laut, robb, dan pencemaran alami.

(7)

Dilema Pemanfaatan Lahan Gambut

Pesatnya pengembangan komoditas perkebunan terutama kelapa sawit telah mendorong pembukaan dan pemanfaatan lahan gambut yang fragil dan berisiko terhadap sumberdaya lahan dan lingkungan, terutama emisi GRK. Kenyataan menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan gambut layak dan memberikan keuntungan bagi petani atau pengusaha. Di beberapa daerah yang sebagian besar wilayahnya didominasi oleh lahan gambut, seperti Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Kabupaten Muara Jambi, Jambi, dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, pemanfaatan lahan untuk pertanian merupakan keharusan yang tidak bisa dihindari. Saat ini diperkirakan sekitar 19 persen dari total luas areal perkebunan kelapa sawit berada di lahan gambut.

Walaupun sebagian lahan gambut yang dimanfaatkan untuk perluasan areal perkebunan berstatus “terlantar/terdegradasi” tetapi upaya pengembangan lebih lanjut menuai kritik dan memunculkan polemik dalam komunikasi internasional, baik dari negara maju maupun LSM. Polemik tersebut mendorong pemerintah mengambil kebijakan tata kelola lahan dan hutan, seperti Inpres No.10/2011 dan No.06/2013 yang berimplikasi terhadap arah dan strategi perluasan lahan pertanian.

ANCAMAN PERUBAHAN IKLIM DAN ISU LINGKUNGAN Fenomena Variabilitas dan Perubahan Iklim

Naiknya suhu udara di Jakarta dalam periode 1880-2000, sekitar 1,4°C pada bulan Juli dan 1,04°C pada bulan Januari (Boer, 2007), dan peningkatan suhu udara global sejak lebih dari 100 tahun terakhir rata-rata 0,57oC (Runtunuwu dan Kondoh, 2008) merupakan indikasi terjadinya perubahan iklim. Jika tidak dilakukan tindakan mitigasi, diperkirakan akan terjadi peningkatan suhu udara 2-4oC hingga 100 tahun yang akan datang dengan konsekuensi naiknya permukaan air laut 50-100 cm (Salwati, 2012).

Unsur utama perubahan iklim adalah: (a) peningkatan suhu udara dekat permukaan bumi, (b) peningkatan permukaan air laut dan robb; (c) perubahan pola curah, dan (d) makin seringnya anomali atau kejadian iklim ekstrim (Las et al., 2009; Kementan, 2010). Frekuensi kejadian iklim ekstrim yang dikendalikan oleh fenomena ENSO (El-Nino South Oscillation) yang menyebabkan El-Nino atau La-Nina, dan Indian Dipole Mode (IOD) semakin kerap, dari setiap 3-8 tahun menjadi 2-5 tahun (Las et al., 2008; Ratag, 2007). Jumlah bulan dengan curah hujan ekstrim juga cenderung meningkat sejak 50 tahun terakhir, terutama di kawasan pantai (Aldrian dan Djamil, 2006).

Gejala pergeseran pola hujan juga semakin nyata terlihat di berbagai wilayah di Indonesia, yaitu maju atau mundurnya awal musim hujan atau musim kemarau, (Boer dan Faqih, 2004; Nurhayati, 2010). Di wilayah selatan, curah hujan cenderung makin tinggi tetapi periode musim cenderung memendek, sedangkan di bagian utara khatulistiwa, jumlah curah hujan cenderung menurun tetapi periode musim hujannya cenderung semakin panjang (Naylor et al., 2007).

(8)

Kerentanan Ketahanan Pangan

Tingkat kerentanan sektor pertanian bersifat dinamis dan multi-dimensi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: (a) tingkat keterpaparan (exposure) bahaya atau risiko iklim, (b) tingkat kepekaan (level of sensitivity) tanaman dan sistem usahatani, serta (c) kemampuan adaptasi yang terkait dengan faktor biofisik, sosial-ekonomi, demografi dan budaya.Dibandingkan dengan sektor lainnya, sektor pertanian, terutama pangan, mempunyai tingkat kerentanan sangat tinggi dengan beberapa faktor penyebab, antara lain:

(a) Kondisi biofisik sumberdaya pertanian (lahan dan air) yang sebagian diantaranya bersifat ringkih (fragile), keterbatasan dan kerusakan infrastruktur pertanian, terutama irigasi.

(b) Sifat biologis tanaman pangan yang sensitif terhadap cekaman biofisik dan biotik (iklim,air dan kimia tanah, OPT, dll.) dengan sistem usahatani yang kurang sustain karena tidak seimbang dengan daya dukung sumberdaya. (c) Kondisi sosial-ekonomi petani (tanaman pangan) yang lebih dari 55 persen

diantaranya adalah petani gurem dengan berbagai keterbatasan.

(d) Pola konsumsi dan distribusi pangan yang kurang elastis dengan sebaran penduduk yang tidak seimbang dengan potensi sumberdaya.

Dampak dari kerentanan sektor pertanian diperparah oleh rendahnya daya adaptasi terhadap perubahan iklim, terkait dengan: (a) rendahnya kemampuan masyarakat (petani) dalam mengelola risiko iklim, (b) berbagai kendala (teknis dan sosial) dalam adopsi dan penerapan teknologi adaptif, (c) belum efektif dan lemahnya kebijakan dalam mendukung petani mengatasi dampak perubahan iklim, dan (d) belum optimalnya sistem informasi iklim dan teknologi.

Dampak Perubahan Iklim

Berdasarkan prosesnya, dampak perubahan iklim dibedakan atas dampak langsung akibat cekaman perubahan iklim terhadap sistem dan proses produksi, sedangkan dampak tidak langsung termasuk “boarder context”. Sebagai contoh dampak kebijakan tata kelola sumberdaya lahan dan air (terkait mitigasi), serta distribusi dan kebijakan harga pangan (Haryono dan Las, 2011).

Terkait dengan penyebab dan akibatnya, dampak perubahan iklim dapat bersifat kontinu, diskontinu, atau permanen. Dampak kontinu disebabkan oleh kenaikan suhu udara, perubahan hujan, dan salinitas tanah yang menyebabkan penurunan produktivitas, indeks pertanaman (IP), dan perubahan pola tanam. Dampak diskontinu umumnya disebabkan oleh kejadian iklim ekstrim (banjir, kekeringan, angin kencang, dll.) yang menyebabkan penurunan produktivitas, gagal panen dan ledakan OPT. Dampak permanen perubahan iklim antara lain penciutan lahan pertanian di kawasan pantai akibat kenaikan muka air laut (Boer

et al., 2011).

Kenaikan suhu minimum setiap 1°C akan menurunkan hasil tanaman padi sebesar 10 persen (Peng et al., 2004). Model simulasi hasil tanaman menunjukkan bahwa peningkatan suhu udara 0,5 dan 1,0oC pada tahun 2025 dan 2050 akan

(9)

menyebabkan penurunan produksi padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebesar 1,8 juta ton dan 3,6 juta ton pada tahun 2025 dan 2050.

Mundurnya awal musim hujan selama 30 hari berpotensi menurunkan produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah sekitar 6,5 persen dan di Bali 11 persen. Sebaliknya, di wilayah bagian utara (Sumatera dan Kalimantan), kecenderungan pemanjangan musim tanam potensial meningkatkan IP sebesar 10-15 persen. Perubahan pola curah hujan menyebabkan perubahan potensi dan ketersediaan air waduk Citarum dalam 10 tahun terakhir cenderung turun dari 5,7 milyar m3 per tahun menjadi 4,9 milyar m3 per tahun (PJT II, 2009). Kondisi yang mirip juga terjadi di waduk lain di Jawa, seperti Gajahmungkur dan Kedung Ombo.

Dampak kenaikan muka air laut adalah meningkatnya salinitas air tanah dan tergenangnya sebagian lahan di wilayah pantai. Peningkatan salinitas tanah menjadi 3,9 dan 6,5 dS/m potensial menurunkan hasil padi sebesar 25 persen dan 55 persen (Zeng dan Shannon, 2000). Luas lahan sawah yang terancam akibat salinitas maupun tenggelam di Pantura Jawa diperkirakan 292-400 ribu ha (3,7%), Sulawesi 78.701 ha, Kalimantan 25.372 ha, Sumatera 3.170 ha, dan Nusa Tenggara 2.123 ha(Gambar 1) (Boer et al., 2011).

Gambar 1. Kehilangan Produksi Padi yang Disebabkan oleh Penciutan Lahan dan Salinitas Akibat Peningkatan Permukaan Air Laut

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 180000

Ke

hi

la

nga

n P

ro

du

ks

i p

ad

i (

to

n)

Kehilangan Akibat Tenggelam

Penurunan Produksi Karena Salinitas

(10)

KIAT STRATEGIS OPTIMALISASI LAHAN DAN ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM

Green Economy Pada Sektor Pertanian

Menyadari berbagai isu lingkungan, degradasi sumberdaya, serta fenomena perubahan iklim, terkait aktivitas manusia dan pembangunan, mendorong masyarakat internasional terhadap sistem pembangunan yang lebih peduli lingkungan dan kelestarian sumberdaya alam yang dikemas dalam ekonomi hijau (green economy). Menurut UNEP (2010), ekonomi hijau adalah sistem ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial, sekaligus meminimumkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan sumber daya alam.

Pada sektor pertanian, ekonomi hijau dalam kalimat sederhana dapat diartikan sebagai perekonomian yang rendah karbon (menghasilkan emisi dan polusi lingkungan yang minimum), hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial. Secara lebih filosofis, ekonomi hijau yang diwujudkan dalam model pertanian hijau (green farming) yaitu model farming rendah karbon yang mendukung interaksi yang selaras antara alam dan manusia untuk memenuhi kebutuhan masing-masing secara bersamaan untuk hari ini dan generasi mendatang, dengan mengoptimalkan 4 kelompok nilai, yakni: (1) produktivitas, (2) ekonomi/finansial, (c) lingkungan/ekologi dan (4) sosial dan budaya.

Pertanian hijau mempunyai beberapa ciri, antara lain: (a) tidak “lagi” mengandalkan eksploitasi sumberdaya (lahan dan air) dan lingkungan yang berlebihan, (b) win-win solution dan mengakhiri perdebatan seputar “pelestarian lingkungan” versus “pertumbuhan ekonomi”, (c) laju peningkatan emisi GRK berbanding terbalik dengan laju peningkatan PDRB, (d) meninggalkan praktek ekonomi yang hanya mementingkan keuntungan jangka pendek, melainkan mengembangkan sistem pertanian rendah karbon (low carbon farming), (e) berbasis IPTEK yang ecological economic (saling ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem, pertumbuhan ekonomi, dan lingkungan/perubahan iklim.

Konsep green economy pada sektor pertanian sebenarnya dapat diinisiasi oleh berbagai model farming yang sudah dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian, seperti sistem integrasi tanaman ternak, baik pada tanaman pangan (padi) sebagai SIPT dan pada tananaman perkebunan (SITT), dan Sistem Pertanian Terpadu Lahan Kering Beriklim Kering (SPTLK-IK/Food Smart Village) atau SPTLR pada lahan rawa. Dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan/ramah lingkungan yang sekaligus untuk mendukung rencana aksi adaptasi dan antisipasi perubahan iklim, sejak tahun 2010 Badan Litbang telah mengembangkan konsep Sistem Pertanian Hemat Karbon (Indonesian Carbon

(11)

Pengembangan Bio-industri

Bio-industri sebagai salah satu derivat green economy merupakan konsep yang banyak dimuat dalam konsep SIPP (Stategi Induk Pembangunan Pertanian) 2045 menuju pertanian yang berkeadilan,berkelanjutan, berwawasan lingkungan, bermartabat dan berkemandirian. Bio-industri adalah sistem pertanian yang pada prinsipnya mengelola dan/atau memanfaatkan secara optimal seluruh sumberdaya hayati termasuk biomasa dan/atau limbah organik pertanian, bagi kesejahteraan masyarakat dalam suatu ekosistem secara harmonis.

Pada lahan sub-optimal, m-PRL-i harus bertumpu pada dua strategi induk, yaitu (a) perakitan dan penerapan teknologi inovatif dan adaptif, dan (b) pengembangan dan optimalisasi sumberdaya pertanian terintegrasi, berbasis pada (i) eksplorasi, eksploitasi dan rekayasa sumberdaya genetik, (ii) optimalisasi dan efisiensi sumberdaya lahan dan air, dan (iii) optimalisasi dan efisiensi karbon, biomasa, dan limbah organik.

Keunggulan komparatif dan kompetitif Indonesia dalam konsep bio-ekonomi adalah dalam mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai negara tropis dan maritim sebagai kawasan yang efektif untuk memanen energi matahari menjadi biomassa

feedstock bio-industri. Bio-industri di Indonesia harus dilandasi dengan

pemanfaatan keunggulan proses budidaya bio-enginering nabati, hewani, dan mikro-organisme untuk menghasilkan biomassa dan energi siap pakai mendukung pengembangan sektor ekonomi secara berkelanjutan.

Poros utama bio-idustri adalah science genomic dalam ekplorasi dan eksploitasi sumberdaya genetik dengan beberapa pilar utama yaitu teknologi proses (termasuk bio-proses) dan penanganan pasca panen, distribusi dan pemasaran dengan tiga klaster atau alternatif produk, yakni pangan, pakan, pupuk,dan energi. Konsep bio-industri tidak hanya fokus pada pemanfaatan biomassa (pertanian) untuk multi-guna (pangan, energi, pakan, pupuk, dll.) tetapi juga lebih mengedepankan pemanfaatan dan rekayasa genetik terhadap keberlimpahan sumberdaya genetik nasional.

Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

Ancaman paling serius perubahan iklim terhadap ketahanan pangan, terutama beras disebabkan oleh kekeringan, banjir, dan peningkatan intensitas gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Oleh sebab itu, sasaran utama Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) Sektor Pertanian, khususnya pangan, adalah:

(1) Penurunan tingkat kehilangan hasil akibat cekaman keragaman dan perubahan iklim.

(2) Peningkatan kapasitas dan sumber pertumbuhan produksi pangan, pada daerah dengan risiko iklim dan dampak lingkungan minimum.

(12)

(3) Penurunan permintaan terhadap komoditas pangan yang rentan perubahan iklim dan boros input (seperti beras) dan mensubstitusinya dengan pangan lokal dan lebih tahan dan efisien.

Pencapaian ketiga sasaran tersebut harus memperhatikan aspek ekonomi, kesejahteraan petani, mitigasi perubahan iklim, dan kelestarian lingkungan dengan strategi utama:

(1) Penyesuaian dan pengembangan sistem usahatani terhadap perubahan iklim.

(2) Perakitan, pengembangan, dan penerapan teknologi inovatif yang adaptif terhadap cekaman iklim.

(3) Pengembangan dan optimalisasi sumberdaya lahan, air, genetik, dan diversifikasi pangan.

Pertanian Cerdas Iklim (Climate Smart Agriculture)

Dinamika lingkungan, problema sumberdaya lahan dan ancaman keragaman dan perubahan iklim, menuntut reorientasi pembangunan pertanian yang lebih cerdas (“smart”) . Pertanian smart pada bertitik tolak pada konsep green

economy dapat diwujudkan dalam bentuk model pertanian inovatif ramah

lingkungan (m-PRL-i). Sasaran utama peningkatan produktivitas, nilai tambah ekonomi, kelestarian sumberdaya dan lingkungan/rendah emisi GRK.

Untuk menghindari dan/atau memperkecil dampak variabilitas dan perubahan iklim serta berbagai problema sumberdaya lahan diperlukan dua pendekatan, yaitu pendekatan kebijakan dan pengembangan inovasi (teknologi) pertanian. Kedua pendekatan tersebut terkait dengan strategi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan, serta strategi antisipasi dan penanggulangan dampak variabilitas dan perubahan iklim, baik secara teknis melalui pengembangan teknologi maupun secara sosial-ekonomi dan kelembagaan yang dikemas dalam sistem atau model pertanian resilient sebagai model pertanian cerdas iklim.

Sistem pertanian cerdas terhadap perubahan iklim adalah suatu model atau sistem usahatani inovatif yang mempunyai daya adaptasi dan daya lentur yang tinggi terhadap berbagai ancaman dan risiko, dalam hal ini ancaman variabilitas dan perubahan iklim dan/atau menanggulangi berbagai problema sumberdaya lahan. Pertanian cerdas harus mempunyai setidaknya 4 dari 7 indikator berikut:

1. Toleran terhadap cekaman perubahan iklim dan mudah pulih (recovery). 2. Tingkat kerentanan rendah atau berdampak relatif kecil, baik secara

agronomi (produksi) maupun ekonomi akibat cekaman perubahan iklim. 3. Mampu memanfaatkan sumberdaya dan input secara efisien, terutama

lahan, air, dan saprodi (pupuk, pestisida, bibit, dll).

4. Pengembangan ecofarming berbasis green economy atau pertanian ramah lingkungan, mitigatif/rendah emisi (SITT, ICEF, SPTLK/FSV, dll).

(13)

5. Produktivitas tinggi dan berkualitas, serta mampu menembus kemandegan (leveling off) produktivitas.

6. Bersifat restorasi yang mampu merehabilitasi dan mereklamasi lahan yang terdegradasi/terlantar.

7. Menerapkan inovasi teknologi maju (frontier) yang dapat diintegrasikan dengan teknologi sederhana atau indigenous technology.

Untuk menghadapi kekeringan maupun bencana alam lainnya, petani pada umumnya memiliki cara tersendiri untuk bisa bertahan hidup. Hasil penelitian Hadi

et al., (2000) menunjukkan petani telah menerapkan berbagai strategi walaupun

dalam kenyataannya risiko dan ketidakpastian itu tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, seperti strategi finansial, pemasaran, produksi, kredit informal, dan membeli asuransi pertanian formal berupa polis dari lembaga asuransi untuk menutup semua atau sebagian kerugian yang diperkirakan akan terjadi (Estiningtiyas et al., 2012).

STRATEGI DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Pengembangan lahan pertanian masa yang akan datang akan menggunakan lahan cadangan yang sebagian besar merupakan lahan sub-optimal, termasuk lahan terdegradasi dan terlantar.Terkait dengan Inpres No. 10/2011dan No.06/2013 tentang moratorium izin pembukaan hutan dan lahan gambut, kebijakan win-win dapat ditempuh melalui restorasi dan revitalisasi lahan terdegradasi/terlantar di kawasan hutan.

Lahan tersebut seyogianya dapat dikelola dengan tiga alternatif strategi, yaitu: a) melalui rehabilitasi/restorasi hutan (reboisasi) untuk dikembalikan kepada hutan (lindung dan konservasi), b) pengembangan hutan tanaman industri (HTI), c) pengembangan tanaman perkebunan dan buah-buahan yang memiliki sekuestrasi karbon tinggi. Namun, untuk kepentingan ketahanan pangan melalui penerapan teknologi dan model farming yang ramah lingkungan (m-PRL-i), sebagian lahan tersebut secara selektif dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan dan sayuran.

Tatanan peruntukan dan pengelolaan sumberdaya lahan yang bijak dan rasional, harus didukung oleh (a) percepatan pemberdayaan bagi petani yang mengembangkan m-PRL-i pangan di lahan sub-optimal, (b) perluasan lahan diprioritas pada lahan sub-optimal terdegradasi dan terlantar di kawasan budidaya (APL), (c) akselerasi dan eskalasi kegiatan penelitian dan pengembangan dengan sistem konsorsium litbang pertanian dan model skim penelitian terpadu lainnya. Selain itu, m-PRL-i harus didasarkan pula pada hasil kajian saintifik terhadap indeks kerentanan pertanian terhadap perubahan perubahan iklim spesifik lokasi.

Untuk pengembangan tanaman pangan diprioritaskan pada optimalisasi pemanfaatan lahan potensial baik di lahan rawa maupun non-rawa. Perluasan lahan melalui pengembangan lahan sub-optimal harus diprioritaskan pada lahan

(14)

suboptimal terdegradasi dan terlantar di kawasan budidaya (APL), diikuti dengan pemanfaatan lahan-lahan terlantar di kawasan hutan secara selektif.

Optimalisasi pemanfaatan lahan sub-optimal eksisting (baik lahan sawah maupun lahan kering), agar lebih produktif dan lestari, melalui intensifikasi dengan dukungan inovasi teknologi (benih unggul, pengelolaan lahan dan air, penggunaan pupuk organik, pupuk hayati, pembenah tanah). Sasaran utamanya adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam/indeks pertanaman (IP).

Ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian baru dengan memanfaatkan lahan sub-optimal yang potensial dengan skala prioritas tertentu. Terkait dengan misi dari Inpres No.06/2013 tentang Jeda Pemberian Izin atau Pembukaan Hutan dan Lahan Gambut, maka prioritas utama perluasan areal adalah memanfaatkan lahan sub-optimal terdegradasi atau terlantar (abundance land). Lahan terlantar ini sekitar 10 juta ha di kawasan pertanian dan 20 juta ha di kawasan kehutanan.

PENUTUP

Pengembangan dan optimalisasi lahan sub-optimal harus berbasis “science,innovation, dan networking”, yang dapat dijabarkan pada beberapa strategi:Pertama: pengembangan lahan sub-optimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi teknologi yang diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan. Karena sifatnya yang fragil dan unik, pengembangan inovasi harus didukung basis ilmiah dan akedemik yang kuat.

Strategi khusus perluasan areal jangka pendek dengan memanfaatkan lahan HTI dan perkebunan untuk pengembangan tanaman pangan. Menurut Kementerian Kehutanan ada sekitar + 9,4 juta ha, dimana 70 persen dalam status aktif dan berdasarkan kajian Badan Litbang Pertanian 5,4 juta diantaranya potensial untuk tanaman pangan. Dengan siklus 6-7 tahun, maka setiap tahun terdapat lahan HTI potensial ditanami seluas 570.000 ha.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Edisi II. 30 halaman

BPS (Badan Pusat Statistik). 2008. Indonesia Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2008. Land Utilization by Provinces in Indonesia Badan Pusat Statistik, Jakarta. www.bps.go.id (1 Februari 2008).

BPS (Badan Pusat Statistik). 2009. Indonesia Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

(15)

BPS (Badan Pusat Statistik). 2010. Indonesia Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

BPS (Badan Pusat Statistik). 2012. Indonesia Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

BPN (Badan Pertanahan Nasional). 2002. Peta Penggunaan Lahan skala 1:250.000. Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.

BPN (Badan Pertanahan Nasional). 2004. Peta Penggunaan Lahan skala 1:250.000. Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.

BPN (Badan Pertanahan Nasional). 2011. Peta Sebaran Lahan Sawah Berdasarkan Kesepakatan antara Kementan, BPN, dan BPS. Badan Pertanahan Nasional, Jakarta.

BBSDLP (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian). 2008. Policy Brief. Potensi dan Ketersediaan Sumberdaya Lahan Untuk Perluasan Areal Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

BBSDLP (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian). 2012. Basisdata Sumberdaya Lahan Pertanian pada Skala Tinjau (1:250.000). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Departemen Kehutanan. 2007. Data Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Hak Guna Usaha (HGU) atas Kawasan Hutan yang Telah Dilepasakan Untuk Perkebunan. Badan Planologi Kehutanan.

Deptan. 2007. Permentan tentang Tatacara Pemanfaatan Lahan Terlantar, serta Implementasi Permentan No. 53/2007 tentang Pedum Budidaya Lahan Pegunungan. Departemen Pertanian.

Isa, I. 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Halaman 1-16 dalam Prosiding Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, MAFF Japan, dan ASEAN Sekretariat. Jakarta.

Las, I., M. Sarwani dan A. Mulyani 2012. Laporan Akhir Kunjungan Kerja Tematik dan Penyusunan Model Percepatan Pembangunan Pertanian Berbasis Inovasi Wilayah Pengembangan Khusus Lahan Sub Optimal. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

Sumarno dan N. Suharta (Ed.). 2010. Analisis Kecukupan Sumberdaya Lahan Mendukung Ketahanan Pangan Nasional hingga 2010. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Winoto, J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Lanah Pertanian dan Implementasinya. Seminar Sehari Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. Jakarta, 13 Desember 2005.

Gambar

Tabel 2.  Lahan Tersedia untuk Pertanian pada Kawasan Budidaya Pertanian dan  Kehutanan
Gambar 1.   Kehilangan  Produksi Padi yang Disebabkan oleh Penciutan Lahan  dan Salinitas Akibat Peningkatan Permukaan Air Laut

Referensi

Dokumen terkait

 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peran kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru di SDN Sapen M anisrenggo Klaten dapat diukur dengan hasil

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang ulang tata letak UPS memperhatikan efektifitas pemanfaatan bangunan berdasarkan jumlah timbulan sampah, jenis

Mengetahui pengaruh yang diberikan antara Event Sponsorship terhadap Brand Image dari merek produk mie cepat saji

Dalam membagi foto tersebut, para pengguna juga tidak hanya dapat membaginya di dalam Instagram saja, melainkan foto tersebut dapat dibagi juga melalui jejaring sosial lainnya

Sumber dana berasal dari kas internal, yang merupakan dana hasil initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada September 2016 lalu.. Anak usaha Grup Indofood

Hasil analisis pada penelitian ini menghasilkan bahwa variabel umur tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian depresi postpartum pada ibu primipara dan

Ini berarti bahwa pada tarafα = 5% secara simultan atau bersama-sama pelaksanaan maintenance dan lingkungan fisik memiliki pengaruhpositif dan signifikan (nyata)

Model yang diusulkan meliputi penerapan seleksi fitur menggunakan particle swarm optimization (PSO), Algoritma pendekatan level data Random Over-Sampling (ROS), Dan