• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sesi 3: Reformasi Kurikulum dan Penilaian Pendidikan Indonesia untuk Abad 21

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sesi 3: Reformasi Kurikulum dan Penilaian Pendidikan Indonesia untuk Abad 21"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Sesi 3:

“Reformasi Kurikulum dan Penilaian Pendidikan Indonesia untuk Abad 21”

Reformasi dan Perubahan Kurikulum dalam Sistem Penilaian Pendidikan

Para penyusun kurikulum dan penulis buku teks pelajaran menghadapi tekanan yang semakin besar untuk membuat refleksi apakah desain, standar dan dukungan terhadap kurikulum, terutama bagi guru, telah cukup, dalam rangka membantu para pendidik dan sekolah memberikan instruksi serta pengalaman belajar yang optimal bagi perkembangan aspek keterampilan kognitif, interpersonal dan intrapersonal murid. Tekanan tersebut datang baik dari dalam maupun luar lingkungan. Secara internal, terdapat tuntutan nasional akan kurikulum yang mampu menerjemahkan proses belajar menjadi pengalaman pendidikan yang dapat menyiapkan generasi muda dalam memecahkan tantangan dan masalah kompleks dari masyarakat dunia yang beragam dan terus berubah pesat. Secara eksternal, tekanan datang dalam bentuk perbandingan hasil-hasil penilaian antar negara, merujuk pada standar internasional.

Dalam dua dekade terakhir, terjadi perubahan arah tren global sesuai yang kurang lebih diakibatkan oleh reformasi kurikulum. Hal tersebut termasuk terjadinya pergeseran paradigma dari memahami pendidikan, persekolahan dan pengajaran sebagai perwujudan dari tujuan mentransfer fakta-fakta, menjadi fokus pada menghasilkan keluaran pembelajaran murid yang baik dan fokus pada pelibatan murid dalam pemaknaan dan pembangunan pengetahuan. Terkait dengan hal tersebut adalah terjadinya pergeseran penekanan pedagogis, dimana sebelumnya murid belajar dengan cara menghafal informasi atau pengetahuan, menjadi pembekalan murid dengan kemampuan melakukan analisis, sintesa, evaluasi dan mengaplikasikan pengetahuan. Pendekatan tersebut juga mengubah pandangan terhadap fungsi-fungsi dasar penilaian sebagai cara untuk mengukur performa murid melalui pencapaian akademis mereka (penilaian sumatif) menjadi pengertian akan penilaian sebagai cara memotret atau mengukur pertumbuhan dalam rangka memahami perkembangan belajar murid (penilaian formatif). Reformasi-reformasi yang sudah dilakukan, telah memperkenalkan, mendorong dan memperkuat pemanfaatan sejumlah jenis penilaian dari yang bersifat otentik (misalnya mengukur kinerja dalam memecahkan persoalan kehidupan nyata) dan penilaian formatif, menjadi – ini yang terpenting – membantu guru untuk mengidentifikasi perkembangan pemahaman murid dan belajar mereka, serta memanfaatkan hasil-hasil penilaian tersebut untuk menuai wawasan yang mendalam guna mengadaptasi instruksi di kelas dan membuatnya lebih efektif. Reformasi Kurikulum di Indonesia: Menuju Perbaikan yang Berkesinambungan Pendidikan Indonesia dipengaruhi sebanyak sepuluh kali reformasi kurikulum secara signifikan yang terjadi antara tahun 1964-2013, yang seluruhnya dimaksudkan untuk menjawab kondisi sosial-ekonomi serta harapan masyarakat Indonesia. Kurikulum terakhir, Kurikulum 2013 atau K13, menguraikan kompetensi secara spesifik di tiap area mata pelajaran, dalam hal pengetahuan, keterampilan dan sikap murid. K13 dirancang agar lebih fokus pada murid, dibandingkan Kurikulum KTSP 2006, dan menekankan pada keterampilan abad 21 seperti kolaborasi belajar, kurikulum yang terintegrasi dan pemanfaatan teknologi. Salah satu fitur khas K13 adalah pendekatan tematiknya dalam menyajikan konten, menuju peningkatan kapasitas murid. K13 mulai diimplementasikan di tahun 2014 dan telah diperkenalkan ke sebanyak kurang lebih 25% sekolah di Indonesia untuk mulai diberikan di tahun ajaran 2016-2017.

Kemdikbud menugaskan ACDP bekerjasama dengan PUSKURBUK untuk menyelenggarakan Kajian Cepat K13 pada bulan Mei 2016 lalu, sebagai cara untuk dapat mengidentifikasi berbagai persoalan yang dihadapi guru saat mengimplementasikan pendekatan baru kurikulum tersebut.

(2)

Kajian Cepat itu berhasil menemukan sejumlah masalah, seperti; kurang jelasnya tujuan pelajaran; tercampurnya maksud tujuan akhir dan cara pencapaiannya secara membingungkan; terlalu padatnya kurikulum dengan tugas guru yang terlalu banyak; topik-topik konvensional yang berulang; kompetensi belajar yang terfragmentasi tanpa diikuti definisi yang baik; buku teks pelajaran yang secara volume sangat banyak dan terlalu sarat informasi; serta materi kurikulum yang tidak selaras dengan evaluasinya.

Sebagai respon terhadap hal tersebut, Kemdikbud dan unit-unit kerja yang bertanggungjawab dalam menciptakan, merevisi, memberi mandat dan memonitor implementasi kurikulum, terus mengembangkan kapasitas untuk dapat menerapkan praktik-praktik baik dalam proses revisi, penyusunan, implementasi serta monitoring dan evaluasi kurikulum. Tahap-tahap reformasi kurikulum ini terus saja menjadi area perdebatan, dimana dibutuhkan perbaikan besar.

Di antara berbagai perubahan yang terjadi dalam Puskurbuk dan BSNP, dua entitas yang secara langsung bertanggungjawab dalam merevisi standar dan menginisiasi reformasi kurikulum, adalah langkah kegiatan kunjungan monitoring ke sekolah dan kelas untuk mendapat umpan balik dan mengurangi kesenjangan antara penulis kurikulum yang duduk di tingkat pemerintah pusat (Kemdikbud) dengan mereka yang menerapkan kurikulum tersebut secara nyata: yaitu para guru dan kepala sekolah di sekolah-sekolah yang mengimplementasikan K13.

Pergeseran ini diinspirasi oleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai pentingnya mekanisme monitoring dan evaluasi efektivitas implementasi K13 yang lebih otentik dan komprehensif. Sebagian dari hal ini berarti menjauh dari praktik kunjungan singkat yang hanya merupakan survei birokratik, menjadi bentuk kunjungan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan bukti-bukti pekerjaan guru dan murid secara langsung, serta bukti-singkat yang hanya merupakan survei birokratik, menjadi bentuk kunjungan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan bukti-bukti kegiatan dimana mereka terlibat. Misalnya, kunjungan ke sekolah akan mengikutsertakan kegiatan wawancara dan diskusi kelompok dengan murid, guru, kepala sekolah dan bahkan orangtua terkait efektivitas kurikulum, buku teks pelajaran dan pedagogi yang dilaksanakan. Perubahan terbaru di Puskurbuk dan BSNP juga termasuk menyusun dan memadukan paket instrumen dan alat-alat monitoring dan evaluasi, yang memungkinkan terhimpunnya data yang lebih jelas dan bermakna, yang dapat menuntun pada informasi yang lebih mendalam, demi perbaikan standar pendidikan dan kurikulum di masa mendatang.

Sebagai cara untuk memastikan pemahaman dan pelibatan guru yang lebih baik terhadap konten kurikulum dan dokumen-dokumennya, Puskurbuk dan BSNP telah merencanakan cara-cara pengaturan standar K13 secara lebih sistematik. Puskurbuk dan BSNP juga telah menyusun contoh perencanaan unit pengajaran. Perubahan-perubahan tersebut akan mempertimbangkan gagasan akan kemajuan belajar murid dalam konteks pengembangan kompetensi, konsep atau keterampilan-keterampilan tertentu; adanya gagasan besar atau konsep inti dalam mata pelajaran disiplin ilmu tertentu yang disasar di unit pembelajaran tertentu; penekanan pada cara belajar aktif; serta gugahan terhadap guru untuk menggunakan penilaian otentik dan formatif. Tujuan umum dari perubahan ini adalah untuk memiliki sebuah kurikulum yang membantu memastikan bahwa murid mengembangkan pemahaman konseptual secara mendalam, dimana kegiatan belajar memungkinkan mereka untuk mengaplikasikan hasil pembelajarannya dalam persoalan nyata kehidupan, dibandingkan dengan membentuk mereka sebagai penghafal fakta, pemenuh tugas-tugas, serta penggunaan tes akademik standar yang hanya mengukur pengetahuan faktual murid.

Praktik-praktik baik dari dunia internasional terkait reformasi sistem penilaian dan kurikulum pendidikan – terutama dalam konteks Asia – sangatlah relevan dan bermanfaat bagi Indonesia. Contohnya, sementara Indonesia melalui K13 merevisi kurikulum dan materi-materi pengantar untuk seluruh kelas, serta memandatkan implementasinya di seluruh tingkat pendidikan mulai kelas 1 hingga 12 di tahun 2014, Korea Selatan menyelenggarakan reformasinya secara lebih bertahap dan sistematis. Perubahan yang direncanakan sepanjang tahun 2009 s.d. 2013 menghasilkan revisi kurikulum nasional yang kemudian baru diimplementasikan di tahun 2013 dan hanya pada kelas 1, 2 dan 7.

(3)

Lebih jauh, proses musyawarah, penelitian, negosiasi dan pengembangan kurikulum tidak saja menghabiskan waktu tetapi juga melibatkan lebih dari 20 kelompok riset dalam menyusun kurikulum mata pelajaran. Dibutuhkan pula dewan penasehat dan tim supervisi kurikulum mata pelajaran untuk mendukung dan mengawasi prosesnya. Pelajaran yang dapat diambil dari Korea Selatan dan negara-negara lainnya adalah bahwa dibutuhkan perencanaan yang lebih hati-hati, dan pendekatan bertahap untuk menginstitusionalkan perubahan kurikulum, mungkin bermanfaat untuk memastikan transisi yang mulus ke dalam kurikulum yang baru. Dalam kasus reformasi kurikulum lainnya, satu dari pelajaran paling penting bagi Indonesia adalah reformasi kurikulum yang terjadi di Filipina yang memprioritaskan tercapainya perkembangan literasi di kelas-kelas awal sekolah dasar, termasuk keputusan untuk memasukkan pendidikan multi bahasa berbasis bahasa ibu (PMB-BBI). Banyak kabupaten dan kota di Indonesia, dengan sekolah-sekolah yang terletak di pedesaan dan daerah terpencil, melayani murid dimana bahasa ibu mereka bukanlah Bahasa Indonesia, dapat belajar dari contoh-contoh internasional tadi yang secara sama fokus pada sang pelajar dan kebutuhan mereka yang beragam. Sangatlah menarik untuk memberi catatan bahwa proyek pilot PMB-BBI telah dilaksanakan di Indonesia oleh ACDP di kabupaten Lanny Jaya, Papua. Menuju Sistem Penilaian Kelas Dunia: Apa Langkah Strategis bagi Pengembangan Lansekap Penilaian di Indonesia?

Perubahan besar yang dilakukan di K13 telah mendorong perubahan-perubahan di komponen lain dalam sistem pendidikan Indonesia, salah satu yang terakibat langsung adalah sistem penilaian pendidikannya. Sejak 2014, sistem penilaian pendidikan di Indonesia telah melalui berbagai perubahan signifikan. Ujian Nasional (UN) Indonesia, juga telah melalui sejumlah penyesuaian, untuk menurunkan nuansa pertarungan/pertaruhan ujian yang tinggi dan untuk meminimalisir kecurangan. Contohnya, keputusan tahun 2015, dibuat untuk tidak lagi menghubungkan UN dengan kelulusan sekolah. Beberapa langkah juga telah diambil untuk dapat menyelenggarakan UN secara eksklusif sebagai tes berbasis komputer dengan tujuan untuk meningkatkan mutu, efisiensi, fleksibilitas ujian, menekan kecurangan, menyederhanakan proses administrasi dan menyediakan lebih banyak opsi bagi diversifikasi bentuk soal UN. Selain itu, sejak tahun 2014, secara perlahan model soal UN mengarah pada soal yang mengukur kemampuan kognitif orde tinggi (higher order thinking skills). Kemampuan kognitif yang diukur tidak hanya kemampuan untuk mengetahui dan memahami materi pembelajaran, tetapi juga menalar berdasar pengetahuan yang telah dikuasai. Melalui perubahan tersebut, pembelajaran yang terjadi di kelas diharapkan juga akan mengarah pada pembelajaran yang lebih mendalam. Hadirnya UN Berbasis Komputer (UNBK) membuka ruang yang luas untuk pengembangan bentuk-bentuk soal yang lebih beragam, tidak sekedar pilihan ganda dengan jawaban tunggal saja. Melalui UNBK, bentuk soal pilihan ganda jamak dan lebih kompleks dapat dikembangkan, demikian pula bentuk-bentuk soal constructed response isian singkat, bahkan bentuk isian terbuka (esai) pun dapat dikembangkan.

Penilaian pendidikan yang terpenting adalah penilaian yang terjadi di dalam kelas. Kurikulum 2013 mendorong hadirnya penilaian autentik, melalui soal dan tugas yang kontekstual dengan persoalan dan permasalahan nyata yang dihadapi murid sehari-hari sesuai dengan lingkungannya. Memperkenalkan hal demikian dalam penilaian pendidikan, mensyaratkan banyak reformasi rumit; melatih para spesialis penilaian dalam menulis pertanyaan dan dalam memberi penilaian terhadap lembar jawaban murid; juga melatih guru-guru sekolah untuk dapat mengajar dengan metode yang berbeda.

Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik), telah menjadi penggerak dari banyak perubahan-perubahan tersebut dan berkomitmen untuk terus mengembangkan sistem penilaian pendidikan Indonesia secara lebih jauh. Misalnya, belakangan ini, untuk meningkatkan kehandalan, validitas dan efisiensi dari sistem penilaian pendidikan Indonesia, Puspendik memfokuskan diri dalam hal pengembangan kapasitas, utamanya dengan membangun dan memperluas skala tes berbasis komputer, sebagaimana halnya dengan peningkatan kapasitas staf di seputar keterampilan-keterampilan tertentu, misalnya; perumusan item-item tes dan penilaian pembelajaran di dalam kelas, untuk dilaksanakan baik secara formal maupun informal oleh guru.

(4)

Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) atau Indonesian National Assessment Program (INAP), merupakan penilaian yang menekankan pada kemampuan siswa menggunakan pengetahuannya dalam menyelesaikan masalah nyata dalam situasi yang tidak umum. Kemampuan menyelesaikan masalah (problem solving) tersebut merupakan bagian dari kecakapan abad 21 yang penting untuk dikuasai para siswa. Pengetahuan dasar yang diukur dalam survei AKSI adalah literasi membaca, matematika, dan sains dalam kerangka kecakapan abad 21. Pada tahun 2016 telah dilakukan survei AKSI di 34 Provinsi untuk siswa kelas 4 SD. Tahun 2017 akan dilakukan survei AKSI untuk kelas 8 dan persiapan untuk kelas 11 yang akan dilakukan tahun 2018. AKSI/INAP juga akan mengikutsertakan kuesioner yang secara kontekstual menghimpun data, yang ketika dikombinasikan dengan informasi yang dikumpulkan melalui penilaian kognitif, dirancang untuk dapat mempresentasikan sebuah sistem monitoring bertingkat yang dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi kebijakan dan praktik pendidikan.

Hasil survei internasional TIMSS dan PISA yang dilakukan tahun 2015, diterbitkan pada tahun 2016 lalu. Hasil PISA Indonesia meski masih rendah dibanding dengan rerata OECD menunjukkan peningkatan capaian yang cukup memberikan harapan. Kenaikan capaian siswa Indonesia dalam matematika mencapai 11 poin, sementara dalam sains mencapai 21 poin, sementara dalam membaca tampak ada kenaikan 1 poin. Kenaikan tersebut merupakan yang tercepat ke-4 di antara 72 negara peserta survei PISA. Bila laju peningkatan tersebut dapat dipertahankan maka pada tahun 2030 capaian Indonesia akan menyamai rerata capaian OECD (Schleichter, 2016). Hal tersebut merupakan tantangan bagi kita untuk meningkatkan mutu pendidikan, terutama mutu literasi di sekolah.

Perubahan dalam sistem penilaian, seperti ditunjukkan melalui rancangan dan implementasi AKSI, menuju pada upaya membantu pemerintah dan pendidik untuk mengembangkan kapasitas mereka dalam memanfaatkan hasil penilaian sebagai data untuk melakukan analisis lebih lanjut guna mengidentifikasi target intervensi secara spesifik dan membangun pemahaman akan faktor-faktor kontekstual yang mungkin membentuk tren keluaran pembelajaran murid, melalui sistem pendidikan Indonesia, namun dengan pengalaman sekolah yang berbeda-beda.

Struktur dan konten K13 yang baru menunjukkan bahwa, kini terdapat persyaratan-persyaratan baru untuk kegiatan kelas dan sekolah. Seperti disebutkan di atas, saat ini terdapat penekanan yang lebih besar dalam penggunaan penilaian kinerja secara otentik dan formatif di dalam kelas, agar dapat terus memberi masukan demi perbaikan proses belajar-mengajar.

Penyusunan strategi atau “Peta Jalan Menuju Pembangunan Sistem Penilaian Indonesia Bertaraf Internasional” telah dimulai oleh Puspendik dengan dukungan dari ACDP. Sementara pencapaian standar pendidikan mungkin memakan waktu lebih lama, berbagai penyesuaian dan perubahan dalam sistem penilaian ini telah menunjukkan hasil positif dan membuktikan adanya berbagai perbaikan dalam sistem itu sendiri.

Dua Hal Penting dalam Pendidikan Indonesia: Reformasi Sembari Menciptakan Ruang Dialog

Di negara yang demokrasinya terus meningkat, seperti Indonesia, reformasi dan perubahan yang terjadi pada kurikulum dan penilaian pendidikannya, sejatinya telah menciptakan lebih banyak ruang bagi terjadinya dialog, dengan melibatkan partisipasi aktif para pemangku kepentingan di bidang pendidikan; pembuat kebijakan, pendidik, ahli, pegiat, kelompok kepentingan serta komunitas media. Perubahan pada sistem kurikulum dan asesmen pendidikan ini menunjukkan dialektika politik, sosial dan budaya seputar arti dan konsekuensi yang perlu ditempuh oleh sistem pendidikan nasional demi mencapai tujuan aspirasionalnya.

(5)

Sepanjang sepuluh tahun terakhir, konsep besar pendidikan begitu berkisar pada pembicaraan global seputar efektivitas, tingkat kedalaman dan relevansi kurikulum nasional dan sistem penilaian pendidikan dengan tuntutan Keterampilan Abad 21, yang merujuk pada kreativitas, kemampuan memecahkan masalah, berpikir kritis, penguasaan cara serta teknologi informasi dan komunikasi, juga pada kemampuan bekerjasama sebagai tim. Di masa lalu, pendidikan secara umum dipahami oleh pemerintah Indonesia sebagai instrument untuk membangun bangsa serta untuk ‘menyuntikkan’ nilai-nilai patriotik dan demokrasi. Namun kini, pendidikan juga dipandang sebagai kebutuhan untuk merespon perubahan masyarakat Indonesia yang menjadi makin global dan lingkungan pekerjaan yang makin modern.

Konteks baru ini disinyalir terdorong oleh meningkatnya moda dan aliran barang dan jasa melalui perdagangan serta pertukaran gagasan dan nilai-nilai budaya melalui komunikasi di berbagai bentuk media, demikian juga melalui aliran perpindahan manusia melalui kegiatan migrasi, yang mana tidak hanya menjangkau masyarakat secara regional namun juga global. Hal ini telah membentuk konteks regional dan global dimana bekal pengetahuan dan keterampilan seorang individu harus dapat ‘ditransfer’ dan harus dapat menyasar perkembangan kebutuhan sosial-budaya masyarakat secara tepat.

K-13 yang berbasis kompetensi, adalah sebuah upaya kritis untuk membantu para pendidik merumuskan kegiatan kelas, untuk dapat melibatkan murid-murid Indonesia dalam pembelajaran bermakna, yang akan membantu mereka membangun kompetensi-kompetensi yang sesuai dengan konteks sosial-budaya dan ekonomi saat ini. Reformasi dan perubahan yang dilakukan dalam sistem penilaian pendidikan diharapkan dapat memastikan tersasarnya kebutuhan akan proses belajar- mengajar yang relevan – cara-cara dimana para murid diajarkan dan selaras dengan kompetensi dimana kita ingin melihat anak-anak dan dewasa terbentuk, dan bagaimana kita dapat mengukur kualitas, efektivitas dan ekuitas dari sistem pendidikan nasional, sebagaimana halnya dengan kinerja belajar murid-murid tersebut secara individual.

Di Indonesia, dimensi lain tentang peran sistem pendidikan bangsa ditambahkan ke dalam diskusi tersebut, dan itu adalah mengenai pendidikan karakter, menumbuhkembangkan nilai-nilai etis yang berakar pada kehidupan moral dan agama, sebagaimana juga mental untuk memenuhi kecukupan-diri dan mengarahkan hidup dengan tujuan. Banyak pertanyaan, analisis dan pertimbangan dilibatkan dalam perubahan kurikulum nasional dan sistem penilaian, yang mana berkisar pada dua ‘kekhawatiran’ umum pendidikan Indonesia;

1) Apakah kurikulum yang ada mampu menciptakan dan mengarahkan instruksi serta membentuk pengalaman belajar murid dengan cara-cara yang mempromosikan pengetahuan, keterampilan dan sikap abad 21 – namun di saat bersamaan membantu murid membangun rasa nasionalisme dan identitas agama yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka? 2) Apakah murid-murid Indonesia belajar secara efektif (menjadi pandai dan memiliki karakter yang baik)? Apakah sistem

penilaian yang kita miliki dapat mempresentasikan bukti-bukti yang cukup bagi pendidik dan sekolah, bagi peningkatan kinerja proses belajar-mengajar, serta bagi pemerintah dalam rangka membangun sistem untuk meningkatkan mutu kebijakan dan strategi? Dua kekhawatiran besar ini tidak hanya telah mempengaruhi arah diskusi pendidikan nasional di antara lingkaran para pembuat kebijakan, tetapi juga membangun konstruksi dan mendefinisikan apa saja yang menjadi ‘persoalan dunia pendidikan Indonesia’. Sangatlah penting untuk mengetahui apa jenis perubahan yang dikehendaki dan pendekatan implementasi terbaik yang dapat mendukung reformasi agenda pendidikan secara umum. Lebih jauh, sangatlah esensial bagi para pembuat kebijakan dan lembaga-lembaga pendukungnya untuk mengenali apakah dan bagaimana perubahan kurikulum dan sistem penilaian yang dipandu oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah sejatinya menghasilkan dampak dan menciptakan perubahan positif di tataran praktis – pada proses nyata belajar mengajar di kelas dan sekolah. Pertanyaan ini akan dan sebaiknya tetap fokus pada kajian terhadap kesuksesan reformasi pendidikan di masa lalu, masa kini dan masa depan

(6)

***** Narasumber: 1. Dr. Awaluddin Tjalla (Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan & Kebudayaan) 2. Prof. Ir. Nizam, M.Sc, Ph.D (Kepala Pusat PeniIaian Pendidikan, Kementerian Pendidikan & Kebudayaan) 3. Drs. Edy Heri Suasana, M.Pd (Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta) 4. Arpin, S.Pd.,M.Pd (Kepala Sekolah Dasar Hang Tuah, Makassar) Sumber Referensi: - ACDP. (2017). Support to Curriculum Reform (ACDP – 051) Final Report. Jakarta: ACDP. - ACDP. (2017). Support to Assessment Centre (Puspendik) Phase 2 (ACDP – 029a) Final Report. Jakarta: ACDP. - Ohn. J. D. (2017). ‘Major features of the 2015 revised national curriculum in Korea and issues of implementation’ [Powerpoint presentation]. International Workshop for Effective Practices in Curriculum Reform in Asia Presentation. Available at: http://simpandata.kemdikbud.go.id/ public.php?service=files&dir=%2Foky%2Ffiles%2F2017-05-09_Seminar-Reformasi-Kurikulum [Accessed 9 May 2017] - Ocampo, D. (2017). ‘Reforms and transitions in basic education in the Phillipines’ [Powerpoint presentation]. International Workshop for Effective Practices in Curriculum Reform in Asia Presentation. Available at: http://simpandata.kemdikbud.go.id/public.php?service=files&dir=%2Foky%2Ffiles%2 F2017-05- 09_Seminar-Reformasi-Kurikulum [Accessed 9 May 2017] - TIMSS & PIRLS International Study Center. (2016). The Korean curriculum in primary and lower secondary schools. [Online] TIMSS 2015 Encyclopedia. Available at: http://timssandpirls.bc.edu/ timss2015/encyclopedia/countries/korea/the-korean-curriculum-in-primary-and-lower-secondary-schools/ [Accessed 15 May 2017]

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kerangka keterkaitan antara sistem pendidikan dengan bidang-bidang kehidupan di luar sistem tersebut terdapat beberapa faktor di luar sistem pendidikan yang perlu memperoleh

Dalam pcngadaan perumahan layak huni. antara konsumen dan developer mempunyai kcbutuhan dan kepcmingan yang berbeda. Konsumcn menginginkan perumahan dan pcrmuk11nan

Metoda kajian objek studi dibagi kedalam tiga bagian, yang terdiri dari: (1) pengungkapan bentuk arsitektur, pembahasan secara garis besar terhadap objek Arsitektur yang diamati,

Dibandingkan parametrisasi lama yang dikaji di sini, parametrisasi baru potensial Woods-Saxon berhasil meningkatkan ketelitian deviasi rerata akar kuadrat tenaga

Pemodelan ini dilakukan dengan menggunakan panjang data 15 harian atau untuk setiap panjang data 360 jam dan data 30 harian atau untuk setiap panjang data 720. Dengan menggunakan

Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah melimpahkan segala taufik, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

Bab ini adalah inti dari penelitian yang akan menguraikan hasil penelitian yang terdiri dari profil lembaga pendidikan, gambaran umum tentang manajemen kompensasi,

Gambar manakah yang benar untuk sebuah benda bermuatan listrik negatif didekatkan pada elektroskop bermuatan listrik