• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi dan Perubahan Kebudayaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi dan Perubahan Kebudayaan"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi dan Perubahan Kebudayaan

Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Istilah culture atau ”budaya” kembali pada kumpulan pengetahuan, bahasa, perilaku, ritual-ritual, adat kebiasaan, gaya hidup, sikap, kepercayaan dan adat istiadat yang berhubungan dan menunjukkan suatu identitas khusus dari suatu kelompok masyarakat dalam kurun waktu tertentu.

Ada beberapa definisi tentang kebudayaan menurut para ahli. Seorang antropolog E.B. Tylor yang dikutip oleh Soekanto (1990) memberikan definisi kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan perkataan lain, kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola -pola perilaku yang normatif. Artinya, mencakup segala cara-cara atau pola -pola berfikir, merasakan atau bertindak.

Soemardjan dan Soemardi yang dikutip oleh Soekanto (1990) merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Di dalamnya termasuk misalnya saja agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat

(2)

yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta berwujud teori murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spiritual atau immaterial culture). Semua rasa, karya dan cipta dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian atau dengan seluruh masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (1994) kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari, kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis.

Geertz yang dikutip oleh Sobur (2004) mengatakan bahwa kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi, mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini. Rumusan kebudayaan Geertz ini lebih menitikberatkan pada simbol, yaitu bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai; dan di sisi lain simbol merupakan acuan wawasan, memberi “petunjuk” bagaimana warga budaya tertentu menjalani hidup, media sekaligus pesan komunikasi dan representasi realitas sosial.

Haviland (1985) yang dikutip oleh Endraswara (2003) bahwa ada empat ciri khas kebudayaan. Pertama , kebudayaan adalah milik bersama. Ciri semacam ini sering diteruskan sampai pemahaman bahwa kebudayaan adalah milik publik. Kedua, kebudayaan adalah hasil belajar. Semua kebudayaan adalah hasil belajar, bukan warisan biologis. Proses penerusan budaya dari generasi ke generasi berikutnya melalui proses enkulturasi. Ketiga, kebudayaan didasarkan pada lambang. Keempat, budaya merupakan kesatuan integratif. Kebudayaan tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan sebuah paket makna.

(3)

Menurut Mulyana (2001) budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara manusia hidup. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya memiliki beberapa karakteristik, yaitu: budaya itu kompleks dan bertahap, budaya itu subjektif, budaya berubah sepanjang waktu serta budaya sebagian besar tidak nyata dan abstrak.

Semua unit sosial memba ngun sebuah budaya. Dalam suatu hubungan interpersonal antara dua orang, mereka memiliki sebuah kebiasaan bersama yang dikembangkan dalam suatu waktu. Mereka membangun sebuah adat kebiasaan, pola bahasa, ritual-ritual dan adat istiadat yang dikembangkan dalam pola hubungan yang memiliki sebuah karakter tersendiri.

Kelompok membangun sebuah budaya sendiri, demikian juga organisasi juga memiliki budaya sendiri. Seringkali mereka punya pola-pola khusus, seperti dalam hal berpakaian, tata ruang, gaya pertemuan, pola pikir, gaya bicara, gaya kepemimpinan dan sebagainya. Budaya yang lebih beragam dan kompleks biasa diasosiasikan dengan sebuah masyarakat atau negara. Sehingga istilah ”budaya” lebih umum dipakai untuk menyebut berbagai karakteristik yang meliputi ba hasa, ritual, pola perilaku dan adat istiadat. Budaya yang dibangun dari masing-masing unit sosial tersebut sangat khas dan memiliki karakter yang spesifik. Budaya memiliki beberapa fungsi yang sangat penting khususnya dalam perspektif komunikasi, yaitu: menghubungkan individu yang satu dengan yang lain; melengkapi identitas umum yang mendasar dan menciptakan konteks interaksi dan negosiasi diantara para anggota.

Banyak pendapat para sarjana tentang unsur -unsur kebudayaan. Herskovits yang dikutip oleh Soekanto (1990) mengajukan empat unsur pokok kebudayaan, yaitu:

1. Alat-alat teknologi. 2. Sistem ekonomi. 3. Keluarga.

(4)

4. Kekuasaan politik.

Malinowski yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori fungsional dalam antropologi, sebagaimana yang dikutip oleh Soekanto (1990) menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut:

1. Sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.

2. Organisasi ekonomi.

3. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; dimana keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama.

4. Organisasi kekuatan.

Antropolog C Kluckhohn yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1994) menyimpulkan adanya tujuh unsur universal yang merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, yaitu:

1. Sistem religi dan upacara keagamaan. 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan. 3. Sistem pengetahuan.

4. Bahasa. 5. Kesenian.

6. Sistem mata pencaharian hidup. 7. Sistem teknologi dan peralatan.

Ketujuh unsur universal tersebut mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia dimanapun dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya. Setiap unsur universal kebudayaan tersebut memiliki tiga wujud, yaitu:

1. Wujud idiil (pola bersikap), yaitu kompleks gagasan dan nilai-nilai.

2. Wujud aktivitas (pola kelakuan), yaitu suatu kompleks tindakan berpola (terorganisasi, terstruktrur) dari manusia dalam masyarakat.

3. Wujud fisik (pola sarana/kebendaan), yaitu benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah idiil dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala -kepala atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan

(5)

mereka itu dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan idiil sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan.

Kebudayaan idiil dapat disebut adat tata-kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat-istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata-kelakuan itu, maksudnya menunjukkan bahwa kebudayaan idiil itu biasanya juga berfungsi sebagai tata -kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu secara lebih khusus lagi adat terdiri dari beberapa lapisan, yaitu dari yang paling abstrak dan luas sampai yang paling konkret dan terbatas. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, yaitu: (1) tingkat nilai-budaya; (2) tingkat norma-norma; (3) tingkat hukum dan (4) tingkat aturan khusus.

Tingkat adat yang pertama adalah lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide -ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi-konsepsi serupa biasanya bersifat kabur, tetapi walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia. Tingkat ini dapat disebut sistem nilai-budaya. Jumlah nilai-budaya tingkat pertama dalam suatu kebudayaan bia sanya tidak banyak.

Tingkat adat yang kedua dan lebih konkret adalah sistem norma. Norma -norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Tingkat adat yang ketiga dan yang lebih konkret lagi adalah sistem hukum (baik hukum adat maupun hukum tertulis). Selanjutnya tingkat adat yang keempat adalah aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya aturan-aturan khusus ini amat konkret sifatnya dan banyak diantaranya terkait dalam sistem hukum. Contohnya adalah peraturan lalu lintas. Contoh dari aturan khusus yang tidak tersangkut ke dalam sistem hukum adalah aturan sopan-santun.

Wujud kedua dari kebudayaan sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu sama lain,

(6)

yang dari detik ke detik, dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata -kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto dan didokumentasi.

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik dan memerlukan keterangan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret dan berupa benda -benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Misalnya adalah pabrik baja, benda -benda yang besar dan indah seperti bangunan candi atau pula benda-benda kecil seperti kain batik atau bahkan kancing baju.

Setiap kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua kebudayaan dimanapun juga. Sifat hakikat kebudayaan tersebut adalah: 1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.

2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu gene rasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan. 3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya. 4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban,

tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.

Sifat hakikat kebudayaan adalah ciri setiap kebudayaan, akan tetapi bila seseorang hendak memahami sifat hakikatnya yang esensial, terlebih dahulu harus memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya, yaitu (Soekanto, 1990):

1. Di dalam pengalaman manusia, kebudayaan bersifat universal, akan tetapi perwujudan kebudayaan mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan situasi maupun lokasinya.

2. Kebudayaan bersifat stabil disamping juga dinamis dan setiap kebudayaan mengalami perubahan-perubahan yang kontinyu. Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan atau perkembangan-perkembangan, hanya kebudayaan yang mati saja yang bersifat statis.

(7)

3. Kebudayaan mengisi serta menentuka n jalannya kehidupan manusia, walaupun hal itu jarang disadari oleh manusia sendiri. Gejala tersebut secara singkat dapat diterangkan dengan penjelasan bahwa walaupun kebudayaan merupakan atribut manusia, namun tidak mungkin seseorang mengetahui dan meyakini seluruh unsur kebudayaannya.

Kebudayaan dimaksudkan sebagai hadirnya seperangkat nilai-nilai dan norma yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi warga pendukungnya. Nilai secara umum berkaitan dengan segala sesuatu tentang yang baik atau yang buruk. Nilai dalam kajian ilmu sosial (nilai sosial) dapat didefinisikan sebagai suatu kesadaran dan emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu obyek, gagasan atau orang (dikutip oleh Sulaeman, 1998 dari Bertrand). Norma merupakan standar-standar tingkah laku yang berfungsi sebagai kerangka patokan (frame of reference). Perangkat normatif ini ditanamkan pada individu-individu (baru) pendukungnya melalui proses sosialisasi. Cara yang demikian ini pada gilirannya mereka mampu menjalin dan mengembangkan interaksi dengan orang-orang lain dalam suatu pola makna tertentu yang konstan. Kebudayaan semacam ini biasa disebut sebagai kebudayaan non-material.

Kebudayaan juga dapat dilihat dari aspek material, dalam hal ini benda-benda fisik buatan manusia. Benda -benda-benda tersebut dibuat dengan tujuan dan makna tertentu. Misalnya buku, artefak, pakaian, masjid, komputer dan sebagainya adalah sebutan-sebutan yang mempunyai makna khusus.

Berdasarkan uraian di atas, kebudayaan dapat dipahami dalam beberapa rumusan. Pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan yang diperoleh manusia selaku anggota masyarakat, meliputi semua pola berpikir, merasakan dan bertindak. Kedua, kebudayaan adalah sesuatu yang superorganik, artinya berada di atas sesuatu badan. Kebudayaan diturunkan dari generasi-generasi dan tetap akan hidup terus, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kelahiran dan kematian. Ketiga, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan cara mempelajarinya (Kolopaking, 2003).

(8)

Setiap kebudayaan pasti mengalami perubahan. Kingsley Davis yang dikutip oleh Soekanto (1990) berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya, bahkan perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Dalam kehidupan sehari-hari acapkali tidak mudah untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Sebab tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak menjelma dalam suatu masyarakat. Walaupun secara teoritis dan analitis pemisahan antara pengertian-pengertian tersebut dapat dirumuskan, namun di dalam kehidupan nyata, garis pemisah tersebut sukar dapat dipertahankan. Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan mempunyai satu aspek yang sama yaitu kedua -duanya bersangkut-paut dengan suatu penerimaan cara-cara baru atau suatu perbaikan dalam cara suatu masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada umumnya menyangkut hal-hal yang kompleks, artinya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu mengenai: nilai-nilai sosial, perikelakuan, organisasi susunan lembaga -lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan sosial menunjukkan pada perubahan fenomena sosial di berbagai bidang tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individual, masyarakat hingga tingkat dunia.

Perubahan kebudayaan dapat dibedakan ke dalam beberapa bentuk, yaitu: a. Perubahan lambat dan perubahan cepat.

Perubahan– perubahan yang memerlukan waktu lama dan rentetan-rentetan perubahan kecil ya ng saling mengikuti dengan lambat, dinamakan evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya tanpa rencana atau kehendak tertentu. Perubahan kebudayaan yang berlangsung dengan cepat dan menyangkut dasar -dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat (yaitu lembaga -lembaga kemasyarakatan) lazimnya dinamakan revolusi.

(9)

Unsur-unsur pokok revolusi adalah adanya perubahan yang cepat dan perubahan tersebut mengenai dasar-dasar atau sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat.

b. Perubahan kecil dan perubahan besar.

Agak sulit untuk merumuskan masing-masing pengertian tersebut di atas, karena batas-batas pembedaannya sangat relatif. Sebagai pegangan dapatlah dikatakan bahwa perubahan-perubahan kecil adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat.

c. Perubahan yang dikehendaki (intended-change) atau perubahan yang direncanakan (planned-change) dan perubahan yang tidak dikehendaki (unintended-change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplanned-change).

Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang direncanakan terlebih dahulu oleh fihak-fihak yang hendak mengadakan perubahan masyarakat. Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan, merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat.

Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan dapat bersumber dari dalam atau dari luar masyarakat. Sumber yang berasal dari dalam masyarakat adalah: bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan atau konflik masyarakat dan terjadinya pemberontakan atau revolusi. Sedangkan sumber-sumber perubahan yang berasal dari luar masyarakat tersebut adalah: sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia (gempa, bencana alam, banjir dan lain-lain), peperangan dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Faktor-faktor yang mendorong jalannya perubahan yang terjadi antara lain (Soekanto, 1990):

a. Kontak dengan kebudayaan lain. b. Sistem pendidikan formal yang maju.

(10)

c. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju. d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation), yang

bukan merupakan delik.

e. Sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification). f. Penduduk yang heterogen.

g. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. h. Orientasi ke masa depan.

i. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.

Faktor-faktor yang menghalangi terjadinya perubahan adalah: a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.

b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat. c. Sikap masya rakat yang sangat tradisional.

d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau vested interests.

e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan. f. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup. g. Hambata n-hambatan yang bersifat ideologis.

h. Adat atau kebiasaan.

i. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki (Soekanto, 1990).

Saluran-saluran perubahan kebudayaan (avenue or channel of change) merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan. Umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga -lembaga kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, rekreasi dan seterusnya. Lembaga kemasyarakatan mana yang menjadi titik tolak, tergantung pada cultural focus masyarakat pada suatu masa yang tertentu.

Semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk hidup berkawan. Hal ini disebabkan manusa mempunyai hasrat yang kuat dalam dirinya untuk menjadi bagian dari manusia lainnya. Dalam bergaul dengan manusia lainnya dikenal adanya komunikasi. Berbicara mengenai komunikasi, banyak paradigma yang bisa kita maknai. Secara harfiahnya komunikasi merupakan

(11)

jalinan yang terjadi dalam sistem sosial dengan berbagai pendukungnya seperti adanya media-media komunikasi yang berkembang saat ini (Soekartawi, 1988). Kata komunikasi atau dalam Bahasa Inggris communication berasal dari bahasa latin communis yang berarti sama, communico, communicatio atau communicare yang berarti membuat sama (to make common). Secara sederhana komunikasi didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain. Menurut Devito (1997) komunikasi mengacu pada pengertian akan suatu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise ), terjadi dalam konteks tertentu dan ada kesepakatan untuk melaksanakan umpan balik.

Rogers dan Kinchaid (1981) mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.

Menurut Mulyana (2003) terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yaitu: (1) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi.

Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi sebagai proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai “definisi berorientasi sumber” (source oriented definition) yang mengisyaratkan komunikasi sebagai kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk meyampaikan rangsangan guna membangkitkan respons orang lain. Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif.

Model komunikasi linear merupakan konsep komunikasi yang paling sederhana, yang dimaknai sebagai proses komunikasi sepihak. Pada model ini komunikasi terjadi karena ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain. Pengirim pesan menstimuli sehingga penerima pesan merespon sesuai yang diharapkan tanpa melakukan proses seleksi dan intepretasi lebih lanjut. Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linear yang didesain berdasar sistem telepon (model Claude Shanon dan Warren, 1949) dikutip oleh Mulyana (2003), seperti Gambar 1.

(12)

Gambar tersebut memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjadi bersifat satu arah, yakni dari sumber pesan kepada penerima pesan. Model komunikasi ini lebih tepat digunakan menyampaikan informasi yang lebih bersifat instruksi atau indoktrinasi.

Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi yang arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para komunikate sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber, meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis.

Model interaktif menganggap komunikasi sebagai suatu transaksi yang terjadi antar komunikan yang saling berkontribusi pada terjadinya suatu transaksi walaupun dalam beda peringkat intensitas. Teori ini digambarkan dalam tiga bentuk yaitu: (1) lingkaran tumpang tindih, (2) heliks dan (3) Ziczac. Menurut Schramm (1973) yang dikutip oleh Jahi (1993) lingkaran tumpang tindih mengindikasikan bahwa dalam setiap kegiatan komunikasi akan selalu ditemukan lebih dari dua komunikan dalam suatu situasi komunikasi. Dengan demikian akan ada pada suatu saat sejumlah lingkaran komunikan atau ruang kehidupan yang tumpang tindih.

Model heliks menurut Dance (1967) yang dikutip oleh Jahi (1993) menunjukkan kegiatan komunikasi di kalangan komunikan yang menimbulkan situasi konvergen. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa cara, yaitu (1) komunikan bergerak menuju ke suatu arah dalam arti saling memahami pesan yang disampaikan, dan (2) seorang partisipan mungkin bergerak menuju arah berbeda. Proses konvergen tidak selalu berarti harus ada komitmen terhadap persoalan atau permasalahan yang dikomunikasikan, karena lebih merupakan suatu proses saling memahami dengan lebih baik, tentang segala sesuatu yang dikomunikasikan.

Sumber Pesan Saluran Penerima

(13)

Model ziczac menurut Schramm (1973) yang dikutip oleh Jahi (1993) menunjukkan situasi kegiatan komunikasi sebagai proses interaktif melalui pertukaran tanda -tanda informasi baik verbal, nonverbal, atau paralinguistik. Dalam model ini diperlukan adanya waktu untuk meyakinkan diri bahwa komunikan sedikit banyak telah memahami apa yang dimaksud yang dimungkinkan oleh persoalan pemakaian iterasi. Dengan kata lain, peristiwa komunikasi dalam model ziczac lebih mendekati dengan proses negosiasi.

Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak peran, hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal. Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi tersebut tidak membatasi komunikate pada komunikasi yang disengaja atau respon yang dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih sesuai untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dan para pelaku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan semuanya saling berpartisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi.

Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder (Effendy, 2003).

1. Proses Komunikasi Secara Primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan. Komunikasi berlangs ung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan perkataan lain komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan.

(14)

2. Proses Komunikasi Secara Sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak.

Terdapat dua macam bentuk komunikasi secara umum, yaitu komunikasi verbal dan non verbal (Sobur, 2004):

1. Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal secara sederhana adalah komunikasi dengan menggunakan bahasa, baik secara lisan maupun tertulis. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata -kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu. Misalnya, kata rumah, kursi, mobil atau mahasiswa. Realitas apa yang diwakili oleh setiap kata itu? Begitu banyak ragam rumah. Ada rumah bertingkat, rumah mewah, rumah sederhana dan rumah sangat sederhana.

2. Komunikasi Non Verbal

Definisi harfiah komunikasi non verbal sebagai komunikasi tanpa kata, merupakan suatu penyederhanaan berlebihan (oversimplification ), karena kata yang berbentuk tulisan tetap dianggap “verbal” meskipun tidak memiliki unsur suara. Stewart dan D’Angelo (1980) yang dikutip oleh Tubbs dan Moss (2001) berpendapat bahwa bila kita membedakan verbal dari non verbal dan vokal dari non vokal, kita mempunyai empat kategori atau jenis komunikasi. Komunikasi verbal vokal merujuk pada “komunikasi melalui kata yang diucapkan”. Komunikasi verbal non vokal, yaitu “kata-kata digunakan tapi tidak diucapkan”. Komunikasi non verbal vokal be rupa vokalisasi, misalnya berupa “gerutuan”. Komunikasi yang terakhir adalah komunikasi non verbal non vokal, yaitu hanya mencakup sikap dan penampilan, komunikasi jenis ini membawa pesan-pesan

(15)

linguistik. Pesan-pesan tersebut dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Kita dapat mengacungkan tangan untuk memilih “ya” pada suatu pertemuan atau untuk menghentikan taksi. Kita menyentuh dengan halus tangan seorang teman untuk menghiburnya.

Komunikasi non verbal menurut Ekman (1965) dan Knapp (1978) yang dikutip oleh DeVito (1997) memiliki enam fungsi, yaitu:

1. Untuk menekankan.

Komunikasi non verbal digunakan untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal. Misalnya, kita mungkin tersenyum untuk menekankan atau ungkapan tertentu, atau memukulkan tangan ke meja untuk menekankan suatu hal tertentu.

2. Untuk melengkapi (complement).

Komunikasi non verbal untuk memperkuat warna atau sikap umum yang dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, mungkin kita tersenyum ketika menceritakan kisah lucu atau menggeleng-gelengkan kepala ketika menceritakan ketidak-jujuran.

3. Untuk menunjukkan kontradiksi.

Kita dapat juga secara sengaja mempertentangkan pesan verbal kita dengan gerakan non verbal. Sebagai contoh, menyilangkan jari atau mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang kita katakan adalah tidak benar.

4. Untuk mengatur.

Gerak-gerik non verbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan keinginan untuk mengatur arus pesan verbal. Mengerutkan bibir, mencondongkan badan ke depan atau membuat gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa kita ingin mengatakan sesuatu merupakan contoh-contoh dari fungsi mengatur ini. Kita mungkin mengangkat tangan atau menyuarakan jenak (pause ) kita (misalnya, dengan menggumamkan “umm”) untuk memperlihatkan bahwa kita belum selesai bicara.

5. Untuk mengulangi.

Kita dapat mengulangi atau merumuskan ulang makna dari pesan verbal. Misalnya, kita dapat menyertai pernyataan verbal “Apa benar?” dengan

(16)

mengangkat alis mata atau dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk mengulangi pesan verbal “Ayo kita pergi”.

6. Untuk Menggantikan.

Komunikasi non verbal juga dapat menggantikan pesan verbal kita, misalnya, mengatakan “oke” dengan tangan tanpa berkata apa -apa. Kita dapat menganggukkan kepala untuk mengatakan “ya” atau menggelengkan kepala untuk mengatakan “tid ak”.

Ada tiga tujuan komunikasi yang dikatakan oleh Berlo (1960) yaitu untuk memberi informasi (informatif ), untuk membujuk (persuasif) dan untuk tujuan menghibur (entertainment). Gorden sebagaimana yang dikutip oleh Mulyana (2001) menyatakan bahwa ada empat fungsi komunikasi yaitu komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan komunikasi instrumental.

1. Komunikasi Sosial

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial mengisyaratkan bahwa komunikasi adalah penting dalam membangun konsep diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan tegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur dan memupuk hubungan dengan orang lain.

2. Komunikasi Ekspresif

Erat kaitannya dengan komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun terutama lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orangdapat menyalurkan kemarahan dengan berkacak pinggang, mengepalkan tangan memelototkan matanya.

(17)

Erat kaitannya dengan komunikasi ekspresif adalah komunikasi ritual, yang biasanya dilakukan secara kolektif. Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagai rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun (nyanyi Happy Birthday dan pemotongan kue), pertunangan, perkawinan hingga upacara kematian. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus -ritus lain seperti berdo’a (shalat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran juga merupakan komunikasi ritual. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama mereka. Komunikasi ritual sering juga bersifat ekspresif, menyatakan perasaan terdalam seseorang3.

Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya berbagai komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian kepada kelompok. Bukanlah substansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting, melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa kita terikat oleh sesuatu yang lebih besar daripada kita sendiri, yang bersifat :abadi”, dan bahwa kita diakui dan diterima dalam kelompok kita. Komunikasi ritual ini kadang-kadang bersifat mistik4.

4. Komunikasi Instrumental

Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan keyakinan,

3

Contoh komunikasi ritual yang bersifat ekspresif ini adalah ketika orang menziarahi makam Nabi Muhammad, bahkan menangis di dekatnya untuk menunjukkan kecintaan kepadanya. Selain itu para siswa anggota Paskibraka mencium bend era merah putih, untuk menunjukkan rasa cinta mereka kepada Nusa dan Bangsa, terlepas dari kita setuju terhadap perilaku mereka atau tidak.

4

Contohnya adalah Suku Aborigin (penduduk asli Australia) yang mata pencaharian tradisionalnya adalah berburu dan mengumpulkan makaanan, melakukan upacara tahunan untuk memperoleh peningkatan rezeki. Upacara ini dimaksudkan untuk menghormati tanaman dan hewan yang juga berbagi tanah air. Menurut kepercayaan mereka, upacara itu penting dilaksanakan untuk menjamin kelestarian tanaman dan hewan yang menentukan kelestarian hidup mereka.

(18)

mengubah perilaku atau menggerakkan tindakan dan juga untuk menghibur. Bila diringkas, maka kesemua tujuan tersebut dapat disebut membujuk (bersifat persuasif). Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Studi komunikasi membuat kita peka terhadap berbagai strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi keuntungan bersama. Komunikasi berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan.

Hubungan antara komunikasi dan budaya sangat kompleks dan erat. Budaya telah menciptakan sebuah komunikasi spesifik, artinya budaya dapat diartikan sebagai sebuah interaksi manusia yang cukup cermat dimana karakteristik-karakteristik budaya, apakah itu adat-istiadat, peranan, pola perilaku, ritual-ritual dan hukum diciptakan dan dipertukarkan. Dengan kata lain budaya adalah hasil dari sebuah komunikasi sosial. Tanpa komunikasi budaya tidak akan mungkin terpelihara dan bertahan dalam suatu tempat dan suatu waktu yang lain. Budaya telah tercipta, terbentuk, dipindahkan/ditransmisikan dan dipelajari melalui proses komunikasi.

Implisit da lam komunikasi sosial adalah fungsi komunikasi kultural. Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya merupakan bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunik asipun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Sesuai pendapat Hall yang dikutip oleh Mulyana (2001) bahwa ”budaya adalah komunikasi” dan ”komunikasi adalah budaya”. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horisontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk suatu kelompok tertentu, misalnya ”jangan melawan orang tua”, ”bersikaplah ramah pada tamu”, dan sebagainya. Budaya bahkan mempengaruhi manusia setelah manusia mati. Mengurus orang meninggal apakah mayatnya dikafani atau dalam

(19)

peti mati, setelah itu apakah mengadakan tahlilan atau tidak, juga bergantung pada norma-norma budaya yang berlaku pada komunitas kita (Mulyana, 2001).

Upacara Religi

Durkheim dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) mendefinisikan suatu religi sebagai suatu sistem yang berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat, artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral yang disebut Umat. Banyak para ahli yang melahirkan teori-teori yang berorientasi kepada upacara religi, antara lain Smith dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) tentang upacara bersaji, dimana inti teorinya yang menganalisis azas-azas religi tidak berpangkal pada analisa sistem keyakinan atau pelajaran doktrin dari religi, tetapi berpangkal pada upacaranya. Dia menemukakan tiga gagasan penting yang menambah pengertian mengenai azas-azas religi dan agama pada umumnya. Gagasan yang pertama , mengenai soal bahwa di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupa kan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. Gagasan yang kedua, adalah bahwa upacara religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena mereka mengangap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial. Sedangkan gagasan ketiga, adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Pada pokoknya upacara seperti itu, dimana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya, kepada dewa kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, oleh Smith (1889) yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) juga dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dalam hal itu dewa atau para dewa dipandang juga sebagai warga komunitas, walaupun sebagai warga yang istimewa.

(20)

Preusz yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) mengemukakan konsep-konsepnya mengenai azas-azas religi yang mendekati masalahnya dari sudut upacara. Anggapannya adalah bahwa rangkaian ritus yang paling penting dalam banyak religi di dunia adalah ritus kematian. Menurutnya ritus atau upacara religi aka n bersifat kosong tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika. Namun secara naluri manusia memiliki suatu emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tinggi yang olehnya tampak konkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta proses pergantian musim dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan masalah hidup dan maut.

Hertz yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) juga mengemukakan analisanya tentang azas religi yang berorientasi kepada upacara dan khususnya upacara kematian. Dia menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya, yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan demikian analisa terhadap upacara kematian harus lepas dari segala perasaan pribadi para pelaku upacara terhadap orang yang meninggal dan harus dipandang dari sudut gagasan kolektif dalam masyarakat tadi. Di sini Hertz melihat bahwa gagasan kolektif mengenai gejala kematian yang terdapat pada banyak suku-bangsa di dunia adalah gagasan bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain, yaitu kedudukan sosial dalam dunia ini ke suatu kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus. Pada berbagai suku-bangsa di Indonesia upacara kematian itu terdiri dari tiga tingkat, yaitu: (1) Sepulture privisoire, (2) Periode intermediare dan (3) Ceremonie finale. Mula -mula mayat diberi suatu sepulture privisoire , yaitu pemakaman sementara. Kemudian ada suatu periode intermediaer atau masa antara yang biasanya berlangsung tiga hingga lima tahun, dalam waktu mana para kerabat dekat orang yang meninggal itu hidup dalam keadaan keramat. Kedudukan yang baru untuk roh yang meninggal itu dicapai pada ceremonie finale, yaitu pada upacara di mana tulang belulang dan sisa-sisa jasmani orang yang meninggal itu digali lagi (dan kadang-kadang setelah itu dibakar), lalu ditempatkan di pemakaman yang tetap. Sesudah analisa yang dalam tentang berbagai unsur dalam upacara-upacara kematian pada

(21)

berbagai suku bangsa di Indonesia, yang memberi kesimpulan kepadanya bahwa upacara kematian itu tidak lain daripada suatu upacara inisiasi , Hertz menunjukkan bahwa ada persamaan yang besar antara unsur-unsur upacara kematian manusia dengan unsur -unsur upacara kelahiran dan pernikahannya. Pada kelahiran, seorang individu beralih dari alam gaib ke alam hidup, pada kematian ia beralih dari alam hidup ke alam gaib.

Seorang ahli folklor Van Gennep (1908) yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1987) berpendirian bahwa ritus dan upacara religi secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat. Serupa dengan Hertz dalam kaitan dengan upacara kematian, Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara itu dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) perpisahan atau separation , (2) peralihan atau merge dan (3) integrasi kembali atau agregation. Dalam bagian pertama dari ritus, yaitu bagian separation , manusia melepaskan kedudukannya yang semula. Acara ritus biasanya terdiri dari tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan itu. Bagian kedua dari ritus, yaitu bagian merge, manusia dianggap mati atau tidak ada lagi dan dalam keadaan seperti tidak tergolong dalam lingkungan sosial manapun. Sedangkan bagian ketiga dari upacara, yaitu bagian agregation , yaitu mereka diresmikan ke dalam tahap kehidupannya serta lingkungan sosialnya yang baru.

Dalam banyak kehidupan ritus peralihan sangat penting, misalnya dalam upacara hamil tua, upacara saat-saat anak-anak tumbuh (upacara memotong rambut yang pertama, upacara keluar gigi yang pertama, upacara penyentuhan si bayi dengan tanah untuk pertama kali dan sebagainya) dan dalam upacara inisiasi. Data etnografi Van Gennep menunjukkan bahwa ritus perpisahan itu sering berkaitan dengan ritus peralihan, sedangkan upacara integrasi dan pengukuhan lebih sering berdiri sendiri, lepas dari kedua macam ritus tersebut. Upacara religi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) yang bersifat perpisahan menjadi satu dengan yang bersifat peralihan, diistilahkan sebagai ritus dan (2) yang bersifat integrasi dan pengukuhan, distilahkan sebagai upacara.

(22)

emosi keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, (5) umat agama (gambar 2). Pemecahan religi ke dalam lima komponen tersebut digunakan untuk memudahkan analisis. Kelimanya memiliki peranan sendiri-sendiri, tetapi tetap berkaitan satu sama lain. Emosi keagamaan menyebabkan manusia mempunyai sikap serba religi, merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Soderblom dalam Koentjaraningrat (1987) menyebutkan bahwa emosi keagamaan adalah sikap ”takut bercampur percaya” kepada hal yang gaib serta keramat, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), tentang zaman akhirat (esykatologi), tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh, dewa dan makhluk halus lainnya. Selain itu sistem keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran kesusilaan dan ajaran doktrin religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia. Sistem keyakinan ini biasanya terkandung dalam kesusasteraan suci, baik yang sifatnya tertulis maupun lisan dari religi atau agama yang bersangkutan.

Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan

Sistem keyakinan Umat agama Emosi keagamaan Sistem ritus dan upacara keagamaan Peralatan ritus dan upacara

(23)

tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa, roh atau makhluk halus lain dengan tujuan untuk berkomunikasi. Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang baik setiap hari, setiap musim atau kadang-kadang saja. Tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau beberapa tindakan, seperti: berdo’a, bersujud, be rsaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa, bertapa dan bersamadi. Dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan, seperti: tempat atau gedung pemujaan, payung dewa, alat bunyi-bunyian suci (orgel, genderang suci, gong, seruling suci, gamelan suci, lonceng dan lain-lain). Selain itu para pelaku upacara seringkali harus mengenakan pakaian yang juga dianggap mempunyai sifat suci, seperti jubah pendeta, jubah biksu da n lain -lain).

Komponen kelima dari sistem religi adalah umatnya atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta upacara itu. Kesatuan sosial yang bersifat umat agama itu dapat berwujud sebagai: (1) keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan yang lain, (2) kelompok kekerabatan yang lebih besar, seperti keluarga -luas, klen, gabungan klen, suku, marga dan lain, (3) kesatuan komunitas seperti desa, gabungan desa dan lain-lain, (4) organisasi atau gerakan religi, seperti organisasi penyiaran agama, organisasi sangha, organisasi gereja, partai politik yang berideologi agama, gerakan agama, orde -orde rahasia dan lain-lain (Koentjaraningrat, 1987).

(24)

Masyarakat Te ngger dalam kesehariannya tidak terlepas dari berbagai ritual upacara yang selalu dilakukan dalam rangka pemanjatan do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan keselamatan maupun sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki yang telah mereka terima. Ritual upacara mereka secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua golongan, yaitu5:

1. Upacara Lingkup Keluarga.

Upacara jenis ini terdiri dari upacara kelahiran, upacara perkawinan dan upacara kematian. Upacara ini biasanya dilakukan dalam lingkup keluarga, sehin gga penanggung jawab pelaksanaan adalah keluarga yang punya hajat. Berbagai macam upacara yang berkaitan dengan jenis ini antara lain:

a. Upacara sesayut/ upacara mitoni, yaitu upacara yang dilakukan saat bayi berumur tujuh bulan. Upacara ini menggunakan sarana berupa: tumpeng, panggang ayam, bunga di dalam air cepel/ kuwali, lawe. Tujuan mitoni ini adalah agar bayi tersebut mudah saat lahir dan selamat beserta ibunya. Pelaksanaan upacara ini yaitu: bunga di dalam kuwali dimandikan kepada ibunya, sedangkan la wenya disabukkan ke perut ibu. Mandi dengan bunga bermakna agar ibu dan bayinya dalam kandungan tetap harum dan suci. Sedangkan lawe yang disabukkan bermakna agar ibu dan bayi tetap menyatu dan lahir dengan selamat.

b. Upacara kekerik/ membersihkan, dilaksanakan setelah bayi dilahirkan dan cuplak pusernya. Maknanya adalah membersihkan ibu dan anak setelah melahirkan. Sebab sebelum upacara kekerik/ pembersihan dilaksanakan, masih ada saja gangguan-gangguan kepada ibu dan anak yang baru dilahirkan. c. Upacara among-among, dilakukan bersama upacara kekerik. Upacara ini ini

dilakukan untuk mengamongi keluarga atau saudara-saudara tertua dan orang tua dari ibu dan bapak yang baru melahirkan. Tujuannya adalah agar nantinya orang tua dan saudara-saudaranya serta para sesepuh bisa ngemong/ memberi petunjuk yang baik kepada anak yang dilahirkan supaya setelah dewasa menjadi orang yang berguna.

d. Upacara tanam ari-ari, dilakukan setelah ari-ari sudah keluar dan dilakukan oleh dukun bayi.

5

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koordinator Dukun Sekawasan Tengger (Bapak Mudjono) dan juga merupakan dokumentasi pribadi yang tidak dipublikasikan.

(25)

e. Upacara setelah bayi berumur 44 hari. Upacara ini dilakukan agar bayi dapat diajak keluar. Sebelum berumur 44 hari bayi tidak boleh dibawa keluar dari rumah atau halaman rumah termasuk ibunya.

f. Upacara tugel gombak/ tugel kuncung. Upacara ini dilakukan dengan memotong sedikit rambut, tugel kuncung adalah sebutan untuk laki-laki, sedangkan tugel gombak adalah sebutan untuk perempuan. Tujuannya adalah untuk menghilangkan sengkala.

g. Upacara Ngruwat/ Ruwatan, dilaksanakan setelah anak menginjak dewasa. Dilakukan bagi anak-anak yang tidak punya saudara sama sekali. Tujuannya adalah untuk menjaga keselamatan agar tidak diganggu oleh butakala.

h. Upacara pernikahan/ Praswala Gara, yaitu upacara pernikahan yang dilakukan menurut tradisi Tengger. Secara lengkap akan diterangkan pada bagian pembahasan Upacara Praswala Gara.

i. Upacara Kematian, rangkaian upacara kematian ini dilakukan pada saat upacara penguburan di pemakaman, upacara yang dilakukan di rumah duka dan upacara Entas -Entas yang dilakukan minimal 44 hari setelah kematian. Upacara Entas -Entas ini diterangkan secara lebih lengkap pada pembahasan upacara tersebut.

2. Upacara Lingkup Desa.

Upacara jenis ini biasanya memilik i cakupan yang luas karena dilakukan oleh seluruh warga desa bahkan juga seluruh warga masyarakat Tengger. Penanggung jawab pelaksana an biasanya adalah Petinggi (Kepala Desa) sebagai pemangku adat beserta para perangkatnya serta Dukun dan para kerabatnya (Legen dan Wong Sepuh) sebagai pelaksananya. Beberapa upacara jenis ini antara lain:

a. Upacara Kasada , berupa ungkapan syukur yang dilakukan dengan membuang hasil pertanian ke kawah Gunung Bromo pada bulan ke- dua belas (bulan Kasada) waktu bulan purnama. Upacara ini diikuti oleh seluruh masyarakat Tengger yang berpusat di Pura Agung Poten di lautan pasir Gunung Bromo dan merupakan upacara terbesar dalam kehidupan masyarakat Tengger.

(26)

b. Upacara Karo, dilakukan dengan mengadakan upacara di Pura dan di desa, merupakan upacara terbesar kedua setelah Kasada.Upacara ini dilakukan pada tanggal 15 bulan kedua penanggalan Tengger (bulan Karo).

c. Upacara Unan-Unan , yaitu upacara bersih desa yang dilakukan setiap lima tahun sekali. Tujuannya adalah untuk menjauhkan desa dari mara bahaya. Rangkaian upacaranya adalah: Banten Kayopan Agung, Yatnya Nguna Sasi/ korban maesa (berupa kerbau yang dikorbankan dalam upacara tersebut) dan Yatnya Tandur Tuwuh.

d. Upacara Pujan, yaitu tradisi pemujaan yang dilakukan pada bulan-bulan tertentu untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh warga masyarakat. Pujan ini macamnya adalah Pujan Kapat (bulan keempat), Pujan Kapitu (bulan ketujuh), Pujan Kawolu (bulan kedelapan), Pujan Kesanga (bulan ke sembilan) dan Pujan Kasada (bulan kedua belas).

Sebagaimana hasil penelitian dari Soemanto dalam buku “Agama Tradisional” menyatakan bahwa nilai budaya masyarakat Tengger terwujud dalam aturan-aturan adat yang benar-benar dipedomani oleh masyarakatnya dan hal ini didukung pula oleh pandangan agama dan kepercayaannya yang menjadi kesatuan dalam sikap kehidupan sehari-hari. Berdasarkan agama dan kepercayaan yang mereka anut, masyarakat adat Tengger selalu berusaha untuk mendekatkan diri pada Sang Hyang Agung.

Banyak hal yang ikut menentukan kepatuhan warga Tengger terhadap keberadaan nilai-nilai sosial budaya. Selain hal di atas adalah melekatnya budaya paternalistik dalam masyarakat. Pemimpin atau tokoh adat merupakan panutan sentral bagi warga, sehingga kemungkinan kecil terdapat perilaku-perilaku sosial budaya masyarakat yang menyimpang dari kebiasaan yang ada. Hasil penelitian terdahulu yang terhimpun dalam buku yang berjudul “Agama Tradisional” menjelaskan dalam sistem sosial budaya Tengger selama ini, belum pernah terjadi peristiwa sosial baru atau bentuk-bentuk budaya baru, baik yang dilakukan oleh individu atau kelompok sosial dalam masyarakat. Masyarakat (terutama generasi baru) cenderung ingin mengetahui, memahami, melaksanakan dan menghargai terhadap sistem sosial budaya yang lama. Nilai-nilai sosial budaya Tengger sudah

(27)

melembaga sedemikian kuat dalam masyarakat Tengger sehingga ketradisionalannya tetap terpelihara.

Daerah Tengger adalah daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Para wisatawan sedikit banyak akan membawa perubahan sosial dalam kehidupan yang belum diketahui oleh masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat Tengger yang banyak melakukan interaksi dengan wisatawan lambat laun juga akan mengalami perubahan karena pengaruh modernisasi yang dibawa oleh wisatawan. Dengan demikian, mereka banyak menyerap pengetahuan dan pengalaman dari orang luar Tengger. Memang dalam beberapa hal interaksi tersebut perlu untuk dilakukan, namun dalam kasus lain perlu adanya benteng dari masyarakat terhadap pengaruh budaya asing. Hal ini perlu dilakukan mengingat interaksi dengan orang asing, baik dalam negeri maupun luar negeri tidak selamanya membawa pengaruh yang positif (Anwar, 2003).

Pada akhir abad 20-an kehadiran lembaga sekolah tidak diterima secara mulus oleh masyarakat Tengger. Oleh karena itu cara penanamannya melalui penyadaran, perintah, bahkan terkadang dengan cara memaksa. Seperti adanya aturan dari pemerintah desa tentang ijin menikah yang bisa diberikan jika pasangan calon pengantin sudah lulus sekolah menengah pertama. Penerimaan pembaruan dan inovasi untuk saat sekarang ini disamping dilakukan melalui pendidikan formal atau lembaga sekolah, juga dilakukan dengan cara menghimpun kelompok-kelompok masyarakat melalui jalur-jalur nonformal, seperti Pramuka. Selain itu penerimaan pembaruan dan inovasi juga banyak dipengaruhi oleh para pendatang yang berasal dari luar Tengger dan tamu wisatawan, baik domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke Gunung Bromo.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran lembaga pendidikan, baik yang formal maupun nonformal di daerah Tengger, sedikit demi sedikit telah banyak membantu untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Tengger. Keterbukaan dalam hal pembaruan di daerah Tengger ini sedikit demi sedikit juga mengalami peningkatan, dalam artian masyarakat Tengger dapat menerima

(28)

pembaruan tersebut. Akibatnya, orang Tengger dapat dikatakan sudah mulai berubah dan telah mengalami kemajuan (Machmud, 2003).

Pergeseran atau perubahan nilai yang terjadi pada masyarakat Tengger adalah pergeseran atau perubahan nilai-nilai yang bersifat instrumental dan bukan nilai-nilai hakikinya. Hasil penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa sampai sekarang kepatuhan dan ketaatan terhadap kepercayaan, rasa kekeluargaan yang masih cukup kental, rasa toleransi terhadap sesama dan orang lain masih sangat kuat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hampir semua adat dan budaya warisan nenek moyang mereka masih tetap dilestarikan walaupun dalam bentuk yang lain, tetapi tetap memiliki makna yang sama (Hayat, 2003).

Beberapa kondisi masyarakat Tengger menurut sejarah dapat dilihat dari beberapa dekade, yaitu (Hefner, 1985):

(1) Tengger pada Zaman Majapahit

Sejak awal kerajaan Hindu di Indonesia Pegunungan Tengger diakui sebagai tanah suci. Penghuninya dianggap sebagai abdi spiritual yang patuh dan disebut hulun (abdi) dari Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat dipelajari dari Prasasti Tengger yang pertama ditemukan berasal dari abad ke-10. Prasasti itu berangka tahun 851 Saka (929 Masehi) dan menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandit, terletak di pegunungan Tengger, adalah tempat suci karena dihuni oleh hulun (abdi Hyang Widhi) . Hal ini diperkuat pula dengan prasasti berangka tahun 1327 Saka (1405 M) yang ditemukan di daerah Penanjakan, termasuk Desa Wonokitri Pasuruan. Prasasti ini menyatakan bahwa desa Walandit dihuni oleh Hulun Hyang (abdi Tuhan) dan tanah di sekitarnya itu disebut hila-hila (suci) (Hefner, 1985). Oleh sebab itu desa tersebut dibebaskan dari pembayaran pajak.

Masyarakat Tengger mempunyai hubungan historis dengan agama Hindu. Hal ini tampak pula dalam hubungan antara nama Bromo dengan Dewa Brahma dalam agama Hindu. Gunung Bromo dijadikan tempat pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma dan digunakan sebagai tempat penyucian para arwah untuk bisa naik ke kahyangan. Lautan pasir digambarkan sebagai jalan bagi arwah manusia dalam perjalanan penyucian sebelum bisa naik ke kahyangan.

(29)

Masyarakat Tengger mempunyai hubungan historis yang sangat erat dengan kerajaan Majapahit. Hal ini diperkuat pula dengan adanya berbagai alat upacara agama yang berasal dari zaman kera jaan Majapahit, yang sampai saat ini masih dipakai oleh para Dukun Tengger. Alat-alat itu antara lain adalah prasen yang merupakan tempat air suci terbuat dari kuningan bergambar patung dari dewa dan zodiak agama Hindu.

Sebagian besar prasen yang digunakan di Tengger berangka tahun Saka antara 1243 dan 1352. Saat itu adalah masa kejayaan Majapahit. Alat-alat ritual lain yang berasal dari Majapahit adalah sampet, yaitu selendang berwarna kuning yang biasa dipakai oleh Dukun pada waktu memimpin berbagai upacara adat. Demikian pula menurut naskah yang berasal dari keraton Yogyakarta yang berangka tahun 1814 M (Nancy), konon daerah Tengger termasuk wilayah yang dihadiahkan kepada Gajah Mada karena jasa-jasanya kepada keraton Majapahit.

(2) Tengger dari Abad ke -16 sampai ke -18

Keadaan daerah Tengger pada abad ke-16 sulit diketahui karena kurangnya informasi mengenai sejarah Tengger. Dalam Serat Kandha diberitakan adanya seorang guru agama yang ikut berjuang melawan musuh Majapahit. Namun karena kegagalannya keraton-keraton yang dulu terletak di bawah pegunungan Tengger dibongkar dan penghuninya diusir.

Pada awal abad ke-17 situasi politik di Pulau Jawa berubah dengan adanya perpindahan pusat kekuasaan dari pesisir utara bergeser ke selatan. Sultan Agung memperluas kekuasaannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, yang akhirnya sampai pula ke daerah Tengger. Pusat kerajaan pengikut agama Hindu yang masih di ujung timur tinggal di Blambangan, yang akhirnya dapat dikuasai oleh Sultan Agung. Sebagai akibatnya pada saat pasukan Mataram kembali dari Blambangan, mereka lewat pegunungan Tengger dan merusak keraton, serta membawa sebagian orang Tengger ke Mataram. Namun demikian rakyat daerah Tengger itu masih tetap mempertahankan identitasnya dan melawan kekuasaan Mataram. Pada tahun 1680 M sewaktu Trunajaya gagal memberontak melawan Mataram dan pasukan Belanda, ia lari ke arah timur dan kemudian dibantu oleh orang Tengger. Demikian pula pada waktu Surapati melawan Mataram dan pasukan Belanda, setelah terdesak ia juga lari ke ujung timur, ke Pasuruan dan

(30)

dibantu oleh orang-orang Tengger. Perlawanan rakyat Tengger ini baru dapat dikuasai oleh pasukan Belanda pada tahun 1764.

(3) Tengger pada Abad ke-19

Pada tahun-tahun terakhir abad ke-18 pejabat Belanda mulai memasuki daerah Te ngger untuk mengamati keadaan sosial ekonominya. Pada tahun 1875 didirikan sebuah pesanggrahan di Tosari dan di daerah ini mulai ditanam sayur-mayur dari Eropa dan Amerika. Para pengamat Belanda itu memperhatikan tradisi Tengger dan memperoleh gambaran bahwa daerah Tengger bebas dari kejahatan, bebas dari candu serta masyarakat Tengger bersifat jujur dan lurus hati. Mereka pemeluk agama Hindu yang memuja Brahma, Siwa dan Wisnu.

Situasi politik abad ke-19 berubah. Kekurangan penduduk di daerah Tengger dan sekitarnya menarik para pendatang dari daerah yang mulai padat. Para penghuni baru mulai berdatangan dan membuka pemukiman baru. Pada saat terjadi perlawanan Diponegoro terhadap pasukan Belanda, yang akhirnya dapat dipatahkan, sebagian sisa pasukan Diponegor o lari ke timur dan menghuni daerah sekitar pegunungan Tengger. Sebagai akibatnya daerah dataran sekitar Tengger dihuni oleh pendatang baru dan menjadi terpisah dengan masyarakat Tengger asli.

(4) Tengger Sesudah Tahun 1945

Peran masyarakat Tengger pada waktu perang kemerdekaan sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak jelas. Menjelang tahun 1945 rakyat Tengger mulai menggali lagi identitasnya dengan mempelajari sejarah nenek moyangnya yang berasal dari daerah Ma japahit. Agama yang dipeluk pada waktu itu tidak jelas meskipun menyatakan diri beragama Budha, namun ciri-cirinya tidak jelas. Kemudian sejak tahun 1973 mulai diadakan pembinaan keagamaan, yaitu dengan memeluk agama Hindhu Dharma. Alasannya, dalam peribadatan yang dipakai, banyak ritual yang bersumber dari kitab Weda. Begitupun dengan dewa-dewa yang mereka puja, sebagian merupakan dewa-dewa dari agama Hindu selain beberapa dewa lokal dari nenek moyang.

(31)

Pola Komunikasi

Pola merupakan ciri khas bagi tiap kegiatan akibat pengaruh lingkungan dan tingkah laku orang yang melakukan kegiatan secara terus-menerus baik dalam pekerjaan, pergaulan dan aktifitas kehidupan lainnya. Pada umumnya pola komunikasi terdiri dari dua bagian, yaitu pola komunikasi intern vertikal horisontal dan pola komunikasi ekstern (Departemen Penerangan, 1979).

Instruksi dan laporan yang dikirimkan dan diterima oleh manajemen merupakan komunikasi intern tegak lurus (vertikal). Instruksi diberikan ke bawah, sedangkan laporan disampaikan ke atas melalui garis hierarki yang ditentukan. Selain bersifat instruksi, komunikasi juga merupakan edukasi dan informasi. Setelah data dan bahan diolah lalu dikembalikan ke bawah berupa putusan. Komunikasi intern tegak lurus lisan melalui pembicaraan, pertemuan dan telpon. Sedangkan dengan tulisan dapat berupa instruksi, memorandum, surat edaran, pemberitahuan, laporan, surat keputusan dan berbagai penerbitan atau media. Pola pendekatan komunikasi yang lebih luas dapat dilakukan dengan media massa yang merupakan sumber informasi untuk menjangkau khalayak yang lebih luas.

Menurut Pace (2002) analisis pola -pola komunikasi menyatakan bahwa pengaturan tertentu mengenai ”siapa berbicara kepada siapa” dan mempunyai konsekuensi besar dalam berfungsinya organisasi. Ada beberapa macam pola komunikasi, antara lain pola roda, pola lingkaran. Dimana pola roda mengarahkan seluruh informasi kepada individu yang menduduki posisi sentral. Sedangkan pola lingkaran memungkinkan semua anggota berkomunikasi satu dengan yang lainnya hanya melalui sejenis sistem pengulangan pesan. Selain itu juga terdapat pola lain, yaitu rantai dan bintang (semua saluran). Menurut Devito (1997) bahwa pola (struktur) rantai sama dengan struktur lingkaran kecuali bahwa para anggota yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang saja. Keadaan terpusat juga terdapat di sini. Orang yang berada di posisi tengah lebih berperan sebagai pemimpin daripada mereka yang berada di posisi lain. Sedangkan pola bintang hampir sama dengan struktur lingkaran dalam arti semua anggota adalah sama dan semuanya juga memiliki kekuatan yang sama untuk mempengaruhi anggota lain. Setiap anggota bisa berkomunikasi dengan setiap anggota lainnya. Pola ini memungkinkan adanya partisipasi anggota secara optimum.

(32)

Pada dasarnya, Patterns (Pola) adalah suatu konsep yang ditujukan untuk memudahkan komunikasi antara satu orang dengan orang lain. Patterns memungkinkan manusia untuk memikirkan suatu aspek permasalahan dan solusi untuk permasalahan tersebut. Permasalahan yang sangat spesifik, dan solusi yang juga sangat spesifik. Patterns mendeskripsikan/menjelaskan permasalahan dan solusinya, dan juga mengkomunikasikannya. Patterns memungkinkan kita menyampaikan informasi dari satu orang ke orang lainnya. Patterns memudahka n kita mengkomunikasikan suatu konsep desain.

Pola komunikasi dapat diartikan sebagai struktur yang sistematis tentang tingkah laku penerimaan dan pengiriman pesan diantara anggota kelompok, siapa berbicara kepada siapa dan tingkat keseringan tertentu yang membentuk suatu kebiasaan (Larson, 1985).

Pengetahuan dan Sikap

Koentjaraningrat (1990) menyatakan bahwa pengetahuan adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan jiwa manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Artinya pengetahuan berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki oleh seseorang. Menurut Nonaka dan Takeuchi yang dikutip oleh Rinasari (1998), terdapat dua dimensi pengetahuan, yaitu: (1) dimensi ontologi, dimana pengetahuan diciptakan melalui individu-individu yang kemudian ditransformasikan dalam kelompok, organisasi dan antar organisasi; (2) dimensi epistemologi, dibedakan atas: (a) tacit knowledge (implisit), bersifat personal yang berakal dari dalam diri dan dari pengalaman, termasuk insight, intuisi, firasat dan kepercayaan diri; (b) explisit knowledge bersifat rasional, metodologis, positif dan empiris.

Soekanto (1990) menyatakan bahwa pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran seseorang sebagai hasil penggunaan panca indera. Ashari dalam Zahid (1997) menambahkan pengetahuan adalah paham subyek mengenai obyek yang dihadapai. Pengetahuan didapatkan individu baik melalui proses belajar, pengalaman atau media elektronik yang kemudian disimpan dalam memori individu.

(33)

Walgito (2002) menyatakan bahwa pengetahuan adalah mengenal suatu obyek baru yang selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut apabila pengatahuan ini disertai oleh kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan tentang obyek itu. Seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu obyek, itu berarti orang tersebut telah mengetahui tentang obyek tersebut.

Sedangkan pengertian sikap menurut Koentjaraningrat (1990) adalah suatu predisposisi atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seseorang untuk bereaksi terhadap lingkungan, baik lingkungan manusia maupun lingkungan fisiknya. Walaupun berada di dalam diri individu, sikap itu biasanya juga dipengaruhi oleh nilai budaya dan sering pula bersumber kepada sistem nilai budaya.

Allport dalam Mar’at (1984) mendefinisikan sikap sebagai keadaan dan kesiapan mental yang terorganisasi melalui pengalaman yang secara langsung dan dinamis mempengaruhi respon seseorang terhadap semua obyek atau situasi yang mempunyai hubungan dengan dirinya. Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci, setuju, tidak setuju dan sebagainya.

Selain itu Mar’at juga membuat rangkuman mengenai pengertian sikap berdasarkan berbagai definisi yang dirumuskan Allport, yaitu:

1) Attitudes are learned , yang berarti sikap tidaklah merupakan sistem fisiologis ataupun diturunkan, akan tetapi sikap sebagai hasil belajar diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan.

2) Attitudes have referent, yang berarti sikap selalui dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide.

3) Attitudes are social learning, yang berarti sikap diperoleh dalam interaksi dengan manusia lain.

4) Attitudes have readiness to respond , yang berarti adanya kesiapan untuk bertindak dengan cara tertentu terhadap obyek.

5) Attitudes are affective, yang berarti bahwa perasaan dan afeksi merupakan bagian dari sikap, akan tampak pada pilihan yang bersangkutan, apakah positif, negatif atau ragu.

(34)

6) Attitudes are very intensive, yang berarti bahwa tingkat intensitas sikap terhadap obyek tertentu kuat atau juga lemah.

7) Attitude have a time dimension, yang berarti bahwa sikap tersebut mungkin hanya cocok pada situasi yang sedang berlangsung, akan tetapi belum tentu sesuai pada saat lainnya, karena itu sikap dapat berubah tergantung situasi. 8) Attitudes have a duration factor , yang berarti bahwa sikap dapat bersifat

relatif konsisten dalam sejarah hidup individu.

9) Attitudes are complex , yang berarti bahwa sikap merupakan bagian dan konteks persepsi ataupun kognisi individu.

10) Attitudes are evaluations, yang berarti bahwa sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan.

11) Attitudes are inferred, yang berarti bahwa sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna atau bahkan yang tidak memadai.

Rakhmat (2001) merangkum pengertian sikap dari beberapa ahli seperti Sherif dan Sherif, Allport dan Bem sebagai berikut:

(1) Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai.

(2) Sikap mempunyai daya dorong dan motivasi. (3) Sikap relatif lebih menetap.

(4) Sikap mengandung aspek evaluatif.

(5)

Sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil belajar, sehingga sikap dapat diperteguh atau diubah.

(35)

Pariwisata Dan Kebijakan Pemerintah

Pariwisata adalah salah satu dari industri gaya baru, yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup dan dalam mengaktifkan sektor produksi lain di dalam negara penerima wisatawan. Bentuk-bentuk pariwisata secara umum (Wahab, 2003):

1. Pariwisata rekreasi atau pariwisata santai, dimaksudkan untuk memulihkan kemampuan fisik dan mental setiap peserta wisata dan memberikan kesempatan rileks bagi mereka dari kebos anan dan keletihan kerja selama di tempat rekreasi.

2. Pariwisata budaya, maksudnya untuk memperkaya informasi dan pengetahuan tentang negara lain dan untuk memuaskan kebutuhan hiburan. Pola hidup masyarakat sudah menjadi salah satu khasanah wisata yang sangat penting. Cara hidup bangsa, sikap, makanan dan sikap pandangan hidup; kebisaannya, tradisinya, adat istiadatnya, dalam hal ini termasuk kunjungan ke pameran-pameran, perayaan-perayaan adat, tempat-tempat cagar alam, cagar purbakala, dimana semua itu menjadi kekayaan budaya yang menarik wisatawan ke negara mereka. Hal ini berlaku khususnya bagi negara -negara sedang berkembang yang masyarakat tradisionalnya berbeda dari masyarakat tempat wisatawan itu berasal.

3. Pariwisata pulih sehat, yaitu memuaskan kebutuhan perawatan medis di tempat dengan fasilitas penyembuhan, misalnya: sumber air panas.

4. Pariwisata sport, yaitu memuaskan hobi, misalnya menyelam, mendaki gunung, berburu binatang liar, dan lain-lain.

5. Pariwisata temu wicara, pariwisata konvensi mencakup pertemuan-pertemuan ilmiah, seprofesi dan bahkan politik.

Pariwisata memiliki manfaat bagi suatu negara, antara lain: mampu menggalang persatuan bangsa yang rakyatnya memiliki daerah, dialek dan adat-istiadat yang berbeda; pariwisata mampu menjadi faktor penting dalam pengembangan ekonomi, dan lain-lain. Perhatian pemerintah dalam menggali dan mengembangkan potensi pariwisata daerah sangat penting artinya bagi peningkatan pendapatan asli daerah. Peran pemerintah ini menjadi salah satu

Gambar

Gambar 2. Kelima Komponen Religi

Referensi

Dokumen terkait

Adalah Comman Event untuk melakukan Event Command tertentu yang telah diatur ketika suatu kondisi terpenuhi.. Tampilan dari Jendela Conditional Branch adalah

Dimana hasil penelitian terdiri dari struktur mikro pearlite dan ferrite pada Gambar 1, tetapi menurut hasil penelitian Hall (2010), pada hasil pengujian struktur mikro

Potensi keterpulihan lahan pasca tambang dapat diindikasikan dari tanaman revegetasi (tanaman penutup tanah dan cepat tumbuh mampu tumbuh dan bertahan serta tajuk

Sistem disini yaitu sistem close loop dimana terdapat feedback berupa sensor LDR dan menggunakan kontrol PI dalam mengatur terang redup dari lampu dengan pengaturan duty cycle

Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai dengan rencana keperawatan, perawat harus mempunyai kemampuan kognitif (intelektual), kemampuan

Sedikit berbeda dengan penelitian kualitatif Apriani, Sakti, & Fauziah (2013) yang mengemukakan bahwa permasalahan dalam perkawinan antarbudaya seperti pada wanita Jawa

Akad murabahah berupa produk pembiayaan dan wadiah adalah akad titipan nasabah dalam tabungan, sedangkan akad asuransi menggunakan akad yang secara tidak langsung terikat dalam

Kalau misalnya jurusannya bukan jurusan bahasa Inggris mungkin bahasa Indonesianya lebih lancer, tapi ini yang saya belajar dari sama teman- teman.. Ne zaman