• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

 

 

RENCANA AKSI NASIONAL

PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

             

Draft Perpres RAN-GRK versi Desember 2010

(2)

Draft, 8 Desember 2010

RANCANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN 2010

TENTANG

RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan amanat UUD 1945 yang perlindungan dan pemenuhannya harus senantiasa diupayakan oleh pemerintah;

b. bahwa dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan Copenhagen Accord hasil The Conference of Parties ke-15 (COP-15) di Copenhagen dan memenuhi komitmen Pemerintah Indonesia dalam pertemuan G-20 Pittsburg menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020 dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (business as usual/BAU), perlu disusun langkah-langkah untuk menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK);

c. bahwa posisi geografis Indonesia sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim sehingga perlu dilakukan upaya untuk menanggulangi dampak tersebut melalui upaya mitigasi perubahan iklim bersama masyarakat global;

d. bahwa upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan c dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah pelaku ekonomi dan masyarakat sebagai upaya untuk mitigasi perubahan iklim di Indonesia, baik menggunakan pendanaan yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf d perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK);

(3)

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3557);

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan

Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4403);

5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) Tahun 2005 – 2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); 7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi,

Klimatologi dan Geofisika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5058);

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5059);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4597);

10. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 – 2014;

(4)

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG RENCANA AKSI

NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAN-GRK).

Pasal 1

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:

1. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi dan konsentrasi GRK di atmosfer secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.

2. Mitigasi perubahan iklim adalah usaha pengendalian untuk mengurangi risiko akibat perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi/meningkatkan penyerapan gas rumah kaca dari berbagai sumber emisi.

3. Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas yang terkandung dalam atmosfer baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah

4. Serapan Gas Rumah Kaca adalah diserapnya gas rumah kaca yang ada di atmosfer kembali ke dan disimpan di sistem lahan

5. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) adalah dokumen kerja yang menyediakan landasan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat serta pelaku ekonomi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dalam periode 2010-2020 yang sesuai dengan target pembangunan nasional.

6. Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) adalah dokumen kerja yang menyediakan landasan bagi Pemerintah Daerah, masyarakat dan pelaku ekonomi untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dalam periode 2010-2020 yang sesuai dengan target pembangunan daerah.

7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(5)

9. Inventarisasi GRK adalah kegiatan untuk memantau dan menghitung tingkat dan status gas rumah kaca dari berbagai sumber emisi (sources) dan penyerapnya (sink) akibat kegiatan manusia (antropogenik). 10. Emisi GRK adalah lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu area dalam

jangka waktu tertentu.

11. Tingkat emisi GRK adalah tingkat konsentrasi dan komposisi emisi GRK pada satu waktu tertentu.

12. Terukur (Measurable) adalah tindakan/kegiatan untuk melihat pencapaian status emisi atau peningkatan serapan GRK yang dihasilkan dari kegiatan mitigasi perubahan iklim yang bersifat nyata dan dapat diukur besarannya.

13. Terlaporkan (Reportable) adalah tindakan/kegiatan pelaporan dari besaran emisi yang diukur dari pelaksanaan kegiatan mitigasi sesuai dengan format pelaporan yang dilengkapi dengan daftar dokumen-dokumen pendukung terkait kegiatan mitigasi yang dilakukan diantaranya bentuk kegiatan mitigasi, teknologi dan sumber pendanaan yang digunakan guna keperluan proses verifikasi.

14. Terverifikasi (Verifiable) adalah tindakan/kegiatan pengujian terhadap besaran emisi yang dilaporkan dari pelaksanaan kegiatan mitigasi yang didukung oleh tersedianya dokumen-dokumen pendukung yang diperlukan untuk verifikasi.

15. Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.

16. Kegiatan inti adalah kegiatan yang berdampak langsung pada penurunan emisi GRK dan penyerapan GRK

17. Kegiatan pendukung dalah kegiatan yang tidak berdampak langsung pada penurunan emisi GRK tapi mendukung pelaksanaan kegiatan inti

Pasal 2

(1) Menetapkan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca selanjutnya disebut RAN-GRK, yang merupakan dokumen perencanaan untuk penurunan emisi GRK sebesar 26% dalam periode tahun 2010-2020 dan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP 2005-2025) dan Rencana Pembangunan Jangan Menengah (RPJM) pada periode tersebut.

(2) RAN-GRK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Lampiran Peraturan Presiden ini yang merupakan satu kesatuan dan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

(6)

(3) Lampiran peraturan presiden ini terdiri atas dua lampiran: a. Lampiran 1 : Matriks Kegiatan Inti

b. Lampiran 2 : Matriks Kegiatan Pendukung

Pasal 3

(1) Kegiatan dalam RAN-GRK sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) mencangkup bidang-bidang sebagai berikut:

a. Bidang Pertanian, Kehutanan dan Lahan Gambut; b. Bidang Energi, Industri dan Transportasi;

c. Bidang Pengelolaan Limbah.

(2) Kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan kriteria:

a. secara langsung menurunkan emisi GRK melalui penghitungan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi, dan/atau merupakan prasyarat bagi pelaksanaan kegiatan yang menurunkan emisi GRK;

b. menghasilkan penurunan emisi GRK dengan biaya satuan termurah dan/atau merupakan kegiatan yang terintegrasi untuk mencapai sasaran prioritas pembangunan secara berkelanjutan (co-benefit);

c. Secara tidak langsung menurunkan emisi GRK, baik berupa kebijakan, peningkatan kapasitas manusia dan kelembagaan, sosialisasi, penelitian tentang potensi penurunan GRK dan kegiatan lain yang mempunyai andil dalam penurunan GRK;

d. Dalam bidang Kehutanan dan Lahan Gambut perlu diprioritaskan pada kegiatan pengurangan emisi dari pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, konservasi serta kegiatan-kegiatan lain yang mendukung potensi penurunan dan penyerapan emisi GRK;

e. Diprioritaskan pada kegiatan-kegiatan yang menunjang upaya pembangunan berkelanjutan yang rendah karbon.

(7)

Pasal 4

(1) RAN-GRK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) menjadi acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan pelaku ekonomi dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi rencana aksi penurunan emisi GRK.

(2) Untuk mendukung pelaksanaan RAN-GRK, Kementerian/Lembaga terkait dan Pemerintah Daerah harus melakukan inventarisasi GRK di bidang atau wilayah masing-masing.

(3) RAN-GRK dapat dikaji ulang (review) secara berkala sesuai dengan kebutuhan nasional dan perkembangan dinamika global terkini. (4) Hasil kaji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijadikan

rekomendasi untuk penyesuaian matriks kegiatan terhadap lampiran Peraturan Presiden ini.

(5) Perubahan atas Matriks Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian

Pasal 5

RAN-GRK merupakan acuan dalam penyusunan RAD-GRK.

Pasal 6

Pendanaan RAN-GRK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) bersumber dari APBN, APBD dan sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 7 Untuk mendukung pelaksanaan RAN-GRK: (1) Menteri Koordinator Perekonomian bertugas:

a. melakukan koordinasi pelaksanaan dan pemantauan RAN-GRK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dengan melibatkan para Menteri dan Gubernur yang terkait dengan upaya penurunan Emisi GRK.

b. melaporkan pelaksanaan RAN-GRK yang terintegrasi kepada Presiden paling sedikit 1 tahun sekali.

(8)

(2) Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat bersama dengan Menteri Koordinator Perekonomian bertugas melakukan koordinasi pelaksanaan dan pemantauan RAN-GRK dalam proses inventarisasi GRK dan penyusunan pedoman dan metodologi MRV (Measurable, Reportable Verifiable)

(3) Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas bertugas:

a. Mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RAN-GRK yang terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) di atas dan melaporkan hasil evaluasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian

b. Menyusun pedoman RAD-GRK yang akan diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional penurunan emisi GRK.

(4) Menteri Lingkungan Hidup bertugas:

a. Mengkoordinasikan inventarisasi GRK yang dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dan melaporkan hasil inventarisasi GRK tersebut kepada Menteri Koordinator Perekonomian.

b. Menyusun pedoman dan metodologi MRV (Measurable Reportable Verifiable

(5) Menteri Dalam Negeri bertugas memfasilitasi penyusunan RAD-GRK bersama-sama dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Lingkungan Hidup.

(6) Kementerian/Lembaga bertugas:

a. Melaksanakan RAN-GRK dan inventarisasi GRK pada Kementerian/Lembaga masing-masing.

b. Memantau pelaksanaan RAN-GRK sebagaimana yang telah diatur dalam Perpres ini secara berkala.

c. Melaporkan pelaksanaan kegiatan RAN-GRK yang telah terverifikasi kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Menteri Lingkungan Hidup secara berkala, minimal satu tahun sekali.

Pasal 8

(1) Pemerintah Provinsi harus menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang mengacu pada RAN-GRK dan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat.

(2) Penyusunan RAD-GRK wajib diselesaikan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya Peraturan Presiden ini.

(9)

(3) RAD-GRK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.

(4) Gubernur menyampaikan RAD-GRK kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas untuk diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional penurunan emisi GRK sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) di atas .

Pasal 9

Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan RAN-GRK pada masing-masing Kementerian/Lembaga diatur oleh Menteri/Pimpinan Lembaga, sesuai dengan tugas dan kewenangannya masing-masing.

Pasal 10

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal ….. Desember, 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

(10)

Draft ke 26 03/10/2010

NASKAH AKADEMIS

RENCANA AKSI NASIONAL

PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) 2010-2020

REPUBLIK INDONESIA September, 2010

(11)

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Visi Misi RAN-GRK

1.3 Tujuan dan Sasaran RAN-GRK 1.4 Kerangka Hukum dan Institusi

1.5 Rencana Aksi Penurunan Emisi GRK dan Perencanaan Pembangunan 2. ANALISIS KONDISI SAAT INI DAN PERMASALAHAN

2.1 Kondisi saat ini 2.2 Permasalahan

3. KERANGKA KEBIJAKAN DAN RUANG LINGKUP 3.1 Kerangka Kebijakan RAN-GRK

3.2 Metodologi Penetapan Kegiatan dan Target Penurunan Emisi 3.3 Prinsip-prinsip RAN-GRK

3.4 Ruang Lingkup RAN-GRK

3.5 Pengembangan RAN-GRK menuju NAMAs

4. STRATEGI NASIONAL PENURUNAN GAS RUMAH KACA 4.1 Arah Kebijakan Umum (cross cutting)

4.2 Arah Kebijakan dan Rencana Aksi Per Bidang

4.2.1 Bidang Kehutanan dan Pengelolaan Lahan Gambut

4.2.1.1 Arah Kebijakan 4.2.1.2 Rencana Aksi

4.2.2 Bidang Pertanian

4.2.2.1 Arah Kebijakan 4.2.2.2 Rencana Aksi

4.2.3 Bidang Energi dan Transportasi

4.2.3.1 Arah Kebijakan 4.2.3.2 Rencana Aksi 4.2.4 Bidang Industri 4.2.4.1 Arah Kebijakan 4.2.4.2 Rencana Aksi 4.2.5 Pengelolaan Limbah 4.2.5.1 Arah Kebijakan 4.2.5.2 Rencana Aksi 5. PENDANAAN 5.1 Kebijakan Pendanaan 5.2 Sumber Pendanaan 5.3 Mekanisme Pendanaan

6. MONITORING, EVALUASI, KAJI ULANG dan PELAPORAN 7. PENYUSUNAN RAD-GRK

(12)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) ini merupakan dokumen kerja yang menyediakan landasan bagi berbagai Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung akan menurunkan emisi gas rumah kaca dalam kerangka penurunan laju perubahan iklim global. Emisi gas rumah kaca (GRK) sendiri dihasilkan dari alam dan berbagai kegiatan pembangunan terutama dari kegiatan di bidang kehutanan, lahan gambut, limbah, pertanian, transportasi, industri dan energi. Hal ini telah menjadi perhatian banyak pihak terkait dengan terjadinya perubahan iklim global yang gejala dan dampaknya telah dirasakan oleh berbagai negara di dunia termasuk Indonesia.

Dokumen ini disusun sebagai bagian dari rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) dan menengah (RPJM) dalam kerangka kebijakan pembangunan berkelanjutan untuk menanggulangi dampak perubahan iklim, khususnya untuk menurunkan emisi GRK, terutama untuk beberapa bidang pembangunan yang prioritas. Penyusunan dokumen ini juga merupakan tindak lanjut dari komitmen Indonesia terhadap penanggulangan permasalahan perubahan iklim global, yang disampaikan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di depan pemimpin negara G-20 pada pertemuan di Pittsburgh, Amerika Serikat, 25 September 2009. Berdasarkan skenario SNC (Second National Communication) tingkat emisi di Indonesia diperkirakan akan meningkat dari 1,72 Gton CO2e pada tahun 2000 (KLH, 2009) menjadi 2,95 Gton CO2e pada tahun 2020 (KLH 2009). Perhitungan tersebut akan ditinjau kembali secara periodik dengan menggunakan metodologi, data dan informasi yang lebih baik. Peningkatan emisi tersebut, sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan atau aktivitas di bidang kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi, industri dan transportasi, serta limbah.

(13)

Gambar 1.1 Skenario SNC Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 2000-2020

Berdasarkan kondisi tersebut, secara sukarela Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen pada tahun 2020 dari tingkat emisi BAU (Bussiness as Usual/Tanpa Rencana Aksi). Bila digunakan skenario SNC target penurunan emisi GRK pada tahun 2020 sebesar 26% adalah 0,767 Gton CO2e, dan kemungkinan tambahan sebesar 15 persen (0,477 Gton CO2e) menjadi 41 persen apabila ada dukungan pendanaan internasional. Besaran angka-angka penurunan emisi GRK ini juga masih akan diperhitungkan kembali secara lebih akurat dengan menggunakan metodologi, data dan informasi yang lebih baik.

Dokumen ini diharapkan menjadi rencana aksi yang bersifat terintegrasi, konkrit, terukur dan dapat diimplementasikan untuk jangka waktu 2010-2020. Selain itu, rencana aksi ini disusun berdasarkan prinsip terukur, dapat dilaporkan dan dapat diverifikasi (measurable, reportable and verifiable/MRV), agar dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, sesuai dengan prinsip yang akan diterapkan oleh UNFCCC untuk kegiatan mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh negara para pihak.

Untuk merealisasikan tujuan dan target di atas perlu disusun berbagai intervensi dan rencana aksi yang disesuaikan dengan kebijakan program mitigasi perubahan iklim yang dilaksanakan dan didukung oleh berbagai Kementerian/Lembaga, antara lain meliputi Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika serta Pemerintah Daerah.

(14)

Dokumen ini berisikan berbagai intervensi kegiatan strategis yang disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) terutama Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2005-2025. Kegiatan penurunan emisi GRK dalam rencana aksi ini disusun dengan memperhatikan sumber pendanaan dan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaannya, sehingga diharapkan rencana aksi ini akan dapat dilaksanakan (doable) dan terencana dengan baik. Pembiayaan tahun 2010-2014 didasarkan pada pendanaan yang tercantum dalam RPJMN 2010-2014, sedangkan pembiayaan antara tahun 2015-2020 didasarkan pada perkiraan biaya yang diperlukan dalam kegiatan penurunan emisi GRK tersebut.

Berdasarkan Copenhagen Accord dalam rangkaian kegiatan COP15 UNFCCC di Copenhagen bulan Desember 2009 lalu, disepakati bahwa dibutuhkan upaya mitigasi global (global coherent mitigation actions) untuk membatasi peningkatan suhu global 2oC di bawah tingkat pra-industri pada tahun

2050. Untuk itu, diperlukan penurunan emisi GRK baik oleh negara maju (dengan kontribusi yang signifikan) maupun negara berkembang. Walaupun Copenhagen Accord bukan merupakan kesepakatan yang mengikat (legally binding), namun Indonesia secara sukarela turut berkontribusi dalam penurunan emisi GRK. Dalam konteks UNFCCC, rencana aksi ini dipandang sebagai suatu upaya sukarela Indonesia dalam penurunan emisi GRK dan diharapkan menjadi pendorong bagi negara-negara lain terutama negara maju untuk menurunkan emisinya.

1.2 VISI MISI

Pada tanggal 5 Februari 2007, pemerintah Indonesia menerbitkan UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) periode 2005-2025. Misi ke-enam yang tertera pada dokumen tersebut akan menjadi visi dalam RAN-GRK ini yaitu untuk: “Mewujudkan Indonesia asri dan lestari”. Misi tersebut menekankan pada upaya untuk adalah memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung, dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan, melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan; memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan; memberikan keindahan dan kenyamanan kehidupan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan

(15)

Untuk dapat mencapai visi pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah Indonesia mengambil kesepakatan bahwa "pembangunan keberlanjutan jangka panjang akan menghadapi tantangan berupa perubahan iklim dan pemanasan global yang mempengaruhi kehidupan dan kegiatan manusia ".

Untuk mencapai visi tersebut dilaksanakan dengan misi sebagai berikut:

1. Mempertajam upaya inventarisasi emisi CO2 dan target pengurangan emisi yang akan

disesuaikan pada tahun 2015.

2. Memperkuat kapasitas kelembagaan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap Kementerian dan instansi pemerintah pada 2015 dan mencapai tujuan dari climate-proofing national policies and regulations pada 2020.

3. Menjadikan RAN GRK sebagai panduan kebijakan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari skenario “business-as-usual” sebesar 26% pada 2020, dengan memanfaatkan sumber daya lokal hingga 41% dari skenario business-as-usual jika bantuan internasional tersedia.

4. Mewujudkan keberhasilan implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk membantu mencapai tujuan pembangunan nasional pada 2025.

Meningkatkan sumber energi alternatif, sementara penggunaan energi tak terbaharukan akan dikurangi secara bertahap pada periode waktu tersebut.

5. Mengurangi risiko secara nyata atas dampak negatif perubahan iklim terhadap berbagai sektor pembangunan pada tahun 2030 melalui peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan kapasitas masyarakat lokal, peningkatan manajamen pengetahuan, dan pemanfaatan teknologi yang adaptif.

6. Memastikan bahwa semua sektor yang menyumbangkan emisi gas rumah kaca akan mengadopsi strategi pembangunan rendah emisi karbon dan menerapkannya dengan cara-cara yang menunjang aspek pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

1.3 Tujuan dan Sasaran RAN-GRK

Tujuan dari RAN-GRK ini adalah:

1. Merancang program/kegiatan dalam rangka menurunkan emisi GRK terutama di bidang kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi, industri dan transportasi, serta limbah dalam skala nasional dan daerah dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan.

(16)

2. Memberikan gambaran potensi kegiatan mitigasi nasional dalam rangka menurunkan emisi GRK yang berkontribusi pada aksi mitigasi global sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Rencana Aksi ini disusun dengan pembiayaan yang terintegrasi antara Kementerian/Lembaga pemerintah pusat dan daerah, dan terukur serta dapat diimplementasikan dalam jangka waktu 2010-2020.

Sasaran dari RAN-GRK ini adalah:

1. Sebagai acuan pelaksanaan penurunan emisi GRK oleh bidang-bidang prioritas di tingkat nasional dan daerah;

2. Sebagai acuan investasi terkait penurunan emisi GRK yang terkoordinasi pada tingkat nasional dan daerah;

3. Sebagai acuan pengembangan strategi dan rencana aksi penurunan emisi GRK oleh daerah-daerah di Indonesia.

1.4 Kerangka Hukum dan Institusi

Dasar Hukum yang digunakan untuk penyusunan RAN-GRK terdiri dari:

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change;

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim;

5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025;

7. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014;

Dalam pelaksanaan RAN-GRK ini, perlu diatur tentang peran berbagai institusi yang bertanggung jawab untuk kegiatan penurunan emisi GRK di masing-masing bidang serta insitusi yang bertanggung jawab terhadap kegiatan pendukung penurunan emisi GRK. Selain itu, diperlukan pula penetapan institusi yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan berbagai

(17)

hal di dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi rencana aksi ini. Untuk itu, pembagian tugas RAN-GRK adalah sebagai berikut:

1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian mengkoordinasikan pelaksanaan dan pemantauan RAN-GRK dengan melibatkan para Menteri dan Gubernur yang terkait dengan upaya penurunan Emisi GRK, serta melaporkan pelaksanaan RAN-GRK yang terintegrasi kepada Presiden paling sedikit 1 tahun sekali

2. Menteri PPN/Kepala Bappenas bertugas mengkoordinasikan evaluasi dan kaji ulang RAN-GRK yang terintegrasi, serta menyusun pedoman RAD-GRK yang akan diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional penurunan emisi GRK.

3. Menteri Dalam Negeri bertugas memfasilitasi penyusunan RAD-GRK bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Lingkungan Hidup.

4. Menteri Lingkungan Hidup bertugas mengkoordinasikan inventarisasi GRK serta penyusunan pedoman dan metodologi MRV (Measurment, Reporting and Verification) yang dilakukan oleh masing-masing Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

5. Kementerian/Lembaga lainnya sesuai tupoksi masing-masing bertugas untuk menjalankan RAN-GRK sehingga dapat diukur, dilaporkan, diverifikasi, baik dengan pendanaan sendiri maupun kerjasama dengan dunia internasional, serta melakukan pemantauan pelaksanaan RAN-GRK dan melaporkan hasilnya secara berkala kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Lingkungan Hidup.

6. Pemerintah Provinsi wajib menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang mengacu pada RAN-GRK dan sesuai dengan prioritas pembangunan daerah berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat.

7. Gubernur menyampaikan RAD-GRK kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri PPN/Kepala Bappenas untuk diintegrasikan dalam upaya pencapaian target nasional penurunan emisi GRK.

Untuk pelaksanaan penurunan emisi GRK di daerah perlu disusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) di tingkat Provinsi yang penyusunannya merupakan tanggung jawab daerah masing-masing dengan koordinasi dari Kementerian Dalam Negeri. RAD-GRK disusun dengan melibatkan dinas teknis terkait dan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur masing-masing sesuai dengan prioritas pembangunan daerah berdasarkan kemampuan APBD dan masyarakat.

(18)

1.5 RAN-GRK dalam Sistem Perencanaan Pembangunan

Rencana Aksi ini disusun berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN 2010-2014) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN 2005-2025). Gambar 1.2 berikut menunjukkan hubungan antara RAN-GRK dengan sistem perencanaan pembangunan baik nasional dan daerah.

Gambar 1.2 Kedudukan RAN-GRK dalam Sistem Perencanaan Pembangunan

Penyusunan RAN-GRK ini tidak terlepas dari prinsip pengarus-utamaan pembangunan berkelanjutan yang telah diamanatkan oleh RPJPN 2005-2025 dan RPJMN 2010-2014 (Buku 2 Bab 1), dimana kegiatan pembangunan harus memperhatikan tiga pilar prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu terkait aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek lingkungan hidup.

(19)

Gambar 1.3 Kerangka Waktu Pelaksanaan RAN-GRK

Pelaksanaan RAN-GRK 2010-2020 ini memenuhi tiga kerangka waktu pembangunan nasional jangka menengah, yakni dimulai di tahun pertama pada RPJMN ke-2 (tahun 2010-2014), dan dilanjutkan pada periode 2020 yang berarti merupakan periode RPJMN ke-3 (tahun 2015-2019) dan periode RPJMN ke-4 (tahun 2020-2024). Adapun kebutuhan pendanaan untuk pelaksanaan RAN-GRK tahun 2010-2014 telah dialokasikan pada RPJMN 2010-2014, sedangkan untuk tahun selanjutnya RAN-GRK memberikan arah kebijakan bagi pemerintah dalam pengurangan emisi GRK dengan biaya/anggaran yang masih bersifat perkiraan (lihat gambar 1.3).

2. ANALISIS KONDISI SAAT INI DAN PERMASALAHAN 2.1. Kondisi saat ini

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari lebih dari 17 ribu pulau besar dan kecil, Indonesia mempunyai garis pantai yang sangat panjang; di satu sisi hal ini merupakan aset nasional tetapi di sisi lainnya, khususnya dalam mengantisipasi perubahan iklim hal ini juga dapat menjadi beban. Selain itu, karena letak geografis dan kondisi gelogisnya, Indonesia sangat rentan terhadap berbagai bencana alam. Mata pencarian penduduk yang sebagian besar masih menggantungkan pada pengelolaan sumber daya alam khususnya dari sektor pertanian menambah tingkat resiko dari ancaman dampak perubahan iklim. Memperhatikan hal-hal tersebut diatas, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim, sehingga sangat wajar jika Indonesia berada di garis depan dalam upaya-upaya internasional untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Selain sebagai negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk melakukan upaya mitigasi perubahan iklim. Karena itu Indonesia perlu

RAN-GRK 2010 2020 Rencana Pembangunan RPJP 2005 2025 RPJM RPJM 2 RPJM 3 RPJM 4 2004 2009 2014 2019 2025

(20)

mengoptimalkan posisi strategis tersebut dalam berbagai forum di tingkat internasional. Di satu sisi , Indonesia diperkirakan akan menjadi salah satu dari sepuluh penghasil emisi gas rumah kaca terbesar, dan dengan demikian memiliki peranan yang penting dalam upaya mitigasi gas rumah kaca secara global. Di sisi lain, kerawanan terhadap dampak perubahan iklim yang dimiliki Indonesia menjadikan aspek adaptasi perubahan iklim sebagai salah satu prioritas nasional yang utama. Sadar akan kedua aspek dari tantangan perubahan iklim, Indonesia menyadari bahwa mitigasi dan adaptasi harus dijalankan secara simultan oleh semua negara. Untuk itu, Indonesia memposisikan diri untuk bekerja sama baik secara bilateral maupun multilateral dalam berbagai upaya internasional menghadapi perubahan iklim.

Indonesia juga menyadari bahwa penanganan perubahan iklim merupakan bagian tak terpisahkan dari tantangan pembangunan nasional. Perencanaan atas berbagai aspek perubahan iklim seharusnya dijalankan bersamaan dengan perencanaan pembangunan ekonomi nasional, sehingga perencanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus terintegrasi dengan perencanaan pembangunan nasionaldan daerah (provinsi, kabupaten/kota dan lokal).

2.1 Perumusan Masalah

Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan secara kumulatif pada tahun 2020. Untuk itu, perlu diperhitungkan semua sektor dan program utama, biaya aksi berbeda-beda antara tiap sektor, sehingga dibutuhkan pemeringkatan untuk menakar dampak ekonomi terhadap pencapaian dalam hal reduksi emisi gas rumah kaca; jumlah pengurangan emisi dapat meningkat jika skenario yang berbeda digunakan. Untuk itu, diperlukan untuk semua sektor, penyusunan sebuah inventarisasi gas rumah kaca dan sistem monitoring merupakan sebuah prasyarat. Dalam rangka mengurangi emisi CO2 secara signifikan ini, relatif

terhadap skenario business-as-usual, sangat esensial untuk memperkuat kapasitas kelembagaan sektoral dan sumber daya manusia yang ada di Indonesia.

Sektor kehutanan mewakili potensi terbesar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan biaya terendah. Namun untuk memaksimalkan potensi tersebut. Berbagai kegiatan perlu dijalankan secara tepat agar tidak terjebak dalam skenario business-as-usual.

Isu yang bersifat lintas sektoral, perlu dikaji secara lebih mendalam agar dapat menjamin efektifitas aksi mitigasi juga secara ekonomi. Walaupun penting untuk mencapai pemahaman yang jernih atas pengurangan biaya lintas sektor, sama pentingnya juga untuk melihat secara

(21)

tersebut dapat diperoleh dan dikembangkan rangkaian kebijakan yang tepat.

3. KERANGKA KEBIJAKAN DAN RUANG LINGKUP 3.1 Kerangka Kebijakan RAN-GRK

Perubahan iklim akan menghasilkan tantangan yang besar bagi pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah Indonesia menyusun Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) untuk mencapai tujuan nasional, target sektoral, tolok ukur serta prioritas aksi dengan mempertimbangkan masalah mitigasi perubahan iklim bagi sektor-sektor ekonomi yang terkena dampaknya.

Lebih lanjut, RAN GRK diharapkan juga berperan sebagai panduan kebijakan terperinci untuk implementasi strategi mitigasi perubahan iklim nasional melalui penyusunan rencana kerja tahunan pemerintah pada periode 2010 – 2020 dan secara khusus untuk mencapai angka pengurangan emisi nasional sebesar 26 % dan 41 % untuk penurunan emisi GRK.

3.2 Metodologi Penetapan Kegiatan dan Target Penurunan Emisi

RAN-GRK disusun berdasarkan program dan kegiatan dari Kementerian/Lembaga dalam RPJMN 2010-2014 dan RPJPN 2005-2025 yang kemudian dibahas antar Kementerian/Lembaga. Keseluruhan rencana aksi tersebut diupayakan untuk penurunan emisi GRK nasional sebesar 26% pada tahun 2020 dari total emisi bidang-bidang prioritas yang dilakukan selama ini (BAU). Program/ kegiatan yang diprioritaskan adalah yang pelaksanaannya memakai dana sendiri (Unilateral NAMAs) baik dari sumber APBN maupun APBD (termasuk pinjaman), swasta dan masyarakat, berdasarkan beberapa kriteria umum sebagai berikut:

1. Sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan

2. Efektifitas penggunaan biaya dengan prinsip biaya termurah penurunan emisi GRK secara terintegrasi;

3. Kemudahan dalam implementasi dengan mempertimbangan aspek politik, sosial dan budaya;

4. Sejalan dengan prioritas pembangunan nasional dan daerah dimana kegiatan tersebut dilaksanakan.

5. Berdasarkan pada asas yang saling menguntungkan dengan memprioritaskan program pembangunan/kegiatan yang memberikan kontribusi pada penurunan emisi GRK (Co-Benefit)

(22)

Untuk memastikan keterlibatan dan rasa kepemilikan RAN GRK oleh tiap Kementerian dan Lembaga pemerintahan, penyusunan RAN GRK ini disusun secara partisipatoris, dengan melibatkan masing-masing Kementerian dan lembaga. Aksi prioritas yang dihasilkan ditampilkan pada RAN GRK merefleksikan visi dan prioritas dari masing – masing Kementerian dan Lembaga negara. Selanjutnya Bappenas melakukan proses analisa dan pengembangan kebijakan untuk diintegerasikan di dalam perencanaan pembangunan nasional.

Penyusunan prioritas mitigasi gas rumah kaca mengacu pada data yang disepakati dalam rapat di Kantor Perekonomian pada bulan Desember 2009, dimana data tersebut bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup. Untuk itu, data dan informasi tersebut perlu ditelaah kembali dengan data-data terbaru dengan menggunakan metodologi yang diterima secara internasional namun disesuaikan dengan kebutuhan nasional terkini dan perkembangan negosiasi di UNFCCC. Ada dua skenario reduksi emisi yang dikembangkan untuk tiap sektor (kehutanan dan lahan gambut, pertanian, industri, energi dan transportasi, serta limbah) menjadi dasar perhitungan penurunan emisi GRK. Untuk memastikan perbandingan dan konsistensi, metodologi yang terstandarisasi digunakan untuk mengevaluasi dampak dari rancangan upaya mitigasi di semua sektor prioritas. Metodologi tersebut mencakup elemen berikut:

1 Tingkat emisi GRK Nasional tahun 2020 dan distribusi per sektor berdasarkan data dari KLH yang disepakati dalam rapat di Kantor Perekonomian pada bulan Desember 2009.

2 Ragam skenario telah dikembangkan untuk dapat mencakup periode waktu RAN-GRK selama 10-tahun. Pola pembangunan pada tiap sektor telah diterjemahkan ke dalam dua lintasan emisi (penurunan 26% dan 41%)

3 Skenario mitigasi telah dikembangkan, termasuk intervensi kebijakan dan rencana aksi;

4 Skenario yang dikembangkan dibagi ke dalam dua periode waktu, masing-masing selama 5tahun: 2010 hingga 2014, dan 2015 hingga 2020;

5 Biaya untuk langkah aksi diperkirakan berdasarkan RPJM 2010-2014 dan Renstra K/L, menghasilkan sebuah sistem untuk mengkalkulasi biaya pengurangan;

6 Reduksi emisi kumulatif dikalkulasikan dalam GCO2e;

7 Skenario yang dipilih ialah yang dianggap paling memungkinkan untuk mengurangi emisi (termasuk pilihan aksi dan kebijakan), sementara juga tetap memajukan prioritas

(23)

8 Program sektoral dan anggaran telah disusun untuk menggambarkan skenario dan upaya yang dilakukannya.

3.3 Prinsip-Prinsip RAN-GRK

RAN-GRK disusun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. RAN- GRK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Strategi Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan yang akan disesuaikan dengan perkembangan kebijakan; 2. RAN-GRK tidak menghambat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan

(tetap memprioritaskan kesejahteraan rakyat) dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan;

3. RAN-GRK merupakan rencana aksi yang terintegrasi antara satu bidang dengan bidang yang lain dengan memperhatikan seluruh aspek pembangunan berkelanjutan seperti daya dukung dan daya tampung lingkungan serta perencanaan tata ruang dan peruntukan penggunaan lahan;

4. RAN-GRK merupakan komitmen Indonesia dalam mendukung kepentingan nasional dan upaya-upaya global penurunan emisi GRK;

5. RAN-GRK berfungsi sebagai sarana koordinasi dalam usaha mengoptimalkan potensi pendanaan internasional untuk kepentingan Indonesia;

6. RAN GRK merupakan rencana aksi dengan pendekatan baru dalam pembangunan yang lebih memperhatikan upaya-upaya pengurangan emisi GRK.

3.4 Ruang Lingkup RAN-GRK

Berdasarkan kerangka kebijakan, prinsip serta metodologi penetapan target dan kegiatan RAN-GRK telah ditetapkan kegiatan-kegiatan inti dan penunjang untuk penurunan emisi gas rumah kaca dan target per bidang. Tiga bidang utama yang tercakup adalah kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, serta limbah. Target penurunan emisi GRK per bidang dapat dilihat dalam Tabel 2.1, dengan catatan target angka penurunan dan kegiatan untuk penurunan emisi GRK ini dapat dikaji ulang sesuai dengan metodologi, data dan informasi yang lebih baik di masa datang.

(24)

Tabel 2.1 Target Penurunan Emisi GRK per Bidang

Dalam penetapan target penurunan emisi, perlu diperhatikan bahwa Business As Usual tingkat emisi GRK nasional perlu diperhitungkan dengan lebih akurat, mengingat skenario tingkat emisi Business As Usual untuk beberapa bidang masih perlu dievaluasi. Untuk itu, RAN-GRK perlu untuk terus secara berkala ditinjau dan dilakukan pemantauan dan evaluasi berdasarkan perkembangan terkini yang terjadi di Indonesia dan hasil negosiasi internasional di UNFCCC. Untuk menjabarkan penambahan 15% target penurunan emisi GRK menjadi 41% (dari 26%) dengan dukungan internasional (Supported NAMAs), dilakukan dengan memilih program/kegiatan tambahan yang pelaksanaannya tidak menggunakan sumber-sumber dana dalam negeri seperti APBN/APBD (termasuk hutang pemerintah) serta tidak untuk penurunan pemisi GRK yang diperdagangkan di pasar karbon. Namun penurunan emisi GRK lebih besar dari 41%, program/kegiatan yang dilaksanakan mencakup skema mekanisme perdagangan karbon (atau credited NAMAs).

Selanjutnya mengingat mekanisme internasional untuk program/kegiatan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation and Enhancement of Carbon Stocks (REDD+) masih dalam proses negosiasi, maka dalam pelaksanaan perlu dicermati sumber pendanaan dari program/kegiatan tersebut untuk menentukan pengelompokan ke dalam skema penurunan emisi GRK dengan

(25)

pasar karbon (atau Credited NAMAs). Sebagai gambaran, jika program/kegiatan REDD+ untuk lokasi tertentu didanai oleh APBN/APBD (termasuk hutang pemerintah) maka termasuk dalam komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK 26%, sedangkan program/kegiatan REDD+ yang sama dilokasi yang berbeda serta mendapat bantuan pendanaan internasional, maka termasuk dalam skema target penurunan emisi GRK 41%. Selanjutnya, bila program/kegiatan REDD+ yang tidak terkait dengan target penurunan emisi Indonesia 26% dan 41% dapat diperjualbelikan dalam pasar karbon.

3.5 Pengembangan RAN-GRK menuju NAMAs

Nationally Appropriate Mitigation Actions (NAMAs) adalah upaya pengurangan emisi secara sukarela oleh negara berkembang dalam konteks pembangunan berkelanjutan, sementara kewajiban pengurangan emisi negara industri (Annex I Countries) disebut Nationally Appropriate Mitigation Actions or Commitments disingkat NAMAC. Alinea 1 b ii pada Keputusan 1/CP.13 (‘Bali Action Plan’) mencantumkan bahwa:

“Nationally appropriate mitigation actions by developing country Parties in the context of sustainable development, supported and enabled by technology, financing and capacity-building, in a measurable, reportable and verifiable manner”

NAMAs dapat didukung oleh pendanaan, alih teknologi dan penguatan kapasitas oleh negara industri yang sifatnya terukur, dilaporkan dan diverifikasi (Measurable Reportanle and Verifiable/MRV).

Pada dasarnya, Konvensi Perubahan Iklim pada COP 15 di Copenhagen mengenali dua jenis NAMAs yang akan dilaporkan 2 tahun sekali melalui Nasional Komunikasi (National Communication), yaitu:

a. NAMAs (Unilateral atau Mitigation Actions by Developing Countries): upaya mitigasi domestik yang dilakukan dengan sumber daya sendiri. Untuk mendapat pengakuan internasional (berdasarkan Copenhagen Accord), aksi mitigasi ini memerlukan MRV domestik dengan konsultasi internasional dan analisis menggunakan suatu panduan yang tetap menjamin kedaulatan nasional.

b. NAMAs (seeking international support): adalah kegiatan NAMAs yang hanya akan berjalan bila memperoleh dukungan internasional untuk pendanaan, alih teknologi dan bantuan peningkatan kapasitas. Aksi mitigasi ini memerlukan MRV sesuai dengan panduan yang diadopsi oleh COP (UNFCCC). Aksi mitigasi ini akan dicatat bersamaan dengan dukungan teknologi, finansial, dan peningkatan kapasitas yang terkait.

Untuk upaya mitigasi di luar kedua mekanisme tersebut di atas, sering dikenal sebagai Credited NAMAs yang dapat diperjual belikan di pasar karbon.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di G20 di Pittsburg (September 2009) menyatakan bahwa Indonesia akan menurunkan emisi GRK sebesar 26% dari BAU pada tahun 2020 dengan usaha sendiri, dan dapat meningkat menjadi 41% dengan dukungan internasional. Komitmen ini,

(26)

dipertegas kembali pada pidato Presiden di COP-15 Copenhagen (Desember 2009). Untuk mewujudkan komitmen di atas, maka disusun RAN-GRK yang prinsipnya adalah NAMAs oleh Indonesia. RAN-GRK ini yang selanjutnya akan dievaluasi dan dikajiulang sesuai kebutuhan nasional dan perkembangan global terkini, sehingga memenuhi persyaratan dan pengakuan internasional (UNFCCC).

Sejalan dengan proses tersebut, DNPI sesuai dengan target Copenhagen Accord, telah menyampaikan surat mengenai posisi Indonesia kepada UNFCCC yang memuat target penurunan emisi tanpa memerinci aktifitas per sektornya.

Sampai saat ini belum ada kesepakatan secara internasional di UNFCCC mengenai metodologi, definisi, scope, approach dll terkait dengan NAMAs. Akan tetapi, melihat kecenderungan hasil negosiasi maka untuk mendapatkan pengakuan internasionl (UNFCCC) bahwa Indonesia sudah memenuhi janjinya, maka untuk RAN GRK memenuhi standar NAMAs nantinya, Indonesia perlu untuk membuat Nasional Baseline (akumulasi penjumlahan baseline dari setiap sektos), skenario mitigasi dengan perhitungan abetement cost, nasional NAMAs registry dan indikator untuk MRV.

Dalam penyusunan nasional baseline nantinya, akan ditetapkan dengan landasan yang komprehensif seperti apa yang dapat menjustifikasi baik target nasional maupun sektoral, serta bagaimana mekanisme dan konsep MRV yang akan digunakan. Karena kerangka waktu RAN-GRK bersifat jangka menengah, maka perlu disusun tahapan dan trajektori penurunan emisi pertahun, persektor, sampai dengan tahun 2020 sehingga dapat dimonitor dan dievaluasi secara berkala.

Diperlukannya kajian secara komprehensif tentang baseline dari emisi nasional maupun berbagai skenario penurunan dari emisi persektornya. Dari skenario penurunan emisi persektornya tersebut yang akan diperlukan untuk target penyusunan rencana aksi dan kegiatan-kegiatan yang akan dimuat dalam RAN-GRK. Dalam kajian komprehensif tersebut diharapkan memberikan gambaran tentang implikasi target penurunan GRK terhadap pertumbuhan masing-masing sektor maupun nasional serta perhitungan cost benefitnya.

Penentuan national emissions reduction projection under BAU scenario hanya menggunakan “trend” adalah tidak appropriate. CO2 yang ada di atmosphere adalah merupakan kontribusi dari activities of

the each sectors, dimana langgam-nya (its behaviour) akan tidak selalu sama dari waktu ke waktu. Sebagai contoh di sektor ketenagalistrikan: komposisi energi primer pada tahun ini atau tahun 2005 akan jauh berbeda dengan tahun 2015 atau 2020, dan seterusnya. Langgam komposisi energi primer ini tidak sama dari waktu ke waktu, sehingga CO2 yang dikontribusikan akan

berubah. Oleh karena itu simulasi jangka panjang perlu dilakukan tentunya dengan objective function yang jelas dan tentunya cost effective (non-intervention scenario). Hal yang sama juga akan terjadi di sektor transportasi, yang akan jauh lebih complex dan dapat bersifat non-linear, misalnya perubahan mode of transportations, atau adanya constraint of transportation infrastructures. Berikut, beberapa definisi Baseline, yang mengandung pengertian yang sama dimana tidak satupun cara projeksi emisi CO2 under BAU scenario (Baseline) disarankan dengan menggunakan “trend”, sebagai berikut:

(27)

• Climate Change: A Glossary of Terms; 4thEdition, April 2007. IPIECA: “Baseline: A projected level of future emissions against which reductions by project activities might be determined, or the emissions that would occur without policy intervention.

• UNFCCC RESOURCE GUIDE, For Preparing the National Communications of Non-Annex I Parties. Module 4, Measures to Mitigate Climate Change: Baseline Scenarios: Aplausible and consistent description of how asystem might evolve in the future in the absence of explicit new GHG mitigation policies. Baseline scenarios are the counter factual situations against which mitigation policies and measures will be evaluated. A baseline should not beconsidered as a forecast of what will happen in the future, since the future is in herently unpredictable and depends, in part, on planning and policy adoption. Assessment will typically require one or more baseline scenarios as baseline are highly uncertain over the long term and may prove controversial, particularly indeveloping countries.

• CLIMATE CHANGE 2007. MITIGATION CLIMATE CHANGE; Working Group III Contribution to the 4thAssessment Report of the IPCC, Summary for the Policymakers and Technical Summary: Baseline: The reference for measurable quantities from which analternative outcome can be measured, e.g. a non‐intervention scenario is used as a reference in the analysis of intervention scenarios. • World Energy Outlook 2006; IEA, 2006: The Reference Scenario does not take intoconsideration possible,

potential or even likely future policy actions. Thus, the Reference Scenario projections should not beconsidered forecasts, but rather a baseline vision of how energy markets woul devolve if governments do nothing beyond what they have already committed themselves to influence long‐term energy trends. Policy Scenario, analyses the impact of arange of policies and measures that countries in allregions are considering adopting or might reasonably be expected to adopt some point over the projection period.

 

4. STRATEGI NASIONAL PENURUNAN EMISI

4.1 Arah Kebijakan Umum (Cross-cutting)

Arah Kebijakan RAN-GRK secara umum harus memperhatikan berbagai isu yang bersifat lintas bidang, yang dirumuskan sebagai berikut:

1 Penurunan emisi GRK dilakukan melalui: (i) penurunan emisi secara langsung dan peningkatan kapasitas serapan GRK, dan (ii) kegiatan yang tidak secara langsung menurunkan emisi GRK seperti kebijakan, peningkatan kapasitas manusia dan kelembagaan, kerangka regulasi, sosialisasi, penelitian tentang potensi penurunan GRK dan kegiatan lain yang mempunyai andil dalam penurunan GRK;

2 Penurunan emisi GRK dilakukan melalui rehabilitasi dan konservasi sumberdaya alam, pencegahan degradasi dan deforestasi hutan dan lahan, efisiensi penggunaan input produksi, penggunaan dan pengembangan energi baru terbarukan, serta pemanfaatan teknologi hemat energi dan teknologi bersih lainnya

3 Tidak menghambat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.

(28)

4 Penurunan emisi dilakukan melalui bidang kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri dan pengelolaan limbah. Pencapaian tujuan penuruan emisi GRK yang dicapai oleh bidang tertentu tidak menimbulkan hambatan bagi pengembangan bidang yang lainnya.

4.2 Arah Kebijakan dan Rencana Aksi Nasional Per Bidang

Penurunan emisi dilakukan melalui bidang-bidang prioritas, meliputi kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri dan pengelolaan limbah

Mengacu pada klasifikasi sektoral yang dimiliki dalam mekanisme perencanaan pembangunan nasional, proses penyusunan RAN GRK juga menyertakan beberapa kegiatan yang dirancang untuk membahas isu lintas sektor terkait dengan perubahan iklim. Hal yang terpenting, isu penggunaan lahan memerlukan perhatian yang lebih besar pada masa yang akan datang jika dilihat dari perspektif lintas sektoral mengingat konversi lahan dan tata guna lahan dibahas dalam sektor pertanian, kehutanan, dan sektor energi. Keterkaitan antar sektor dan saling-ketergantungan ini akan ditindak lanjuti dalam proses RAN GRK ke depan. Langkah-langkah ke depan akan mencakup integrasi pemanfaatan tata ruang yang memuat isu perubahan iklim, penguatan kapasitas kelembagaan, dan pengembangan mekanisme untuk hukum dan perundang-undangan.

Lingkup Regional. RAN GRK ini juga mempertimbangkan keragaman secara kondisi fisik,

ekonomi, politik dan budaya , Indonesia membutuhkan pendekatan berdasarkan aspek kewilayahan untuk perencanaan pembangunan nasional. Tawaran kebijakan untuk masalah perubahan iklim sebab itu dikondisikan dengan karakter khusus yang dimiliki wilayah-wilayah di Indonesia: Sumatera, Jamali (Jawa, Madura, Bali), Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

4.2.1 Kehutanan dan Pengelolaan Lahan Gambut

Hutan, selain merupakan sumber emisi karbon dalam konteks perubahan iklim juga merupakan rosot karbon dan tempat penyimpanan karbon. Praktek pengelolaan hutan yang berkelanjutan dari hutan produksi, hutan konservasi dan hutan lindung, serta pembatasan konversi lahan hutan menjadi non-hutan dan degradasi kualitas hutan, pengelolaan hutan pada lahan gambut dan pencegahan kebakaran hutan, berkontribusi terhadap penurunan emisi GRK. Rehabilitasi hutan dan lahan gambut dan pembuatan/penanaman hutan produksi di lahan yang terdegradasi akan

(29)

meningkatkan kemampuan penyerapan karbon. Hal ini juga akan memberikan dampak positif terhadap perlindungan keanekaragaman hayati, perlindungan sumber daya air, serta fungsi sosial ekonomi.

Lahan gambut mempunyai potensi penyimpan karbon yang besar. Luas lahan gambut secara keseluruhan hanya meliputi kurang lebih 3% dari luas daratan dunia, namun diindikasikan dapat menyimpan 550 Gton C atau setara dengan dua kali simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia (Joosten, 2009). Bila diambil angka terendah tambatan karbon di atas permukaan gambut yang berkisar pada angka 150 ton (dalam bentuk biomassa tanaman) per ha maka secara kasar paling tidak lahan gambut di Indonesia menambat (menyimpan) 3.150 juta ton karbon atau setara dengan 8,34 giga ton CO2e. Sampai dengan tahun 2005, emisi per tahun yang berasal dari lahan gambut diperkirakan mencapai 903 juta ton CO2e dan diperkirakan dengan skenario BAU maka emisinya berubah menjadi 1.387 juta ton CO2e pada tahun 2025.

Indonesia memiliki sekitar 21 juta hektar lahan gambut, tersebar di Provinsi NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, dan Papua Barat. Lahan gambut terutama di Sumatera (7,2 juta ha), Kalimantan (5,8 juta ha) dan Papua (8 juta ha) mempunyai kedalaman yang berbeda-beda. Kondisi pada tahun 2006 menunjukkan lebih dari 55% lahan gambut masih berupa hutan1,

sementara sisanya didominasi oleh lahan pertanian (14%) dan semak belukar/rumput (20%). Pada tahun tersebut, terdapat izin kehutanan dan perkebunan untuk menggunakan lahan gambut dengan total sekitar 5,6 juta hektar lahan gambut. Sesuai dengan data 2006 maka luas lahan gambut yang merupakan kawasan hutan adalah seluas 12,3 juta ha terdiri dari hutan konservasi seluas 2,34 juta ha, hutan lindung seluas 1,02 juta ha, dan hutan produksi seluas 8,95 juta ha. Luas lahan gambut yang merupakan perkebunan seluas 1,42 juta ha, dimanfaatkan sebagai pertanian seluas 1,23 juta ha, dan sisanya sebesar 4,66 juta ha dipergunakan untuk kegiatan lain. Untuk itu rencana aksi penurunan emisi GRK di lahan gambut merupakan bagian tidak terpisahkan dari penurunan emisi GRK dari bidang kehutanan.

Upaya-upaya penurunan emisi GRK di bidang kehutanan dan lahan gambut memerlukan pengelolaan secara khusus yang terutama dilakukan melalui KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan). Untuk itu pengembangan KPH merupakan prioritas sebagai unit pengelola dalam menjalankan praktek manajemen hutan termasuk lahan gambut yang berkelanjutan. Emisi di bidang       

(30)

kehutanan (termasuk lahan gambut) per tahun diperkirakan mencapai 1,24 giga ton CO2e,

sedangkan kemampuan menyerap karbon dari atmosfer diperkirakan hanya mencapai 0,707 giga ton CO2e pada tahun 2020. Skenario rencana aksi bidang kehutanan disusun dengan

memperhatikan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan. Disamping dengan melajukan peningkatan potensi serapan karbon melalui aksi penanaman, potensi reduksi emisi melalui praktek-praktek pengelolaan Hutan Produksi secara lestari, serta meningkatkan peran kawasan konservasi dan hutan lindung dalam menjaga stok karbon di hutan.

Walaupun terdapat keterbatasan data dan informasi yang akurat mengenai lahan gambut, Rencana aksi Kehutanan dan Lahan Gambut ini disusun dengan menetapkan angka deforestasi untuk mengakomodasikan kepentingan industri kehutanan sebesar 1,125 juta ha per tahun, emisi tahunan 1,24 giga ton CO2e, rehabilitasi hutan seluas 500.000 ha per tahun, serta penurunan

hot-spot sebesar 20% dari rata-rata jumlah hothot-spot selama 2004-2009. Untuk mendukung kegiatan rehabilitasi hutan maka akan ditetapkan Kesatuan Pengelolaan Hutan/KPH (Forest Management Unit) per tahun sebagai forest administration.

4.2.1.1 Arah Kebijakan

Kebijakan penurunan emisi GRK di bidang Kehutanan di arahkan dengan mensinergikan program-program bidang kehutanan seperti: (i) mensinergikan kebijakan, perencanaan, dan program (termasuk tata ruang dan penguatan kelembagaan) para pemangku kepentingan di bidang kehutanan seperti dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Pemerintah Daerah (ii) mempertajam kebijakan dan menyusun langkah-langkah pengurangan emisi karbon dari bidang kehutanan yang secara efektif dapat menyelesaikan permasalahan yang menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan; (iii) mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management), (iv) merevitalisasi ekosistem hutan yang terdegradasi dengan melibatkan masyarakat luas, (v) menekan laju deforestasi dari berbagai gangguan seperti illegal logging, kebakaran hutan, konversi kawasan hutan untuk kepentingan non-hutan, (vi) mengembangkan hutan tanaman untuk pemenuhan permintaan hasil hutan kayu untuk keperluan industri kehutanan.

Sementara itu, mengingat besarnya peranan lahan gambut terhadap pemanasan global, sebaiknya seluruh kawasan gambut dapat dikonservasi untuk menghindarkan degradasi yang akan meningkatkan emisi karbon. Namun demikian, selama ini lahan gambut sudah digunakan untuk berbagai kepentingan yang menyangkut masyarakat luas, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan seimbang antara penggunaan untuk keperluan ekonomi dan kepentingan konservasi. Untuk itu diperlukan kebijakan antara lain: (i) konsolidasi dan rencana terintegrasi pemangku

(31)

kepentingan terkait seperti aktifitas kehutanan, aktifitas pertanian, dan aktifitas infrastruktur; (ii) review dan revisi rencana tata ruang wilayah untuk mencari kemungkinan “land-use swap” dari pemanfaatan lahan gambut ke areal non lahan gambut (lahan mineral); (iii) perbaikan pengelolaan lahan gambut yang berada dalam kawasan hutan maupun kawasan non-hutan dengan membatasi penggunaan lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter, dan pengelolaan secara terpadu pada lahan gambut dengan kedalaman kurang dari 3 meter sesuai dengan fungsi kawasan dan karakteristik gambut pada areal tersebut; (iv) pembukaan lahan gambut diperbolehkan, harus dilakukan dengan metode pembukaan lahan tanpa bakar dan pengelolaan air berkelanjutan; (v) penerapan pengelolaan tanah (soil) dan rehabilitasi lahan gambut yang mengalami kerusakan melalui pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, rehabilitasi dan pengelolaan lahan gambut yang terlantar dengan pengawasan dan penegakan hukum yang ketat.

4.2.1.2 Rencana Aksi

Rencana Aksi Nasional di bidang kehutanan dan lahan gambut disusun berdasarkan RPJMN 2010-2014, RPJPN 2005-2025 dan usulan dari K/L terkait, serta perhitungan target penurunan emisi GRK bidang kehutanan dan lahan gambut sebesar 0.672 giga ton CO2e pada tahun 2020 untuk target 26% secara Nasional.

Bentuk intervensi yang perlu ditempuh untuk mengurangi emisi yang berasal dari kehutanan dan lahan gambut adalah: (a) mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan gambut, (b) rehabilitasi hutan dan lahan gambut melalui reboisasi dan penghijauan dengan tanaman penambat karbon tinggi, (c) pengaturan tata air pada kawasan lahan gambut secara integratif, (d) pemanfaatan dan pengelolaan hutan dan lahan gambut yang terdegradasi, dan (e) peningkatan upaya perlindungan dan konservasi kawasan-kawasan konservasi dan hutan lindung

Kegiatan-kegiatan dalam rencana aksi, selain kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, untuk meningkatkan carbon stock meliputi Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa, Pembangunan Hutan Tanaman (Hutan Tanaman Industri/HTI dan Hutan Tanaman Rakyat/HTR) dan Hutan Rakyat, pemberian HPH Restorasi Ekosistem, Hutan Rakyat Kemitraan dan Hutan Rakyat dengan target kurang lebih 18,8 juta ha hingga tahun 2020.

Untuk menekan serendah mungkin emisi yang berasal deforestasi maka bidang kehutanan berupaya untuk menekan perubahan kawasan hutan menjadi tidak berhutan secara permanen.

(32)

Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengoptimalkan pemanfaatan kawasan hutan yang telah dikonversi untuk kepentingan lain, khususnya perkebunan dan transmigrasi.

Mengingat hal-hal tersebut di atas dan potensi emisi dari kehutanan dan lahan gambut yang sangat besar, maka diperlukan upaya penurunan melalui Rencana Aksi yang terintegrasi antar K/L dan para pihak. Rencana aksi untuk kehutanan dan lahan gambut difokuskan kepada:

1. Rehabilitasi hutan, lahan gambut dan lahan kritis di DAS prioritas, fasilitasi pengembangan hutan kota, konservasi hutan dan/lahan terdegradasi rawan terbakar melalui pemberian insentif kepada masyarakatmelalui penanaman tanaman kayu,

2. Pengembangan perhutanan sosial melalui fasilitasi penetapan areal kerja dan pengelolaan hutan kemasyarakatan (HKm), fasilitasi pembangunan hutan rakyat kemitraan, fasilitasi penetapan areal kerja hutan desa,

3. Pengendalian kebakaran hutan dan pemberantasan illegal logging-pencegahan kehilangan kayu,

4. Penanganan perambahan hutan dan lahan gambut dan penanganan konflik kawasan lindung dan konservasi,

5. Pembangunan kesatuan pengelolaan hutan (KPH),

6. Peningkatan pengelolaan hutan alam produksi melalui pengelolaan LOA (Logged Over Area) oleh pemegang IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) dan pengelolaan LOA yang terdegradasi oleh IUPHHK-RE, serta peningkatan pembangunan hutan tanaman,

7. Penerapan penyiapan lahan tanpa membakar, perbaikan tata air kawasan lahan gambut secara integratif antar pengguna lahan gambut serta pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan,

8. Kebijakan rehabilitasi kawasan lahan gambut yang rusak melalui reboisasi dan penghijauan, perbaikan kualitas pengelolaan lahan gambut yang rusak, dan pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan gambut,

9. Peningkatan rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan reklamasi rawa termasuk lahan bergambut,

10. Pengendalian Tata Ruang melalui penetapan wilayah KPHK dan konsolidasi hutan yang berada di luar kawasan hutan, meningkatkan konservasi pada lahan gambut yang belum diberikan ijin pemanfaatan, penerapan ‘land-swap’ bagi pemegang ijin/hak yang berada di dalam kawasan lahan gambut dan belum memanfaatkannya ke lokasi lain di luar kawasan lahan gambut (mineral soil),

(33)

11. Pengendalian kerusakan ekosistem lahan gambut, penyusunan kriteria baku kerusakan gambut, dan penyusunan masterplan pengelolaan ekosistem gambut provinsi.

Rencana Aksi ini didukung oleh kegiatan:

1. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengendalian kerusakan ekosistem gambut, 2. Pengawasan, monitoring dan evaluasi kondisi ekosistem gambut,

3. Survey dan pengumpulan data hidrologi dan hidrogeologi pada lahan bergambut,

4. Pembentukan Tim Koordinasi dan Sekretariat Penyusunan Perencanaan Lahan Rawa Berkelanjutan melalui kegiatan Water Management for Climate Change Mitigation and Adaptive Development of Lowlands (WACLIMAD) yang bertujuan untuk melakukan identifikasi lahan rawa (termasuk gambut sekitar 30%) yang dapat dibudidayakan dan yang harus dikonservasi,

5. Penelitian sistem tata air pada lahan bergambut,

6. Penyusunan Perpres Kawasan Strategis Nasional (KSN) & Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau,

7. Penyusunan rencana tata ruang wilayah sungai, 8. Audit tata ruang (stock taking) wilayah provinsi, 9. Pendataan dan informasi bidang penataan ruang,

10. Monitoring evaluasi RTRW nasional dan pulau dan program infrastruktur nasional,

11. Percepatan penetapan Perda RTRW Provinsi dan Kabupaten/Kota berbasis Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di 31 Provinsi dan 497 kab/kota selama 5 tahun. Dukungan lain untuk Rencana Aksi ini antara lain melalui:

1. Fasilitasi kemitraan di 24 propinsi,

2. Fasilitasi kelompok ijin usaha pengelolaan HKm di 24 propinsi,

3. Penurunan jumlah hotspot di Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan sebesar 20% per tahun, 4. Peningkatan Hasil Hutan Kayu/ Bukan Kayu/ Jasa Lingkungan,

5. Peningkatan Jumlah Unit IUPHHK Bersertifikat PHPL dari Tahun 2009, 6. Peningkatan Produksi Penebangan Bersertifikat Legalitas Kayu,

7. Pembuatan Peta Areal Kerja Pencadangan (IUPHHK-HT, HA, RE, HKm, HTR dan Hutan Desa) ,

8. Pengendalian Penggunaan Kawasan Hutan,

9. Penyelesaian permohonan Ijin Pakai pakai KH dengan kompensasi PNBP, 10. Data dan Informasi Penggunaan KH,

(34)

11. Kebijakan bidang Planologi Kehutanan dan Peraturan perundangan pengendalian dan penertiban penggunaan KH tanpa ijin,

12. Pelepasan Kawasan Hutan secara hati-hati (prudensial) dan sesuai dengan RTRWP yang berlaku,

13. Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan,

14. Data dan Informasi Geospasial dan tematik kehutanan Tingkat Nasional, 15. Data dan Informasi potensi kayu di KH Tingkat Nasional,

16. Data dan Informasi penggunaan karbon KH Tingkat Nasional,

17. Basis data spasial Sumber Daya Hutan yang terintegrasi di pusat dan daerah, 18. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perubahan Iklim,

19. Iptek dasar dan terapan bidang landscape hutan, perubahan iklim, dan kebijakan kehutanan,

20. Penurunan jumlah Hot spot, di P. Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, 21. Peningkatan kapasitas Aparatur dan Masyarakat,

22. Penyelesaian kasus perambahan hutan,

23. Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), 24. Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), 25. Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK),

26. Peraturan perundang-undangan penyelenggaraan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), 27. Fasilitasi dukungan kelembagaan ketahanan pangan,

28. Pengawasan pemanfaatan ruang dan evaluasi pemanfaatan ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang terpadu dan bersifat lintas K/L,

29. Penelitian dan pengembangan teknologi rendah emisi, metodologi MRV pada areal pertanian di lahan gambut.

4.2.2 Bidang Pertanian

Bidang pertanian secara umum merupakan bidang yang secara significant akan terkena dampak perubahan iklim. Namun, di sisi lain, bidang pertanian juga menghasilkan emisi GRK. Apabila tanpa Rencana Aksi (Business As Usual/BAU) di lahan padi sawah non gambut akan menghasilkan emisi CH4 dan N2O dalam kondisi tergenang (anaerobic), sedangkan padi sawah di lahan gambut emisi GRK yang dikeluarkan terutama CH4. Untuk perkebunan di lahan gambut

(35)

Emisi kumulatif GRK di bidang pertanian apabila tanpa dilakukan rencana aksi (BAU) diperkirakan sebesar 117 juta ton CO2e. Oleh karena itu, untuk mendukung pemenuhan target penurunan emisi GRK Indonesia sebesar 26% atau 41% hingga tahun 2020, diperlukan beberapa kebijakan di bidang pertanian untuk menurunkan emisi GRK.

4.2.2.1 Arah Kebijakan

Kebijakan pembangunan pertanian diarahkan untuk meminimalisasi dampak negatif dari perubahan iklim dan berkontribusi dalam penurunan emisi GRK, yang dilakukan melalui (i) mensinergikan dan mengintegrasikan kebijakan, perencanaan, dan program pada seluruh pemangku kepentingan di bidang pertanian seperti, dengan Kementerian Pekerjaan Umum (misalnya untuk ketersediaan air dan infrastruktur), Kementerian Kehutanan (misalnya untuk REDD+), dan Pemerintah Daerah (misalnya perijinan peruntukkan lahan dan pengembangan wilayah); (ii) mempertajam kebijakan dan menyusun langkah-langkah pengurangan emisi karbon di bidang pertanian sesuai dengan kebutuhan Indonesia dan perkembangan global dengan tetap memprioritaskan ketahanan pangan; (iii) meningkatkan pemahaman petani dan pelaku pertanian lainnya dalam mengantisipasi perubahan iklim untuk menjamin pencapaian program ketahanan pangan; (iv) meningkatkan kemampuan para pelaku usaha di bidang pertanian untuk beradaptasi dengan perubahan iklim; (v) merakit dan menerapkan teknologi tepat guna dalam mitigasi emisi GRK; dan (vi) meningkatkan kinerja litbang dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

4.2.2.2 Rencana Aksi

Penurunan emisi GRK pada lahan pertanian (sawah dan perkebunan) dan pemanfaatan limbah pada sub sektor peternakan, dilakukan dengan beberapa introduksi teknologi sebagai berikut:

1. Pada lahan sawah non-gambut, teknologi reduksi emisi CH4 dilakukan antara lain melalui

penerapan System of Rice Intensification (SRI) disertai dengan sistem pengairan berselang (intermittent irrigation), penggunaan varietas unggul baru (VUB) rendah emisi, dan berbagai teknik budidaya lainnya seperti olah tanah minimum, sistem tebar langsung, penggunaan herbisida dan pupuk organik. Cara ini memiliki potensi menekan emisi CH4 dari lahan

sawah berkisar antara 10-50%, dengan rata-rata tersebar pada kisaran 20%.

2. Pada lahan gambut yang digunakan untuk usaha tani perkebunan diarahkan pada lokasi yang berasal dari lahan alang-alang dan bukan membuka hutan, dan proses penyiapan lahannya dilakukan dengan tanpa bakar serta dilakukan penambahan bahan amelioran (kaya kation ber-valensi tinggi) yang dapat menurunkan emisi CO2.

(36)

3. Teknologi mitigasi peternakan dilakukan melalui perbaikan teknologi pakan ternak (ransum dan suplemen/konsentrat), pengelolaan kotoran ternak menjadi biogas dan kompos, dan pemuliaan untuk memperoleh bibit ternak yang adaptif dengan fermentasi enterik rendah emisi. Total penurunan emisi melalui perbaikan teknologi ini dapat mencapai sekitar 4.691 ton CO2e.

Untuk itu, Rencana Aksi Nasional di bidang Pertanian yang disusun berdasarkan RPJMN 2010-2014, RPJPN 2005-2025, dan usulan dari K/L terkait serta perhitungan target penurunan emisi GRK bidang Pertanian sebesar 0.008 Giga Ton CO2e pada tahun 2020 difokuskan pada kegiatan:

1. Penyiapan lahan tanpa bakar dan optimalisasi pemanfaatan lahan terutama untuk wilayah/provinsi di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah.

2. Penerapan teknologi budidaya tanaman untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK). 3. Pemanfaatan pupuk organik dan bio-pestisida dalam budidaya tanaman untuk mencegah

laju peningkatan emisi GRK melalui penggunaan Alat Pengolah Pupuk Organik (APPO). 4. Pengembangan areal perkebunan (sawit, karet, kakao) di lahan yang tidak berhutan/lahan

terlantar/lahan terdegradasi (APL).

5. Pemanfaatan kotoran/urine ternak dan limbah pertanian untuk biogas, biofuel dan pupuk organik.

6. Penerapan pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) melalui pembuatan kompos, arang dan briket arang di provinsi Riau, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat.

7. Perbaikan dan pemeliharaan sistem irigasi. Rencana aksi ini didukung dengan kegiatan:

1. Penelitian sistem pengelolaan air pada daerah irigasi

2. Penelitian metode pengurangan emisi gas rumah kaca di waduk

3. Penelitian dan pengembangan teknologi rendah emisi, metodologi MRV bidang pertanian

4.2.3 Bidang Energi dan Transportasi

Bidang Energi, termasuk tenaga listrik dan transportasi, merupakan salah satu penyumbang emisi GRK yang cukup besar dengan kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan dari

Gambar

Gambar 1.1 Skenario SNC Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 2000-2020
Gambar 1.2 Kedudukan RAN-GRK dalam Sistem Perencanaan Pembangunan
Gambar 1.3 Kerangka Waktu Pelaksanaan RAN-GRK
Tabel 2.1 Target Penurunan Emisi GRK per Bidang
+3

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Faktor manusia sebagai pengemudi merupakan faktor yang paling dominan dalam kecelakaan. Hampir semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu lalu

Program Studi S3 FK UGM berusaha mewadahi para pemikir, praktisi, peneliti yang memiliki minat sama di bidang keolahragaan dan sains dengan membentuk Klaster

bahwa sehubungan dengan maksud huruf a tersebut di atas akan dilakukan penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) dan agar penyusunan

Untuk dapat menjawab pertanyaan dari rumusan masalah, digunakan teori rational choice , agar dapat mengetahui kebijakan yang diambil oleh sebuah negara berdasarkan

pembekuan dengan membandingkan persentase Longivitas atau daya tahan hidup adalah sperma motil pada semen segar dengan pasca kemampuan spermatozoa bertahan pada

 Penyusunan RAD-GRK yang sesuai dengan peraturan dan petunjuk yang berlaku akan memudahkan pemerintah daerah dan nasional dalam tahap pelaksanaan, pemantauan dan

selaku dosen wali, dosen pembimbing II dan Sekretaris Program Studi S1 Teknik Geodesi Universitas Diponegoro yang telah sangat banyak membantu, membimbing, memberi

Bank Permata Tbk, terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dan merupakan peserta penjaminan Lembaga Penjamin