• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I. Pendahuluan. negara lain. Hak tersebut dikenal dengan The Right to Asylum yang diakui Persatuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab I. Pendahuluan. negara lain. Hak tersebut dikenal dengan The Right to Asylum yang diakui Persatuan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang

Dalam dunia internasional, setiap individu yang mengalami ketakukatan maupun penyiksaan yang disebabkan oleh konflik atau perang serta ketidakadilan di negara asalnya berhak untuk mendapatkan perlindungan dan memperoleh suaka dari negara lain. Hak tersebut dikenal dengan The Right to Asylum yang diakui Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Oleh karena itu, banyak penduduk dari negara-negara berkonflik atau negara-negara miskin memilih untuk meninggalkan negaranya dan mencari suaka ke negara lain. Dan Australia merupakan salah satu negara yang banyak dipilih untuk menjadi negara tujuan bagi para pencari suaka.

Seperti diketahui, status Australia sebagai negara maju dan negara anggota dari Konvensi Jenewa tahun 1951 tentang status pengungsi serta Protokol New York 1967, yang mempunyai kewajiban dalam memberikan perlindungan internasional untuk pengungsi, menjadikan Australia bagaikan “surga” bagi para pencari suaka. Sebagai negara yang ikut meratifikasi Konvensi Jenewa 1951, Australia seharusnya berkewajiban dalam memberikan suaka dan status pengungsi bagi para pencari suaka yang masuk ke wilayah negaranya. Namun dalam aplikasinya, pemerintah Australia justru membuat kebijakan yang bertentangan dengan komitmennya sebagai negara penandatangan konvensi, dalam penerimaan para pencari suaka yang dinamakan kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Border (OSB).

(2)

2

Kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) dibuat oleh Perdana Menteri (PM) Tony Abbott berupa strategi operasi penjagaan keamanan perbatasan yang dipimpin oleh militer serta didukung dan dibantu oleh berbagai lembaga pemerintah federal. Tujuan dari operasi ini sendiri adalah untuk menghentikan kedatangan para pencari suaka di pantai utara-barat wilayah Australia. Dan implementasi kebijakan ini di antaranya adalah dengan mencegat dan memulangkan kembali kapal-kapal yang membawa para pencari suaka ke negara embarkasi.1

Sebelumnya, kebijakan serupa sudah pernah diberlakukan pada masa pemerintahan John Howard (Partai Liberal) pada tahun 2001. Howard membuat kebijakan yang disebut Pasific Solution yaitu pemindahan pencari suaka ke pusat detensi yang tersebar di negara-negara kepulauan di Samudra Pasifik. Salah satu strategi aplikasi kebijakan tersebut adalah Operasi Relex yaitu strategi perlindungan perbatasan wilayah Australia di laut lepas dengan melakukan pencegatan, penahanan, dan pencegahan kapal yang membawa orang-orang yang hendak masuk ke Australia tanpa visa. Walaupun kebijakan tersebut pernah diberhentikan pada pergantian kepemimpinan di masa pemerintahan Kevin Rudd (Partai Buruh) tahun 2007, namun pada akhirnya kebijakan serupa di masa Howard kembali diterapkan pada masa pemerintahan Tony Abbott dengan kerangka kebijakan Operation Sovereign Border (Rahmawaty 2014).

1

Negara embarkasi adalah negara terakhir yang dijadikan tempat transit untuk pemberangkatan perahu para pencari suaka.

(3)

3

Jika dilihat dari penerapan kebijakan Pacific Solution dan Operation

Sovereign Border yang dimaksudkan untuk merespon dan membendung gelombang

pencari suaka yang masuk ke wilayah Australia, bisa dikatakan tidak berhasil dalam menanggulangi arus kedatangan para pencari suaka. Kebijakan-kebijakan tersebut dilihat malah lebih cenderung berkontribusi secara signifikan pada berbagai isu yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional seperti diskriminasi dan pelanggaran HAM. Dengan mengutamakan pendekatan sekuritisasi dalam menangani isu para pencari suaka ini, pada beberapa tahun terakhir ditenggarai banyak menyebabkan kecelakaan perahu, manusia terbengkalai di lautan hingga korban jiwa yang meninggal akibat penolakan keras dari pihak Australia (Soesilowati 2013).

B. Rumusan Masalah

Di sini penulis mengajukan pertanyaan penelitian : Mengapa pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign

Border (OSB) walaupun dikonotasikan gagal dalam menangani kasus para pencari

suaka (Asylum Seekers)?

C. Tinjauan Pustaka

Banyak literatur yang mendiskusikan tentang kajian pencari suaka dan kebijakan Australia mengenai Asylum seekers. Namun penjelasan yang diberikan dalam tulisan-tulisan tersebut hanya bersifat umum dan tidak secara spesifik membahas tentang kebijakan dalam negeri Australia tentang pengungsi atau pencari suaka pada masa John Howard dan Tony Abbott berupa Pacific Solution dan

(4)

4

Tulisan pertama dari Atik Krustiyati dalam tulisan yang berjudul Kebijakan

Penanganan Pengungsi di Indonesia; Kajian dari Konvensi Pengungsi Tahun 1951

dan Protokol 1967. Penulis di sini berusaha menjelaskan jika pada dasarnya masalah

pengungsi tersebut merupakan masalah humaniter dan seharusnya ditangani sesuai dengan prinsip-prinsip humaniter pula. Adanya pengungsi sebagai akibat dari natural

disaster, maka penanganannya dapat dikatakan sederhana, karena kebutuhan utama

mereka adalah tempat tinggal dan kebutuhan dasar di tempat mereka pergi untuk menyelamatkan diri, sampai mereka dapat kembali lagi ke daerah asalnya karena kondisinya sudah memungkinkan.

Dalam hal ini, pertolongan (relief) dan bantuan (assistance) yang diutamakan adalah makanan, air, pakaian, sanitasi, kesehatan dan sebagainya. Sedangkan pengungsi akibat human made disaster terutama yang menjadi korban gangguan terus menerus terhadap pribadi atau kebebasan fundamental mereka, atau persekusi (persecution), karena ras, warna kulit, etnis, agama, golongan sosial, atau opini politik, dan mencari keamanan serta keselamatan di luar negara asalnya, pada dasarnya juga tetap merupakan persoalan humaniter dan ditangani secara humaniter pula (Krustiyati 2012).

Mengingat para pengungsi tersebut tidak memperoleh perlindungan nasional dari pemerintah asal negara mereka, maka selain memerlukan pertolongan (relief) dan bantuan (assistance) bagi kelangsungan hidup, para pencari suaka juga memerlukan kebutuhan vital yaitu perlindungan internasional (international protection). Tetapi dengan posisi Indonesia yang tidak ikut meratifikasi perjanjian UNHCR, maka

(5)

5

pemerintah Indonesia juga tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan penentuan status pengungsi atau yang biasa disebut dengan Refugee Status

Determination (RSD). Dalam tulisan ini hanya berusaha mengaitkan antara hukum

internasional yang dapat dijadikan dasar untuk menggolongkan kriteria kepentingan nasional Indonesia tanpa membahas lebih jauh efek dari isu pencari suaka ini terhadap hubungan bilateral Indonesia-Australia.

Tulisan kedua adalah buku dari Chusnul Mar’iyah dengan judul

Indonesia-Australia: Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral yang

diterbitkan tahun 2005. Pembahasan yang utama pada buku ini antara lain membahas isu-isu yang mempengaruhi keberadaan kebijakan luar negeri maupun kebijakan dalam negeri baik di Australia maupun Indonesia. Isu-isu yang ditampilkan dalam buku ini seperti isu keamanan, politik strategis, kepentingan domestik, peran dan perkembangan media dalam membentuk opini publik, perwakilan politik perempuan dan perkembangan sistem pendidikan domestik sebagai sarana sosialisasi nilai-nilai demokrasi (Mar’iyah 2005). Pembahasan tersebut sebagian besar hanya membahas isu-isu yang menjadi tantangan dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia, namun tidak ada pembahasan mendalam tentang isu para pencari suaka.

Tulisan yang ketiga dari Rebecca M.M. Wallace dalam buku yang berjudul

International Law yang diterjemahkan dan diterbitkan di Semarang tahun 1993, yang

membahas kajian hukum internasional. Dalam bukunya, menurut Wallace salah satu sumber hukum internasional adalah perjanjian. Perjanjian (Treaty) bisa terjadi antara dua negara (bipartite) atau lebih dari dua negara (multipartite), yang membuat peraturan-peraturan secara jelas diakui dan ditaati oleh negara-negara yang terlibat.

(6)

6

Sehingga suatu negara yang menandatangani suatu perjanjian internasional, berkewajiban untuk membuat atau memodifikasi perundang-undangan domestiknya sesuai dengan perjanjian internasional tersebut. Setiap negara mempunyai kewajiban untuk melaksanan kewajiban-kewajiban secara jujur yang dideklarasikan dari sebuah perjanjian internasional (Wallace 1993).

Dikaitkan dengan kasus Australia mengenai pelaksanaan hukum internasional, posisi Australia yang telah menandatangani perjanjian dalam Konevensi Jenewa tahun 1951 dan Protokol New York tahun 1967 merupakan suatu bentuk keterlibatan Australia dalam dunia Internasional khususnya mengenai status pengungsi dan para pencari suaka. Namun dalam penerapannya, Australia sebagai suatu negara yang seharusnya berkomitmen dalam Konvensi Jenewa dan Protokol New York malah membuat suatu kebijakan yang bertentangan dengan perjanjian tersebut berupa

Operation Sovereign Border (OSB) di tahun 2012. Bahkan pada tahun 2001 di masa

pemerintahan John Howard, Australia juga pernah mengeluarkan kebijakan yang serupa dengan sebutan Pacific Solution. Dimana inti dari kedua kebijakan ini bertujuan untuk mencegat dan memulangkan kembali kapal-kapal dengan penumpang para pencari suaka ke negara embarkasi.

Dalam buku hukum internasional ini sebenarnya sudah sangat jelas disebutkan bagaimana suatu negara melakukan sebuah perjanjian internasional, hukum dan kebiasaan internasional sebagai sumber hukum internasional, kaitan hukum internasional dan hukum nasional, sampai dengan penyelesaian masalah dengan hukum internasional. Tetapi untuk menjelaskan “kecurangan” yang dilakukan

(7)

7

negara Australia dalam mengeluarkan kebijakan nasional yang melanggar perjanjian internasional dalam UNHCR tidak dijelaskan secara jelas pada buku ini.

Selanjutnya tulisan dari Adrini Pujayanti yang berjudul Isu Pengungsi Global

dan Kebijakan Australia tahun 2015. Pada tulisannya, Adirini Pujayanti menjabarkan

keadaan pemerintah Australia dibawah PM Tonny Abbot yang kewalahan menghadapi serbuan para pencari suaka. Keadaan tersebut yang menjadi alasan Australia dengan PM Tony Abbot menerapkan strategi preventive dengan mengeluarkan kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) guna mencegah masuknya para pencari suaka ke negaranya.

Dalam jurnal ini juga sedikit menjabarkan tentang dinamika politik yang terjadi di Australia serta isu penyuapan yang melanda pemerintah Australia di bawah PM Tony Abbott. Masalah para pencari suaka ini telah menjadi isu politik di Australia. Pemerintahan PM Tony Abbott berada dibawah tekanan kuat parlemen karena dianggap menggunakan uang wajib pajak yang justru dibutuhkan untuk hal-hal lain. Sejauh ini Perdana Menteri Tony Abbott secara konsisten tidak mengomentari rincian operasional di lapangan karena hal itu terkait keamanan operasional. Perdana menteri Tony Abbott pun berupaya menghentikan polemik di parlemen dengan menyerahkan surat kepada Senat agar seluruh dokumen-dokumen terkait kasus ini segera ditutup karena dapat mengganggu keamanan nasional, pertahanan dan hubungan internasional.

Analisa utama dari jurnal ini adalah kebijakan pragmatis yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Australia di bawah Perdana Menteri Tony Abbott berupa Operation Sovereign Borders ini cenderung menimbulkan polemik di kalangan elit

(8)

8

serta masyarakat Australia. Tetapi pada tulisannya ini, masih belum begitu spesifik membahas kebijakan Australia di masa pemerintahan Perdana Menteri John Howard dengan Pacific Solution (Pujayanti 2014).

Jadi sebagian besar literatur yang ada hanya bersifat umum dan lebih menekankan isu-isu yang berkembang di antara perjalanan hubungan bilateral Indonesia-Australia dan lebih menjabarkan hukum internasional sebagai kebiasaan internasional yang harus ditaati oleh negara yang terlibat di dalamnya. Sebagai tambahan adanya penjelasan tentang pengertian pencari suaka, status pengungsi dan hak-hak individu yang harus dihormati baik dalam tingkat nasional maupun internasional.

D. Kerangka Teori

Untuk dapat menjawab pertanyaan dari rumusan masalah, digunakan teori rational choice, agar dapat mengetahui kebijakan yang diambil oleh sebuah negara berdasarkan atas kalkulasi untung rugi sehingga dapat memutuskan pilihan yang sesuai dengan alternatif dengan resiko paling kecil.

Anthony Downs (1957) seorang yang bukan ilmuwan politik tetapi sangat berperan penting untuk pendekatan konsep rational choice dalam ilmu politik. Dalam memaknai rasionalitas ekonomi dan politik, Downs menyajikan teori rasionalitas di mana individu di arena politik dan pemerintahan dipandu oleh kepentingan karena mereka mengejar pilihan dengan tingkat kegunaan (utility) tertinggi. Konsep utility sangat bermanfaat untuk mengurangi biaya dalam pembuatan keputusan dalam sebuah pemerintahan.

(9)

9

Kenneth Shepsle dan Mark Bonchek (1997) menulis teks standar dari konsep

rational choice dengan menambahkan catatan penting dari Downs yang memberikan

contoh dalam pemilu politik yang menunjukkan bagaimana pemilih yang rasional dalam menentukan pilihannya sesuai dengan ideologinya. Begitu juga para kandidat dan partai politik berusaha memaksimalkan dukungan dari pemilihnya dengan mengeluarkan program-program yang menarik bagi kepentingan pemilihan. Menurut Downs (1957), pemerintahan dengan self-interest yang tinggi tidak akan ideal untuk mewujudkan kesejahteran sosial atau kepentingan umum. Pemerintah sebaiknya berorientasi untuk mengembangkan program-program yang berkaitan dengan kaitan untuk menyenangkan para pemilihnya (Ishiyama & Breuning 2010).

Sedangkan masuknya teori rational choice dalam ilmu politik, bisa dikatakan diawali dengan pendekatan teori koalisi politik yang digagas olah William Riker (1962). Riker mengambil teori ekonomi dan matematika berbasis pada permainan yang tegas dan berlaku untuk pengambilan keputusan politik, menyajikan alternatif untuk ilmu politik berfokus pada konsep-konsep seperti kekuasaan dan otoritas. Riker melihat rasionalitas dalam hal individu yang berusaha untuk menang dan bukan untuk kalah. Riker mencoba keluar dari konsep rational choice tradisional yang berfokus pada permainan dan ekonomi, dan mencoba mengalihkan ke dunia politik dan pemerintahan. Fokus teori rational choice adalah adanya hak-hak individu untuk memutuskan sesuatu dengan informasi yang mereka terima, dari pengetahuan tentang preferensi mereka sendiri atau melalui konsekuensi alternatif sendiri. Riker menjadi

(10)

10

salah satu tokoh yang paling kontroversial dalam ilmu politik modern, dengan alasan untuk ilmu politik secara terbuka merangkul rational choice sebagai masa depannya.

Pendekatan Riker dalam mempelajari politik menggambarkan ciri-ciri yang menonjol dari rational choice modern. Pertama, adanya penggunaan umum tentang asumsi rasionalitas untuk memandu analisi dan penelitian. Individu diasumsikan untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip memaksimalkan keuntungan dan mengejar self-interest. Kedua, lebih fokus dengan apa yang disebut elemen inti dari

rational choice sebagai cara untuk menjelaskan realitas dan politik dalam

menghadapi perkembangannya. Untuk menggambarkannya, Riker menyebutkan bahwa mempertimbangkan biaya individu dan manfaat merupakan tindakan dari teori rational choice, atau kalkulasi untung rugi yang didasari dari keputusan untuk memilih atau tidak memilih. Ketiga, menyebutkan jika rational choice adalah evolusi yang berkelanjutan seperti yang diharapkan dari setiap pendekatan ilmiah. Rational choice dalam dekade terakhir ini tidak sama dengan era 1960an dan 1970an. Riker dalam pendekatan ini terlihat menggunakan herethestics, yaitu berfokus pada penggunaan strategi komunikasi (seperti kalimat dan bahasa) oleh pemimpin politik atau elit dalam kaitannya seperti kontrol agenda dan pembentukan koalisi.

Ditambahkan Buchanan (1972), teori rational choice merupakan teori ekonomi yang diaplikasikan pada sektor publik. Teori ini mencoba menjembatani antara mikro ekonomi dengan politik dengan melihat tindakan-tindakan warga negara, politisi, dan pelayan publik sebagai sebuah analogi terhadap kepentingan pribadi produsen dan konsumen. Ada beberapa nama untuk konsep ini, seperti

(11)

11

ekonomi politik atau welfare economics, namun yang paling sering dipakai adalah istilah rational choice atau pilihan rasional (Frederickson & Smith 2003).

Menurut Axelrod dan Keohane, mengasumsikan rational choice pada rasionalitas yakni pilihan yang diambil atas dasar kalkulasi untung rugi, sehingga dapat memutuskan pilihan sesuai dengan alternatif yang paling menguntungkan. Teori ini meminjam istilah dari teori ekonomi yang memaknai rasionalitas adalah cost and benefit atau Axelrod menyebutnya dengan istilah Payoff. Jadi negara sebagai aktor harus dapat mendefenisikan kepentingan, mengkalkulasi cost and benefit atau disebut juga payoff, sehingga dapat berjalan menurut alternatif yang dia anggap secara cost and benefit paling menguntungkan.

Axelrod dan Keohane menyebutkan ada tiga dimensi yang mempengaruhi kecenderungan aktor dalam melakukan kerjasama, yang pada gilirannya akan mempengaruhi berhasil tidaknya atau kuat tidaknya suatu kerjasama antara lain: kepentingan bersama (Mutuality of Interest), bayangan terhadap masa depan (The

shadow of the future), dan jumlah pemain (Number of actors). Rational Choice juga

digambarkan dalam bentuk-bentuk game theory seperti Prisioner Dilemma, Payoff Structure, Stag Hunt,dan Chicken Game. Dalam teori permainan tersebut, masing-masing menggambarkan tentang rasionalitas dalam mengkalkulasi tindakan yang mengakibatkan keuntungan atau kerugian.

Teori Rational Choice merupakan teori yang berangkat dari asumsi neo realis. Dalam asumsi ini, struktur internasional adalah anarki, dimana tidak ada satu

(12)

12

kekuatan dominan yang dapat mengatur negara-negara dalam sistem internasional. Ketiadaan kekuatan yang dominan tersebut, berarti tidak ada juga jaminan bahwa terciptanya kepatuhan di antara negara-negara. Kondisi ini menjadikan negara sebagai aktor utama yang rasional dalam hubungan dengan negara lain untuk mencapai kepentingan-kepentingan nasionalnya semaksimal mungkin.

Dalam pandangan Morgenthau, kemampuan minimum negara-bangsa adalah melindungi identitas fisik, politik dan kulturalnya dari gangguan bangsa-bangsa lain. Jadi pemimpin suatu bangsa jika berangkat dari tujuan-tujuan umum itu bisa menurunkan kebijakan-kebijakan spesifik terhadap negara lain, baik bersifat kerjasama atau konflik. Menurut asumsi neo realis, pada struktur yang anarkis memungkinkan untuk terbentuknya kerjasama. Dan kerjasama akan terjadi jika kebijakan yang ditempuh antara negara satu akan menguntungkan negara lainnya (adanya harmonisasi). Tapi, jika kerjasama tersebut tidak menemukan harmonisasi atau tidak sesuai dengan satu sama lain maka akan terjadi sebuah konflik. Rasionalitas merupakan pilihan yang dapat diambil menurut kalkulasi untung rugi, sehingga negara dapat mengambil keputusan yang paling menguntungkan. Dalam perspektif neo realis yang mementingkan kepentingan nasional di atas segalanya, kerugian harus dihindari untuk mencapai kepentingan nasional secara maksimal.

Mengenai hubungan penerapan kebijakan Australia mengenai pencari suaka (Asylum Seekers), Negara Australia menempatkan diri sebagai aktor yang rasional. Segala sesuatu yang dilakukan dianggap sebagai akibat dari tindakan-tindakan aktor rasional, yang sengaja dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yaitu kepentingan

(13)

13

nasionalnya. Pembuatan kebijakan suatu negara digambarkan sebagai suatu proses intelektual, dengan demikian kebijakan yang dibuat harus memusatkan perhatian pada kepentingan nasional. Alternatif-alternatif haluan kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah suatu negara harus melalui perhitungan untung rugi. Dalam hal ini, kebijakan Australia tentang Asylum Seekers diasumsikan sebagai aktor yang rasional dengan keputusan yang rasional.

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian teori Rational Choice di atas, dapat ditarik sebuah hipotesis mengenai pengambilan kebijakan Australia tentang pencari suaka (Asylum Seekers) berupa Pacific Solution di masa John Howard dan Operation Sovereign

Border (OSB) di masa Tony Abbott merupakan suatu tindakan yang rasional.

Mengingat pada tahun 2001 diketahui 80% dari pencari suaka yang telah dinaturalisasi menjadi warga negara Australia ternyata adalah migran ekonomi. Kurangnya pilihan migrasi membuat banyak migran ilegal, bukan pengungsi, menipu dengan status sebagai pencari suaka karena hal ini merupakan satu-satunya cara yang memungkinkan mereka untuk diterima di negara lain. Ratusan migran ekonomi masuk ke Australia dengan cara tersebut, sehingga akhirnya Australia bersikap keras terhadap para pencari suaka melalui kebijakan tersebut.

F. Metode Penelitian

Penelitian “Kebijakan Australia Mengenai Para Pencari Suaka (Asylum

Seekers) Berupa Pacific Solution dan Operation Soveriegn Borders” memakai

(14)

14

berupa strategi kebijakan Pacific Solution di masa Pemerintahan John Howard dan kebijakan Operation Sovereign Borders di masa Pemerintahan Tony Abbott.

Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian deduktif. Penulis menggunakan metode penelitian deduktif karena penelitian ini mempunyai tujuan untuk memperoleh jawaban yang terkait berdasarkan kerangka teori yang ada.

Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, penulis menggunakan metode

Library Research yaitu teknik pengumpulan data melalui studi pustaka berupa buku,

jurnal, serta sumber lain yang relevan dengan penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini ini terbagi menjadi lima bab, dengan sistematika sebagi berikut.

Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Permasalahan, Rumusan Masalah, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Hipotesis, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Bab II berisi uraian tentang kehadiran para pencari suaka (asylum seekers) di Australia dan munculnya konsep Irregular Maritime Arrivals (IMAs) di Australia.

Bab III membahas penerapan kebijakan Pacific Solution dan Operation

Sovereign Borders (OSB) guna membendung arus kedatangan Irregular Maritime

(15)

15

Bab IV membahas alasan pemerintah Australia dalam menerapkan kebijakan

Pacific Solution dan OSB guna membendung arus kedatangan Irregular Maritime

Arrivals (IMAs) ke Australia.

Bab V berisi kesimpulan, kebijakan Australia mengenai Asylum Seekers berupa Pacific Solution dan Operartion Sovereign Borders ini merupakan pilihan yang rasional, mengingat banyaknya migran ekonomi yang datang ke Australia.

Referensi

Dokumen terkait

Budaya tempat kerja yang benar sehingga karyawan termotivasi untuk memanfaatkan knowledge Menurut Hamdani (2011), pengembangan Model Knowledge Management System pada

Rangkuti (2002, h.31) mengatakan bahwa nilai produk didefinisikan sebagai pengkajian secara menyeluruh manfaat dari suatu produk, yang didasarkan pada persepsi konsumen atas apa

PEMBANGUNAN DAN PENINGKATAN FASILITAS LLAJ DI JALUR MARGONDA RAYA 137.518.000,00... PEMBUATAN SEPARATOR JALUR

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, yaitu pengaruh model kooperatif tipe team assisted individualization (TAI) untuk meningkatkan hasil belajar shooting bagian

Bagaimana persepsi saudara mengenai potensi kemenyan, apakah akan habis?. Apakah sekarang saudara

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terkait hubungan motivasi kerja terhadap kinerja pengurus pada lembaga keuangan mikro agribisnis di kota

Permasalahan utama yang dapat diangkat dan apakah pergerakan atau perubahan nilai tukar mata uang rupiah Indonesia terhadap dolar Amerika dalam sistem nilai tukar

Health Behaviors and Risk Factors Associated with Chronic Kidney Disease in Korean Patients with Diabetes: The Fourth Korean National Health and Nutritional Examination