• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dalam dua jenis fiksi tersebut terdapat fakta-fakta cerita, tema dan sarana-sarana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dalam dua jenis fiksi tersebut terdapat fakta-fakta cerita, tema dan sarana-sarana"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pujiharto (2010:9) mengemukakan bahwa, dari segi maksudnya baik fiksi serius maupun fiksi populer berusaha menyajikan pengalaman kemanusian. Di dalam dua jenis fiksi tersebut terdapat fakta-fakta cerita, tema dan sarana-sarana cerita. Namun, kesulitan yang berbeda dalam upaya memahami keduanya. Pujiharto (2010:10) juga mengemukakan bahwa, fiksi serius lebih sulit dibaca ketimbang fiksi populer. Untuk dapat memahami fiksi serius dengan baik seorang pembaca biasanya harus membaca dua tiga kali atau lebih, sedangkan untuk memahami fiksi populer seorang pembaca cukup membaca satu kali saja. Oleh karena itu, sebagian besar fiksi serius memerlukan pembacaan dan ‘pembacaan kembali’ keduanya dilakukan dengan cermat dan tepat (Stanton, 1965:3).

Setiap karya fiksi serius mengandung kesukaran sekaligus tantangan masing-masing yang menimbulkan banyak kekeliruan dan salah tafsir pada isi cerita. Kekeliruan-kekeliruan dalam menafsirkan sebuah karya fiksi apakah fiksi yang dibaca tersebut menjadi fiksi populer atau fiksi serius dan salah tafsir mengenai isi cerita menjadi pelajaran berharga. Tidak ada salahnya berhati-hati dalam mencerna setiap ide gagasan yang telah dianggap sebagai kebenaran umum (Stanton, 1965:3).

(2)

Menurut Stanton (1965:1), fiksi serius selalu segar karena segala sesuatu yang dibutuhkannya untuk dimengerti oleh para pembacanya hanyalah pengalaman dan bahasa keseharian manusia. Meski cerita yang dituturkan oleh fiksi serius mengandung berbagai hal yang tidak lazim atau tidak selaras dengan sejarah, fiksi jenis ini biasanya menyodorkan fakta-fakta dan isu-isu yang relevan pada pembaca. Faktanya, fiksi serius dapat memberikan kenikmatan dan memang begitu adanya. Mereka yang membaca fiksi serius bukan karena suatu keharusan, melainkan karena menikmati apa adanya.

Menurut Panuti-Sudjiman (1990:75), struktur berarti tata hubungan antara bagian-bagian karya sastra yang menjadi kebulatannya. Maksudnya sebuah novel secara sederhana dapat dianalisis melalui struktur pembangunnya. Terdapat contoh-contoh novel yang dapat dianalisis secara struktural, seperti novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar, novel Siti Nurbaya (1922) karya Marah Roesli, novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Moeis, novel Dian yang Tak Kujung Padam (1938) karya Sultan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain (Budiman, 1987:97—99).

Salah seorang pengarang novel serius adalah Dewi Linggasari. Ia lahir di Pekalongan, Jawa Timur pada 22 Mei 1967. Dewi Linggasari ialah seorang sarjana Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM pada tahun 1994. Dewi Linggasari pernah menjadi asisten peneliti saat menempuh kuliah pada tahun 1993—1994 di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM. Sekarang Dewi Linggasari menetap di Agats, Papua bersama suami dan kedua putrinya. Karya-karya Dewi Linggasari, antara lain, adalah novel Istana Pasir (2001), Kapak

(3)

(2005), Sali (2007), Asrama Putri (2007), dan Zaman Pelangi (2007). Salah satu novel karya Dewi Linggasari yang menjadi objek penelitian ini adalah novel Asrama Putri. Novel ini diterbitkan oleh penerbit Bigraf pada tahun 2008. Novel tersebut dapat dianalisis menggunakan teori struktur Robert Stanton karena memiliki struktur novel konvensional.

Alasan dipilihnya novel Asrama Putri sebagai objek material dalam penelitian ini yaitu novel adalah struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan. Artinya bahwa untuk memahami makna, novel terlepas dari latar belakang sejarah, niat pengarang, dan efek pembaca. Sebagai sebuah struktur, novel Asrama Putri mengandung unsur-unsur pembangun yang saling berjalinan. Cerita di dalam novel Asrama Putri juga penuh dengan warna-warni konflik persahabatan dalam lingkungan sebuah asrama putri di Yogyakarta.

Alasan digunakannya teori struktural Robert Stanton pada novel Asrama Putri karena teori tersebut dapat menjawab berbagai permasalahan dari alasan-alasan yang telah dikemukakan. Penelitian ini terbatas pada tema dan fakta-fakta cerita yang mencakup unsur plot, tokoh, dan latar yang sesuai dengan teori srtuktur novel model Stantonian.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

(4)

1. Bagaimanakah bentuk dan kualitas unsur fakta-fakta cerita (alur, tokoh, latar) yang terdapat dalam novel Asrama Putri?

2. Tema utama atau tema mayor apakah yang mendasari cerita Asrama Putri?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini merupakan aplikasi teori struktur novel model Stantonian dengan tujuan untuk mengetahui tema utama (mayor) dan untuk mengetahui kualitas alur, tokoh, dan latar yang terangkum dalam fakta-fakta cerita pada novel Asrama Putri.

Secara praktis, penelitian ini merupakan wujud apresiasi pembaca terhadap novel konvensional Indonesia. Penelitian ini juga merupakan penambah studi pustaka pada dunia kritik sastra modern dan menambah apresiasi pembaca terhadap Asrama Putri.

1.4 Tinjauan Pustaka

Fungsi tinjauan pustaka adalah untuk memberikan pengetahuan tambahan terhadap penelitian terdahulu yang ada hubungan dengan penelitian sastra yang pernah dilakukan, baik itu dalam bentuk buku, skripsi, makalah, resensi, maupun opini. Karena penelitian ini menggunakan teori struktur novel Robert Stanton,

(5)

peneliti menemukan sejumlah penelitan yang menggunakan teori struktur novel Robert Stanton. Penelitian-penelitian tersebut adalah sebagai berikut.

Pada skripsi berjudul “Pesan Moral dalam Novel Nyali Karya Putu Wijayana: Analisis Tema dan Fakta-Fakta Cerita: Model Stantonian” (2004) karya Budi Pracoyo, Sastra Indonesia, FIB, UGM, Pracoyo mengabstraksikan pesan moral dalam novel Nyali tersebut dari tema dan fakta-fakta cerita yang padu dan menyeluruh. Pesan moral tersebut dapat diabstraksikan Budi Pracoyo melalui analisis tema dan fakta-fakta cerita meliputi tokoh atau penokohan, alur, dan latar.

Pembahasan yang seperti ini pernah pula dilakukan oleh Nurina Yudistianti dan Sugihastuti dalam “Struktur Novel: Studi Cermin Merah Stantonian Analisis Struktur Novel Model Stanton” (2007). Dalam buku tersebut Yudistianti dan Sugihastuti menjelaskan bahwa ketidakpastian yang berlarut-larut dalam novel memberikan ketegangan dan rasa ingin tahu pada pembaca. Unsur suspens yang tetap terjaga dan secara kuat melingkupi perkembangan plot dapat membuat pembaca merasa penasaran untuk melanjutkan dan menyelesaikan cerita dalam sebuah novel.

Analisis secara khusus dilakukan oleh Rina Tyas Sari, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UGM pada tahun 2011 melalui skripsinya yang berjudul “Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Anantatoer: Analisis Struktur dan Fungsi Plot”. Dalam skripsi tersebut, Sari membatasi penelitiannya hanya pada plot. Alasanya, plot merupakan unsur yang menonjol dalam memunculkan

(6)

aspek estetis novel Bumi Manusia. Penelitian Sari ini menganalisis fungsi yang ditimbulkan oleh struktur plot dalam sebuah novel.

Skripsi berjudul “Dunia-Dunia dalam Novel Ranah 3 Warna Karya Ahmad Fuadi: Analisis Struktural” oleh Yogi Sutopo, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UGM tahun 2012. Dalam skripsinya, Sutopo menjelaskan bahwa fakta-fakta cerita yang meliputi alur, karakter, dan latar telah memberikan gambaran awal tentang dunia yang ada dalam novel Ranah 3 Warna. Alur, karakter, dan latar yang terhubung secara kausal adalah hal pertama yang bisa terlihat dalam novel Ranah 3 Warna. Skripsi tersebut membahas dunia-dunia dalam novel Ranah 3 Warna.

Analisis secara khusus juga dilakukan oleh Indah Fadhilla, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UGM tahun 2014 dalam novel Persiden karya Wisran Hadi. Skripsi Fadhilla yang berjudul “Novel Persiden Karya Wisran Hadi: Analisis Latar Robert Stanton” tersebut membatasi penelitiannya hanya pada latar dengan alasan penekanan dan penggambaran tempat dan suasana di dalam novel Persiden digunakan untuk menyampaikan kritik sosial. Banyaknya penggambaran tersebut menempatkan unsur latar menjadi dominan di dalam novel Persiden. Menurut Fadhilla, latar memiliki fungsi untuk menggambarkan karakter dan tema sebuah karya.

Dari penelitian-penelitian tersebut di atas, tidak ada penelitian yang menggunakan objek penelitian novel berjudul Asrama Putri. Maka, keaslian novel penelitian ini terjaga. Digunakannya teori struktural Robert Stanton Robert

(7)

Stanton beralasan Novel-novel yang dikarang oleh Linggasari adalah novel-novel yang berisi mengenai perjuangan seorang perempuan dan menciptakan tokoh perempuan sebagai tokoh utama dalam novel-novelnya.

Selama penelitian ini dilakukan, novel-novel karya Linggasari belum pernah ada yang dianalisis menggunakan teori struktur novel Robert Stanton untuk diketahui kualitas novelnya. Oleh karena itu, teori struktur novel Robert Stanton adalah teori yang representatif untuk membuktikan kualitas novel Asrama Putri.

1.4 Landasan Teori

Teori dalam penelitian ini adalah teori struktural Robert Stanton dalam buku An Introduction to Fiction. Namun, untuk memperkuat analisis dalam penelitian ini, digunakan pula pendukung teori struktural lain seperti yang dikemukakan dalam buku Nurgiyantoro, Pujiharto, dan Minderop.

Stanton (1965:3) menjelaskan bahwa maksud utama sebuah karya fiksi serius adalah memungkinkan pembacanya membayangkan sekaligus memahami satu pengalaman manusia. Untuk menjawab pertanyaan mengapa maksud tersebut harus dicerna melalui berbagai hal yang rumit dan sulit, harus diingat bahwa pengalaman manusia bukanlah serangkaian kejadian yang sinambung. Serangkaian kejadian tersebut hendaknya dirasakan dalam-dalam dan seolah-olah sedang benar-benar dialami. Misalnya, dua orang pria mungkin pernah menjalani kehidupan yang sama seperti berkencan dengan wanita yang sama, dan mengerjakan pekerjaan yang sama pula. Kesamaan tersebut tidak ada artinya

(8)

karena pengalaman yang mereka rasakan bisa sangat berbeda. Pengalaman terdiri atas dua lapisan yang melekat satu sama lain. Satu bagian tersebut adalah fakta, sedangkan satu bagian yang lain adalah makna.

Bagian makna merupakan bagian yang berbeda bagi tiap-tiap manusia karena setiap makna bergantung pada emosi, standar, dan pemahaman masing-masing atas fakta yang bersangkutan. Salah satu contohnya terjadi saat berbicara dengan seorang teman. Sebagian yang diingat bersifat faktual seperti gerakan-gerakan tubuh dan kata-kata yang digunakan, pakaian, dan orang-orang serta benda-benda lain di sekeliling. Bagian lain ialah bagian yang berpengaruh adalah makna dari fakta-fakta tersebut seperti persoalan yang sedang diperbincangkan, emosi yang dirasakan, tegangan dan pengertian, dan relevansi perbincangan tersebut dengan pola hidup (Stanton, 1965:3—4).

Pengalaman-pengalaman yang paling diingat biasanya memiliki makna yang penting. Stanton (1965:4) mengatakan bahwa dalam sebuah cerita, makna penting semacam ini dinamakan ‘tema’ (theme) atau ‘gagasan utama’. Seperti makna penting dari pengalaman-pengalaman sendiri, tema sebuah cerita bersifat individual sekaligus universal. Tema memberikan kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang paling umum. Stanton (1965:5) juga mengatakan bila seseorang pengarang berkisah, ia tidak akan menjelaskan tema yang ia maksud di dalam paragraf-paragraf lain. Seseorang pengarang akan meleburkan fakta dan tema dalam satu pengalaman lalu tema akan muncul dari fakta-fakta.

(9)

Stanton (1965:12) menjelaskan bahwa karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’. Semakin jelasnya struktur faktual sebuah cerita, pembaca akan semakin sulit menemukan hal-hal lain di dalamnya.

Nurgiyantoro (2013:5) mengatakan bahwa fiksi sama artinya dengan novel. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang semuanya bersifat imajinatif.

Menurut Panuti-Sudjiman (1990:55), novel adalah prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Dalam kamus sastra, istilah lain novel adalah roman (Panuti-Sudjiman, 68:1990). Sebuah novel yang hadir ke hadapan pembaca adalah sebuah totalitas, sebuah kemenyeluruhan yang artistik. Novel dibangun dari sejumlah unsur dan setiap unsur saling berhubungan, saling menentukan, dan saling memengaruhi yang kesemuanya itu menyebabkan novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna secara “hidup”.

Setiap detail dalam cerita berpengaruh pada keseluruhan cerita (Stanton, 1965:11). Jika membaca cerita fiksi, pembaca akan bertemu dengan sejumlah tokoh, berbagai peristiwa yang dilakukan atau dikenakan kepada para tokoh, tempat, waktu, dan latar belakang sosial budaya di tempat cerita itu terjadi, dan

(10)

lain-lain. Kesemuanya akan tampak berjalan serempak dan saling mendukung dalam sebuah cerita. Misalnya, bagaimana tokoh saling berhubungan, berbagai peristiwa saling terkait walaupun penceritaannya berjauhan, bagaimana latar sosial budaya memfasilitasi dan membentuk karakter tokoh, dan lain-lain. Hal itu semuanya dapat berjalan dengan baik, cerita dapat dipahami dengan baik karena adanya benang merah yang mengatur dan menghubungkan semua elemen, yaitu struktur (Nurgiyantoro, 2013:58—59).

1.4.1 Fakta-Fakta Cerita

Stanton (1965:12) mengatakan bahwa tokoh, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ cerita. Ketiganya bukan elemen terpisah, namun, tetap saling berkaitan membentuk pola struktur tertentu yang terorganisasi dengan baik.

Stanton (1965:12) mengingatkan pula bahwa struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang.

1. Alur/Plot

Menurut Stanton (1965: 14), alur merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat

(11)

diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Semakin sedikit karakter dalam sebuah cerita, semakin rekat dan padat pula alur yang mengalir di dalamnya. Setiap adegan yang dilakukan oleh seorang tokoh akan memengaruhi hubungannya dengan karakter-karakter lain.

Episode

Menurut Stanton (1965:14), sebuah karya fiksi terdiri dari episode-episode yang dihubungkan secara longgar yang melibatkan banyak tokoh dan beberapa diantaranya hanya muncul sekali.

Istilah episode dalam karya fiksi secara mudahnya mirip dengan pembabakan (scene) dalam drama (Stanton, 1965:92). Namun, episode tidak sepenuhnya sama dengan pembabakan dalam drama. Perpindahan dari episode yang satu ke episode yang lain biasanya ditandai dengan perpindahan waktu (Stanton, 1965:6).

Selain peristiwa, unusur lain yang penting dalam pembahasan mengenai alur adalah episode. Episode merupakan kumpulan sejumlah peristiwa yang diatur sedemikian rupa yang di dalamnya terdapat serentetan peristiwa yang mengandung suatu keadaan awal, suatu perubahan, seringkali perumitan, dan suatu keadaan akhir. Pengaturannya dilakukan dengan membuat semacam hierarki, semacam urutan, bisa bersifat kausalitas bisa pula bersifat temporal belaka. Istilah episode digunakan untuk menunjuk pada suatu kumpulan beberapa peristiwa. Kumpulan beberapa peristiwa tersebut selanjutnya akan membentuk

(12)

bab-bab, dan kumpulan bab-bab selanjutnya membentuk satu kesatuan karya fiksi (Pujiharto, 2010: 37—38).

Peristiwa

Pujiharto (2010: 32) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan peristiwa adalah peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Peristiwa bisa dibedakan berdasarkan sifatnya dan tingkat keberpengaruhannya. Berdasarkan sifatnya dibedakan peristiwa fisis berupa tindakan atau ujaran tokoh dan nonfisis yang berupa perubahan sikap tokoh, kilasan-kilasan pandangan, keputusan-keputusan, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam diri tokoh.

Berdasarkan tingkat keberpengaruhannya dibedakan peristiwa fungsional, peristiwa kaitan, dan peristiwa acuan. Peristiwa fungsional adalah peristiwa yang secara menentukan memengaruhi perkembangan alur. Peristiwa kaitan adalah peritiwa yang mengaitkan peristiwa-peristiwa penting. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang mengacu kepada unsur-unsur lain seperti bagaimana watak seseorang, bagaimana suasana yang meliputi para pelaku, dan sebagainya (Pujiharto, 2010:36).

Menurut Stanton (1965: 14) alur memiliki jenis-jenis yang lebih spesifik, yaitu subplot dan konflik dan klimaks. Stanton menjelaskan pengertian konflik dan klimas sebagai berikut.

Alur mengalir karena mampu merangsang berbagai pertanyaan di dalam benak pembaca (terkait keingintahuan, harapan, maupun rasa takut;) pertanyaan yang sering muncul adalah “Apa yang akan terjadi selanjutnya?”. Bila pertanyaan

(13)

yang diajukan sudah terjawab, seorang pengarang yang terampil akan mengeksploitasi pertanyaan-pertanyaan semacam ini untuk menajamkan dan mengendalikan perhatian pembaca (Stanton, 1965: 15).

Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya fiksi memiliki ‘konflik internal’ yang hadir melalui hasrat seorang dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu ‘Konflik-konflik utama’ yang bersifat eksternal, internal, atau dua-duanya (Stanton, 1965: 16).

Subplot

Subplot merupakan rangkaian peristiwa-peristiwaa yang menjadi bagian dari alur utama namun, memiliki ciri khas tersendiri. Satu subplot dapat memiliki bentuk yang paralel dengan subplot yang lain. Tindakan ini merupakan upaya untuk menonjolkan signifikansi, caranya dengan teknik kontras atau similiaritas. Salah satu bentuk subplot yang lazim dikenal adalah naratif bingkai. Sesuai dengan namanya, subplot ini akan membingkai dan membungkus naratif utama sehingga akan menghasilkan cerita di dalam cerita. Naratif bingkai juga selalu memiliki tujuan-tujuan tertentu (Stanton, 1965:14).

Konflik

Konflik dalam karya fiksi terdiri atas konflik internal dan eksternal, dan konflik sentral. Konflik internal adalah konflik yang lahir dari dalam diri tokoh cerita dan biasanya muncul karena ada dua keinginan dalam diri seorang tokoh.

(14)

Konflik eksternal adalah konflik antartokoh dengan tokoh lainnya (konflik antartokoh), atau antara tokoh dengan lingkungannya, sedangkan konflik sentral adalah konflik yang menjadi puncak dari berbagai konflik yang mengantar jalan cerita dari konflik sentral, baik berupa konflik internal, eksternal, atau keduanya (Stanton, 1965:16).

Konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan ‘sifat-sifat’ dan ‘kekuatan-kekuatan’ tertentu seperti kejujuran dengan kemunafikan, kenaifan dengan pengalaman, atau individualitas dengan kemauan beradaptasi. Konflik semacam inilah yang menjadi inti struktur cerita, pusat yang pada gilirannya akan tumbuh dan berkembang seiring dengan alur yang terus-menerus mengalir. Sebuah cerita mungkin mengandung lebih dari satu konflik kekuatan, tetapi hanya konflik utamalah yang dapat merangkum seluruh peristiwa yang terjadi dalam alur (Stanton, 1965: 16).

Klimaks

Klimaks adalah ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan (Stanton, 1965: 16).

Alur terbagi atas tiga tahapan, yakni tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Tahap awal merupakan pengenalan awal dari tokoh cerita, tahap tengah merupakan peristiwa-peristiwa mengarah kepada konflik, dan tahap akhir merupakan penyelesaian konflik (Stanton, 1965:15).

(15)

Alur (plot) juga harus bersifat plausible atau masuk akal dan logis, serta mampu membuat surprise pada pembaca dengan suspense (tantangan). Plot harus bersifat padu (unity) antarperistiwa satu dengan peristiwa yang lainnya, plot juga harus terdapat hubungan dan sifat saling keterkaitan. Kaitan peristiwa tersebut haruslah logis dan dapat dikenali hubungan kewaktuannya, meskipun tempatnya dalam sebuah cerita mungkin terdapat pada awal, tengah, maupun akhir (Stanton, 1965:15).

Teknik Pengaluran

Setiap fiksi pasti menyajikan cerita. Cerita itu terdiri atas peristiwa-peristiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak semata-mata diajarkan begitu saja, tetapi memiliki hubungan kausalitas antara satu dengan lainnya. Hal inilah yang biasa disebut alur (Pujiharto, 2010:32).

Berdasarkan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita, alur dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu kronologis dan sorot balik. Dalam alur kronologis, peristiwa-peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, berurutan dari awal hingga akhir sesuai dengan urutan waktu. Penyajian alur dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik pengaluran.

a. Backtracking

Teknik backtracking merupakan teknik pengaluran dengan cara pelaku cerita itu mengenangkan apa yang telah terjadi sebelum peristiwa-peristiwa itu memuncak kejadiannya atau teknik menoleh kembali pada peristiwa-peristiwa

(16)

yang telah terjadi. Teknik ini ditampilkan melalui dialog, mimpi, atau lamunan tokoh.

b. Suspense

Nurgiyantoro (2013:143) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan pengisahan peristiwa-peristiwa di atas, terdapat dua kemungkinan sikap yang diberikan pembaca, yaitu tertarik untuk mengetahui kelanjutan peristiwa, atau sebaliknya. Cerita yang menarik biasanya mampu mengikat pembaca untuk selalu ingin mengetahui kelanjutan kejadiannya, mampu membangkitkan rasa ingin tahu, mampu membangkitkan suspense suatu hal yang amat penting dalam sebuah cerita fiksi. Dalam arti lain, suspense adalah teknik menahan keterangan lain yang sebenarnya ingin diketahui pembaca. Kadar suspense untuk setiap cerita tentu saja tidak sama. Namun, sebuah cerita yang tidak mampu memberikan dan sekaligus mempertahankan rasa ingin tahu pembaca, boleh dikatakan, gagal dengan misinya yang memang ingin menyampaikan cerita Nurgiyantoro (2013:143).

Teknik pengaluran ini berfungsi untuk mendukung kekuatan alur dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Teknik ini dipakai agar alur berjalan secara logis dan kronologis, sehingga segera diketahui untuk mendukung kekuatan alur dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Alur Rekat dan Alur Renggang

Seorang pengarang tidak bisa begitu saja menghendaki alur ceritanya akan rekat atau renggang. Rekat atau renggang alur ditentukan oleh elemen-elemen lain dalam keseluruhan struktur cerita. Elemen yang cukup menonjol memengaruhinya

(17)

adalah jumlah tokoh. Cerita dengan sedikit tokoh pada umumnya memiliki alur yang rekat dan padat. Setiap adegan yang dilakukan oleh seorang tokoh akan memengaruhi hubungannya dengan tokoh-tokoh lain. Selanjutnya, reaksi-reaksi yang timbul dari tokoh-tokoh lain itu akan terbalik memengaruhinya (Pujiharto, 2010:40).

Hal tersebut di atas terjadi karena alur disusun sedemikian rupa sehingga mampu merangsang berbagai pertanyaan di dalam benak pembaca (terkait keingintahuan, harapan, maupun kecemasan). “Apa yang akan terjadi selanjutnya” demikianlah pertanyaan teka-teki yang biasanya menantang pembaca untuk terus melakukan pembacaan. Pertanyaan tersebut kadangkala juga memunculkan pertanyaan yang jauh lebih spesifik sehingga memunculkan jawaban yang spesifik pula. Hal yang demikian sengaja diciptakan pengarang karena dengan cara demikian alur menjadi efektif (Pujiharto, 2010:41).

1.4.3 Karakter atau Penokohan (Character)

Kata ‘karakter’ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita seperti ketika ada orang yang bertanya; “Berapa karakter yang ada dalam cerita itu?”. Konteks yang kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral pada pertanyaan; “Menurut Anda bagaimanakah karakter dalam cerita itu?” Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu ‘karakter utama’ yaitu karakter yang terkait dengan peristiwa yang

(18)

berlangsung dalam cerita. Biasanya, peritiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada diri sang karakter tersebut (Stanton, 1965:19).

Setiap pengarang ingin agar pembaca memahami setiap karakter dan motivasi dalam karyanya dengan benar. Akan tetapi, tidak ada satu pun pengarang yang dapat melakukan hal ini dalam sekali rengkuh. Stanton (1965:17) mengatakan bahwa kesan pertama terhadap seorang karakter biasanya timpang atau meleset. Pembaca cenderung untuk mereduksi karakter tersebut ke dalam stereotipe-stereotipe tertentu yang sudah dikenal. Karakter seseorang pada sebuah cerita dapat diidentifikasi dengan beberapa macam bukti.

Menurut Panuti-Sudjiman (1990:79), tokoh atau character adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Peristiwa atau perlakuan di dalam cerita tersebut menghasilkan karakter dalam diri tokoh tersebut.

Minderop (2011:2) menjelaskan bahwa metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Pembaca dituntun untuk memahami dan menghayati watak para tokoh melalui dialog dan action para tokoh.

Dalam menyajikan dan menentukan karakter para tokoh, pada umumnya pengarang menggunakan metode tidak langsung (showing). Metode showing memperlihatkan pengarang menempatkan diri di luar kisah dengan menampilkan perwatakan mereka melalui dialog (Minderop, 2011:6).

(19)

Karakterisasi melalui dialog terbagi atas: apa yang diakatan penutur, jati diri penutur, lokasi dan situasi percakapan, jati diri (KBBI, 2008:570) tokoh yang dituju oleh penutur, kualitas mental para tokoh, nada suara, penekanan, dialek, dan kosakata para tokoh (Minderop, 2011:23).

Nurgiyantoro (2013: 246) menjelaskan bahwa sama halnya dengan unsur plot dan pengeplotan, tokoh dan penokohan merupakan unsur penting dalam cerita fiksi. Persoalan plot dapat memunculkan pertanyaan mengenai: siapa yang diceritakan itu? Siapa yang melakukan ‘sesuatu’ dan dikenai ‘sesuatu’ yang di dalam plot disebut peristiwa, siapa pembuat konflik, dan lain-lain adalah urusan tokoh dan penokohan.

Dalam membicarakan sebuah karya fiksi, dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Menurut Nurgiyantoro (2013:247) istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah tokoh novel itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.

Penokohan dan karakterisasi juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan yang menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Karakter dapat berarti pelaku cerita dan dapat pula berarti perwatakan. Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang

(20)

dimilikinya, memang, merupakan suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu tidak jarang langsung mengisyaratkan perwatakan yang dimilikinya (Nurgiyantoro, 2013:247).

Sebagaimana dikemukakan Nurgiyantoro (2013:247), tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Walau tokoh cerita ‘hanya’ merupakan tokoh ciptaan pengarang, tokoh haruslah merupakan seorang yang hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri atas darah dan daging, yang memiliki pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi maka ia haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya. Jika terjadi seorang tokoh bersikap dan bertindak secara lain dari citranya yang telah digambarkan sebelumnya, dan karenanya merupakan suatu kejutan, hal itu haruslah tidak terjadi begitu saja, tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi plot sehingga cerita tetap memiliki plausibilitas. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2013:249).

Menurut Nurgiyantoro (2013: 258) tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut pandang mana

(21)

penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tujuan tertentu, seorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis sekaligus, misalnya sebagai tokoh utama dan tokoh tambahan.

Tokoh Utama dan Sampingan

Nurgiyantoro (2013:258) menjelaskan pembedaan tokoh ke dalam kategori ini berdasarkan pada peran dan pentingnya seorang tokoh dalam cerita fiksi secara keseluruhan. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita tersebut, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Sebaliknya, ada tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dengan porsi cerita yang lebih pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central character), sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (sampingan) atau tokoh periferal (peripheral character).

Menurut Nurgiyantoro (2013:259) tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan, pada novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita tersebut.

Tokoh utama sangat menentukan perkembangan plot cerita secara keseluruhan karena itu tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Tokoh utama selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik yang memengaruhi perkembangan plot.

(22)

Plot utama sebenarnya tidak lain adalah cerita tentang tokoh utama, bahkan kehadiran plot-plot lain atau subplot lazimnya berfungsi memperkuat eksistensi tokoh utama itu juga (Nurgiyantoro, 2013:259).

Di pihak lain, kemunculan tokoh-tokoh tambahan biasanya diabaikan, atau paling tidak, kurang mendapat perhatian. Tokoh tambahan biasanya diabaikan karena sinopsis hanya berisi intisari cerita. Tokoh utama dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari seorang walau kadar keutamaannya belum tentu sama. Keutamaan mereka ditentukan oleh dominasi, banyaknya penceritaan, dan pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2013:259).

1.4.4 Latar

Menurut Stanton (1965:18) latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor seperti sebuah kafe di Paris, pegunungan di California, sebuah jalan buntu di kota Dublin, dan sebagainya.

Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu seperti hari, bulan, tahun, cuaca, atau satu periode sejarah. Latar terkadang dapat berpengaruh pada karakter-karakter dan menjadi contoh representasi tema. Dalam berbagai cerita dapat dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang melingkupi karakter (Stanton, 1965:18).

Menurut Panuti-Sudjiman (1990:48), latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan keterangan mengenai suasana terjadinya lakuan

(23)

dalam sebuah karya sastra. Berhadapan dengan cerita fiksi, pada hakikatnya pembaca berhadapan dengan sebuah dunia yang sudah dilengkapi dengan para tokoh penghuni lengkap dengan berbagai permasalahan hidupnya. Namun, hal itu kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman kehidupannya itu memerlukan landas tumpu, tempat dan waktu serta aturan kehidupan bermasyarakat sebagaimana halnya kehidupan manusia di dunia nyata. Dengan kata lain, fiksi sebagai sebuah dunia, selain membutuhkan tokoh, cerita, dan plot juga butuh latar (Nurgiyantoro, 2013:302).

Tahap awal karya fiksi pada umumnya berisi penyituasian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan. Misalnya, seperti pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana, tempat, mungkin juga hubungan waktu, dan lain-lain yang dapat mengajak pembaca secara emosional kepada situasi cerita (Nurgiyantoro, 2013:303).

Latar memberikan pijakan secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Dengan demikian, pembaca merasa difasilitasi dan dipermudah untuk menjalankan daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar (Nurgiyantoro, 2013:303)

Menurut Nurgiyantoro (2013:314) latar memiliki beberapa unsur yang saling berkaitan dan saling memenuhi satu sama lain. Unsur latar tersebut dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu waktu, tempat, dan sosial-budaya.

(24)

Latar Tempat

Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis penting untuk mengesani pembaca seolah-olah hal yang diceritakan itu sungguh-sungguh ada dan terjadi (Nurgiyantoro, 2013:314—315)

Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan tersebut dalam sebuah karya fiksi. Masalah ‘kapan’ tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (Nurgiyantoro, 2013:318).

Novel membutuhkan waktu cerita yang panjang, tetapi tidak berarti menceritakan semua peristiwa yang dialami tokoh secara keseluruhan, melainkan dipilih peristiwa-peristiwa tertentu yang dramatik-fungsional dan mempunyai pertalian secara plot. Novel yang demikian biasanya memiliki jumlah halaman yang tebal. Sebaliknya, novel yang hanya membutuhkan waktu cerita yang singkat biasanya tidak hanya menceritakan kejadian-kejadian dalam waktu singkat, namun dapat menceritakan kejadian-kejadian yang detail pula.

(25)

Latar dapat saja menceritakan kejadian-kejadian lampau –tentunya yang berkaitan dengan peristiwa masa kini— dengan cara sorot balik, retrospeksi, yang mungkin lewat cerita atau renungan tokoh. Dengan demikian, novel jenis ini pun sebenarnya membutuhkan waktu cerita relatif panjang karena disiasati pengarang maka ia tampak menjadi singkat. Intinya, masalah pemadatan atau pemanjangan waktu ‘hanyalah’ masalah teknis penceritaan (Nurgiyantoro, 2013:321).

Latar Sosial-Budaya

Nurgiyantoro (2013:322) menjelaskan bahwa latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial-budaya dapat berupa kebiasaan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial-budaya juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya status sosial rendah, menengah, atau atas.

Latar sosial budaya berperan menentukan apakah sebuah latar, khususnya latar tempat menjadi khas, tipikal, dan fungsional, atau sebaliknya bersifat netral. Untuk menjadi tipikal atau lebih fungsional, deskripsi latar tempat harus sekaligus disertai deskripsi latar sosial-budaya, tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di tempat yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2013:322).

Nurgiyantoro (2013:323—324) mengatakan bahwa latar sosial-budaya memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial-budaya

(26)

masyarakat. Di samping berupa hal-hal yang telah dikemukakan, latar sosial-budaya dapat pula diperkuat dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek-dialek tertentu. Selain bahasa daerah, penamaan tokoh dalam banyak hal juga berhubungan dengan latar sosial-budaya. Untuk lingkungan sosial-budaya Jawa dan Bali, nama bahkan sekaligus menyaran pada status sosial-budaya dan kedudukan orang yang bersangkutan.

Nurgiyantoro (2013:325) menambahkan bahwa status sosial tokoh merupakan salah satu hal yang perlu diperhitungkan dalam pemilihan latar karena perbedaan status sosial menjadi fungsional dalam fiksi. Secara umum boleh dikatakan perlu adanya deskripsi perbedaan kehidupan tokoh yang berbeda status sosialnya. Keduanya tentu memiliki perbedaan tingkah laku, pandangan cara berpikir dan bersikap, gaya hidup, dan mungkin permasalahan yang dihadapi. Misalnya, kehidupan dunia buruh tentunya berbeda dengan seorang dokter, berbeda pula dengan seorang mahasiswa.

Atmosfer (Suasana)

Atmosfer berupa deskripsi kondisi latar yang mampu menciptakan suasana tertentu, misalnya suasana ceria, romantis, sedih, muram, maut, misteri, dan sebagainya. Suasana tertentu yang tercipta itu tidak dideskripsikan secara langsung, melainkan merupakan sesuatu yang tersarankan. Namun, pembaca umumnya mampu menangkap pesan suasana yang ingin diciptakan pengarang dengan kemampuan imajinasi dan kepekaan emosionalnya.

(27)

Latar dapat menggugah nada emosi di sekeliling tokoh. Ketika nada emosi tercermin dalam lingkungannya, nada identik dengan atmosfer. Atmosfer mencerminkan emosi tokoh atau merupakan bagian dari dunia di sekeliling tokoh (Stanton, 1965:19).

1.4.2 Tema (Theme)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008:1429), tema merupakan pokok pikiran atau dasar cerita sebagai dasar suatu karangan diciptakan. Menurut Stanton (1965:19), tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia, yaitu sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Sama seperti makna pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita.

Sekali lagi, sama seperti makna pengalaman manusia, tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema. Tema juga merupakan elemen yang relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita (Stanton, 1965:19).

Stanton (1965:4) menjelaskan bahwa tema memberikan kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang paling umum. Sebuah keberadaan tema tetap diperlukan karena tema menjadi salah satu bagian penting yang tidak terpisahkan dengan fakta-fakta cerita.

(28)

Menurut Stanton (1965:4), tema bukanlah sesuatu yang diungkapkan pengarang secara langsung melalui fakta-fakta cerita, tema juga bukanlah satu-satunya alasan mengapa suatu cerita dapat dikisahkan. Pengarang memanfaatkan tema sejauh tema memberikan makna pada pengalaman. Tema bisa mengambil bentuk yang paling umum dari kehidupan, bentuk yang mungkin dapat atau tidak dapat mengandaikan adanya penilaian moral.

Tema dapat berwujud satu fakta dari pengalaman kemanusian yang digambarkan atau dieksplorasi oleh cerita seperti keberanian, ilusi, dan masa tua. Bahkan, tema dapat berupa gambaran kepribadian salah satu tokoh. Satu-satunya generalisasi yang paling memungkinkan darinya adalah bahwa tema membentuk kebersatuan pada cerita dan memberi makna pada setiap peristiwa (Stanton, 1965:4).

Menurut Stanton (1965:21), cara mengidentifikasi tema sebuah cerita ialah biasanya pembaca karya sastra yang telah mahir akan membiarkan diri mereka hanyut oleh cerita yang sedang dibaca. Tidak hanya itu, biasanya mereka juga telah membekali diri dengan berbagai pengetahuan terkait karya dari penulis bersangkutan. Diketahui pula bahwa kerangka-kerangka kasar akan sangat diperlukan sebagai pijakan untuk menjelaskan sesuatu yang lebih rumit. Usaha ini dapat dimulai dengan gagasan-gagasan murni, terkait karakter-karakter, situasi-situasi, dan alur dari cerita itu.

Pembacaan dalam novel dilakukan dengan teliti sehingga detail-detail yang renik atau kecil dapat dikenali (detail-detail tersebut dapat menjadi senjata untuk

(29)

mengeliminasi makna-makna yang telah ‘terbentuk’ di dalam pikiran). Apa motifasi karakter-karakter tersebut? Apa problem-problem yang sedang mereka hadapi? Apa yang mereka lakukan untuk mengatasi problem-problem tersebut? Apakah dunia mereka dihadirkan dengan jujur (apakah yang baik maupun buruk mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang mereka perbuat) ataukah tidak, dua-duanya, ataukah tidak acuh, acuh, dan seterusnya (Stanton, 1965:21).

Cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya. Setiap aspek cerita turut dalam mendukung kehadiran sebuah tema. Oleh karena itu, pengamatan harus dilakukan pada semua hal seperti peristiwa-peristiwa, karakter-karakter, atau bahkan objek-objek yang sekilas tampak tidak relevan dengan alur utama. Jika relevansi hal-hal tersebut dengan alur dapat dikenali, keseluruhan cerita akan terbentang gamblang (Stanton, 1965:21).

Dalam menganalisis sebuah tema, Stanton (1965:22—23) memberikan beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut.

1. Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detail menonjol dalam sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang terpenting. Kesalahan terbesar sebuah analisis adalah terpaku pada tema yang mengabaikan/melupakan/tidak merangkum beberapa kejadian yang tampak jelas.

2. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling berkontradiksi. Pada intinya, pengarang ingin menyampaikan sesuatu. Tidak mungkin bagi pengarang untuk melawan maksudnya sendiri. Seorang pembaca hendaknya bersikap layaknya seorang ilmuwan. Pembaca harus selalu siap menerima berbagai bukti yang saling berkontradiksi. Selain itu, pembaca juga harus selalu siap untuk mengubah interpretasinya, kapan saja bila diperlukan.

(30)

3. Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit).

4. Terakhir, interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas oleh cerita yang bersangkutan.

Pendekatan yang diberikan Stanton mengenai kriteria yang harus dipenuhi dalam menganalisis sebuah tema di atas cenderung mirip dengan proses mekanis. Oleh karena itu, harus segera diingat bahwa proses mencari tema sama seperti halnya bertanya pada diri sendiri, “Mengapa pengarang menulis cerita ini? Mengapa cerita tersebut dituliskan”. Stanton (1965:23) menjelaskan bahwa kemampuan menelisik tema ke dalam setiap detail cerita (bagaimana memberi fokus dan kedalaman makna hidup pada pengalaman yang diutarakan) adalah keuntungan yang akan didapat nantinya.

Pada bagian depan telah dijelaskan alasan digunakannya teori Stanton. Untuk menguatkan teori tersebut, digunakan juga pendapat dari Nurgiyantoro. Menurut Nurgiyantoro (2013: 58), setiap teks kesastraan memiliki sebuah struktur unik dan khas yang menandai kehadirannya. Hal itulah yang membedakannya dengan teks-teks lain. Struktur itulah yang membuat teks menjadi bermakna, menjadi masuk akal, menjadi logis, dan dapat dipahami. Dalam hal ini struktur dapat dipahami sebagai sistem aturan yang menyebabkan berbagai elemen itu membentuk sebuah kesatuan yang bersistem sehingga menjadi bermakna. Makna kehadiran struktur tersebut menjadi benang merah yang menghubungkan tiap-tiap elemennya.

Jika membaca cerita fiksi, akan ditemukan sejumlah tokoh, berbagai peristiwa yang dilakukan atau dikenakan kepada tokoh, tempat, waktu, dan latar

(31)

belakang sosial budaya tempat cerita itu terjadi, dan lain-lain. Nurgiyantoro (2013:60) menjelaskan bahwa struktur dalam novel memberikan perhatian terhadap kajian unsur-unsur teks sastra. Analisis struktural pada karya fiksi terfokus pada unsur-unsur intrinsik pembangunnya, misalnya mengidentifikasi dan mendeskripsikan keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh, penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain.

Mempertanyakan makna sebuah karya sastra, sebenarnya, juga berarti mempertanyakan tema. Nurgiyantoro (2013:114) mengatakan bahwa setiap teks fiksi mengandung dan atau menawarkan tema, namun apa isi tema itu sendiri tidak mudah ditunjukkan. Tema yang merupakan motif pengikat keseluruhan cerita biasanya tidak serta merta ditunjukkan. Tema haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui cerita-cerita dan data-data (unsur-unsur pembangun cerita) yang lain dan itu merupakan kegiatan yang tidak mudah dilakukan. Usaha mendefinisikan tema sama halnya dengan mendefinisikan hal-hal yang tidak mudah.

Tema dapat pula disebut gagasan atau makna dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur yang semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan dilakukan secara implisit. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi tertentu (Nurgiyantoro, 2013:115).

(32)

Tema dalam banyak hal bersifat mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa-konflik-situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain karena unsur-unsur tersebut mendukung tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembang keseluruhan cerita, maka tema bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema memiliki generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak (Nurgiyantoro, 2013: 115—116).

Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Nurgiyantoro (2013: 116) menegaskan bahwa walau sulit ditentukan secara pasti, tema bukanlah makna yang terlalu disembunyikan, namun belum tentu juga dikemukakan secara eksplisit.

Panuti-Sudjiman (1990:78) mengatakan bahwa tema berarti gagasan, ide, ataupun pikiran utama di dalam karya sastra yang tertangkap atau tidak. Tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik. Tema dapat dijabarkan dalam beberapa topik. Tema terbagi menjadi dua, yaitu tema utama (mayor) dan tema sampingan (minor). Tema utama adalah tema yang dominan di dalam sebuah karya sastra. Tema-tema kecil lain di dalamnya disebut tema sampingan atau minor.

Menurut penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa dalam meneliti fakta-fakta cerita dan tema dalam novel Asrama Putri ini menggunakan teori struktur novel Robert Stanton. Namun, untuk memperkuateori dalam menganalisis

(33)

fakta-fakta cerita dan tema, penelitian ini juga menggunakan teori teori dari Nurgiyantoro, Minderop, dan Pujiharto.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2008:53). Melalui metode ini dihasilkan data-data deskriptif yang tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan selanjutnya. Data yang dideskripsikan berupa data verbal yang mengungkapkan alur, karakter tokoh, dan latar. Data verbal tersebut berupa baik kalimat-kalimat, dialog, maupun monolog dan karakterisasi dari pengarang dengan karakter tokoh dalam novel Asrama Putri. Secara keseluruhan dalam penelitian ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menentukan novel yang dijadikan objek penelitian yaitu novel Asrama Putri. Novel tersebut merupakan novel cetakan pertama pada tahun 2008. b. Merumuskan dan menetapkan masalah pokok penelitian.

c. Melakukan studi pustaka dengan mencari referensi yang mendukung penelitiansikan dan pembahasan unsur-unsur pembangun novel.

d. Menemukan dan menganalisis kualitas alur, tokoh, dan latar yang terdapat dalam Asrama Putri.

(34)

e. Menemukan dan menganalisis tema minor dan tema mayor yang terdapat dalam novel Asrama Putri.

f. Menyimpulkan hasil penelitian.

1.5 Sistematika Laporan Penelitian

Laporan penelitian ini akan disusun dalam bab-bab, sebagai berikut.

Bab pertama merupakan pendahuluan, bab ini mencakup (1) latar belakang penelitian, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) landasan teori, (6) metode penelitian, dan (7) sistematika laporan penelitian.

Bab kedua merupakan merupakan analisis fakta-fakta cerita yang terdiri dari unsur alur (2.1), tokoh atau penokohan (2.2), dan latar (2.3). Bab ketiga merupakan analisis tema yang terdiri dari tema minor (3.1), tema mayor (3.2). keempat adalah kesimpulan.

Referensi

Dokumen terkait

Antarcitra Trans, Diagram alir yang tersaji pada Gambar 5 merupakan alur logika aplikasi Sistem Informasi yang dikembangkan untuk penelitian ini. Gambar 5 Diagram Alir

Dalam pelaksanaannya, raskin memiliki tim koordinasi yang terdiri dari beberapa lembaga negara di mana salah satunya Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum

Menurut Jogiyanto (2005), Metode pengembangan sistem adalah metode- metode, prosedur-prosedur, konsep-konsep pekerjaan yang akan digunakan untuk mengembangkan suatu

spaces dapat dideskripsikan sebagai lingkungan terbangun yang berpusat pada manusia, disiplin evidence-based, yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendukung elemen

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Regenerasi Massa Sel Embriogenik Kedelai yang Diseleksi dengan Polyethylen Glicol 6000 (PEG), Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman.Balai

Selain itu, dari 150 data test yang telah diuji, menghasilkan dua kelas keberpihakan tweet pada Twitter berdasarkan hasil klasifikasi emosi yang telah dilakukan

Penerapan metode LVQ digunakan di dalam mencari bobot yang sesuai, untuk mengelompokkan vektor- vektor input ke dalam kelas-kelas yang telah diinisialisasikan pada