• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diterbitkan oleh: CV. Azizah Publishing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diterbitkan oleh: CV. Azizah Publishing"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

4

103 hlmn : 14 x 20 cm © copyright 2020 Azwim Zulliandri

Penulis : Azwim Zulliandri Editor : R. Azizah

Setting dan layout : Azizah Publishing Desain sampul : Miftahuddin Al-Afasyh

ISBN : 978-623-7784-57-9 Cetakan pertama : Juli 2020

Diterbitkan oleh: CV. Azizah Publishing azizahpublishing@gmail.com

www.azizahpublishing.com Redaksi:

Jl. Raya Kucur Krajan RT 10 RW 05/ Kec. Dau / Kab. Malang. Jawa Timur

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau

(5)

5

Kata Pengantar

lhamdulillahirobbil`alamiin ... segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis bisa merampungkan sebuah antologi cerpen yang berjudul Gadis

Penjual Tangis. Selawat bertabur salam senantiasa

tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad sallallahu

alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabat. Allahumaa sholli’ala Muhammad wa alaalihi Muhammad.

Dalam Q.S. Asy-Syarh (94) ayat 6, Allah subhannahuwataala berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. Ayat tersebut menjadi motivasi penulis dalam menyelesaikan antologi cerpen ini. Lebih dari separuh kumpulan cerpen ini penulis buat di tengah-tengah kesulitan yang penulis alami. Kesulitan yang juga dialami oleh seluruh lapisan masyarakat, yaitu pandemi virus korona (covid-19) yang mengguncang dunia. Sebagaimana kita ketahui wabah covid-19 sudah merajalela ke seluruh penjuru negeri bahkan dunia sehingga melumpuhkan kehidupan bersosial di tengah masyarakat.

Sebagai seorang guru, hadirnya pandemi covid-19 ini membuat aktivitas belajar mengajar di sekolah terpaksa dipindahkan ke rumah dan memang sudah diwajibkan oleh pemerintah untuk bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Alhasil, di sela-sela aktivitas penulis mengajar dalam jaringan (daring) #dirumahaja, penulis juga

(6)

6

menyempatkan untuk menulis beberapa cerpen dengan latar virus korona.

Antologi cerpen ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis, terkhusus kepada ibu—penulis memanggil “Ama”—yang sudah meninggal dunia tahun 2018 lalu. Penulis juga persembahkan antologi cerpen ini buat 4 saudara tercinta, keluarga besar di Padang, sahabat, rekan guru, dan siswa-siswa penulis baik siswa di Kota Padang maupun di Kota Batam.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Wiwik Darwiyati, S.S., M.Si., sebagai Kepala SMP Negeri 3 Batam yang telah memberikan kesempatan serta dukungan kepada penulis, baik moril maupun materil dalam penyusunan antologi cerpen ini. Ribuan terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan guru dan teman sejawat yang telah memberikan masukan yang sangat berharga terhadap cerpen-cerpen yang ada dalam antologi ini. Terima kasih yang sangat mendalam juga kepada peneribit Azizah Publishing yang telah menerbitkan antologi cerpen ini. Besar harapan penulis kiranya antologi cerpen ini dapat berguna bagi pembaca.

Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Tiada kesempurnaan dimiliki oleh seorang hamba Allah karena kesempurnaan hanyalah milik Sang Pencipta, Allah azza wajalla. Penulis menyadari bahwa antologi cerpen ini masih banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar antologi cerpen ini menjadi lebih baik ke depannya.

Batam, Juni 2020 Azwim Zulliandri

(7)

7

Daftar Isi

Gadis Hujan | 10 Air Mata Jingga | 18 Hingga Ujung Waktu | 28 Jodoh untuk Ayah | 39

Lelaki Tua Pendayung Sepeda | 49 Gadis Penjual Tangis | 57

Lepau Nasi Wak Deno | 66 Aku, Ibu, dan Penjual Sate | 74 Upacara Menabur Bunga | 84 Minggu Pagi di Kebun Pisang | 93

(8)
(9)
(10)

10

useduh kopi hitam sedikit gula. Kunikmati setiap teguknya sambil menunggu hujan reda. Tapi sepertinya hujan kali ini agak lama. Sudah sedari dua jam yang lalu hujan begitu deras. Dan sekarang derasnya masih akan menguyupkan badan. Sementara, genangan di parkiran kampus sudah hampir mencapai lutut orang dewasa. Terlihat sedan lawasku di sudut parkiran sudah separuh bannya ditelan air. “Waduuh, bisa mogok nanti nih,” batinku.

Kini, aku duduk seorang diri; masih enggan pergi dari kafe kampus ini. Bukan berarti aku tidak hendak pulang. Aku ingin menikmati seduhan kopi panas ini dulu, sembari menunggu hujan sedikit reda. Aku ingin menikmati alunan gemercik air yang turun dari atap kafe yang terbuat dari daun rumbia ini. Lagi pula, jalan besar di depan gerbang kampus sudah seperti batang air. Banyak motor dan mobil terjebak banjir. Aku takut, kalau kunekatkan pula meracak sedan tua itu, mogok pula ia nanti. Biarlah ia bermesraan dulu dengan genangan air. Sudah lama pula ia tidak mandi hujan seperti ini. Toh, genangannya belum mencapai knalpotnya. Jadi, masih dalam keadaan aman kurasa.

Ada banyak orang memang di kafe ini, mayoritas mahasiswa. Selebihnya beberapa dosen dan karyawan sepertiku. Aku merasa sepi di tengah keramaian ini. Mereka sibuk dengan android dan gawainya masing-masing diiringi dengan cekikikan tawa dan riuh yang begitu gempita. Suara mereka tak kalah dengan berisiknya derasnya hujan yang turun. Sepertinya mereka tengah sibuk memainkan permainan online.

(11)

11

“Payung, payung, payung ... ojek payung, Kak? Ojek payung, Bang? Payung, Om ....?” Terdengar suara-suara yang saling bersahutan menjajakan jasa ojek payung. Sudah menjadi kebiasaan di kampus ini, jika hujan mengguyur, akan banyak tukang ojek payung dadakan. Mereka memasuki halaman kampus sambil menawarkan jasa payung yang dimiliki. Umumnya, para pengojek payung ini masih bocah-bocah. Masih anak sekolah. Bahkan mungkin bocah yang putus sekolah. Mereka begitu bergembira menyambut turunnya hujan ini. Ada keceriaan dan harapan yang tergores dari wajah-wajah polos itu. Aku berpikir, bagaimana kalau aku mencoba jasa ojek payung ini. Mencoba bercengkerama dengan bocah-bocah itu.

“Sebentar lagilah, habiskan dulu kopi hangat ini. Setelah itu baru aku panggil salah satu pengojek payung itu,” kataku membatin. Aku pun mengamati para bocah itu menawarkan payung-payungnya. Ada bocah yang memiliki dua payung di tangannya, menawarkan satu payung kepada mitranya, dan satunya lagi untuk dia agar dia tidak terkena hujan. Ada juga bocah yang memiliki dua payung namun kedua-duanya diusahakan ada yang berminat menggunakannya. Tentu tujuannya adalah agar bisa mendatangkan pundi rupiah lebih banyak. Semakin banyak payung yang berhasil disewakan, semakin mudah jugalah rezeki si empunya payung. Namun, kebanyakan dari para bocah ini hanya memiliki satu payung. Mereka lebih bergembira menawarkan payungnya kepada para mahasiswa dan warga kampus ini sambil bermain hujan. Payung diserahkan kepada mitranya, sedangkan ia asyik

(12)

12

bercengkerama dengan hujan. Amboi, mengasyikkan sekali para bocah pengojek payung ini.

Kuteguk lagi kopiku yang mulai mendingin. Ini tegukan terakhir. Lantas kurogoh saku sembari mengeluarkan uang ribuan. Kopi senikmat ini sama harganya dengan ongkos naik angkot ke pusat kota yang berjarak 8 km dari kampus ini. Sangat murah.

Setelah membayar, kualihkan pandangan kepada bocah-bocah pengojek payung itu. Mataku terpaku pada gadis kecil bertubuh mungil memakai kerudung berwarna ungu. Aku takjub. Hujan-hujan begini gadis kecil itu tetap berkerudung. Padahal, dia masih bocah. Belum ada kewajiban untuk berhijab. Sedangkan putri tunggalku, Keysha, yang sudah duduk di bangku 3 SMP—sudah aqil

baligh tentunya—kubiarkan saja tanpa jilbab ketika hendak

keluar rumah. Aku beranggapan, selagi masih berpakaian sopan tidak masalah. Tapi aku sangat melarang kalau Kesyha berpakaian ketat, mini, dan dapat membangkitkan birahi lawan jenisnya. Aih, gadis mungil ini tetiba serasa

telah mengajari aku mendidik anak. Aku kagum saja dengan pakaiannya yang seperti itu.

“Payung! Dek, sini! Tolong antarkan bapak ke parkiran sana,” kataku sedikit berteriak kepada gadis mungil itu sambil menunjukkan tangan ke arah parkiran.

Dia menoleh ke arahku. Segera ia berlari-lari kecil. “Bapak panggil saya?” tanyanya.

“Iya. Berapa ongkosnya ke sana?” tanyaku padanya seraya menujuk ke arah parkiran. Cukup dekat memang jarak antara kafe ini dengan parkiran, sekitar 200 meter

(13)

13

saja. Namun, dengan hujan yang seperti ini, tentu membuat baju dan tubuhku menjadi kuyup juga.

“Seikhlasnya saja, Pak,” jawabnya.

“Oke deh. Sini payungnya. Tapi, Adek jangan hujan-hujanan lagi, ya. Nanti sakit,” bujukku padanya. Sebenarnya aku tidak mengkhawatirkan gadis kecil ini sakit, tetapi hanya sekadar berbasi-basi. Toh, badannya juga sudah basah. Dan lagi pula, kurasa daya imun tubuh anak ini cukup kebal. Sudah terbiasa dengan kerasnya hidup sepertinya. Sebagaimana dulu aku kecil yang juga merasakan kerasnya hidup. Berpanas-panas dan berhujan-hujanan menjajakan gorengan yang dibuat ibu. Hm ..., gadis ini mengingatkan masa kecilku seperempat abad yang lalu. Masa-masa ketika aku SMP harus berjuang mencari uang hanya untuk sekadar jajan.

“Sudah biasa kok, Pak. Insyaallah gak bakalan sakit. Lagi pula saya senang bermain dengan hujan. Dengan hujan, rindu ini akan tercurahkan layaknya kemarau bertemu hujan. Dengan hujan, saya seolah merasakan kehadiran rahmat dan malaikat. Tidak ada alasan untuk membenci hujan, Pak. Sebagaimana hujan juga tidak akan pernah membenci bumi,” jawab gadis kecil ini penuh makna yang dalam. Kata-katanya membuat aku terkagum. Pintar sekali ia merangkai kata. Anak cerdas! Semakin tertarik hatiku untuk bercengkerama lebih lama dengannya.

Kuambil payung yang telah ia sodorkan kepadaku. Sekarang payung telah terkembang melindungi seluruh tubuhku. Gadis kecil ini tepat berada di sampingku. Namun, ia tidak mau sepayung denganku. Ia lebih asyik mengiringi langkah pelanku. Sesekali ia juga mendahuluiku dengan

(14)

14

berlari-lari kecil sambil beramah-tamah dengan bocah pengojek payung lainnya. Kini gadis kecil itu sibuk dengan gemercik air yang ia mainkan. Sesekali ia mengusap wajahnya yang manis. Ia nampak bersahaja. Aku pun mengajaknya berbicara. “Dek, namanya siapa?” tanyaku memecah kesibukannya bermain hujan.

“Tuti, Pak,”

“Hm, Tuti .... Sekolah di mana, Tuti?” kataku seraya menyunggingkan senyum terbaik untuknya.

“Tuh, di sana, Pak.” Ia menunjuk ke arah selatan kampus ini.

“SDN 05?” tanyaku lagi.

“Iya, Pak. Tuti baru kelas 4 SD.” Dia menyorongkan empat jarinya ke arahku. Kemudian dia terus melaju seolah menjemput hujan.

“Alhamdulillah,” kataku dalam hati. Aku berpikir gadis ini adalah anak putus sekolah. Bahkan hatiku pun berkata gadis kecil ini adalah korban eksploitasi orang tuanya. Memanfaatkan kepolosan anaknya demi meraup keuntungan, karena impitan ekonomi di era serba sulit ini. Di berita-berita televisi nasional banyak kudengar yang begitu. Untung dugaanku kali ini salah.

“Tidak marahkah ayah-ibu Tuti kalau hujan-hujan gini?” Sengaja aku bertanya begitu untuk memancingnya agar bisa bercerita lepas denganku.

Langkahnya terhenti setelah aku bertanya begitu. Ia menolehku. Lalu menatap penuh harap. Ada murung menggelayut dari raut wajahnya. Aku pun menjadi belas melihat air mukanya yang seperti itu. Lalu kuberikan ia

(15)

15

senyum hangat seraya berkata, “Maaf, apa pertanyaan bapak salah? Kenapa Tuti menjadi sedih kayak gitu?”

“Hm ... tidak apa-apa, Pak. Tuti jadi ingat ayah-ibu saja.”

“Emang kenapa dengan ayah-ibu, Tuti?” tanyaku penasaran.

“Ayah-ibu Tuti sudah tidak ada, Pak. Ayah-ibu sudah tenang di sana,” jawabnya. Lantas ia menengadahkan kepalanya. Dipandanginya langit seolah berbicara dengan hujan. Dibiarkannya terpaan rinai membelai wajah manisnya. Selang beberapa saat ia menoleh ke belakang, menghadapku sambil berkata, “Sudah lebih satu tahun ayah-ibu menghadap-Nya.”

Aku merasa belas padanya. Kuseka wajahnya dengan punggung tanganku. Terasa hangat di pipinya. Kehangatan yang berasal dari air mata tentunya. Tangisnya tak jelas karena bercampur dengan rintik hujan.

Lagi-lagi aku jadi ingat anakku, Keysha. Membayang pikiranku kalau seandainya gadis kecil di depanku ini adalah Keysha. Hus, segera kubuang jauh-jauh pikiran itu. Tak sanggup aku. Selama ini, Keysha hidup dengan kasih sayang dan manja yang kuberikan bersama istriku. Tak pernah kebutuhannya luput dari pantauan kami. Segala yang diinginkan dan dibutuhkan Keysha pasti kami sanggupi. Hm, nasib Tuti tak seberuntung Keysha.

“Sudah, Tuti tidak usah bersedih. Kalau Tuti bersedih, ayah-ibu Tuti nanti juga ikut sedih di sana,” kataku mencoba untuk menghiburnya. Wajahnya terlihat mengeluarkan senyum tipis. Bola matanya tampak masih berkaca-kaca.

(16)

16 “Iya, Pak,” jawabnya singkat.

Aku seolah kehilangan kata-kata untuk bertanya. Takut nanti kalau gadis di hadapanku ini lagi-lagi mengeluarkan air mata. Maka aku pun lebih memilih diam. Lagi pula, beberapa detik lagi aku sampai di mobil.

***

“Banyak amat, Pak? Tuti ndak ada kembaliannya,” kata Tuti setelah ia kuberi uang kertas bergambar Sang Proklamator Indonesia.

“Ambil saja untuk Tuti, buat kebutuhan sekolahnya. Anggap saja ini hadiah dari seorang ayah,” kataku seraya mengusap lembut jilbab ungunya.

Agak lama ia meraba dan membolak-balikkan uang kertas berwarna merah itu. Ada raut gembira di wajahnya. Pertanda ia sangat menyukai pemberianku ini.

“Terima kasih banyak, Pak,” ucapnya singkat. Kemudian ia kembali melaju mengejar hujan. Mataku ikut mengekori tiap jengkal langkahnya yang riang. Kembali terngiang kata-katanya: Tidak ada alasan untuk membenci

hujan, sebagaimana hujan juga tidak akan pernah membenci bumi. Kembali aku teringat putriku yang tidak suka

mengenakan jilbab.

“Terima kasih, Gadis Hujan,” ucapku membatin ketika Tuti menghilang dari pandangan.

(17)
(18)

18

angit sudah jingga. Kepakan bangau disertai kicauannya terdengar sayup-sayup di telinga. Perahu-perahu pencari ikan telah tertambat di tambatannya masing-masing. Wajah-wajah lelah nelayan seolah sirna dengan hasil tangkapan yang lumayan banyak. Ditambah lagi kedatangan mereka disambut dengan senyum manis keluarganya, yang sedari tadi menunggu kehadirannya di tepian pantai. Rasa lelah seharian berlayar di tengah laut sirna sudah.

Para nelayan bergegas pulang ke rumahnya. Sebentar lagi kumandang azan magrib akan terdengar. Hasil tangkapan tadi segera dibawa ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk dijual. Lumayan, hasil tangkapan hari ini bisa untuk mencukupi kebutuhan satu minggu ke depan. Namun demikian, bukan berarti para nelayan tidak melaut esoknya. Mereka tetap melaut sampai suatu saat kondisi alam tidak memungkinkan mereka untuk tetap melaut.

Begitulah kehidupan Fais dan para nelayan lainnya di Kampung Pinggir, sebuah kampung nelayan yang berada di pinggir kota besar. Sebuah kampung yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Sebuah kampung yang kaya dengan hasil lautnya namun berbanding terbalik dengan keadaan ekonomi penduduknya. Sementara di seberang lautnya, gedung-gedung pencakar langit milik negara tetangga sangat jelas dilihat dengan mata telanjang.

Sehari-hari Fais dan nelayan lainnya menghabiskan waktu di tengah laut. Sebenarnya, menjadi nelayan bukanlah kehendak hati Fais. Sedari kecil ia bercita-cita untuk menjadi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Namun apa daya, ia terpaksa mengubur

(19)

19

impiannya itu dalam-dalam. Tepat sepuluh tahun lalu, ketika ia hendak melanjutkan pendidikan di salah satu SMA Negeri favorit yang ada di kotanya, yang hanya berjarak 2 km dari Kampung Pinggir, namanya yang semula ada di daftar calon siswa baru, tiba-tiba menghilang bak ditelan bumi. Padahal, nilainya cukup tinggi untuk masuk ke sekolah itu. Ia sempat menanyakan itu pada pihak sekolah. Namun, pihak sekolah memberi penjelasan yang tidak memuaskan, yang membuat Fais merasa sakit hati.

“Kenapa bisa begini, Bu? Nilai saya bagus. Kemarin nama saya ada di urutan 91. Lantas, sekarang kenapa tidak ada?” wajah Fais merah menahan marah kepada ibu yang di hadapannya kala itu.

“Masak iya? Ananda salah lihat nama mungkin,” kata ibu berkacamata tebal itu.

“Sungguh, Bu. Saya tidak berbohong. Ibu lihatlah nilai saya ini. Semua bagus. Dan jika dibandingkan dengan nama yang ada di daftar ini, harusnya nama saya ada dalam urutan 100 besar. Nah, sedangkan sekolah ini menerima sebanyak 200-an orang siswa baru. Ke mana nama saya, Bu?” kata Fais memelas kepada ibu di hadapannya itu sambil melihatkan nilai-nilainya.

“Kalau begitu, itu bukan urusan ibu. Yang jelas nama Ananda tidak ada lagi di sini. Itu artinya, Ananda tidak diterima di sekolah ini. Mungkin sekolah ini tidak cocok dengan Ananda. Cobalah untuk mendaftar tahun besok, atau Ananda mendaftar ke sekolah lain,” jawaban ibu itu membuat Fais semakin benci.

Sekolah itu adalah harapan satu-satunya bagi dia. Kalau mendaftar di sekolah lain—apalagi swasta—tak

(20)

20

sanggup keluarganya untuk membiayainya. Maka, ayah Fais pun memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya.

“Kota ini terlalu kejam buat kita yang melarat ini. Kau tahu kenapa kau tidak diterima di sekolah itu? Karena kita tidak memberikan ‘uang bangku’ kepada sekolah! Coba kita beri barang sejuta dua juta, pasti kau diterima. Kau tahu? Namamu itu sebenarnya ada, cuma telah digantikan oleh anak pejabat di kota ini,” begitulah kata ayah Fais ketika ia memberi kabar bahwa ia tidak diterima di sekolah impiannya itu.

Maka sejak itu, Fais menjadi pemuda yang lebih banyak menghabiskan hari-harinya di tengah laut. Ia mencoba tabah dan ikhlas untuk menerima kenyataan. Tak lagi dipikirkan sekolah. Tak lagi dipikirkan cita-citanya menjadi TNI AL. Menahan terik matahari dan dinginnya air laut sudah menjadi makanan sehari-harinya. Lautlah yang menjadi harapan satu-satunya bagi Fais.

Hidup di laut dan berbaur dengan para nelayan-nelayan lainnya yang jauh lebih tua darinya, membuat pola pikir Fais semakin matang dan dewasa. Maka tiga tahun semenjak ia putus sekolah, ia pun memutuskan untuk membina kehidupan rumah tangga bersama gadis Melayu pujaan hatiya, Rani. Gadis yang dikenalnya di Dermaga Pulau Sumbu ketika hendak menjual hasil tangkapan ikannya kepada masyarakat. Gadis yang juga merasakan pahitnya putus sekolah karena terbentur biaya dan pola pikir keluarganya yang teramat picik dengan pendidikan perempuan.

Di usia 18 tahun, Fais telah menambatkan hatinya kepada Rani dan bertekad akan selalu sehidup sesurga,

(21)

21

berjanji untuk selalu membimbing Rani di jalan-Nya. Rani pun demikian, ia sudah bertekad untuk menjadi istri yang baik dan patuh kepada suaminya.

Maka, suasana senja kali ini menjadi latar mereka berdua untuk pulang ke rumah kecilnya di tepian pantai Kampung Pinggir. Setiap kali petang menjelang, Rani dan keluarga para nelayan lainnya pasti menunggu Fais dan nelayan lainnya dengan penuh pengharapan. Berharap mendapat ikan yang banyak agar uangnya bisa dijadikan simpanan. Simpanan untuk masa depan. Dan Alhamdulillah, tangkapan Fais dan nelayan lainnya kali ini lumayan banyak. Senyum semringah Rani terpancar dalam raut rupanya yang ayu. “Ayo, Mas, kita segera pulang. Azan sudah berkumandang,” kata Rani pada Fais seraya mengenggam erat tangan suaminya itu.

***

“Aku berangkat dulu ya, Ran,” kata Fais pada istrinya setelah meneguk teh hangat buatan Rani. Tak lupa Fais membawa bekal yang sudah disiapkan oleh Rani. Sebuah rantang yang berisi nasi, lauk ikan asin, sayur, dan beberapa buah pisang sudah tersusun rapi dalam rantang yang diletakkan Rani di meja teras rumahnya. Bekal yang cukup untuk mengganjal perut di tengah laut nanti.

Rani yang tengah sibuk beres-beres di ruang tengah, segera menghampiri suaminya itu. “Ya, Mas. Hati-hati, ya. Semoga tangkapan kali ini melimpah. Seperti kemarin,” kata Rani tersenyum seraya mencium punggung tangan Fais dengan takzim.

(22)

22

Sejurus kemudian, pasangan suami istri itu saling bertatapan. Tatapan penuh kasih dan sayang. “Jangan balik larut petang ya, Mas,” kata Rani memecah kesunyian. Ia tersenyum, “nanti sore adik tunggu Mas di bibir pantai Kampung Pinggir ini,” lanjutnya.

“Iya. Engkau jaga diri baik-baik. Jangan sampai kelelahan. Jaga baik-baik calon buah hati kita. Doakan semoga tangkapan hari ini melebihi dari yang kemarin,” kata Fais seraya mengusap lembut perut Rani yang mulai membesar.

“Baik, Mas,” patuh Rani.

Sebenarnya, tak sampai hati Fais meninggalkan Rani seorang diri di rumah. Apalagi kondisi istrinya itu saat ini tengah mengandung calon buah hati pertamanya. Calon buah hati yang sangat didamba-dambakannya. Calon buah hati yang sudah ditunggu hampir tujuh tahun pernikahannya. Dan usia kandungan Rani sekarang sudah memasuki 7 bulan. Tetapi begitulah, bagaimanapun Fais harus tetap melaut, mencari nafkah bagi keluarganya. Dia harus mempersiapkan semua kebutuhan Rani dan calon buah hatinya.

Semenjak kehamilan Rani, waktu Fais di tengah laut sedikit berkurang. Biasanya kalau melaut, Fais dan para nelayan lainnya akan menghabiskan waktu hingga berhari-hari di tengah laut. Namun, semenjak dapat kabar dari Rani bahwa ia tengah mengandung buah hatinya, maka Fais mau tak mau harus menyempatkan pulang tiap hari. Sudah lama ia menantikan kehadiran seorang anak di dalam keluarga kecilnya.

(23)

23

Dulu, di awal pernikahan mereka, Rani sempat hamil namun keguguran. Semenjak keguguran itu hingga usia pernikahannya memasuki usia ketujuh tahun, Rani tak pernah hamil lagi. Maka berbagai upaya telah dilakukan mereka untuk bisa mendapatkan seorang anak, terutama Rani. Pada masa suburnya, Rani selalu memperhatikan pola makannya. Ia akan sering mengonsumsi taoge, bayam, kacang tanah, brokoli, dan sesekali ia meminta uang berlebih pada Fais untuk membeli daging atau hati sapi.

Tidak sampai di situ, cara-cara yang berbaur mitos pun juga telah dilakukan Rani. Mulai dari menempelkan perutnya kepada tetangganya yang tengah hamil tua, menginjak jempol kaki ibu hamil, hingga mencuri celana dalam ibu hamil milik tetangganya. Hal itu dilakukan semata-mata untuk bisa ketularan hamil. Namun, cara yang seperti ini membuat Fais marah pada Rani, “Engkau seperti orang yang tidak beragama saja. Masih saja percaya dengan hal-hal yang begituan. Tidakkah engkau sadari bahwa cara itu merupakan suatu bentuk kesyirikan pada Allah? Jangan lagi engkau melakukan hal yang demikian! Cukup ini yang terakhir! Aku paham keinginanmu, keinginanku juga. Tapi aku tidak mau keluarga kita mendapatkan murka Allah,” kata Fais ketika itu.

***

Langit kembali jingga. Kepakan bangau disertai kicauannya kembali terdengar sayup-sayup di telinga. Ada mendung menggumpal pertanda hujan akan datang. Perahu-perahu pencari ikan telah tertambat di tambatannya masing-masing. Seperti biasa, kedatangan para nelayan

(24)

24

disambut oleh keluarga masing-masing. Namun, Fais tidak menjumpai Rani, istrinya. Ditolehkan pandangannya ke arah kerumunan masyarakat yang lain, tapi tak juga ia jumpai. “Barangkali di rumah,” batinnya. Maka ia urungkan pergi ke TPI bersama nelayan lainnya. Ia langsung bergegas menuju ke rumah.

“Apaa ...? Sepeninggal saya pagi tadi Rani tidak kenapa-kenapa. Sejak kapan, Pak Cik?” tanya Fais pada Pak Cik Rizal sesampainya ia di rumah. Fais kaget bukan kepalang mendapat kabar Rani dibawa ke puskesmas.

“Barusan, setengah jam yang lalu. Rani dibawa emak-bapakmu ke Puskesmas Kampung Pinggir. Sepertinya dia ada masalah dengan kandungannya. Segera engkau susullah dia,” kata Pak Cik Rizal menerangkan kepada Fais. Tanpa menunggu lama, Fais segera menuju ke puskesmas. Sesampainya di puskesmas, terlihat ayah Fais tengah bersitegang dengan petugas puskesmas. Raut wajah ayahnya tampak memerah. Sepertinya menahan amarah. Emaknya tampak diam membisu. Sementara Rani terlihat duduk terkulai di sebuah kursi sambil memegang perut besarnya. Tampak ia meringis kesakitan.

“Bilang saja kau butuh uang! Berapa uang yang kau

nak, ha? Sejuta? Atau dua juta?” kata Pak Mamad, ayah Fais

membentak petugas puskesmas. Si petugas tampak diam dan menunduk kaku.

“Ada apa ribut-ribut ini, Yah? Bu, bagaimana istri saya? Tolong selamatkan dia dan anak saya,” Fais memelas.

“Maaf, Pak. Bidan di puskesmas ini lagi keluar. Tadi beliau bilang ada urusan sebentar di rumah. Sudah saya hubungi beliau, tapi nomor HP-nya tidak aktif. Daripada

(25)

25

Bapak menunggu, sebaiknya istri Bapak dibawa ke Rumah Sakit Umum saja.”

Mendengar ucapan petugas puskesmas itu, Fais langsung mafhum dan segera membawa istrinya keluar dari puskesmas. “Tolong pesankan ke bidan di sini ya, Bu! Jika ingin mendapatkan berkah, bekerjalah dengan hati,” Fais meletakkan jari telunjuknya di dada. Tatapannya gagah memandang petugas yang menunduk. Ia berlalu meninggalkan petugas. Segera dicari transportasi daring Grabcar untuk menuju Rumah Sakit Umum yang jaraknya kurang lebih 15 km dari Puskesmas Kampung Pinggir. Dia terpaksa membawa Rani ke rumah sakit itu karena rumah sakit itu adalah rumah sakit pemerintah. Dia tidak mungkin membawa Rani ke rumah sakit swasta karena keterbatasan biaya. Di Rumah Sakit Umum, dia bisa memanfaatkan Kartu Indonesia Sehat yang memang diprogramkan untuk rakyat miskin seperti dirinya.

***

Langit sudah jingga. Matahari segera kembali ke peraduannya. Gumpalan cahaya jingga berbaur dengan gelapnya awan hitam yang menggantung di langit Kampung Pinggir. Sementara di puncak bukit yang menghadap ke laut, cahaya temaram obor dan lampu lentera menemani para penggali kubur dan pelayat.

Tepat siang habis zuhur tadi, berita duka telah menyelimuti Fais dan Rani. Buah hati yang didamba-dambakan selama ini harus lebih dulu menghadap Pencipta di usia yang tak sampai 24 jam.

(26)

26

Fais sangat terpukul. Namun, berusaha untuk tegar dan tabah. Matanya sembab menahan tangis. Sementara Rani masih berada di rumah sakit. Ia belum sadarkan diri. “Entah apa yang akan terjadi pada dirinya jika mengetahui anak yang dilahirkannya telah tiada,” batin Fais. Panjang pikirannya mengingat Rani. Tak kuasa bendunguan kokoh yang dibangun di kelopak matanya, akhirnya jebol juga. Air matanya jatuh berderai di atas tanah merah kuburan.

“Sudahlah, jangan kau turuti tangismu. Ikhlaskan dia,” kata Pak Mamad. “Sedari dulu, kota ini memang terlalu kejam buat kita yang melarat ini,” lanjutnya.

(27)
(28)

28

erani kau melawan perintah suami, heh?” Makian Ombeng membangunkan Dewi dari lelapnya. Dilihatnya jam di dinding kamar, menunjukkan pukul 6 tepat. Kalau mendengar suara ayahnya marah-marah seperti itu, maka tiada hal lain yang bisa dilakukan Dewi selain menangis dan mengurung diri di kamar. Dewi pun menunda untuk mandi. Dibukanya pintu kamar sedikit, untuk melihat apa yang terjadi di antara kedua orang tuanya itu.

“Hanya ini barang yang aku miliki, Da1). Itu pun

sengaja aku simpan untuk sekolah Dewi. Tahun ini, kata wali kelasnya, anak kelas tujuh harus menggunakan laptop untuk mengikuti ujian akhir semester,” suara Ratih bercampur sedu dan sedan. Mendengar ucapan ibunya itu, tak disadari air mata Dewi meleleh.

“Iya, aku tahu. Karena ini barang yang berharga, maka kupinjam dulu. Nanti pasti akan kukembalikan padamu. Bahkan kalau nanti aku ada uang, akan kukembalikan dengan berlebih!” Suara Ombeng meninggi.

“Tapi ..., untuk apa emas ini buat Uda?”

“Jangan banyak tanya! Kau mau tidak meminjamkannya? Yang jelas uang ini akan kupakai untuk usahaku. Untuk kau juga. Kalau usahaku berhasil, kau juga yang akan mendapatkan kesenangan. Iya, bukan?!” Suara Ombeng makin meninggi.

“Aku jadi curiga padamu, Da. Jangan-jangan emas ini kau pergunakan untuk ...”

Plaaaaaak .... seketika Ratih terdiam. Sebuah

tamparan menyentuh pipi lembutnya. “Kurang ajar. Dasar wanitaaa ...! Aaarrggh ... Aku bilang untuk usaha, ya untuk

(29)

29

usaha. Kau harus percaya pada suamimu! Sini, berikan emas itu!” Ombeng merampas sebuah cincin yang melekat di jari manis Ratih. Dewi melihat ibunya meringis kesakitan karena tamparan yang dilayangkan ayahnya. Setelah mengambil cincin, Ombeng berlalu keluar rumah sambil membanting pintu dengan kencangnya. Baru kali ini Dewi melihat ayahnya marah begitu hebat, sampai menampar ibunya segala. Biasanya—sepengetahuan Dewi—kalaupun ayahnya marah, ia hanya sebatas mengeluarkan kata-kata makian dan caruik puntang2).

Dihampiri Ratih yang masih berada di ruang tamu. Terlihat pipi ibunya itu memerah. Air matanya juga menggenangi kelopak matanya. Dewi pun menjadi belas melihatnya. Dipeluk ibunya itu dengan kehangatan. “Sudah, Bu. Hapus air mata Ibu. Kalau Ibu menangis, Dewi juga ikut sedih.”

“Ya, Nak. Sekarang kau pergi mandi. Nanti kau terlambat pergi sekolah. Kau harus rajin belajar, biar menjadi anak yang pintar. Hanya pendidikanlah yang akan menolong hidupmu kelak.” Dewi pun menuruti perintah ibunya.

***

Bahasa Indonesia adalah salah satu pelajaran yang paling disukai Dewi belakangan ini. Yang membuat Dewi sangat menyukai mata pelajaran ini adalah gurunya—Pak Wandi. Pak Wandi orangnya baik, pintar, serta humoris. Kalau belajar sama Pak Wandi, maka tidak terasa waktu berlalu dengan cepatnya. Tidak hanya itu, hal yang paling dikagumi Dewi dari sosok Pak Wandi adalah sosok beliau

(30)

30

yang tegas, tidak pandang bulu, dan berwibawa serta disegani oleh semua guru dan murid di sekolah.

Dengan hati yang penuh semangat, setelah belajar Matematika, sekarang tiba saatnya pelajaran Basaha Indonesia di jam terakhir. Dari kejauhan sudah terdengar hentakan suara sepatu kulit. Dari hentakan kakinya menunjukkan sedang berjalan dengan begitu cepat dan tergesa. Kalau sudah mendengar bunyi sepatu itu, maka anak-anak di kelas yang tadinya gaduh dan hiruk-pikuk, sekarang menjadi kasak-kusuk duduk rapi menyambut kehadiran PakWandi.

“Assalamualaikum ....” Pak Wandi mengucapkan salam dengan irama napas yang terengah-engah; tidak seperti biasanya yang diiringi dengan senyuman hangat.

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh ...,” jawab penghuni kelas kompak dan serentak kepada Pak Wandi.

“Sebelumnya bapak mohon maaf,” suara Pak Wandi bergetar, napasnya masih seperti tadi: terengah-engah. Beliau menarik napas dulu, lalu meminum air putih dalam botol minumannya. Kemudian beliau melanjutkan, “Bapak tidak bisa mengajar pada hari ini. Barusan bapak mendapat telepon dari rumah, bahwa istri bapak terjatuh di kamar mandi, sekarang dia lagi dibawa ke rumah sakit oleh anak bapak.”

Kelas pun menjadi hening. Dalam hati, Dewi merasa sedih atas informasi yang disampaikan oleh Pak Wandi. Tak lama berselang, Pak Wandi kembali bicara, “Sebagai gantinya, hari ini bapak tinggalkan tugas untuk dikerjakan. Tugasnya adalah mencari arti atau makna dari beberapa

(31)

31

pasal gurindam dalam Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji berikut ini dan mencari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.” Pak Wandi mengeluarkan spidol dari tasnya dan menulis sesuatu di papan tulis putih. Setelah Pak Wandi selesai menulis, Dewi dan penghuni kelas lainnya mencatat tulisan itu ke dalam buku latihan mereka masing-masing:

1) Barang siapa mengenal dunia,

tahulah ia barang yang terpedaya.

2) Barang siapa mengenal akhirat,

tahulah ia dunia mudarat. 3) Hati itu kerajaan di dalam

tubuh,

jikalau zalim segala anggota pun rubuh.

***

“Ke mana ayah, Bu?” tanya Dewi pada ibunya yang baru saja selesai melaksanakan salat magrib di musala kawasan rumah liar (ruli), Tanjung Uma.

“Tak tahu ibu, Nak. Sejak kemarin lusa ayahmu belum pulang. Sudahlah, jangan dipikirkan. Nanti ayahmu juga pulang.” Ratih meyakinkan anaknya sambil berlalu ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

“Assalamualaikum ..., assalamualaikum ....” Tetiba ada seseorang mengucap salam seraya mengetuk-ngetuk pintu. Dewi segera membuka pintu. Dan Mak Halimah—

(32)

32

pemilik warung kopi di dekat pangkalan ojek Pelabuhan Batu Hampar—berada di depan Dewi dengan wajah khawatir.

“Waalaikumsalam, Mak. Ada apa malam-malam begini ke sini?” tanya Dewi penasaran.

“Ibumu mana? Gawat, gawat. Ayahmu masuk rumah sakit. Saat ini beliau sedang dilarikan ke rumah sakit.” Mak Halimah mengabarkan suatu hal yang tidak disenangi Dewi. Dewi cemas dan teringat nasib ayahnya. Ratih pun menghampiri Mak Halimah. Tampak wajahnya begitu panik dan pucat.

“Ada apa dengan uda Ombeng, Mak? Apa yang terjadi dengannya?” tanya Ratih kepada Mak Halimah.

“Kata orang yang membawanya tadi, si Ombeng muntah-muntah setelah minum-minum. Aku juga tidak tahu terlalu jelas. Lebih baik lekas kau pergi ke rumah sakit,” perintah Mak Halimah.

“Baiklah. Terima kasih ya, Mak.” ***

“Kondisinya masih dalam keadaan kritis, Bu. Terlalu banyak alkohol yang masuk ke tubuhnya. Dan ini merupakan miras campuran. Ibu berdoa saja, semoga suami Ibu segera sadarkan diri.” Dokter itu juga sesekali memandang Dewi dengan tatapannya yang teduh. Sebelum bertolak dari ibu-anak itu, dokter itu juga mengusap kepala Dewi dengan lembut, “Anak manis, jangan bersedih. Ayahmu pasti sembuh. Apalagi jika kamu mendoakannya. Doa anak yang salihah seperti kamu ini pasti dikabulkan Allah.” Dokter itu berusaha menghibur Dewi.

(33)

33

Dewi melihat ayahnya terbaring di pembaringan. Di hidung Ombeng terpasang sebuah selang kecil. Hulu dari selang itu ada sebuah tabung berwarna biru. Sementara mulutnya menganga komat-kamit seperti ikan mas di kolam. Sesekali mulut itu mengeluarkan buih-buih putih. Dadanya turun naik, menandakan sesak napasnya. Dewi dan ibunya tampak cemas melihat kondisi Ombeng.

Dihampiri ayahnya lebih dekat lagi. Terlihat wajah ayahnya itu agak hitam dari biasanya. Dari udara yang diembuskan mulutnya, tercium aroma yang aneh bagi Dewi. Tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Yang jelas aroma itu tidak disukai Dewi dan memualkan perutnya. Lama-lama setelah diperhatikan betul mulut ayahnya, ada sesuatu yang ingin disampaikan dari gerakan bibir itu. Terus diamati Dewi. Sepertinya Ombeng ingin mengucapkan, “... mi, qi ..., qi ....”

Dalam hati Dewi berdoa, semoga ayahnya lekas sadarkan diri.

“Remi, ceki, qiu, biiiir ....” Entah sadar entah tidak, Ombeng mengucapkan sesuatu. Ia mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti Dewi. Tetapi yang diucapkan ayahnya begitu jelas. Sekarang mata Ombeng terbuka lebar. Putih matanya berwarna merah kekuning-kuningan. Tatapan matanya tajam. Tatapan yang mengandung ketakutan.

“Song3), qiu-qiu4), qiu delapan, balak enam, tiga satu,

delapan puluh, anggur meraaah, biiir ....” Ombeng meracau dengan kencang sambil menatap langit-langit ruangan IGD. Sesekali Ombeng juga ber-caruik puntang. Tangannya bergerak-gerak seolah memegang botol minuman. Dewi

(34)

34

berpikir, mungkin sakit yang didera ayahnya itu begitu perih. Dipegangnya tangan ayahnya itu. Panas sangat.

Dewi panik. Ibunya pun tak kalah panik. Segera Ratih pergi ke luar mencari dokter. Dewi mengekori ibunya. Ratih memanggil dokter yang memeriksa Ombeng tadi, “Pak Dokter, tolong suami saya. Badannya sangat panas,” air muka Ratih semakin cemas.

“Sebentar, ya, Bu. Saya memeriksa keadaan ibu ini dulu,” di depan dokter itu ada seorang pasien ibu-ibu. Sementara di samping pasien itu ada Pak Wandi. Dewi jadi ingat bahwa istri Pak Wandi juga masuk rumah sakit.

“Dewi?” sapa Pak Wandi dengan heran, “siapa yang sakit?”

“Ayah saya, Pak.” “Sakit apa?”

“Tidak tahu, Pak. Tadi sore ayah dibawa ke sini. Sepertinya sakit ayah sangat parah. Sekarang ayah ...,” Suara Dewi tertahan dan tersedu. Air matanya menetes. Pak Wandi serius menatap gadis manis itu. Timbul belas dan kasih Pak Wandi terhadap Dewi.

Suasana hening sejenak. Pak Dokter sibuk memeriksa istri Pak Wandi dengan stetoskopnya. “Masa kritis istri Bapak sudah lewat,” Pak Dokter berbicara pada Pak Wandi, “saya ke sana dulu ya, Pak,” sekarang langkah Pak Dokter menuju ke tempat pembaringan Ombeng. Pak Wandi ikut mengekori.

“Horeee, aku song ... Beri aku biir ....” Pak Dokter disambut dengan ceracauan Ombeng. Matanya melotot. Kepalanya menggeleng-geleng. Segera Pak Dokter dan

(35)

35

perawat-perawat yang lain memasang alat-alat di tubuh Ombeng.

Dewi semakin khawatir melihat keadaan ayahnya. Melihat keadaan ayahnya yang begitu, didekatkan mulutnya ke telinga si ayah. Ratih, ibunya juga melakukan hal yang sama. Mulut Ratih di telinga kiri Ombeng; Dewi di telinga kanan. Mereka membisikkan kalimat tahlil dan takbir. Namun, Ombeng semakin mengerang kesakitan.

“Aaarrggh ...” kali ini tatapan Ombeng beralih kepada Pak Wandi. Pak Wandi tak sanggup melihat keadaan Ombeng yang seperti itu. Pak Wandi keluar dari bilik yang hanya disekat dengan tirai hijau.

Dewi berbisik lagi ke telinga ayahnya, “Allaah ....” “Anggur ... biir ....”

“Dokter, selamatkan suami saya ...,” mohon Ratih pada Pak Dokter.

“Ya, Bu. Kami usahakan. Ibu berdoa saja.”

“Biiiiii...rr,” suara Ombeng bergetar. Dewi memegang tangan ayahnya. Tidak lagi sepanas tadi. Mata Ombeng melotot tajam.

“Dewi,” bisik Pak Wandi pada Dewi sambil menggemai bahunya, “coba perlihatkan ini ke ayahmu,” Pak Wandi memberikan HP-nya pada Dewi. Dalam HP itu ada sebuah gambar botol minuman bermerek “BIR BINTANG”. Gambar itu tidak asing buat Dewi. Dia sering melihat botol itu di kedai Mak Halimah.

“Tapi, apa maksud Pak Wandi memberikan HP dan gambar ini padaku?” batin Dewi.

“Biiii ....” suara Ombeng semakin melemah. Dewi memberikan HP Pak Wandi kepada ayahnya dan

(36)

36

memperlihatkan gambar botol minuman keras itu. Kali ini Ombeng mengangguk.

“Aneh, ada apa ini?” Dewi membatin.

“Biiii .. biiirr ... biiintaaang ....” suara Ombeng nyaris tak terdengar. Kini HP Pak Wandi ada dalam genggaman Ombeng.

Setelah HP itu digenggamnya, kemudian dicium dan dipeluknya erat. Matanya melotot tajam seraya menghirup udara terakhir. Setelah itu, Ombeng tak lagi bernapas. Dewi dan ibunya menjerit histeris. Seisi ruangan tertuju pada ibu-anak yang sedang meraung kencang. Pak Wandi mencoba untuk menenangkan Dewi. Dewi terus menangis dalam rangkulan Pak Wandi. Namun, dalam tangisnya ia teringat gurindam-gurindam yang diberikan Pak Wandi:

Barang siapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang terpedaya.

Barang siapa mengenal akhirat, tahulah ia dunia mudarat. Hati itu kerajaan di dalam tubuh, jikalau zalim segala anggota pun rubuh.

(37)

37 Catatan:

1) Da (Uda) : Panggilan untuk laki-laki yang lebih tua; mas atau abang

2) Caruik puntang : Sumpah serapah, kata-kata kasar dan kotor

3) Song : Permainan kartu; remi

4) Qiu-qiu : Permaianan kartu menggunakan kartu domino

(38)
(39)

39

ua tahun sudah kepergian mama. Luka dan duka masih terasa di hati ayah. Betapa tidak, lebih separuh umur ayah, mamalah yang selalu menemani dan membersamai. Dalam balutan cinta dan kasih sayang, mereka berdua akur dan tak pernah sekali pun ada percekcokan antara mereka. Hidup damai-bahagia meski dalam balutan kesederhanaan. Tentu, kepergian mama menghadap Sang Pencipta membuat ayah menjadi nelangsa.

Maka, hari-hari semenjak kepergian mama, ayah semakin taat untuk beribadah. Di sela-sela kesibukan ayah sebagai apoteker, tiada hari dihabiskan ayah hanya untuk beribadah pada Allah: salat wajib, salat-salat sunat, puasa rutin Senin-Kamis, mengaji, dan bersedekah. Dalam doa-doa yang dipanjatkan pada-Nya, tentu aku sangat yakin bahwa nama mama selalu takkan pernah luput dirapal ayah.

Ayah memang sudah mengikhlaskan kepergian mama. Dan anak-anaknya, termasuk aku, sangat yakin bahwa ayah adalah orang yang tabah dan penuh keikhlasan. Bertiga anaknya, senantiasa diajarkan untuk hidup dengan kesabaran dan keikhlasan. “Nak, ilmu yang paling sulit di atas dunia ini adalah ilmu ikhlas,” ucap ayah suatu hari ketika mengantarkanku ke pondok pesantren beberapa tahun lalu. “Namun meski sulit, kita harus senantiasa untuk mempelajari dan menerapkannya dalam kehidupan ini,” sambung ayah.

Namun sekarang, aku sangat khawatir dan prihatin dengan keadaan ayah. Semenjak aku dinyatakan lulus sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun lalu, dan harus hidup merantau di Kota Batam, tak tega sebenarnya

(40)

40

melihat ayah sendirian di rumah. Sudah berkali-kali aku mengajak ayah tinggal bersamaku di kota ini. Tapi beliau selalu menolak.

“Tidak. Ayah biar di sini saja. Di kota ini ayah mengenal mamamu. Di kota ini juga mamamu ayah nikahi. Dan kota ini jugalah mamamu berpulang. Kota Padang menjadi kenangan dan harapan bagi ayah. Jika pun ayah menemui ajal, ayah mau seperti mamamu: meninggal di Padang dan dimakamkan dekat mamamu. Jika ayah ikut denganmu ke Batam, kalau ayah rindu mamamu, bagaimana rindu itu ayah jemput? Jadi, biarlah ayah di sini saja,” kata ayah padaku saat liburan akhir tahun kemarin.

“Tapi, Yah, Ayah sendirian di sini. Siapa yang akan mengurus Ayah? Biarlah Ayah tinggal bersamaku saja,” kataku membujuk ayah ketika itu.

“Tidak, ayah tidak sendirian. Masih ada abang-abangmu yang akan berkunjung ke sini. Itu sudah cukup bagi ayah. Lagian di rumah ini ayah ada kesibukan menjaga apotek. Kalau ayah pergi bersamamu, apa kesibukan ayah nanti?” ayah balik bertanya.

Aku terdiam. Sejenak kupikirkan perkataan ayah ada benarnya. Aku memang sering kalah berdebat dengan ayah. Bagaimanapun aku membujuk dan merayu ayah, tidak akan pernah mempan. Cinta ayah memang sungguh luar biasa kepada mama. Tapi, di satu sisi, aku tak tega meninggalkan ayah sendiri.

Memang sih ada Bang Gaful dan Bang Sidiq di Sumatra Barat. Namun, semenjak keduanya berkeluarga, rumah mereka berdua—sebenarnya rumah mertua— menjadi berjauhan dari tempat ayah sekarang: Bang Gaful di

(41)

41

Bukittinggi, Bang Sidiq di Solok Seletan, sementara ayah di Padang. Lagi pula tanggung jawab mereka juga ada untuk anak-istrinya. Ah ... kenapa juga sih dulu aku ikut CPNS di Batam ini? Tiba-tiba muncul penyesalan yang seharusnya sangat tidak boleh kulakukan.

Bukan, aku bukannya tidak bersyukur, melainkan hanya prihatin dengan keadaan ayah. Aku bersyukur, bahkan bangga karena menjadi seorang PNS adalah impian mama. Mama sangat menginginkan anak-anaknya bekerja dengan baju seragam, entah dia itu menjadi TNI, poilisi, ataupun guru. “Yang penting mengabdi pada negara, PNS, dan berseragam. Gagah saja nampaknya,” kata mama padaku ketika beliau masih hidup. Dan alhamdulillah, dari tiga orang bersaudara, akulah satu-satunya yang berhasil mewujudkan impian mama itu. Namun, sebelum melihat anaknya mengenakan “baju”, mama terlebih dulu dipanggil Sang Pencipta. Mama, Mama ... aku jadi rindu.

Sebenarnya, sudah ada orang yang datang kepada ayah untuk menjodohkan ayah dengan karib kerabatnya. Ada yang janda anak dua, ada janda yang tidak beranak, bahkan ada juga yang masih gadis yang berumur 35-an tahun. Namun, semuanya ditolak oleh ayah.

Dulu, di masa ketika mama terbaring lemah mengalami kanker tulang, Bang Gaful, Bang Sidiq, dan aku, juga pernah menawarkan kepada ayah agar menikah lagi dan mama biarlah menjadi fokus kami mengurusnya. “Yah, mama sudah tidak bisa apa-apa lagi. Sudah lima tahun mama tergeletak, tidak bisa bergerak, dan tidak bisa bicara. Lumpuh total. Jika ayah ingin menikah lagi, kami izinkan. Kami kasihan dengan ayah. Di samping menafkahi keluarga,

(42)

42

ayah juga merawat mama. Biarlah kami bertiga yang merawat mama. Bukankah surga seorang anak, apalagi anak laki-laki terletak di kaki seorang ibu?” kata Bang Gaful ketika itu pada ayah.

“Soal menikah itu perkara gampang, Nak. Ayah bisa saja menikah, tapi ayah tak tega melihat mamamu berjuang sendirian. Mamamu membutuhkan ayah. Betul katamu, surga seorang anak terletak di kaki ibunya. Sudah seharusnya kalian merawat mama. Namun, seorang anak masih ada batasan-batasan dalam merawat ibunya, apalagi anaknya laki-laki semua. Dalam agama kita diajarkan, ada hadis mengatakan bahwa bila memasuki kamar ibu, kita harus mengetuk pintu dulu. Itu artinya kalian tidak leluasa, ayahlah yang lebih berhak atas segala yang ada pada ibumu karena ayah adalah suaminya. Kalian paham kan maksud ayah? Tidak ... tidak .... ayah tidak akan meninggalkan mama sendirian. Dari mama kalianlah ayah dianugerahi anak-anak soleh lagi rupawan seperti kalian. Ayah bersyukur dengan ini semua,” jawab ayah yang membuat kami bertiga tidak berkata-kata lagi.

Begitulah ayah kepada mama: cinta tulus ikhlas. Sakit yang diderita mama membuat ayah semakin cinta dan setia. Lebih dari 6 tahun mama mengalami kanker tulang. Hari-hari mama tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya berbaring di kasur atau sekadar duduk di kursi roda. Pagi hari, mama selalu dimandikan oleh ayah. Selesai mandi, mama diajak berjemur di teras rumah. Selesai berjemur, kembali masuk ke rumah. Disetellah siaran TV kesukaan mama oleh ayah sambil menyuapkan makanan. Setelah itu, ayah lantas membuka apotek yang ada di samping rumah.

(43)

43

Begitulah, hari-hari dilalui oleh ayah dan mama. Hingga akhirnya cinta mereka dipisahkan oleh maut.

***

Setahun berada di Batam membuatku mendapat keluarga baru. Semua orang di sekolah tempatku mengajar sangatlah ramah dan baik kepadaku. Sebagai guru baru di seolah ini, tak serta merta membuatku canggung. Hal itu karena rekan-rekan kerja sangatlah bersahabat. Di antara dari rekan kerja, ada satu orang yang sangat dekat denganku, yaitu Bu Rahma.

Bu Rahma orangnya sangat baik dan sangat perhatian padaku. Beliau juga berasal dari Padang. Namun, beliau sudah lama merantau di Kota Batam. Menurut cerita Bu Rahma, beliau di Batam ini sudah dari tahun 1995. Itu artinya, umur beliau di Batam sama dengan umurku, sudah seperempat abad. Sikapnya yang baik dan perhatian denganku mengingatkanku pada mama.

Karena mungkin berasal dari kota yang sama, aku lebih sering bercerita dengan Bu Rahma tentang keluargaku, terutama tentang ayah. Begitu juga Bu Rahma, beliau sering bercerita tentang anaknya yang kuliah di Padang. Bu Rahma sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. Jadi, apa pun keluh kesahku ditanggapi dengan baik oleh Bu Rahma.

“Oddi ndak usah sungkan ke ibu. Jika ada apa-apa atau sesuatu hal yang mengganjal bilang saja ke ibu. Ini di rantau, Oddi. Anggaplah ibu sanak saudara Oddi. Kita hidup di rantau ini harus pandai-pandai membawa diri,” kata Bu Rahma di awal perkenalan kami dahulu.

(44)

44

Awalnya aku mengira Bu Rahma bukanlah seorang janda. Namun, akhir-akhir ini aku tahu dari rekan guru yang lain bahwa Bu Rahma seorang janda. Mulanya aku sangsi dengan ucapan rekan guru tersebut. Maka dari itu, aku pun mencari informasi lebih lanjut terkait status Bu Rahma. Dan hampir dari semua rekan guru yang kutanya, mengiyakan.

“Ya, sebulan sebelum Oddi masuk ke sekolah ini, suami Bu Rahma itu meninggal karena serangan jantung,” kata Pak Hengki, guru Bahasa Indonesia bercerita padaku. Aku ikut prihatin.

Terbesit dalam pikiranku untuk menjodohkan ayah dengan Bu Rahma. Memang, mama tidak akan tergantikan di hati ayah, dan aku tahu itu. Barangkali juga Bu Rahma mungkin belum bisa melupakan suaminya. Tapi niatku ini adalah niat yang baik. Bahkan langkah ini dibenarkan dalam syariat agama, bukan? Bu Rahma janda dan ayah duda. Mereka tentu membutuhkan teman berbagi cerita untuk mengisi hari-hari tua. Lagi pula, menurutku, ayah dan Bu Rahma juga cocok. Ayah belum terlalu tua, masih 53 tahun. Sementara Bu Rahma dari Nomor Induk Pegawai (NIP) yang kulihat di buku absen, kelahiran tahun 1972. Itu artinya tahun ini masih berumur 48 tahun.

***

Hari ini aku mengajar hanya 2 jam pelajaran, dari jam pertama hingga jam kedua. Lumayan, ada banyak jam kosongku hari ini. Dan seingatku, hari Kamis adalah jadwal piketnya Bu Rahma. Kuniatkan dari rumah untuk membicarakan perjodohan ini dengan Bu Rahma. Ya, apa salahnya untuk berusaha? Kalau Bu Rahma setuju syukur,

(45)

45

kalau pun tidak setuju, juga tidak masalah. Namun, akan kuusahakan biar setuju. Aih, dasar aku.

Selesai aku mengajar, dengan perasaan yang cukup

deg-deg-an aku menuju meja piket. Benar saja, ada Bu

Rahma tengah duduk santai di sana. Aku coba mengatur strategi pembicaraan agar tidak terkesan gugup.

“Pagi, Bu Rahma, sendirian saja nih? Mana rekan piketnya, Bu? sapaku pada Bu Rama memecahkan kegugupanku.

“Eh, Oddi. Iya nih, ibu sendiri, yang lain pada ngajar,” jawab Bu Rahma.

“Hm, boleh Oddi temani, Bu? Oddi mau bicara serius nih sama Ibu ....” Aku mencoba menggoda Bu Rahma. Sebenarnya perasaan ini sangat gugup.

“Oh, ya, kenapa tidak? Kebetuluan ibu juga ingin bicara loh sama Odi. Juga masalah serius. Eh, kenapa kita bisa sama begini, ya?” kata Bu Rahma. Kemudian kami berdua tertawa ringan. “Ayo, duduk di sini, Oddi. Jadi, siapa duluan nih yang mau bicara? Ibu, apa Oddi?” sambung Bu Rahma.

Aku bingung mau menjawab apa. Karena perasaanku masih gugup, maka kupersilakan Bu Rahma bicara duluan. “Hm, untuk menghormati yang lebih senior, silakan Ibu dulu yang bicara,” kataku berusaha untuk menyembunyikan rasa gugup.

“Hm ... begini ..., tapi Oddi jangan tersinggung, ya. Dan jawab jujur, ya?” Bu Rahma memulai pembicaraan. Perasaanku semakin tidak enak. Aku semakin gugup di depan Bu Rahma.

(46)

46

“Oke, Bu. Santai saja. Akan Oddi jawab dengan sejujur-jujurnya,” kataku mencoba untuk tetap rileks.

“Oddi sudah punya calon belum?” pertanyaan Bu Rahma sungguh tak terduga. Aku semakin gugup mau jawab apa. “jawab jujur, ya,” lanjutnya.

Aku menelan ludah. Lantas kujawab, “Belum, Bu.” “Alhamdulillah .... jadi begini, ibu ada niat baik untuk Oddi. Oddi mau tidak ibu jodohkan dengan Winda, anak ibu yang kuliah di Padang? Tiga bulan lagi dia wisuda program magister. Tahun ini umurnya 24 tahun. Ibu takut nanti dia sibuk dengan pendidikan dan karier malah tidak kepikiran dengan jodoh. Ibu sering bercerita dengan Winda tentang Oddi loh,” ucapan Bu Rahmah membuatku semakin kikuk. Lalu beliau mengeluarkan gawainya, “Ini dia,” lanjut Bu Rahma sambil menyodorkan gawainya memperlihatkan foto Winda. Hm, cantik. Batinku.

Aku menyeringai dan sedikit tersenyum mendengar tawaran Bu Rahma. Senyumku mengandung kegetiran. Perasaanku semakin campur aduk. Ah, kenapa tidak aku

saja tadi yang duluan ngomong dengan Bu Rahma? Kalau sudah begini, aku menjadi tergigit lidah dengan Bu Rahma.

Gerutuku dalam hati.

“Kenapa senyum saja, Oddi? Anak ibu tidak cantik, kah? Oddi ndak suka, kah, dengannya?” tanya Bu Rahma semakin membuatku membisu.

“Hm...u...aanu, Bu ... bukan begitu,” jawabku gugup. “Ya sudah kalau begitu. Oddi ndak harus jawab sekarang kok. Oddi diskusikan dulu sama keluarga Oddi di kampung. Kalau pun Oddi tidak setuju juga tidak apa-apa,” kata Bu Rahma mencoba menghilangkan kegugupanku. “Oh,

(47)

47

ya, sekarang giliran Oddi, mau bicara apa? Katanya serius,” lanjutnya.

Aku terdiam sejenak, memikirkan kata-kata untuk Bu Rahma. Tidak mungkin aku sampaikan niat awalku. Takut nanti beliau tersinggung dan marah padaku. “Hm ... ini, Bu, Oddi boleh pinjam uang untuk bayar uang kontrakan rumah?” kataku berbohong pada Bu Rahma.

(48)
(49)

49

da pergi dulu, ya, Nun. Ini uang hasil jualan ikan pagi tadi. Pandai-pandailah berhemat karena tahun ini Anto akan masuk SMA dan Sila akan masuk SD,” kata lelaki tua itu kepada istrinya, Tek Nun.

“Iya, Uda,” ucap Tek Nun pada suaminya itu. Kemudian suaminya itu berlalu meninggalkannya. Dengan tubuhnya yang ringkih, diracak sepeda ontel menuju ke pantai. Digowes sepedanya dengan perlahan karena tenaganya memang sudah mulai melemah.

Meski tubuh sedikit membungkuk dan usia sudah tua, namun semangat Pak Talib untuk menafkahi keluarganya begitu luar biasa. Baru saja ia selesai menjual ikan hasil dari upahnya menarik pukat pagi tadi, lantas sekarang ia menuju ke pantai untuk menarik pukat lagi. Siang ini masih ada beberapa pukat lagi yang akan ditarik dari tengah laut.

Hari-hari Pak Talib memang dikenal sebagai penarik pukat dan pedagang ikan keliling dari kampung ke kampung. Pagi masih buta, ia sudah menggowes sepeda menuju pantai untuk menarik pukat. Setelah pukat itu ditarik bersama-sama, Pak Talib akan mendapat upah berupa ikan hasil pukatan. Setelah upah ikan itu didapat dari pukat yang satu ke pukat yang lain, dan jumlah ikannya juga sudah sampai satu ember baskom, lantas Pak Talib akan menjualnya ke kampung-kampung.

Ditaruh ember baskom berisi berbagai jenis ikan itu di besi boncengan belakang sepeda ontelnya. Dengan suara lantangnya, ia memecah keramaian pagi menjajakan ikan segar. Selain suaranya yang lantang, bel sepeda ontelnya juga menjadi penanda bagi masyarakat. Kalau sudah

(50)

50

mendengar suara dan bel sepedanya, maka ibu-ibu akan segera berkerumum untuk membeli ikan Pak Talib.

Sekarang, hasil penjualan ikan pagi sudah habis dan Pak Talib menuju ke pantai untuk menarik pukat lagi. Upah berupa ikan segar akan dijualkan lagi ke kampung-kampung yang lain hingga sore menjelang. Tak heran, banyak orang yang kenal dengan Pak Talib ini, terutama ibu-ibu yang menjadi langganan ikannya. Di umurnya yang hampir memasuki usia 70 tahun, semangatnya tak pernah henti-hentinya mencari uang.

Dia kenal dengan Tek Nun, istrinya yang sekarang pun juga berkat dari ia berkeliling kampung menjajakan ikan segar. Ketika itu, Tek Nun yang janda karena ditinggal pergi sama suaminya, sering dikasih ikan segar secara percuma oleh Pak Talib. Pak Talib merasa iba melihat keadaan Tek Nun yang janda dan harus menghidupi 2 orang anaknya yang masih kecil waktu itu: yang tua baru kelas 3 SD, sedang yang bungsu waktu itu masih hitungan bulan.

“Ambil saja, anggap saja itu sedekah dari saya,” ucap Pak Talib ketika itu.

“Waah, terima kasih banyak, ya, Pak,” ucap Tek Nun dengan memberi sedikit senyum.

“Iya,” jawab Pak Talib. Kemudian Pak Talib menggenjod sepedanya ke arah yang lain. Sejak saat itu, hampir dikatakan setiap hari Pak Talib bersedekah ikan kepada Tek Nun.

Hingga akhirnya, niat Pak Talib yang hanya untuk memberi sedekah kepada seorang janda menimbulkan berbagai pandangan masyarakat, baik kepada Pak Talib maupun kepada Tek Nun.

(51)

51

Masyarakat mafhum, Pak Talib seorang duda yang ditinggal mati oleh istrinya, sementara anak-anaknya laki-laki semua dan jauh pergi merantau ke berbagai penjuru negeri, sehingga Pak Talib hidup sebatang kara mengurus diri. Sementara Tek Nun, yang waktu masih mengandung anak keduanya, Sila, sudah ditinggal pergi oleh suaminya yang mata keranjang. Suaminya tega meninggalkannya yang tengah hamil tua, dan pergi kawin lari dengan tetangganya sendiri.

“Lelaki sialan, matilah kau! Pergilah jauh-jauh dan jangan kau pijak lagi rumah ini!” rutuk Tek Nun ketika itu. Tak terbendung air matanya banjir membasahi pipi ketika itu.

Awalnya, baik Tek Nun maupun Pak Talib tidak terpikir untuk menjalin hubungan rumah tangga. Apalagi usia mereka berdua sangat jauh berbeda. Ketika itu Pak Talib genap berumur 60 tahun, sementara usia Tek Nun 39 tahun. Namun, karena candaan dari beberapa ibu-ibu yang menjadi langganan Pak Talib, akhirnya mereka berdua menikah.

“Menikahi seorang janda itu, berpahala besar loh, Pak Talib,” gurau seorang pembeli Pak Talib.

Mendengar hal itu, Pak Talib juga menimpali dengan sedikit bergurau, “Kalau saya sih mau-mau saja. Saya duda, tidak ada yang urus. Tapi siapa pulalah yang mau dengan saya yang tua ini?” ucap Pak Talib ketika itu.

“Ah, Pak Talib terlalu merendah. Tek Nun itu sebenarnya sangat mau dengan Pak Talib,” kata ibu-ibu yang lain.

(52)

52

Pak Talib hanya tersenyum. “Tek Nun itu seperti anak dengan saya. Umur saya jauh lebih tua darinya. Tak mungkin Tek Nun itu mau dengan saya,” ucap Pak Talib.

“Ah, Pak Talib ini belum mencoba sudah menyerah. Jangan pesimis begitu, Pak Talib. Oke, kalau Pak Talib kurang percaya diri, biar kami-kami yang berusaha mendekatkan Pak Talib dengan Tek Nun,” ucap Tek Ros, kawan kecil Tek Nun.

Usaha Tek Ros dan ibu-ibu yang lain untuk membujuk dan merayu Tek Nun tidak sia-sia. Akhirnya, Pak Talib dan Tek Nun bersatu dalam tali pernikahan. Setelah menikah, kehidupan rumah tangga Pak Talib dengan Tek Nun bagaikan aur dengan tebing, sangat akur dan saling melengkapi. Mereka saling pengertian dan saling mengasihi satu sama lain meski jarak usia yang terpaut jauh.

Semenjak menikah itu pula, Pak Talib tak henti-hentinya bekerja keras. Bermodal sepeda ontel, semangat, dan sisa-sisa tenaga usia tuanya, ia menafkahi istri dan anak-anaknya. Sekarang, tanggungannya sudah ada 3 orang. Sedari kecil, dua orang anak Tek Nun dirawat dan diberi kasih sayang layaknya anak kandung sendiri. Tak disadari oleh Sila, anak yang bungsu, bahwa Pak Talib itu sebenarnya adalah ayah tirinya karena memang dari ayunan wajah Pak Taliblah yang selalu dilihatnya. Tek Nun pun belum pernah menceritakan siapa sebenarnya ayah kandungnya. Menurut Tek Nun, ayah kandung anak-anaknya itu telah lama mati. Begitupun dengan Anto, anak pertama, meski ia sadar bahwa Pak Talib bukan ayah kandungnya, tapi kasih sayang yang diberikan Pak Talib membuat Anto sangat menaruh hormat dan takzim kepada Pak Talib. Bahkan dia tidak

(53)

53

pernah setakzim ini kepada ayah kandungnya sendiri. Sama dengan Tek Nun, Anto sudah menganggap ayahnya telah mati. Ia sangat benci meski itu ayah kandungnya sendiri.

***

Sebuah mobil pick-up pengangkut telur ayam berhenti di halaman rumah Tek Nun. Tek Nun heran, tidak biasanya ada sebuah mobil terparkir di rumahnya. Selang beberapa saat, dilihatnya orang yang turun dari mobil tersebut. Seketika darah Tek Nun tersirap melihat orang yang turun. Seorang lelaki berbadan gempal, kulit hitam, dan berkumis tebal, berada di ambang pintu. Tidak asing Tek Nun dengan lelaki bertato di lengan kanannya itu. Lelaki yang akrab dipanggil Pak Kalek itu adalah mantan suami Tek Nun.

“Nun, mana anak-anakku? Aku sangat merindukannya,” ucap Pak Kalek.

Mendengar ucapan Pak Kalek, seketika Tek Nun langsung meradang. “Jangan berani-berani kau sebut mereka itu anakmu! Mereka bukan anakmu! Dan kau bukanlah ayah dari anak-anakku! Kau hanya iblis bagi kami!! Pergiii!!” teriak Tek Nun dengan geramnya kepada Pak Kalek sambil memeluk si bungsu Sila.

“Hei, sialan! Bagaimanapun dia adalah anakku. Jangan mentang-mentang kau telah bahagia dengan si tua bangka itu, lantas kau menghilangkan aku sebagai ayah kandungnya!” ucap Pak Kalek, lelaki paruh baya itu. Dia mencoba merangkul tubuh Sila. Namun sekonyong-konyong Tek Nun menolaknya. Tampak Sila sangat ketakutan sekali.

(54)

54

“Jangan berani kau sentuh anakku. Pergi dari sini! Jangan pernah injak rumah ini, Iblis!” rutuk Tek Nun seraya mengacungkan sebilah pisau.

“Oke, oke ... baiklah. Aku memang salah padamu, pada kalian semua. Tapi aku mohon, tolong katakan kepada dia, bahwa aku ini adalah ayah kandungnya,” Pak Kalek sambil mengundurkan langkah mencoba untuk menenangkan Tek Nun.

“Tidak! Bagi kami kau telah mati. Enyahlah dari sini. Cuih ....” ucap Tek Nun sambil meludah ke tanah.

Pak Kalek tak berkata-kata lagi. Ia sadar dengan sikap dan perbuatannya selama ini. Namun, perlakuan Tek Nun membuatnya sakit hati. Tapi, dia tidak kuasa untuk melawan. Dipandangnya Sila yang ada dalam pelukan Tek Nun. “Anakku, betapa mirip kamu dengan aku, ayahmu,” batin Pak Kalek. Bagaimanapun Sila adalah anak kandungnya. Darahnya, mengalir ke tubuh Sila yang hitam manis itu. Tiba-tiba, ada penyesalan dalam tubuh Pak Kalek. Dengan perasaan yang bercampur sedih dan sakit hati dengan perlakuan Tek Nun, ia pergi berlalu meninggalkan rumah yang pernah ia tempati dulu. Lantas, Pak Kalek pun kembali memasuki Mobil pick-up yang ia bawa. Diracaknya mobil itu ke jalan besar dengan suasana hati yang campur aduk.

***

Pak Talib terus menggenjot sepedanya. Hari sudah beranjak petang, namun ikan dalam ember baskom yang ditaruh di besi goncengan masih belum habis. Lelaki tua yang sudah ringkih itu masih semangat untuk menjajakan

(55)

55

ikannya. Kali ini, di remang-remang mentari senja, ia menyusuri jalan besar hendak menuju ke Pasar Kecamatan. Pak Talib berharap masih ada sedikit orang di pasar yang akan membeli ikannya.

Ia terus mendayung sepedanya. Diambil lajur kiri jalan besar itu. Dia melaju dengan sisa-sisa tenaga tuanya. Tatapan matanya yang renta tetap fokus ke depan. Sangat hati-hati ia melaju di jalanan yang biasa dilewati mobil-mobil truk. Maklum, jalan yang ia lalui adalah jalan lintas penghubung antarprovinsi.

Dengan bel sepeda dan suara lantangnya, ia mencoba untuk memberi kode kepada calon pembelinya. Namun, tidak ada orang yang tertarik dengan kode yang ia berikan. Kode yang diberikan hanya dianggap sebagai angin senja, berlalu begitu saja.

Beberapa ratus meter lagi, Pak Talib akan sampai di Pasar Kecamatan. Namun, saat sepedanya melaju di tikungan yang jalannya agak menurun, tiba-tiba sebuah mobil pick-up pengangkut telur ayam menyenggolnya. Pak Talib seketika langsung terpental di bahu jalan yang penuh semak belukar. Sepedanya ringsek seketika, dan ikan dalam ember baskom berceceran.

Sementara mobil yang menyenggolnya, berhenti sesaat. Saat si sopir melihat dari balik kaca spionnya, terlihat Pak Talib menarik napas panjang, kemudian diam dengan tenang. Melihat korban yang tenang tidak bergerak, si sopir tampak cemas dan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

(56)
(57)

57

anas begitu terik. Debu jalanan begitu liar menghampiri gadis kecil itu. Aku terus mengamatinya dari dalam mobil yang berhenti begitu lama karena lampu merah yang tak kunjung berubah hijau. Lampu merah di persimpangan jalan besar ini memang dikenal sangat lama. Aku yang di dalam mobil menggunakan masker. Sementara gadis kecil itu begitu kuat menentang matahari siang ini dengan tidak menggunakan masker. Padahal, wabah virus yang melanda negeri sangat rentan bagi gadis sekecil itu.

Pikiranku terus menari-nari melihat gadis kecil itu. Melihatnya di jalanan besar ini, membuat aku merasa belas padanya. Wajah gadis itu sepertinya manis, namun karena debu jalanan yang meyelimuti, menjadikan wajahnya terlihat kumal. Dengan tatapannya yang sayu dan wajah yang memelas, dia berjalan dari motor ke motor, mobil ke mobil untuk menengadahkan tangannya meminta recehan rupiah. Aku ikut prihatin melihatnya. Aku teringat Nabila, putri kecilku yang ada di rumah. Tak terbayangkan olehku jika gadis kecil itu adalah anakku.

“Betapa malangnya nasibmu, Nak ....” kataku membatin kepada gadis di jalanan itu. Terus kuamati dia. Kali ini langkahnya hendak menuju kepadaku. Tangan kecilnya terus menengadah. Ada ucapan lirih dari mulut mungilnya. Tiba-tiba dia mengetuk kaca mobil yang kukendarai.

“Om ... Om ....” ucap gadis itu lirih. Ada rasa iba aku melihatnya. Kemudian kubuka sedikit kaca mobil. Sebenarnya aku takut membuka kaca mobil, lantaran ada Tuan Zoel dan Nyonya Riska duduk di belakang. Musim

(58)

58

virus korona seperti sekarang ini, kedua majikanku itu sangat berhati-hati menjaga diri.

“Jangan terlalu besar buka pintunya, Arman,” ucap Nonya Riska kepadaku, “dan jangan kau sentuh tangan gadis itu. Apa kamu mau menularkan virus kepada kami?” sambungnya kepadaku.

“Baik, Nya,” ucapku. Lantas aku rogoh sedikit uang di sakuku. Kuberikan kepada gadis kecil itu tanpa menyentuh tangannya. Setelah itu, kututup rapat kembali kaca mobil.

“Kasihan Nyah, Tuan ... gadis sekecil itu harus merasakan kerasnya hidup di jalanan,” kataku kepada kedua majikanku. “Saya menjadi teringat anak saya di rumah, Nyah ....” sambungku kepada Nyonya Riska.

“Anakmu sebesar itu juga?” tanya Nyonya Riska. “Iya, Nyah, si bungsu. Baru 6 tahun. Tahun ini masuk SD,” jawabku.

“Berapa orang semua, Man?” tanya Tuan Zoel. “Tiga orang, Tuan. Masih kecil-kecil semuanya. Yang besar kelas 5 SD dan yang tengah kelas 4 SD. Semuanya perempuan, Tuan,” jawabku kepada kedua majikanku.

Tak berselang lama, tiba-tiba lampu merah berubah hijau. Gadis yang sedari tadi kuamati, kulihat mulai menepi ke bahu jalan. Aku lajukan mobil menuju ke utara, hendak mengantarkan tuan dan nyonya menemui rekan bisnisnya.

Aku memang baru satu minggu berada di kota ini dan bekerja sebagai sopir pribadi di keluarga Tuan Zoel. Sebelumnya, aku hanyalah seorang buruh pabrik yang di-PHK karena pabrik ditutup akibat virus korona yang melanda dunia. Ketika aku di-PHK, mandorku

Referensi

Dokumen terkait

(4) Isi Kurikulum satuan pendidikan Khusus cerdas istimewa dan bakat istimewa atau satuan pendidikan umum yang melayani peserta didik bakat dan cerdas istimewa berdasar adalah

Data hasil dari analisis tekstur kayu jati dengan Metode GLCM akan diklasifikasi dengan metode k-NN lalu untuk proses validasi akan dilakukan holdout di mana data yang

Dengan menggunakan ilustrasi yang sama pada PT asi yang sama pada PT Buana Karya dengan Buana Karya dengan asumsi perusahaan menggunakan metode biaya terpulihkan karena hasil

Menggunakan Pendekatan Saintifik dalam proses pembelajaran yang tergambarkan mulai dari kegiatan pendahuluan sampai dengan kegiatan penutup, pendekatan tersebut

muqaddamun ‘ala jalbi al-mashâlih (mencegah kerusakan itu didahulukan dari pada mendapatkan kemaslahatan). 145 Abdul Hamîd Hakîm di dalam kitab as-sullam menjelaskan mengenai

Metode Analisa dalam Pasar Uang Pasar uang yang dilakukan secara online melalui media internet, pada dasarnya adalah sebuah transaksi dagang yang membutuhkan

Dari tabel diatas didapatkan informasi bahwa pada hasil cluster 1 untuk kecamatan asal pasien banyak berasal dari kecamatan krian sebanyak 36 pasien. Untuk diagnosa

dan penyelamat berada di atas mangsa dengan muka mengadap antara satu sama lain. Penyelamat menyauk tangan mangsa yang berikat pada lehernya.. iv.Penyelamat merangkak