• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Pengantar Perpajakan

II.1.1. Pengertian Dan Fungsi Pajak

Definisi pajak menurut Soemitro. R yang dikutip Mardiasmo (2006), ”Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”(h.1)

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki ciri-ciri: 1. Merupakan iuran rakyat kepada negara

2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang

3. Tanpa jasa timbal (kontra prestasi) dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk.

4. Pajak digunakan untuk membayar pengeluaran umum yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

5. Pajak dapat dipaksakan (bersifat yuridis)

Menurut Mardiasmo (2006), ”Fungsi pajak ada dua, yaitu: 1. Fungsi budgeter

Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

(2)

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Contoh:

a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras utnuk mengurangi konsumsi minuman keras.

b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.

c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.” (h.3)

II.1.2 Syarat Pemungutan Pajak

Mardiasmo (2006) menjelaskan, ”Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

(3)

Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil)

Sesuai fungsi budgeter, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Contoh:

• Bea meterai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif. • Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu

10%.

• Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (orang pribadi).

(4)

II.1.3. Pengertian Dan Kedudukan Hukum Pajak

Mardiasmo (2006), mengemukakan bahwa, ”Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak.” (h.5) Ada 2 macam hukum pajak yakni:

1. Hukum Pajak Materiil

Memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.

Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan. 2. Hukum Pajak Formil

Memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil).

Hukum ini antara lain memuat:

a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.

b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.

c. Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.

(5)

II.1.4. Pengelompokkan Pajak Dan Tarif Pajak

Pengelompokkan pajak menurut Mardiasmo (2006) dibagi menjadi: 1. Menurut Golongannya

a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh: Pajak Penghasilan

b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai 2. Menurut Sifatnya

a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan

b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut Lembaga Pemungutnya

a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Meterai.

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

(6)

• Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi), contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.

• Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), contoh: Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Penerangan Jalan. Tarif Pajak ada 4 macam:

1. Tarif Sebanding/Proporsional

Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap nilai yang dikenai pajak.

Contoh: Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.

2. Tarif Tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.

Contoh: Besarnya tarif bea meterai untuk surat yang memuat nilai uang di atas Rp 1.000.000,00 adalah Rp 6.000,00.

3. Tarif Progresif

Pesentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

Contoh: Tarif PPh pasal 17 UU No.17 tahun 2000 untuk wajib pajak orang pribadi adalah:

• Sampai dengan Rp 25.000.000,00 5%

(7)

• Di atas Rp 50.000.000,00 - Rp 100.000.000,00 15% • Di atas Rp 100.000.000,00 – Rp 200.000.000,00 25% • Di atas Rp 200.000.000,00 35%

Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi menjadi:

a. Tarif progresif progresif : kenaikan persentase semakin besar b. Tarif progresif tetap : kenaikan persentase tetap

c. Tarif progresif degresif : kenaikan persentase semakin kecil 4. Tarif Degresif

Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

II.1.5. Tata Cara Pemungutan Pajak 1. Stelsel Pajak

Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel: a. Stelsel nyata (riel stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.

b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehinggga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.

(8)

c. Stelsel campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.

2. Asas Pemungutan Pajak

a. Asas domisili (asas tempat tinggal)

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.

b. Asas sumber

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.

c. Asas kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan kebangsan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku unutk wajib pajak luar negeri.

3. Sistem Pemungutan Pajak a. Official Assessment System

(9)

Adalah sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya:

• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. • Wajib pajak bersifat pasif.

• Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

b. Self Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

Ciri-cirinya:

• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.

• Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

• Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c. With Holding System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

Ciri-cirinya:

• Wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.

(10)

II.1.6. Timbul Dan Hapusnya Utang Pajak

Mardiasmo (2006) menjelaskan bahwa ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak, yaitu:

1. Ajaran Formil

Utang pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus. Ajaran ini diterapkan pada official assessment system.

2. Ajaran Materiil

Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.

Dan, hapusnya utang pajak menurut Mardiasmo (2006) dapat disebabkan karena beberapa hal:

1. Pembayaran 2. Kompensasi 3. Daluwarsa

4. Pembebasan dan penghapusan

II.1.7. Hambatan Pemungutan Pajak

Mardiasmo (2006) mengelompokkan hambatan terhadap pemungutan pajak menjadi dua, yaitu:

1. Perlawanan Pasif

Masyarakat enggan (pasif) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain: a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.

(11)

c. Sistem kontrol yang tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik. 2. Perlawanan Aktif

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.

Bentuknya antara lain:

a. Tax avoidance, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang.

b. Tax evasion, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).

II.2. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan II.2.1. Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 23

Pajak penghasilan pasal 23 memiliki dasar hukum yang mengatur tentang segala aspeknya, antara lain:

1. Pasal 23 Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

2. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 50/PJ/1994 tanggal 27 Desember 1994. 3. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 128/PJ/1997.

4. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 176/PJ/2000.

5. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 96/DPJ/2001 tanggal 21 Februari 2001. 6. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 170/PJ/2002 berlaku sejak tanggal 28

Maret 2002, mengatur tentang perkiraan penghasilan netto dan tarif efektif Pajak Penghasilan pasal 23.

(12)

8. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 tanggal 9 April 2007.

II.2.2. Dokumen Perpajakan Pajak Penghasilan Pasal 23

Dalam proses pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan pasal 23 harus dilengkapi dengan berbagai dokumen yang mendukung. Berikut ini adalah dokumen yang diperlukan mulai dari terjadinya transaksi sampai dengan pelaporan:

1. Kontrak kerja, yaitu surat perjanjian kerja sama pihak penerima jasa dengan pihak pemberi jasa. Dalam kontrak kerja harus dituliskan secara jelas mengenai jenis pekerjaan atau jasa, nilai kontrak, masa kontrak kerja, dan pajak yang dikenakan (PPN/PPh). Kontak kerja ini ditandatangani oleh kedua belah pihak. 2. Dokumen tagihan yaitu faktur pajak, invoice, kwitansi untuk melakukan

penagihan kepada pihak yang menerima jasa.

3. Bukti pemotongan Pajak Penghasilan pasal 23 yang dibuat oleh pihak yang melakukan pemotongan pajak, yaitu penerima jasa dan lembar asli diserahkan kepada pihak pemberi jasa.

4. Surat Setoran Pajak (SSP), yaitu surat yang digunakan sebagai sarana untuk menyetorkan pajak penghasilan pasal 23 yang telah dipungut ke kas negara. 5. Surat Pemberitahuan Masa (SPM) Pajak Penghasilan pasal 23, yaitu formulir

yang digunakan wajib pajak untuk melaporkan pajak penghasilan pasal 23 yang telah dipotong, dan disetor ke kas negara dengan dilampiri bukti pemotongan pajak penghasilan pasal 23 dan surat setoran pajak (SSP).

(13)

II.2.3. Kewajiban Dan Hak Wajib Pajak Dalam Pajak Penghasilan Pasal 23 Kewajiban wajib pajak baik dilihat dari segi pemberi penghasilan dan penerima penghasilan meliputi:

1. Mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).

2. Melakukan pemotongan pajak penghasilan pasal 23 atas penghasilan yang dibayarkan pemberi jasa yang merupakan objek pajak penghasilan pasal 23. 3. Membuat bukti pemotongan pajak penghasilan pasal 23 sebanyak 3 rangkap. 4. Menyerahkan bukti pemotongan pajak penghasilan pasal 23 kepada pihak

pemberi jasa lembar aslinya.

5. Menyetorkan pajak penghasilan pasal 23 yang telah dipungut ke kas negara paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur, maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya.

6. Melaporkan pajak penghasilan pasal 23 ke kantor pelayanan pajak setempat paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

Sedangkan, hak yang dapat diperoleh sebagai penerima penghasilan adalah: 1. Mendapatkan bukti pemotongan pajak penghasilan pasal 23.

2. Mendapatkan surat setoran pajak lembar ke-5 atas penyetoran pajak penghasilan pasal 23 apabila diperlukan.

(14)

II.2.4. Sanksi Perpajakan Pajak Penghasilan Pasal 23

Dalam melakukan kewajiban pajaknya, wajib pajak seringkali melakukan pelanggaran. Misalnya, terlambat melaporkan Surat Pemberitahuan Masa (SPM), tidak atau terlambat menyetorkan pajak yang terutang, atau menyetorkan pajaknya lebih kecil dari jumlah yang harus dibayarkan sehingga menimbulkan utang pajak. Atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak tersebut, pemerintah menetapkan sanksi, yaitu:

1. Sanksi Administrasi

• Bunga 2% per bulan maksimal 24 bulan bagi wajib pajak yang memiliki pajak kurang bayar.

• Denda administrasi SPT Masa Rp 50.000,00 bagi wajib pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh pasal 23.

• Kenaikan sebesar 50% (pasal 8 ayat 5 UU No. 16 tahun 2000) untuk pajak yang kurang bayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

2. Sanksi Pidana

• Dalam pasal 39 Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa bagi wajib pajak yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana

(15)

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

II.2.5. Pencatatan Dan Pembukuan

Berdasarkan Ketentuan Pasal 28 UU No. 9 tahun 1994 sebagaimana telah diubah seluruhnya dengan Pasal 28 UU No. 16 tahun 2000 menyebutkan bahwa wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.

Dalam Sirkuler No. SE-50/PJ.71/1989 menyebutkan 3 (tiga) arti pentingnya pencatatan dan pembukuan untuk perpajakan, yaitu:

1. Mempermudah wajib pajak dalam mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)-nya.

2. Mempermudah perhitungan besarnya penghasilan kena pajak (PKP).

3. Penyajian informasi tentang posisi finansial dan hasil usaha (pekerjaan bebas wajib pajak) untuk analisis maupun pengambilan keputusan ekonomis perusahaan.

Metode pencatatan menurut ketentuan perpajakan dalam mencatat transaksi yang merupakan objek pajak PPh pasal 23 ada 2, yaitu:

1. Cash Basis, yaitu pencatatan berdasarkan pembayaran sehingga terutangnya PPh pasal 23 pada saat pembayaran.

2. Accrual Basis, yaitu pencatatan pada saat terjadinya transaksi langsung dilakukan pencatatan dalam pembukuan, bukan berdasarkan pembayaran, sehingga PPh 23 terutang dan harus dipotong pada saat pembebanan.

(16)

Berdasarkan hal tersebut, berarti pada saat terjadinya transaksi akan langsung dibukukan sebagai PPh pasal 23 yang terutang.

Persyaratan atau ketentuan pembukuan menurut pasal 28 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan antara lain:

1. Pembukuan harus diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

2. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian. 3. Pembukuan harus ditutup setiap akhir tahun dengan membuat neraca dan

laporan laba rugi berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebelumnya.

4. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan huruf latin, angka Arab, dengan bahasa Indonesia dan satuan mata uang rupiah (atau dengan bahasa Inggris dan mata uang US$ dengan izin Menteri Keuangan). 5. Pembukuan atau pencatatan dan dokumen yang menjadi dasarnya serta

dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha (pekerjaan bebas) harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun.

II.3. Pemotongan Pajak Penghasilan

II.3.1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 II.3.1.1. Pengertian PPh Pasal 4 ayat 2

Ketentuan PPh Pasal 4 ayat (2) mengatur tentang perlakuan perpajakan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lannya di bursa

(17)

efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya.

II.3.1.2. Jenis Penghasilan Yang Dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2

II.3.1.2.a. Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan/ Atau Bangunan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2002 jo KMK Nomor: 120/KMK.03/2002, atas penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri dikenakan PPh yang bersifat final.

Besarnya Pajak penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi maupun Wajib Pajak badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan dan bersifat final.

Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewakan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan / atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan dan service charge baik yang perjanjiannya terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan.

(18)

a. Melalui pemotongan oleh penyewa dalam hal penyewa adalah badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.

b. Melalui penyetoran sendiri oleh yang menyewakan dalam hal penyewa adalah orang pribadi atau bukan subjek pajak, selain yang disebutkan pada huruf a di atas.

II.3.1.2.b. Penghasilan Dari Obligasi Yang Diperdagangkan Di Bursa Efek

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2002 jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor 121/KMK.04/2002, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib pajak berupa bunga dan diskonto obigasi yang diperdagangkan di bursa efek dan atau yang dilaporkan di bursa efek, dikenakan pemotongan PPh yang bersifat final, kecuali bagi Wajib Pajak tertentu.

II.3.1.2.c. Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/ Atau Bangunan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999

jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 566/KMK.04/1999 jo. SE-55/PJ.42/1999, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan, baik dalam kegiatan usahanya maupun diluar usahanya,

(19)

wajib dibayar atau dipungut Pajak Penghasilan pada saat terjadinya transaksi tersebut.

Yang dimaksud dengan pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan adalah:

a. penjualan, tukar-menukar , perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.

b. Penjualan, tukar-menukar termasuk ruishlag, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain yang disepakati dengan Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.

c. Penjualan, tukar-menukar termasuk ruislag, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain kepada pemerintah guna pelaksanaan pembagunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.

Tarif yang dikenakan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan adalah 5 % dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan.

II.3.1.2.d. Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto SBI Berdasarkan Peraturan Pemernitah Nomor 131 Tahun 2000 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001, atas penghasilan berupa bunga dengan nama dan dalam bentuk

(20)

apapun yang diterima atau diperoleh dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Deposito adalah deposito dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deposito berjangka, sertifikat deposito dan “deposito on call” baik dalam mata uang rupiah maupun dalam mata uang asing (valuta asing) yang ditempatkan pada atau diterbitkan oleh bank.

Tabungan adalah simpanan pada bank dengan nama apapun, termasuk giro, yang penarikannya dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh masing-masing bank. Termasuk dalam pengertian deposito dan tabungan seperti disebutkan di atas adalah deposito dan tabungan dalam rupiah maupun valuta asing yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.

Besarnya tarif Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa bunga dan diskonto adalah sebagai berikut:

a. Dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.

b. Dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan bersifat final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau dengan tarif

(21)

berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku terhadap Wajib Pajak luar negeri.

II.3.1.2.e. Penghasilan Dari Transaksi Penjualan Saham Di Bursa Efek

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1997 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 jo. SE-06/PJ.4/1997, penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut PPh final dengan tarif sebagai berikut:

1. 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan 2. Bagi pemilik saham pendiri dikenakan PPh sebesar:

a. 0,1% x Nilai transaksi + 0,5% dari nilai saham pada 30 Desember 1996, dalam hal saham tersebut telah diperdagangkan di bursa efek sebelum 31 Desember 1996. b. 0,1% x nilai transaksi + 0,5% dari nilai saham saat IPO,

dalam hal saham tersebut diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah 1 Januari 1997.

II.3.2. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

II.3.2.1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 23

Mengacu pada pendapat Mardiasmo (2006) yang menjelaskan bahwa ketentuan dalam pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh

(22)

wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.(h.210)

II.3.2.2. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23

Pemotong PPh pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan, yang terdiri atas:

1. Badan Pemerintah.

2. Subjek Pajak badan dalam negeri. 3. Penyelenggara kegiatan.

4. Bentuk Usaha Tetap (BUT).

5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

6. Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Direktur Jendral Pajak untuk memotong pajak penghasilan pasal 23, yang meliputi:

a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas.

b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.

(23)

II.3.2.3. Subjek Yang Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23

Yang dikenakan pemotongan pajak penghasilan pasal 23 adalah wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.

II.3.2.4. Objek Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23

Penghasilan yang dikenakan pemotongan pajak penghasilan pasal 23 adalah:

1. Dividen.

2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang.

3. Royalti.

4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Pengasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.

5. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi.

6. Imbalan sehubungan dengan jas teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.

(24)

II.3.2.5 Pengecualian Objek Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pemotongan pajak

penghasilan pasal 23 adalah:

1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.

2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.

3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseoan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, yayasan, atau organisasi yang sejenis, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

4. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana. 5. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura

berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

a. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan Menteri Keuangan, dan

b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.

7. Bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.

(25)

II.3.2.6. Dasar Dan Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Menurut Mardiasmo (2006), ada 2 (dua) dasar pemotongan, yaitu:

1. Dari jumlah bruto, untuk penghasilan berupa: a. Dividen.

b. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang.

c. Royalti.

d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak sebagaiman dimaksud dalam pasal 21.

2. Dari perkiraan penghasilan netto, untuk penghasilan berupa:

a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa

konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.

Sedangkan tarif pemotongan pajak penghasilan pasal 23 adalah: 1. 15% dari penghasilan bruto atas penghasilan berupa:

a. Dividen.

b. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang.

c. Royalti.

d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.

2. 15% dari perkiraan penghasilan netto atas penghasilan berupa:

(26)

b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum , jasa konsultan pajak, dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.

II.3.2.7. Perkiraan Penghasilan Netto

Perkiraan penghasilan netto dan tarif efektif Pajak Penghasilan Pasal 23 diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 170/PJ/2002 berlaku sejak tanggal 28 Maret 2002 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 178/PJ/2006 tanggal 26 Desember 2006 dan diubah terakhir dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 tanggal 9 April .

Berikut ini adalah perbandingan perkiraan penghasilan netto dan tarif efektif Pajak Panghasilan Pasal 23 berdasarkan peraturan yang berlaku dari tahun ke tahun.

PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS PENGHASILAN BERUPA SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN HARTA KECUALI SEWA DAN PENGHASILAN LAIN SEHUBUNGAN DENGAN PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN YANG TELAH DIKENAKAN PAJAK PENGHASILAN YANG

BERSIFAT FINAL

PERKIRAAN PENGHASILAN NETO NO JENIS PENGHASILAN KEP-170/PJ/2002 PER-178/PJ/2006 PER-70/PJ/2007 1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan 20 % 20 % 10 %

(27)

dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat.

Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan

dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaaan tanah dan atau bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1996 dan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus angkutan darat. 40 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. 40 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN. 30 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.

JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO ATAS JASA TEKNIK, JASA MANAJEMEN, JASA KONSTRUKSI, JASA KONSULTAN DAN JASA

LAIN YANG ATAS IMBALANNYA DIPOTONG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT 1 HURUF C UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN

UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2000

PERKIRAAN PENGHASILAN NETO NO. JENIS PENGHASILAN

KEP-170/PJ/2002 PER-178/PJ/2006 PER-70/PJ/2007

(28)

1. a. Jasa profesi.

b. Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi.

c. Jasa akuntansi dan pembukuan. d. Jasa penilaian. e. Jasa aktuaris. 50 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 30 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 30 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

2. a. Jasa teknik dan jasa manajemen b. Jasa perancang / desain :

• Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan; • Jasa perancang mesin dan jasa

perancang peralatan;

• Jasa perancang alat-alat transportasi / kendaraan;

• Jasa perancang iklan / logo; • Jasa perancang alat kemasan. c. Jasa instalasi / pemasangan :

• Jasa instalasi / pemasangan mesin,

listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel, kecuali untuk wajib pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;

• Jasa instalasi / pemasangan peralatan;

d. Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan :

• Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan mesin, 40 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 13 1/3 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 13 1/3 % Dari jumlah bruto tidak termasuk 40 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 13 1/3 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 13 1/3 % Dari jumlah bruto tidak termasuk 30 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 30 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 30% Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

(29)

listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel;

• Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan peralatan;

• Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan alat-alat transportasi/kendaraan;

• Jasa perawatan / pemeliharaan / pebaikan bangunan, kecuali yang dilakukan oleh wajib pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebangai pengusaha konstruksi.

e. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT).

f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas.

g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas.

h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara. i. Jasa penebangan hutan termasuk

land clearing.

j. Jasa pengolahan / pembuangan limbah.

k. Jasa maklon.

l. Jasa rekruitment / penyedia tenaga kerja. PPN 40 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN PPN 30% Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 20 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 30 %

(30)

m. Jasa perantara.

n. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh BEJ, BES, KSEI, dan KPEI.

o. Jasa kustodian / penyimpanan / penitipan, kecuali yang dilakukan KSEI dan tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1996. p. Jasa telekomunikasi yang bukan

untuk umum.

q. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan atau mixing film. r. Jasa pemanfaatan informasi di

bidang teknologi, termasuk jasa internet.

s. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan, dan perbaikan.

Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

3. Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan bangunan, jasa instalasi / pemasangan mesin, listrik/telepon/air/AC/TV kabel, sepanjang masa tersebut dilakukan wajib pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.

13 1/3 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 13 1/3 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 13 1/3 % Dari jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan meterial/ barang tidak

(31)

termasuk PPN 4. a. Jasa perencanaan konstruksi.

b. Jasa pengawasan konstruksi.

26 2/3 % dari jumlah bruto tidak temasuk PPN 13 1/3 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 26 2/3 % dari jumlah imbalan yang dibayarkan seluruhnya termasuk pemberian jasa dan pengadaan material/barang tidak temasuk PPN 5. a. Jasa pembasmian hama dan jasa

pembersihan. b. Jasa catering.

c. Jasa selain jasa-jasa tersebut diatas yang pembayarannya dibebankan pada APBN atau APBD. 10 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 10 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 10 % Dari jumlah bruto tidak termasuk PPN

II.3.2.8. Tata Cara Pemotongan Dan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23

Pada prinsipnya, kegiatan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 dilakukan secara desentralisasi, yaitu di tempat terjadinya pembayaran atau terutangnya penghasilan yang menjadi objek Pajak Penghasilan Pasal 23.

(32)

Mengacu pada pendapat Barata & Djuhadiat (2007), Pajak Penghasilan Pasal 23 harus dipotong pada saat dibayarkan atau pada saat terutang, atau mana yang lebih dahulu terjadi antara keduanya. Akan tetapi pada umumnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah pada saat pembayaran, karena dianggap lebih adil bagi wajib pajak.

Besarnya PPh Pasal 23 yang akan dipotong harus sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Contoh: Perhitungan PPh Pasal 23 pada PT. LJF untuk tahun 2005 mengacu pada Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 170/PJ/2002 yang berlaku sejak tanggal 28 Maret 2002, mengatur tentang perkiraan penghasilan netto dan tarif efektif Pajak Penghasilan pasal 23.

Atas pemotongan pajak yang telah dilakukan, pihak pemotong pajak berkewajiban membuat bukti pemotongan PPh Pasal 23 sebanyak 3 rangkap. Lembar asli diserahkan kepada pihak penerima penghasilan, lembar 2 dilaporkan ke kantor pajak oleh pihak pemotong, dan lembar 3 untuk arsip pemotong pajak.

II.3.2.9. Saat Terutang Dan Tata Cara Penyetoran Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pada bulan dilakukannya pembayaran atau pada bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.

Atas PPh Pasal 23 yang telah dipotong, pihak pemotong pajak berkewajiban untuk menyetorkannya ke kas Negara melalui kantor pos dan

(33)

giro atau melalui bank persepsi dengan menggunakan surat setoran pajak (SSP) paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur, maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya.

PPh Pasal 23 yang telah dipotong dan disetorkan ke kas Negara harus dilakukan pelaporan ke kantor pelayanan pajak (KPP) setempat selambat-lambatnya tanggal 20 setelah bulan saat terutang pajak. Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur maka pelaporan dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Cara pelaporan PPh Pasal 23 yaitu dengan menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23 dan dilampiri lembar ke 3 surat setoran pajak, lembar ke 2 bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan daftar bukti pemotongan PPh Pasal 23. Sebagai bukti pelaporan, wajib pajak akan memperoleh bukti penerimaan surat dari kantor pajak.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu untuk menjaga nama baik nasabah, harus diatur kapan dan dalam hal yang bagaimana bank diperkenankan untuk memberikan informasi kepada pihak ketiga mengenai segala

Mahasiswa mengenal dan memahami berbagai kemajuan dalam aplikasi bidang fotonika dan berbagai aplikasi bidang fotonika yang terkait, Memahami dan mampu menjelaskan

Dasar dalam menentukan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam BPHTB pada Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan di Kabupaten Badung.... Penghitungan Pajak BPHTB dalam Jual Beli

“Faktor naik rendahnya prestasi belajar siswa/I, itu adalah faktor kemalasan untuk belajar, dan kurang animo siswa/I untuk belajar, di sekolah waktu mereka hanya sedikit,

Dari sinilah, penelitian ini mencoba untuk menganalisa bagaimana kontekstualisasi hadis Nabi yang dalam kitab Sunan Abu> Da>wud tentang empat golongan yang tidak

Terwujudnya rekomendasi kebijakan yang berkualitas di bidang kemaritiman dihasilkan melalui kegiatan perumusan dan analisis rencana kebijakan pemerintah, penyiapan

Pemancaran partikel ( ) terjadi pada inti berat yang memiliki lebih dari 83 proton. Pada pemancaran sinar beta ( ) terjadi perubahan sebuah neutron menjadi

Sriwijaya Motorcycle Security (SMS) merupakan suatu alatpengamanan tambahan untuk sepeda motor menggunakan kata sandi atau password berbasis mikrokontroler ATMega 8535