• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN MODAL SOSIAL TERHADAP PENGEMBANGAN ONE VILLAGE ONE PRODUCT (OVOP) (STUDI PADA KAMPUNG TAHU DESA TINALAN KECAMATAN PESANTREN KOTA KEDIRI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN MODAL SOSIAL TERHADAP PENGEMBANGAN ONE VILLAGE ONE PRODUCT (OVOP) (STUDI PADA KAMPUNG TAHU DESA TINALAN KECAMATAN PESANTREN KOTA KEDIRI)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN MODAL SOSIAL TERHADAP

PENGEMBANGAN ONE VILLAGE ONE PRODUCT

(OVOP) (STUDI PADA KAMPUNG TAHU DESA

TINALAN KECAMATAN PESANTREN KOTA

KEDIRI)

JURNAL ILMIAH

Disusun Oleh:

Aisha Karina

155020500111042

JURUSAN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

(2)

PERAN MODAL SOSIAL TERHADAP

PENGEMBANGAN ONE VILLAGE ONE PRODUCT

(OVOP) (STUDI PADA KAMPUNG TAHU DESA

TINALAN KECAMATAN PESANTREN KOTA

KEDIRI)

JURNAL ILMIAH

Disusun Oleh:

Aisha Karina

155020500111042

JURUSAN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

(3)

LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL

Artikel Jurnal dengan judul :

Peran Modal Sosial Terhadap Pengembangan One Village One Product

(OVOP) (Studi Pada Kampung Tahu Desa Tinalan Kecamatan Pesantren

Kota Kediri)

Yang disusun oleh :

Nama

: Aisha Karina

NIM

: 155020500111042

Fakultas

: Ekonomi dan Bisnis

Jurusan

: S1 Ilmu Ekonomi

Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang

dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 26 Oktober 2020.

Malang, 26 Oktober 2020

Dosen Pembimbing,

Dr. Asfi Manzilati, SE, ME.

(4)

PERAN MODAL SOSIAL TERHADAP PENGEMBANGAN ONE

VILLAGE ONE PRODUCT (OVOP) (STUDI PADA KAMPUNG TAHU

DESA TINALAN KECAMATAN PESANTREN KOTA KEDIRI)

Aisha Karina

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Email: aishakarina5@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran modal sosial terhadap pengembangan One Village One Product (OVOP), sebagai program pemberdayaan ekonomi desa. Program OVOP diterapkan untuk meningkatkan produktivitas desa, yang mana di era bonus demografi 2020-2030 tidak cukup hanya mengandalkan modal (K) dan tenaga kerja (L). Maka dari itu, tenaga kerja membutuhkan unsur human sebagai pelengkap labor. Human akan memperluas skill, knowledge, dan trust yang didapatkan melalui modal sosial. Tiga prinsip dalam modal sosial yaitu trust, norms, dan networks akan bekerjasama untuk menjalankan pemberdayaan OVOP. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan memahami gejala sentral. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan wawancara serta menggunakan teknik analisis data Miles dan Huberman. Terdapat dua produsen tahu yang menjadi informan kunci dan dua produsen tahu yang dijadikan informan pendukung dalam penelitian ini. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Desa Tinalan memiliki modal sosial yang terbentuk secara alami. Modal sosial tersebut menjadi bekal dalam menjalankan One Village One Product, yang menghasilkan Wisata Edukasi Kampung Tahu di Kota Kediri. Keberhasilan tersebut mengantarkan produsen tahu untuk memperoleh peningkatan pendapatan, sekaligus Desa Tinalan menjadi desa percontohan untuk pemberdayaan masyarakat bagi wilayah lainnya. Adanya kerjasama yang terjalin baik antara komponen modal sosial dengan prinsip OVOP, sehingga mudah diterima oleh masyarakat desa. Namun bukan berarti tidak ada kendala, modal sosial yang terlalu mengikat justru menjadi hambatan terbesar dalam penerapan OVOP. Salah satunya networks yang terbatas pada masyarakat desa saja, sehingga prinsip local yet global pada OVOP tidak berjalan dengan baik. Kendala tersebut menandakan bahwa peran modal sosial masih perlu diasah untuk memenuhi prinsip OVOP, dan menghasilkan pemberdayaan ekonomi.

Kata kunci: Produktivitas ekonomi, Modal Sosial, OVOP

A. PENDAHULUAN

Pertumbuhan ekonomi menjadi topik penting sebagai indikasi keberhasilan sebuah negara, biasanya ditandai dengan produktivitas ekonomi yang berjalan dengan baik. Ketika produktivitas meningkat maka terjadi perubahan pada kesejahteraan masyarakat secara perlahan. Menurut Samuelson (2004: 205) dalam bukunya Macroeconomics 17th Edition menjelaskan bahwa

ada empat roda pertumbuhan ekonomi, yaitu: (1) sumber daya manusia; (2) sumber daya alam; (3) pembentukan modal; (4) teknologi. Pertumbuhan ekonomi akan tumbuh jika output (Q) atau produktivitas yang dihasilkan sama besarnya dengan input (K,L). Ketika input modal (K) dan tenaga kerja (L) meningkat maka ada harapan bahwa produktivitas (Q) meningkat.

Todaro (2000) menjelaskan bahwa input modal (K) memainkan peran dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Pada masyarakat maju modal sudah berubah menjadi investasi jangka panjang dan divisualkan dalam bentuk usaha, saham, reksadana, dan lainnya (Gunawan, 2016: 159). Namun, meningkatnya input modal (K) tidak cukup untuk mendorong produktivitas ekonomi, ada faktor input tenaga kerja (L) sebagai penambahan untuk memaksimalkan produktivitas. Input tenaga kerja (L) terdiri dari kuantitas tenaga kerja dan

(5)

kualitas angkatan kerja. Kualitas tenaga kerja diukur dari keterampilan, pengetahuan, dan disiplin angkatan kerja, apabila ketiga komponen meningkat maka produktivitas ekonomi ikut berubah.

Permasalahannya, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa menjadikan Indonesia negara yang padat karya dibandingkan padat modal. Kondisi tersebut bisa jadi menghambat produktivitas ekonomi jika tidak dibarengi dengan perubahan kualitas penduduknya. Apabila jumlah penduduk banyak, pertambahannya akan menurunkan tingkat kegiatan ekonomi karena produktivitas setiap penduduk negatif. Maka dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat menurun dan tingkat ekonomi berada pada tahap perkembangan yang sangat rendah. Pada keadaan ini pendapatan tenaga kerja hanya mencapai tingkat cukup hidup, atau pas-pasan dalam mencukupi semua kebutuhan hidup.

Apalagi saat ini Indonesia memasuki babak yang sangat krusial dan menentukan dalam perjalanannya sebagai negara yang berada dalam masa pembangunan. Hasil proyeksi Bappenas (2018) menjabarkan bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai angka 265 juta jiwa. Pembagian proporsi penduduk terdiri dari laki-laki sejumlah 133,17 juta jiwa dan perempuan sekitar 131, 88 juta jiwa. Selain itu, populasi penduduk Indonesia didominasi oleh kelompok usia produktif yakni sebesar 179,13 juta jiwa. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah memasuki era bonus demografi, dimana kelebihan usia produktif dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas. Diperkirakan momen bonus demografi ini akan berlangsung hingga mencapai puncaknya pada tahun 2020-2030.

Adanya bonus demografi ibarat pedang bermata dua, di satu sisi menjadi berkah jika berhasil mengambil manfaatnya dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Sedangkan di sisi lainnya adalah bencana apabila bertambahnya kuantitas tidak diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia yang baik. Oleh sebab itu, Indonesia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi bonus demografi. Pemerintah perlu memprioritaskan pembangunan manusia terutama kualitas penduduk di usia kerja. Bonus demografi harus dioptimalkan demi pertumbuhan ekonomi melalui investasi sumber daya manusia yang modern. Besar kemungkinan bonus demografi akan terlewati begitu saja tanpa ada upaya untuk mendayagunakan (Liputan6.com, 2015).

Fokusnya, pada masa bonus demografi ini tenaga kerja (L) tidak bisa dijabarkan sebagai

labor dengan tenaga terampil, tetapi diperlukan unsur human sebagai pelengkap. Human didasari

oleh skill, knowledge, tenaga kerja, dan trust. Jika komponen human berinteraksi dengan baik maka produktivitas akan terakselerasikan dengan optimal. Romer (1999) menyatakan bahwa adanya human merupakan sumber mendasar dari produktivitas ekonomi, dan human adalah investasi yang dilakukan manusia untuk meningkatkan produktivitasnya. Gomes (2003) menegaskan bahwa produktivitas sangat dipengaruhi oleh faltor-faktor bentukan dari human, antara lain: knowledge (pengetahuan), skills (keterampilan), abilities (kemampuan), attitudes (sikap), behaviors (perilaku).

Human akan terakselerasi dengan baik apabila modal sosial ikut berpartisipasi dalam

pembangunan manusia. Modal sosial merujuk pada norma dan jejaring yang memfasilitasi kerjasama antar manusia di dalam kelompok maupun antar kelompok. Coleman (1998) fokus melihat modal sosial sebagai struktur hubungan sosial, khususnya modal sosial yang berperan dalam mengakuisisi modal manusia. Selanjutnya, Bourdieu (1993) menjelaskan bahwa modal sosial memiliki kemampuan dalam menghasilkan sumber daya ekonomi. Sementara itu, Putnam (1993;1995) menekankan bahwa modal sosial punya hubungan kerjasama melalui keanggotan kelompok. Berdasarkan penjabarannya Coleman merangkum modal sosial dalam tiga bentuk yaitu

norms (norma/nilai), trust (kepercayaan), dan networks (jaringan).

Sen (1987) menyatakan bahwa kapabilitas sosial individu berperan penting dalam menggerakkan potensi individu, artinya modal sosial diperlukan untuk mendorong human sebagai input produktivitas ekonomi. Modal sosial yang ada dalam masyarakat dapat mensejahterakan masyarakat bahkan dapat meminimalisir konflik (Noor, dalam masdin AP 2006:3), hal ini mempermudah produktivitas berjalan lebih efisien dan efektif. Kesimpulannya, konsep modal sosial (trust, norms, jaringan) adalah pilar penting bagi produktivitas. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, kecenderungan ke arah padat karya daripada padat modal, sangat membutuhkan peran modal sosial dalam mewujudkan pembangunan manusia.

Beberapa solusi alternatif digunakan pemerintah untuk membangun manusianya, bertujuan untuk memaksimalkan pemberdayaan dan menjamin kesejahteraan masyarakat. Salah satu agenda dalam rangka menyambut bonus demografi Indonesia ialah dimulai dari membangun desa. Desa menjadi pusat pemberdayaan masyarakat untuk menguatkan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Gunawan, 2016). Hal ini mengisyaratkan bahwa desa

(6)

berpotensi dalam memegang peranan penting pada sebuah pembangunan. Potensi desa yang cukup besar diperlukan untuk mengembangkan sumber daya manusia dan menerapkan program pemberdayaan masyarakat bernama One Village One Product (OVOP).

OVOP bukanlah suatu proyek tetapi merupakan gerakan nasional untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat (Gunawan, 2016). OVOP membangun desa dengan memanfaatkan ciri khas, budaya, lembaga, dan manusianya secara produktif dan profesional. Dalam membangunnya, OVOP sendiri memiliki tiga prinsip dasar yang layak dipenuhi dalam komoditas apapun, antara lain: (1) local yet global; (2) mandiri, kreatif, dan inovatif; dan (3)

capacity building. Gunawan (2016) menjelaskan implementasi OVOP di Indonesia menggunakan

konsep program membangun suatu produk unggulan di tingkat desa. Selanjutnya memilih satu produk utama yang dihasilkan dari kreativitas masyarakat desa.

Konsep OVOP menggabungkan dua hal dasar dalam masyarakat, yaitu potensi sumber daya lokal dan kualitas sumber daya manusia. Kemudian OVOP akan bergerak masif apabila dipadu dengan human melalui modal sosial, dimana dalam interaksi ya modal sosial akan mengambil peran untuk mengelola OVOP. Salah satunya Kota Kediri, yang mana belakangan ini pertumbuhan ekonominya mulai bertumbuh pesat. Pencapaian tersebut berkat sumbangan industri kreatif, termasuk UMKM yang mulai berkembang di Kota Kediri. Desa Tinalan terpilih sebagai contoh pemberdayaan OVOP yang berhasil, dengan produk tahu kuning sebagai potensi ekonomi masyarakatnya.

Industri tahu di Desa Tinalan ini berperan penting dalam memberikan pendapatan bagi penduduk setempat, serta menjadi ujung tombak pengentasan kemiskinan. Kampung Tahu memiliki karakteristik usaha masih menggunakan teknologi tradisional, sederhana, dan banyak menggunakan keahlian tangan. Kampung Tahu mempunyai pola usaha yang bersifat “bisnis warisan” atau biasa disebut family business and neighborhood. Bentuk modal sosial tersebut menjadi bekal pengembangan OVOP di Desa Tinalan. Terbukti dari terwujudnya trust yang berkembang dapat mempermudah antar masyarakat dalam berkomunikasi. Rata-rata produsen tahu menempatkan rasa saling saling percaya kepada para pekerja sekaligus pengrajin tahu.

Selanjutnya norms yang terdapat di masyarakat Kampung Tahu mengikat secara tidak sadar. Misalnya aturan tentang cara berkomunikasi anatara yang muda dengan lebih tua, dimana masih mengedepankan sopan santun dalam bersikap dan berbicara. Sehingga pola komunikasi yang terjalin terbilang harmonis, karena adanya unggah-ungguh yang menjadi aturan tak kasat mata. Sedangkan networks yang terbentuk berupa sistem neighborhood, dimana produsen tahu di Desa Tinalan lebih mendahulukan pekerja dari tetangga dekat dibandingkan menerima pekerja dari luar desa. Berangkat dari modal sosial yang ada kemudian dikolaborasikan dengan konsep OVOP, tidak heran bila Kampung Tahu kerap kali menjadi cermin bagi banyak UMKM di Kota Kediri.

Meskipun OVOP terlihat layak dikembangkan di Kampung Tahu, namun kenyatannya tidak sepenuhnya berkembang karena kurang memenuhi local yet global. Kecenderungan memenuhi kebutuhan jangka pendek mengakibatkan para produsen tahu tidak melakukan perencanaan pasar ke depannya. Apalagi semenjak imbas isu formalin tahun 2011 kemudian disambung kasus plagiasi produk oleh salah satu tempat pusat oleh-oleh terbesar di Kediri. Akhirnya para produsen tahu enggan berinteraksi dengan dunia luar, serta otomatis networks yang terbentuk hanya berputar pada area lokal saja, belum berani mengambil resiko dari langkah besar untuk ekspansi daerah pemasaran.

Selain itu, unsur trust berlebihan, apalagi dalam budaya kekerabatan Jawa, menyebabkan penyerahan proses usaha tanpa melalui syarat apapun. Tidak memikirkan tentang profesionalisme ataupun masa depan usaha tahu. Sehingga sulit bagi orang di luar “orang kepercayaan” masuk dan membenahi sistem pada Kampung Tahu. Begitupun kurangnya perhatian pemerintah dalam proses pemasaran dan pengaturan manajemennya. Alhasil produk hanya terjual secara lokal serta pengembangan usahanya kurang maksimal. Maka dari itu, perlu adanya pembenahan di dalamnya mengingat bahwa Kampung Tahu saat ini menjadi ikon wisata Kota Kediri.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran modal sosial dalam pengembangan One Village One Product (OVOP) di Desa Tinalan Kota Kediri. Alasan peneliti menjadikan produsen tahu sebagai subjek dalam penelitian ini adalah komoditas tahu yang dapat mendongkrak perekonomian masyarakat desa. Melalui olahan tahu yang sekarang ini mulai dikenal masyarakat luas, ada perubahan pendapatan yang mengalami kenaikan secara perlahan. Ditambah lagi keberhasilan pengelolaan potensi Desa Tinaan, yang kini terwujud dalam bentuk Wisata Edukasi Kampung Tahu. Sekaligus menjadi lokasi wisata desa dan pusat oleh-oleh Kota Kediri.

(7)

B. KAJIAN PUSTAKA Produktivitas Ekonomi

Dalam buku Macroeconomics 17th Edition menjelaskan, untuk menjawab pertanyaan tiga masalah ekonomi, setiap pelaku ekonomi harus membuat pilihan atas input dan output dalam perekonomian (Samuelson: 2001: 10). Input adalah komoditi atau yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa. Dalam mengolah input, pelaku ekonomi memadukan berbagai sumber daya yang ada dalam rangka menghasilkan ouput. Output sendiri merupakan berbagai barang dan jasa yang dihasilkan dari proses produksi untuk didistribusikan dalam masyarakat. Kegiatan mengolah input dan menghasilkan output dalam bahasa ekonomi disebut dengan produktivitas ekonomi. Berbeda dengan pengertian kegiatan produksi, produktivitas berhubungan dengan efisiensi dari penggunaan sumber daya guna menghasilkan input dan output output yang seimbang.

Produktivitas merupakan salah satu faktor kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara optimal. Produktivitas (Q) sendiri diukur dengan meningkatnya input kapital (K) dan labor (L). Pada ekonomi modern labor tidak hanya dijabarkan dalam bentuk tenaga kerja, ada faktor-faktor: knowlegde, skills, abilities, attitudes, dan behaviors (Gomes, 2003:160) yang dirangkum dalam human sebagai input penggerak produktivitas. Input human merupakan sebuah investasi yang dilakukan manusia untuk meningkatkan produktivitasnya (Rosen, 1999) dengan memadukan antara pendidikan, pengalaman, pelatihan, keterampilan, kebiasaan, kesehatan, energi, dan inisiatif yang mempengaruhi produktivitas ekonomi (Frank & Bemanke, 2007). Singkatnya input human merupakan dimensi kualitatif dari sumber daya manusia, menyempurnakan sisi labor.

Modal Sosial

Modal sosial adalah karakteristik yang dimiliki oleh setiap individu dan kelompok sumber daya manusia yang memudahkan kelompok tersebut dalam melakukan tindakan kolektif, kerjasama, dan terpeliharanya norma-norma yang terbentuk di masyarakat (Putnam; Fujiwara dan Kawachi dalam Thobias, Tungka, dan Rogahang, 2013). Modal sosial ditekankan pada kebersamaan masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidup bersama dan melakukan perubahan yang lebih baik serta penyesuaian secara terus menerus. Burt (1992) mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain sehingga menjadi kekuatan yang sangat penting, bukan hanya terhadap aspek ekonomi, tetapi juga terhadap setiap aspek eksistensi sosial yang lain.

Menurut Syahriar dan Darwanto (2015) modal sosial memiliki tiga elemen pokok yang terbentuk alamiah, diantaranya: (1) kepercayaan (trust); Fukuyama (2002) berpendapat unsur terpenting dalam modal sosial adalah kepercayaan (trust) sebagai perekat untuk langgengnya kerjasama dalam kelompok masyarakat; (2) norms; Inayah (2012) berpendapat bahwa norma sosial merupakan sekumpulan aturan yang diharapkan dapat dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu, serta menerima sanksi atas perbuatan yang dilakukan; (3)

networks; Lawang (2005) menjelaskan terbentuknya jaringan karena rasa saling tahu, saling

menginformasikan, saling mengingatkan dan saling membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu.

One Village One Product (OVOP)

Konsep One Village One Product adalah pendekatan unik dengan mengusung pembangunan lokal sebagai solusi pembangunan ekonomi. Pendekatan One Village One Product pertama kali dinisiasi di Oita, Jepang, dengan menerapkan suatu pendekatan pengembangan potensi suatu wilayah untuk menghasilkan produk yang mampu bersaing di pasar global, dengan tetap memiliki karakteristik daerah tersebut. Produk yang dihasilkan adalah produk dengan memanfaatkan sumber daya lokal, campuran dari sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Dr. Morihiko dalam Gunawan (2016) menjelaskan bahwa OVOP memiliki tiga prinsip utama untuk mengembangkan produk-produk unggulan lokal yang dimiliki oleh daerah, yaitu: (1)

local yet global yaitu bagaimana masyarakat dapat berpikir global dengan bertindak lokal; (2)

mandiri, kreatif, dan inovatif, dimana desa memilih satu produk unggulan yang akan difasilitasi pemerintah untuk dikembangkan; (3) capacity building yaitu pengembangan produk agar senantiasa mengikuti perkembangan zaman; teknologi, produk, fashion, dan desain dalam penerapannya melibatkan teknologi praktis untuk menekan biaya pengembangan produk.

(8)

C. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk memahami pertanyaan terkait permasalahan. Alasan peneliti memilih pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah diperlukannya suatu penjelasan dan pengamatan mengenai peran modal sosial dalam rangka mengembangkan gerakan One Village One Product (OVOP). Data berupa angka belum cukup untuk menjawab terkait jawaban yang ingin diperoleh dalam penelitian ini, sehingga diperlukan suatu penjelasan yang mendalam melalui informan penelitian. Penjelasan dan data para informan akan dikumpulkan dan dianalisis. Hasil analisis tersebut dapat berupa deskripsi atau penjelasan, selanjutnya disimpulkan untuk mendapat sebuah jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.

Unit Analisis dan Penentuan Informan

Penelitian ini menggunakan unit analisis yang berkaitan langsung pada masalah yang akan diteliti yaitu produsen tahu di desa Tinalan sebagai subjek dalam penelitian ini. Serta, interaksi modal sosial dalam masyarakat dalam pengembangan One Village One Product (OVOP) di Desa Tinalan Kota Kediri sebagai objek yang akan diteliti dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini terdapat dua informan yaitu informan kunci dan informan pendukung. Informan kunci adalah Bu Rini dan Pak Pingi, yaitu produsen tahu yang telah usia usahanya setidaknya 10-20 tahun atau lebih. Sedangkan informan pendukung adalah Pak Pingi dan Pak Jamal yaitu produsen tahu yang usia usahanya dibawah 10 tahun. Baik informan kunci maupun informan pendukung ikut terlibat dalam pengembangan Kampung Tahu.

Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data diperoleh melalui dua jenis sumber data yaitu data primer berupa wawancara dan observasi, serta data sekunder berupa buku, internet, jurnal, dan dokumentasi. Metode pengumpulan data yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Teknik Analisis Data

Analisis data menggunakan teknik analisis data interaktif Miles and Huberman. Terdiri dari empat tahap yaitu pengumpulan data (data collection), reduksi data (data reducition), penyajian data (data display), dan kesimpulan/verifikasi.

Pengecekan Kebasahan Temuan

Pengecekan kebasahan temuan menggunakan teknik triangulasi sumber dan triangulasi metode. Pertama, teknik triangulasi sumber peneliti mencari sumber dari beberapa informan terkait persoalan yang sama. Kedua, teknik triangulasi metode yaitu dalam mencari data tidak hanya dilakukan dengan metode wawancara akan tetapi juga melakukan metode observasi.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Trust : Adanya Keleluasaan Untuk Saling Mempercayai

Trust bersifat fluktuatif dan personal, prosesnya dialami hampir semua orang sepanjang

hidupnya. Hubungan saling percaya lebih kepada bagaimana mengikat masyarakat dalam sebuah jaringan, dan luasnya ditentukan seberapa jauh trust dibangun. Faktor penting yang dihasilkan adalah sebuah interaksi, manifestasi dari hadirnya kepercayaan. Memunculkan kelompok-kelompok dan perasaan in-group karena efek kepercayaan individu (mutual-trust). Di dalamnya memuat rasa percaya yang terbentuk atas dasar kekerabatan dan keluargaan, serta kepercayaan yang terjadi pada masyarakat homogen khas pedesaan.

Pada penelitian di Kampung Tahu ini bahwa trust muncul secara alami dari masyarakat. Terbentuk atas cita-cita bersama membangun ekonomi Desa, mengembangkan usaha tahu hingga menjadi ikon kuliner Kota Kediri. Pola kepercayaan yang dibangun ada dua, yaitu turun temurun dan neighborhood. Keduanya wujud dari interaksi primer atau kepercayaan yang berakar pada primordialisme. Berbasis pada hubungan darah dan kekerabatan, menempati urutan pertama dalam ikatan trust yang tidak lekang oleh waktu. Kekuatannya berinteraksi secara natural dan kultural, bertujuan menciptakan rasa aman.

(9)

Informan utama meletakkan saling percaya sepenuhnya dalam aktivitas usaha yang dijalankan. Beranggapan bahwa dapat meminimalkan risiko jika rasa saling mempercayai sudah terjalin. Kepercayaan ditunjang karena rasa resiprositas dan kejujuran. Respirositas diartikan sebagai hubungan timbal balik antara kedua pihak, bentuk nilai dan sistem moral dalam masyarakat. Budaya saling mempercayai dalam masyarakat ini berlangsung sejak lama, dan diterapkan secara turun-temurun. Para pengusaha pabrik memberikan keleluasaan lebih, kepada mereka yang bisa dipercayai. Merujuk pada konsep dasar modal sosial tentang keterkaitan orang-orang, yang memiliki rasa saling percaya (mutual trust) dalam satu jaringan sosial.

Rasa saling percaya memiliki implikasi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Sifat

mutual trust yang dimiliki dalam jaringan sosial memperkuat budaya turun-temurun dalam

Kampung Tahu. Kemudian mendorong berlangsungnya kerjasama dalam jangka waktu yang lama. Kultur turun-temurun tidak hanya diterapkan pada satu-dua pemilik pabrik tahu. Hampir satu lingkungan Kampung Tahu menerapkan budaya yang sama, bahkan sekarang memasuki generasi ketiga. Tujuannya menjaga nilai usaha yang sudah dijaga oleh para pendiri sebelumnya. Pemikiran primordial ini menjadi dasar tindakan masyarakat, seperti penyerahan usaha tanpa syarat didasarkan pada rasa percaya yang tinggi.

Pusat pembuatan tahu Kediri “Populer” mempercayakan usahanya kepada para tetangga, khusus pada pengolahan tahu saja. Bu Rini sebagai pemilik “Populer” menyerahkan begitu saja pekerjaan kepada karyawannya. Karena rata-rata pegawai adalah kalangan tetangga, jadi beliau percaya sepenuhnya terhadap hasil produksi. Sedangkan bagi Pak Jais selaku pemilik pabrik tahu “MJS”, ikatan saling percaya sudah beliau bangun sejak usia usaha masih muda. Kuncinya teradapat pada rasa saling menghargai, dan tidak bersifat seolah menggurui. Jika dulu pembuatan tahu hanya dikerjakan sendiri, kini sudah diserahkan sepenuhnya oleh para karyawan.

Produsen tahu di Kampung Tahu juga sering bertukar bahan baku setengah jadi, apabila ada satu produsen yang membutuhkan selama stok bahan tersebut masih ada. Pak Pingi menjelaskan biasanya jika sedang membuat stik tahu dan kehabisan bahan tahu yang sudah dalam bentuk pong, maka Pak Pingi akan memesan tahu pong dari “Populer” milik Bu Rini. Sistemnya bukan barter tetapi membeli bahan dengan harga lebih murah. Namun tetap ada unsur tolong-menolong disini serta trust seperti itu berlangsung secara alami di masyarakat.

Trust yang menonjol di Kampung Tahu ialah rasa saling percaya antar produsen yang

cukup kuat. Mereka saling bertukar informasi tentang pembuatan masing-masing olahan kepada sesama produsen. Seperti yang pernah dilakukan oleh Pak Jamal bersama kelompok produsen tahu, sekitar tahun 2016 membuat kreasi tahu walik. Awal yang mempunyai ide adalah Pak Jamal namun beliau membagikan idenya kepada produsen tahu lainnya. Harapannya agar Kampung Tahu memiliki tambahan produk unggulan selain tahu kuning dan stik tahu.

Pak Pingi sendiri mengatakan disini semua produsen berusaha terbuka, terutama untuk urusan produksi. Tujuannya agar semua masyarakat merasakan ekonomi yang merata, serta dapat bekerjasama untuk memajukan Kampung Tahu bersama. Oleh sebab itu, para produsen mendirikan paguyuban yang menjadi wadah aspirasi apabila ada kendala dalam proses produksi. Selain itu, bagi produsen yang baru memulai usaha bisa belajar dari produsen yang lebih dulu berkecimpung di olahan tahu.

Rusaknya Trust Konsumen Pada Produsen Tahu Karena Imbas Isu Formalin

Kampung Tahu pernah terimbas isu formalin sekitar tahun 2000an, yang membuat produsen tahu mengalami penurunan produksi. Mereka kehilangan kepercayaan dari masyarakat yang selama ini menjadi pelanggan tetap. Hal ini berefek pada menurunnya pendapatan, tidak sedikit pula pabrik tahu yang gulung tikar. Bahkan menciptakan pengangguran dengan jumlah terbanyak kala itu, karena sudah tidak ada lagi pekerjaan yang dilakukan. Butuh lebih dari 10 tahun bagi para produsen tahu, untuk mengembalikan lagi kepercayaan masyarakat.

Syukurnya rumor formalin segera berakhir dan mengembalikan pasar Kampung Tahu seperti semula. Meskipun perjalanan untuk mendapat kepercayaan di dalam masyarakat maupun diluar cukup sulit. Namun hal tersebut membuahkan hasil berupa resminya Wisata Edukasi Kampung Tahu pada 2019 lalu. Masyarakat bersama dengan Pemerintah bekerjasama untuk membuat ruang edukasi, yang sekiranya bisa menarik perhatian para wisatawan. Melalui cara ini diharapkan kepercayaan yang sempat hilang bisa kembali, sekaligus menggerakkan perekonomian desa. Bu Rini menuturkan semenjak adanya perubahan Kampung Tahu perlahan pelanggan mulai melirik produk-produk mereka.

(10)

Kehadiran Wisata Edukasi Kampung Tahu membawa angin segar untuk seluruh pemilik pabrik tahu. Paguyuban produsen tahu bersepakat tidak hanya menjual produk, tetapi membuka pembelajaran singkat tentang cara pembuatan tahu. Program yang disepakati oleh semua warga di Kampung Tahu ini berhasil menarik perhatian pengunjung, dan datang dengan kebutuhan berbeda-beda. Setiap harinya hampir tidak pernah sepi oleh pengunjung, bahkan ada yang datang untuk sekedar belajar membuat tahu. Berkat kunjungan yang kerap dijadikan agenda penting beberapa sekolah, semakin menaikkan nilai Kampung Tahu di mata masyarakat. Dampaknya kepercayaan masyarakat perlahan kembali, malah menjadikan Kampung Tahu sebagai salah satu ikon wisata kota Kediri.

Norms; Ikatan Interaksi Melalui Tradisi Rembugan

Narayan (1999) mendefinisikan modal sosial sebagai kumpulan norma dan hubungan sosial yang tertambat di dalam struktur sosial masyarakat, yang memungkinkan orang-orang untuk mengkoordinasikan tindakan dan mencapai tujuan bersama. Diikuti dengan pernyataan Fukuyama (1995) yang menjelaskan modal sosial sebagai rangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama oleh para aggota suatu kelompok masyarakat. Dari pengertian keduanya bisa disimpulkan secara jelas bahwa awal terbentuknya kerjasama, berdasarkan rasa percaya dan tradisi yang sudah merakar.

Begitu pula yang diterapkan oleh masyarakat Kampung Tahu, yang mana sudah mengadaptasi budaya rembugan sejak zaman dahulu. Melalui tradisi inilah masyarakat bisa menyatukan pendapat, sehingga bisa membangun visi dan misi desa yang diimpikan bersama. Dalam bahasa Jawa sendiri ‘rembugan’ mempunyai arti ‘musyawarah’, yang mana semua orang memiliki kebebasan berpendapat yang sama. Pengambilan keputusannya pun diambil dari mufakat yang benar-benar disetujui oleh semua pihak. Berkat tradisi inilah masyarakat Kampung Tahu kian maju, karena memang segala aspek perkembangannya bukan hanya berdasar kemauan satu orang saja.

Berawal dari gagasan Pak Pingi selaku pencetus untuk membentuk suatu komunitas para pengrajin tahu. Kemudian mereka melakukan perbaikan dari berbagai sisi guna beradaptasi di era modern. Dimana mereka sepakat untuk membangun suatu paguyuban, yang beranggotakan seluruh pengrajin pabrik yang ada di Desa Tinalan Kediri. Lewat rembugan inilah masyarakat akan saling berinteraksi, dan melakukan tindakan yang disetujui oleh sebagian besar penduduk. Maka tidak heran apabila saat ini sudah terbentuk Wisata Edukasi Kampung Tahu, yang berasal dari inisiatif masyarakat sendiri dan dibantu oleh pemerintah setempat.

Kultur yang terbentuk di masyarakat Kampung Tahu terbawa hingga generasi ke generasi. Mereka masih menjaga tradisi gotong royong dan rembugan, seperti ciri khas masyarakat hemogen pada umumnya. Meskipun sebagian besar sektor yang dipasarkan sama, namun tidak mengurangi rasa saling mendukung diantara pengrajin tahu. Segala urusan yang terkait dengan keberlangsungan Kampung Tahu ini tidak pernah luput dari adanya rembugan. Budaya yang telah mengakar tersebut membawa Kampung Tahu lebih tertata dan berkembang pesat. Menurut Pak Jamal, selaku informan pendukung, justru tradisi rembugan membawa hal positif antar masyarakat. Salah satunya yang paling terlihat ialah minimnya persaingan usaha di kalangan produsen tahu.

Sebenarnya pelaksanaan rembugan ini tidak menjadi masalah besar apabila tidak dilaksanakan. Hanya saja kebiasaan musyawarah sudah menjadi tradisi yang lama melekat. Apalagi jika berhubungan dengan mengambil keputusan yang melibatkan kepentingan bersama, tentu harus melalui rembugan terlebih dahulu. Sedangkan bagi yang tidak mengikuti agenda rutin tersebut harus berlapang dada menerima keputusan. Tidak ada sanksi jika melanggar tradisi satu ini, tetapi bisa jadi ketinggalan banyak informasi terkait proses produksi tahu.

Mode Bertahan Hidup: Aturan Tidak Tertulis; Tidak Menjual Produk di Luar Kampung Tahu

Peristiwa gebyah uyah pernah terjadi di kalangan pengrajin tahu Desa Tinalan. Dimana pada tahun 2000-an isu formalin sempat menjadi buah bibir masyarakat yang tak kunjung usai. Kala itu sebagian besar masyarakat Kediri enggan untuk membeli tahu yang dipasarkan oleh pengrajin Kampung Tahu. Dengan alasan bahwa rata-rata tahu yang beredar sudah dicampuri dengan bahan pengawet formalin. Mengingat tahu menjadi konsumsi harian, maka masyarakat memilih untuk mempercayai isu yang belum tentu kebenarannya.

(11)

Padahal setelah ditelusuri penggunaan formalin bukan berasal dari para pengrajin tahu di Kampung Tahu. Justru pabrik-pabrik tahu besar yang membawa dampak buruk pada masyarakat Kampung Tahu. Isu formalin yang berkembang ini membuat perekonomian Desa Tinalan memburuk, bahkan kehilangan pasar yang menjadi sumber pendapatan mereka. Dalam satu hari penjualan terus mengalami penurunan, terkadang produk tahu yang ditawarkan masih utuh dan tidak ada pemasukan yang diterima. Tidak sedikit para industri tahu yang gulung tikar, hanya beberapa produsen tahu saja yang mampu bertahan, namun tetap mengalami kerugian besar.

Permasalahan lainnya pun ikut muncul ketika industri tahu “MJS” milik Pak Jaiz pernah menjadi ‘kambing hitam’ oleh oknum tertentu, sehingga membuatnya kehilangan kepercayaan dari pelanggan. Pada tahun 2010, Pak Jaiz sudah mengisi produk tahu kuning dan tahu putih ke beberapa toko oleh-oleh di Kediri. Beliau tidak menyebutkan apa nama tokonya, tetapi ada satu toko yang tanpa meminta izin Pak Jaiz memberi label pada produk tahunya. Padahal saat itu nama “MJS” belum tercetus sama sekali, dan baru tahun 2015 pemberian nama pabrik tersebut diresmikan. Kala itu Pak Jaiz hanya mengetahui bahwa produksi tahu miliknya dibeli oleh pelanggan, tanpa tahu apabila produknya diberi label kembali. Fatalnya kejadian ini tidak hanya berlaku di “MJS” saja, namun juga beberapa pabrik tahu kecil di sekitar Desa Tinalan.

Berkat peristiwa inilah para pengrajin tahu di Desa Tinalan menjadi lebih berhati-hati. Terutama pihak asing yang tiba-tiba mengajak untuk bekerjasama. Sehingga muncul sikap cenderung menutup diri dari dunia luar, sebab terlalu takut untuk mempercayainya kembali. Itulah sebabnya sulit bagi para produsen tahu di Kampung Tahu berkembang pesat. Bahkan pihak pemerintahan pun sukar masuk ke dalam lingkaran masyarakatnya, dengan tujuan untuk mengembangkan perekonomian desa. Mereka enggan apabila diajak bekerjasama meskipun berpeluang untuk menghasilkan pemasukan yang lebih besar.

Dampak sifat waspada tersebut menimbulkan sikap antipati, yang mana sulit menerima kehadiran orang lain di tengah masyarakat. Paguyuban Kampung Tahu yang sengaja dibentuk membuat kesepakatan untuk tidak menjual produknya di luar Desa Tinalan. Sejak itulah sepanjang jalanan Kampung Tahu didirikan outlet-outlet yang berasal dari masing-masing pengrajin tahu. Bisa dikatakan mereka membuka lapak toko oleh-oleh tahu khas Kediri sendiri, tanpa harus menitipkan hasil produksinya ke tempat lain.

Aturan tidak menjual produk pribumi ini ke luar menjadi norms tidak tertulis, yang secara tidak langsung disepakati begitu saja. Para produsen tahu merasa memiliki kesamaan yang membuat mereka menjadi semakin kuat dan dekat. Mereka meyakininya sebagai bentuk bertahan hidup supaya tetap mencukupi kebutuhan ekonomi. Berusaha untuk bermain aman untuk menjaga produk tetap berada di pasaran, meskipun angka penjualan mendekati minus. Namun setidaknya tidak menambah kerugian dengan bertahan bersama mitra di luar Kampung Tahu. Mereka mencoba untuk berdiri sendiri dan melakukan prosesnya secara mandiri, oleh sebab itu hampir setiap produsen tahu memilih membuka toko di rumah atau mengedarkannya sendiri.

Networks: Sistem Neighborhood untuk Membangun Perekonomian Desa

Cohen dan Prusak L. (2001) menjelaskan, modal sosial adalah sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Bagi masyarakat desa, jaringan akan terbentuk dengan baik apabila aspek kepercayaan dijunjung tinggi. Maka akan sangat mudah untuk membuat networks, yang berdampak positif dalam segala perubahan di masyarakat, terutama peningkatan perekonomian.

Contohnya di dalam budaya Jawa kerabat menduduki tempat paling atas, yang di dahulukan untuk segala kepentingannya. Baru setelah itu mengandalkan orang di luar kerabat yang benar-benar dipercayai. Konsep kekerabatan inilah yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tinalan, terutama di kalangan para pengrajin tahu. Bedanya mereka menerapkan sistem neighborhood, atau tetangga sekitar lingkungan yang dipercaya untuk terlibat dalam usaha para produsen tahu. Efek perasaan dekat membuat suatu interaksi terkesan lebih intim, dibandingkan membuka komunikasi baru dengan orang asing. Selain itu lebih mudah apabila membuat kerjasama yang melibatkan tingkat kepercayaan tinggi.

Itulah mengapa masyarakat Desa Tinalan cenderung lebih mempercayai kerabat serta tetangga sekitar. Alasan pertama karena tidak perlu lagi beradaptasi dengan orang baru, sehingga mudah untuk menjalin komunikasi. Sementara itu alasan kedua, memang sudah menjadi tradisi turun-temurun pribumi untuk mendahulukan orang terdekat. Dan alasan ketiga ialah dengan

(12)

tetangga jauh lebih bersahabat dan rasa sungkan tidak begitu besar apabila bersilangan pendapat. Ketiga alasan ini menjadi patokan mengapa sebagian besar pengrajin tahu lebih menaruh percaya kepada tetangga atau kerabat sendiri, disamping norms tidak tertulis yang sudah berlangsung sejak dahulu kala.

Sebenarnya neighborhood ini berawal dari hubungan antar tetangga yang rekat dan terjalin dekat. Sehingga komunikasi yang terjadi mudah untuk saling memahami. Dari sinilah timbul trust yang menjadi kunci adanya kerjasama dan menciptakan proses produksi masif. Trust yang membuat para produsen cenderung lebih percaya kepada tetangga sendiri, untuk menjaga agar proses produksi tahu tetap berlangsung. Rasa kekerabatan yang intim terhadap para tetangga membuat produsen tahu mudah menyerahkan segala keperluan produksi.

Selain itu rata-rata penduduk Kampung Tahu masih minim dalam hal pendidikan, sehingga sulit untuk mencari pekerjaan di tengah persaingan milenial. Oleh karena itu, para pemilik pabrik tahu di Desa Tinalan sepakat untuk mengambil tenaga kerja dari tetangga terdekat. Layaknya ciri khas masyarakat Jawa yang sangat menghargai hubungan antar tetangga, maka mereka mendahulukan tetangga untuk urusan produksi tahu. Mengingat apabila membutuhkan bantuan para tetangga lebih dahulu yang akan datang membantu.

Adanya neighborhood di tengah masyarakat Kampung Tahu perlahan memperbaiki kondisi ekonomi sekitar. Alhasil tidak hanya pemilik pabrik tahu saja yang merasa diuntungkan, tetapi berdampak positif pula untuk perekonomian Desa Tinalan. Tidak perlu repot mengambil pekerja yang jaraknya jauh dari lokasi tahu, dan cukup kesulitan menghubungi apabila perlu memproduksi tahu dalam jumlah banyak. Si pemilik pabrik tahu cukup memberitahukan dari jarak dekat, tanpa membuang tenaga maupun waktu.

Pola komunikasi yang terjalin antar tetangga pun saling mengerti satu sama lain. Hal ini karena penyamaan frekuensi sudah dilakukan selama beberapa tahun. Sedangkan pekerja yang berasal dari luar Kampung Tahu terkadang kurang selaras dengan maksud pemilik pabrik tahu. Oleh sebab itu, sering terjadi salah paham yang beresiko terjadinya gagal produksi. Lain cerita dengan tetangga sendiri yang interaksinya lebih sering, sehingga mengeluarkan pendapat menjadi mudah dimengerti karena trust dan norms yang dipatuhi.

Peran Modal Sosial untuk Pemberdayaan Desa Tinalan Melalui One Village One Product (OVOP)

Sejak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa setiap daerah diberi keleluasaan untuk menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan serta dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Pemerintah mencanangkan pembangunan yang bersifat bottom-up, sehingga masyarakat terlibat langsung di dalamnya. Masyarakat diberi peran untuk berkreativitas dan berinovasi dalam mengelola potensi desa. Tidak adanya campur tangan langsung dari pemerintah pusat terhadap daerah, dengan harapan pembangunan diarahkan untuk memperbaiki kehidupan rakyat menjadi lebih baik.

Basis pembangunan bersifat bottom-up inilah yang menjadi acuan pemerintah pusat, untuk membuat arah pemberdayaan merujuk pada desa. Beberapa program untuk masyarakat desa pun dirancang, termasuk salah satunya One Village One Product (OVOP). Hal ini karena prinsip-prinsip OVOP mampu mendorong seluruh potensi yang ada di desa, sehingga dapat meningkatkan pendapatan asli daerah. Program ini memaksimalkan potensi sumber daya alam suatu wilayah, dengan melibatkan sumber daya manusia lokal sebagai subjek penggerak. OVOP bisa menjadi solusi ketika Indonesia mengalami fase bonus demografi, dimana dalam jangka waktu tersebut manusia membutuhkan pemberdayaan yang dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity

building).

Tujuannya untuk menghasilkan produktivitas yang maksimal, supaya pertumbuhan ekonomi berada pada angka yang stabil. Apalagi produktivitas tidak cukup apabila hanya mengandalkan modal (K), perlu faktor input tenaga kerja (L) sebagai penambahan untuk menciptakan produktivitas. Namun seiring berjalannya waktu, ternyata input tenaga kerja (L) tidak hanya berbicara tentang kuatitas, sebab ada kualitas tenaga kerja yang mengikuti. Input tenaga kerja (L) akan menjadi lengkap jika dibarengi dengan keterampilan, pengetahuan, dan disiplin kerja. Maka dari itu, program OVOP sangat membantu dalam menangani pemberdayaan masyarakat yang jangkauannya jauh dari pemerintah. Harapannya OVOP dapat merangkul semua lapisan masyarakat, sehingga setiap orang mendapatkan peningkatan kesejahteraan.

(13)

Salah satunya Desa Tinalan di Kota Kediri yang menciptakan OVOP berupa “Wisata Edukasi Kampung Tahu”, hasil kesepakatan masyarakat untuk mempromosikan produk desa mereka. Produk olahan tahu berupa tahu kuning, tahu takwa, stik tahu, dan tahu kres. Bahkan setelah hampir dua tahun berdiri sudah menjadi ikon kuliner Kota Kediri, sekaligus pusat oleh-oleh yang menjadi jujugan para wisatawan. Tentu saja hal ini membawa Wisata Edukasi Kampung Tahu menjadi role model yang memiliki nilai jual tinggi di mata wisatawan.

OVOP yang berjalan di Kampung Tahu tidak terlepas dari modal sosial yang ada di dalamnya. Kombinasi antara tiga prinsip OVOP dengan modal sosial di desa Tinalan cukup kuat, sehingga kinerja yang dihasilkan sangat maksimal. Di Kampung Tahu, modal sosial mampu berakselarasi dengan baik dan menghasilkan produktivitas. Produsen tahu mempunyai kebiasaan turun-temurun yang ternyata membantu Desa Tinalan untuk melakukan pemberdayaan bersama. Interaksi trust, norms, dan networks di Kampung Tahu cukup intim, sehingga mudah untuk menghasilkan kerjasama yang selaras.

Wisata Edukasi Kampung Tahu tumbuh karena trust antar masyarakat yang kuat. Para produsen tahu saling mempercayai baik sesama pengusaha maupun pekerjanya. Trust inilah yang membuat masyarakat bersatu untuk membangun Kampung Tahu, demi mencapai kesejahteraan setiap lapisan warga desanya. Alasan kedua karena adanya norms yang berlaku, dimana setiap pengambilan keputusan didasarkan pada hasil rembugan. Kemudian mencari solusi yang disepakati bersama, dan tidak berasal dari suara satu orang atau kelompok yang unggul. Alasan ketiga ialah networks yang terbentuk di desa Tinalan. Jaringan sosial di Kampung Tahu tidak melibatkan pihak luar, anggotanya berisikan penduduk asli desa Tinalan. Sehingga belum terpengaruh hal-hal yang sekiranya bisa menghambat pemberdayaan masyarakat.

Namun, beberapa produsen tahu masih ada yang enggan untuk berkembang, dengan alasan dipasarkan dengan gaya standar saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh sebab itu, OVOP mengambil bagian dalam menyelesaikan pemikiran yang masih enggan untuk bertemu dengan dunia luar. Sedangkan modal sosial bertugas untuk mendorong human sebagai input produktivitas. Apalagi di tengah situasi padat karya yang mengharuskan masyarakat untuk bergerak efektif, inovatif, dan efisien. Adanya modal sosial akan membantu pemerintah untuk mewujudkan pembangunan manusia, serta menciptakan kesejahteraan masyarakat yang merata.

E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil observasi dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1. Trust produsen tahu berupa keleluasaan untuk saling mempercayai segala komponen dalam proses produksi. Pertama, trust kepada sesama produsen tahu yang saling membantu apabila salah satunya kehabisan bahan baku. Biasanya ada produsen tahu yang memberikan sisa bahannya ke produsen yang membutuhkan. Namun, ada juga yang menjual kebutuhan produsen tersebut dengan harga yang murah. Rasa saling membantu inilah yang menjadi alasan mengapa trust yang terjalin begitu kuat. Bahkan berimbas kepada saling percaya untuk penyerahan proses produksi ke masyarakat sekitar.

2. Norms yang mengikat di masyarakat Kampung Tahu membuat jalinan komunikasi semakin intim. Pasalnya ada aturan tidak tertulis yang menciptakan keserasian dalam hubungan masyarakat. Pertama, tradisi rembugan untuk mengambil keputusan bersama sehingga meminimal selisih paham. Kedua, aturan unggah-ungguh dalam cara berbicara menggunakan tingkatan tata bahasa Jawa. Meskipun terlihat sederhana namun ternyata unggah-ungguh menjadi faktor lancarnya komunikasi di masyarakat Kampung Tahu. Ketiga, aturan tidak menjual produk diluar Kampung Tahu, maksudnya menitipkan produk di salah satu pusat oleh-oleh.

3. Jaringan sosial berupa sistem neighborhood membuat perekonomian Kampung Tahu merata. Pasalnya para pemilik tahu cenderung mengambil pekerja dari tetangga sendiri, sehingga tidak hanya produsen saja yang berubah secara perekonomian. Alasannya karena hubungan antar tetangga membawa efek trust yang kuat. Alhasil para produsen tahu mudah menyerahkan proses produksi kepada pekerja-pekerja ini.

(14)

Saran

Berdasarkan penjabaran kesimpulan diatas, akan diberikan saran berupa:

1. Perkembangan Wisata Edukasi Kampung Tahu kurang puas hanya menjadi daerah untuk studi banding saja. Pemerintah dan paguyuban produsen tahu bisa mengubahnya menjadi desa wisata secara perlahan. Apalagi dengan norms yang ada di masyarakat cenderung lebih mudah untuk berkomunikasi. Selain itu, masalah aturan tidak boleh menjual produk di luar Kampung Tahu dapat dipertimbangkan kembali. Pasalnya, produk tidak akan dikenal luas jika hanya berada dalam lingkup kecil. Untuk mencapai keberhasilan produksi tentunya perlu memberanikan diri untuk bertemu dunia luar, dan membaca persaingan usaha supaya dapat membenahi yang kurang.

2. Jaringan sosial yang terbentuk sudah cukup intim dan cenderung meminimal konflik. Model

neighborhood yang dibangun bisa ditirukan oleh beberapa desa lainnya. Banyak manfaat yang

didapatkan salah satunya menghemat tenaga serta waktu. Selain itu, Kampung Tahu perlu memperbaiki networks yang ada agar tidak terkotak pada area lokal saja. Mulai bergerak memperkenalkan produk tahu dari Kampung Tahu melalui website khusus. Nantinya juga akan berdampak pada jumlah pengunjung yang datang ke Wisata Edukasi Kampung Tahu.

F. DAFAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2012. Meneropong Konsep Pertumbuhan Ekonomi (Telaah atas Kontribusi Sistem Ekonomi Islam atas Sistem Ekonomi Konvensional). Al-Ihkam Vol. 7, No. 2, Desember 2012.

Afrizal. 2016. Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian

Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. Dinamika

Pembangunan.

Ancok, D. 2003. Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Jogjakarta.

Anggraeni, Rita. 2019. Angka Pengangguran di Indonesia Capai 7,05 Juta di Agustus 2019.

https://ekbis.sindonews.com/read/1455746/34/angka-pengangguran-di-indonesia-capai-705-juta-di-agustus-2019-1572939479 diakses pada 05 Januari 2020

Atmanti, Hastarini Dwi. 2005. Investasi Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan. Vol. 2 No. 1 / lull 2005: 30 – 39.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Statistik Modal Sosial. Tersedia: www.bps.go.id diakses pada tanggal 30 September 2019.

Badan Pusat Statistik. 2018. Jumlah Desa/Kelurahan di Indonesia. www.bps.go.id diakses pada tanggal 15 November 2020

Badan Pusat Statistik. 2018. Statistika Daerah Kota Kediri 2018. No. Publikasi: 35710.1807. Katalog: 1101002.3571 www.bps.go.id diakses pada tanggal 15 November 2020

Badan Pusat Statistik. 2019. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV-2018 No. 15/02/Th.

XXII www.bps.go.id diakses pada tanggal 19 September 2019

Bank Indonesia. 2018. Laporan Perekonomian Indonesia 2018. https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan/perekonomian/Pages/LPI_2018.aspx

(15)

Bantarso, A.B. 2004. Kampus Biru Menggugat: Bunga Rampai Tulisan Alumni FISIPOL UGM (Seri I). KA. FISIPOL GAMA. Jakarta.

Bintarto, R. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Burt. R.S. 1992. “Except from The Social Structure of Competition”, dalam Structure Holes: The

Social Structure of Competition. Cambridge, MA, and London: Harvard University.

Cahyono, Budhi. 2014. Peran Modal Sosial dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Petani Tembakau di Kabupaten Wonosobo. EKOBIS Vol. 15, No.1, Januari 2014: 1-16.

Chambers, R. 1985. Rural Development: Putting the Last First. London, New York: Longman. Chapra, Umer. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi (Sebuah Tinjauan Islam). Jakarta: Gema Insani

Press.

Claymone, Yoopin, and Watunyu Jaiborisudhi. 2011. A study on one village one product project (OVOP) in Japan and Thailand as an alternative of community development in Indonesia.

The International Journal of East Asian Studies.

Coleman, James S. 1988. Foundations of Social Theory. Cambridge: Mass: Harvard University Press.

Coleman, James S. 2008. Dasar-dasar Teori Sosial. Bandung: Nusa Media

Decentralization Support Facility. 2011. Indonesia’s Intergovernmental Transfer; Response on

Future Demographic and Urbanization Shifts. https://www.worldbank.org diakses pada tanggal 2 November 2019

Dhesi, Autar S. 2000. Social Capital and Community Development. Community Development

Journal. Vol. 30, No. 3, July: 199-214.

Eko, Sutoro dan Tim. 2014. Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD).

Farah, Alfa dan Erlinda Puspita Sari. 2014. Modal Manusia dan Produktivitas. Universitas Diponegoro. Journal of Economics and Policy. Jejak 7 (1) (2014): 22-28. DOI: 10.15294/jejak.v7i1.3840.

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia.

Frank, R. H., & Bermanke, B. S. 2007. Principles of Microeconomics (Third Edition). New York: McGraw-Hill/Irwan.

Fukuyama, Francis. 1999. The Great Disruption Human Nature and The Reconstitution of Social

Order. New York: The Free Pass.

Fukuyama, Francis. 2002. Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Fukuyama, Francis. 2005. Guncangan Besar: Kodrat Manusia dan Tata Sosial Baru. Penerjemah: Masri Maris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

(16)

Herdiansyah, Haris. 2011. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Hill, H., M.E. Khan, dan J. Zhuang. 2012. Diagnosing the Indonesian Economy: Toward Inclusive

and Green Growth. London: Anthem Press dan Asian Development Bank.

Ibnu Khaldun, Abdurrahman. 1994. Muqqddimah Ibnu Khaldun. Beirut: Muassasah Al-Kutub Ats Tsaqafiyah.

Inayah. 2012. Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan. Ragam: Jurnal Pengembangan

Humaniora Politeknik Negeri Semarang, Vol. 12 No. 1.

Jati, Wasito Raharjo. 2015. Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi: Jendela Peluang Atau Jendela Bencana Di Indonesia?. Populasi, Volume 26 Nomer 1 Tahun 2015.

Karmilah, Mila, Wiendu Nuryanti, Nindyo Soewarno, dan Bakti Setiawan. 2014. Pasedhuluran As A Social Capital For Local Economic Development: Evidence From A Pottery Village.

Jurnal Komunitas: Research & Learning in Sociology and Anthropology; 6 (1) (2014):

16-25.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. 2016. Buku Teknis Sarana

dan Prasarana Pendukung Ekonomi Daerah. Jakarta: KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat

dan Pelayanan untuk Kesehatan) dan Australian Aid.

Knack and Keefer. 1997. Does Social Have an Economic Payoff? A Cross-Country Investigation.

Quarterly Journal of Economics, Vol. 112, No. 4.

Kutsiyah, Farahdilla. 2017. Peforma Desa yang Diusulkan untuk Penerapan One Village One Product (OVOP) di Kabupaten Pamekasan. IQTISHADIA Jurnal Ekonomi dan

Perbankan Syariah, Vol. 4 N0. 1 Juni 2017.

Lawang, R.M.Z. 2005. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologi Cetakan Kedua. Depok: FISIP UI Press

Luthfia, Agusniar Rizka. 2013. Menilik Urgensi Desa Di Era Otonomi Daerah. Journal of Rural

and Development, Volume IV No. 2 Agustus: 135-143.

Manzilati, Asfi. 2017. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma, Metode, dan Aplikasi. Malang: Universitas Brawijaya Press (UB Press).

Marheni, A.A.I.N, Ni Nyoman Yuliarni and Nyoman Djinar Setiawan. 2019. Empowering Small Industry of Wood Carving Handicraft in Bangli District. Asia Pacific Journal of

Innovation and Entrepreneurship, Vol.13 No.1, 2019 pp. 121-136 Emerald Publishing

Limited 2398-7812

Narayan, D., & Pritchett, L. 1999. Cents and sociability: Household income and social capital in rural Tanzania. Economic Development and Cultural Change, 47(4): 871-897.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2013. Metodologi Penelitian: Memberikan Bekal Teoritis

pada Mahasiswa tentang Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Natsuda, Kaoru, Kunio Igusa, Aree Wiboonpongse, Aree Cheamuangphan, Sombat Shingkharat, and John Thoburn. 2011. One Village One Product-Rural Development Strategy in Asia: The Case of OTOP in Thailand. RCAPS Working Paper No. 11, 3 August 2011.

(17)

Pasmadi, Achmad Kurniawan. 2009. Konsep Rezeki dalam Pandangan Para Pedagang Pasar. Skripsi tidak diterbitkan. Surakarta: Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Prijono, Yumiko M. dan Priyono Tjiptoherijanto. 1983. Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Putnam, Robert D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. USA: Priceton University Press.

Robison, Lindon J., Marcelo E. Siles, dan A. Allan Schmid. 2002. “Social Capital and Poverty

Reduction: Toward a Mature Paradigm”. Department of Agricultural Economics,

Michigan State University: Research Report No. 13. (Revisi dari makalah yang disampaikan dalam konperensi “Social Capital and Poverty Reduction in Latin America

and the Caribbean”), 24-26 September 2001, di Santiago, Chile.

Rofik dan Asyhabuddin. 2005. Nilai-nilai Dasar Islam Sebagai Modal Sosial Dalam Pengembangan Masyarakat. Aplikasia, Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol. VI, No. 2 Desember 2005: 175-188.

Rohayah, Aulia Ayu. 2017. Makna Rizqi dalam Al-Qur’an Prespektif Masyarakat Keluarga Bahagia Kabupaten Bekasi. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

Rosen, H. S. 1999. Public Finance. New York: McGraw-Hill.

Samuelson, Paul A dan William D. Nordhaus. 2004. Ilmu Makroekonomi Edisi 17. Alih bahasa oleh Gretta… [et.al.]; penyunting, Margaretha Sumaryati. Jakarta: PT Media Global Edukasi.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Schultz, T.W. 1961. A Contribution to The Theory of Economic Growth. Quarterly Journal of

Economics, 70(1), 65-94.

Sidik, Fajar (2015) Menggali Potensi Lokal Mewujudkan Kemandirian Desa. Jurnal Kebijakan &

Administrasi Publik Vol. 19 No. 2-November 2015 p-ISSN 0852-9213, e-ISSN

2477-4693

Sodiq, Amirus. 2015. Konsep Kesejahteraan Dalam Islam. STAIN Kudus: EQUILBRIUM, Vol. 3, No. 2, Desember 2015.

Soleh, Ahmad (2017) Strategi Pengembangan Potensi Desa. Jurnal Sungkari Vol. 5 No. 1, Edisi Februari 2017 Hal: 32-52

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuatitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suharto, Edi. 2008. Islam, Modal Sosial, dan Pengentasan Kemiskinan. Disampaikan dalam Seminar Indonesia Social Economic Outlook, Dompet Dhuafa, Jakarta 8 Januari 2008. Sumodiningrat, Gunawan dan Ari Wulandari. 2016. Membangun Indonesia dari Desa. Jakarta: PT

BUKU SERU.

Suyanto dan Bambang Pudhianto. 2015. Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa Sejahtera (Studi Kasus di Kabupaten Sragen). SOSIO KONSEPSIA Vol. 5, No. 01, September-Desember, Tahun 2015.

(18)

Syahid, Mar. 2018. Modal Sosial dalam Strategi Akses Pasar Komoditas Jeruk Siam (Studi Kasus Komoditas Jeruk Siam desa Sambimulyo Banyuwangi). Momentum: Jurnal Ilmiah Ilmu

Sosial dan Keagamaan Volume 07 No. 1 November 2018.

Syahra, Rusydi. 2003. Modal Sosial: Konsep dan Aplikasi. Jurnal Masyarakat dan Budaya 5 (1): 1-22.

Syahriar, Galang Hendri dan Darwanto. 2015. Modal Sosial dalam Pengembangan Ekonomi Pariwisata (Khsusus Daerah Obyek Wisata Solo Kabupaten Kudus) Jurnal Ekonomi

Regional 10: 126-38.

Thanh, Long Hoang, Linh Ta Nhat, Hao Nguyen Dang, Thi Minh Hop Ho, and Phillippe Lebaily. 2018. One Village One Product (OVOP)—A Rural Development Strategy and the Early Adaption in Vietnam, the Case of Quang Ninh Province. Sustainability 2018, 10, 4485; doi:10.3390/su10124485

Thobias, Erwin, A.K. Tungka, dan J.J. Rogahang. 2013. Pengaruh Modal Sosial Terhadap Perilaku Kewirausahaan (Suatu Studi Pada Pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah Di Kecamatan Kabaruan Kabupaten Kepulauan Talaud). Acta Diuma (April): 1-23.

Tittenbrun, Jacek. 2013. Social Capital, Trust and Ideology. Poland. University of Poznan: JEL

Classification Z 13 Vo. 15 Issue 1 2013.

Triharini, Meirina, Dwinita Larasati, dan R. Susanto. 2014. Pendekatan One Village One Product untuk Mengembangkan Potensi Kerajinan Daerah (Studi Kasus: Kerajinan Gerabah di Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta). ITB J.Vis. Art & Des, Vol. 6, No. 1, 2014, 29-42.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa. 2015. Jakarta: Disahkan oleh Menkunham.

Wahyudi, Aris. 2016. Efektivitas dan Efisiensi Implementasi OVOP dalam Pengembangan IKM Gerabah di Kasongan. Tata Kelola Seni: Vol. 2 No. 1 Juni 2016.

World Bank. 1998. The Initiative on Defining, Monitoring and Measuring Social Capital: Text of Proposal Approved for Funding. Social Development Departement The World Bank:

Sosial Capital Initiative Working Paper Series No. 2 diunduh pada 02 Januari 2020.

Zainuri, Sebastiana Viphindratin dan Silvi Asna. 2018. Social Capital Strengthening Strategy for Maintaining Investment Sustainability in Lumajang Regency. International Journal of

Referensi

Dokumen terkait

bahwa plyometric adalah latihan yang meningkatkan daya ledak. Dari hasil observasi dan pemantauan terhadap Club PB Angkasa bahwa bakat dan minat yang dimiliki oleh

Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang memerlukan solusi pengembangan produk. Analisis kebutuhan dilaksanakan melalui observasi, angket dan

Foreman memiliki nilai awal bitrate yang lebih besar karena seluruh frame bergerak dan pergerakannya tidak stabil, hal ini menyebabkan prediksi temporal dilakukan

Hasil sintesis yang diperoleh dalam FPGA Spartan-3E untuk mengimplementasikan convolutional encoder (2, 1, 8) mengkonsumsi komponen 3 slices, 6 slice flip-flop,

Seiring dengan berkembangnya kota menjadi pusat perdagangan maritim, wilayah perkotaan tumbuh ke arah barat digali sebagai saluran sudetan untuk membuang limpasan dari Kali Brantas

tanggapan tentang rasa tablet hisap ekstrak etanol daun sirih merah dengan. mengisi angket yang

Solusi dari model game theory menunjukkan strategi mana yang dapat dipilih oleh masing-masing entitas yang terlibat untuk mendapatkan nilai payoff yang

Di Indonesia, kondisi ini merupakan wujud dari keberhasilan program kontrol kelahiran bayi yang dicanangkan secara intensif pada tahun 1960-1970 an yaitu Program