• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “aman“.1 Bahkan diIndonesia khususnya dalam bidang bisnis, sering terjadi persaingan antara produsen (pelaku usaha) dan produsen (pelaku usaha) lainnya, yang mana dalam menarik konsumen atau keuntungan para pelaku usaha sering memakai berbagai cara yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Adanya tindakan pelaku usaha semacam itu dapat mengakibatkan kerugian bagi masyarakat konsumen, dan dengan tindakan tersebut pula hak-hak konsumen tidak terlindungi.2 Oleh karenanya diperlukan suatu instrumen hukum yang mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen.

Janus Sidabalok mengemukakan ada empat alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut :

1Husni Syawali & Neni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar

Maju, Bandung, hal. 33.

2 Davina M.P Ketaren, Penyelesaian Perselisihan Premium Call Antara PT. TELKOM dan

Konsumen Melalui Mediasi Oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tesis Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesa, Depok, 2007, hal.2

(2)

1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut Undang-Undang Dasar 1945;

2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi;

3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pambangunan nasional; 4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana

pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.3

Menurut Erman Rajagukguk, “Perlindungan konsumen tidak saja terhadap barang-barang berkualitas rendah tetapi juga terhadap barang-barang yang membahayakan kehidupan manusia. Umpamanya, makanan, obat, dan minuman”.4 Salah satu bentuk pelanggaran hak-hak konsumen adalah konsumen memperoleh produk yang tidak sebagaimana isi di penjelasan dalam kemasan. Disini pelaku usaha telah melanggar hak konsumen yang sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

a) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

3Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal 6.

4Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung

Jawab Mutlak, Bantuan Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.4.

(3)

b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;

e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Disamping hak-hak dalam pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.5 Adapun Kewajiban Pelaku Usaha menurut Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen, yaitu :

(4)

a) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Terhadap kasus produk kosmetik yang tidak mencantumkan label halal dalam produknya, berarti disini pelaku usaha telah melanggar hak konsumen yaitu Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Disini konsumen yang beragama Islam, telah dilanggar hak

(5)

konsumennya untuk memperoleh suatu produk kecantikan yang halal yang tidak terkandung unsur-unsur yang menurut ajaran agama Islam itu menimbulkan dosa. Mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan yang wajib bagi umat muslim,baik itu pangan, obat-obatan, kosmetika maupun barang-barang konsumsi lainnya. Banyaknya produk-produk yang belum bersertifikat halal mengakibatkan konsumen, terutama konsumen muslim, sulit untuk membedakan produk mana yang benar-benar halal dan dapat dikonsumsi sesuai dengan syariat Islam dengan produk yang tidak halal. Sehingga kebutuhan label halal terhadap suatu produk (khususnya kosmetik) sangatlah penting guna menjawab keresahan umat muslim dalam menentukan suatu produk yang akan dikonsumsi/dipergunakannya.

Kehalalan suatu produk didasarkan atas pada bahan-bahan yang dipergunakan dalam pengolahan suatu produk. Terhadap makanan suatu kehalalan dilihat dari komposisi bahan-bahan yang dipergunakan. Dimana kehalalan yang didasarkan pada kaidah-kaidah hukum agama Islam, dijadikan patokan. Seperti bahan yang berasal dari babi atau binatang yang termasuk tidak halal/haram tidak boleh dipergunakan. Begitu halnya dengan kosmetik, indikator suatu kosmetik dianggap halal adalah apabila bahan-bahan yang dijadikan komposisinya merupakan bahan-bahan yang halal tidak berasal dari bahan haram seperti bahan yang terbuat dari bahan non halal seperti plasenta bayi, kolagen, lactic acid, gliserin, khamar (industri minuman keras membatasi presentase penggunaan alkohol/ethanol dalam kosmetik), unsur dari babi dan sebagainya. Kehalalan merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat khususnya umat muslim,

(6)

agar dalam menjalankan ibadahnya umat muslim tidak melanggar aturan agamanya.

Baru-baru ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (selanjutnya disebut Badan POM) mengumumkan 27 merek kosmetik yang ternyata positif mengandung bahan berbahaya yaitu Merkuri (Hg), Hidroquinon, Asam Retinoat (Retinoic Acid), zat warna Rhodenin (Merah K.10) dan Merah K.3. Merkuri merupakan bahan berbahaya yang dapat berdampak buruk pada kesehatan kulit dan bisa menimbulkan keracunan bila digunakan dalam waktu yang lama kendati Cuma dioleskan pada permukaan kulit namun Merkuri (Hg) mudah diserap masuk ke dalam darah, lalu memasuki ke saraf tubuh, maka dari itu merkuri (Hg) tidak boleh dipergunakan dalam kosmetik, sedangkan Hidroquinon pemakaiannya tidak boleh lebih dari 2 persen itupun harus dibawah pengawasan dokter. Jadi tidak bisa sembarangan digunakan.

Salah satu produk kosmetik yang diumumkan mengandung bahan berbahaya yaitu Doctor Kayama yang produknya berupa whitening day cream dan whitening night cream. Padahal Doctor Kayama merupakan produk kosmetik yang cukup terkenal dan harganya pun mahal.

Hasil dari penelitian Badan POM mengatakan produk kosmetik tersebut mengandung Merkuri yang dapat membahayakan kesehatan. Karena pemakaian dari produk tersebut ada konsumen dari Doctor Kayama mengalami gatal-gatal pada kulit dan timbul bitnik-bintik seperti jerawat yang cukup banyak pada muka. Konsumen telah dirugikan yang harusnya dengan memakai produk kosmetik whitening cream kulit menjadi halus dan cerah namun yang terjadi sebaliknya

(7)

kulit menjadi rusak. Kurangnya informasi yang diberikan oleh pelaku usaha telah melanggar hak-hak konsumen. Kurangnya pengawasan dari Badan POM menyebabkan produk-produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya masih beredar dipasaran sehingga mudah ditemukan oleh para konsumen.6

Banyaknya beredar merek-merek kosmetik yang dijual dipasaran dengan kemasan yang menarik, dan menjanjikan akan mendapatkan hasil dalam waktu singkat perlu diwaspadai oleh masyarakat. Konsumen harus lebih waspada serta jeli sebelum membeli produk kosmetik. Produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya memiliki efek samping yang berdampak pada kerusakan kulit akibat dari pemakaian produk tersebut yang sebelumnya tidak ada keterangan atau petunjuk dokter.

Berdasarkan keputusan presiden dibentuk Badan POM, yang bertugas di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dibentuknya Badan POM bertujuan untuk mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termasuk untuk melindungi keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumen. Badan POM memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan penegakan hukum dan memiliki kredibilitas profesional yang tinggi.

Kurangnya perhatian masyarakat terhadap produk yang aman dan penegakan hukum yang masih sangat kurang. Implementasi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) juga kurang berjalan dengan baik, ini dapat dilihat dari berkali-kali

6 Okta Fridayanti, “Konsumen dirugikan oleh produk Kosmetik Doctor Kayama” artikel ini

(8)

dilakukan razia terhadap produk-produk kosmetik yang tidak terdaftar dan mengandung bahan berbahaya, namun di pasaran tetap saja banyak produk- produk tersebut masih terjual bebas.

Penanganan perlindungan konsumen selama ini belum dilaksanakan terpadu, sehingga kepentingan konsumen terhadap hak dan kewajibannya masih belum sesuai yang diharapkan, maka upaya memberdayakan masyarakat konsumen dipandang perlu penanganan masalah perlindungan konsumen yang terpadu dan komprehensif.

Praktek monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen telah meletakkan “posisi” konsumen dalam tingkat yang terendah dalam meghadapi para pelaku usaha (dalam arti seluas-luasnya).7

Pengaturan tentang kehalalan suatu produk sebenarnya telah ada, yakni Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Akan tetapi timbul persoalan, bagaimana penerapan aturan hukum tersebut dalam produk kosmetik. Sebab dimasyarakat banyak ditemukan kosmetik (alat-alat kecantikan) yang bahannya tidak halal/tidak sesuai dengan apa yang menurut umat Islam layak untuk dipergunakan. Sehingga disini terjadi kekosongan aturan hukum tentang pengaturan label halal dalam suatu produk kecantikan.

7 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Ctk.

(9)

Berdasarkan latar belakang diatas mendorong penulis untuk melakukan penelitian hukum yang dituangkan dalam sebuh skripsi yang berjudul

:“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM

PRODUK ALAT KECANTIKAN (KOSMETIKA) YANG TIDAK MENCANTUMKAN LABEL HALAL”

1.2. Rumusan Masalah

Memperhatikan dari latar belakang diatas, maka timbul persoalan sebagai berikut :

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen pengguna produk alat kecantikan yang tidak mencantumkan label halal ?

2. Bagaimana Tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan produk kosmetik yang tidak mencantumkan label halal ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Mengingat begitu luasnya permasalahan yang dapat diangkat, maka dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas nanti. Adapun permasalahan pertama dibatasi hanya pada perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk alat kecantikan yang tidak mencantumkan label halal.Sedangkan Permasalahan Kedua dibatasi pada Tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan suatu produk kosmetik yang tidak mencantumkan label halal

(10)

1.4. Orisinalitas Penelitian

Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa judul penelitian tesis atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 1 Skripsi dan 1 Tesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan “Perlindungan hukum terhadap konsumen dalam produk alat kecantikan (kosmetika) yang tidak mencantumkan label halal”. Tabel 1.1. Daftar Penelitian Sejenis

No Judul Penulis Rumusan Masalah

1. Perlindungan Hukum Konsumen dalam Pelabelan Produk Pangan. Anak Agung Ayu Diah Indrawati (Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana), Tahun 2011.

1. Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen?

2. Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan label pangan?

2. Tinjauan Yuridis Pengaturan Perlindungan Hukum Anung Razaini Firmansyah, (Mahasiswa 1. Bagaimanakah pengaturan sertifikasi dan lebelisasi halal sebagai bentuk

(11)

Terhadap Pemalsuan Sertifikasi dan Labelisasi Halal Sebagai Bentuk Legitimasi Kehalalan Produk di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret), Tahun 2010.

legitimasi kehalalan produk di Indonesia ?

2. Bagaimana bentuk

perlindungan hukum bagi

konsumen terhadap

pemalsuan sertifikasi dan lebelisasi halal ?

Tabel 1.2. Daftar Penelitian Penulis

No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1. Perlindungan hukum terhadap konsumen dalam produk alat kecantikan (kosmetika) yang tidak mencantumkan label halal Nyoman Angga Pandu Wijaya, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Tahun 2014. 1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk alat kecantikan yang tidak mencantumkan label halal ? 2. Bagaimana Tanggung

jawab pelaku usaha

terhadap pelanggaran ketentuan suatu produk kosmetik yang tidak mencantumkan label halal ?

(12)

1.5. Tujuan Penelitian

Agar penelitian ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus memiliki tujuan sehingga dapat memenuhi target yang dikehendaki. Adapun tujuannya digolongkan menjadi dua bagian, yaitu ;

1.5.1. Tujuan umum

Ada pun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk memperoleh pemahaman sejauh mana adanya Perlindungan Hukum terhadap konsumen dalam produk alat-alat kecantikan (kosmetika) yang tanpa mencantumkan label halal.

1.5.2. Tujuan khusus

Disamping Tujuan Umum terdapat juga Tujuan Khusus. Adapun tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memahami perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk alat kecantikan yang tidak mencantumkan label halal;

2. Untuk memahami tanggung pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan suatu produk kosmetik yang tidak mencantumkan label halal.

1.6. Manfaat Penelitian

Agar penelitian ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus memiliki manfaat sehingga dapat memenuhi target yang dikehendaki. Adapun manfaatnya digolongkan menjadi dua bagian, yaitu ;

(13)

1.6.1. Manfaat teoritis

Seluruh hasil penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan penelitian atau penulisan selanjutnya bagi lembaga Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai bahan referensi pada perpustakaan.Selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan pengembangan dalam ilmu hukum bisnis khususnya dalam hukum perlindungan konsumen.

1.6.2. Manfaat praktis

Disamping manfaat teoritis terdapat juga manfaat praktis. Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Dapat memberikan suatu pengalaman bagi mahasiswa dalam melakukan penelitian, sehingga mahasiswa dapat mengetahui pelaksanaan hukum perlindungan konsumen di dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Badan Pengawasan Obat dan Makanan dalam upaya perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk kosmetik yang tidak mencantumkan label halal. 3. Dapat mengetahui dan memahami perlindungan hukum bagi

konsumen terhadap produk alat kecantikan yang tidak mencantumkan label halal.

4. Dapat mengetahuidan memahami tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan suatu produk kosmetik yang tidak mencantumkan label halal.

(14)

1.7. Landasan Teori

Pada prinsipnya suatu teori adalah hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel ataulebih yang telah diuji kebenarannya.8 Sehingga dalam menjawab permasalahan yang terkait denganPerlindungan hukum terhadap konsumen dalam produk alat kecantikan (kosmetika) yang tidak mencantumkan label halal.

a. Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan mengandung makna, suatu tindakan perlindungan atau tindakan melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan untuk pihak tertentu dengan menggunakan cara-cara tertentu. Dalam konteks perlindungan konsumen, kita akan membicarakan perlindungan hukum terhadap konsumen. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.9 Sedangkan Philipus M. Hadjon, mengartikan perlindungan hukum sebagai tindakan melindungi atau memberikan pertolongan kepada subyek hukum dengan perangkat-perangkat hukum. Bila melihat pengertian perlindungan hukum diatas, maka dapat diketahui unsur-unsur dari perlindungan hukum, yaitu : subyek yang melindungi, obyek

8Soerjono Soekanto,2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Gravindo Persada, Jakarta,

hal.30 (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I)

9 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta,

(15)

yang akan dilindungi alat, instrumen maupun upaya yang digunakan untuk tercapainya perlindungan tersebut.10

Philipus M. Hadjon,menyebutkan bahwa perlindungan hukum terbagi atas dua, yaitu perlindungan hukum represif dan perlindungan hukum preventif.11 Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya. Perlindungan jenis inibiasanya dilakukan di Pengadilan. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindunganhukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa. Perlindunganhukum jenis ini misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan/keputusan,rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencanakeputusan tersebut.

b. Teori Tanggung Jawab Hukum

Kontrak yang merupakan persetujuan para pihak melahirkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terikat. Akibat daripertukaran hak dan kewajiban tersebut memunculkan tanggung jawab para pihak, terkait dengan tangung jawab tersebut, terdapat teori tentang tanggung jawab dalam perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain dan tanggung jawab yang berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Hukum Internasional, setiap perbuatan yang merugikan pihak lainnya harus bertanggung jawab dengan cara membayar ganti rugi atau

10 Philipus M. Hadjon,dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada

University Press, Yogyakarta, hal.10

11Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina

(16)

kompensasi.12 Dikalangan para ahli hukum, tanggung jawab sering diistilahkan dengan “responsibility” (verantwoordelijkeheid) atau terkadang disebut dengan“liability”.

Tanggung-jawab dalam arti responsibility adalah sikap moral untuk melaksanakan kewajibannya, sedang tanggung-jawab dalam arti liability adalah sikap hukum untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran atas kewajibannya atau pelanggaran atas hak pihak lain. Tanggung jawab menurut pengertian hukum adalah kewajiban memikul pertanggungan jawab dan kerugian yang diderita bila dituntut baik dalam hukum maupun dalam administrasi.

Teori hukum Hans kelsen Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan/ berlawanan hukum. Sanksi dikenakan karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab.

Pada umumnya setiap orang harus bertanggung jawab (aanspraklijk) atas perbuatannya, oleh karena itu bertanggung jawab dalam pengertian hukum berarti suatu keterikatan.Dengan demikian tanggung jawab hukum (legal responsibility) sebagai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum. Apabila tanggung jawab hukum hanya dibatasi pada hukum perdata saja maka orang hanya terikat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum diantara mereka.13

12 Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum InternasionaI, Rajawali Pers,

Jakarta, hal 87

13Bernadette M.Waluyo, 1997, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta,

(17)

“Tujuan utama dari penerapan prinsip tanggung jawab dalam sistem hukum pada masyarakat primitif adalah untuk memelihara kerukunan antara individu-inividu dengan cara penyelesaian yang dapat mencegah terjadinya pembalasan dendam. Namun, pada masyarakat modern ini dasar falsafah dan tujuan utama dari penerapan prinsip tanggung jawab adalah pertimbangan nilai-nilai dan rasa keadilan sosial secara luas baik diliat dari segi moral maupun dari segi kehidupan sosial”.14

Dasar gugatan untuk tanggung jawab dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) teori tanggung jawab, yaitu tanggung jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan (negligence), tuntutan berdasarkan ingkar janji atau wanprestasi (breach of

warranty) dan tanggung jawab mutlak (strict product liability).15

1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian

Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten.Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan skripsi ini termasuk dalam kategori/jenis penelitian normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder.16 Data sekunder yaitu data-data yang bersumber dari data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan hukum.

14Ibid, hal.8

15Inosentius Samsul I, Op.Cit, hal.10.

16 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV.

(18)

Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari belum adanya norma hukum berkaitan permasalahan penelitian, sehingga didalam mengkajinya lebih mengutamakan sumber data sekunder, yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

1.8.2.Jenis Pendekatan

Penelitian ini mempergunakan Pendekatan Perundang-undangan (the Statute Approach), dan Pendekatan Analisa Konsep Hukum (Analitical and Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangannya (the Statute Approach) dipergunakan untuk mengkaji beberapa aturan hukum yang ada, untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk alat-alat kecantikan yang tidak mencantumkan label halal. Pendekatan konsep (Comparative Approach) dipergunakan untuk mengetahui tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran ketentuan suatu produk kosmetik yang tidak mencantumkan label halal. Permasalahan dikaji dengan mempergunakan interpretasi hukum, serta kemudian diberikan argumentasi secara teoritik berdasarkan teori-teori dan konsep hukum yang ada.

1.8.3.Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini

(19)

menggambarkan tentang Perlindungan hukum terhadap konsumen dalam produk alat kecantikan (kosmetika) yang tidak mencantumkan label halal.

1.8.4.Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yag terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas atau memiliki kekuatan mengikat, yaitu:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;

d. Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

e. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

f. Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentangperubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 82/Menkes/SK/I/1996tentang Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literature, makalah, tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang

(20)

berhubungan dengan permasalahan penelitian,17 disamping itu, juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengcopy (download) bahan hukum yang diperlukan.

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus, yang terdiri dari :

a. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta;

b. Black’s Law Dictionoary;

c. Kamus hukum.

1.8.5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumentasi.Bahan hukum yang diperolehnya, diinfentarisasi dan diidentifikasi serta kemudian dilakukan pengklasifikasian bahan-bahan sejenis, mencatat dan mengolahnya secara sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian.Tujuan dari tehnik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat,penemuan-penemuan yang berkaitan dan berhubungan dengan permasalahan penelitian.

Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam melakukan penelitian ini dengan cara mengumpulkan data berdasarkan pada benda-benda berbentuk tulisan, dilakukan dengan cara mencari, membaca,

17 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta,

(21)

mempelajari dan memahami data-data sekunder yang berhubungan dengan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji yang berupa buku-buku, majalah, literatur, dokumen, peraturan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti.

1.8.6.Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.Artinya pengumpulan data menggunakan pedoman studi dokumen, dan wawancara. Penelitian dengan teknik analisis kualitatif ini keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun sekunder, akan diolah dan dianalis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, dikatagorisasikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistimatis.

Gambar

Tabel 1.1. Daftar Penelitian Sejenis
Tabel 1.2. Daftar Penelitian Penulis

Referensi

Dokumen terkait

pengaruh label halal dan harga produk terhadap keputusan

Jadi pemberian serifikat halal bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi konsumen muslim dari produk pangan yang tidak bersertifikat halal dapat

Tetapi permasalahan penelitian terdahulu sama penelitian penulis itu berbeda, permasalahkan penelitian terdahulu terkait Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi

Kesadaran akan manfaat halal dari konsumen muslim telah menjadikan produsen air minum dalam kemasan beramai - ramai untuk menyematkan label halal pada produknya

Sedangkan penelitian menurut Khasanah mengatakan bahwa label halal tidak berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian dikarenakan konsumen di Indonesia masih

1. Kesadaran Produsen pangan akan produk makanan berlabel halal ternyata masih cukup rendah. Buktinya, masih banyak produk lokal dan pengusaha kecil yang belum mencantumkan

Di Indonesia, Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mencantumkan sembilan hak konsumen, yaitu: (1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan

Adapun ruang lingkupnya, pada permasalahan pertama akan dibahas mengenai bentuk implementasi perlindungan hukum terhadap waitress berdasarkan hukum ketenagakerjaan