• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX (MCC) DI BENUA MARITIM INDONESIA SAAT TAHUN LA NINA KUAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX (MCC) DI BENUA MARITIM INDONESIA SAAT TAHUN LA NINA KUAT"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX (MCC)

DI BENUA MARITIM INDONESIA SAAT TAHUN LA NINA KUAT

Ellya V. I. Manurung1), Adi Mulsandi2) 1

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta 2

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

Email : ellyamanurung@gmail.com

Abstrak

Konveksi adalah gerak naiknya parsel udara hangat dan lembab di lingkungan atmosfer yang labil, umumnya dapat menghasilkan awan Cumulunimbus tunggal. Ketika banyak sel tunggal awan Cumulunimbus berkumpul, tumbuh dan matang maka akan membentuk sistem awan badai yang luas dan lama. Sistem ini disebut dengan Mesoscale Convective System (MCS). MCS terbagi atas beberapa jenis, salah satu yang terbesar diantaranya adalah Mesoscale Convective Complex (MCC). La Nina merupakan salah satu fenomena global yang terjadi saat permukaan laut di Pasifik Tengah dan Timur suhunya lebih rendah dari biasanya. Fenomena ini menyebabkan aktifitas konveksi lebih intensif dan meningkatkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia meningkat. Penelitian ini mengkaji pengaruh kejadian La Nina terhadap kejadian MCC di wilayah Indonesia.Untuk menganalisis keberadaan MCC digunakan data citra satelit IR1 dan diolah menggunakan algoritma identifikasi MCC oleh Maddox(1980) kemudaian hasilnya ditampilkan dengan menggunakan perangkat lunak Arc GIS. Hasil analisis menunjukan terdapat beberapa karakteristik penting dari MCC di sekitar benua maritim Indonesia. MCC di Benua Maritim Indonesia 53,8% bergerak kearah Barat dengan kecenderungan hidup pada malam hari, secara rata-rata memiliki masa hidup 8 jam. Pada Lanina 2010, MCC lebih aktif di wilayah Utara Indonesia dibandingkan di selatan Indonesia serta jumlah kejadian MCC lebih banyak jika dibandingkan dengan tahun normal. Kata Kata Kunci: Mesoscale Convective Complex, MCC, La Nina, Hujan Ekstrem

Abstract

Convection is the movement of air parcels that rises in warm, moist and unstable atmospheric environment, this process can produce a single Cumulonimbus cloud generally. When many single cells Cumulonimbus clouds gather, grow and mature it will form a system of storm clouds in a large area with a longer life time, that sistem calls Mesoscale Convective System (MCS). MCS is divided into several types, which the largest one is Mesoscale Convective Complex (MCC). La Nina is a global phenomenon that occurs when sea surface in the central and eastern Pacific temperatures are lower than normal. This phenomenon causes more intense convective activity and increase rainfall in most parts of Indonesian region. In this research will analyze the influence of strong La Nina with Mesoscale Convective Complex (MCC) over the indonesian maritim continent. To analyze the presence of MCC by using of IR1 satellite image data and processed using MCC identification algorithm by Maddox (1980) then the results will show using Arc GIS software. The results of the analysis showed there are some important characteristics of MCC in Indonesian maritime continent. MCC in Indonesia Maritime Continent moving to West about 53.8% with tendency to live at night, and have 8 hours life time on average. MCC is more active in northern regions than in southern Indonesia at La Nina 2010, and the number of MCC’s occurrences are more when compared with the normal years.

(2)

1.

PENDAHULUAN

Secara meteorologi cuaca di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh berbagai macam sirkulasi yang terjadi di atmosfer baik secara zonal maupun meredional. Dari segi letak geografis wilayah Indonesia merupakan wilayah ekuator yang menerima banyak radiasi panas matahari sehingga aktifitas penguapan di wilayah ini sangat tinggi. Konveksi akibat gerakan naik parsel udara hangat pada suatu lingkungan atmosfer yang labil telah umum diketahui. Proses awal naiknya parsel udara dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu pemanasan permukaan, efek orografi dan area pumpunan angin. Proses seperti ini umumnya menghasilkan cumulonimbus sel tunggal. Adapun sistem konvektif ini masa hidupnya sekitar 15 menit hingga satu jam. (Ahrens, 2001).

MCS (Mesoscale Convective System) merupakan jenis sistem konvektif hasil dari gabungan proses mekanis dan proses thermis sehingga menghasilkan fenomena MCS yang menghasilkan area awan Cumulonimbus luas ( ratusan hingga ribuan Km) dengan masa hidup lebih panjang (lebih dari tiga jam). (Houze, 2004; Laing, 2003). MCS terbagi atas beberapa jenis, salah satunya adalah Mesoscale Convective

Complex (MCC). Kehadiran MCC terbesar di

wilayah maritim Indonesia yaitu di Samudra Hindia barat Pulau Sumatra, area Pulau Papua, Samudra Pasifik Utara Papua, Area Pulau Kalimantan dan Samudra Hindia Utara Australia sekitar (Ismanto, 2011). Adapun karakteristik dampak dari MCC ini adalah kejadian cuaca ekstrem atau cuaca buruk (severe weather) yang ditandai dengan hujan intensitas sedang hingga lebat angin kencang dan badai petir yang hidup dengan waktu yang lama (lebih dari 6 jam) sehingga dapat mengakibatkan bencana banjir dan longsor (Maddox, 1980; Fritsch dkk., 1986). La Nina merupakan salah satu fenomena global yang terjadi saat permukaan laut di Pasifik Tengah dan Timur suhunya lebih rendah dari biasanya sehingga tekanan udara di kawasan Pasifik Barat jadi menurun. Di Indonesia tekanan udara menjadi rendah sehingga udara bergerak menuju Indonesia dan membawa massa uap air dari Pasifik Tengah dan Timur. Fenomena ini menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia meningkat. Penelitian ini mengkaji apakah kejadian La

Nina berpengaruh dalam pembentukan MCC di wilayah Indonesia.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah kajian tentang MCC di Benua Maritim masih belum dikaji tentang pengaruh fenomena baik global, regional maupun lokal terhadap munculnya MCC ini di Indonesia.

Dalam penelitian ini akan mengambil lokasi penelitian yaitu benua maritime Indonesia dengan letak koordinat (7º LU – 15º LS; 90º BT – 150º BT). Penelitian menggunakan data citra satelit IR1 dari Desember 2010-Februari 2011 yang di ambil sebagai Bulan dengan Intensitas La Nina Kuat dan di bandingkan dengan tahun normal dari Desember 2014-Februari 2015 dengan menggunakan metode / algoritma dari Machado (1998).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkonfirmasi keberadaan MCC di Benua Maritim Indonesia saat La Nina Kuat sekaligus mengetahui karakteristik dan membuat peta sebarannya.

2. DATA DAN METODE

1. Jenis Penelitian:

ini merupakan jenis penelitian penerapan (applied research) yang nantinya akan diarahkan pada penggunaan secara praktis di tempat kerja.

2. Alat Penelitian

Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini, adalah sebuah Laptop dengan spesifikasi sebagai berikut:  Operating system : Windows 7 Ultimate 32-bit

 Processor : Intel® Core ™ i3  Memory : 3 GB DDR3 Adapun perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian menentukan MCC ini dijalankan dengan software Image Processing.

3. Bahan Penelitian

 Data Southern Oscillation Index (SOI)

 Data Oceanic Nino Index (ONI)  Data Citra Satelit Infra Red (1R1)

Beberapa peneliti tentang Mesoscale

Convective System telah menggunakan data

IR1 suhu puncak awan dalam mengidentifikasi keberadaan sistem ini. (Carvalho dan Jones, 2001; Durkee dan Mote, 2009; Miller dan Fritsch,1991). Data

(3)

IR1 relatif lebih banyak digunakan karena resolusi yang tinggi dan database yang tersedia relatif panjang. Dalam penelitian ini menggunakan data citra satelit dari Japanese Geostationary Meteorological Satellite (GMS) dan Multi-functional Transport Satellite (MTSAT) kanal inframerah (10,5 – 11,5 µm) dengan resolusi sekitar 5 x 5 Km. Data satelit yang digunakan adalah data citra satelit IR1 setiap jam selama 3 bulan (dari Desember 2010-Februari 2011) dan sebagai data pembanding pada tahun normal (dari Desember 2014-Februari 2015) dengan kekosongan data sekitar 6 %.

Dalam penelitian ini menggunakan 3 jenis data yaitu berupa data ONI, SOI, data citra satelit IR1, bulan Desember 2010 – Januari 2011 dan Desember 2014 – Februari 2015. Adapun deskripsi dari cara pengumpulan data-data tersebut akan dibahas sebagai berikut:

1. Data ONI (Oceanic Nino Index): ONI adalah indeks yang menunjukkan pembagian daerah dan mengukur nilai SST (Sea Surface Temperature) di laut Pasifik. Untuk dapat menentukan intensitas La Nina yang dikategorikan sebagai lemah, sedang atau kuat itu, harus melihat nilai index yang menyamai atau melebihi ambang batas untuk setidaknya selama 3 bulan berturut-turut. Index ONI dapat di

download dari

http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/ analysis_monitoring

2. Data SOI Southern Oscilation Index adalah indeks ENSO dengan melihat perubahan anomali SLP (Sea Level

Pressure). SOI adalah perbedaan anomali SLP dari keadaan normalnya di antara SLP di Tahiti dan di Darwin. Ketika SOI positif (+) merupakan indikasi terjadinya La Nina, SLP di sekitar Darwin berada lebih rendah dari pada normalnya, sedangkan di Tahiti SLPnya lebih tinggi dibanding normalnya sehingga gerakan timuran akan menguat. Index SOI dapat di

download dari

http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indi ces/soi

3. Data citra satelit IR1 dari http://weather.is.kochi-u.ac.jp/index-e.html

Metode yang digunakan untuk dapat menyeleksi citra satelit yang sesuai dengan kriteria MCC, prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Data satelit yang telah di download dari kochi (.pgm) merupakakan data gambar

graymap dengan skala warna 0-225

(putih – hitam). Data ini di konversi menjadi data suhu dalam Kelvin dan di simpan dalam format (.dat) agar data dapat diproses oleh software image processing.

2. Menentukan selimut awan dengan kriteria nilai suhu puncak awan >241 º K sebagai selimut awan (SA) dan 217 ºK sebagai inti awan (IA). Tiap grid yang memenuhi nilai diganti dengan “1” dan yang tidak diganti dengan angka “0” (merubah data satelit menjadi data biner)

3. Mencari luasan area yang memenuhi syarat suhu (prosedur 1, pixel yang mempunyai nilai “1”) dengan menghitung jumlah piksel yang saling terhubung dengan 4 koneksi grid disekitarnya. Kemudian memilih area yang memiliki luasan SA ≥ 100.000 Km² sekitar 3305 piksel dan luasan IA ≥ 50.000 Km² sekitar 1652 piksel.

4. Mencari titik pusat dari area yang terpilih. Untuk mencari titik pusat dapat dilakukan dengan rumus Carvalho dan Jones yang dikutip dari Ismanto 2011.

………...…. (3.1)

Keterangan:

Xi = piksel ke-i pada sumbu X Yi = piksel ke-i pada sumbu Y X0 dan Y0= pusat/ center N = luasan area / total piksel.

5. Dalam kriteria MCC menurut Maddox (1980) harus mempunyai eksentrisitas ≥ 0,7. Dalam kajian ini dilakukan pertama adalah pengujian data biner contoh MCC untuk memastikan batas eksentrisitas tersebut. Ada 3 penentu eksentrisitas, yaitu metode Machado, metode elips fitting dan metode EOF. Syarat eksentrisitas penentuan MCC menggunakan threshold metode Machado (eksentrisitas ≥ 0,7),

(4)

Namun metode ini kurang efektif pada kluster awan yang relatif miring, untuk mengatasinya ketika gambar (sistem awan) miring digunakan juga metode Ellips Fitting dengan batas < 0,8 (berdasarkan skema penelitian Ismanto,2011)

Gambar 2.1 Diagram Alir

1. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengolahan data menggunakan

script yang diolah menggunakan software image processing dan

hasilnya ditampilkan secara spasial dengan menggunakan perangkat lunak Arc GIS 10.0

Gambar 3.1 Potensi MCC di Indonesia tahun La Nina DJF 2011

Dari gambar ini dapat dilihat bahawa sebaran titik pusat MCC lebih dominan di daerah utara Katulistiwa. Pada Tahun ini penulis membandingkan saat musim penghujan yaitu bulan Desember, Januari, dan Februari, dimana terdapat 131 titik MCC. Adapun wilayah dominan adalah di Pulau Sumatra, Laut Cina Selatan, Utara Sulawesi dan juga Samudera Pasifik Utara Papua.

Gambar 3.1 Potensi MCC di Indonesia tahun Normal DJF 2015

Dari gambar ini dapat dilihat bahawa sebaran titik pusat MCC lebih tersebar baik di utara katulistiwa maupun di selatan katulistiwa. Pada Tahun ini penulis membandingkan juga saat musim penghujan yaitu bulan Desember, Januari, dan Februari, dimana terdapat 102 titik MCC yang tersebar di wilayah benua maritim Indonesia.

Titik titik dalam peta sebaran ini dibuat dengan rentang waktu setiap jam. Sebaran titik MCC perjam ini untuk memudahkan dalam melihat pola penyebaran MCC dan traking dari MCC tersebut. MCC merupakan sel awan konvektiv yang dapat bertahan sampai 6 jam oleh karena itu penulis menyeleksi secara manual dan diperoleh pada tahun 2010 terdapat 9 Kejadian MCC dan pada tahun 2015 pada puncak musim penghujan terdapat 7 kejadian MCC di Indonesia dimana dominan MCC terjadi saat malam hari. Bila membandingkan jumlah MCC yang terjadi pada saat periode Lanina dan saat normal, dapat kita lihat ada pertambahan jumlah walaupun tidak begitu signifikan yaitu 2 kejadian lebih banyak saat periode Lanina kuat di bandingkan saat periode normal.

Salah satu karakteristik penting yang perlu di ketahui dari sistim MCC adalah pergerakan sistim tersebut. Untuk mendapatkan gambaran karakteristik

(5)

tracking lintasan MCC posisi awal sampai

posisi akhir MCC di plot. Berdasarkan hasil keluaran ploting peta tracking awan terlihat bahwa MCC cenderung bergerak ke arah barat sampai selatan baik pada tahun Lanina maupun Normal. Dalam penelitian ini didapatkan pergerakan MCC ke arah barat adalah 53,8%, kemudian pergerakan ke arah selatan sebanyak 30,7% dan arah lainnya sebesar 15,3 %.

Saat bulan Desember Januari dan Februari Matahari berada di daerah Bumi Bagian Selatan. intensitas Matahari surplus di Indonesia, namun energi panas laten yang tersimpan di laut bagian utara katulistiwa Indonesia ternyata masih sangat melimpah, sehingga suhu muka laut di utara katulistiwa Indonesia masih sangat hangat. Hal inilah yang menyebabkan masih ada bahan bakar yang cukup untuk terjadinya pertumbuhan MCC di wilayah utara katulistiwa.

Dari data NOAA terlihat sejak awal Januari 2011 wilayah Indonesia (90-140 Bujur Timur) cenderung mengalami fase penurunan konveksi. Terlihat dari gambar 4.6 pada daerah 80 º- 100º Bujur Timur yaitu wilayah Indonesia Bagian Barat berwarna coklat yang menandakan penurunan konveksi. Hal itu berdampak pada penurunan jumlah curah hujan terutama di wilayah Indonesia bagian barat. Itulah sebabnya wilayah di bawah katulistiwa cenderung tidak ada pertumbuhan MCC pada bulan DJF tahun 2010.

Karakteristik berikut yang diperoleh yaitu pergerakan MCC di benua maritime Indonesia yang cenderung menunjukan pergerakan ke arah barat, baik pada saat periode La Nina maupun normal dan sebagian besar kejadian MCC muncul pada malam hari. Pergerakan MCC ini sama dengan kesimpulan Ismanto (2011) bahwa MCC yang ada di Benua Maritim bergerak kearah barat hingga barat daya dengan kecenderungan hidup pada malam hari.

Pergerakan MCC ini disebabkan oleh arah angin yang mengikuti pola sirkulasi global dimana daerah tropis menjadi daerah pertemuan angin dari Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan. Pertemuan angin di daerah tropis ini yang menyebabkan

Indonesia menjadi daerah dengan sirkulasi angin umum yang bersifat easterly yaitu angin dari timuran menuju kearah barat. Itulah mengapa fenomena gangguan cuaca di Benua Maritim Indonesia cenderung bergerak ke arah barat, termasuk dengan MCC.

2. KESIMPULAN

Dari hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulakan bahwa:

1. Pada Lanina 2010, MCC lebih aktif di wilayah Utara Indonesia dari pada di selatan Indonesia. Daerah – daerah yang berpotensi muncul MCC saat Lanina dan Normal berbeda. Lokasi pembentukan MCC saat Lanina cenderung di bagian utara Katulistiwa sedangkan saat periode normal lokasi pembentukannya lebih menyebar baik di utara maupun selatan katulistiwa.

2. Secara umum dapat di identifikasi bahwa pada periode La Nina jumlah MCC lebih banyak bila dibandingkan dengan tahun normal.

3. Karakteristik penting yang dapat dicatat adalah sekitar 53,8 % dari sistem kompleks konvektif skala meso yang ada di Benua Maritim bergerak kearah Barat dengan kecenderungan hidup pada malam hari, serta rata-rata memiliki masa hidup 8 jam.

DAFTAR PUSTAKA

Ahrens, C.D. 2001. Cloud Development and

Precipitation. Essentials of Meteorology – An Invitation to the

Atmosphere, 504

As-syakur, A.R. 2010 Pola Spasial Pengaruh

Kejadian La Nina di Indonesia Tahun 1998/1999. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XVII.

Bayong, T.H.K., 2004. Meteorologi, ITB. Bandung

Budiyono, Djoko, dan Hariadi. 2006. Study

Tentang Pola Sirkulasi Atmosfer Di Atas Wilayah Indonesia Dan Kaitannya Dengan Enso. Jurnal

(6)

Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. Puslitbang BMKG.

Carvalho, L.M.V., dan Jones C., 2001. A

Satellite Method to Identify Structural Properties of Mesoscale Convective Systems Based on the Maximum Spatial Correlation Tracking Technique (MASCOTTE).

University of San Paul. Brazil

Durkee, J. D. 2009. The Contribution of

Mesoscale Convective Complexes to Rainfall across Subtropical South America. Meteorology Program, Department of Geography and Geology. Western Kentucky University. Kentucky

Durkee, J. D., Mote T. L., dan Shepherd J. M. 2009 The Contribution of

Mesoscale Convective Complexes to Rainfall across Subtropical South America. Journal of Climate Vol. 22,

2009: 4590 – 4605.

Djatmiko, H. 2014. Materi Meteorologi dan

Klimatologi (OSN Ilmu Kebumian).

SMUN 54. Jakarta

Houze, R.A. Jr. 2004. Mesoscale Convective

System. Review of Geophisics,

American Geophisical Union, 43 pp. Ismanto, H. 2011. Karakteristik Kompleks

Konvektif Skala Meso Di Benua Maritim. Tesis pada Institut Teknologi Bandung. Bandung. Ismanto, H. 2013. Distribusi Spasial dan

Temporal Mesoscale Convective Complexes di Benua Maritim.

Megasains, Vol. 4, No. 2, 74-81. Laing, A.G. dan Fritsch, J.M. 1997. The

Global Population of Mesoscale Convective Complexes. Q.J.R.

Buletin American Meteorological Society., 123, 389-405.

Laing, A.G. dan Fritsch, J.M. 1992.

Mesoscale Convective Complexes Over the Indian Monsoon Region.

Department Of Meteorology. The Pennsylvania State University. Pennsylvania

Maddox, R.A. 1980. Mesoscale Convective

Coplexes. Buletin American Meteorological Society Vol. 61, No. 11.

Miller, D. dan Fritsch J. M. 1991. Mesoscale

Convective Complexes In the Western Pacific Region. Department

Of Meteorology. The Pennsylvania State University. Pennsylvania. Mulyanti, Heri 2012 Pengaruh El Nino /

Southern Oscillation (ENSO) Terhadap Curah Hujan Bulanan Pulau Jawa. Skripsi Fakultas Geografi UGM. Jogjakarta

Purbawa, I.G.A. 2012. Study Komparasi

Antara Data TMPA 3B43 (TRMM Multisatelitte Precipitation Analysis) dan Data Stasiun Pengamatan Hujan di Provinsi Bali (Study Kasus Lanina 2010). Tugas Akhir AMG. Jakarta

Shibagaki, Y., Shimomai, T., Kozu, T., Mori, S., Fujiyoshi, Y., Hashiguci, H., Yamamoto, M. K., Fukao, S., dan Yamanaka, M. N. 2006. Multiscale

aspect of Convective Systems Ascociated with an Intraseasonal Oscillation over the Indonesian Maritime Continent. American Meteorology Society, 134, 1682-1696.

Yuan J., House R. A. Jr. 2010. Global Variability Of Mesoscale Convective

Coplexes System Anvil Structure from A-Train Satellite Data.

Department of Atmospheric Sciences. University of Washington,

Seattle. Washington.

Gambar

Gambar 2.1   Diagram Alir  1.  HASIL DAN PEMBAHASAN

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, ketika Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan

Bagaimana penerapan hasil penelitian perbedaan kandungan timbal (Pb) dan mikroba pada ikan layang (Decapterus sp.) segar dan pindang di kecamatan Paciran

• Kredit pajak untuk pajak penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam surat tagihan pajak karena

Jadi masyarakat adalah sekelompok orang yang hidup bersama antar individu satu dengan lainnya yang mendiami suatu wilayah tertentu. Pada makalah ini kita akan membahas lebih rinci

Pada kontes sapê sono’, yang dinilai adalah keserasian dalam cara berjalan setiap pasangan sapi pada jalur sepanjang 25 meter yang harus ditempuh dalam waktu

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-analitik dengan diawali penjabaran latar belakang masalah berupa kebutuhan sebuah bangunan stadion di Kota Kediri dan

Salah satu cara yang paling efektif untuk mengurangi tingkat getaran tanah yang dihasilkan aktivitas peledakan nonel adalah merancang sistem waktu tunda yang sesuai dengan kondisi

Baik alat untuk proses maupun analisa, melakukan proses analisa secara lengkap pada seluruh spesifikasi mutu bahan bakar alternatif menurut SNI terbaru, Penelitian