• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kemasan Pangan

Dalam kehidupan sehari-hari, pangan merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Seiring dengan perkembangan teknologi, produk pangan pun mengalami perkembangan, antara lain dari segi teknik pengolahan, pengawetan, pengemasan dan distribusinya. Hal tersebut memungkinkan suatu produk pangan yang dihasilkan di suatu tempat dapat diperoleh di tempat lain.

Kebanyakan produk pangan yang ada di pasaran telah dikemas sedemikian rupa sehingga mempermudah konsumen untuk mengenali serta membawanya. Secara umum, kemasan pangan merupakan bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus pangan baik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan pangan (Juwita, 2012).

Menurut Sutardi dan Tranggono (1990), selain untuk mewadahi atau membungkus pangan, kemasan pangan juga mempunyai berbagai fungsi lain, diantaranya untuk menjaga pangan tetap bersih serta mencegah terjadinya kontaminasi mikroorganisme; menjaga produk dari kerusakan fisik; menjaga produk dari kerusakan kimiawi; mempermudah pengangkutan dan distrisbusi; mempermudah penyimpanan; memberikan informasi mengenai produk pangan dan instruksi lain pada label; menyeragamkan volume atau berat produk dan membuat tampilan produk lebih menarik sekaligus menjadi media promosi.

Menurut Juwita (2012) jenis bahan pengemasan yang paling umum digunakan untuk pengemasan bahan pangan dapat dibedakan berdasarkan bahannya, yaitu: kemasan kaca/gelas, kemasan logam, kemasan plastik, kemasan kertas dan kemasan logam. Pemilihan jenis kemasan yang akan digunakan sangat tergantung pada karakteristik dan jenis bahan pangan yang akan dikemas.

(2)

Plastik merupakan senyawa polimer tinggi yang dicetak dalam lembaran- lembaran yang mempunyai ketebalan tertentu. Penggunaan plastik dapat dalam bentuk film atau lembaran dan wadah yang dapat dicetak. Penggunaan plastik sebagai pengemas pangan terutama karena keunggulannya dalam hal bentuknya yang fleksibel sehingga mudah mengikuti bentuk pangan yang dikemas, berbobot ringan, tidak mudah pecah, bersifat transparan/tembus pandang, mudah diberi label dan dibuat dalam aneka warna, dapat diproduksi secara massal, harga relatif murah dan terdapat berbagai jenis pilihan bahan dasar plastik (Juwita, 2012).

Perlu diakui bahwa ketersedian berbagai jenis bahan kemasan telah banyak membantu kehidupan manusia, namun tidak sedikit pula masalah yang ditimbulkan dari berbagai jenis bahan kemasan tersebut. Contohnya adalah penggunaan plastik sebagai bahan pengemas. Plastik jenis tertentu (misalnya PE, PP, PVC) tidak tahan panas, berpotensi melepaskan bahan berbahaya yang berasal dari sisa monomer dari polimer ke dalam bahan pangan yang dikemasnya dan plastik merupakan bahan yang sulit terbiodegradasi sehingga dapat mencemari lingkungan, oleh karena itu perlu dikembangkan bahan kemasan yang ramah lingkungan dan dapat diproduksi secara massal dalam jumlah yang banyak.

2.2 Edible Film

2.2.1 Definisi dan Fungsi Edible Film

Kemasan edible, termasuk di dalamnya edible film dan edible coating, didefinisikan sebagai lapisan tipis dari bahan dapat dimakan yang dibentuk sebagai pelapis atau ditempatkan (dibentuk dahulu) di antara bahan pangan. Tujuannya adalah untuk menghambat transfer massa dari uap air, oksigen, karbon dioksida, aroma dan lipid; dapat digunakan untuk mengenkapsulasi komponen aroma, antioksidan, agen antimikroba, pigmen, ion yang mencegah reaksi pencoklatan atau komponen nutrisi seperti vitamin.

Edible film berkontribusi terhadap perlindungan lingkungan karena

(3)

non- polusi. Edible film sebagai kemasan dan komponen makanan memiliki beberapa kriteria yang perlu dipenuhi, yaitu kualitas sensori yang baik, efisiensi mekanis dan perlindungan yang baik, stabilitas fisika-kimia dan mikrobial, bebas komponen racun dan aman untuk kesehatan, menggunakan teknologi sederhana dan memiliki ongkos bahan baku dan proses yang rendah.

Penggunaan edible film pada industri pangan sudah semakin meningkat.

Edible film ini disiapkan dari berbagai komponen, seperti polisakarida, protein

dan lipid serta memiliki potensi untuk meningkatkan umur simpan makanan.

Edible film pertama kali diproduksi oleh Mc. Hugh dan Krochta (1994)

yang dihasilkan dari puree apel dan berbagai jenis asam lemak, alkohol,

beeswax dan minyak sayur untuk mengemas buah apel potong. Bahan-bahan

yang digunakan bertindak sebagai penghalang yang baik untuk kehilangan oksigen terutama pada kelembaban yang rendah atau sedang, juga dapat mengurangi reaksi pencoklatan, kehilangan kelembaban dan mempertahankan

flavor dari apel potong. Edible film ini juga dapat digunakan untuk coating walnut, almond dan produk bakery.

Di antara berbagai jenis polisakarida, pati paling umum digunakan sebagai bahan baku edible film, yang dikarakterisasi berdasarkan sifat hidrofilik dan kemampuannya sebagai penghalang oksigen. Tetapi, untuk memperbaiki sifat mekaniknya, edible film berbasis pati perlu ditambahkan

plasticizer, seperti gliserol (Juwita, 2012). Aksi sinergis dari air, gliserol dan

polilol lain dengan pati dapat mengurangi interaksi intermolekuler antara rantai polimer sehingga mengurangi ikatan hidrogen internal dan menghasilkan area yang tidak stabil karena penyerapan kelembaban. Sebagai akibatnya, fleksibilitas edible film meningkat dan kuat tariknya berkurang.

Edible film berbasis pati telah digunakan untuk berbagai makanan dan

aplikasi farmasi. Edible film dipersiapkan dari pati yang isotropik, tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, tidak beracun dan dapat didegradasi.

Edible film dapat dipersiapkan dari pati alami maupun modifikasi. Edible film

berbasis pati memiliki permeabilitas terhadap oksigen yang rendah (Juwita, 2012).

(4)

2.2.2 Bahan Baku Edible Film

Komponen bahan dasar edible film dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu hidrokoloid, lipid dan komposit. Komponen hidrokoloid dapat dijadikan

edible film diantaranya adalah protein, derivat selulosa, alginat, pektin, pati dan

polisakaridanya. Lipid yang cocok adalah lilin, asilgliserol dan asam lemak.

Edible film dari bahan campuran hidrokoloid dan lipid (komposit) dapat

berbentuk bilayer, dimana lapisan yang satu hidrokoloid bercampur dalam lapisan hidrofobik (Juwita, 2012).

a. Hidrokoloid

Hidrokoloid yang digunakan sebagai bahan baku edible film adalah protein atau karbohidrat. Film yang dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati, gum (seperti alginat, pektin dan gum arab) serta pati yang dimodifikasi secara kimia. Pembentukan edible film berbahan dasar protein antara lain dapat menggunakan gelatin, kasein, protein kedelai, protein whey, gluten gandum dan protein jagung. Edible film yang terbuat dari hidrokoloid sangat baik sebagai penghambat perpindahan oksigen, memiliki karakteristik mekanik yang baik sehingga cocok digunakan untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah hancur.

Polisakarida sebagai bahan dasar edible film dapat dimanfaatkan untuk mengatur udara sekitarnya dan memberikan ketebalan atau kekentalan pada larutan edible film. Pemanfaatan dari senyawa yang berantai panjang ini sangat penting karena tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah, dan bersifat non-toksik.

Beberapa jenis protein yang berasal dari protein tanaman dan hewan dapat membentuk film seperti gluten gandum, protein kedelai, protein kacang, keratin, kolagen, gelatin, kasein dan protein dari whey susu. Albumin telur dapat digunakan sebagai bahan pembetuk film yang baik yang dikombinasikan dengan gluten gandum, dan protein kedelai.

(5)

b. Lipid

Edible film yang berasal dari lipid sering digunakan sebagai

penghambat uap air atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk-produk kembang gula. Edible film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan menghasilkan kekuatan struktur film yang kurang baik.

Karakteristik edible film yang dibentuk oleh lemak tergantung pada berat molekul dari fase hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai cabang dan polaritas. Lipid yang sering digunakan sebagai edible film antara lain lilin (wax) seperti parafin, carnauba, asam lemak, monogliserida dan resin.

c. Komposit

Komposit film terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Aplikasi dari komposit film dapat dalam lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan lipida atau dapat berupa gabungan lipida dan hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan dari hidrokolid dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen lipida dan hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap penguapan air dan hidrokoloid dapat memberikan daya tahan terhadap uap air. Edible film gabungan antara lipida dan hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan dan sayuran yang telah diolah minimal.

2.2.3 Pati

Pati merupakan karbohidrat, kandungan utama pada tanaman tingkat tinggi yang diproduksi melalui fotosintesis dalam tanaman hijau. Pati diperoleh dalam seluruh organ tanaman tingkat tinggi yang disimpan dalam biji, umbi, akar dan jaringan batang tanaman sebagai cadangan energi untuk masa pertumbuhan dan pertunasan. Selain sebagai bahan makanan pati juga digunakan dalam non-food, diantaranya perekat, detergen, dalam industri tekstil dan polimer. Pati merupakan polisakarida

(6)

alami yang dapat diperbaharui (renewable), mudah rusak (biodegradable) dan harga murah.

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan ∝- glikosida dan merupakan rantai gula panjang. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya tergantung pada panjang rantai atom C nya, apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. (Winarno, 1998)

Untuk menganalisa adanya pati digunakan iodin, karena pati yang berikatan dengan iodin akan menghasilkan warna biru. Pati merupakan granula berwarna putih dengan diameter 2-100 µm. Pati merupakan polimer karbohidrat dari unit anhidroglukosa, (C6H10O5)x terdiri dari dua polisakarida dengan struktur tertentu yaitu amilosa dan amilopektin.

Gambar 2.1 Struktur Amilosa

Sumber : Tesis Emma Kemalasari, USU 2010

Sifat-sifat dari amilosa:

1. Ikatannya linear (lurus).

2. Larutan dalam air dingin dalam batas tertentu. 3. Berat molekul rata-rata 10000 - 60000

(7)

Gambar 2.2 Struktur Amilopektin

Sumber : Tesis Emma Kemalasari, USU 2010

Sifat-sifat dari amilopektin:

1. Ikatannya bercabang.

2. Tidak larut dalam air dingin.

3. Berat molekul rata-rata 60000 - 100000

4. Ikatan antar molekul 𝛼-D-glukosa dihubungkan oleh ikatan 1,4 dan ikatan 1,6 pada percabangan.

Amilosa merupakan polimer isotatik linier dari 𝛼-d-glukosa yang saling berikatan pada posisi 1,4 sedangkan amilopektin merupakan polimer bercabang dengan rantai pendek dari 𝛼-d-glukosa yang saling berikatan melalui 𝛼 (1,6), Satu unit anhidroglukosa terdiri atas satu OH primer dan dua OH sekunder dan satu gugus aldehid tereduksi dalam bentuk hemiastal, bertambahnya hidroksil merupakan sifat hidrofilik sehingga memberikan kelembapan yang tinggi dan terdispersi di dalam air. Modifikasi kimia sebagai salah satu cara mengatasi masalah tersebut. Sifat granula pati adalah tidak larut dalam air dingin tetapi mengalami swilling (mengembang).

(8)

2.2.4 Pembuatan Edible Film

Pembuatan edible film maupun coating dapat dilakukan dengan cara koaservasi (coaservation), pemisahan pelarut (solvent removal) dan pemadatan larutan (solidification of melt).

a. Koaservasi

Cara koaservasi telah digunakan secara ekstensif di industri farmasi, terutama untuk enkapsulasi. Koaservasi dapat digunakan dengan pemanasan larutan, pengaturan pH larutan, penambahan pelarut atau mengubah jumlah polimer yang terlibat dalam pembentukan edible film sehingga akan mempengaruhi kekuatan polimer tersebut. Menurut Juwita (2012) koaservasi dibedakan menjadi koaservasi sederhana dan kompleks berdasarkan penggunaan jumlah polimer yang digunakan dalam pembuatan edible film. Koaservasi sederhana hanya menggunakan satu jenis polimer, sedangkan koaservasi kompleks menggunakan campuran dua jenis polimer atau lebih. Menurut Dziezak (1988) dikutip Donhowe dan Fenemma (1994), penggolongan cara koaservasi berdasarkan tipe fase pemisahan, yaitu aquaeous dan non-aquaeous. Fase aquaeous membutuhkan material yang bersifat hidrofilik, sedangkan fase

non-aquaeous biasanya melibatkan material bersifat hidrofobik.

b. Pemisahan Pelarut

Pembuatan edible film melalui pemisahan pelarut dilakukan dengan cara mendispersikan material pembentuk edible film dalam larutan

aquaeous dan kemudian dilakukan penguapan pelarut hingga terbentuk

lapisan film. Pembuatan edible film dengan cara pemisahan pelarut ini harus memperhatikan pengaturan kecepatan dan suhu penguapan dengan baik karena akan berpengaruh pada sifat kristalinitas dan sifat mekanis

(9)

c. Pemadatan Larutan

Cara pemadatan larutan digunakan untuk pembuatan edible film berbahan lipida melalui proses pendinginan. Sama seperti cara pemisahan pelarut, dengan cara ini kecepatan dan suhu pendinginan memegang peranan penting dalam menghasilkan karakteristik dari edible film yang dihasilkan. Cara lain pembuatan edible film yang paling banyak digunakan adalah metode casting. Cara ini banyak digunakan dalam penelitian karena mudah dalam pembuatannya. Pada metode ini, mula-mula protein atau polisakarida didispersikan pada campuran air dan plasticizer kemudian diaduk. Setelah pengadukan, campuran dipanaskan lalu dituangkan pada

casting plate dan dibiarkan mengering pada kondisi dan waktu tertentu. Edible film yang telah mengering kemudian dilepaskan dari cetakan

(casting plate). Setelah film lepas dari cetakan, selanjutnya dapat langsung diaplikasikan sebagai bahan pengemas atau dilakukan berbagai pengujian untuk mengetahui karakteristiknya. Ketebalan edible film yang diaplikasikan menggunakan metode casting dapat diatur dengan cara mengatur penyebaran larutan edible film yang dituangkan pada cetakan (Donhowe dan Fenemma, 1994).

2.3 Plastisasi Polimer

Pembuatan film layak makan dari pati (starch) memerlukan campuran bahan aditif untuk mendapatkan sifat mekanis yang lunak, ulet dan kuat. Untuk itu perlu ditambahkan suatu zat cair/padat agar meningkatkan sifat plastisitasnya. Proses ini dikenal dengan plastisasi, sedang zat yang ditambahkan disebut pemlastis. Di samping itu pemlastis dapat pula meningkatkan elastisitas bahan, membuat lebih tahan beku dan menurunkan suhu alir, sehingga pemlastis kadang-kadang disebut juga dengan ekastikator antibeku atau pelembut. Jelaslah bahwa plastisasi akan mempengaruhi semua sifat fisik dan mekanisme film seperti kekuatan tarik, elastisitas kekerasan, sifat listrik, suhu alir, suhu transisi kaca dan sebagainya.

(10)

Adapun pemlastis yang digunakan adalah gliserol, karena gliserol merupakan bahan yang murah, sumbernya mudah diperoleh, dapat diperbaharui dan juga akrab dengan lingkungan karena mudah terdegradasi dalam alam.

Proses plastisasi pada prinsipnya adalah dispersi molekul pemlastis kedalam fase polimer. Jika pemlastis mempunyai gaya interaksi dengan polimer, proses dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimer- pemlastis yang disebut dengan kompatibel.

Sifat fisik dan mekanis polimer-terplastisasi yang kompatibel ini akan merupakan fungsi distribusi dari sifat komposisi pemlastis yang masing-masing komponen dalam sistem. Bila antara pemlastis dengan polimer tidak terjadi percampuran koloid yang tak mantap (polimer dan pemlastis tidak kompatibel) dan menghasilkan sifat fisik polimer yang berkulitas rendah. Karena itu, ramalan karakteristik polimer yang terplastisasi dapat dilakukan dengan variasi komposisi pemlastis.

Interaksi antara polimer dengan pemlastis dipengaruhi oleh sifat affinitas kedua komponen, jika affinitas polimer-pemlastis tidak terlalu kuat maka akan terjadi plastisasi antara struktur (molekul pemlastis hanya terdistribusi diantara struktur). Plastisasi ini hanya mempengaruhi gerakan dan mobilitas struktur.

Jika terjadi interaksi polimer-polimer cukup kuat, maka molekul pemlastis akan terdifusi kedalam rantai polimer (rantai polimer amorf membentuk satuan struktur globular yang disebut (bundle) menghasilkan plastisasi infrastruktur intra bundle. Dalam hal ini molekul pemlastis akan berada diantara rantai polimer dan mempengaruhi mobilitas rantai yang dapat meningkatkan pemlastis melebihi batas ini, maka akan terjadi sistem yang heterogen dan plastisasi berlebihan, sehingga plastisasi tidak efisien lagi.

2.4 Pisang raja

Pisang merupakan tanaman asli Asia Tenggara termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri tanaman pisang tersebar merata hingga ke pelosok negeri, karena buah ini merupakan tanaman holtikultura yang pertumbuhannya tidak

(11)

bergantung pada musim. Semua bagian tanaman pisang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan sandang dan pangan, mulai dari bagian bunga, buah, daun, batang maupun bonggol pisang.

Pisang raja (Musa sapientum) adalah tumbuhan dengan bentuk hidup herba dan termasuk dalam famili Musaceae atau pisang-pisangan (Rahmawati, 2011). Spesies pisang ini, pada umumnya, ditemukan di daerah tropis. Persebaran tersebut terjadi akibat adanya perdagangan antar negara di daerah tropis (Rahmawati, 2011).

Gambar 2.3 Buah Pisang Raja

Sumber : google.co.id

Pisang dikenal sebagai buah yang dimakan. Selain daging buahnya, komponen lain seperti kulitnya dapat dimanfaatkan. Hal ini dikarenakan kulit pisang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, terutama kulit pisang Musa

sapientum (Anhwange et al., 2009). Tabel 1. menunjukkan nilai nutrisi yang

terkandung di dalam kulit pisang ini.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Kulit Pisang Raja

Parameter Konsentrasi Materi Organik (%) 91.50 ± 0.05 Protein (%) 0.90 ± 0.25 Crude lipid (%) 1.70 ± 0.10 Karbohidrat (%) 59.00 ± 1.36 Crude fibre (%) 31.70 ± 0.25

(12)

Varietas pisang yang tersebar di Indonesia begitu banyak jumlahnya. Kulit pisang yang baik berasal dari pisang yang beraroma tajam seperti halnya kulit pisang raja yang mempunyai kulit tebal, ada yang berwarna kuning berbintik coklat (pisang raja bulu), ada juga yang berkulit tipis berwarna kuning kecoklatan (pisang raja sere) yang sangat cocok sekali dimanfaatkan.

Menurut Anhwange et al. (2009), kulit pisang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif untuk memasak dan sumber pakan alternatif ternak. Selain itu, kulit pisang memiliki potensi yang tinggi untuk dijadikan sebagai bahan dasar edible film. Hal ini dikarenakan kulit pisang Musa

sapientum memiliki kandungan pati yang cukup tinggi, sekitar 59% (Tabel 1).

Di dalam kulit pisang raja terdapat senyawa penyusun bioplastik seperti pati. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan a-glikosidik. Berbagai macam pati tidak memiliki sifat yang sama, tergantung dari panjang rantai karbon serta bentuk rantai molekulnya yang lurus atau bercabang. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Nahwi, 2016).

Reaksi pencoklatan pada kulit pisang akan terjadi selama proses pengolahan kulit pisang tersebut. Reaksi pencoklatan enzimatis adalah proses kimia yang terjadi pada sayuran dan buah-buahan oleh enzim polifenol oksidase yang menghasilkan pigmen berwarna coklat (melanin). Proses pencoklatan enzimatis memerlukan enzim polifenol oksidase dan oksigen untuk bereaksi dengan substrat tersebut. Enzim-enzim yang dikenal yaitu fenol oksidase, polifenol oksidase, fenolase atau polifenolase (Nahwi, 2016).

Kecepatan perubahan pencoklatan enzimatis dapat dihambat oleh beberapa inhibitor. Cara yang dilakukan untuk menghambat terjadinya proses pencoklatan yaitu dengan cara perendaman, diantaranya perendaman dalam air, perendaman dalam asam sitrat dan perendaman dalam sulfit. Perlakuan-perlakuan tersebut memiliki perbedaan kekuatan penghambatan reaksi pencoklatan (Nahwi, 2016).

(13)

2.5 Plasticizer Sorbitol

Pada pembuatan edible film dan coating sangat diperlukan plasticizer, terutama untuk yang berbasis polisakarida dan protein karena struktur film ini cenderung mudah pecah dan kaku akibat interaksi yang ekstensif antara molekul polimer (Juwita, 2012). Plasticizer merupakan agen dengan berat molekul yang rendah dan bergabung dengan material polimer pembentuk

edible film. Plasticizer akan terdispersi di antara molekul polimer dan akan

mempengaruhi interaksi antar polimer untuk meningkatkan fleksibilitas (Juwita, 2012).

Penambahan plasticizer tidak hanya mempengaruhi modulus elastisitas dan karakteristik mekanik lainnya, tetapi juga meningkatkan permeabilitas film terhadap uap dan gas (Juwita, 2012). Hampir semua plasticizer bersifat sangat hidrofilik dan higroskopis sehingga dapat menarik molekul air dan membentuk kompleks hidrodinamik plasticizer-air yang besar. Sebenarnya air merupakan

plasticizer yang sangat baik, namun dapat menguap dengan cepat pada proses

pengeringan pada RH rendah (Juwita,2012).

Sorbitol yang dikenal juga sebagai glusitol, adalah suatu gula alkohol yang dimetabolisme lambat di dalam tubuh. Sorbitol diperoleh dari reduksi glukosa, mengubah gugus aldehid menjadi gugus hidroksil, sehingga dinamakan gula alkohol. Struktur sorbitol disajikan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Struktur Kimia Sorbitol

(14)

Sorbitol digunakan sebagai pemanis buatan pada produk permen bebas gula dan sirup obat batuk. Zat ini juga dikenal sebagai pemanis yang memiliki nilai gizi karena mengandung energi sebanyak 2,6 kkal per gram.

Selain berperan sebagai pemanis, sorbitol juga dikenal luas dapat digunakan sebagai plasticizer dalam pembentukan edible film. Berdasarkan hasil penelitian Krochta, Elisabeth dan Myrna (1994), sorbitol lebih efektif daripada gliserol dalam pembentukan film terutama dalam menghasilkan kekuatan mekanik yang lebih baik, seperti kuat tarik, elongasi dan modulus elastisitas serta menghasilkan edible film dengan lebih rendah dibandingkan dengan gliserol.

2.6 Bawang Putih

Bawang putih (Allium sativum) termasuk dalam family Liliaceae, berpotensi sebagai pengawet untuk makanan olahan. Setidaknya terdapat 33 senyawa sulfur, beberapa enzim, 17 asam amino dan mineral seperti selenium (Newall et al., 1996). Ekstrak bawang putih cukup potensial dalam meng- hambat L. monocytogenes, E. coli dan Salmonella.

Bahan aktif tersebut ditambahkan ke dalam matriks bahan pengemas, baik dalam bentuk bubuk, ekstrak/oleoresin maupun minyak atsirinya. Keuntungan penambahan bahan aktif antimikroba ke dalam edible coating adalah meningkatkan daya simpan. Selain itu, sifat penghalang yang berasal dari lapisan film yang diperkuat dengan komponen aktif antimikroba dapat menghambat bakteri pembusuk dan mengurangi resiko kesehatan. Kelemahan penggunaan antimikroba alami adalah dapat memengaruhi rasa karena flavor minyak atsiri yang sangat kuat.

2.7 Aktivitas Antimikroba

Senyawa antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Senyawa antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteri statik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik

(15)

(menghambat kapang), germisidal (menghambat germinasi spora bakteri), dan sebagainya. (Nahwi, 2016)

Mekanisme aktivitas penghambatan antimikroba dapat melalui beberapa faktor, antara lain (1) mengganggu komponen penyusun dinding sel, (2) bereaksi dengan membran sel sehingga mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, (3) menginaktifkan enzim esensial yang berakibatkan terhambatnya sintesis protein dan destruksi atau kerusakan fungsi metarial genetik.

2.8 Karakteristik Mekanik Edible Film

Penggunaan pati sebagai bahan edible film bergantung pada sifat mekanisnya, yaitu gabungan antara kekuatan yang tinggi dan elastisitas yang baik. Sifat mekanis yang khas ini disebabkan oleh adanya dua macam ikatan dalam bahan polimer, yakni ikatan kimia yang kuat antara atom dan interaksi antara rantai polimer yang lemah.

Karakteristik mekanik dari edible film dapat dipelajari berdasarkan dari tiga parameter yaitu: kuat tarik (tensile strength), modulus Young dan persentase pemanjangan (elongasi). Parameter-parameter tersebut dapat menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan edible film yang berkaitan dengan struktur kimianya dan juga mengindikasikan integrasi edible film pada kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses pembentukan edible film tersebut.

Kuat tarik (tensile strength) didefinisikan sebagai kekuatan maksimum bahan yang diberikan gaya tarik/tegangan (stress) hingga bahan tersebut mengalami perubahan bentuk (deformasi). Selama di bawah pengaruh tegangan, specimen mengalami perubahan bentuk (deformasi) maka secara praktis kuat tarik diartikan sebagai besarnya beban maksimum yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan dibagi dengan luas penampang semula.

(16)

2.8.1 Kuat Tarik (Tensile Strength)

Uji tarik adalah cara pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujian ini sangat sederhana, tidak mahal dan sudah mengalami standarisasi di seluruh dunia, misalnya di Amerika dengan ASTM E8 dan Jepang dengan JIS 2241. Dengan menarik suatu bahan kita akan segera mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material itu bertambah panjang. Alat eksperimen untuk uji tarik ini harus memiliki cengkeraman (grip) yang kuat dan kekakuan yang tinggi (highly stiff). Banyak hal yang dapatdi pelajari dari hasil uji tarik, berikut adalah ilustrasi uji tarik suatu bahan.

Gambar 2.5 Ilustrasi Uji Tarik Film

Sumber : Anonim, 2014

Tensile strength adalah ukuran untuk kekuatan film secara spesifik,

merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap bertahan sebelum putus atau sobek. Pengukuran ini untuk mengetahui besarnya gaya yang diperlukan untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap luas area film. Sifat tensile strength tergantung pada konsentrasi dan jenis bahan penyusun edible film terutama sifat kohesi struktural. Tegangan secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

spesimen

Gaya tarik Gaya tarik

Deformasi lokal

(17)

𝜎 =𝐹 𝐴 Dimana :

𝜎 = Tegangan (MPa, psi)

F = Gaya yang diberikan pada bahan (N, lb, kg) A = Luas area (cm2, in2)

2.8.2 Persentase Pemanjangan (Elongation)

Kuat tarik selain dipengaruhi oleh tegangan (stress) juga dipengaruhi oleh regangan atau pemanjangan (strain). Regangan didefinisikan sebagai rasio antara perubahan pemanjangan dengan panjang awal dari bahan yang mengalami perubahan bentuk. Pemanjangan dirumuskan sebagai berikut :

𝜀 = ∆𝑙𝑙 𝑥 100 %

Dimana :

𝜀= Regangan/pemanjangan (%) ∆𝑙 = Perubahan pemanjangan (cm) l = Panjang awal (cm)

Jika suatu bahan dikenakan gaya tarikan dengan kecepatan tetap, semula kenaikan tegangan yang diterima bahan berbanding lurus dengan perpanjangan spesimen sampai dengan titik elastis bilamana tegangan dilepaskan maka hanya sebagian yang akan kembali ke keadaan aslinya dan menjadi bentuk permanen, tetapi jika tegangan dinaikan sedikit saja akan terjadi perpanjangan yang besar.

(18)

2.8.3 Ketebalan film

Menurut McHugh dan Krochta (1994) ketebalan juga sangat mempengaruhi sifat fisik dan mekanik edible film, seperti tensile strength,

elongation, dan water vapor transmission rate (WVTR). Faktor yang dapat

mempengaruhi ketebalan edible film adalah konsentrasi padatan terlarut pada larutan pembentuk film dan ukuran pelat pencetak. Semakin tinggi konsentrasi padatan terlarut, maka ketebalan film akan meningkat. Sebagai kemasan, semakin tebal edible film maka kemampuan penahanannya semakin besar, sehingga umur simpan produk akan semakin panjang.

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Amilosa
Gambar 2.2 Struktur Amilopektin
Gambar 2.3 Buah Pisang Raja
Gambar 2.4 Struktur Kimia Sorbitol
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pembentukan Perlembagaan juga berlaku Pembentukan Perlembagaan juga berlaku kerana terjadinya perjanjian antara satu kerana terjadinya perjanjian antara satu bangsa dengan bangsa

4 1 2 Mikrobiologi Peternakan 2 1 Mempelajari dan membahas tentang berbagai mikroorganisme, faktor-faktor yang mempengaruhi perumbuhan mikroorganisme, sumber kontaminasi

Kandidiasis terjadi pada beberapa penyakit yaitu mukosa gastrointestinal terutama esofagitis, penyakit jamur yang terkait dengan penggunaan kateter dan pasien yang memiliki

Komite Sekolah melakukan tugas dan fungsi sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.. Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah

Desain belah lin- tang adalah rancangan studi yang mempelajari hubungan efek dan paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan dalam hal ini adalah

sering menggunakan file jenis TIFF mengingat jenis format ini memiliki dynamic range tinggi sehingga apabila sebuah image/gambar diedit tidak mengakibatkan

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian adalah mengetahui penghematan bahan tanam dengan menggunakan panjang stek dua dan tiga ruas, serta memberikan informasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa balok castellated dengan variasi dimensi bukaan lubang, jarak antar lubang, dan sudut lubang yang lebih kecil akan menghasilkan nilai