• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi dan Biologi Luak

Luak atau Paradoxurus hemaphroditus yang berada di daerah pulau Jawa menurut Shiroff (2002) memiliki susunan taksonomi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Class : Mammalia Ordo : Carnivora Subordo : Feliformia Family : Viverridae Subfamily : Paradoxurinae Genus : Paradoxurus

Species : Paradoxurus hermaphroditus

Gambar 1. Luak Jawa Sumber: koleksi pribadi

Luak di pulau Jawa memiliki ciri-ciri corak warna yang khas, luak memiliki mata berwarna coklat, warna dasar keabu-abuan dengan warna hitam di bagian muka, telinga, kaki dan ekor, serta serta corak tiga garis memanjang dan bintik-bintik hitam di sekitar punggungnya (Gambar 1) (Dewi 2010). Luak adalah hewan nokturnal dengan kebiasaan hidup yang unik dalam proses adaptasinya (Borah dan Deka 2011). Luak pandai dalam memanjat untuk memperoleh buah tapi luak juga mampu berburu di dataran dan perairan untuk memperoleh sumber makanan lainnya (Vaughan et al. 2000). Menurut Lunde dan Musser (2003) luak memiliki status konservasi less concern atau tidak dilindungi.

Secara umum luak memiliki gambaran biologis yang hampir sama dengan anjing dan kucing. Menurut Shiroff (2002), luak dapat hidup lebih dari 22 tahun. Luak dikatakan dewasa kelamin ketika berumur 11-12 bulan. Luak dewasa memiliki bobot tubuh 2-5.5 kg. Panjang tubuh luak dewasa mencapai 43.2-71 cm dan panjang ekor mencapai 40.6-66 cm. Siklus reproduksi luak belum banyak

(2)

diketahui, namun luak mampu bereproduksi sepanjang tahun dengan kecenderungan memiliki anak pada pada bulan Oktober–Desember dengan jumlah anak 2-5 ekor.

Penyebaran luak di dunia menyebar dari India, Pakistan, Srilanka, Bangladesh, Burma, Tiongkok Selatan, Semenanjung Malaysia, dan Indonesia (Borah dan Deka 2011). Di Indonesia sendiri luak dapat ditemui di daerah Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, Laliabu, dan Seram di Maluku (Dewi 2010).

2.2. Pemanfaatan Luak

Luak termasuk hewan yang sangat rakus dalam mencari makan untuk kebutuhan hidupnya. Di daerah perkebunan kopi, luak dianggap sebagai hama karena dalam satu hari luak mampu memakan buah kopi sebanyak 1-1.5 kg/ekor. Kemampuan luak dalam memakan buah kopi dipengaruhi oleh usia luak dan status biologisnya. Kopi yang disukai oleh luak adalah buah kopi robusta, yang rasanya lebih pahit dari pada kopi arabika. Dipertengahan abad ke-19, seorang buruh perkebunan kopi, memanfaatkan kopi dari feses luak untuk diolah dan dikonsumsi karena tidak mampu membeli kopi di pasaran. Ternyata rasa kopi dari feses luak memiliki citarasa yang istimewa sehingga banyak orang yang menyukainya (Kurnia dan Yulvianus 2011). Meningkatnya permintaan akan kopi luak mengakibatkan mulai berkembangnya produksi kopi luak baik secara intensif maupun ekstensif. Produksi kopi luak secara intensif dilakukan dengan mengandangkan luak dalam kandang yang cukup luas, kemudian pada periode panen kopi, luak diberi makan buah kopi yang matang hasil dari perkebunan. Sedangkan produksi kopi luak secara ekstensif dilakukan dengan membiarkan luak liar untuk memakan buah kopi yang masih di pohon, kemudian setiap pagi harinya para buruh perkebunan mengumpulkan feses luak untuk diproses lebih lanjut menjadi kopi luak yang siap untuk dikonsumsi.

Selain dimanfaatkan sebagai penghasil kopi luak, Paradoxurus hemaphroditus juga digunakan sebagai hewan coba dalam penelitian dibidang kesehatan. Luak telah digunakan dalam penelitian penyebaran penyakit zoonosis melalui satwa liar, yaitu : pada kasus SARS dan rabies. SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) pertama kali ditemukan di propinsi Guangdong ( China )

(3)

pada bulan November 2003. Penelitian luak pertama untuk mengungkapkan kasus SARS dilakukan oleh seorang ilmuan ternama dari Hong Kong dan Cina. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa SARS diakibatkan oleh kelompok corona virus, yang dapat ditemukan pada selaput lendir saluran pernafasan dan feses luak. Dalam kasus SARS luak berperan sebagai hewan carier yang mampu menularkan virus ke hewan lain, maupun kepada manusia (Pristiyanto 2003).

Sedangkan pada kasus rabies, luak diduga sebagai vektor penghubung antara rabies pada satwa liar dan hewan domestik. Luak yang hidup di perbatasan antara wilayah hutan dan pemukiman diduga telah menyebarkan virus rabies yang berasal dari kelelawar vampir dan kemudian menularkannya melalui gigitan pada anjing dan kucing yang berada di pemukiman. Begitu juga sebaliknya, luak dapat menularkan rabies dari hewan domestik di permukiman kepada hewan liar yang ada di hutan. Di lingkungan hutan, luak memiliki peran sebagai hewan carier seperti halnya kelelawar yang mampu menularkan virus namun tidak mengalami kematian karena rabies. Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan yang disebabkan oleh virus, bersifat akut serta menyerang susunan saraf pusat hewan berdarah panas dan manusia. Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan Case Fatality Rate 100% (Pristiyanto 2003 ).

2.3. Gambaran Darah Luak Dari Hasil Penelitian Terdahulu

Luak sudah banyak dimanfaatkan baik dalam bidang pertanian dan kesehatan, namun hingga saat ini penelitian mengenai fisiologi normal luak masih sangat sedikit. Penelitian tentang gambaran darah luak Paradoxurus hemaphroditus yang sudah dilakukan adalah penelitian luak dari kebun binatang Khawkeaw di Thailand. Penelitian tersebut dilakukan terhadap dua pasang luak dewasa yang ada di kebun binatang. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa sel darah merah luak sama dengan bentuk sel darah merah hewan mamalia lainnya yaitu berbentuk bikonkaf dan tidak memiliki inti. Ukuran diameter sel darah merah luak relatif lebih kecil dari diameter anjing dan kucing yaitu sekitar 4.3±0.4 µm. Data mengenai gambaran darah luak tersaji secara lengkap pada Tabel 1.

(4)

Table 1. Data hematologi empat ekor luak di Thailand

Parameter Jantan (N=2) Betina (N=2) Semua Luak

PCV (%) 43.3 46,5 41 36 41,7 ± 4,4 hemoglobin (g/dL) 14,7 15,4 13,7 11,7 13,9 ± 1,6 RBC (x 106/mL) 15.43 16,64 11,1 9,9 13,3 ± 3,2 MCV (fL) 28 28 36,9 36,3 32,3 ± 5,0 MCH (pg) 9.5 9,3 12,3 11,8 10,7 ± 1,5 MCHC (g/dL) 34 33,1 33,4 32,5 33,3 ± 0,6 Sumber: (Salakij et al. 2007)

Hasil interpretasi penelitian tersebut menyatakan bahwa besarnya nilai parameter hematologi ( PCV, Hb, dan RBC ) dari luak betina lebih rendah dari pada parameter hematologi luak jantan.

2.4. Darah

Darah adalah cairan yang bersirkulasi dalam sistem kardiovaskular dan sangat penting untuk mengetahui kondisi kesehatan (Silverthorn 2006). Darah terdiri dari cairan darah atau plasma dan sel-sel darah atau benda-benda darah, yang menjadi suspensi satu sama lain. Benda-benda darah tersebut adalah eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih), dan platelet yaitu sel yang tidak lengkap dalam bentuk fragmen-fragmen. Lebih dari 99% sel darah adalah eritrosit (Vander 2001). Sel darah merah menjadi kunci dalam membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Platelet berperan dalam proses pembekuan darah, yaitu proses yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kehilangan darah karena rusaknya pembuluh darah. Sel darah putih berperan dalam proses pertahanan tubuh dan respon kekebalan terhadap agen infeksi seperti parasit, bakteri, dan virus. Hanya sel darah putih yang mampu keluar dari pembuluh darah ke jaringan terinfeksi untuk melakukan pertahanan tubuh (Silverthorn 2006).

Secara umum darah memiliki fungsi sebagai media transportasi nutrien, oksigen, sisa metabolisme, dan hormon. Fungsi darah yang lain adalah sebagai pengatur suhu tubuh, pengatur cairan, dan elektrolit serta berperan sebagai buffer (Frandson 1992). Volume total darah mamalia umumnya sekitar 7-8% dari berat badan, sedangkan plasma darah sekitar 50-65% dari total volume darah. Sel darah

(5)

merah matang pada mamalia tidak memiliki nukleus ketika beredar dalam pembuluh darah, tujuannya adalah untuk memperluas permukaan sehingga memperbesar volume oksigen yang diangkut (Brown dan Dellmann 1992).

2.4.1. Hematopoiesis

Hematopoiesis berasal dari kata haima yang berarti darah dan poiesis yang berarti pembentukan. Hematopoiesis adalah mekanisme sintesis sel darah yang dimulai dari awal perkembangan embrio hingga selama hewan hidup. Hematopoiesis terjadi pertama kali pada tiga minggu pertama pembentukan fetus. Pembentukan darah ini terjadi di kantong kuning telur embrio. Beberapa sel akan mengelompok menjadi sel endotel membentuk pembuluh darah, dan yang lain akan membentuk sel darah (Silverthorn 2006). Hematopoiesis pada masa embrio juga terjadi di hati, limpa, dan sumsum tulang (Vander 2001).

Salah satu proses hematopoiesis adalah pembentukan sel darah merah atau eritropoiesis. Pada hewan dewasa sel darah merah dibentuk dalam sumsum tulang. Sesuai fungsinya sumsum tulang dapat dibagi dalam beberapa kelompok sel yaitu kelompok sel induk pluripoten, kelompok sel induk unipoten dan sistem pengatur pertumbuhan yang menstimulasi proliferasi sel. Dalam sumsum tulang yang aktif memproduksi sel darah terdapat dua sistem yaitu sistem stroma sumsum tulang dan sinusoid. Sel yang berperan dalam hemopoiesis mengambil tempat pada stroma sumsum tulang dan hanya sel-sel yang sudah matang yang akan masuk ke dalam sinusoid lalu masuk kedalam aliran buluh darah. Pada prinsipnya sel-sel darah yang belum matang akan tetap berada di dalam stroma sumsum tulang, kecuali dalam keadaan sakit (Reksudiputro 1994).

Eritropoiesis adalah proses pembentukan sel darah merah. Proses eritropoiesis dimulai dengan pembelahan sel-sel multipoten menjadi sel-sel unipoten kemudian setiap sel unipoten akan menjadi satu sel darah merah. Pada proses eritropoesis ini sel-sel bermitosis dan berdiferensiasi secara bersamaan setelah memperoleh rangsangan dari eritropoetin (Reksudiputro 1994). Eritropoietin adalah hormon yang sebagian besar dihasilkan oleh ginjal dengan target organ utamanya adalah sumsum tulang. Eritropoietin dibentuk juga di hati pada masa janin sampai dengan neonatus oleh sel-sel intertisial jaringan kapiler peritubulus ginjal dan oleh hepatosit di hati hewan dewasa (Meyer et al. 1992).

(6)

Adanya eritropoetin pada sumsum tulang akan memicu terjadinya proliferasi sel unipoten dan terjadinya mitosis lebih lanjut dari sel pronormoblas, normoblas basofilik dan normoblas polikromatofil (Reksudiputro 1994). Sel pronormoblas merupakan sel termuda dalam sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang halus. Sel pronormoblas memiliki inti berwarna biru kemerahan dan sitoplasmanya berwarna biru. Normoblas basofilik memiliki kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang. Sitoplasmanya mengandung sedikit hemoglobin sehingga warna biru dari sitoplasma akan tampak menjadi sedikit kemerahan. Normoblas polikromatofil memiliki kromatin yang kasar dan menebal. Inti sel normoblas polikromatofil lebih kecil daripada inti sel dari normoblas basofilik, tetapi sitoplasmanya lebih banyak mengandung warna biru karena kandungan Asam ribonukleat (RNA) dan merah karena kandungan hemoglobin (Silverthorn 2006). Waktu yang dibutuhkan oleh pronormoblas untuk menjadi normoblas polikromatofil sekitar 2-4 hari. Hasilnya adalah sel darah merah muda yang inti selnya sudah mengalami piknotis dan sudah siap dikeluarkan dari sel. Sel darah merah termuda ini disebut retikulosit. Waktu yang dibutuhkan oleh retikulosit untuk berubah menjadi eritrosit sekitar 2-3 hari (Reksudiputro 1994). Eritropoiesis akan meningkat bila terjadi pendarahan yang mengakibatkan anemia dan atau hipoksia, dimana penurunan oksigen akan merangsang ginjal untuk melepaskan enzim eritrogenin yang akan mengaktifkan eritropoietinogen sebagai prekursor pembentukan eritropoietin. Produksi eritropoietin akan menurun ketika individu memperoleh transfusi darah (Ganong 2001).

2.4.2. Eritrosit atau Sel Darah Merah

Sel darah merah atau eritrosit berperan dalam sistem transportasi sel untuk mengantarkan nutrien dan oksigen. Sel darah merah memiliki bentuk bikonkaf dan berwarna kepucatan di daerah tengahnya. Bentuknya yang bikonkaf memungkinkan volume oksigen yang diangkut lebih banyak dalam setiap sel darah merah. Sel darah merah mamalia kehilangan inti selama proses pematangan yang berlangsung sebelum memasuki peredaran darah (Ganong 2001). Selain itu sel darah merah mamalia dewasa tidak memiliki mitokondria sebagai penghasil energi, oleh karena itu sebagai penggantinya sel darah merah mamalia memiliki

(7)

membran berbentuk kantong yang berisi enzime dan hemoglobin. Tidak adanya mitokondria ini menyebabkan sel darah merah tidak dapat melakukan metabolisme secara aerobik. Sel darah merah hanya mengandalkan glykolisis untuk memperoleh energi utama berupa ATP. Tanpa nukleus dan retikulum endoplasma sel darah merah tidak dapat memproduksi enzime baru atau memperbaiki komponen dari membrannya. Oleh sebab itu semakin tua umur sel darah, maka fleksibilitas membran sel darah merah akan semakin berkurang sehingga semakin tua sel darah merah, semakin kaku, dan mudah rusak (Silverthorn 2006).

Secara morfologi sel darah merah dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya penyakit dalam tubuh. Pada keadaan tertentu sel darah merah dapat berubah bentuk, sel darah yang seharusnya pipih akan berubah menjadi membulat atau kembung. Perubahan morfologi sel darah merah ini disebut poikilositosis. Perubahan morfologi dari sel darah merah dapat mengurangi afinitas hemoglobin dalam mengikat oksigen. Pada penyakit tertentu, ukuran sel darah merah dapat di tentukan dengan indeks eritrosit yaitu MCV (Mean Corpuscular Volume) untuk mengetahui keabnormalan ukuran baik mengecil maupun membesar pada sel darah merah, seperti pada kasus defisiensi besi maka sel darah merah akan berukuran kecil (Silverthorn 2006). Menurut Rebar (2000), jumlah butir darah merah normal anjing sekitar 5.5-8.5 x 106 /µL sedangkan jumlah butir darah merah kucing sekitar 5.0-10.0 x 106 /µL.

2.4.3. Hemoglobin

Hemoglobin adalah kompleks protein pigmen yang mengandung zat besi. Kompleks protein tersebut berwarna merah dan terdapat dalam eritrosit. Sebuah molekul hemoglobin memiliki empat gugus haima yang mengandung besi fero dan empat rantai globin (Brooker 2001). Hemoglobin merupakan komponen dari sel darah merah yang terdiri dari protein terkonjugasi yang mampu mengangkut oksigen dan karbondioksida. Dalam aliran darah, setiap gram hemoglobin mampu mengikat sekitar 1.34 mL oksigen. Hemoglobin dalam darah berfungsi sebagai pembawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dan membawa kembali karbondioksida dari jaringan ke dalam paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh.

(8)

Mioglobin adalah protein yang berukuran kecil (sekitar 17200 dalton) yang terdapat di otot jantung dan otot rangka, berfungsi menyimpan dan memindahkan oksigen dari hemoglobin dalam sirkulasi ke enzim-enzim respirasi di dalam sel kontraktil. Ketika terjadi kerusakan pada otot, mioglobin dilepas ke dalam sirkulasi darah (Riswanto 2010). Mioglobin berfungsi sebagai pengatur oksigen, yaitu menerima, menyimpan dan melepaskan oksigen dari dalam sel-sel otot. Sebanyak kurang lebih 80% besi tubuh berada dalam hemoglobin (Almatsier 2001).

Sintesis hemoglobin membutuhkan suplai zat besi yang cukup dari makanan. Zat besi akan diserap di usus halus dengan transport aktif. Zat besi dibawa beredar dalam pembuluh darah oleh protein carier yaitu transferrin. Pembentukan sel darah merah dalam sumsum tulang menggunakan zat besi untuk membentuk heme dari hemoglobin. Kelebihan dari zat besi akan disimpan di hati dalam bentuk protein ferritin dan turunan-turunannya (Silverthorn 2006).

Secara fisiologis hemoglobin di dalam tubuh memiliki dua bentuk. Oksihemoglobin yaitu bentuk hemoglobin yang mampu mengikat oksigen, dimana setiap molekul oksigen akan berikatan dengan bentuk ferro (fe++). Deoksihemoglobin yaitu hemoglobin yang tidak mampu mengikat oksigen. Di dalam tubuh bentuk hemoglobin yang lain adalah Carboxyhemoglobin (COHb), yaitu hemoglobin yang terikat dengan Carbonmonoksida (CO) sehingga afinitas hemoglobin terhadap oksigen menurun (Light A et al. 2007). Afinitas atau kemampuan hemoglobin dalam mengikat oksigen dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) dalam butir darah merah (Colville dan Joanna 2002). Pada tekanan oksigen yang tinggi, suhu rendah dan pH yang tinggi mengakibatkan meningkatnya afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Sebaliknya pada tekanan oksigen yang rendah, suhu yang tinggi dan pH yang rendah menyebabkan turunnya afinitas hemoglobin. Peningkatan 2,3-DPG dalam butir darah merah akan menurunkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen. Meningkatnya 2,3-DPG dalam darah akan mengakibatkan anemia dan pada beberapa penyakit dapat menyebabkan hipoksia kronis (Ganong 2001). Menurut Rebar (2000), kisaran kadar hemoglobin normal pada anjing sekitar 12-18 g/dl,

(9)

sedangkan pada kucing memiliki kisaran kadar hemoglobin normal sekitar 8-15 g/dl.

2.4.4. Hematokrit atau PCV ( Packed Cell Volume)

Hematokrit adalah presentase volume eritrosit dari volume total sampel darah yang dikoleksi dalam mikrokapiler. Hematokrit dari darah vena yang diperoleh dari pengambilan darah langsung dari vena, nilainya sama dengan total hematokrit dalam tubuh (Silverthorn 2006). Untuk menghindari penggumpalan, darah yang dikoleksi, dicampur dengan anti koogulan berupa heparin, oxalate dan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). Sampel darah disentrifugasi dengan kecepatan tinggi untuk memisahkan komponen darah berdasarkan berat jenisnya. Eritrosit berada pada bagian paling dasar tabung, kemudian leukosit dan platelet (bufing coat), serta pada lapisan paling atas adalah plasma darah (Vander 2001). Menurut Rebar (2000), nilai hematokrit normal pada anjing sekitar 37-55 %, sedangkan pada kucing sekitar 30-45 %.

2.4.5. Indeks Eritrosit

Indeks eritrosit dapat digunakan untuk menentukan jenis anemia secara morfologinya. Indeks eritrosit sangat membantu untuk menentukan pendekatan diagnostik yang tepat untuk pasien penderita anemia. Bentuk eritrosit dalam gambaran darah dapat dibandingkan dengan nilai standar yang sudah ada untuk memperoleh ketepatan dalam mendeteksi variasi ukuran dan bentuk dari kelompok sel darah merah (Vander 2001). Indeks eritrosit dapat diperoleh dari hasil pengukuran dan perhitungan dari sel darah merah. Nilai dasar eritrosit yang harus diketahui adalah perhitungan sel darah merah, hemoglobin, dan hematocrit. Dari nilai dasar eritrosit tersebut dapat diperoleh indeks eritrosit yaitu Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) (Silverthorn 2006).

MCV adalah rataan volume dari setiap sel darah merah dalam mikro kubik (µ3) atau femtoliter (fl). 1 fL = 10-15 liter. Nilai MCV normal pada anjing sekitar 60-75 fL, sedangkan nilai MCV kucing memiliki kisaran normal 40-55 fL (Rebar 2000).

(10)

Persamaan dari MCV adalah

MCV =

MCH adalah konsentrasi atau kandungan hemoglobin rataan dari setiap sel darah merah dalam picograms (pg).

Persamaan dari MCH adalah

MCH =

MCHC adalah rataan konsentrasi hemoglobin dalam 100 ml hematokrit atau PCV (packed cell volume) dalam persen. Nilai MCHC normal pada anjing sekitar 32-36 g/dL, sedangkan pada kucing nilai normal MCHCnya adalah 30-36 g/dL (Rebar 2000).

Persamaan dari MCHC adalah

Gambar

Table 1. Data hematologi empat ekor luak di Thailand

Referensi

Dokumen terkait

Apabila besarnya uang titipan di bank tersebut ternyata lebih besar dari yang diputuskan oleh hakim pengadilan negeri maka akan ada pemberitahuan dari kejaksaan negeri kepada

Seperti yang disebutkan, close up digunakan untuk memfokuskan kamera pada wajah atau detil tertentu, maka extreme close up akan memperbesar suatu detil yang tidak mungkin kita

Kelas Simpul memiliki atribut: idx yang merupakan indeks dari simpul yang ditentukan dari urutan penghidupannya (urutan penghidupan dan urutan pengecekan

Incling di daerah Hargotirto ini berbeda dengan incling di daerah lain, perbedaan ini terletak pada instrumen musik yang digunakan sebagai musik tarinya, yaitu dengan

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nurmadinah (2015) yang menyatakan bahwa secara parsial CR menunjukkan tidak adanya pengaruh signifikan terhadap

Perencanaan pada hakekatnya harus didasarkan pada masalah, kebutuhan dasar dan potensi wilayah agar pembangunan yang dilakukan tepat guna dan tepat sasaran

Melalui identi- fikasi awal hambatan melaluipembelajaran bersama dengan guru PAUD Gugus 11 Arjowinangun untuk menemukenali faktor kegagalan pemahaman pada K13 PAUD dari

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada