• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENGHORMATAN PADA HARGA DIRI ORANG LAIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PENGHORMATAN PADA HARGA DIRI ORANG LAIN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

PENGHORMATAN PADA HARGA DIRI ORANG LAIN

A. Anjuran untuk Saling Menghormati

Islam telah datang dengan membawa sistem penghormatan yang

khusus. Sistem tersebut menjadikan masyarakat muslim berbeda dengan

masyarakat lainnya. Ia juga membuat ciri-ciri masyarakat muslim berbeda dari

yang lain. Ia tidak lebur dan tidak lenyap ke dalam ciri-ciri dan tanda-tanda

masyarakat lainnya. Hal tersebut telah dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat

86, sebagaimana berikut

































Artinya: “Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan). Sungguh, Allah memperhitungankan segala sesuatu.”

Berdasarkan penuturan Quraish Shihab, surat an-Nisa’ ayat 86 ini

mengajarkan untuk menjalin hubungan yang baik dengan cara membalas

penghormatan orang lain.0F

88

Menurut Al-Biqa’I1F

89

yang dikutip oleh Quraish

Shibah menyebutkan, bahwa suatu saat seseorang akan mendapat kedudukan

yang terhormat. Kedudukan orang tersebut membuat orang lain

menyampaikan penghormatan kepadanya. Jika seseorang dihormati dengan

suatu penghormatan, baik dalam bentuk ucapan, perlakuan, pemberian

88

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2., hal. 513.

89

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2., hal. 513.

(2)

44

hadiah, dan lainnya, maka penghormatan tersebut dibalas dengan

penghormatan yang lebih baik.

Ayat di atas mengandung perintah untuk berlaku sopan santun dalam

pergaulan. Ayat tersebut menganjurkan untuk membalas penghormatan orang

lain dengan penghormatan yang lebih baik atau dengan penghormatan yang

sama. Ketika cara tersebut dilakukan dengan baik, maka hubungan antara

orang yang memberikan penghormatan dan orang yang menerimanya akan

menjadi lebih akrab. Ketika seseorang ingin menghormati orang lain,

hendaknya orang tersebut terlebih dahulu merasakan perasaan orang lain

dengan bersikap penuh kepedulian. Penghormatan kepada orang lain

merupakan suatu penghargaan atas perspektif, waktu, dan ruang orang lain

tersebut.

Menurut Sayyid Quthb, Tah}iyyah atau penghormatan dalam

masyarakat merupakan salah satu bentuk hubungan yang memudahkan

perputaran roda kehidupan.90 Penghormatan ini memiliki hubungan dekat

dalam kehidupan bermasyarakat. Sayyid Quthb juga mengatakan, bahwa

terdapat tiga kandungan yang terdapat dalam ayat penghormatan ini.91

Pertama, Islam hendak mencetak masyarakat muslim supaya

memiliki ciri-ciri dan tradisi khusus. Kedua, penghormatan ini dapat

menguatkan hubungan kasih sayang dan kedekatan antar anggota kaum

Muslimin. Ketiga, penghormatan pada orang lain menunjukkan kelapangan

90

Sayyid Quthb, 2002, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, jilid 3, Gema Insani, Jakarta., hal. 41. 91

(3)

45

jiwa di tengah-tengah ayat-ayat perang sebelum dan sesudah ayat ini. Hal ini

menunjukkan prinsip Islam yang asasi, yakni salam keselamatan dan

kedamaian.

Nilai-nilai yang terkandung dalam ayat ini merupakan hal-hal yang

penting. Nilai-nilai tersebut mempengaruhi kebersihan hati. Ia

memperkenalkan orang-orang yang belum kenal. Ia juga mempererat

hubungan antara orang-orang yang menjalin hubungan.

Hal serupa tentang ayat tersebut dinyatakan dalam tafsir Ibnu Katsir,

yakni Allah menyuruh seseorang membalas salam orang lain dengan ucapan

salam yang lebih baik atau paling tidak sama dengan salam yang

diterimanya.92 Jika seseorang mengucapkan “assala>mu’alaikum”, maka

dijawab dengan ucapan “wa’alaikum sala>m warah}matulla>h”. Jika salam

orang itu berbunyi “assala>mu’alaikum warah}matulla>hi”, maka jawabannya

ditambah dengan kata “wabaraka>tuh”. Demikian yang dimaksud dengan

jawaban yang lebih baik atau sama dengan salam yang ia terima, yakni

mengulangi ucapan salam orang tersebut.

Menurut Alhasan Albasri dalam tafsir Ibnu Katsir, pemberian salam

terhadap orang lain merupakan perbuatan suka rela. Akan tetapi, membalas

salam yang diberikan orang lain merupakan perbuatan wajib.93 Dengan

92

Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, jilid 2., hal. 495.

93

Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, jilid 2., hal. 497.

(4)

46

begitu, ketika ada orang yang mengucapkan salam, maka orang yang

mendapat salam tersebut wajib membalas salam darinya.

Dalam interaksi sosial, Allah dan Rasul-Nya berpesan agar

menyebarluaskan kedamaian antar seluruh anggota masyarakat, kecil atau

besar, dikenal atau tidak dikenal.94 Hal ini mengindikasikan, bahwa untuk

menghormati orang lain tidak memandang kedudukan orang tersebut. Namun,

hal yang terjadi di lingkungan sekitar menunjukkan, bahwa seseorang

menghormati orang lain hanya dengan melihat kedudukannya, misalkan

seorang pengikut kepada pemimpinnya.

Pemberian rasa hormat biasanya hanya ditujukan kepada otoritas yang

berhak, seperti direktur, manajer, atau jabatan tinggi lainnya. Seorang

pengikut lebih banyak menghormati pemimpinnya daripada seorang

pemimpin yang menghormati pengikutnya. Untuk membangun hubungan

yang baik, hendaknya setiap orang mampu saling menghormati kepada

sesamanya. Pemberian hormat hendaknya ditujuan kepada siapapun dengan

porsinya masing-masing. Oleh sebab itu, ayat ini mengajarkan untuk saling

menghormati dalam menjalin hubungan yang baik, seperti hubungan antara

pemimpin dan pengikutnya.

Penghormatan pada harga diri orang lain bukan berarti seseorang lebih

rendah dari orang yang dihormatinya. Akan tetapi, penghormatan tersebut

adalah salah satu cara untuk menjaga perasaannya. Penghormatan seorang

94

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2., hal. 514.

(5)

47

pemimpin kepada pengikut akan menunjukkan kewibawaannya dalam

menjaga harga diri pengikutnya. Dengan begitu, hubungan antara pemimpin

dan pengikut dapat terjalin harmonis. Hal ini akan meningkatkan kinerja

pengikut dalam organisasi atau kelompok tersebut.

B. Bentuk Penghormatan Terhadap Orang Lain

Cara menghormati harga diri orang lain telah diterangkan dalam surat

al-Furqan ayat 63, sebagaimana berikut:



























Artinya: “Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang-orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan salam.” Dalam tafsir Ibnu Katsir, hamba-hamba Allah berjalan di atas bumi

dengan rendah hati. Mereka jauh dari sikap yang menandakan kesombongan

atau mengesankan seakan-akan memandang rendah terhadap sesamanya. Jika

dalam perjalanan mereka diganggu oleh orang-orang yang perbuatannya tidak

berkenan dalam hati mereka, maka mereka tidak akan membalas tindakan itu

dengan hal yang serupa. Akan tetapi, mereka akan membalasnya dengan

kata-kata yang sedap dan manis serta perbuatan yang mendidik dan

membimbing.7F

95

95

Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, jilid 6., hal. 31.

(6)

48

Tafsir di atas menjelaskan, bahwa seseorang melakukan perbuatan

yang baik terhadap orang-orang yang bersikap negatif kepadanya. Perbuatan

tersebut tidak menunjukkan kebencian terhadap orang lain. Perlakuan negatif

yang dilakukan orang lain tidak harus dibalas dengan perlakuan yang negatif

juga. Ayat tersebut justru menyebutkan, bahwa perlakuan negatif hendaknya

dibalas dengan perlakuan positif. Hal ini bertujuan untuk menjaga hubungan

antar sesama.

Menjaga hubungan baik kepada sesama itu penting. Perlu adanya

keterampilan dalam hubungan sesama manusia. Hubungan yang harmonis

merupakan hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Ia juga

merupakan komponen yang harus terjaga dalam sebuah organisasi atau

kelompok. Organisasi atau kelompok merupakan sebuah wadah yang terdiri

atas berbagai karakteristik orang, sehingga dalam prosesnya tidak terlepas

dari hubungan dan komunikasi antar anggota yang ada di dalamnya.96

Menurut Sayyid Quthb, mereka yang ada dalam ayat ini berjalan di

muka bumi dengan rendah hati, tidak dibuat-buat, tidak pamer, tidak

sombong, tidak memalingkan pipi, dan tidak tergesa-gesa.97 Ketika seseorang

sedang berjalan, bahasa tubuh yang ditampilkan merupakan ungkapan dari

kepribadian dan perasaan yang ada dalam dirinya. Ketika seseorang

menampilkan jiwa yang lurus, tenang, serius, dan mempunyai tujuan, maka ia

telah menampilkan sifat-sifat yang terkandung dalam ayat ini. Jadi, seseorang

96

Undang Ahmad Kamaludin dan Muhammad Alfan, 2010, Etika Manajemen Islam, Pustaka Setia, Bandung., hal. 162.

97

(7)

49

berjalan dengan rendah hati bukan berarti ia berjalan dengan kepala

menunduk, lemah, dan lesu.

Berdasarkan penuturan Quraish Shihab, surat al-Furqan ayat 63

mengandung sifat kesederhanaan. Sifat hamba-hamba Allah itu digambarkan

dengan yamsyu> ‘ala> al-ard}i haunan (berjalan di atas bumi dengan rendah

hati). Kata tersebut dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara berjalan

mereka tidak angkuh atau kasar. Sementara Thabathaba’i dalam tafsir

al-Mishbah memahami kata yamsyu> (mereka berjalan) pada ayat di atas dalam

arti “interaksi antar manusia”. Pendapat ini dikaitkan dengan surat al-Baqarah

ayat 205 yang mencela para pendurhaka. 98















Artinya: “apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya”

Penganut pemahaman di atas menghadapkan kata “berjalan” pada

kedua ayat tersebut. Jika interaksi orang kafir dan amal-amalnya sangat

buruk, maka interaksi orang mukmin yang digambarkan dengan kata haunan

adalah interaksi yang baik dan benar. Dengan demikian, penggalan ayat

tersebut tidak sekedar menggambarkan cara berjalan atau sikap mereka. Ayat

di atas menggambarkan lebih luas lagi, yakni melakukan interaksi dengan

pihak lain dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Ia juga melakukan

kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.

98

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 9., hal. 528.

(8)

50

Kata al-ja>hilu>n adalah bentuk jamak dari kata al-ja>hil yang diambil

dari kata jahala. Ia digunakan al-Qur’an bukan sekedar dalam arti seorang

yang tidak tahu. Akan tetapi, ia juga digunakan dalam arti pelaku yang

kehilangan kontrol atas dirinya, sehingga ia melakukan hal-hal yang tidak

wajar. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan nilai-nilai ajaran

Ilahi.99

Kata sala>man diambil dari kata salima yang maknanya berkisar pada

keselamatan dan keterhindaran dari segala sesuatu yang tercela. Menurut

al-Biqa’i yang dikutip oleh Quraish Shihab, keselamatan adalah batas antara

keharmonisan/kedekatan dengan perpisahan, serta batas antara rahmat dengan

siksaan.100 Jika dipahami dalam arti ini, maka ucapan tersebut mengandung

makna tidak ada hubungan baik antara satu dengan yang lain. Ia juga

bermakna tidak ada hubungan buruk yang mengundang perkelahian dan

pertengkaran antara satu dengan lainnya. Ia juga berarti sapaan perpisahan.

Dengan demikian, hamba-hamba Allah tersebut bila disapa oleh orang-orang

yang jahil akan menuju ke tempat lain. Hal tersebut agar mereka tidak

berinteraksi dengan orang jahil itu. Sikap ini diambil bertujuan untuk

menghindari kejahilan yang lebih besar atau menunggu waktu lain untuk

mencegah kejahilan tersebut.

Terdapat perbedaan penafsiran antara tafsir Ibnu Katsir dan tafsir

al-Mishbah mengenai kata wa idha kha>bahumu al-ja>hilu>na qa>lu> sala>man. Dalam

99 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 9., hal. 529.

100

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 9., hal. 529.

(9)

51

tafsir al-Mishbah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Quraish Shibah,

kata wa idha kha>bahumu al-ja>hilu>na qa>lu> sala>man berarti hamba-hamba

Allah menghindari orang jahil yang menyapa mereka agar terhindar dari

pertikaian dan perkelahian. Sedangkan dalam tafsir Ibnu Katsir kata tersebut

berarti membalas sapaan orang jahil dengan hal yang baik dan membimbing.

Hal tersebut dilakukan untuk menyadarkan orang jahil tersebut, sehingga

dapat terjalin hubungan yang baik antara hamba-hamba Allah dengan orang

jahil tersebut. Namun, kedua tafsir tersebut menunjukkan metode interaksi

yang baik, yakni bertujuan untuk menjaga kehormatan orang lain.

Kata interaksi memberi makna komunikasi dua arah. Surat an-Nisa

ayat 86 merupakan contoh terjadinya komunikasi dua arah, yakni

memberikan balasan penghormatan kepada orang lain. Surat al-Furqan ayat

63 menghimbau untuk melakukan interaksi dengan baik dan benar. Hal ini

adalah salah satu cara menghormati harga diri orang lain. Kedua ayat ini

menghimbau kepada seluruh manusia yang ada di bumi, tidak terkecuali

seorang pemimpin.

Banyak ditemukan kasus interaksi yang buruk antara pemimpin dan

pengikut. Seorang pemimpin yang berbicara kepada pengikutnya dengan nada

keras dan kasar dapat dijumpai diberbagai tempat kerja. Hal ini menunjukkan

bahwa pemimpin tersebut tidak menghormati pengikutnya. Jika masalah

harga diri pengikut tersebut diabaikan, maka pemimpin tersebut tidak bisa

(10)

52

dihargai dan dihormati. Maka dari itu, ayat ini menghimbau seluruh umat

manusia untuk menghormati orang lain dengan interaksi yang baik dan benar.

Ayat ini menggambarkan seseorang jauh dari sikap yang menandakan

kesombongan atau memandang rendah orang lain. Ayat ini menganjurkan

kepada seseorang untuk membalas dengan hal yang baik terhadap orang yang

menjelekkannya. Maksudnya, jika ada orang mengatakan hal-hal buruk yang

tidak berkenan dalam hati, maka hal itu cukup dibalas dengan kata-kata yang

manis serta perbuatan yang mendidik dan membimbing.

C. Interaksi yang Baik dan Benar

Menghormati harga diri orang lain dapat dilihat dari cara seseorang

berinteraksi. Hendaknya interaksi dilakukan dengan menggunakan kata-kata

yang lembut, benar dan tepat sasaran, serta kata-kata yang mulia. Interaksi

yang baik dengan menggunakan kata-kata yang lemah lembut telah

diterangkan dalam Surat Thaha ayat 44.



















Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”

Ayat ini berawal dari perintah Allah kepada Nabi Musa beserta

saudaranya untuk membawa ayat-ayat Allah kepada Fir’aun. Hal tersebut

dikarenakan Fir’aun sudah melampaui batasnya. Hal ini disebutkan dalam

(11)

53

dan Nabi Harun untuk berbica kepada Fir’aun dengan kata-kata yang lemah

lembut.

Ayat ini berisikan ajakan kepada Fir’aun untuk beriman kepada Allah.

Ayat ini juga menyeru Fir’aun kepada kebenaran dengan cara tidak

mengundang amarahnya. Hal tersebut bertujuan agar Fir’aun ingat akan

kebesaran Allah dan kelemahan makhluk. Dalam menyadarkan Fir’aun, Allah

memerintahkan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun menggunakan kata-kata

yang halus dan ucapan yang lemah lembut. Seseorang yang dihadapi dengan

cara demikian akan berkesan di hatinya. Seseorang tersebut cenderung

menyambut baik serta menerima dakwah dan ajaran yang diserukan

kepadanya.101

Menurut Sayyid Quthb, kata-kata lembut tidak akan membuat orang

bangga dengan dosanya. Ia juga tidak membangkitkan kesombongan palsu

yang menggelora di dada. Kata-kata tersebut berfungsi untuk menghidupkan

hati seseorang, sehingga ia menjadi sadar dan takut atas dampak dari tirani.102

Seseorang yang sejak awal telah menyerah untuk menyampaikan

hidayah kepada orang lain tidak akan menyampaikan dakwahnya dengan

kehangatan. Ia juga tidak gigih dalam menghadapi penolakan tersebut.

Perkataan lemah lembut disampaikan kepada orang yang berhati keras

bertujuan untuk melunakkan hati. Perkataan tersebut akan menenangkan hati

seseorang. Ia juga akan menyenangkan setiap orang yang mendengarnya.

101

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 6., hal. 143. 102

(12)

54

Menurut Quraish Shihab, Fa qu>la> lahu> qawlan layyinan (maka

berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut)

menjadi dasar tentang perlunya sikap bijaksana yang ditandai dengan

ucapan-ucapan sopan dan tidak menyakiti hati orang lain.103 Fir’aun yang durhaka

dihadapi dengan lemah lembut. Dakwah pada dasarnya adalah ajakan lemah

lembut, sebagaimana perintah Allah kepada Nabi Musa.

Penyampaian sesuatu dengan lemah lembut digunakan untuk

menunjukkan simpati sekaligus empati. Hal ini tentu saja bukan berarti

seseorang tidak melakukan kritik. Akan tetapi, kritikan disampaikan dengan

tepat sesuai dengan kandungan, waktu, tempat, dan susunan kata-katanya.

Kata-kata tersebut tidak memaki dan memojokkan. Dengan begitu, perkataan

yang lemah lembut akan lebih efektif jika dilakukan dalam setiap interaksi.

Kata la’alla biasa diterjemahkan dalam arti “mudah-mudahan” yang

mengandung makna harapan terjadinya sesuatu. Tentu saja yang mengharap

itu bukan Allah. Hal tersebut karena harapan tidak sesuai dengan kebesaran

dan keluasan ilmu-Nya.104 Oleh sebab itu, kata ini merupakan harapan yang

terarah kepada manusia. Konteks ayat ini adalah Nabi Musa dan Nabi Harun

yang menyampaikan tuntunan Allah kepada Fir’aun dengan menanamkan

dalam hati mereka berdua harapan dan optimisme.

103

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 8., hal. 306.

104

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 8., hal. 307.

(13)

55

Menurut Quraish Shihab, perintah Allah ini menunjukkan, bahwa

manusia hendaknya selalu berusaha dan tidak mengandalkan takdir

semata-mata.105 Allah telah mengetahui penolakan Fir’aun terhadap ajakan Nabi

Musa. Meskipun demikian, Allah tetap memerintahkan Nabi Musa untuk

menyampaikan ajakan dengan baik dan benar.

Interaksi yang baik dengan menggunakan kata-kata yang benar dan

tepat sasaran dilukiskan dengan kata qawlan sadi>d. Kata tersebut terdapat

dalam surat an-Nisa’ ayat 9, sebagaimana berikut.

































Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah dibelakang mereka, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

Ayat ini menegaskan untuk selalu berkata lemah lembut, terutama

kepada anak yatim.18F

106

Hal tersebut dilukiskan dengan qawlan sadi>dan

(perkataan yang benar) yang dipahami sebagai perkataan yang lemah lembut.

Menurut pakar bahasa Ibn Faris yang dikutip oleh Quraish Shihab, kata

sadi>dan terdiri dari huruf Sin dan Dal yang menunjuk kepada makna

“meruntuhkan sesuatu kemudian memperbaikinya”.19F

107

Ia juga berarti

konsistensi. Kata ini juga digunakan untuk menunjuk kepada “sasaran”.

105

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 8., hal. 307.

106

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 2., hal. 124. 107

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2., hal. 338.

(14)

56

Seorang yang menyampaikan sesuatu atau ucapan yang benar dan tepat

sasaran dilukiskan dengan kata ini. Dengan demikian, kata sadi>d dalam ayat

di atas tidak sekedar berarti “benar”, tetapi ia juga harus berarti “tepat

sasaran”.

Menurut sebab turunnya ayat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan

permintaan Sa’ad bin Abi Waqqash mengenai pembuatan wasiat dan

meninggalkan seorang anak yatim.108 Keadaan anak yatim berbeda dengan

anak-anak lainnya. Anak yatim lebih peka dalam menanggapi sesuatu. Jadi,

dibutuhkan perlakuan yang lebih hati-hati dan kalimat-kalimat yang lebih

terpilih untuk menyampaikan sesuatu kepadanya.

Dalam tafsir Ibnu Katsir, hendaknya takut kepada Allah orang-orang

yang meninggalkan anak-anak dan ahli waris yang lemah. Jangan sampai

membuat wasiat yang akan membawa bahaya dan mengganggu kesejahteraan

mereka yang ditinggalkan itu. Menurut Ali bin Abi Thalhah dalam tafsir Ibnu

Katsir, Ibnu Abbas berkata, bahwa ayat ini mengenai seseorang yang sudah

mendekati ajalnya yang didengar oleh orang lain. Orang tersebut hendak

membuat wasiat yang akan merugikan ahli warisnya. Oleh karena itu, Allah

memerintahkan kepada orang yang mendengarnya agar menunjukkan kepada

jalan yang benar.109

108

Kementrian Agama, 2013, Al-Hakam: Al-Qur’an Tafsir Per Kata, Suara Agung, Jakarta., hal. 79.

109

Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, jilid 2., hal. 314.

(15)

57

Dalam berkomunikasi, seseorang hendaknya menginformasikan atau

menyampaikan sesuatu yang benar, jujur, tidak bohong, dan sesuai dengan

fakta. Hal ini juga dijelaskan dalam penggalan surat al-Hajj ayat 30.









Artinya: “dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”.

Ayat di atas menjelaskan, bahwa seseorang hendaknya menjauhi

perkataan-perkataan dusta. Dusta adalah perkataan yang tidak sesuai dengan

fakta yang terjadi. Hal ini dapat merugikan siapapun yang mendengar

perkataan tersebut.

Pesan surat an-Nisa’ ayat 9 ini berlaku umum. Jika perkataan

diucapkan bukan pada tempatnya, maka tidak diperkenankan untuk

disampaikan. Misalnya, seorang pemimpin menyuruh kepada pengikutnya

pada jam istirahat. Hal ini terlihat biasa saja jika melihat kududukan

pemimpin dan pengikut. Akan tetapi, ketidaktepatan waktu menjadikan pesan

yang disampaikan pemimpin tidak tepat sasaran. Akan lebih baik jika

pemimpin menunggu hingga jam aktif kerja dan menghargai waktu istirahat

pengikutnya.

Dari kata sadi>dan yang mengandung makna “meruntuhkan sesuatu

kemudian memperbaikinya” diperoleh pengertian, bahwa setiap ucapan yang

mengandung kritikkan merupakan kritikan yang membangun. Ia juga

(16)

58

Interaksi yang baik menggunakan kata-kata yang mulia diterangkan

dalam surat al-Isra’ ayat 23, sebagaimana berikut:





















































Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Ayat ini berbicara tentang kaidah etika pergaulan dan hubungan

timbal balik. Kandungan ayat ini juga menunjukkan, bahwa kaum Muslimin

memiliki kedudukan yang sangat tinggi dibanding dengan kaum yang

mempersekutukan Allah.

Berdasarkan penuturan Quraish Shihab, Allah telah menetapkan dan

memerintahkan Nabi Muhammad dan seluruh manusia untuk menyembah

selain Dia dan berbakti kepada orang tua, yakni ibu bapak dengan bakti yang

sempurna.22F 110

Hendaknya seorang anak mengucapkan kata-kata yang mulia

kepada kedua orang tuanya. Kata-kata yang mulia adalah kata-kata yang baik

dan diucapkan dengan penuh rasa hormat. Perkataan tersebut

110

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 7., hal. 443.

(17)

59

menggambarkan adab sopan santun dan penghargaan penuh terhadap orang

lain.111

Kata kari>man biasa diterjemahkan dalam arti mulia. Kata ini terdiri

dari huruf kaf, ra’, dan mim. Huruf-huruf tersebut mengandung makna

“terbaik sesuai objeknya”. Bila dikatakan rizqun karim, maka yang dimaksud

adalah rezeki yang halal dalam perolehan dan pemanfaatannya. Bila kata

kari>m dikaitkan dengan akhlak dalam menghadapi orang lain, maka ia

bermakna “pemaafan”.112

Ayat ini menuntut agar sesuatu yang disampaikan tidak hanya yang

benar dan tepat. Ia juga tidak hanya sesuai dengan kebiasaan yang baik dalam

suatu masyarakat. Akan tetapi, hal yang disampaikan tersebut harus yang

terbaik dan termulia. Ketika seseorang menyampaikan sesuatu dengan penuh

rasa hormat dan penghargaan yang tinggi terhadap orang lain, maka orang

tersebut merasa dirinya dihormati dan dihargai. Hal ini akan menimbulkan

timbal balik yang positif. Timbal balik yang positif akan berakibat baik pada

hubungan antar makhluk sosial.

D. Tegas dalam Berinteraksi

Dalam berinteraksi, menyampaikan sesuatu tidak cukup dilakukan

dengan ungkapan yang lemah lembut. Akan tetapi, hal tersebut juga

diimbangi dengan sebuah ketegasan. Ketegasan ini untuk menjaga integritas

111

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 5., hal. 460. 112

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 7., hal. 446.

(18)

60

seseorang. Sebuah ketegasan tidak akan mengurangi harga diri orang lain bila

dilakukan dengan benar. Ketegasan dalam interaksi telah diterangkan dalam

surat al-Maidah 54, sebagaimana berikut:













































































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.”

Menurut Alhasan Albashri dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini sesuai

dengan kejadian orang-orang yang murtad di masa khalifah Abu Bakar.25F

113

Kemudian Allah mengganti mereka dengan orang-orang yang lebih kuat

imannya dan lebih baik amal perbuatannya. Salah satu sifatnya tercermin

dalam lafad adhillatin ‘ala al-mu’mini>na a’izzatin ‘ala al-ka>firi>n, yakni

bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin dan bersikap keras

terhadap orang kafir.

Berdasarkan penuturan Quraish Shihab, sifat ini adalah hasil

kecintaan kepada Allah. Seseorang yang cinta kepada Allah akan menjadi

orang arif bijaksana. Sedangkan seorang arif akan selalu gembira dan

113

Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, jilid 3., hal. 120.

(19)

61

bersikap lemah lembut. Hal tersebut karena jiwanya dipenuhi oleh sifat Allah

yang paling dominan, yaitu rahmat dan kasih sayang.114

Sikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin merupakan sifat

kepatuhan, kemudahan, dan kelembutan. Ia tidak kasar dan tidak

mempersulit. Kelemahlembutan terhadap sesama mukmin ini bukan karena ia

rendah dan hina. Akan tetapi, ia merupakan ekspresi persaudaraan untuk

menghilangkan bpemimpin-bpemimpin antar sesama.115

Pada ayat ini, bersikap keras terhadap orang kafir bukan berarti

memusuhi pribadinya, memaksa mereka memeluk Islam, merusak tempat

ibadahnya, dan menghalangi mereka melaksanakan agama serta

kepercayaannya. Akan tetapi, yang dimaksud adalah bersikap tegas terhadap

permusuhan mereka. Hal ini dalam rangka jihad di jalan Allah. Sebagaimana

yang telah disebutkan, jihad bukan berarti mengangkat senjata. Akan tetapi,

jihad merupakan upaya untuk membela Islam dan memperkaya peradabannya

dengan lisan dan tulisan.

Orang mukmin bersikap keras dan tegas terhadap orang kafir

menunjukkan, bahwa ia tidak takut terhadap celaan dari mereka, sebagaimana

disebutkan dalam ayat ini. Ketegasan yang dilakukan dalam menanggapi

segala celaan dari mereka adalah dengan menggunakan umpan balik korektif.

Umpan balik ini bertujuan untuk mengingatkan kepada mereka agar kembali

menuju jalan yang benar. Umpan balik korektif berisi koreksi terhadap

114

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 3., hal. 131.

115

(20)

62

seseorang. Meskipun mengoreksi, umpan balik korektif atau kritik seperti ini

dapat diterima dengan lapang dada tanpa ada yang merasa dirinya

direndahkan. Hal tersebut dikarenakan penyampaian koreksi yang baik dan

benar.

Dari berbagai ayat di atas, menghormati harga diri orang lain dengan

interaksi yang baik menggunakan berbagai macam cara pengucapan, yaitu

dengan perkataan yang lemah lembut, perkataan yang benar dan tepat, dan

perkataan yang mulia. Perkataan tersebut digunakan kepada orang-orang

dengan kondisi yang berbeda-beda. Selain itu, pengungkapan kata-kata

tersebut diimbangi dengan ketegasan.

E. Tegur dengan Ungkapan yang Baik

Setiap orang ingin dihargai dan dihormati oleh orang lain. Sebuah

penghormatan dapat dilihat dari ucapan seseorang kepada orang lain.

hendaknya setiap ucapan mengandung pesan yang baik. Anjuran untuk tidak

meremehkan dan mencela orang lain telah dijelaskan dalam surat al-Hujurat

ayat 11.

















































































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari

(21)

63

mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang seburuk-buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

Ayat ini diturunkan berkenaan dengan tingkah laku kabilah Bani

Tamim yang pernah berkunjung kepada Rasulullah. Ia mengolok-olok

beberapa sahabat yang fakir dan miskin, seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal,

Khabbab, Salman al-Farisi, dan yang lainnya. Ia mengolok-olok karena

melihat pakaian mereka yang sangat sederhana.116 Ada pula yang

mengemukakan, bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan kisah Safiyyah

binti Huyay bin Akhtab yang pernah menghadap Rasulullah. Ia melaporkan

kejadian yang menyakiti hatinya. Beberapa perempuan di Madinah menegur

dia dengan kata-kata yang menyakitkan, seperti penyebutan keturunan dan

sebagainya.

Kalimat talmizu> berasal dari kata lamaza-yalmizu-lamzan yang berarti

memberi isyarat disertai bisik-bisik dengan maksud mencela. Ejekan ini

biasanya langsung ditujukan kepada seseorang yang diejek, baik dengan

isyarat mata, bibir, kepala, tangan, atau kata-kata yang dipahami sebagai

ejekan. Kalimat tana>bazu> berasal dari kata nabaza-yanbizu-nabzan yang

berarti memberi julukan dengan maksud mencela. Bentuk jamaknta adalah

anba>z. Tana>bazu> melibatkan dua pihak yang saling memberikan julukan. Ia

lebih sering digunakan untuk pemberian gelar yang buruk.117

116

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 9., hal. 409. 117

(22)

64

Dalam tafsir Ibnu Katsir, Allah mengingatkan kepada kaum mukmin

supaya tidak mengolok-olok kaum yang lain. Hal ini dikarenakan bisa jadi

kaum yang diolok-olok kedudukannya lebih mulia dan terhormat di sisi

Allah. Allah melarang kaum mukmin mencela kaumnya sendiri, karena kaum

mukmin semuanya harus dipandang dalam satu tubuh yang diikat dengan

kesatuan dan persatuan. Dalam ayat ini, Allah juga melarang untuk

memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, seperti panggilan

kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata fasik, kafir, dan

sebagainya.118

Masyarakat unggul yang hendak ditegakkan Islam dengan petunjuk

al-Qur’an ialah masyarakat yang memiliki etika yang luhur. Pada masyarakat

itu, setiap individu memiliki kehormatan yang tidak boleh disentuh. Ia

merupakan kehormatan kolektif. Mengolok-olok pribadi individu sama

dengan mengolok-olok kelompok individu tersebut. hal tersebut dikarenakan

seluruh anggota kelompok itu satu dan kehormatannya juga satu.

Menurut Sayyid Quthb, ayat ini menjelaskan larangan suatu kaum

mengolok-olok kaum lain. Ungkapan ayat ini mengisyaratkan secara halus,

bahwa nilai-nilai lahiriah yang dilihat laki-laki dan wanita pada dirinya

bukanlah nilai hakiki yang dijadikan pertimbangan oleh manusia.119 Ia

memiliki nilai yang hanya diketahui oleh Allah.

118

Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, jilid 7., hal. 319.

119

(23)

65

Terdapat beberapa perkara duniawi yang tidak dapat dijadikan ukuran,

sepeti orang kaya menghina orang miskin, orang kuat menghina orang lemah,

dan orang yang sempurna menghina orang yang cacat. Hal tersebut akan

melukai perasaan siapapun yang diolok-olok.

Nama merupakan identitas seseorang. Lewat sebuah nama seseorang

akan dikenal. Jika seseorang ingin membangun hubungan kerja yang kuat dan

didasari sikap saling percaya, maka ia perlu mengingat nama orang lain dan

mengejanya dengan ucapan yang benar. Seseorang akan merasa tidak nyaman

bila orang lain menyebut dengan nama yang salah.

Penyebutan nama dengan benar itu penting. Hal ini untuk menjaga

perasaan orang lain. Pengucapan nama yang sedikit keliru dapat membuat

orang lain tersinggung. Maka dari itu, celaan dan ejekan bukan hal yang baik

untuk dilakukan, terutama seorang pimpinan. Hal tersebut tidak

mencerminkan sifat pemimpin dan rasa empati.

Ejekan merupakan sesuatu yang tidak disukai oleh individu manapun.

Ejekan dan mencela ialah memanggil dengan panggilan yang tidak disukai

pemiliknya. Ejekan tersebut membuat ia terhina dan ternoda. Seseorang

hendaknya tidak memanggil dengan panggilan yang buruk. Hal tersebut

untuk menjaga perasaan dan harga diri orang lain.

Orang yang suka mengejek dan mencela akan dijauhi oleh orang lain.

Jika sifat ini dilakukan oleh seorang pemimpin, maka para pengikutnya akan

(24)

66

didasari oleh kemarahan dan kebencian terhadap orang lain. Seseorang yang

dalam dirinya dipenuhi kemarahan dan kebencian cenderung tidak memiliki

relasi. Ia akan merugikan seorang pemimpin juga memiliki sikap negatif

tersebut.

Seseorang yang senang menyatakan kemarahan dan kebencian secara

terang-terangan digambarkan pada surat Ali Imran ayat 118.































































Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”

Ayat di atas menyatakan, bahwa orang mukmin tidak diperbolehkan

menjadikan orang kafir sebagai teman kepercayaan yang mempunyai sifat

yang dinyatakan dalam ayat ini. Pertama, senantiasa menyakiti dan

merugikan muslimin dan berusaha menghancurkan mereka. Kedua,

terang-terangan menyatakan dengan lisan rasa amarah dan benci kepada kaum

muslimin, mendustakan Nabi Muhammad saw dan al-Qur’an, dan menuduh

umat Islam sebagai orang-orang bodoh serta fanatik. Ketiga, kebencian dan

(25)

67

bila dibandingkan dengan kebencian dan kemarahan yang disembunyikan

dalam hati mereka.120

Menurut Quraish Shihab, ayat ini memperingatkan kepada

orang-orang beriman para pengikut Nabi Muhammad untuk tidak menjadikan

orang-orang di luar kelangan mereka menjadi teman kepercayaan. Mereka

tidak berhenti menimbulkan bahaya bagi orang muslim, sehingga

membocorkan rahasia orang muslim yang seharusnya dipendam dalam hati.

Upaya mereka itu disebabkan karena mereka menyukai apa yang

menyusahkan orang muslim. Sesungguhnya telah nyata bukti-bukti kebencian

mereka terhadap orang muslim dari mulutnya, yakni ucapan-ucapan, nada

bicara, dan sesuatu yang disembunyikan dalam hati mereka lebih besar

daripada apa yang didengar dari mulut mereka.121

Melihat penjelasan tafsir di atas, seseorang yang memiliki kebencian

dan kemarahan pada dirinya senantiasa akan dijauhi oleh orang lain. Hal ini

dijelaskan secara masif oleh ayat ini, bahwa setiap orang yang berprilaku

demikian dilarang untuk dijadikan menjadi seorang teman. Kemarahan dan

kebencian dapat membuat seseorang mengeluarkan kata-kata yang tidak

pantas. Ia dapat membuat seseorang mencela orang lain. Ia juga membuat

seseorang menyukai kesusahan orang lain.

120

Kementerian Agama RI, 2011, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 2, Lentera Abadi, Jakarta., hal. 30.

121

M. Quraish Shihab, 2002, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2., hal. 195.

(26)

68

Seorang pemimpin hendaknya tidak memiliki sifat yang ada di atas.

Pemimpin adalah orang yang akan mengayomi dan membimbing para

pengikutnya. Hal ini didasarkan pada kedudukan pemimpin sebagai teladan.

Jika seorang pemimpin memperlihatkan sikap negatif tersebut, maka ia tidak

pantas menjadi seorang teladan.

Kebanyakan pemimpin menganggap dirinya berkuasa atas

pengikutnya. Hal ini membuat pemimpin merasa dapat melakukan apa saja

sesuka hatinya. Sifat ini membuatnya merasa hanya ia yang pantas

diberlakukan dengan baik. Ia juga merasa hanya dirinya yang pantas

dihormati.

Seseorang tidak dapat mengabaikan kekuasaanya sebagai seorang

pemimpin. Pada dasarnya ia memang memilikinya. Hal ini karena ia yang

mengambil keputusan dan mempengaruhi hasil bagi orang lain. Ini adalah

fakta, bukan soal baik atau buruknya. Akan tetapi, masalah sebenarnya adalah

bagaimana ia menggunakan kekuasaan tersebut.

Orang sering memikirkan kekuasaan secara negatif. Hal ini

dikarenakan kekuasaan mudah untuk disalahgunakan. Seorang pemimpin

dapat memperlakukan pengikutnya dengan baik. Akan tetapi, ia juga dapat

memperlakukan pengikutnya dengan tidak baik atas dasar kekuasaan.

Kekuasaan tersebut dapat menimbulkan ungkapan yang buruk terhadap

pengikutnya, seperti celaan, ejekan, hinaan, dan lainya. Alangkah baiknya

(27)

69

Pemimpin yang mampu menjaga ucapannya dari kata-kata negatif

akan membawa aura positif kepada para pengikutnya. Perkataan yang santun,

baik, dan berkenan dapat meninggikan rasa percaya diri pengikutnya. Hal ini

dapat menghasilkan keterbukaan dari pengikutnya. Keterbukaan dapat

membantu pemimpin dalam mengadakan diskusi untuk memecahkan masalah

bersama pengikut.

F. Sabar, Pemaaf, dan Berbuat Baik

Seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat sabar dan pemaaf. Hal ini

akan mendukung konsep kepemimpinan empati. Pemimpin tersebut akan

berbuat baik kepada setiap orang. Perbuatan tersebut disesuaikan dengan

karakter masing-masing individu. Sifat-sifat ini telah diterangkan dalam surat

Ali Imran ayat 134.





























Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Menurut Quraish Shihab, sifat atau ciri-ciri yang disebut dalam ayat

berkaitan erat dengan peristiwa perang Uhud. Malapetaka yang terjadi dalam

(28)

70

yang belum pada tempat dan waktu diambilnya.122 Maka dari itu, nasehat

pertama adalah tentang berinfak dengan menyatakan, bahwa ciri orang

bertakwa adalah mereka yang kebiasaanya menafkahkan hartanya di jalan

Allah. Hal ini dilakukan ketika di waktu lapang maupun sempit. Sesudah

peperangan banyak sekali kaum muslimin yang gugur. Hal ini mengundang

penyesalan bahkan kemarahan terhadap penyebab-penyebabnya. Maka dari

itu, sifat kedua yang ditonjolkan adalah mampu menahan amarah, bahkan

memaafkan kesalahan orang lain. Bahkan akan sangat terpuji mereka yang

berbuat kebajikan terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan.

Dalam konteks menghadapi kesalahan orang lain, ayat ini

menunjukkan tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya.123 Pertama, ia

mampu menahan amarah. Kata al-ka>z}imi>n mengandung makna penuh dan

menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh air lalu ditutup rapat

supaya tidak tumpah. Hal ini mengisyaratkan, bahwa perasaan tidak

bersahabat masih memenuhi hati yang bersangkutan dan pikirannya masih

menuntut balas. Akan tetapi, ia menahan perasaan tersebut. Ia menahan diri

dan tidak mengeluarkan kata-kata buruk atau perbuatan negatif.

Kedua, ia mampu memaafkan. Kata al-‘a>fi>n diambil dari kata al-‘afn

yang biasa diterjemahkan dengan kata maaf. Kata ini antara lain berarti

menghapus. Seseorang yang memaafkan orang lain adalah orang yang

menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain

122

M. Quraish Shihab, 2002, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2., hal. 220.

123

M. Quraish Shihab, 2002, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 2., hal. 221.

(29)

71

terhadapnya. Jika pada tahap sebelumnya ia menahan amarah yang ada dalam

hatinya, maka pada tahap ini ia menghapus bekas luka itu. Hal tersebut

seakan-akan tidak pernah terjadi suatu kesalahan. Ketiga, ia berbuat

kebajikan. Allah menyukai orang-orang yang melakukan kebajikan. Jadi, ia

tidak hanya menahan amarah dan memaafkan kesalahan yang pernah terjadi.

Seorang pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat yang dijelaskan

dalam ayat di atas. Sifat menahan amarah mampu mengendalikan perilaku

pemimpin tersebut. Pemimpin tersebut akan memperlihatkan perilaku yang

positif kepada pengikutnya. Hal ini akan membuat pengikut tersebut merasa

nyaman ketika bersama pemimpinnya. Ia juga akan merasa dihormati dengan

Referensi

Dokumen terkait

Wayang wong adalah bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan

Sifat penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri selain dipengaruhi oleh muatan positif dari logam Ag juga dipengaruhi oleh gugus amonium kuarterner dari kitosan yang

Bab II merupakan pembahasan yang disajikan dalam dua subbab, yaitu (1) sikap altruisme dan konflik batin tokoh Terre des hommes dalam sistem lima kode Roland Barthes dan (2)

Pada tahap analisa sistem, akan dilakukan analisa dari suatu sistem yang sedang berjalan pada SMP Muhammadiyah 03 Medan untuk mengetahui permasalahan yang ada, kemudian akan

Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perputaran persediaan, perputaran piutang, rasio lancar dan rasio cepat terhadap profitabilitas pada perusahaan

Para Dosen dan Tenaga Administrasi Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Mercu Buana yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melaksanakan

Karena itulah penulis berusaha untuk menjabarkan macam-macam makna ~te-iru dan menganalisis pemahaman mahasiswa terhadap aspek hyougen ~te-iru menggunakan

Mekanika Lagrange W.S. Mekanika Lagrange W.S. Fisika Koloid Dasar Suparno, Ph.D. Fisika Koloid Dasar Suparno, Ph.D. Media Audio Visual *) Nur Kadarisman, M.Si. Mikroprosesor *)