• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Hak Asasi Manusia dan Perkembangannya dalam Konstitusi Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sejarah Hak Asasi Manusia dan Perkembangannya dalam Konstitusi Indonesia"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Sejarah Hak Asasi Manusia

dan Perkembangannya dalam Konstitusi Indonesia

Oleh. Budi Ruhiatudin*

Abstrak

Semenjak berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya salah satu negara adidaya, yaitu Uni Sovyet, maka isu global beralih dari masalah komunisme dan pertentangan antarblok --antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Sovyet-- ke masalah baru, yaitu masalah hak asasi manusia, masalah lingkungan, dan masalah liberalisasi perdagangan. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional juga tidak bisa lepas dari isu-isu global tersebut, apalagi akhir-akhir ini Indonesia juga sering disorot sebagai salah satu negara yang kerap melakukan berbagai pelanggaran terhadap isu-isu global tersebut.

Pasang surutnya penegakan HAM di Indonesia tidak terlepas dari political will pemerintah itu sendiri. Sering sekali atas nama hukum pemerintah merampas hak asasi seseorang yang nota bene harus dilindunginya. Selain itu juga, banyak kebijakan pemerintah yang melanggar HAM yang akhirnya menyulut konflik antara pemerintah dengan warganya. Di sisi lain, pelanggaran HAM juga dilakukan oleh sesama warga negara yang satu terhadap warga negara lainny, sehingga terjadilah kerusuhan dan perang saudara yang bermula dari konflik SARA dan perbedaan kepentingan.

Fenomena pelanggaran HAM sebenarnya bukan merupakan hal yang baru dan bukan milik negara berkembang dan miskin saja karena di negara modern pun pelanggaran HAM masih tetap terjadi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) juga lahir karena adanya pelanggaran HAM yang diakibatkan terjadinya perang dunia pertama dan kedua yang telah banyak membinasakan orang-orang yang tidak berdosa, menyebabkan banyak orang terlantar, kehilangan pendidikan, pekerjaan, penghidupan yang layak bahkan harga diirinya.

Key words: HAM, kekuasaan negara, DUHAM, pelanggaran HAM. A. Pendahuluan

(2)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

Pada tanggal 10 Desember 1948 negara-negara anggota PBB mendeklarasikan sebuah deklarasi universal yang dikenal dengan nama Universal Declaration of Human Right atau biasa disebut pula dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Deklarasi yang sangat monumental ini menandai kesadaran dan bangkitnya negara-negara di dunia untuk selalu menghargai HAM. HAM merupakan hak setiap manusia yang sering sekali diabaikan oleh pihak yang kuat, baik negara maupun perorangan, untuk menindas pihak yang lemah. Deklarasi itu lahir karena negara-negara di dunia sadar bahwa pelanggaran terhadap HAM tidak bisa dibiarkan lagi terjadi di dunia ini. Makna universalitas DUHAM tersebut menegaskan bahwa nilai-nilai dan prinsip-prinsip HAM berlaku bagi seluruh umat manusia, menembus batas teritorial, agama, etnik, dan sekat-sekat primordial lainnya.1

Pembicaraan tentang HAM tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang negara, khususnya tentang kekuasaan negara. Negara merupakan organisasi yang paling sempurna yang tidak pernah dimiliki oleh organisasi apapun sehingga negara sering disebut sebagai top organization. Sebagai top organization, negara dapat memaksa setiap warga negaranya untuk patuh terhadap semua peraturan, apakah kepatuhan itu timbul karena kesadaran ataukah karena terpaksa. Negara mempunyai kekuasaan pula untuk menjatuhkan sanksi terhadap mereka yang melanggar peraturan negara yang telah ditetapkan. Intinya, negara mempunyai kekuasaan yang sangat luas untuk mengatur kehidupan dari warga negaranya.

Laski berpendapat bahwa setiap pergaulan hidup memerlukan organisasi pemaksa (coercive instrument). Dalam pandangan Voltaire, raja yang pertama adalah pahlawan yang menang dalam pertarungan. Mark juga mengajarkan bahwa negara adalah hasil pertarungan antara kekuatan-kekuatan ekonomis dan negara merupakan alat pemeras bagi mereka yang lebih kuat terhadap yang lemah dan negara itu akan lenyap kalau perbedaan kelas itu tidak ada lagi.2

1 Ismail Hasani, Islam dan Hak Asasi Manusia, Republika, 12 Desember

2003.

(3)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

Sudah merupakan hukum alam bahwa mereka yang lebih kuat dan berani akan memaksakan kehendaknya kepada mereka yang lemah. Bahkan negara yang lebih kuat akan memerintah (menguasai) negara yang lebih lemah, baik secara langsung dengan jalan penjajahan, maupun secara tidak langsung lewat berbagai kebijakan ekonomi dan politik dengan menjatuhkan embargo, sanksi ekonomi, resolusi, maupun pemutusan hubungan diplomatik.

Menurut Macchiavelli dalam bukunya Il Principe, agar tujuan negara tercapai, pemerintah harus selalu berusaha agar tetap berada di atas segala aliran yang ada dan bagaimana pun lemahnya pemerintah ia harus memperlihatkan bahwa ia tetap lebih berkuasa. Pemerintah terkadang harus bersikap sebagai singa terhadap rakyatnya supaya rakyat takut terhadap pemerintah, dan sebaliknya, terkadang pemerintah harus bersikap sebagai kancil yang cerdik untuk menguasai rakyat. Bila perlu, negara boleh mengadakan perjanjian dengan negara lain asal saja tidak merugikan bagi kesejahteraan negara dan rakyat.3 Banyak orang berpendapat, bahwa teori Macchiavelli ini kejam karena setiap perlawanan terhadap pemerintah dan negara harus ditindas benar-benar agar negara dan pemerintah tetap berwibawa di mata rakyatnya.

Mengingat luasnya cakupan kekuasaan yang dimiliki oleh negara maka sejarah mencatat bahwa ternyata kekuasaan itu dapat melahirkan kesewenang-wenangan dari yang memerintah terhadap yang diperintah. Revolusi Amerika dan Perancis adalah bukti pelawanan rakyat kepada rezim penguasa yang memiliki kekuasaan yang sangat absolut dan otoriter.

Untuk mencegah adanya kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan negara, setiap negara modern menetapkan konstitusi atau undang-undang dasar yang pada hakikatnya berisi pembatasan tentang kekuasaan negara. Agar pemerintah tidak berbuat sewenang-wenang dan semena-mena terhadap warga negaranya, di dalam setiap konstitusi setidak-tidaknya harus mengatur tentang dua hal penting, yaitu: 1)

3 Ibid, hlm. 46-47.

(4)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

tentang lembaga negara serta wewenang-wewenangnya dan 2) perlindungan atas hak asasi manusia. 4

Tentang lembaga negara dan wewenangnya, John Locke dalam bukunya Two Treaties of Government mengusulkan agar kekuasaaan di dalam negara dibagi-bagi dalam organ-organ negara yang berbeda agar pemerintah tidak bertindak sewenag-wenang. Kekuasaan itu menurutnya terdiri atas 1) kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), 2) kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang-undang), dan 3) kekuasaan federatif (melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain).

Sedang Montesquieu dalam bukunya L ‘esprit des Lois menawar-kan konsep yang berbeda dengan John Locke. Menurutnya, untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam organ-organ legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif adalah kekuasaan membuat undang-undang; eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang tersebut sedangkan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili kalau terjadi pelanggaran atas undang-undang tersebut.5

Pada kenyataannya, konsep Montesquieu-lah yang paling banyak diterima di seluruh dunia. Kekuasaan federatif di berbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui deparrtemen luar negerinya masing-masing. Pembagian kekuasaan ke dalam tiga pusat kekuasaan ini oleh Emmanuel Kant kemudian diberi nama Trias Politika (tri = tiga; as = poros (pusat); dan politika = kekuasaan) yang berarti tiga pusat/poros kekuasaan negara.6

B. Sejarah Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia berasal dari istilah droits de l’home (Prancis),7 human rights (Inggris), menselijke grondrechten (Belanda), serta fitrah (Arab).

4 Moh. Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta, UII

Press, 1993), hlm. 80-82.

5 Ibid.

6 Ibid., hlm. 83.

7 Istilah ini merupakan bagian dari pernyataan yang lengkapnya berbunyi

Declaration des droits de I’homme et du citoyen, yaitu deklarasi hak-hak manusia dan warga negara yang dikeluarkan di Prancis pada tahun 1789 sewaktu terjadi Revolusi

(5)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

Namun ada pula yang menyebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang fundamental.8

Secara yuridis formal, pengertian hak asasi manusia ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:

Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Ide mengenai hak asasi manusia sebenarnya telah lama lahir di dunia ini. Musa as. ketika membebaskan orang-orang Yahudi dari cengkraman raja Fir’aun adalah gerakan hak asasi. Pada tahun 2000 SM, Raja Hammurabi di Babilonia telah membuat hukum yang melindungi hak-hak asasi manusia. Tahun 600 SM, Solon di Athena telah mencanangkan perlindungan atas hak asasi dan keadilan dengan pembentukan heliaea (lembaga peradilan) dan eccelesia (majelis rakyat). Pericles juga di Athena, menghimbau rakyat untuk berpartisipasi dalam ecclesia itu. Kaisar Romawi, Flairus Anicius Justinian (327) telah pula menciptakan sistem hukum yang kemudian menjadi pola dari sistem hukum di Barat (juga di Indonesia) sampai sekaang ini. Socrates dalam pemikiran-pemikirannya telah meletakkan dasar perlindungan dan jaminan diakuinya hak-hak asas manusia dengan konsepsinya yang menganjurkan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pemeintah. Begitu juga Aristoteles dengan ajaran demokrasinya.9

Isu tentang hak asasi manusia sebenarnya bukan merupakan hal yang baru karena sudah dilontarkan semenjak lahirnya Magna Charta di Inggris pada tahun 1215. Pada waktu itu, para baron di Inggris sangat

Prancis. Karena dianggap banyak memberi ilham, pernyataan itu banyak dipelajari dalam hubungan dengan Revolusi Prancis dan banyak pula dikenal di mana-mana di seluruh dunia. Pernyataan ini kemudian digunakan pula secara konsisten oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di dalam segala mekanisme yang berkaitan dengan hak asasi manusia. (Marbangun Hardjowirogo, Hak-Hak Manusia, (Jakarta: Idayu, 1981), hlm. 6-7).

8 Moh Mahfud., Dasar , hlm. 141. 9 Ibid., hlm. 141-142.

(6)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

berang atas apa yang mereka pandang sebagai penyalahgunaan kekuasaan feodal tradisonal oleh raja yang banyak menguntungkan dirinya dan golongan bangsawan. Ketika raja menolak tuntutan mereka maka mereka kemudian mengangkat senjata dan memaksa raja untuk menandatangani Magna Charta (Piagam Besar) yang berisi 63 Pasal itu. Dalam piagam tersebut, raja tidak bisa lagi untuk memaksakan kehendaknya tanpa persetujuan para baron dan rakyat Inggris. Sebagai contoh, raja harus meminta nasihat dan persetujuan dari para baron dalam semua masalah penting kenegaraan termasuk pengenaan pajak.10

Sebenarnya Islam telah terlebih dahulu mengatur masalah hak asasi manusia dibanding Magna Charta. Ash-Shiddieqy, seorang tokoh

Masyumi dalam sidang Konstituante tahun 1958, mengatakan:11

“HAM” itu tidaklah dilahirkan oleh Revolusi Prancis dan tidak pula oleh panitia penyusun HAM di Perserikatan Bangsa-Bangsa. HAM itu telah dilahirkan oleh Islam sejak empat belas abad yang telah silam. (Risalah, 1958/II: 676)

Pada waktu itu, sejalan dengan Ash-Shiddieqy, Adiani Kertodiredjo dari NU juga menjelaskan bagaimana Islam memperke-nalkan HAM kepada dunia. Ia menggambarkan kondisi sosial kemasyarakatan di Jazirah Arab yag dikenal dengan zaman Jahiliah karena tidak ada ketertiban, keamanan, ketika pembunuhan dan perampokan menjadi gambaran sehari-hari. Pada masa itu bangsa Arab mencintai peperangan dan karena itu perempuan dianggap mempunyai kedudukan yang lebih rendah dan bayi-bayi perempuan sering dikubur hidup-hidup. Sebagai jawaban terhadap keadaan seperti itu, Allah

menurunkan Al-Qur’an untuk menyampaikan HAM.12

Al-Qur’an, yang diturunkan 14 abad silam, telah mengandung dan menjamin segala hak-hak asasi manusia di luar yang pernah dibayangkan oleh pemikir dan reformer manapun. Ia berada di atas semua deklarasi HAM manapun di dunia karena bersumber dari Khalik

10 Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Apakah Demokrasi itu? (Jakarta:

tp, 2001), hlm. 12

11 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia;

Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Grafiti Pustaka Utama, 1995), hlm. 149.

(7)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

Yang Maha Pencipta dan ia akan tetap tegak dan telaksana, bukan seperti konsepsi yang dibuat manusia. Di antara konsepsi Al-Qur’an tentang hak asasi manusia adalah:13

1. Hak hidup, kemerdekaan, dan keamanan pribadi. Dasarnya: Q.S.

al-Hijr: 23, Qāf: 43, al- Baqarah 49-50, 178-179, 258, al- Māidah: 32, al- Hujurāt: 13, al- Anfāl: 60, al- Haj: 39, dan at- Taubah: 41.

2. Hak berpendapat. Dasarnya: Q.S. Āli Imrān: 104, al- Qalam: 1,

3. Hak berserikat dan berkumpul. Dasarnya: Q.S. asy- Syūrā: 38.

4. Hak beragama atau hak untuk memeluk suatu agama. Dasarnya:

Q.S. al- Hujurāt: 15, al- Baqarah: 259, al- Māidah: 5, al- ‘Ankabūt: 46.

5. Hak mendapat pekerjaan. Dasarnya: Q.S. al- Mulk: 15, al- Jum’ah: 10. al- Baqarah: 43, 286, Fushilat: 8, al- Ahqāf: 19.

6. Hak mendapat pendidikan. Dasarnya: Q.S. al- ‘Alaq 1-5, an- Nahl:

43, at- Tahrīm: 6, al- Jātsiyah: 23.

Firman Allah swt. tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut di dalam hadis-hadis Nabi Muhammad saw. yang di dalam kesehariannya sangat menjunjung tinggi pelaksanaan hak asasi manusia. Salah satu di antara bukti konkret bahwa Nabi Muhammad saw. adalah orang yang

sangat concern dalam penegakaan HAM adalah dengan

ditandatanganinya Piagam Madinah pada tahun 622. 14

Piagam Madinah tidak lain merupakan konsep dasar Islam tentang tata ketertiban pemerintahan dan masyarakat yang selanjutnya ikut memberikan andil dalam pencapaian peradaban tertinggi oleh umat Islam. Piagam Madinah telah menjadi tonggak penting sejarah kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang pada intinya berisi sebuah tatanan atau sistem keamanan sosial serta penegakan hak asasi manusia.15

13 Dalizar, Konsepsi Al Qur’an tentang Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Pustaka

Al-Husna, 1987), hlm. 42-78.

14 Rozali Abdullah dan Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan

HAM di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hlm. 9-10. Bandingkan pula dengan Mohammad Shoelhi (ed), Demokrasi Madinah Model Demokrasi Cara Rasulullah, (Jakarta: Republika, 2003), hlm. 1-6.

(8)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

Keberadaan Piagam Madinah yang monumental tersebut telah diakui oleh para ahli sejarah baik dari Barat maupun Timur. Montgomery Watt menamainya The Constitution of Medina, R.A. Nicholson mnyebutnya Charter of Medina, Philip K. Hitti menyebutnya sebagai Agreement of Medina, Zainal Abidin Ahmad sebagai Piagam Madinah, dan Majid Khaduri menamainya Treaty of Medina.16 Namun sayang, wacana tentang Piagam Madinah sampai saat ini masih sangat minim dipelajari.

Selain beberapa sejarah seperti yang telah dijelaskan di atas masih ada beberapa pemikiran yang perlu diindahkan dalam sejarah hak asasi manusia, yaitu:17

1. Undang-undang Habeas Corpus tahun 1679 dari Britania Raya yang berusaha menjamin kebebasan hamba dan untuk mencegah terjadinya pemenjaraan-pemenjaraan di luar wewenang.

2. Piagam hak-hak tahun 1689 dari Britania Raya yang berisi

penyataan hak-hak serta kebebasan-kebebasan hamba dan mengatur pula tentang pergantian raja. Di dalam piagam tersebut ditentukan antara lain bahwa pemilihan anggota-anggota parlemen haruslah bebas dan bahwa kebebasan berbicara atau bedebat dan jalannya sidang-sidang parlemen tidak boleh diganggu gugat atau diselidiki di pengadilan atau tempat mana pun di luar parlemen.

3. Piagam Hak-hak tahun 1776 dari Virginia, Amerika Serikat. Yakni pernyataan hak-hak yang dibuat oleh wakil-wakil rakyat berbudi baik dari Virginia yang berkumpul dalam konvensi penuh dan bebas untuk menentukan hak-hak mereka dan keturunan mereka sebagai dasar pemerintahan.

4. Pernyataaan kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776 yang

merupakan pernyataan bulat 13 negara bagian AS yang dikeluarkan di dalam kongres pada tanggal 4 Juli 1776.

5. Konstitusi Amerika Serikat. Disetujui pada tanggal 17 September 1787 dan mulai berlaku pada tanggal 4 Maret 1789.

6. Pernyataan Hak-hak manusia dan waganegara tahun 1789 di

Prancis. Di dalam Pasal 1 pernyataan tersebut disebutkan bahwa

16 Ibid., hlm. iii-iv.

(9)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

manusia dilahirkan bebas dan tetap bebas serta sama mengenai hak-haknya dan bahwa perbedaan-perbadaan sosial tidak boleh didasarkan pada pertimbangan keuntungan.

7. Konstitusi Uni Sovyet tahun 1936 (semenjak tahun 1977 telah diganti dengan UUD yang baru).

8. Kebebasan yang empat yang dikeluakan tanggal 6 Januari 1941, merupakan hasil pemikiran Presiden Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt yang berisi empat ragkaian kebebasan, yaitu:

a. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat;

b. Kebebasan menyembah Tuhan menurut caranya;

c. Kebebasan dari keuangan;

d. Kebebasab dari rasa takut

Setelah perjuangan untuk memperoleh pengakuan dan jaminan terhadap hak asasi manusia selalu mengalami pasang surut, barulah mencapai puncaknya setelah berdirinya PBB. Dalam mukadimah Piagam PBB yang ditandatangani oleh 50 negara peserta konfrensi disebutkan bahwa:18

“Kami bangsa-bangsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bertekad untuk menyelamatkan generasi-generasi penerus dari bencana perang yang dua kali selama hidup kami telah membawa derita tak terhingga pada umat manusia, dan

untuk menegaskan kembali kepercayaan kami pada hak-hak asasi manusia, pada martabat dan nilai persona manusiawi, pada persamaan hak antara pria dan wanita dan bangsa-bangsa besar serta kecil, dan

untuk menciptakan kondisi-kondisi pemelihara keadilan dan rasa-hormat pada tanggungjawab-tanggungjawab yang timbul dari perjanjian-perjanjian dan sumber-sumber lain hukum internasional, dan untuk meningkatkan kemajuan sosial serta perbaikan standar-stadar kehidupan dalam suasana kemerdekaan lebih luas, dan

Guna mencapai tujuan-tujuan itu, untuk mempraktekkan toleransi dan kehidupan bersama, damai dalam hubungan satu sama lain sebagai tetangga-tetangga baik, dan untuk menyatukan kekuatan kami guna menjaga kedamaian dan keamanan internasional, dan

Untuk menjamin, dengan menyetujui prinsip-prinsip serta dengan mengadakan metode-metode, supaya kekuatan bersenjata tidak digunakan, kecuali demi

18 Ibid., hlm. 9.

(10)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

kepentingan umum, dan untuk menggunakan mekanisme internasional dalam menggerakkan kemajuan ekonomi dan sosial segenap bangsa.”

Selain di dalam mukaddimah, penegasan mengenai pentingnya hak-hak asasi manusia juga dinyatakan dalam Pasal 55 dan 56 Piagam PBB, yang menyebutkan bahwa semua anggota PBB berjanji akan bertindak bersama atau sendiri-sendiri dengan kerjasama organisasi ke arah terciptanya tujuan-tujuan yang Perserikatan Bangsa-Bangsa bertekad untuk mewujudkannya, di antaranya ialah memajukan rasa hormat umum dan pematuhan pada kebebasan-kebebasan fundamental tanpa membeda-bedakan ras, kelamin, bahasa, dan agama.19

Dengan ditandatanganinya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 tentang hak asasi manusia yang dikenal dengan nama Universal Declaration of Human Right atau biasa disebut pula dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) maka semenjak itu masalah hak asasi manusia telah menjadi perhatian dunia. Meskipun hanya sebatas deklarasi, yakni hanya sebatas pernyataan yang tidak mempunyai konsekuansi hukum dan hanya mempunyai konsekuensi moril bagi negara yang menandatanganinya, namun dampak dari pernyataan tersebut ternyata sangat besar, terutama pada negara-negara yang merdeka sesudah tahun 1950-an di daerah-daerah bekas jajahan Prancis di Afika dan bekas jajahan Inggris di Hindia Barat.20

Meskipun hak asasi manusia telah masuk dalam konstitusi negara-negara di dunia namun pelanggaran terhadap hak asasi manusia masih tetap terjadi tidak saja di negara-negara berkembang tetapi juga di negara-negara maju yang menamakan dirinya pendekar hak asasi manusia.

C. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia

Karena kemerdekaan Indonesia diproklamirkan sebelum DUHAM maka pasal-pasal tentang HAM yang ada dalam UUD 1945 jumlahnya sangat sedikit dibandingkan yang ada dalam DUHAM yaitu hanya 7 pasal yang terdapat pada pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, dan 34.

19 Ibid., hlm. 9-10. 20 Ibid., hlm. 11.

(11)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

Sedangkan dalam UUDS 1950 didapati cukup lengkap pasal-pasal HAM yaitu 35 Pasal. Jumlah Pasal dalam UUDS 1950 hampir sama

dengan yang tercantum di dalam DUHAM.21

Meskipun di dalam UUD 1945 tidak banyak mencantumkan pasal-pasal tentang HAM namun kekurangan tersebut telah dipenuhi dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU No. 14 Tahun 1970 memuat 8 Pasal, sedangkan UU No. 8 Tahun 1981 memuat 40 Pasal tentang HAM. Di samping itu, dalam Pembukaan UUD 1945 didapati suatu pernyataan yang mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk menegakkan HAM yang berbunyi:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Secara garis besar, perkembangan hak asasi manusia di Indonesia bisa dilihat dari dua segi, yaitu dari segi instrumen hokum dan dari segi kelembagaan.22

1. Dari segi instrumen hukum

Perkembangan dari segi instrumen hukum dapat dilihat terutama semenjak Amandemen Kedua UUD 1945, yaitu dari yang tadinya hanya 7 Pasal yang mengatur tentang hak asasi manusia, diamandemen dengan menambahkan Bab XA dengan judul Hak Asasi Manusia. Bab ini terdiri dari 10 Pasal, yaitu Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J. Selain Amandemen UUD 1945 ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mendukung perkembangan hak asasi manusia di Indonesia, yaitu:

a. Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang hak asasi manusia, yang di dalamnya memuat antara lain:

1. menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan

seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati,

21 Achmad Baiquni, Al- Qur’an dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana

Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 7.

(12)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman tentang hak asasi manusia.

2. Menugaskan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat

untuk segera meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang hak asasi manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

b. Undang-undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia.

c. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Undang-undang tersebut merupakan adopsi dan ratifikasi dari instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi manusia. Sebagai contoh, dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, masalah perlindungan hak wanita dan hak-hak anak ternyata telah mendapat perhatian yang besar. Hak-hak-hak wanita diatur dalam 7 Pasal dan hak-hak anak diatur dalam 15 Pasal. Secara garis besar, ada 2 hal yang dapat diketegorikan terhadap perbuatan pelanggaran HAM berat berdasarkan Pasal 7 Undang-undang nomor 26 Tahun 2000 yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

a. membunuh anggota kelompok;

b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat

terhadap anggota-anggota kelompok;

c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan

mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah

kelahiran di dalam kelompok; atau

e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut

(13)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa hal-hal berikut:

a. pembunuhan;

b. pemusnahan;

c. perbudakan;

d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain

secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f. penyiksaan;

g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,

pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara;

h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau

perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnik, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang dalam hukum internasional;

i. penghilangan secara paksa; dan

j. kejahatan apartheid.

Untuk membedakan antara kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat dengan kejahatan kemanusiaan yang tergolong tindak pidana biasa yang diatur dalam KUHP ditentukan oleh unsur-unsur sebagai berikut:

a. adanya serangan yang meluas atau sistematis;

b. diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil.

c. serangan tersebut berupa kelanjutan kebijakan yang

berhubungan dengan organisasi.

Apabila salah satu di antara ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi maka perbuatan itu digolongkan sebagai tindak pidana biasa yang diatur dalam KUHP dan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Pidana.23

23 Ibid., hlm. 59-61.

(14)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

2. Dari segi kelembagaan

Dari segi kelembagaan, ada beberapa lembaga yang dapat mendukung penegakkan hak asasi manusia di Indonesia, yaitu: a. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

Komnas HAM dibentuk melalui Keppres Nomor 5 Tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993 dan dikukuhkan lagi melalui Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tujuan dibentuknya Komnas HAM adalah untuk:

1) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan

hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak asasi Manusia, dan

2) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi

manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Anggota Komnas HAM yang ada sekarang adalah 18 orang, padahal menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, anggota Komnas HAM berjumlah 35 orang, untuk memenuhi kekurangan tersebut anggota DPR sedang memprosesnya. Masa jabatan anggota Komnas HAM adalah 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 kali masa jabatan. Komnas HAM dipimpin oleh 1 orang ketua dan 2 orang wakil ketua yang dipilih oleh dan dari anggota.

b. Pengadilan Hak Asasi Manusia

Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat,

meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap

kemanusiaan. Susunan majelis hakim terdiri atas 5 orang, 3 orang dari pengadilan yang bersangkutan dan 2 orang dari hakim ad hoc. Majelis ini diketuai salah seorang hakim dari pengadilan yang bersangkutan.

(15)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

Berhubung Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus pelanggran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka menurut ini Undang-undang ini dapat dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. d. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Komisi ini merupakan alternatif yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang HAM untuk

penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar pengadilan HAM,24

Adapun hukum acara yang berlaku di dalam penegakan HAM di Indonesia pada dasarnya adalah Hukum Acara Pidana, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, kecuali apabila ditentukan lain dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang hak asasi manusia yang isinya tidak hanya memuat ketentuan material, tetapi juga ketentuan formal yaitu berupa hukum acara, sehingga berlaku asas lex specialis derogat legi generalis terhadap KUHAP.

Ada beberapa hal yang sangat penting yang berkaitan dengan HAM, yaitu pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Ketentuan tentang ini diatur dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, bahwa setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Menurut penjelasan Pasal tersebut bahwa yang dimaksud dengan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi adalah:

1. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.

2. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa:

a. pengembalian hak milik;

b. pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan;

c. penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

(16)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

3. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lainnya.

Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi ini dapat diberikan kepada ahli waris korban, apabila korban meninggal dunia dan dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM..

Akhirnya, bila dilihat dari sisi perundang-undangan, hingga saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan terhadap korban dan saksi. Jaminan perlindungan ini sangat penting mengingat pentingnya keterangan saksi baik saksi korban atau saksi lainnya di dalam memutus suatu perkara. Akibatnya, tidak jarang seorang korban atau saksi diancam, diteror bahkan kalau perlu dibunuh oleh pihak-pihak yang merasa akan dirugikan dari kesaksiannya.

Pemberian perlindungan terhadap korban dan saksi dapat berupa perlindungan secara fisik dan mental dari ancaman gangguan, teror, dan tindak kekerasan, selain itu pula dapat berupa jaminan kesejahteraan untuk korban dan saksi berupa jaminan pekerjaan dan jaminan kehidupan. Pemberian perlindungan tidak saja diberikan sebelum kesaksian diberikan, namun juga sesudah kesaksian disampaikan di muka persidangan. Bahkan apabila dianggap perlu untuk keselamatan korban dan saksi mereka dapat dipindahkan ke suatu tempat yang aman --kalau perlu ke luar negeri, dengan merubah identitas atau dengan melakukan operasi plastik.25

Permasalahan yang timbul di negara kita, Indonesia, sangatlah menarik. Artinya, jangankan memberikan perlindungan terhadap korban dan saksi, terhadap aparat penegak hukum saja sulit diwujudkan. Kasus terbunuhnya Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita yang memutus perkara kasasi Tomy Soeharto dan kasus terbunuhnya Jaksa Ferry Silalahi beberapa waktu yang lalu, misalnya, adalah bukti nyata bahwa jangankan memberikan perlindungan terhadap korban dan saksi, memberikan perlindungan terhadap aparat penegak hukum pun ternyata juga masih sangat lemah.

(17)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

D. Penutup

Sejarah membuktikan bahwa keberadaan negara dan sistem pemerintahan yang dianutnya telah banyak mempengaruhi perlin-dungan dan penegakan HAM pada suatu masyarakat dan bangsa. Sifat otoriter dan haus kekuasaan yang dimiliki oleh mereka yang kuat akan menyebabkan banyaknya pelanggaran terhadap HAM, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menegakkan HAM, dibutuhkan aturan hukum yang tegas dan lembaga yang berwibawa. Keberadaan aturan hukum dan lembaga yang menangani masalah HAM harus selalu berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan ilmu penge-tahuan dan teknologi, sebab kasus pelanggaran HAM pun tidak bisa dilepaskan dari perkembangan iptek yang ada.

Di samping dari segi hukum dan lembaga penegak HAM, penyadaran masyarakat akan arti pentingnya HAM juga sangat dibutuhkan agar masyarakat tahu apa yang menjadi hak dan kewajibanya serta tidak melakukan sesuatu yang dapat melanggar HAM.

Bagi Indonesia sendiri, dengan telah banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur HAM, maka sudah sewajarnya apabila HAM bisa berjalan dengan baik dan dapat ditegakkan apabila terjadi pelanggaran.

(18)

SOSIO-RELIGIA, Vol. 3, No. 3, Mei 2004

Daftar Pustaka

Abdullah, Rozali dan Syamsir, Perkembangan HAM dan Keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001. Baiquni, Achmad, Al- Qur’an dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Dana

Bhakti Prima Yasa, 1996.

Dalizar, Konsepsi Al Qur’an tentang Hak Asasi Manusia, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Lubuk Agung, 1989.

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Apakah Demokrasi itu?, Jakarta: tp, 2001.

Hardjowirogo, Marbangun, Hak-Hak Manusia, Jakarta: Idayu, 1981. Hasani, Ismail, "Islam dan Hak Asasi Manusia", Republika, 12

Desember 2003.

Lubis, M. Solly, Ilmu Negara, Bandung: Mandar Maju, 1989.

Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia; Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta: Grafiti Pustaka Utama, 1995.

Mahfud, Moh., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993.

Shoelhi, Mohammad (ed), Demokrasi Madinah Model Demokrasi Cara Rasulullah, Jakarta: Republika, 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat likuiditas dapat diukur antara lain dengan rasio keuangan yaitu Loan To Deposit Ratio (LDR) yang merupakan rasio untuk menilai likuiditas suatu bank dengan cara

Dapat memberikan masukan mengenai tindakan yang dapat diambil Kantor Pelayan Pajak Bangkinang guna mengetahui penyebab ketersediaan wajib pajak orang pribadi yang

Karena disana pun ada yang berdakwah kepada Allah dan menyeru kepada Aqidah ini, akan tetapi itu adalah perjuangan perorangan, berbeda dengan perjuangan disini

• SDS init dikarang untuk membantu pembeli, pemproses atau mana-mana pihak ketiga yang mengendalikan kimia yang disebutkan di dalam SDS; malahannya, ia tidak

Apakah penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan berbantuan media gambar dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA kelas 5 SD

Batu Basurek, Gua Lida Ajer dan Gua Tompok Syohihah I dengan cara mengisi form penelitian, deskripsi lingkungan sekitar situs, mendeskripsi seni cadas yang dilihat dari

Suatu tindakan dan keputusan politik tidak hanya ditentukan oleh fungsi (tugas dan kewenangan) yang melekat pada lembaga yang mengeluarkan keputusan (sedangkan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Terdapat pengaruh konsentrasi CMC Na terhadap kualitas fisik gel ekstrak lidah buaya