• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebiasaan Makanan Kerang Pokea (Batissa violacea var. celebensis, vonmartens, 1897) di Perairan Sungai Lasolo Kabupaten Konawe Utara Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kebiasaan Makanan Kerang Pokea (Batissa violacea var. celebensis, vonmartens, 1897) di Perairan Sungai Lasolo Kabupaten Konawe Utara Sulawesi Tenggara"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Kebiasaan Makanan Kerang Pokea (Batissa violacea var. celebensis,

vonMartens, 1897) di Perairan Sungai Lasolo Kabupaten Konawe Utara

Sulawesi Tenggara

[The Food Habits of Pokea (Batissa violacea var. Celebensis, vonMartens, 1897)

in Lasolo River Konawe North District Southeast Sulawesi]

Desak Nyoman Sri Indrawati

1

, Bahtiar

2

, dan Wa Nurgayah

3

1

Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo

Jl. HAE Mokodompit Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232, Telp/Fax: (0401) 3193782 2

Surel: tiar_77unhalu@yahoo.com 3

Surel: nurgayah_fish@yahoo.com

Diterima : Maret 2016 ; Disetujui : Juni 2016

Abstrak

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-Desember 2014 di Perairan Sungai Lasolo dengan tujuan untuk mengetahui kebiasaan makanan kerang pokea. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode sapuan kawasan (swept

area) dengan total sampel untuk setiap bulannya sebanyak 75 individu. Pada waktu yang sama dilakukan pengukuran

parameter lingkungan meliputi suhu, alkalinitas, pH, bahan organik, dan kecepatan arus. Komposisi makanan kerang Pokea meliputi Bacillariophyceae, Chyanophyceae, Chlorophyceae, Rotatoria, Pyrrhophyceae, Dinophyceae, Euglenidae, dan detritus. Analisis komposisi makanan kerang Pokea menggunakan metode gravimetrik. Hasil analisis tersebut menunjukkan kebiasaan makanan organisme ini adalah didominasi oleh detritus sebesar 92,53% yang ditemukan pada stasiun II dan terendah sebesar 90,91% di stasiun IV.

Kata Kunci : Kebiasaan makanan, kerang pokea (Batissa violacea var. celebensis, von Martens, 1897), detritus

Abstract

This research was conducted in the Lasolo River from September to December 2014 in order to determine food habits of pokea shells. Sampling Pokea shell was taken using a swept area method. The monthly samples were 75 individuals. At the same time, water parameters of temperature, alkalinity, pH, organic matter, and current velocity were measured. The food composition of Pokea shell consisted of Bacillariophyceae, Chyanophyceae, Chlorophyceae, Rotatoria, Pyrrhophyceae, Dinophyceae, Euglenidae, dan detritus. Analysis of food habits Pokea shells using gravimetric methods. The results analysis is food habits organisme dominated by detritus of 92.53% which was found at station II and the lowest of 90.91% was found at station IV.

Key words: Feeding habits, Pokea shell, Detritus

Pendahuluan

Sulawesi Tenggara mempunyai potensi keanekaragaman hayati perairan yang cukup tinggi, seperti halnya bivalvia air tawar memiliki arti penting dalam keseimbangan ekosistem di lingkungannya, yaitu sebagai konsumen yang mengkonsumsi organisme-organisme berukuran lebih kecil dan komponen tersuspensi dalam air

(filter feeder) serta sebagai bioindikator perairan.

Umumnya, bivalvia dapat kita jumpai hampir diseluruh wilayah perairan Indonesia. Sebagian besar dari organisme ini hidup dengan cara membenamkan diri dalam pasir, lumpur dan

karang batu bahkan ada yang melekatkan diri pada substratnya. Salah satu organisme akuatik yang mempunyai nilai ekonomi adalah kerang pokea (Batissa violacea var. celebensis, von Martens 1897).

Sungai Lasolo merupakan perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik. Bahan ini berasal dari berbagai sumber seperti kegiatan pertambakan, pertanian dan aktivitas manusia yang akan masuk melalui aliran sungai dari daratan.

Sungai Lasolo merupakan ekosistem yang memiliki potensi yang sangat besar dalam

(2)

mendukung kehidupan masyarakat dan pemerintah daerah. Sampai saat ini kegiatan potensi tersebut masih terus dilakukan bahkan menjadi kegiatan ekonomi utama bagi masyarakat diantaranya adalah sebagai sumber air minum, mandi-cuci-kakus (MCK), penambangan nikel dan perkebunan sawit, bahkan sebagai daerah penangkapan/pengambilan bivalvia. Penangkapan kerang pokea yang dilakukan masyarakat setempat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian yang hasilnya akan dijual ke tempat penampung dan pasar lokal di sekitar Kabupaten Konawe Utara.

Kerang pokea merupakan kelas bivalvia dari filum moluska. Kerang ini merupakan kerang air tawar yang hidup membenamkan diri di dalam lumpur berpasir. Ketersediaan populasi kerang pokea di perairan sungai Lasolo diduga terus mengalami penurunan disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang terus menerus mengambil kerang pokea sebagai bahan makanan (Bahtiar, 2005).

Secara umum bivalvia digolongkan sebagai pemakan material terdeposit dan melayang serta mengambil makanan dengan cara menyaring makanan dalam bentuk bahan organik di sedimen dengan menggunakan kaki/pedal (Sousa dkk. 2008). Kondisi perairan yang sewaktu-waktu berubah berpengaruh terhadap kebiasaan makanan bivalvia. Organisme filter feeder dipengaruhi oleh adanya arus air yang membawa makanan, sedangkan untuk kelimpahan makanan organisme

deposit feeder dipengaruhi oleh ketersediaan

detritus organik dalam sedimen (Husen, 2008) dan suplai sedimen tersuspensi. Beberapa dari kepadatan spesies bivalvia dipengaruhi oleh jenis makanannya seperti diatom yang habitatnya di sedimen atau dikenal dengan diatom bentik (Kanaya dkk. 2005).

Kegiatan penambangan nikel dan perkebunan sawit di sekitar wilayah Sungai Lasolo

dapat merusak ketersediaan makanan alami detritus, substrat dan habitat kerang pokea, serta menyebabkan semakin menurunnya partikulat organik. Berdasarkan hal tersebut, maka kondisi lingkungan daerah aliran Sungai Lasolo dapat berubah dari kondisi sebelumnya sehingga diduga dapat berpengaruh pada kebiasaan makanan kerang pokea.

Penelitian tentang kebiasaan makanan kerang pokea, sebelumnya telah dilakukan oleh Husen (2008) di perairan Sungai Pohara namun belum pernah dilakukan di perairan Sungai Lasolo. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan penelitian tersebut di perairan Sungai Lasolo sehingga dapat diketahui jenis makanan kerang pokea di perairan ini.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan yakni pada bulan September–Desember 2014, bertempat di Perairan Sungai Lasolo Kabupaten Konawe Utara Sulawesi Tenggara (Gambar 2). Pengukuran terhadap sampel dan analisis jenis makanan kerang pokea dilaksanakan di Laboratorium Pengujian Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara.

Penelitian ini dilaksanakan di perairan Sungai Lasolo. Pengambilan sampel pokea berdasarkan karakteristik ekologi dan jarak dari setiap stasiun. Sebelum sampel diambil pada setiap stasiun, ditentukan terlebih dahulu jumlah dan posisi stasiun pengamatan pada lokasi penelitian. Penentuan stasiun dilakukan dengan memperhatikan keberadaan pokea. Oleh karena itu, lokasi penelitian dibagi atas 5 daerah pengambilan. Karakteristik ekologi setiap stasiun penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

(3)

Tabel 1. Stasiun pengabilan sampel dan deskripsi lokasi Stasiun Koordinat dan Karakteristik Lokasi

I

(03o 30' 20.3" LS dan 122o 09' 05.9"BT), merupakan awal ditemukan kerang pokea dan nelayan yang melakukan penangkapan kerang pokea. Lokasi ini kurang lebih 10 m dari pinggir sungai (Andowia/Desa Pantai Laronanga).

II

(03o 30' 37,6" LS dan 122o 09' 35,1" BT), berada tepat di bawah Gunung Tapusuli yang merupakan lokasi pengolahan sagu dan pengambilan pokea serta masih berada dekat dengan pemukiman warga.

III (03

o

30' 47,2" LS dan 122o 10'1 5,8"BT), tempat pengambilan pokea dan tempat pengolahan sagu serta berada dekat dengan lokasi perkebunan kelapa sawit.

V (03

o

30' 37,7" LS dan 122o 10' 57,3"BT), tempat pengambilan pokea dan tempat pengolahan sagu serta dekat dengan beberapa rumah warga

V

(03o 31' 55,1" LS dan 122o 13' 14,6"BT), letak titik terakhir pengambilan sampel kerang pokea yang merupakan pertemuan antara Sungai Buaya dengan Sungai Lasolo dan aktivitas nelayan pada titik stasiun tersebut sudah jarang sekali ditemukan, jarak antara muara sungai dengan titik stasiun adalah 2 km.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Pengambilan kerang pokea dilakukan dengan menggunakan metode sapuan kawasan (swept area). Pengambilan kerang pokea menggunakan alat yang terbuat dari keranjang besi yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat yang disebut “tangge”.

Pengambilan sampel kerang pokea dilakukan sekali dalam 1 bulan dengan jumlah sampel kerang pokea yang diambil sebanyak 15 individu setiap stasiun, sehingga total sampel untuk setiap bulannya sebanyak 75 individu. Sampel yang diperoleh kemudian dimasukkan

(4)

kedalam kantong plastik yang telah diberi label, dan langsung dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengukuran panjang, lebar, tebal, dan berat total. Kemudian kerang pokea dibedah dan dipisahkan dari cangkangnya untuk dilakukan penimbangan berat tubuhnya sekaligus memisahkan kerang pokea yang berjenis kelamin betina dan jantan. Selanjutnnya memisahkan lambungnya dari bagian-bagian tubuh lainnya lalu dilakukan penimbangan lambung kerang pokea sebelum diamati jenis makanannya.

Analisis jenis makanan kerang pokea dilakukan dengan mengencerkan lambung terlebih dahulu dengan menambahkan 0,1-0,5 ml aquades. Kemudian diamati melalui mikroskop elektron menggunakan perbesaran 10x10 dengan 3x ulangan, yang masing-masing ulangan menggunakan 3 titik lapang pandang yang tersambung langsung dengan USB video picture

microscope (eye piece). Selanjutnya

mengidentifikasi jenis makanan yang didapat. Identifikasi jenis makanan pada lambung pokea

menggunakan beberapa buku identifikasi Yamaji (1976) dan Marine Plankton (Newell dan newell, 1977).

………...….. (1)

Keterangan:

Wi

%

= persentase bobot organisme makanan ke – i dalam lambung kerang

Wi = bobot organisme makanan ke – i dalam lambung kerang

Wtot = bobot total organisme makanan dalam lambung kerang

i = 1,2,3…n

Hasil

Sebaran kelompok ukuran kerang pokea di bagi dalam tiga kelompok ukuran yakni : kelompok ukuran kecil (<2,00–3,50), sedang (3,55–4,50), dan besar (4,55–6,00). Jumlah idividu kerang pokea terbanyak ditemukan pada kelompok ukuran kecil (Tabel 2).

Tabel 2. Sebaran kelompok ukuran kerang pokea

Stasiun Kelompok Ukuran Selang Kelas (cm) Jumlah (ekor)

I Kecil <2,00–3,50 41 Sedang 3,55–4,50 12 Besar 4,55–6,00 7 II Kecil <2,00–3,50 55 Sedang 3,55–4,50 5 Besar 4,55–6,00 0 III Kecil <2,00–3,50 56 Sedang 3,55–4,50 3 Besar 4,55–6,00 1 IV Kecil <2,00–3,50 55 Sedang 3,55–4,50 4 Besar 4,55–6,00 1 V Kecil <2,00–3,50 49 Sedang 3,55–4,50 7 Besar 4,55–6,00 4 % 100 %   Wtot Wi Wi

(5)

Selama periode penelitian, komposisi makanan kerang pokea yang ditemukan ada delapan kelompok yakni Bacillariophyceae dengan tiga belas genera, sedangkan Chlorophyceae, Chyanophyceae, Pyrrhophyceae, Dinophyceae,

Rotatoria, Euglenidae dengan masing-masing satu genus. Komposisi makanan yang sering ditemukan adalah dari kelompok Bacillariophyceae dan komposisi makanan yang paling banyak ditemukan adalah detritus (Tabel 3).

Tabel 3. Komposisi makanan kerang pokea selama penelitian

Kelompok Anggota

Bacillariophyceae Diatom sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp., Nitzschia sp., Eunotia sp., Pleurosigma

sp., Tubellaria sp., Eucampia sp., Skeletomena sp., Melosira sp., Navicula sp.,

Bacillaria sp., Coscinodiscus sp. Chlorophyceae Closterium sp. Chyanophyceae Oscillatoria sp. Pyrrhophyceae Licmophora sp. Dinophyceae Ceratium sp. Rotatoria Notholca sp. Euglenidae Euglena sp.

Tabel 4. Hasil analisis makanan kerang pokea berdasarkan titik pengambilan

Jenis Makanan Persentase Bobot Makanan(%)

Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V

Bacillariophyceae 5,95 4,67 5,94 6,34 6,59 Chlorophyceae 0,85 1,24 1,48 1,39 0,71 Chyanophyceae 0,68 1,09 0,56 0,79 0,71 Pyrrhophyceae 0,34 0 0,56 0,20 0 Dinophyceae 0,17 0 0 0 0,24 Rotatoria 0,34 0 0,19 0,20 0,24 Euglenidae 0,17 0,47 0,37 0,40 0,24 Detritus 91,50 92,53 90,91 90,69 91,29 Total 100 100 100 100 100

Tabel 5. Hasil analisis makanan kerang pokea berdasarkan waktu pengamatan

Jenis Makanan Persentase Bobot (%)

September Oktober November Desember

Bacillariophyceae 9,45 4,45 4,17 6,00 Chlorophyceae 2,27 1,08 0,77 0,77 Chyanophyceae 1,13 0,81 0,15 1,02 Pyrrhophyceae 0,19 0,40 0,31 - Dinophyceae - - 0,13 Rotatoria - - 0,62 0,13 Euglenidae 0,19 0,27 0,46 0,38 Detritus 86,77 92,98 93,35 91,57 Total 100 100 100 100

(6)

Hasil analisis makanan kerang pokea dari lima titik pengambilan diperoleh delapan kelas meliputi Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Chyanophyceae, Pyrrhophyceae, Dinophyceae, Rotatoria, Euglenidae, dan Detritus (Tabel 4).

Hasil analisis makanan kerang pokea berdasarkan waktu pengamatan yang tertinggi adalah detritus dengan bobot nilai masing-masing disetiap bulannya adalah 86,77% (September), 92,98% (Oktober), 93,35% (November), 91,57 % (Desember), kemudian persentase makanan dibawah detritus di setiap bulannya berturur-turut yaitu Bacillariophyceae (9,45%) September, (4,45%) Oktober, (4,17%) November dan (6,00%) Desember, dan Chlorophyceae yang memiliki persentase makanan dibawah detritus yaitu (2,27%) September, (1,08%) Oktober, (4,17%) November dan (0,77%) Desember. Selain itu, jenis makanan lain yang memiliki bobot terendah Chyanophyceae, Pyrrhophyceae, Dinophyceae, Rotatoria dan Euglenidae dengan persentase bobotnya tidak mencapai 2% (Tabel 5).

Hasil analisis makanan kerang pokea berdasarkan kelas ukuran dibagi dalam 3

kelompok ukuran yaitu : <2,00-3,50 cm, 3,55-4,50 cm, 4,55-6,00 cm. Berdasarkan kelas ukuran, makanan kerang pokea didominasi oleh detritus dengan persentase bobot pada ukuran <2,00-3,50 cm (91,80%), ukuran 3,55-4,50 cm (92,98%), dan ukuran 4,55-6,00 cm (84,09%). Selain detritus, makanan kerang pokea pada ukuran <2,00-3,50 cm yaitu: Bacillariophyceae (5,50%) dan jenis makanan lain yang persentasenya tidak mencapai 2 % yaitu:

Chlorophyceae, Chyanophyceae,

Chyanophyceae, Rotatoria, Pyrrhophyceae, Dinophyceae, dan Euglenidae. Pada ukuran 3,55-4,50 cm, jenis makanan kerang pokea selain detritus adalah Bacillariophyceae (4,97%) dan beberapa persen jenis makanan lainnya yang terendah atau tidak menapai 2% yaitu

(Chlorophyceae, Chyanophyceae,

Chyanophyceae, Dinophyceae, dan Euglenidae). Selanjutnya ukuran 4,55-6,00 cm makanan pokea selain detritus ditemukan juga Bacillariophyceae (11,36%) dan Chyanophyceae (2,82%), serta jenis makanan lainya yang tidak

mencapai 2% (Chlorophyceae, dan

Chyanophyceae) (Tabel 6).

Tabel 6. Hasil analisis makanan kerang pokea berdasarkan kelas ukuran

Jenis Makanan Persentase Bobot (%)

<2,00-3,50 3,55-4,50 4,55-6,00 Bacillariophyceae 5,50 4,97 11,36 Chlorophyceae 1,05 1,17 2,27 Chyanophyceae 0,73 0,29 2,27 Pyrrhophyceae 0,27 - - Dinophyceae 0,05 0,29 - Rotatoria 0,23 - - Euglenidae 0,37 0,29 - Detritus 91,80 92,98 84,09 Total 100 100 100

(7)

Tabel 7. Hasil analisis makanan kerang pokea berdasarkan jenis kelamin

Jenis Makanan Persentase Bobot (%)

Jantan Betina Bacillariophyceae 6,24 5,22 Chlorophyceae 0,97 1,39 Chyanophyceae 0,64 0,96 Pyrrhophyceae 0,13 0,35 Dinophyceae 0,06 0,09 Rotatoria 0,32 - Euglenidae 0,45 0,17 Detritus 91,15 91,83 Total 100 100 a

Hasil analisis berdasarkan jenis kelamin makanan kerang pokea jantan dan betina didominasi oleh detritus yang berkisar 91,15- 91,83%. Persentase makanan kerang pokea jantan dari beberapa jenis makanannya selain detritus berupa Bacillariophyceae (6,24%), sedangkan beberapa persen jenis makanan yang terendah atau kurang dari 2% adalah Chlorophyceae, Chyanophyceae, Pyrrhophyceae, Dinophyceae, Rotatoria, dan Euglenidae. Selanjutnya persentase makanan kerang pokea betina selain detritus, ditemukan jenis makanan yaitu Bacillariophyceae (5,22%) dan beberapa jenis makanan yang persentasenya tidak mencapai 2% yaitu Chlorophyceae, Chyanophyceae, Pyrrhophyceae, Dinophyceae, dan Euglenidae (Tabel 7).

Kualitas air yang diukur selama penelitian dalam waktu empat bulan yang diukur terdiri dari parameter fisika dan kimia perairan. Parameter fisika yang diamati meliputi : suhu, dan kecepatan arus, sedangkan parameter kimia perairan meliputi : alkalinitas dan pH tanah (substrat).

Hasil pengukuran parameter suhu selama empat bulan pada setiap stasiun penelitian berkisar 27–28,64°C suhu yang terukur pada penelitian ini adalah suhu air permukaan yang dipengaruhi intensitas sinar matahari. Suhu tertinggi terdapat

pada bulan November yaitu 28,64 °C, sedangkan suhu terendah terdapat pada bulan September yaitu 27°C.

Hasil pengukuran alkalinitas selama empat bulan penelitian diperoleh nilai alkalinitas Perairan Sungai Lasolo berkisar 24–27 mg CaCo3/L. Alkalinitas tertinggi terdapat pada bulan Oktober yaitu berkisar 32,33 mg CaCo3L , sedangkan alkalinitas terendah terdapat pada bulan September yaitu 27 mg CaCo3/L.

Hasil pengukuran pH substrat pada semua periode berkisar 6,62 sampai 6,68. Nilai pH substrat tertinggi terdapat pada bulan Oktober yaitu 6,68, sedangkan pH substrat terendah terdapat pada bulan September yaitu 6,62.

Nilai kecepatan arus perairan Sungai Lasolo yang tercatat selama periode penelitian di lima stasiun berkisar 0,19 sampai 0,48 m/s, nilai kecepatan arus terendah terdapat pada bulan Oktober (0,19 m/s) dan nilai kecepatan arus tertinggi terdapat pada bulan September (0,48 m/s) (Tabel 8). Nilai kecerahan perairan Sungai Lasolo yang tercatat selama periode penelitian di lima stasiun berkisar 57 sampai 280 m, nilai kecepatan arus terendah terdapat pada bulan November (57 m) dan nilai kecepatan arus tertinggi terdapat pada bulan Oktober (280 m) (Tabel 8).

(8)

Pembahasan

Hasil pengamatan kerang pokea yang tertangkap berjumlah 300 ekor, terdiri atas 15 ekor setiap stasiun pengambilan hingga total di semua titik adalah 75 ekor setiap bulannya. Populasi kerang pokea yang ditemukan mempunyai ukuran terkecil <2,00 cm dan terbesar <6,00 cm. Jumlah kerang yang berukuran kecil (<2,00 cm – 3,50 cm) sebanyak 256 individu, ukuran sedang (3,55 cm – 4,50 cm) sebanyak 31 individu, dan kerang berukuran besar (4,55 – 6,00 cm) sebanyak 13 individu.

Jumlah kerang pokea pada semua stasiun di perairan sungai Lasolo didominasi oleh ukuran kecil (<2,00–3,50 cm) (Tabel 4). Hal ini disebabkan pada ukuran kecil kerang pokea sulit tertangkap dengan menggunakan alat tangkap

kerang (tange). Selain itu, hal ini diduga bahwa substrat yang cenderung halus menjadi habitat kerang pokea ini mendukung kehidupan dan penyebaran kerang pokea, sehingga memudahkan kerang pokea berukuran kecil lebih mudah melakukan penetrasi atau menggali ke dalam substrat. Penyebaran organisme makrozoobentos dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Menurut Fitriana (2005), tipe substrat perairan sangat menentukan penyebaran jenis-jenis hewan benthos yang hidup di dalamnya, sehingga tipe substrat dikatakan sebagai faktor pembatas organisme dasar. Selanjutnya Putri (2005), menjelaskan bahwa kerang umumnya membenamkan dirinya di dalam sedimen berpasir atau pasir berlumpur dan beberapa jenis

Tabel 8. Parameter kualitas air selama penelitian

Bulan Stasiun Parameter

Suhu Alkalinitas Kecerahan Kecepatan Arus pH Substrat September I 26,2 28 110 0,417 6,8 II 26,8 86 0,434 6,6 III 27 26 67 0,521 6,7 IV 27,4 88 0,524 6,6 V 27,6 27 96 0,503 6,4 Oktober I 27,1 36 130 0,282 6,6 II 27,9 150 0,139 6,8 III 28 31 128 0,170 6,8 IV 28,5 135 0,225 6,8 V 28,6 30 150 0,173 6,4 November I 29 37 280 0,143 6,8 II 29 185 0,34 6,8 III 29,6 45 180 0,167 6,8 IV 27,6 140 0,328 6,6 V 28 37 160 0,141 6,2 Desember I 27,8 29 57 0,164 6,8 II 27,9 70 0,278 6,6 III 28,5 28 76 0,356 6,7 IV 28,2 89 0,509 5,8 V 28,8 15 90 0.378 6,5

(9)

menempel pada benda-benda keras dengan menggunakan byssus.

Kerang yang berukuran besar (4,55 cm – 6,00 cm) sangat sedikit jumlahnya (13 individu). Hal ini diduga oleh kemudahan pengambilan kerang pokea oleh penduduk di sekitar perairan Sungai Lasolo yang berukuran lebih besar. Pernyataan ini didukung oleh Grabarkiewicz dan Wayne (2008) bahwa penurunan tajam jumlah spesies kerang air tawar disebabkan oleh kerusakan habitat, penurunan kualitas air, introduksi spesies eksotis, perubahan hidrologi dan pengaruh pengambilan yang dilakukan oleh masyarakat.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama penelitian, komposisi makanan kerang pokea didominasi oleh detritus dan bacillariophyceae, selain dari kedua kelompok tersebut, ditemukan kelompok lainnya seperti Chlorophyceae, Cyanophyceae, Pyrrhophyceae, Rotatoria, dan Euglenidae.

Kelompok Bacillariophyceae terdiri atas tiga belas genera meliputi Diatom sp.,

Rhizosolenia sp., Synedra sp., Nitzschia sp., Eunotia sp., Pleurosigma sp., Tubellaria sp., Eucampia sp., Skeletomena sp., Melosira sp., Navicula sp., Bacillaria sp., Coscinodiscus sp.

Chlorophyceae hanya terdiri dari satu genus yaitu Closterium sp. Cyanophyceae hanya terdiri dari satu genus yaitu Oscillatoria sp. Pyrrhophyceae terdiri satu genus yaitu

Licmophora sp. Rotatoria terdiri satu genus

yaitu Notholca sp. Dinophyceae hanya terdiri dari satu genus yaitu Ceratium sp. dan Euglenidae hanya terdiri dari satu genus yaitu

Euglena sp.

Detritus dan Bacillariophyceae mendominasi komposisi makanan kerang pokea karena kelompok ini lebih mudah beradaptasi dan perkembangbiakannya cepat. Pernyataan ini

diperkuat oleh pernyataan Wati (2003) bahwa Bacillariophyceae berkembang biak dengan cepat dan laju penggandaannya kurang dari sepuluh jam.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Nurmail (2012) yang melakukan penelitian pada kerang pokea (Batissa violacea celebensis) di sungai pohara dan Nurmin (2014) yang melakukan penelitian pada kerang kalandue (Polymesoda erosa) di ekosistem mangrove Teluk Kendari, serta Wati (2003) yang melakukan penelitian pada kerang mabe (Pteria penguin) di lokasi budidaya biman mutiara perairan Selat Buton Kecamatan Wakorumba Selatan Kabupaten Muna.

Makanan kerang pokea di Perairan Sungai Lasolo didominasi detritus dengan persentase bobot (86,77–92,98%). Hal ini sesuai sifat dari kerang yang hidup membenamkan diri dalam substrat dan memperoleh makanan dengan cara filter feeder. Dharmaraj dkk, (2004) menyatakan bahwa A. granosa merupakan hewan filter feeder dengan makanan berupa plankton dan detritus organik. Ketersediaan makanan di perairan sangat menentukan pertumbuhan bivalvia, ketersedian makanan yang ada di perairan terdiri dari partikel organik, seston, detritus, dan bakteri. Selanjutnya menurut Bahtiar (2005), hewan yang hidupnya membenamkan diri dalam substrat lumpur atau pasir, maka sumber makanan yang diharapkan oleh hewan ini berasal dari bahan organik yang telah terurai, organisme kecil, dan endapan-endapan zat hara yang terdapat pada bagian dasar sungai tersebut. Selain itu, terdapat jenis makanan dari fitoplankton yang jumlahnya lebih sedikit dibanding detritus yaitu kelas Bacillariophyceae. Hal ini diduga jenis dari kelas ini mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang baik

(10)

dengan lingkungannya, berkembang biak, dan pertumbuhannya yang cepat. Hal ini tidak berbeda dengan Nurmin (2014) yang melakukan studi pada kebiasaan makanan kerang kalandue di ekosistem mangrove Teluk Kendari bahwa selain detritus makanan yang ada pada lambung kalandue adalah dari kelas Bacillariophyceae dengan presentase 1,37–2,79% (Tabel 10). Hal ini sesuai pernyataan Wati (2003) menyatakan bahwa Bacillariophyceae atau Diatom berkembang biak dengan cepat dan laju penggandaan maksimum kurang dari 10 jam. Bacillariophyceae lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya dan merupakan kelompok fitoplankton yang disenangi oleh ikan, kerang dan larva udang (Fitri, 2011).

Selain Bacillariophyceae kelas lain adalah Chlorophyceae, Chyanophyceae, Pyrrhophyceae, Dinophyceae, Rotatoria, dan Euglenidae yang ditemukan dalam lambung pokea yang memiliki toleransi lebih kecil dibandingkan

Bacillariophyceae. Hal ini didukung Odum (1971) yang mengatakan bahwa kelimpahan fitoplankton di laut biasanya didominasi oleh kelas Bacillariophyceae, namun demikian kelimpahan kelas Bacillariophyceae ini umumnya mengalami peningkatan sesuai dengan berkurangnya radiasi sinar matahari, tetapi kelimpahan Bacillariophyceae ini tetap lebih tinggi dari kelas fitoplankton lainnya. Bold dan Wyne (1985) menambahkan, diatom memiliki toleransi yang luas terhadap faktor-faktor lingkungan yang umum, seperti pH, temperatur, dan kadar O2, suhu, akan tetapi mempunyai toleransi tertentu terhadap faktor-faktor spesifik seperti ketersediaan hara, gas terlarut, bahan pencemaran serta tipe substrat. Oleh karena itu, diatom digunakan sebagai indikator tingkat eutrofikasi perairan. Kombinasi antara kandungan zat hara tinggi dari aliran sungai dan perairan dangkal yang teraduk baik, merupakan keadaan ideal untuk produktivitas tinggi.

Tabel 9. Perbandingan kebiasaan makanan kerang berdasarkan titik pengambilan dan waktu pemgambilan di beberapa perairan di Sulawesi

Lokasi Spesies Makanan Pustaka

Detritus Bacillariophyceae Cyanophyceae Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara P.erosa 98,50 2,79 0,15 Nurmin, 2014 Sungai Pohara, Sulawesi

Tenggara B.violacea 94,42 21,19 2,26 Nurmail, 2012

Sungai Pohara, Sulawesi Tenggara B. violacea 65,10 5,40 3,90 Husen, 2008 Perairan Selat Buton, Kecamatan Wakorumba Selatan Kabupan Muna P. penguin - 95,43 - Wati, 2003 Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara A. granosa 93,01 4,38 3,80 Mediawati, 2014 Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara

(11)

Makanan kerang pokea yang ditemukan berdasarkan temporal adalah detritus. Hal ini diduga bahwa makanan utama kerang pokea di perairan sungai Lasolo adalah detritus. Sesuai dengan Nurmail (2012) dan Husen (2008) menunjukan bahwa makanan kerang pokea disungai pohara makanan utamanya adalah detritus. Hal ini sama yang ditemukan oleh Nurmin (2014), makanan kerang kalandue di ekosistem mangrove Teluk Kendari berdasarkan waktu pengamatan didominasi oleh detritus (Tabel 9).

Selain detritus makanan yang diperoleh dalam lambung kerang pokea adalah fitoplankton yaitu Bacillariophyceae. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil analisis yang diperoleh oleh Nurmail (2012) dengan melakukan penelitian pada kerang pokea di Sungai Pohara (Tabel 9). Selanjutnya Fitri (2011) menyatakan bahwa diatom banyak tersebar di perairan dan mampu beradaptasi dengan perubahan salinitas dan suhu. Verween dkk. (2007) mengemukakan bahwa fitoplankton dapat tumbuh dan berkembang biak yaitu pada salinitas 20–40‰ dan pada suhu 20–30 0C.

Makanan kerang pokea berdasarkan kelas ukuran didominasi oleh jenis detritus dengan persentase terbesar (92,98 %) terdapat pada ukuran sedang (3,55 –4,50 cm). Selanjutnya persentase sedang (91,80 %) pada ukuran kecil (<2,00-3,50 cm), dan persentase terkecil (84,09 %) ditemukan pada ukuran besar (4,55-6,00 cm).

Berdasarkan hasil persentase tersebut nampak bahwa ada kecenderungan kerang untuk mengkonsumsi makanan lebih banyak pada ukuran sedang (3,55-4,50 cm). Kecenderungan detritus terhadap ukuran yang lebih besar diduga bahwa semakin besar ukuran kerang maka semakin banyak jumlah detritus yang diperlukan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan gonadnya.

Hal ini sesuai dengan pendapat Fitriani (2008), kebutuhan akan makanan pada kerang tahu di Teluk Kendari dapat memberikan pengaruh langsung terhadap perkembangan gonad dan berpengaruh pada pertumbuhannya. Menurut Vaughn dkk., (2008), ketersediaan makanan merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi pertumbuhan biomassa, reproduksi, dan kelangsungan hidup populasi bivalvia. Ketersediaan makanan di perairan sangat menentukan pertumbuhan bivalvia. Makanan bivalvia terdiri dari partikel organik, seston, detritus, dan bakteri. Bila makanan tersedia dalam jumlah yang cukup atau melimpah untuk populasi bivalvia maka memungkinkan adanya peningkatan produksi bivalvia.

Ditinjau dari tinggi rendahnya jenis makanan dalam lambung terhadap ukuran kerang pokea, diduga berhubungan dengan penilaian kesukaan organisme terhadap jenis makanan yang diinginkan, sebab makanan dari jenis detritus selalu mendominasi pada semua ukuran atau pengaruh adanya ketersediaan sumber daya makanan di perairan. Sesuai dengan pendapat Nurmin (2014), bahwa kerang yang hidup di perairan Teluk Kendari pada semua ukuran didominasi oleh detritus. Setyono (2006) menyatakan bahwa kerang hanya memakan beberapa jenis pakan yang kemungkinan disukai karena nilai nutrisinya atau karena mudah ditangkap.

Pengelolaan sumber daya hayati perikanan bertujuan untuk memperbaiki sumber daya hayati perikanan dan menentukan cara penggunaannya agar menguntungkan secara terus menerus (Effendie, 1997). Selain itu pengelolaan perikanan bertujuan untuk mempertahankan hasil maksimum dari sumber daya perairan dan menjaga kelestarian lingkungan.

Kerang pokea merupakan organisme yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan memiliki kadar

(12)

protein serta nilai gizi yang tinggi. Ketersediaan makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dari kerang pokea, dimana makanan utama dari kerang pokea berdasarkan ukuran, jenis kelamin, waktu dan tempat tertangkapnya adalah detritus sehingga ketersediaan makanan dalam hal ini adalah detritus di perairan harus dijaga agar populasi kerang pokea di perairan tidak berkurang.

Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan kelompok ukuran yang mendominasi makanan kerang pokea adalah detritus dengan persentase bobot tertinggi terdapat pada ukuran yang kecil.

2. Berdasarkan jenis kelamin makanan yang mendominasi kerang pokea adalah detritus, persentase bobotnya pun tidak jauh selisih antara jantan dan betina.

3. Kelompok makanan dengan persentase secara spasial didominasi oleh detritus dengan persentase bobot yang tertinggi terdapat pada bulan November.

4. Komposisi makanan kerang pokea meliputi detritus, fitoplankton. dan zooplankton. 5. Parameter kualitas air Sungai Lasolo selama

penelitian masih mendukung bagi ketersediaan sumber daya makanan dan kehidupan kerang pokea di Perairan Sungai Lasolo.

Daftar Pustaka

Bahtiar. 2005. Kajian Populasi Pokea (Batissa

violacea celebensis Martens, 1897) di

Sungai Pohara Kendari Sulawesi Tenggara. Tesis sekolah Pasca Sarjana Institut Bogor. Bogor. 75 hal.

Balda. 2007. Distribusi dan Kelimpahan Kerang Pokea (B. violacea

celebensis) pada Bagian Sungai

Pohara di Desa Kapoiala Kecamatan Bondoala Kabupaten Konawe. Skripsi. Jurusan MIPA. Unhalu. KendariBarus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Leksono tentang Ekosistem Air dan Daratan. USU Pers. Medan. 11 hal.

Bold, H.C., M. J. Wynne. 1985. Introduction to the Algae, Structure, and

Reproduction. Prentice-Hall, Inc,

Englewood Cliffs.

Dharmaraj, S., K., Shanmugasundaraman, Suja C.P. 2004. Larva Rearing and Spat Production of the Windowpane Shell

Placuna placenta. Aquaculture Asia.

April-June 2004. 20-28.

Dwiono, S. A.P. 2003. Pengenalan Kerang Mangrove, Geloina erosa dan

Geloina expansa. Jurnal Oseana,

28(2): 31-38.

Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 259 hal.

Effendie, M.I. 1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 96 hal.

Effendie, M.I. 2002. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 111 hal.

Fitri, E.W. 2011. Jenis-Jenis dan Variasi Morfologi Diatom Pada Dua Kawasan Mangrove Sungai Pisang Kota Padang dan Air Bangis Pasaman Barat Sumatera Barat. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Andalas. Padang. 56 hal.

Fitriana, Y.R. 2005. Keanekargaman dan Kelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Jurnal Biodiversitas,7(1): hal. 67-72l.

(13)

Fitriani R. 2008. Studi Beberapa Aspek Biologi Kerang Tahu (Meretrix meretriks di Perairan Teluk Kendari Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari.

Grabarkiewicz JD, Wayne SD. 2008. An Introduction to Freshwater Mussels as Biological Indicators: Including Account of Interior Basin, Cumberlandian, and Atlantic Slope Species, United States Environmental Protection Agency. Washington DC.

Husen K. 2008. Studi Kebiasaan Makanan Kerang Pokea (Batissa violacea

celebencis, Martens, 1897).

Manajemen Sumberdaya Perairan. Universitas Haluoleo. Kendari. 75 hal.

Kanaya G, Nobatan E, Toya T, Kikuchi E. 2005. Effects of Different Feeding Habits of Three Bivalve Species on Sediment Characteristics and Bentic Diatom Abudance. MEPS. 299: 67–78.

Kim S, James H, Summers RB, Debra L. 2001. Effect of an Exotic Bivalve Mollusc on Benthic Invertebrates and Food Quality in the Ohio River. Journal Hydrobiologia, 462:169-172.

Newell OE, Newell RC. 1977. Marine plankton. A Practical Guide.

Nurmail. 2012. Studi Kebiasaan Makanan Kerang Pokea (Batissa violacea celebensis, Martens 1897) di Perairan Sungai Pohara Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan. Jurusan Perikanan. Universitas Haluoleo. Kendari.

Nurmin. 2014. Studi Studi Kebiasaan Makanan Kerang Kalandue (Polymesoda Erosa) di Ekosistem Mangrove Teluk Kendari.

Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan Universitas Halu Oleo. Kendari.

Nybakken, JW, Bertness MD. 1992. Marine Biology, An Ecology Approach. Benjamin Cummings. USA. 579.

Nyuheri S. 1993. Studi Kelimpahan Anadonta sp. Berdasarkan Stratifikasi Vertikal Pada Sungai Pohara di kelurahan Sampara Kecamatan Bondoala. Skripsi. Jurusan MIPA. FKIP Unhalu. Kendari.

Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. W.E. Saunders, Philadelphia : 574.

Putri ER. 2005. Analisis Populasi dan Habitat Sebaran Ukuran dan Kematangan Gonad Kerang Lokan Batissa violacea

Lamarck (1818) di Muara Sungai

Batang Anai Padang Sumatera Barat. Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 62 hal.

Romimohtarto K, Juwana S. 2009. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta. 435p.

Russel WD, Hunter. 1968. Actuarial Bioenergetics of Nonmarine Moluscan Productivity. Departement of Biology.

Syracuse University. New York.

Setyono DED. 2006. Karakteristik Biologi dan Produk Kekerangan Laut. Jurnal

Oseana, 31 (1) : hal. 1-7.

Vaughn CC, Nicholas SJ, Spooner DE. 2008. Community and Foodweb Ecology of Freshwater Mussels. Journal of the North American. Benthologycal Society, 27 (2) : 409–423.

Verween A,Vincx M, Degraer S. 2007. The effect of Temperature and Salinity on the Survival of Mytilopsis Leucophaeata larvae (Mollusca, Bivalvia): the Search for Sousa, R., Antonio. J.A, Nogueira J.A, Gaspar M.B, Antunes C, & Guilhe7rmino L. 2008. Grouwth and Extremely High Production of The

(14)

Non-Indigenous Invasive Spesies

Corbiculla Fluminea (Mu” ller, 1774):

Possible Implication for Ecosystem Functioning. Estuarine, Coastal and

Shelf Science 80:289–295.

Environmental Limits. Journal of

Experimental Marine Biology and Ecology, 348: 111–120.

Wati SK. 2003. Analisis Kebiasaan Makanan Kerang Mabe (Pteria Penguin) pada Lokasi Budidaya Biman Mutiara

Perairan Selat Buton Kecamatan Wakorumba Selatan Kabupaten Muna. Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Halu Oleo. Kendari.

Wood MS. 1987. Subtidal Ekology. Edward Arnold Pty. Limited, Australia.

Yamaji IE. 1966. Illustration of the Marine Plankton of Japan. Hoikusha Publishing Co. Ltd. Osaka, Japan.. 538 hal.

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian  Pengambilan  kerang  pokea  dilakukan
Tabel 2. Sebaran kelompok ukuran kerang pokea
Tabel 5. Hasil analisis makanan kerang pokea berdasarkan waktu pengamatan
Tabel 6. Hasil analisis makanan kerang pokea berdasarkan kelas ukuran
+3

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu insektisida nabati mempunyai ting- kat keamanan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan racun-racun an- organik (Jadhau dan Jadhau 1984 da- lam Adebowale

Pembentukan Kelompok Usaha Ekonomi Masyarakat (Pengembangan Produk Unggulan Daerah/PPUD), dilaksanakan pada triwulan II – IV tahun 2007, dengan anggaran sebesar Rp 14.000.000, SKPD

Proses pengolahan air asin dengan sistem reverse osmosis ini terbagi dalam 2 unit proses yaitu pengolahan pendahuluan untuk memenuhi standar kualitas air baku yang akan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan (1) Identifikasi fungi dalam tape talas (Colocasia esculenta) ditemukan dua genus yaitu genus Saccharomyces dan genus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan Problem Based Learning dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar Matematika kelas V di SD Negeri Sarikarya tahun

Kartu Bermain BIPA Dahsyat seri imbuhan ini dapat menjadi jembatan bagi para peserta BIPA yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama mereka. Berdasarkan hasil

DASAR PEMILIHAN METODE, KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN METODE SOXHLET Metode soxhlet ini dipilih karena pelarut yang digunakan lebih sedikit (efesiensi bahan) dan larutan sari

Standar ini menguraikan persyaratan penempatan dan konstruksi bangunan pengambilan air baku dari sumber mata air, air tanah, dan air permukaan untuk instalasi pengolahan air